Lontara Sebagai Sumber Sejarah
Lontara Sebagai Sumber Sejarah
SULAWESI SELATAN
Oleh
H. ANDI’ ZAINAL ABIDIN*
1. ARTI LONTARA
B.F.Matther di dalam kamus bahasa Bugis-Belanda yang diterbitkan Martinus Nijhoff
di s’gravenhange pada tahun 1874 berpendapat bahwa istilah Lontara berasal dari “luar”,
yaitu dari Bali atau Jawa. Lontara adalah sesuai dengan kata lontar (Jawa/Melayu), yang
merupakan transposisi kata rontal, yang merupakan kombinasi kata ron, daun, dan tal. Tal
merupakan pohon yang daunnya dapat dipakai untuk menulis dengan kalam, yaitu Borassus
Flabelliformis. Pohon itu di dalam bahasa Bugis disebut tak dan di dalam bahasa Makassar
dinamakan talak. Lontarak pertama-tama berarti daun Lontar, dan dalam arti luas berarti
setiap karya tulis.
A.A.Cense (1979:420), yang pernah menjadi pegawai bahasa di Makassar dan
menguasai pelbagai bahasa Sulawesi Selatan berpendapat sama dengan Matthes, yang
mengartikan lontatak sebagai handschrift, manuscript, daun lontar dan pohon lontar. Ia
digunakan sebagai bahan untuk menulis. Huruf yang dipakai untuk menulis di daun tersebut
di dalam bahasa Makassar disebut anrong-lontarak dan ukirik lontarak, adalah tulisan dalam
huruf latin, serta ukirik serang ialah tulisan dengan huruf Arab.
Oleh orang-orang Bugis, Makassar, Mandar dan Massenrempuluk huruf yang dipakai
menulis di daun lontar, dan kemudia di kertas, disebut urupuk Lontara, yang oleh beberapa
orang tua-tua yang penulis pernah wawancarai disebut urupuk sulapak eppak, yang secara
harafiah berarti huruf segi empat, yang menurut mereka diciptakan dengan meniru walasuji,
atau lawasuji, yaitu sejenis dinding yang terbuat dari bambu yang dipasang bersilang,
sebagai berikut:
Penulis tidak mengetahui huruf mana yang dimaksud oleh Lontarak Gowa tersbut,
oleh karena ada tiga macam huruf yang pernah ditemukan oleh B.F. Matthes, yang juga
penulis pernah melihatnya, yaitu huruf seperti yang lazim digunakan oleh penulis Lontarak
(lihat huruf-huruf diatas), tetapi ada juga huruf jenis lain yang dipakai di dalam sebuah
Lontarak milik keluarga Kaimuddin Salle, SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
yang isinya menceritakan keluarga Sultan Hasanuddin, bergelar Tomenanga ri
Ballakpangkana, Raja Gowa yang pernah berperang melawan Arung Palakka dan V.O.C.,
yang memerintah dari tahun 1653 sampai dengan tahun 1669. Huruf tersebut (lihat
lampiran I) menurut keterangan beberapa orang Makassar adalah huruf rahaia, yang hanya
dapat dibaca oleh orang-orang kepercayaan raja dan para menteri. Huruf yang ketiga,
rupanya dipakai dahulu berkorespondensi, yang nampaknya dipengaruhi oleh huruf Arab.
