Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL KEGIATAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


PERILAKU KEKERASAN
DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Dosen Pembimbing :
Dr. Hanik Endang Nihayati S.Kep.Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 2

1. Desti Nayunda Lulu, S.Kep 132113143083


2. Icca Cahya Ningrum, S.Kep 132113143086
3. Ayu Hazrina, S.Kep 132113143090
4. Meilinda Galih Setyowati, S.Kep 132113143092
5. Aulia Yumroatul Jannah, S. Kep 132113143096
6. Hilmy Ghozi Alsyafrud, S.Kep 132113143097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
PROPOSAL
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
PERILAKU KEKERASAN
DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA
Surabaya, 27 Desember 2021

Sekretaris
Ketua Panitia
Satuan Acara Penyuluhan
Satuan Acara Penyuluhan

Aulia Yumroatul Jannah, S. Kep Meilinda Galih S, S.Kep


NIM. 132113143096 NIM. 132113143092

Pembimbing Klinik Dosen Pembimbing


Satuan Acara Penyuluhan Satuan Acara Penyuluhan

Tri Darmi Herawati, S.Kep.Ns., M.Kes Dr. Hanik Endang Nihayati S.Kep.Ns., M.Kep
NIP. 197606162014092006

Mengetahui,
Kepala Ruang Gelatik
Rumah Sakit Jiwa Menur

Iskandar, S.Kep.Ns
NIP. 197601141997031003
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
PERILAKU KEKERASAN
DI RUMAH SAKIT JIWA MENUR SURABAYA

Bidang Studi : Keperawatan Jiwa


Tema : Kontrol Perilaku Kekerasan
Sasaran : Pasien di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya
Tempat : Ruang Gelatik
Waktu : 09.00-09.45 WIB (45 menit)
Hari/Tanggal : Selasa, 28 Desember 2021
Pelaksana : Mahasiswa Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga

I. Pengertian
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama
( Stuart & Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai
latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti
agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,
dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok,
ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang
berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.

II. Tujuan
Tujuan teapi aktivitas kelompok adalah membantu anggotanya
berhubungan dengan orang lain serta mengubah prtilaku ynag destruktif
dan maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada konstribusi dari setiap
anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagai pengalaman dan saling
membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan
hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang
adaptif. Anggota kelompok merasa memiliki diakui, dan dihargai
eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain.
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam
rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan
tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri peningkatan
hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
Terapi aktivitas kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan yaitu,
stimulasi sensoris, orientasi realita, dan sosialisasi. Terapi aktivitas
kelompok dibagi empat yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas terapi aktivitas stimulasi realita, dan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi.

III. Kriteria Pasien


Kriteria pasien sebagai anggota yang mengikuti terapi aktifitas
kelompok iniadalah:
a. Klien dengan riwayat perilaku kekerasan.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif
atau mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative)

IV. Pengorganisasian
a. Leader, bertugas:
1. Mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2. Memimpin jalannya terapi kelompok
3. Memimpin diskusi.
b. Co-Leader, bertugas :
1) Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang.
3) Membantu memimpin jalannya kegiatan.
4) Menggantikan leader jika terhalang tugas.
c. Fasilitator, bertugas:
1. Memotivasi peserta dalam aktivitas kelompok.
2. Memotivasi anggota dalam ekspresi perasaan setelah kegiatan.
3. Membimbing kelompok selama permainan diskusi.
4. Membantu leader dalam melaksanakan kegiatan.
5. Bertanggungjawab terhadap program antisispasi masalah.
d. Observer, bertugas :
1. Mengobservasi persiapan dan pelaksanaan TAK dari awal sampai
akhir.
2. Mencatat semua aktivitas dalam terapi aktivitas kelompok.
3. Mengobservasi perilaku pasien

