Buletin Malaria 3
Buletin Malaria 3
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan Program eliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam
masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/
pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria menuju
hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna
Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas
Indonesia. dari penularan malaria sampai tahun 2030. Status
Indonesia masih tahap pertama yaitu pada eliminasi
Dalam rangka pengendalian penyakit malaria banyak hal malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar pada tahun 2010.
yang sudah maupun sedang dilakukan baik dalam skala
global maupun nasional. Malaria merupakan salah satu Untuk melihat sejauh mana perkembangan pengendalian
indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), penyakit malaria pada tulisan ini akan dibahas situasi
dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan epidemiologi dan upaya/program pengendalian malaria di
mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 Indonesia yang dilihat dari hasil survei dan laporan
yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan program malaria.
dan angka kematian akibat malaria. Global Malaria
Programme (GMP) menyatakan bahwa malaria A. SITUASI MALARIA DI INDONESIA
merupakan penyakit yang harus terus menerus dilakukan
pengamatan, monitoring dan evaluasi, serta diperlukan 1. Gambaran Berdasar Laporan Rutin Program
formulasi kebijakan dan strategi yang tepat. Di dalam GMP
ditargetkan 80% penduduk terlindungi dan penderita a. Stratifikasi Malaria
mendapat pengobatan Arthemisinin based Combination Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun
Therapy (ACT). Dan melalui Roll Back Malaria Partnership 2007 dapat dipantau dengan menggunakan indikator Annual
ditekankan kembali dukungan tersebut. Karena pentingnya Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan dengan kebijakan
penanggulangan Malaria, maka beberapa partner Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu
internasional salah satunya Global Fund, memberikan indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu
bantuan untuk pengendalian malaria. dengan API. Pada tahun 2007 kebijakan ini mensyaratkan
bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil
Dalam pengendalian malaria, yang ditargetkan penurunan pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus
angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. diobati dengan pengobatan kombinasi berbasis artemisinin
atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapies).
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana
Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi
dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi.
API dari tahun 2008 – 2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk. Bila dilihat per provinsi dari tahun
2008 – 2009 provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua Barat, NTT dan Papua terdapat 12 provinsi yang diatas angka API nasional.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit
yang ditargetkan untuk menurunkan angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka
kesakitan malaria (API) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga masih harus dilakukan upaya efektif untuk
menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000 penduduk dalam waktu 4 tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun
2014 tercapai.
b. Plasmodium
Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat beberapa jenis yaitu plasmodium falsifarum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae, plasmodium ovale dan yang mix atau campuran.
Pada tahun 2009 penyebab malaria yang tertinggi adalah plasmodium vivax (55,8%), kemudian plasmodium falsifarum,
sedangkan plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini berbeda dengan data riskesdas 2010, yang mendapatkan 86,4%
penyebab malaria adalah plasmodium falsifarum, dan plasmodium vivax sebanyak 6,9%.
Dari tahun 2006 – 2009 Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupaten/kota yang
terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada tahun 2009 , KLB dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera
Barat, Lampung) dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11 orang. KLB
terbanyak di pulau Jawa yaitu sebanyak 6 kabupaten/kota . Sebaran KLB dari tahun 2006 – 2009 dapat dilihat pada
Gambar 6 di bawah ini.
Sedangkan untuk jumlah pasien rawat inap yang keluar dari tahun 2004 - 2009 berfluktuatif dan pasien rawat inap
laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Masih dari data statistik rumah sakit, admission rate dari tahun 2004 – 2008 cenderung meningkat (Gambar 9). Pada tahun
2004 admision rate 1,19 meningkat menjadi 1,53 pada tahun 2008. Untuk rawat jalan tahun 2004 – 2006 pasien baru lebih
banyak laki-laki sedangkan tahun 2007 – 2008 pasien baru lebih banyak perempuan yang dapat dilihat pada gambar 9.
Dari hasil Riskesdas diperoleh Point prevalence malaria adalah 0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria
secara keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak (pola epidemiologi)
kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum (86,4%)
sedangkan sisanya adalah Plasmodium vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun data sebaran
parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah.
Menurut karakteristik umur, point prevalence paling tinggi adalah pada umur 5-9 tahun (0,9%), kemudian pada kelompok umur 1
-4 tahun (0,8%) dan paling rendah pada umur <1 tahun (0,3%). Sedangkan menurut period prevalence, prevalens paling tinggi
adalah pada kelompok umur >15 tahun (10,8%), nomor dua paling tinggi pada kelompok umur 1-4 tahun (10,7%) dan paling
rendah tetap pada umur <1 tahun (8,2%). Dari data diatas tampak kecenderungan kelompok yang berisiko tinggi terkena
malaria bergeser dari usia >15 tahun ke usia 1-4 tahun. Oleh karena itu perlu intervensi pencegahan malaria pada usia 1-4
tahun, memperkuat promosi anak dibawah lima tahun tidur dibawah kelambu berinsektisida serta menyediakan obat malaria
yang sesuai dengan umur balita.
Untuk karakteristik jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan, point prevalensi dan period prevalensi hampir
sama. Pada point prevalensi, prevalensi pada laki-laki sama dengan perempuan (0,6%), di perdesaan (0,8%) dua kali
prevalensi di perkotaan (0,4%). Kelompok pendidikan tidak tamat SD (0,7%) dan tidak pernah sekolah (0,8%) merupakan dua
kelompok yang paling tinggi prevalensinya dan kelompok tamat PT merupakan kelompok yang paling rendah prevalensinya
(0,2%). Kelompok “sekolah” dan petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi prevalensinya (masing-
masing 0,7%) sedangkan yang paling rendah adalah Pegawai/TNI/POLRI (0,3%).
Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Pada ibu, malaria dapat menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru,
gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin, dapat menyebabkan abortus, persalinan prematur, berat
badan lahir rendah, dan kematian janin.
Menurut Mass Blood Survei (MBS) pada tahun 2008 kasus infeksi pada ibu hamil yang terbanyak adalah Nusa Tenggara
Timur (624 orang), kemudian Maluku (455 orang). Secara absolut provinsi yang mempunyai kasus bumil malaria tertinggi
adalah NTT, namun provinsi yang mempunyai persentase kasus bumil malaria tertinggi adalah Sumatera Barat (6,36%) dan
Riau (2,24%) yang dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
18 19
25
17
11 22 20 5
25 14 13 21 8
9
16 2 10
16 6
14 15 12
23 15 21
21
1
24
1 22
3 20 17
20 20
16 4 7
21
24
Keterangan :
1. An.aconitus 6. An. flavirostris 11. An. ludlowi 16. An. sinensis
2. An.balabacensis 7. An. koliensis 12. An.maculates 17. An.subpictus
3. An.bancrofti 8. An.letifer 13. An.minimus 18 An.sundaicus
4. An.barbirostris 9. An.leucosphyrus 14.An.nigerrimus 19. An. vagus
5. An.farauti 10. An.karwari 15. An.punctulatus 20. An. umbrosus
21. An.tesellatus 22. An.parangensis 23.An. kochi 24.An.ludlowi
25.An.annullaris
Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di
persawahan, perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Vektor malaria yang berkembang biak di daerah persawahan
adalah An. aconitus, An. Annullaris, An. barbirostris, An. kochi, An karwari, An.nigerrimus, An.sinensis, An.tesellatus,
An.Vagus, An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di perbukitan/hutan adalah An.balabacensis, An.bancrofti,
An.punculatus, An.Umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai/aliran sungai jenis vekor malaria adalah An.flavirostris,
An.Koliensis, An.ludlowi, An.minimus, An.punctulatus, An.parangensis, An.sundaicus, An.subpictus.
