Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
https://portal.bisacpns.com/auth/register?voucher=akubisa
Perundingan Renville
Agresi Militer Belanda I memaksa Indonesia meminta bantuan internasional. Dewan Keamanan PBB
menengahi dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) atau Good Offices Committee (GOC).
Indonesia menunjuk Australia sebagai perwakilan, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat
ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda. Pada 26 Oktober 1947 KTN datang ke Indonesia untuk
mengatasi sengketa Indonesia-Belanda. Para anggota Komisi adalah Hakim Richard C. Kirby
(Australia), mantan Perdana Menteri Paul van Zeeland (Belgia), dan Rektor University of North
Carolina Dr. Frank B. Graham (AS).
Setelah kedatangan KTN di Indonesia, Amerika Serikat mempertemukan Indonesia dan Belanda pada
8 Desember 1947 di kapal perang USS Renville yang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri
dari Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Mr. Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Dr. Leimena, Mr.
Latuharhary, dan Kolonel T.B. Simatupang. Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir
Widjojoatmodjo.
Setelah disepakati pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan, yaitu:
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat
dan Jawa Timur.
Berakhirnya agresi militer Belanda I dan disetujuinya perjanjian Renville mengubah arah perpolitikan
Indonesia. Golongan kiri yang selama awal kemerdekaan ditempatkan dalam struktur pemerintahan
mulai tersingkir. Tersingkirnya golongan kiri merupakan cikal bakal terjadinya pemberontakan PKI di
Madiun pada 18 September 1948 ditengah konflik yang masih terjadi antara pihak Belanda dan
Republik. Perjanjian Renville mengurangi wilayah kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de
facto sangat merugikan pihak Indonesia. Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai
oleh pihak Belanda menyebabkan perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda
melakukan blokade-blokade ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak
Belanda untuk melemahkan Indonesia.
Perjanjian ini juga mengakibatkan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di wilayah
pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini melahirkan peristiwa Long March
Siliwangi, sebuah perjalanan panjang para tentara Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah
dan Yogyakarta. Dampak dari peristiwa ini melahirkan sebuah pemberontakan oleh Kartosuwiryo dan
pasukannya yang tidak ingin keluar dari Jawa Barat yang saat itu berada di kekuasaan Belanda untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia.
KMB
KMB atau atau De Ronde Tafel Conferentie (RTC) resmi dibuka pada 23 Agustus 1949. Perundingan
berjalan alot dan lambat. Dalam KMB ketiga delegasi dibagi dalam Steering Committee (panitia
pengarah), yang dibantu oleh tiga panitia kecil khusus membahas UUD, Irian Barat, NIS, dan
swapraja (wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri). Anggota lainnya dibagi dalam empat
panitia untuk membicarakan bidang-bidang ekonomi dan keuangan, militer, kebudayaan, dan sosial.
Perundingan yang memakan waktu lama menimbulkan spekulasi-spekulasi di kalangan pers di
Indonesia bahwa KMB kemungkinan besar gagal. Namun, delegasi RI maupun delegasi BFO
mengirim masing-masing utusan ke Yogyakarta dan Makasar untuk menjelaskan kepada parlemen RI
(KNIP) dan Dewan Perwakilan Sementara NIT, bahwa spekulasi-spekulasi itu tidak benar.
Salah satu masalah yang menyebabkan kebuntuan dan nyaris menggagalkan KMB adalah persoalan
Irian Barat. Belanda bersikeras Irian Barat tetap di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, dengan alasan
secara etnologis orang Irian tidak termasuk orang Indonesia. Sementara itu pertimbangan Indonesia
berdasar Persetujuan Linggarjati yang telah ditetapkan bahwa Negara Indonesia Serikat yang
berdaulat mencakup seluruh bekas Hindia Belanda.
Dalam kebuntuan perundingan, Hatta menyampaikan usul yang dapat diterima oleh Belanda yakni
Irian Barat tetap di pangkuan Belanda tetapi dalam waktu satu tahun kedua belah pihak dapat
merundingkannya kembali. Hatta menginginkan usulan tersebut disampaikan oleh UNCI. Perwakilan
UNCI pun setuju dan menyampaikan kepada KMB usulan tersebut tanpa memberi tahu asal-usulnya.
Kesepakatan pun terjadi, KMB ditutup pada 2 November 1949 dengan keberhasilan diplomasi
Indonesia.
Hasil KMB antara lain Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Republik Indonesia Serikat
pada Desember 1949, antara RIS dan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda,
Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar utang Hindia Belanda sebelum
1949, dan masalah Irian Barat akan dirundingkan satu tahun setelah pengakuan RIS.
Penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia dilaksanakan pada 27 Desember 1949 di istana
Dam, di Amsterdam, Belanda. Dalam upacara itu ditandatangani tiga dokumen oleh Ratu Juliana dan
Perdana Menteri Mohammad Hatta. Dokumen itu berisi antara lain pernyataan menerima seluruh
hasil KMB dan Piagam Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat.
De Facto dan De Jure
Dari segi bahasa, De Facto maupun De Jure berasal dari bahasa Latin. De Facto merupakan
ungkapan yang berarti ‘pada faktanya’, ‘pada praktiknya’ atau ‘pada kenyataannya’.
Sementara De Jure berarti ‘berdasarkan hukum’ atau ‘menurut hukum’.
Pengertian dari segi etimologi ini tidak berbeda dengan pengertian dalam konteks pengakuan
terhadap keberadaan suatu Negara terhadap negara lainnya dalam pergaulan Internasional.
De Facto merupakan bentuk pengakuan suatu Negara terhadap Negara lainnya yang berdasarkan
pada kenyataan yang menyatakan bahwa Negara tersebut sudah memenuhi syarat syarat terbentuknya
Negara seperti adanya wilayah, adanya rakyat dan adanya pemerintahan yang berdaulat.
De Jure adalah bentuk pengakuan yang dinyatakan secara resmi oleh Negara lain dengan
berdasarkan pada kaidah kaidah yang diatur dalam hukum internasional terkait keberadaan
suatu Negara baru agar bisa diterima sebagai anggota bangsa bangsa di dunia dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat padanya.