V. Setting

Keterangan :
: Leader
: Co-leader + Observer
: Fasilitator
: Klien

VI. Peserta
Peserta yang diambil sebanyak 6 orang dengan indikasi pasien yang
pernah melakukan Perilaku Kekerasan tetapi sedang dalam keadaan tenang.
A. Terapi Stimulasi Persepsi :
Sesi 1: Mengenal Perilaku Kekerasan yang Biasa Dilakukan
A. Tujuan :
1. Klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab kemarahannya.
2. Klien dapat menyebutkan respon yang dirasakan saat marah (tanda dan
gejala marah).
3. Klien dapat menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah (perilaku
kekerasan).
4. Klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan
B. Setting :
1. Terapis dan klien dapat duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan nyaman dan tenang
C. Alat :
1. Kertas kosong
2. Bolpoin/spidol
3. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader
2. Co-leader
3. Observer
4. Fasilitator
A. Metode :
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran/ simulasi
B. Langkah kegiatan :
1. Persiapan
a. Memilih klien perilaku kekerasan yang sudah kooperatif
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai kertas kosong).
3) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri kertas kosong)
b. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
2) Menanyakan masalah yang dirasakan
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
2) Menjelaskan aturan main berikut
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
minta izin kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan penyebab marah.
1) Tanyakan pengalaman tiap klien
2) Tulis di kertas yang telah disediakan
b. Mendiskusikan tanda dan gejala yang dirasakan klien saat terpapar
oleh penyebab marah sebelum perilaku kekerasan terjadi.
1) Tanyakan perasaan tiap klien saat terpapar oleh penyebab (tanda
dan gejala)
2) Tulis di kertas yang telah disediakan
c. Mendiskusikan perilaku kekerasan yang pernah dilakukan klien
(verbal, merusak lingkungan, mencederai/memukul orang lain,
memukul diri sendiri)
1) Tanyakan perilaku yang dilakukan saat marah.
2) Tulis di kertas yang telah disediakan
d. Membantu klien memilih salah satu perilaku kekerasan yang paling
sering dilakukan untuk diperagakan
e. Melakukan bermain peran/ simulasi untuk perilaku kekerasan yang
tidak berbahaya (terapis sebagai sumber penyebab dan klien yang
melakukan perilaku kekerasan).
f. Menanyakan perasaan klien setelah selesai bermain peran /simulasi.
g. Mendiskusikan dampak/akibat perilaku kekerasan
1) Tanyakan akibat perilaku kekerasan.
2) Tulis di kertas yang telah disediakan
h. Memberikan reinforcement pada peran serta klien.
i. Dalam menjalankan a sampai h, upayakan semua klien terlibat.
j. Beri kesimpulan penyebab; tanda dan gejala; perilaku kekerasan dan
akibat perilaku kekerasan.
k. Menanyakan kesediaan klien untuk memepelajari cara baru yang sehat
menghadapi kemarahan.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Memberikan reinforcement positif terhadap perilaku klien yang
positif.
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan klien menilai dan mengevaluasi jika terjadi penyebab
marah, yaitu tanda dan gejala; perilaku kekerasan yang terjadi; serta
akibat perilaku kekerasan.
2) Menganjurkan klien mengingat penyebab ; tanda dan gejala; perilaku
kekerasan dan akibatnya yang belum diceritakan.
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati belajar cara baru yang sehat untuk mencegah perilaku
kekerasan.
2) Menyepakati waktu dan TAK berikutnya.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan
sesi 1, kemampun yang diharapkan adalah mengetahui penyebab perilaku,
mengenal tanda dan gejala, perilaku kekerasan yang dilakukan dan akibat
perilaku kekerasan. Formlir evaluasi sebagai berikut.

Memberi tanggapan tentang Skor

No Nama Klien Penyebab PK


Tanda& Gejala Perilaku
Akibat PK
PK Kekerasan

Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
2. Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan mengetahui penyebab
perilakuk kekerasan, tanda dan gejala dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan dan akibat perilaku kekerasan. Beri tanda √ jika klienmampu dan
tanda x jika klien tidak mampu.
Sesi 2: Mencegah Perilaku Kekerasan Secara Fisik