Waktu aktivitas menggigit vektor malaria yang sudah diketahui yaitu jam 17.00-18.00, sebelum jam 24 (20.00-23.00), sete-
lah jam 24 (00.00-4.00).Vektor malaria yang aktivitas menggigitnya jam 17.00-18.00 adalah An.tesselatus, sebelum jam 24
adalah An.Aconitus, An.annullaris, An.barbirostris, An.kochi, An.sinensis, An.Vagus, sedangkan yang menggigit setelah jam
24 adalah An.farauti, An.koliensis, An.leucosphyrosis, An.unctullatus.
Perilaku vektor malaria seperti tempat berkembang biak dan waktu aktivitas menggigit ini sangat penting diketahui oleh
pengambil keputusan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan intervensi dalam pengendalian vektor yang lebih
efektif.
Indikator keberhasilan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 adalah menurunkan angka kesakitan
malaria dan kematian penyakit malaria, pada tahun 2015 menjadi 1 per 1.000 penduduk dari baseline tahun 1990 sebesar 4,7
per 1.000 penduduk. Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah target MDGs yaitu angka kematian malaria dan proporsi
balita yang tidur dalam perlindungan kelambu berinsektisida dan proporsi balita yang diobati.
1. Upaya pengendalian yang dilaporkan melalui Laporan Rutin Program
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam program pencegahan malaria seperti pemakaian kelambu, pengendalian
vektor.
a. Pemakaian Kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan penyakit malaria. Melalui bantuan Global Fund
(GF) komponen malaria ronde 1 dan 6 telah dibagikan kelambu berinsektisida ke 16 provinsi. Seperti terlihat pada gambar
16, kelambu dibagikan terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sedangkan di Sumatera Barat tidak ada laporan,
hal ini perlu dievaluasi untuk mengetahui penyebab tidak adanya laporan.
Cakupan kelambu berinsektisida yang dibagikan kepada penduduk yang berisiko malaria terbanyak pada tahun 2007 adalah di
Timor Leste (25,54%), tahun 2008 dan 2009 adalah Srilanka (23,21% dan 40,39%). Pada tahun 2009 cakupan kelambu di
Indonesia masuk sebagai 3 terendah di negara SEARO.
b. Pengendalian Vektor
Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk
penular malaria. Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan larviciding
(tindakan pengendalian larva Anopheles sp secara kimiawi, menggunakan insektisida), biological control ( menggunakan
ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan
penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/ indoors residual spraying) atau menggunakan kelambu
berinsektisida. Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective,
efisien, suntainable, affective dan affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang
beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan
peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam pengendalian vektor malaria.
Pada tahun 2009-2010, beberapa provinsi telah melaporkan bahwa seluruh kasus malaria klinis (100%) diperiksa sediaan da-
rahnya, pada tahun 2009 sebanyak 6 provinsi dan tahun 2010 sebanyak 3 provinsi. Gambar 19 dan 20 di bawah ini juga
menunjukkan adanya pemeriksaan sediaan darah pada malaria klinis yang melebihi 100% (tahun 2009 : papua; tahun 2010 =
Papua, NTB, Aceh), hal ini dapat terjadi karena data yang dilaporkan bercampur antara laporan/data rutin dan data survei.
Dari kondisi ini tampak perlu ada upaya yang dapat memvalidasi data laporan, serta perlu dibuat suatu standar sistem pencata-
tan dan pelaporan yang dapat memisahkan antara laporan rutin dan survei.
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009 Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Gambar 19. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2009 Gambar 20. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2010
Berdasarkan Gambar 22 dibawah ini terdapat 8 provinsi yang seluruh kasus malaria dengan pemeriksaan sediaan darah
positif yang diobati, yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Tengah dan
Gorontalo. Hal ini harus dipertahankan karena dengan pengobatan seluruh kasus malaria dengan sediaan darah positif dapat
memutus rantai penularan. Sedangkan untuk yang persentasinya rendah perlu dievaluasi apa yang menyebabkan rendahnya
penggunaan ACT, apakah karena ketidaktahuan petugas medis atau penolakan pasien mendapat obat ACT karena
keterbatasan pengetahuan/informasi tentang efek samping obat.
a. Riskesdas 2010
Salah satu upaya pengendalian penyakit malaria yang paling sering dan masih menjadi andalan adalah
pengobatan penderita. Pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga katagori, yaitu (1) jenis obat yang
diperoleh adalah ACT, (2) obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24 jam setelah sakit dan (3) dosis obat
diperoleh untuk 3 hari dan diminum seluruhnya. Persentase penderita (semua umur) yang memenuhi persyaratan
tersebut adalah 33,7% dan untuk balita 22,3% seperti tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Persentase Penderita Malaria Satu Bulan Terakhir dengan Pengobatan Artemisinin-based
Pengobatan efektif malaria dengan menggunakan Artemisinin-based menurut provinsi berkisar 0%- 81,9%, yang paling rendah
DI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara (0%) dan paling tinggi adalah Banten (81,9%). Di daerah-daerah dengan kasus malaria
tinggi (Papua, Papua Barat, NTT), kasus malaria mendapat pengobatan masih kurang dari 50% (Papua Barat 10,2%, NTT
11,8% dan Papua 44,4%), hal ini sangat menghambat program eliminasi malaria. Sebaliknya beberapa provinsi dengan
prevalensi malaria klinis rendah menunjukkan proporsi pengobatan dengan obat malaria yang cukup tinggi (>50%) seperti
Banten, Bali, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Riau dan Sulawesi Barat.
Bila dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2007, cakupan pengobatan malaria lebih tinggi (44,7%) dari cakupan pengobatan
Riskesdas tahun 2010 (33,7%). Hal ini karena pengobatan menurut Riskesdas tahun 2010 adalah pengobatan yang efektif
sesuai kategori yang telah disebutkan diatas, sedangkan pada Riskesdas tahun 2007 tidak dipersyaratkan.