Sebaliknnya orang-orang Bugis dan Luwu’ pada umumnya berpendapat bahwa huruf
lontarak sudah lama dikenal oleh orang-orang Sulawesi Selatan,yang dibuktikan dengan
adanya SUREK SELLEANG I LAGALIGO, yang tebalnya diperkirakan paling kurang 7.000
halamam folio, dan merupakan een van de omvangrijkste gedichten der wereld literatuur
menurut R.A.Kern (1939:5). Beberapa halaman tersebar di dalam tangan orang-orang
tertentu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah belumlah diketahui. Di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan tersimpan lebih dari 1000 halaman. Surek Selleang I La Galigo
itu menceritakan kerajaan-kerajaan Luwu’, Cina
(kemudian bernama Pammana), Wewaneiuk, Tompok Tikkak (sekarang: Luwuk-Banggai di
Sulawesi Tengah), Wadeng (sekarang: Gorontalo), Maloku (Maluku?), Taranati (Ternate),
dan kerajaan lain yang penulis sulit mengidentifikasikan seperti Jawa-wolio (mungkin
Buton), Jawa ri Tengnga (secara harafiah: Jawa Tengah), Jawa ri aja (harafiah: Jawa Barat),
Sunra ri Aja, Sunra ri Lauk, Pujananti (mungkin Barru, Sulawesi Selataan), Senrijawa
(Syriwijaya???), dan lain-lain. Kerajaan-kerajaan tersebut digambarkan sebagai kerajaan-
kerajaan sebelum lahirnya kerajaan-kerajaan yang tercantum di dalam Lontarak Sejarah,
yaitu sebelum abad XIII. Penulis sendiri memperkirakan pada abad IX, dan Braam-Norris
(1889:546) memperkirakannya pada abad X. Di dalam buku Galigo tersebut sudah disebut-
sebut surek ulaweng, yang secaraharafiah berarti surat keemasan. Emnurut alm. Andi’
Makkaraka, Arung Bettempola, yang penulis wawancarai pada tahun 1967, bahwa pada
mulanya orang-orang di Luwu’ menulis kissah Sawerigading, putera raja Luwu’ kedua “masa
Galigo” di daung tak atau dottak (Corypha gwbanga BI.).
Perlu dikemukakan bahwa istilah yang lebih tua untuk Lontarak di masyarakat Bugis
ialah surek, yang secara harafiah berarti surat, tulisan, buku, d.1.1., misalnya Surek Selleang
I La Galigo, buku sastra I La Galigo yang kalau dibaca harus dinyanyikan. I La Galigo adalah
nama raja yang kedua di Kerajaan Cina (bukan Tiongkok !) atau Kerajaan Tana Ugik, yaitu
Kerajaan Negeri Bugis. Lontarak Sejarah di daerah Bugis dinamakan Surek Attoriolong, yaitu
buku sejarah tentang "orang-orang dahulu kala". Surek allaorumang , yaitu Lontarak
Pertanian, Surek Pabbura yaitu buku tentang obat-obatan, Surek Panguriseng , yaitu buku
silsilah raja-raja, Surek Meong Palo Karellae , buku cerita tentang kucing belang berwarna
warni, yang dipercayai sebagai penjaga Sang Hyang Sri (padi). Jadi istilah yang lebih tua
daripada Lontarak ialah Surek.
Menurut H.Kern (Cense. 1951:54), bahwa huruf yang dipakai menulis Lontarak
berasal dari India, yaitu huruf pallawa. Kalau diperhatikan bentuk-bentuk huruf Lontarak
memang ada kemiripannya dengan huruf Batak dan Lampung Barangkali orang-orang Bugis-
Makassar telah mengubah huruf Pallawa itu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dikenali
lagi. Dari seorang pedagang kayu bernama Mr Chong, asal Taiwan, penulis memperoleh
keterangan bahwa huruf-huruf Lontarak itu pernah juga dipakai oleh penduduk asli Taiwan,
dan dari seorang reken di Toonan Ajia Kenkyuu di Kyoto, penulis juga mendapat keterangan
bahwa orang-orang Filipina pernah juga mengenal huruf yang mirip huruf Lontarak, serta
diperlukan______di pusat Kerajaan Luwu’ dahulu kala, yaitu di desa Ussu’ dan di
Alangkanangnge ri Latanete, di kecamatan Pammana (Wajo’) dan_____ pusat Kerajaan
Makassar Kuno di Pangkajene-Kepulauan untuk menemukan data tentang huruf dan sejarah
Sulawesi Selatan sebelum abad XIV.
2. JENIS LONTARAK
Lontarak-lontarak yang pernah ditemukan oleh Matthes dan _____ umumnya tidak
melebihi 50 halaman, kecuali Lontarak Sukkukna ______ yang rupanya belum pernah
dipelajari oleh para ahli Lontarak di _____ land, yang pernah penulid salin setelah 485
halaman; tiap-tiap halaman berukuran 35cm dan lebar 24cm dan terdiri atas 30 baris tulisan