A. Tujuan :
1. Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
2. Klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku
kekerasan.
3. Klien dapat mendemonstrasikan dua kegiatan fisik yang dapat mencegah
perilaku kekerasan.
B. Setting :
1. Terapis dan klien dapat duduk bersama dalam lingkaran
2. Ruangan nyaman dan tenang
C. Alat :
1. Bantal
2. Kertas kosong
3. Buku catatan dan bolpoin
4. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader
2. Co-leader
3. Observer
4. Fasilitator
E. Metode :
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran/ simulasi
F. Langkah kegiatan :
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut sesi 1.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien
2) Klien dan terapis memakai papan nama
b. Evaluasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini
2) Menanyakan apakah ada kejadian perilaku kekerasan:
penyebab, tanda gejala,
perilaku kekerasan, serta akibatnya.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu secara fisik untuk mencegah
perilaku
Kekerasan
2) Menjelaskan aturan main berikut
 Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus
minta izin kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan oleh klien.
1) Tanyakan kegiatan: rumah tangga, harian, dan olahraga yang biasa
dilakukan klien.
2) Tulis di kertas yang telah disediakan.
b. Menjelakan kegiatan fisik yang dapat digunakan untuk menyalurkan
kemarahan secara sehat: napas dalam, menjemur/ memukul kasur/
memukul bantal, menyikat kamar mandi, main bola, senam, dan
memukul gendang.
c. Membantu klien memilih dua kegiatan yang dapat dilakukan.
d. Bersama klien mempraktikkan dua kegiatan yang dipilih.
1) Terapis mempraktikkan
2) Klien mempraktikkan ulang
e. Menanyakan perasaan klien setelah mempraktikkan cara penyaluran
kemarahan.
f. Memberikan pujian kepada peran serta klien.
g. Upayakan semua klien berperan aktif
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2) Menanyakan ulang cara baru yang sehat untuk mencegah PK
b. Tindak lanjut
1) Menganjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari jika
menghadapi stimulus penyebab PK
2) Menganjurkan klien melatih secara teratur cara yang telah
dipelajari.
3) Memasukkan pada jadwal kegiatan harian klien.
c. Kontrak yang akan datang
1) Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu interaksi sosial
yang asertif.
2) Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya
pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan
sesi 2, kemampun yang diharapkan adalah 2 kemampuan mencegah
perilaku kekerasan secara fisik. Formulir evaluasi sebagai berikut

No. Mempraktikkan cara Mempraktikkan cara


Nama Klien Skor
fisik 1 fisik 2

Petunjuk:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien
Untuk tiap klien, beri penilaian tentang kemampuan mempraktikkan dua cara fisik
untuk mencegah perilaku kekerasan. Beri tanda (√) jika klienmampu dan
tanda (-) jika klien tidak mampu
Lampiran 1. Materi Terapi Aktivitas Kelompok
I. Latar Belakang
Gangguan jiwa menimbulkan distorsi pikiran sehingga pikiran itu mejadi
sangat aneh, juga distorsi persepsi, emosi, dan tingkah laku yang dapat
mengarah ke perilaku kekerasan yang dapat berbahaya dengan diri sendiri
maupun orang lain sekitar (Benson, et al., 2013). Perilaku kekerasan
merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang.
Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan. Berdasarkan data Nasional Indonesia tahun 2017 dengan
risiko perilaku kekerasan sekitar 0,8% atau dari 10.000 orang
(Pardede,dkk.,2020)
Menurut data dari WHO bahwa gangguan jiwa ini merupakan masalah
yang sangat serius dan erat kaitannya dengan kondisi mental masyarakat.
Meskipun belum terdapat data yang pasti, namun di Indonesia ini merupakan
salah satu negara yang rentan untuk mengalami ledakan angka gangguan jiwa
jenis perilaku kekerasan (Muhdi, 2011). Tercatat bahwa di Indonesia rata-rata
pelaku perilaku kekerasan dimulai pada usia 15 tahun ke atas yaitu mencapai
18 juta orang (Riskesdas, 2018). Sedangkan di Rumah Sakit Jiwa Menur
Provinsi Jawa Timur angka kejadian ini setiap tahunnya mengalami
peningkatan, pada Tahun 2016 mencapai angka presentasi sebanyak 50%
(Pandeirot, 2016).
Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya stres emosional dan
ekonomi dari keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya
sehingga keluarga memerlukan pengetahuan dan informasi bagaimana cara
menghadapi anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasan dan
untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan penanganan
perilaku kekerasan yang tepat keluarga memiliki peran yang sangat penting
untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan dengan menggunakan
ketrampilan koping untuk menghadapi masalah (Townsend & Morgan,
2017). Keluarga yang merawat pasien skizofrenia juga akan mengalami
kualitas hidup yang tidak baik karena terbebani oleh anggota keluarga yang
sakit (Nuttall, 2019). Menurut Jenkins & Schumacher (2018). Keluarga yang
terbebani dengan pasien skizofrenia terkadang mengalami depresi karena
tidak menggunakan koping dengan baik. Tetapi keluarga yang mampu
merawat pasien skizofrenia adalah keterampilan praktis yang
memungkinkan orang dewasa dengan keadaan tertentu mencapai kehidupan
yang mandiri dan menyenangkan (Patricia, et al., 2019).
Komunikasi terapeutik merupakan jembatan penghubung antara perawat
atau petugas kesehatan dengan kllien. Komunikasi terapeutik memperhatikan
klien secara holistik, meliputi aspek keselamatan, menggali penyebab dan
mencari jalan terbaik atas permasalahan pasien. Juga mengajarkan cara-cara
yang dapat dipakai untuk mengekspresikan kemarahan yang dapat di terima
oleh semua pihak tanpa harus merusak. Adapun strategi peaksanaan klien
dengan perilaku kekerasan mencakup kegiatan minum obat dengan teratur,
bercakap-cakap dengan klien, serta melakukan tinfakan aktivitas yang
terjadwal berupa penerapan SPTK. Salah satu bentuk terapi yang dapat
mengurangi kejadian mincederai diri sendiri atau orang lain yaitu dengan
melakukan Terapi Aktivitas Kelompok antara perawat dan klien.