Cakupan tertinggi pengobatan efektif malaria menurut adalah pada kelompok umur >= 15 tahun (35,5%). Cakupan pada laki-
laki (34,4%) lebih tinggi dari pada perempuan (32,8%). Cakupan di perkotaan (40,1%) lebih tinggi daripada di perdesaan
(30,8%). Kelompok pendidikan yang paling tinggi cakupannya adalah pada kelompok tamat SMP (41%) dan berangsur-angsur
menurun ke pendidikan lebih rendah dan lebih tinggi. Cakupan menurut pekerjaan tertinggi pada pekerjaan “lainnya” (52,8%)
dan terendah pada pegawai/TNI/Polri (25,2%).
Untuk mengendalikan malaria selain pengobatan sangat penting pencegahan terjadinya malaria. Salah satu pencegahannya
adalah dengan memakai kelambu sewaktu tidur. Besarnya persentase pemakaian kelambu (dengan dan tanpa insektisida)
nasional adalah 26,1 persen dengan kisaran menurut provinsi dari 0,8 persen di Bali sampai 84,6 persen di Sulawesi Barat.
Persentase pemakaian kelambu berinsektisida di seluruh Indonesia adalah 12,9 persen dengan kisaran menurut provinsi dari
0,6 persen di Sulawesi Selatan sampai 66,1 persen di Papua Barat yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Untuk mengetahui cara pencegahan malaria di masyarakat, kepada responden umur ≥ 15 tahun ditanyakan tentang
pencegahan malaria. Jawaban terbanyak adalah “memakai obat nyamuk bakar/elektrika” (57,6%), “tidur menggunakan
kelambu” (31,9%) dan yang paling sedikit adalah “minum obat pencegahan bila bermalam di daerah endemis malaria” (4,7%)
seperti yang terlihat pada Gambar 27 di bawah ini.
b. Survei Khusus
Pada tahun 1973 ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan
Timur. Sejak itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas. Sejak tahun 1990, dilaporkan telah
terjadi resistensi parasit P. falciparum terhadap klorokuin dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga
adanya kasus resistensi plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia. Dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Litbangkes dan Lembaga Penelitian lainnya telah ditemukan adanya resistensi
plasmodium vivax terhadap klorokuin di beberapa wilayah di Indonesia (Bangka, Papua). Keadaan ini perlu dicegah dengan
pengobatan yang tepat dan efektif sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria.
Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan melalui Dekonsentrasi yang dilakukan melalui gubernur dan
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 293/MENKES/SK/ instansi vertikal di daerah
IV/2009 tanggal 28 April 2009 bahwa upaya pengendalian Desentralisasi: yang dilakukan melalui daerah otonom
malaria dilakukan dalam rangka eliminasi malaria di Indo- serta desentralisasi fungsional kepada BUMN, otorita
nesia. dll
Tugas pembantuan: yang dilakukan melalui Pemerin-
Adapun pelaksanaan pengendalian malaria menuju tah daerah dan pemerintah desa.
eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna Negara kita merupakan negara kesatuan & negara hukum
terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dimana pemerintah membentuk daerah otonom dimana
dari penularan malaria sampai tahun 2030 dengan penyerahan setiap urusan yang didesentralisasikan diatur
tahapan sebagai berikut: secara hukum.
2010: Eliminasi malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar,
dimana seluruh sarana pelayanan kesehatan telah mampu Hubungan antara pusat dan daerah dalam era desen-
melakukan konfirmasi laboratorium kasus malaria yang tralisasi dan otonomi adalah sebagai berikut:
rendah. Koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan, dan sinergitas
2015: Pembebasan Jawa, Aceh dan Kepulauan Riau. kebijakan, program dan kegiatan penyelenggaraan
2020: Pembebasan Sumatera, NTB, Kalimantan, dan urusan pemerintahan
Sulawesi. Pemerintah Pusat akan melaksanakan pembinaan -
2030: Pembebasan Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku pengawasan, monitoring - evaluasi, supervisi dan
Utara, dan NTT Fasilitasi kepada Pemerintah Daerah
Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat melaksana-
Eliminasi malaria di daerah yang sudah rendah malarianya kan pembinaan-pengawasan, monitoring-evaluasi,
akan berhasil bila penanggulangan dilaksanakan secara supervisi dan fasilitas sesuai dengan PP 19/2010.
intensif yaitu dengan menambah tenaga terampil, mening-
Kabupaten/Kota melaksanakan otonomi daerah den-
katkan akses penderita terhadap pengobatan dan
gan memberikan pelayanan yang optimal.
pencegahan dan digunakan teknologi tepat guna yaitu
obat ACT setelah konfirmasi diagnosis, pengamatan kasus
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing
dan vektor yang intensif dan upaya memutuskan rantai
masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 kriteria:
penularan antara lain dengan penyediaan LLIN yang
1. Pusat : Berwenang membuat norma-norma, standar,
melindungi 80% penduduk sasaran. Ini perlu didukung
prosedur dan kriteria (NSPK), monitoring-evaluasi, su-
dengan komitmen yang kuat dari pemerintah setempat dan
pervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan den-
melibatkan masyarakat
gan eksternalitas Nasional.
2. Provinsi: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
Terdapat 4 tahapan dalam mencapai eliminasi malaria
urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional
yaitu tahap pemberantasan, tahap pra eliminasi, tahap
(lintas Kabupaten/Kota)
eliminasi dan tahap pemeliharaan.
3. Kab/Kota: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam
Setiap satuan wilayah berupa Kabupaten/Kota perlu
satu Kabupaten/Kota)
menilai tentang status wilayah terhadap tahapan eliminasi
tersebut diatas dalam merencakan kegiatan pengendalian Penanggulang Malaria dalam era otonomi dan desen-
yang sesuai diwilayah masing masing. trasasi:
Penanggulangan malaria dalam era otonomi dan
Desentralisasi dan otonomi di Indonesia desentralisasi dilakukan berdasarkan surat edaran
Desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan MENDAGRI No.443.41/465/SJ tentang Eliminasi Malaria di
kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang efektif, Indonesia yang telah dijabarkan sebagai berikut:
efisien, ekonomis yang akuntabel dalam memperkuat de-
mokrasi melalui pendidikan politik masyakarat sipil setem- Pemerintahan Daerah Provinsi
pat menuju masyarakat sejahtera. 1. Menyusun strategi penanggulangan malaria melalui
suatu komitmen yang dituangkan dalam perundangan
Strategi dan pendekatan pemerintah dalam mensejahtera- daerah sebagai penjabaran pedoman eliminasi malaria
kan masyarakat dilakukan melalui beberapa azas sebagai di Indonesia.
berikut: 2. Memberikan asistensi dan advokasi kepada Pemerintah
Tantangan eliminasi malaria di Indonesia: Indonesia berbatasan dengan negara2 yang mempu
Beberapa tantangan untuk mencapai eliminasi malaria di nyai tingkat endemisitas malaria yang tinggi antara
Indonesia tahun 2030 sebagai berikut: lain Timor Leste dan Papua New Guinea.
Adanya perbedaan tingkat endemisitas malaria di
Indonesia yang sangat bervariasi mulai dari yang
tinggi tingkat endemisitas sampai dengan tak adanya Tindak lanjut menuju eliminasi malaria di Indonesia:
penularan malaria yang tersebar menurut kabupaten, Dalam menuju eliminasi tahun 2030 diperlukan semua
kecamatan dan desa bahkan sampai ke dusun dan wilayah Kabupaten dan Kota dengan penularan malaria
satuan terkecil masyarakat di pedesaan/kelurahan. dapat bergerak bersama sama menyelesaikan permasala-
han malaria diwilayahnya sesuai dengan tahapan yang
Tersedianya nyamuk penular malaria yang cukup
ada. Untuk itu diperlukan tindak lanjut sebagai berikut:
banyak baik yang dipengaruhi sesuai habitat Asia,
Australia dan berada diantara kedua kawasan terse- Pelatihan tenaga di Propinsi untuk melakukan pe-
but. metaan tahapan eliminasi di Kabupaten/Kota
Infrastuktur kesehatan yang masih belum merata Melakukan pemetaan Kabupaten/kota untuk mengeta-
diberbagai daerah terutama di daerah yang sangat hui status dalam tahapan eliminasi.
terpencil dipedalaman maupun yang berada di kepu- Komitmen daerah dalam pelaksanaan tahapan taha-
lauan terpencil. pan pengendalian malaria di Kabupaten secara
Tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan kese- berkesinambungan.
hatan yang sangat berbeda menurut kemampuan Komitmen yang menyangkut kebijakan daerah yang
sumberdaya alam di masing masing wilayah. mendukung, perencanaan, alokasi penganggaran,
Sumberdaya tenaga kesehatan yang tersedia dan dukungan legislasi dan pengawasan, dukungan
ketrampilannya dalam mengelola program dan ke- swasta dan partisipasi masyarakat.
mampuan teknis guna mengeliminasi malaria.
Dukungan penelitian guna menopang kegiatan elimi-
nasi malaria yang masih lebih banyak berada di kawa-
san barat Indonesia.
Dukungan peraturan perundang-undangan menuju
eliminasi yang masih terbatas dalam mengarahakan
masyarakat untuk berperilaku mendukung upaya
eliminasi malaria di Indonesia.
Perpindahan penduduk yang cukup tinggi antar
daerah dan antar pulau yang mengakibatkan pengen-
dalian malaria perlu lebih waspada tentang jalur per-
pindahan penduduk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Laporan tahunan Direktorat PPBB tahun 2006, Direkorat PPBB, Depkes, 2007
2. Scalling Up LLIN for Prevention in Eastern Indonesia, Proposal Round Seven, Global Fund against TB, AIDS, Malaria,
2007
3. Pedoman Program Nasional Pengendaliaan Malaria di Indonesia (2007–2029), Direktorat Penegendalian Penyakit
Bersumber Binatang, Ditjen PP & LP, 2007
4. Bruce-Chwatt’s, Essential Malariology, third edition
5. First Annual Public Health Forum, Malaria –Waiting for the Vaccine, 1991, London School for Hygiene and Tropical
Medicine.
6. Emilio Pampana, Malaria Eradication, 1969
7. Drs. Faebuadodo Hia, M.Si, Kasubdit Lingkup IV Dit. UPD Ditjen Otda, Depdagri, Peran Pemerintah Daerah dalam Elimi-
nasi Malaria, Palangkaraya, 19 Agustus 2010.
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI, no 293/MENKES/SK/IV/2009, Eliminasi Malaria di Indonesia, 28 April 2009.
M
alaria masih merupakan penyakit infeksi yang resistensi dan mencegah timbulnya resistensi terhadap obat
menjadi perhatian WHO untuk dapat dilakukan primernya. Penggunaan artemisinin dipakai juga pada ma-
eradikasi disamping tuberkulosis dan HIV/AIDS. laria berat yaitu dengan menggunakan artesunate intra-
Sebagian besar daerah di Indonesia masih me- vena. Dengan tatalaksana baru malaria ini diharapkan akan
rupakan daerah endemik infeksi malaria, Indonesia bagian mendukung program pemerintah cq Kementerian Kese-
timur seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, hatan untuk melakukan eliminasi malaria dari bumi Indone-
Kalimantan dan bahkan beberapa daerah di Sumatra sia. Pengobatan yang dianjurkan ialah pengobatan yang
seperti Lampung, Bengkulu, Riau. Daerah di Jawa dan Bali efektif, radikal, membunuh semua stadium parasit yang ada
pun walaupun endemitas sudah sangat rendah, masih ser- di dalam tubuh. Tujuan pengobatan ini ialah penyembuhan
ing dijumpai letupan kasus klinis, parasitologik dan memu-
malaria, dan tentu saja hal ini tuskan rantai penularan.
disebabkan mudahnya trans-
portasi untuk mobilisasi pen- TATA LAKSANA KASUS MA-
duduk,sehingga sering menye- LARIA RINGAN/ TANPA
babkan timbulnya malaria im- KOMPLIKASI :
port. Perkembangan resistensi
pengobatan malaria terhadap Tatalaksana kasus malaria untuk
obat konvensional seperti plasmodium (P) falsiparum dan
klorokuin dan sulfadoksin- P.vivax pada dasarnya sama
pirimetamin telah melampaui yaitu memakai obat golongan
batas toleransi sehingga perlu ACT, perbedaan terjadi pada
diambil langkah-langkah baru pengobatan radikal, yaitu pe-
dalam pengobatan malaria. makaian primakuin pada P. fal-
Laporan resistensi pengobatan siparum dengan primakuin 45 mg/
malaria terhadap obat lama hari sebagai dosis tunggal dan
(klorokuin, sulfadoksin - pada P.vivaks primakuin dipakai
pirimetamin dan kina) dalam 10 dosis 15 mg ( 1 tablet) tiap hari
tahun terakhir memang meng- selama 14 hari.
kawatirkan, dimana terjadi lebih
dari 25% propinsi di Indonesia. Keadaan ini menyebabkan ACT yang tersedia di Indonesia ialah :
Kementerian Kesehatan melalui pertemuan- pertemuan Kombinasi Artesunate + Amodiakuin ( AS+AQ)
komisi ahli (KOMLI) malaria telah mengambil keputusan
untuk merubah strategi pengobatan malaria yakni dengan
Kombinasi Artemether – Lumefantrine (AL)
penggunaan obat ACT (artemisinin base combination treat- Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine (DHP )
ment). Hal ini seirama dengan pedoman WHO dimana se- Contoh penggunaan ACT (AS+AQ) pada malaria ringan/
cara global pengobatan malaria sudah dianjurkan untuk tanpa komplikasi. Artesunate + Amodiakuin ( 1 tablet ar-
berubah dengan penggunaan obat ACT. Seperti pada pen- tesunate 50 mg dan 1 tablet amodiakuin 200 mg (~ 153 mg
gobatan penyakit infeksi pada umumnya, kecenderungan basa). Dosis artesunate ialah 4 mg/kg BB/hari selama 3 hari
penggunaan obat kombinasi semakin kuat dalam mengatasi dan dosis amodiakuin ialah 10 mg/kg BB/hari selama 3 hari.
Obat ACT yang lain ialah kombinasi Artemeter-lumefantrine (Coartem). Merupakan kombinasi tetap ( fixed dose combination ),
dapat dipakai untuk malaria falsiparum dan malaria vivaks. Studi di Papua respon terhadap vivaks lebih rendah dibanding
kombinasi lainnya. Adapun dosis Coartem seperti pada tabel 2.
AL merupakan ACT yang disiapkan untuk sektor swasta sehingga obat ini tidak tersedia sebagai
obat program departemen kesehatan. AL, berisi Artemeter 20 mg dan lumefantrine 120 mg.
ACT yang relatif baru yaitu dihydroartemisinin + piperakuin (DHP). Kombinasi ini dipilih untuk mengatasi kegagalan kombinasi
sebelumnya yaitu artesunate + amodiakuin. Obat ini efektif untuk P. Falsiparum dan P.vivax, merupakan ACT yang dikemas
secara FDC dan diberikan sebagai dosis tunggal selama 3 hari. Obat ini disiapkan untuk program dan dipakai di Puskesmas/
RS pemerintah. Adapun dosisnya seperti pada table 3.
TATALAKSANA KASUS MALARIA BERAT bunuh parasit yang cepat dan menetap ii) efektif terhadap
parasit yang resisten, iii) memberikan perbaikan klinis yang
Malaria berat merupakan komplikasi dari infeksi malaria cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua
yang sering menimbulkan kematian. Faktor yang menye- bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan schizont
babkan perlangsungan menjadi berat ataupun kematian maupun bentuk-bentuk lain, vi) untuk pemakaian
ialah keterlambatan diagnosis, mis-diagnosis (salah diag- monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin juga
nose ) dan penanganan yang salah/ tidak tepat/ terlambat. menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat
Perubahan yang besar dalam penanganan malaria berat antimalaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang di per-
ialah pemakaian artesunate intravena untuk menurunkan gunakan parenteral untuk malaria berat yaitu artesunate,
mortalitas 34% dibandingkan dengan penggunaan kina. artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior diband-
Pengobatan malaria berat secara garis besar terdiri atas 3 ingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT,
komponen penting yaitu : artesunate telah dibandingkan dengan kina HCl, artesunate
menurunkan mortalitas 34.7%.
1. Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
2. Pengobatan supportif (termasuk perawatan umum dan a) Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral :
pengobatan simptomatik) i) ARTESUNATE INJEKSI ( 1 flacon = 60 mg), Dosis
3. Pengobatan terhadap komplikasi i.v 2,4 mg/kg BB/ kali pemberian.
(1) Pemberian intravenous : dilarutkan pada pela-
Pemberian obat anti malaria rutnya 1ml 5% bicarbonate dan diencerkan
Pemberian obat anti malaria(OAM) pada malaria berat ber- dengan 5-10 cc 5% dekstrose disuntikan bolus
beda dengan malaria biasa karena pada malaria berat intravena. Pemberian pada jam 0, 12 jam , 24
diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan ber- jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
tahan cukup lama di darah untuk segera menurunkan dera- penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4
jat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat mg/kgBB. Bila sadar diganti dengan tablet
per parenteral ( intravena, per infus/ intra muskuler) yang artesunate oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7
berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya resis- mulai pemberian parenteral. Untuk mencegah
tensi. rekrudensi dikombinasikan dengan doksisiklin 2
x 100 mg/hari selama 7 hari atau pada wanita
Derivat Artemisinin : hamil/ anak diberikan clindamisin 2 x 10 mg/kg
Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) BB. Pada pemakaian artesunate TIDAK
yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain memerlukan penyesuaian dosis bila gagal
yang multi resisten. Artemisinin mempunyai kemampuan organ berlanjut. Obat lanjutan setelah
farmakologik sebagai berikut, yaitu : i) mempunyai daya parenteral dapat menggunakan obat ACT .
(1) ARTEMETER i.m ( 1 ampul 80 mg ) Keputusan seorang dokter untuk menggunakan artesunate
Diberikan atas indikasi : i.v pada malaria berat sudah berkonstribusi untuk menu-
(a) Tidak boleh pemberian intravena/ infus runkan angka kematian. Hal ini lebih nyata pada keadaan
(b) Tidak ada manifestasi perdarahan ( purpura keperparasitemia. Masalah berikutnya ialah penanganan
dsb) terhadap kegagalan fungsi organ yang sering ialah fungsi
(c) Pada malaria berat di RS perifer/ Puskesmas ginjal dan paru.
Dosis artemeter : Hari I : 1,6 mg/kg BB tiap 12
jam, Hari-2 – 5 : 1,6 mg/kg BB.
Ringkasan :
Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan yang mendapat penanganan prioritas secara nasional dan global untuk
dilakukan eliminasi. Salah satu strategi untuk eliminasi ialah penanganan/ pengobatan yang tepat dan efektif. Saat ini Depart.
Kesehatan telah mensosialisasikan pengobatan baru untuk malaria dengan penggunaan obat ACT ( Artemisinin base Combina-
tion Therapy). Ada 3 jenis ACT yang tersedia di Indonesia ialah kombinasi Artesunate + Amodiaquine, Artemether-
Lumefantrine dan Dihydroartemisinin- Piperakuin. Untuk pengobatan malaria berat di pakai artesunate injeksi secara intra-vena.
Daftar Pustaka :
1. ACCESS : ACT NOW. To get malaria treatment that works in Afrika.Medicine Sans Frontieres, 2003
2. Gasem MH et all : Therapeutic efficacy of combination Artesunate plus Amodiaquine for uncomplicated malaria in Banjar-
negara district, Central Java. Proceeding Symposium of Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Sura-
baya, Novemver 29 – 30, 2004
3. Greenwood BM, Fidock DA, Kyle DE et all : Malaria : progress, perils, and prospects for eradication. Journal of Clin. In-
vest, 2008 ; 118 : 1266 – 1276.
4. Hasugian AR, Purba HL, Kenangalem E et all : Didydroartemisinin-piperaquine versus Artesunate-amodiaquine : superior
efficacy and posttreatment prophylaktis against multidrug-resistant Plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria.
Clin Infect Dis. 2007; 44(8): 1075-7.
5. Inge Sutanto : Penggunaan artesónate-amodiaquine sebagai obat pilihan malaria di Indonesia. Proceeding Symposium of
Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Surabaya, Novemver 29 – 30, 2004
6. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et all : Two fexd-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and
vivax malaria in Papua Indonesia : an open-label randomized comparison. Lancet 2007; 369(9563): 757-65,
7. RBM : ACT : the way forward for treating Malaria. http://www.rbm.who.int/cmc_upload/0/000/015/364/RBInfosheet_9.htm
8. South East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT) Group. Artesunate versus quinine for treatment of
severe falciparum malaria : a randomized trial. Lancet 2005; 366: 717-725.
9. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and complicated malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 1990; 84 (suppl. 2):
1-65.
10. White NJ : Qinghaosu (Artemisinin): The Price of Success. Science, 2008 ; 320 : 330 - 334
11. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. WHO Geneve 2006.
12. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. Second edition WHO Geneve 2010
13. WHO : The Use of Artemisinin & its derivates as Anti-Malarial Drugs. Report of a joint CTD/DMP/TDR Informal Consulta-
tion, Geneve, 10 -12 June 1998
14. WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation. Geneve 4-5 April 2001
1.Berat badan lahir < 2500 gram tanpa memperhatikan umur kehamilan. BBLR meliputi bayi dengan pertumbuhan Janin terhambat ataupun kelahiran premature.
2Kematian janin pada masa gestasi 22 minggu, atau berat janin 500 gr, sampai dengan 7 hari setelah lahir.
Patogenesis terjadinya efek buruk pada janin dihubungkan dengan malaria pada plasenta [5, 22, 24, 27]. Sedangkan
dengan insufisiensi plasenta akibat infeksi dan respons di daerah dimana baik P. falciparum dan P. vivax sama-
inflamasi sistemik. Terjadinya BBLR dihubungkan dengan sama prevalen, efek malaria terhadap prematuritas dan
terdapatnya obstruksi mekanik parasit malaria yang me- kematian perinatal dikaitkan dengan efek sistemik malaria,
nempel pada reseptor Chondroitin Sulphate A (CSA) di seperti panas dan anemia [4, 6, 18].
syncytiotrophoblast plasenta yang menyebabkan gang-
guan sirkulasi dari ibu ke janin [25] dan berdampak terha- Penelitian mengenai efek infeksi P. falciparum terhadap
dap transport oksigen dan nutrisi [26]. Selain itu respons kehamilan sudah banyak dilakukan sedangkan data men-
inflamasi terhadap malaria juga dapat menyebabkan penu- genai infeksi P. vivax masih terbatas, sementara itu diselu-
runan berat badan lahir. TNF (tumor necrosis factor) α, IFN ruh dunia terdapat 92 juta ibu hamil yang hidup didaerah
(interferon) γ dan IL (interleukin)-8 –T cells helper tipe 1– endemis P. vivax dengan 59 juta bayi baru lahir yang ber-
diketahui dapat menyebabkan vasodilatasi yang akan irisiko terkena efek samping malaria vivax pada kehamilan
mempengaruhi hemodinamika utero plasental dan penu- [12]. Pendapat terdahulu yang menganggap infeksi P.
runan perfusi darah ke plasenta dan janin nya [26]. vivax tidak berbahaya adalah tidak benar, karena P. vivax
dalam kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
Didaerah dimana infeksi P. falciparum sangat prevalen, terkena anemia dan BBLR [6, 19, 20].
kelahiran prematur dan kematian perinatal dihubungkan
3. Penanggulangan malaria pada kehamilan yai angka kegagalan yang tinggi untuk mengobati malaria
falciparum di Afrika dan di daerah Asia Pasifik [8-10]. Se-
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan
mentara itu resistensi obat terhadap P. vivax malaria juga
tiga strategi penanggulangan malaria pada kehamilan
sudah menyebar [11]. Meskipun kina masih efektif untuk
yaitu: deteksi dini dan pengobatan malaria yang efektif,
digunakan sebagai antimalaria namun mengalami masalah
pencegahan malaria secara intermiten dengan mengguna-
dalam kepatuhan berobat, karena harus diminum selama 7
kan SP dan penggunaan kelambu berinsektisida [2, 28]}.
hari, 3 kali sehari [9]. Disamping itu, rasa pahit kina juga
Namun terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi menghambat kepatuhan. Di Timika (Papua), angka kega-
efektifitas strategi ini. Pertama, semakin menyebarnya galan pengobatan malaria dengan menggunakan klorokuin
parasit yang resisten terhadap obat malaria lama (klorokuin dan SP dan kina tanpa supervisi adalah tinggi dengan
dan SP). Kedua, diagnosis malaria pada kehamilan adalah angka kegagalan pada hari ke 28 mencapai 65% setelah
sulit, karena parasit malaria dapat menempel semua di pengobatan malaria vivax dengan klorokuin dan 48% sete-
plasenta tanpa ditemukan parasit sama sekali di dalam lah menggunakan klorokuin dan SP untuk falciparum ma-
darah tepi [27, 29]. Terakhir, malaria tanpa gejala pada laria dan 67% setelah kina tanpa supervisi [9].
kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada ibu dan
Rekomendasi pengobatan malaria pada kehamilan teru-
janinnya [5, 6, 17].
tama berdasarkan pendapat ahli ataupun bukti yang terba-
Selain itu, sebagian besar penelitian mengenai program tas. Hal ini disebabkan karena pada penelitian obat, ibu
penanggulangan malaria terutama menyangkut infeksi P. hamil selalu dieksklusi. Sementara itu, karena kondisi ke-
falciparum. Sementara masih sedikit yang diketahui ten- hamilannya, sangat mungkin terdapat modifikasi dari far-
tang penanggulangan infeksi P. vivax. Perbedaan pato- makokinetik obat antimalaria sehingga dibutuhkan penye-
genesis dari kedua infeksi tersebut sangat memungkinkan suaian dosis [30]. Oleh sebab itu data klinis dan farmakoki-
untuk diperlukan pendekatan yang berbeda. netik obat antimalaria pada ibu hamil amat sangat diperlu-
kan [30]. Walaupun demikian mengingat dampak buruk
3.1. Deteksi dini dan pengobatan yang efektif malaria pada kehamilan, WHO tetap merekomendasikan
Deteksi dini dan pemberian obat antimalaria yang efektif penggunaan terapi kombinasi artemisinin (Artemisinin com-
akan mengurangi risiko efek buruk malaria pada kehamilan bination therapy) sebagai lini pertama untuk pengobatan P.
[8, 30]. Metoda pemeriksaan malaria dengan mikroskop falciparum dan P. vivax yang telah resisten klorokuin pada
merupakan cara yang paling banyak dipakai. Namun cara ibu hamil trimester kedua dan tiga [8].
ini membutuhkan tenaga mikroskopis yang berpengala-
man. Sebagai alternatif, Rapid Diagnostic Test (RDT) da- 3.2 Kelambu berinsektisida
pat digunakan pada tempat-tempat dengan sumber daya Penggunaan kelambu berinsekstisida pada ibu hamil di
dan fasilitas yang terbatas [31]. Afrika adalah efektif untuk mengurangi kejadian malaria
pada plasenta, malaria perifer pada semua kehamilan
Di daerah endemis malaria, seringkali semua parasit P.
serta penurunan angka kejadian BBLR, lahir mati dan
falciparum menempel di plasenta dan tidak ditemukan
keguguran pada kehamilan 1 sampai 4 saja [35]. Data
parasit dalam darah tepi sama sekali [27, 29]. Hasil peneli-
efikasi kelambu berinsektisida di Asia (daerah dengan
tian menunjukkan bahwa RDT yang mendeteksi antigen
transmisi P. falciparum dan P. vivax) masih sangat terba-
HRP-2 pada darah perifer adalah lebih sensitif untuk men-
tas. Penggunaan kelambu berinsektisida pada ibu hamil di
deteksi malaria falciparum pada plasenta (sensitivitas 80-
Asia dihubungkan dengan penurunan risiko mengalami
89%) [29, 32] jika dibandingkan dengan test yang mende-
lahir mati atau keguguran pada semua kehamilan namun
teksi enzim Lactate Dehydrogenase parasit (sensitivitas
tidak berefek terhadap BBLR [36].
38%) [33]. Dipihak lain, test untuk mendeteksi antigen HRP
-2 mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi jumlah
3.3. Pencegahan malaria secara intermiten
parasit yang rendah (<100 parasites/mL) dengan sensitivi-
tas hanya 88% [34]. Sensitivitas RDT untuk mendeteksi Pencegahan malaria secara intermiten adalah memberikan
infeksi non falciparum malaria adalah sangat rendah (50- obat antimalaria dengan dosis kuratif tanpa melalui konfir-
52%) [34], sehingga mikroskopis masih merupakan pilihan masi dan diberikan dengan interval yang telah ditentukan
yang terbaik. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan [37].
RDT tetap lebih baik daripada tidak dilakukan deteksi ma-
laria sama sekali. Pemberian obat pencegahan malaria dapat dilakukan se-
cara mingguan ataupun intermittent. Di Perbatasan Thai-
Obat antimalaria pada kehamilan land dan Burma, profilaksis malaria mingguan pada ibu
Obat antimalaria yang lama, seperti Cq dan SP mempun- hamill
hamil dengan menggunakan Mefloquine yang dimulai hamil tersebut, 70% diantaranya tidak mempunyai gejala
dalam masa kehamilan 20 minggu adalah efektif untuk sama sekali. Primigravida mempunyai risiko lebih tinggi
mencegah malaria falciparum dan vivax [38]. Hasil peneli- untuk terkena malaria (OR=1,3 [95%CI, 1,2-1,6],p<0,001),
tian di Kenya menunjukkan bahwa efektifitas pemberian namun multigravida pun mempunyai risiko yang hampir
SP secara mingguan ataupun intermitent adalah sama sama untuk terkena malaria.
efektif nya untuk mengurangi kejadian malaria plasenta
[39]. Oleh sebab itu untuk alasan kepraktisan WHO mere- Malaria pada kehamilan, walaupun tanpa gejala, dihubung-
komendasikan penggunaan satu dosis SP pada kehamilan kan dengan efek buruk pada ibu hamil dan juga janinya.
trimester dua dan satu dosis lagi pada awal trimester Malaria falciparum merupakan faktor risiko untuk terjadinya
ketiga untuk semua ibu hamil tanpa melihat paritas [40]. anemia berat (OR=2,8 [95%CI, 2,1-3,7], p<0,0001), se-
dangkan malaria vivax dihubungkan dengan anemia se-
Dalam kurun waktu 10 tahun setelah penggunaan dang (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,0], p=0,006 ). Baik infeksi P.
pencegahan malaria dengan menggunakan SP ditetapkan, falciparum (OR=2 [95%CI, 1,6-2,6], p<0.001) maupun P.
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencegahan vivax (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,1], p=0,01) dihubungkan
dengan SP adalah efektif untuk mengurangi risiko malaria dengan risiko mempunyai bayi dengan berat lahir rendah.
plasenta dan/atau BBLR [39, 41]. Namun, dengan ting- Malaria dalam kehamilan merupakan faktor risiko inde-
ginya resistensi terhadap SP, maka penggunaan SP dapat penden untuk terjadinya kelahiran prematur (AOR=1,4
sangat mengurangi efektifitas dari program [42]. Oleh se- [(95%CI, 1,1-1,7], p=0,005). Infeksi P. falciparum di-
bab itu perlu untuk segera dicari obat antimalaria alternatif hubungkan dengan risiko tinggi untuk mengalami kematian
yang dapat menggantikan SP [37]. perinatal (OR=2.9 [95%CI: 1.9-4.2], p<0.0001), demikian
juga ibu dengan anemia berat (OR=2.6 [95%CI,1.7-3.8],
p<0.0001). Kejadian malaria kongenital adalah 1%
4. Skrining malaria pada kehamilan dan pengobatan
(32/4268) dari kelahiran hidup.
yang efektif
Melihat hal tersebut diatas, malaria skrining atau deteksi Masalah resistensi obat yang tinggi di Timika, juga meru-
dini malaria pada kehamilan tanpa melihat gejala dan pem- pakan ancaman bagi kondisi kesehatan ibu hamil dengan
berian obat yang efektif merupakan pilihan terbaik yang malaria. Sampai bulan Maret 2006, pengobatan malaria
ada saat ini. Skrining malaria mingguan telah diterapkan di pada ibu pada kehamilan trimester 2 dan 3 di Timika masih
kamp pengungsi di perbatasan Thailand dan Burma dan menggunakan klorokuin dan kina. Berdasarkan hasil
terbukti dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penelitian efikasi obat malaria baru yang dilakukan di
malaria dalam kehamilan [13]. Namun pencegahan ming- Timika, maka mulai Maret 2006 protokol pengobatan ma-
guan dianggap kurang relevan dengan kebanyakan kondisi laria lini pertama diubah menjadi dihydroartemisinin
di daerah endemis malaria lain, sehingga perlu dipikirkan piperaquine (DHP, salah satu bentuk ACT) yang terbukti
untuk mencari interval pemeriksaan yang paling efektif. sangat efektif untuk mengobati baik malaria falciparum
Berikut adalah pengalaman penanganan malaria dalam maupun vivax [43]. Mengingat terbatasnya pilihan obat
kehamilan di Timika (Papua) dengan metode skrining ma- antimalaria, DHP juga direkomendasikan untuk pengo-
laria dan pengobatan malaria yang efektif bagi semua ibu batan malaria tanpa komplikasi pada ibu hamil trimester ke
hamil yang akan melahirkan di rumah sakit. dua dan tiga kehamilan. Sebagai informasi, Timika meru-
pakan tempat yang pertama di dunia yang menggunakan
Malaria dalam kehamilan di Timika: Peran deteksi dini DHP sebagai lini pertama pengobatan pada ibu hamil tri-
dan pengobatan yang efektif mester 2 dan 3.
Malaria pada ibu hamil dan bayi merupakan masalah kese- Selama periode observasi, kami mempunyai 1160 data
hatan di Timika, Papua. Baik ibu hamil dengan malaria pengobatan DHP terhadap ibu hamil dengan malaria, yang
falciparum maupun vivax, semuanya dihubungkan dengan mana 765 ibu hamil mendapatkan pengobatan malaria
efek buruk pada kehamilan. Mulai bulan April 2004 sampai saat dirawat di RSMM dan 395 ibu hamil mempunyai ri-
dengan September 2008, semua ibu hamil yang masuk wayat pengobatan malaria dengan DHP selama kehami-
dibagian kebidanan RS Mitra Masyarakat (RSMM) diambil lannya yang sekarang. Dari hasil pengamatan kami, peng-
data klinisnya serta diperiksa malaria dalam darahnya gunaan DHP tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko
tanpa melihat gejala. efek samping yang merugikan kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malaria Pada ibu hamil yang mendapatkan DHP saat dirawat di
pada ibu hamil dan melahirkan adalah tinggi (18%, RSMM, tidak didapatkan kematian neonatus pada 3 hari
808/4419) dan 60% disebabkan oleh P. falciparum, 32% P. pertama kehidupan (0/107) sementara angka kematian
vivax, 4,5% infeksi campuran dan 3,5% lain-lain. Dari ibu bayi pada ibu hamil yang mendapatkan kina oral tanpa
supervisi adalah 6,5% (3/46), p=0,026. Selain itu, tidak Daftar Pustaka
didapatkan peningkatan risiko terjadinya malformasi kon- 1. WHO. World Malaria Report 2008. Geneva, 2008.
genital pada ibu dengan riwayat pengobatan DHP (IR=0 2. WHO. World Malaria Report 2009. Geneva, 2009.
[95%CI, 0-20]) selama kehamilan dibandingkan dengan ibu 3. Desai M, ter Kuile FO, Nosten F, et al. Epidemiology
dengan riwayat pengobatan dengan kina atau klorokuin and burden of malaria in pregnancy. Lancet Infect Dis
(IR=15 [95%CI, 0,4-80]), p=0,515. 2007 Feb;7(2):93-104.
Ibu dengan riwayat pengobatan malaria dengan kina mem- 4. Luxemburger C, McGready R, Kham A, et al. Effects of
punyai risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria saat malaria during pregnancy on infant mortality in an area
melahirkan (OR=2,7 [95%CI 1,94-3,76], p<0,001,) kema- of low malaria transmission. Am J Epidemiol 2001 Sep
tian perinatal (OR=3,25 [95%CI 1,20-8,78], p=0,020) dan 1;154(5):459-65.
malaria kongenital (OR=15,88 [95%CI, 2,19-324,32], 5. van Geertruyden JP, Thomas F, Erhart A, D'Alessan-
p=0,001) jika dibandingkan dengan ibu dengan riwayat dro U. The contribution of malaria in pregnancy to peri-
pengobatan dengan DHP selama kehamilan. natal mortality. Am J Trop Med Hyg 2004 Aug;71(2
Suppl):35-40.
6. Poespoprodjo JR, Fobia W, Kenangalem E, et al. Ad-
5. Kesimpulan dan Saran verse pregnancy outcomes in an area where multidrug-
1. Malaria dalam kehamilan merupakan masalah kese- resistant plasmodium vivax and Plasmodium falcipa-
hatan yang serius dan dihubungkan dengan tingginya rum infections are endemic. Clin Infect Dis 2008 May
angka kematian ibu dan bayi didaerah endemis ma- 1;46(9):1374-81.
laria. Strategi penanggulangan malaria dalam kehami- 7. Brabin BJ. Congenital malaria--a recurrent problem.
lan yang ideal adalah disesuaikan dengan tingkat Ann Trop Paediatr 2007 Jun;27(2):95-8.
endemisitas dan kondisi epidemiologis masing-masing 8. WHO. Guidelines for the treatment of malaria. Geneva,
daerah. 2006.
2. Sesuai rekomendasi WHO, deteksi dini dan pengo- 9. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et al. Thera-
peutic response of multidrug-resistant Plasmodium
batan yang efektif berarti adalah menggunakan ACT
falciparum and P. vivax to chloroquine and sulfadoxine-
untuk mengobati malaria tanpa komplikasi dan peng-
pyrimethamine in southern Papua, Indonesia. Trans R
gunaan artesunat intravena untuk menangani malaria
Soc Trop Med Hyg 2007 Apr;101(4):351-9.
berat pada ibu hamil trimester kedua dan tiga.
10. Wongsrichanalai C, Pickard AL, Wernsdorfer WH,
3. Tingginya resistensi parasit terhadap SP, membuat Meshnick SR. Epidemiology of drug-resistant malaria.
program pencegahan malaria dengan menggunakan Lancet Infect Dis 2002 Apr;2(4):209-18.
SP menjadi tidak efektif, sehingga skrining malaria 11. Baird JK, Schwartz E, Hoffman SL. Prevention and
intermiten dan pengobatan yang efektif merupakan treatment of vivax malaria. Curr Infect Dis Rep 2007
salah satu pilihan terbaik saat ini untuk menanggu- Jan;9(1):39-46.
langi malaria dalam kehamilan. 12. Dellicour S, Tatem AJ, Guerra CA, Snow RW, ter Kuile
4. Hasil penelitian kami di Timika menunjukkan bahwa FO. Quantifying the number of pregnancies at risk of
skrining malaria dengan mikroskopis pada setiap kon- malaria in 2007: a demographic study. PLoS Med
tak dengan ibu hamil dan memberikan pengobatan 2010;7(1):e1000221.
yang efektif dapat mengurangi risiko efek buruk ma- 13. Nosten F, ter Kuile F, Maelankirri L, Decludt B, White
laria dalam kehamilan. Ditempat dengan sumber daya NJ. Malaria during pregnancy in an area of unstable
yang terbatas, RDT (tes HRP-2 ataupun kombinasi endemicity. Trans R Soc Trop Med Hyg 1991 Jul-
dengan enzim aldolase untuk mendeteksi malaria non Aug;85(4):424-9.
falciparum) dapat dipakai sebagai alat skrining alter- 14. Steketee RW, Nahlen BL, Parise ME, Menendez C.
natif yang cukup sensitif terutama untuk mendeteksi The burden of malaria in pregnancy in malaria-endemic
malaria falciparum. areas. Am J Trop Med Hyg 2001 Jan-Feb;64(1-2
5. Untuk mencapai hasil yang optimal, masih perlu dikaji Suppl):28-35.
interval skrining yang paling efektif didaerah dengan 15. Brabin BJ, Hakimi M, Pelletier D. An analysis of anemia
sarana terbatas yang dapat mengurangi dampak bu- and pregnancy-related maternal mortality. J Nutr 2001
ruk malaria dalam kehamilan. Feb;131(2S-2):604S-14S; discussion 14S-15S.
16. Guyatt HL, Snow RW. Malaria in pregnancy as an indi-
rect cause of infant mortality in sub-Saharan Africa.
Trans R Soc Trop Med Hyg 2001 Nov-Dec;95(6):569-
76.
17. McGregor IA. Epidemiology, malaria and pregnancy.