II. Landasan Teori Perilaku Kekerasan


1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali
perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang kain, atau
lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai
diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran
diri. Perilaku kekerasan pada orang lain adalah tindakan agresif yang
ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan
pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempat
kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan (Yusuf, 2015)
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI,
2017)

2. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama
insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan kedua
insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh
pengikut freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang
untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan
frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agrresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan
pada masa kanak-kanak,atau seduction parental, yang
mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga
diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk
child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga,
sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh
Bandura (1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa
agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif
mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan
agrsif mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan
terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan
perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus
temporal.
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku
agresif: serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam
amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)

3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
4. Tanda dan Gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan
adalah sebagai berikut :
b. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
c. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
d. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
e. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
f. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
g. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
h. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran.
i. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
5. Rentang Respon
Menurut Yusuf (2015) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu
akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik).
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif


Amuk

Gambar 1. Rentang Respon

Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai
kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
b. Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realistis/terhambat.
c. Pasif : Pasien tidak mampu mengungkapkan perasaan.
d. Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
e. Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/
keinginan tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan
bermusuhan pada objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang
dianggap berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah
(HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi
maka akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-
bayangan yang meminta klien untuk melakukan kekerasan. Hal
ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain
(resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga
yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat mempengaruhi
perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini yang
menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
terapeutik inefektif).
DAFTAR PUSTAKA

Farida Kusumawati,dkk. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Kementerian Kesehatan Indonesia. 2017. Riset Kesehatan Nasional 2016.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Indonesia

Kio, A. L., Wardana, G. H., & Arimbawa, A. G. R. (2020). Hubungan


Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan Klien dengan Resiko Perilaku
Kekerasan. Caring: Jurnal Keperawatan, 9(1), 69-72.

Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Halawa, M. (2020). Beban dengan Koping
Keluarga Saat Merawat Pasien Skizofrenia yang Mengalami Perilaku
Kekerasan. Jurnal Kesehatan, 11(2), 189-196.

Pratiwi, I. (2020). GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PEMBERIAN


TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI SESI V: MENCEGAH
PERILAKU KEKERASAN DENGAN PATUH MENGONSUMSI OBAT PADA
PASIEN SKIZOFRENIA TAHUN 2020 (Doctoral dissertation, Poltekkes Denpasar
Jurusan Keperawatan).

Roufuddin, R., & Hoiriyah, M. (2020). PERBEDAAN PERILAKU


KEKERASAN SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI RELAKSASI NAFAS
DALAM PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN. Indonesian Journal of
Professional Nursing, 1(1), 76-84.

Sudiasih, N. N. A. (2020). GAMBARAN ASUHAN KEPERAWTAN


PEMBERIAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI
SENSORI I: MENGENAL PERILAKU KEKERASAN UNTUK MENGATASI
RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA (Doctoral
dissertation, Poltekkes Denpasar Jurusan Keperawatan).

Yusuf. Ahmad, Fitryasari. Rizky, Nihayati. Hanik Endang. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta; Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai