Anda di halaman 1dari 20

1

HAL, ALASAN PEMBENAR, ALASAN PEMAAF SERTA


KEBIJAKAN DALAM PERBUATAN PIDANA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hukum Pidana Islam

Dosen Pengampu H. Ah. Fajruddin Fatwa, S.Ag.,SH.,MHI, Dip.Lead

Disusun oleh:

1. Viva Pramestin Wibowo 05020220078/kelas C


2. Muhammad Ali Muzakky 05030220083/kelas C
3. Avrizal Yoga Dana Gumilar 05040220093/kelas C

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan oleh hukum. Hukum yang
diterapkan di indonesia merupakan hukum yang diadaptasi dari kitab hukum belanda
yang dulu pernah diterapkan pemerintah belanda selama masa penjajahan. Hukum
pidana di indonesia sendiri merupakan hukum yang digunakan untuk memberikan
perasaan jera kepada pelaku pidana.

Namun seiring perkembangannya, di Indonesia yang merupakan Negara


mayoritas muslim mendorong pemerintah untuk menciptakan hukum pidana Islam.
Hukum pidana Islam sendiri ialah hukum pidana yang segala aturan hukumnya diatur
dalam al-Qur’an. Namun, juga terdapat hukuman pidana yang tidak terdapat di al-
Qur’an. Hukuman ini disebut jarimah ta’zir serta jarimah qishah dan diyat, yang
mana hukuman pidana ini merupakan hukuman yang dibentuk oleh lembaga resmi
berdasarkan atas al-Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana hal-hal yang mempengaruhi tindak pidana?
2. Bagaimana alasan pembenar dalam tindak pidana?
3. Bagaimana alasan pemaaf dalam tindak pidana?
4. Bagaimana kebijakan penguasa dalam menentukan perbuatan pidana
(criminal policy)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi tindak pidana
2. Untuk mengetahui alasan pembenar dalam tindak pidana
3. Untuk mengetahui alasan pemaaf tindak dalam pidana
4. Untuk mengetahui kebijakan penguasa dalam menentukan perbuatan pidana
(criminal policy)
DAFTAR ISI
3

BAB I

1.latar belakang………………………………………………………….…...2

1.2rumusan masalah…………………………………………………....…….2

1.3tujuan ………………………………………………………...…………...2

BAB II……………………………………………………………………………3

PEMBAHASAN…………………………………………………………………3

2.1 hal yang memengaruhi tindak pidana………………………………..3

2.2 alasan pembenar dalam tindak pidana…………………………….....7

2.3 alasan pemaaf dalam tindak pidana…………………………………..9

2.4 kebijakan penguasa dalam menentukan perbuatan pidana (criminal


policy)……………………………………………………………….…..14

BAB III………………………………………………………………….………18

PENUTUP……………………………………………………………….……...18

3.1kesimpulan……………………………………..…………………….18

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………19

BAB II
4

PEMBAHASAN

2.1 hal yang memengaruhi tindak pidana

Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.1
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut tradisi
syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat melakukannya.
Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus
dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama,
jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.2

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka faktor-faktor yang


mempengaruhi terjadinya Tindak Kriminal antara lain:

1. Faktor Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan manusia,
maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurianlah yang kerap kali
munculmelatarbelakangi seseorang melakukan tindak pidana pencurian.Para pelaku
sering kali tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya
pekerjaan.Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi
kebutuhan keluarga, membeli sandang maupun pangan, atau ada sanak keluarganya
yang sedang sakit, maka sesorang dapat berbuat nekat dengan melakukan tindak
pidana pencurian.

Rasa cinta seseorang terhadap keluarganya yang menyebakan ia sering lupa


diri dan akan melakukan apa saja demi kebahagiaan keluarganya. Terlebih lagi
apabila faktor pendorong tersebut diliputi rasa gelisah, kekhawatiran, dan lain
1
Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri' al-Jinai al-lslami, Juz I, ( Beirut: Dar al-Kutub, 1963), hlm. 67
2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. III, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turast, 1970), hlm. 5.
5

sebagainya, disebabkan orang tua (pada umumnya ibu yang sudah janda), atau isteri
atau anak maupun anak-anaknya, dalam keadaan sakit keras.Memerlukan obat,
sedangkan uang sulit di dapat.Oleh karena itu, maka seorang pelaku dapat termotivasi
untuk melakukan pencurian.

2. Factor pendidikan

Sesuai dengan hasil penelitian penulis, pendidikan juga berpengaruh terhadap


terjadinya Anak melakukan Tindak Kriminal, dimana tingkat pendidikan pelaku rata-
rata hanya tamat sekolah dasar. Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap Anak
melakukan Tindak Kriminal semakin tinggi jenjang pendidikan seorang anak, maka
ia akan semakin sadar untuk tidak melakukan perbuatan tidak pidana.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang minim di dalam
masyarakat dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat tersebut, yaitu mereka
merasa dan bersikap rendah diri serta kurang kreatif sehingga tidak ada kontrol
terhadap pribadinya sehingga mudah melakukan tindakan-tindakan kejahatan
utamanya Anak melakukan Tindak Kriminal. Dengan pendidikan yang minim pola
pemikiran mereka mudah dipengaruhi oleh keadaan sosial sehingga pergaulan dalam
lingkungannya mudah mengekspresikan tingkah laku yang kurang baik lewat
perbuatan yang merugikan masyarakat.

Memang jika berbicara tentang pendidikan dikaitkan dengan kejahatan


mungkin banyak permasalahan yang akan muncul, oleh karena itu penulis batasi
seperti pendidikan yang kurang berhasil adalah dari pelaku yang relatif pendidikan
rendah, maka akan mempengaruhi pekerjaan pelaku karena kurangnya keterampilan
yang dimiliki sehingga pelaku Anak melakukan Tindak Kriminal yang terjadi di kota
Pekanbaru pada umumnya adalah buruh yang pekerjaannya tidak tetap. Hal itu
disebabkan karena pendidikan yang rendah, sehingga kurangnya kreatifitas dan
berhubungan dengan kurangnya peluang lapangan kerja.
6

Bekal pendidikan yang baik ada kemungkinan dapat mencegah tingkah laku
jahat karena faktor pendidikan ini penulis anggap penting disoroti karena menurut
salah satu petugas lapangan Lembaga Permasyarakatan Pekanbaru bagian pembinaan
mengatakan bahwa sebagian besar pelaku Anak melakukan Tindak Kriminal yang
ada dalam lembaga permasyarakatan adalah mereka yang tergolong dalam pendidikan
minim (rendah). Sehubungan dengan pendidikan yang minim itu maka pola pikir
mereka mudah terpengaruh karena kadang-kadang mereka bisa mengekspresikan
tingkah laku yang tidak baik lewat perbuatan yang merugikan masyarakat. Jadi
melalui bekal pendidikan yang diperoleh dengan baik dapat merupakan proses
pembentukan nilai-nilai atau perilaku mereka. Memang jika faktor pendidikan
dikaitkan dengan latar belakang kejahatan yang dilakukan itu rata-rata yang
berpendidikan rendah yang berpendidikan sekolah dasar yang banyak melakukan
kejahatan Anak melakukan Tindak Kriminal.

3. Faktor Lingkungan

Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan


dimana orang tersebut berada, pada pergaulan yang diikuti dengan peniruan suatu
lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian dan tingkah laku
seseorang. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat itu sendiri.

Pergaulan dengan temanteman dan tetangga merupakan salah satu penyebab


terjadinya Anak melakukan Tindak Kriminal. Hal itu menunjukkan bahwa dalam
memilih teman harus memperhatikan sifat, watak, serta kepribadian seseorang. Hal
ini dapat dilihat pada kasus kenakalan remaja dimana penulis berhasil mewawancarai
4 pelajar SMP dan SMU Darussalam yang menjadi pelaku Anak melakukan Tindak
Kriminal sebab faktor kenakalan tak terkontrol yang menyebabkan mereka mencoba-
coba untuk melakukan kriminal.
7

Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan


pergaulan, apabila bergaul dengan orang baik maka perbuatan mereka pasti baik pula
dan apabila bergaul dengan orang yang suka melakukan perbuatan buruk maka besar
kemungkinan akan dipengaruhinya. Hal lain yang menyebabkan terjadinya Anak
melakukan Tindak Kriminal adalah kurangnya tukang parkir di tempat-tempat yang
wajar ada tukang parkir, begitu pula kurang hati-hatinya para pemilik kendaraan
untuk memarkir kendaraannya dan tidak dilengkapi dengan kunci-kunci pengaman
seperti slop distandar serta kunci di ban depan.

4. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum

Pihak penegak hukum kadang-kadang menyimpang dari nilai-nilai hukum


yang hidup dalam masyarakat, sehingga ada pelaku kejahatan Anak melakukan
Tindak Kriminal yang mendapat hukuman yang terlalu ringan. Dan akibatnya begitu
keluar dari lembaga permasyarakatan maka pelaku mengulangi perbuatan jahat
tersebut, menurut hasil wawancara penulis dengan 20 narapidana kasus kejahatan
pencurian sepeda motor di lembaga permasyarakatan, setidaknya ada 1 orang yang
merupakan residivis dari kasus pencurian sepeda motor. Sekali lagi penulis
mengemukakan bahwa dalam hal ini, masalah keterampilan dan kesadaran yang tidak
dimiliki sehingga menyebabkan kejahatan pencurian itu dianggap sebagai pekerjaan
utama untuk menghidupi keluarganya.3

5. Factor individu

Seseorang yang tingkah lakunya baik akan mengakibatkan seseorang tersebut


mendapatkan penghargaan dari masyarakat, akan tetapi sebaliknya jika seseorang
bertingkah laku tidak baik maka orang itu akan menimbulkan kekacauan dalam
masyarakat. Mereka yang dapat mengontrol dan mengembangkan kepribadiannya
yang positif akan dapat menghasilkan banyak manfaat baik itu bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Sedangkan mereka yang tidak bisa mengontrol
3
Khairul Ihsan, Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindakan criminal, (Universitas Riau, Vol.3 No. 2,
2016) 9-12
8

kepribadiannya dan cenderung terombang ambing oleh perkembangan akan terus


terseret arus kemana akan mengalir. Entah itu baik atau buruk mereka akan tetap
mengikuti hal tersebut. Terdapat pula penyebab seseorang melakukan tindak pidana,
seperti yang telah disebutkan diatas bahwa keinginan manusia merupakan hal yang
tidak pernah ada batasnya.4

2.2 Alasan pembenar dalam tindak pidana

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa
yamg diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan
tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah
peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai
keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam undang – undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.
Hakim dalam hal ini menenmpatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili
perkara yang konkret) sebagai penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam
diri pelaku seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Dengan demikian
alasan – alasan penghapus pidana ini adalah alasan – alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan delik, untuk tidak dipidana; dan ini merupakan
kewenangan yang diberikan undang – undang kepada hakim.

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana


dibedakan menjadi tiga :

a) Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan


hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa
menjadi perbuatan yang patut dan benar.
b) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan
4
Berdy Despar Magrhobi, Tinjauan Kriminologis Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Pencurian Kendaraan Bermotor, (Universitas Brawijaya, 2014) 7
9

hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi terdakwa


tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
c) Alasan menghapus penuntutan yang dimaksudkan disini bukan ada
alasan pembenar atau pemaaf. Jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, akan
tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar kemanfaatannya
kepada masyarakat, sebaiknya tidak dijadikan penuntutan.

Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif,


rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada
pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan
darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-
undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).5

Alasan Pembenar yaitu:

a. Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ (Pasal 48 KUHP)


b. Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1)
KUHP)
c. Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undanga (Pasal 50 KUHP)
d. Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 KUHP).6

2.3 Alasan pemaaf dalam tindak pidana

Dasar pemaaf adalah perbuatan si pelaku melawan hukum, tetapi dengan


alasan-alasan tertentu si pelaku dimaafkan sehingga tindak dipidana

5
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus), (PT Refika Aditama.2013) 30
6
Daffa Dhiya, perbedaan alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam hukum pidana,
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/perbedaan-alasan-pembenar-dan-alasan-pemaaf-dalam-hukum-
pidana/, 26 Oktober 2021.
10

Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa tidak dihukum seorang yang
melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
oleh karena daya fikir kurang tumbuh atau terganggu oleh suatu penyakit. Namun ada
pula yang melakukan suatu tindak pidana karena adanya paksaan. Jika dalam keadaan
overmacht ini ia tidak dihukum. Paksaan di sini adalah paksaan relative, artinya
sebenarnya bisa dielakkan, tetapi seorang manusia biasa tidak dapat mengelakkan
paksaan itu tanpa kerugian yang besar pada kepentingannya atau kepentingan orang
lain. Tetapi apabila dalam keadaan terguncang jiwanya akibat serangan yang
melawan hukum, dapat saja orang mengadakan serangan balasan yang melampaui
batas. Dalam keadaan ini serangan balasan yang melampaui batas tadi tetap melawan
hukum, tetapi si pelaku dimaafkan atas perbuatannya. Disini ada dasar pemaaf, bukan
dasar pembenar

Pasal 51 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang yang melakukan suatu
perintah jabatan yang tidak sah, namun dia mengira secara jujur bahwa perintah itu
adalah sah, maka dia tidak dipidana. Perbuatan tersebut harus berada dalam lindungan
pekerjaan jabatan. Dalam hal ini juga merupakan dasar pemaaf. Dengan kata lain
bahwa perbuatan orang itu tetap melawan hukum, namun kesalahan pelaku
dimaafkan

Dalam Hukum Pidana Islam, pada dasarnya orang yang melakukan jarimah
itu dihukum salah satu syaratnya adalah mukallaf. Dalam syarat sahnya memberi
hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:7

1. Seorang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu
memahami nas-nas hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan sunnah baik
langsung maupun yang melalui perantara.
2. Seorang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.

7
Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; Pustaka Setia, 2007) 338.
11

Kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai
pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah
kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat
diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab
merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri
seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun
bagi dirinya sendiri.

Dalam Hukum Pidana Islam, Pertanggungjawaban pidanadapat terhapus karena


adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak
pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pembuat delik. Dalam
keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang mubah (tidak
dilarang), sedangkan dalam keadaan kedua perbuatan tersebut tetap dilarang tapi
tidak dijatuhi hukuman ketika melakukannya. Seperti kejahatan yang dilakukan
dalam keadaan dipaksa, tidak akan ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan
terbukti benarnya, kemudian kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan
tidak sadar seperti mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur.
Maka secara hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam
keadaan gila atau sakit saraf. hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW yang
berbunyi:
12

Artinya: Dari Ali Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Dibebaskan ketentuan


hukum dari tiga perkara: orang yang tidur sampai bangun, anak-anak sampai ia
dewasa, dan orang yang gila sampai ia sembuh”. (HR. Abu Daud)8

Jadi, dalam Hukum Pidana Islam seorang anak tidak dapat dikenakan sanksi pidana
sampai usianya dewasa, hal ini justru berbeda dengan Hukum Pidana positif yang
tetap memberiksan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana terhadap anak meskipun
sanksi tersebut berupa tindakan. Dari segi usia, ukuran dewasa menurut Hukum
Pidana positif berbeda dengan ukuran dalam Hukum Pidana Islam. Menurut Hukum
PidanaIslam seseorang dianggap telah dewasa apabila seseorang tersebut telah baligh.
Ukuran baligh menurut ilmu fikih dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, yang
menyatakan bahwa apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun
perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah
haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa. 9 Ukuran baligh
juga dapat diketahui dengan tanda bahwa seorang anak laki-laki yang mimpi
bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun
sudah dianggap dewasa, hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an Q.S. an-Nur (24) : 59 yang berbunyi:

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah

8
Al-Bukhari al-Ja‟fy, 1992, Ṣaḥihḥ al-Bukhari, Juz VIII, op cit, hlm. 336. Lihat Dawud, 1988, Sunan
Abi Dawud, op cit, hlm. 1137-139. Dan lihat juga Al-Tirmiżi, t.th., al-Jami„ aṣṢaḥiḥ, op cit, hlm. 24.
9
Chairuddin Suharwardi K. Lubis, Perjanjian dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996) 10.
13

Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha


Bijaksana.” (Q.S an-Nur (24): 59).10

Dalam Hukum Pidana Islam, dapat simpulkan bahwa alasan-alasan yang menjadi
hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Alasan/ dasar pembenar yaitu meliputi:


a. Bela diri (legal defense)
b. Penggunaan hak
c. Menjalankan kewenangan atau kewajiban
d. Dalam olah raga
2. Alasan/ dasar pemaaf yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Anak-anak
b. Orang gila
c. Mabuk
d. Daya paksa dan keadaan darurat.

Penghapusan Dasar Keterangan


Pidana Penghapusan
Bela diri Dasar Pembenar Dalam Islam seseorang berhak
mempertahakan jiwa, harta, kehormatan
dirinya dan orang lain. Jadi jika
seseorang diserang orang lain untuk
dibunuh, dan tidak ada jalan lain untuk
membela diri kecuali membunuh pula
maka ia tidak dipidana. Untuk hal itu
ada syaratnya yaitu adanya
keseimbangan, dan tidak ada jalan lain
Penggunaan hak Dasar Pembenar Jika seorang bertindak sesuai dengan
wewenangnya maka ia dapat

10
Al-Qur’an dan Terjemah Departemen Agama RI, hlm.358.
14

dibenarkan. Misalnya seorang polisi


dapat menangkap atau menahan
penjahat, begitu pula dengan dokter
yang mengoperasi pasiennya
Menjalankan Dasar Pembenar Jika dalam suatu olah raga ada orang
Kewenangan atau sakit atau luka-luka, dan hal itu timbul
kewajiban
bukan karena melebihi batas-batas yang
telah ditentukan, maka pembuatnya
tidak dipidana lain halnya kalau ada
kesengajaan atau kelalaian
Anak-anak Dasar Pemaaaf Seorang anak tidak dapat dikenakan
sanksi pidana sampai usianya dewasa.
Menurut Hukum Pidana Islam
seseorang dianggap telah dewasa
apabila seseorang tersebut telah baligh.
Bagi kesalahan yang dilakukan anak-
anak maka hakim berhak menegur
kesalahan dan dapat menurut suatu
pendapat bahwa hukuman ta’zir dapat
dijatuhkan dan dibayar kaumnya jika
perbuatan itu dilakukan ketika berusia 7
tahun- masa puber.
Orang gila Dasar Pemaaaf Seorang gila tak pernah dapat
bertanggungjawab karena gila itu
menghilang-kan akalnya dan arena
kemampuannya untuk membedakan
yang baik dan buruk juga hilang
Mabuk Dasar Pemaaaf Jika seseorang mabuk hingga
kesadarannya hilang, dan mabuk itu
tidak dia sengaja, misalnya karena
15

dipaksa, ditipu, kesalahan atau karena


konsumsi suatu obat tertentu maka
perbuatan pidana yang dia lakukan
dapat dimaafkan
Daya paksa dan Dasar Pemaaaf Seandainya suatu kejahatan dilakukan
keadaan darurat dalam keadaan dipaksa tak akan ada
tuntutan hukuman jika terbukti benar.

2.4 Kebijakan penguasa dalam menentukan perbuatan pidana


(criminal policy)

Pengertian kebijakan kriminal atau politik kriminal (criminal policy)


merupakan usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan. Di mana definisi ini diambil dari Marc Ancel yang
merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”.

Sedangkan G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the


rational organization of the social reactions to crime”. Selanjutnya juga G. Peter
Hoefnagels mengemukakan beberapa definisi mengenai kebijakan kriminal antara
lain :

1. Criminal Policy is the science of response (kebijakan kriminal adalah ilmu


tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan).
2. Criminal policy is the science of prevention (kebijakan kriminal adalah
ilmu untuk menanggulangi kejahatan).
3. Criminal policy is a the science of designating human behavior as crime
(Kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku
manusia sebagai kejahatan).
4. Criminal policy is a rational total of response to crime (kebijakan kriminal
adalah satu reaksi terhadap kejahatan yang rasional)
16

Latar belakang pokok pemikiran atau ide dasar penyusunan konsep KUHP
baru dapat dilihat dari berbagai sudut /aspek, yaitu dari sudut kebijakan pembaharuan
hukum nasional dan dari aspek kesatuan sistem hukum pidana, diihat dari sudut/aspek
kebijakan pembaharuan hukum nasional berarti dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan
tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/
penggantian konsep KUHP lama (wetboek Van Strafrecht) warisan zaman kolonial
Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform” (pembaharuan hukum pidana)
yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar, yaitu
pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional11.

Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (“penal reform”) pada


hakikatnya termasuk bidang “penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat
dengan “law enforcement policy”, “criminal policy”, dan “sosial policy”12.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana


penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan;


2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan
pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut harus pula
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang
telah ditetapkan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
(policy oriented appoarch). Pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam
bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.

Menurut Sudarto bahwa dalam menghadapi masalah sentral dalam pendekatan


kebijakan hukum pidana yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
17

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan


nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiel spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiel dan atau spiritual) atas
warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost and benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam


symposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di
Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:

Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah


sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana
perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam
masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal, maka perlu


memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:
18

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan
penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku kejahatan
itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya.
4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa,
sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.11

11
John Kenedy, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum di
Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017) 39-46
19

BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan


perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Dalam Teori Hukum Pidana dikenal 2 jenis Alasan, yaitu :

Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya


perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut
dan benar. b) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukun dan
tetap merupakan perbuatan pidana akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak
ada kesalahan. seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor di
sekitar atau lingkungannya baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan termasuk dengan pertahanan dengan dunia luar, serta
penemuan teknologi.

Dalam negara hukum (Rechtsstaat), kebijakan kriminal (Criminal Policy) pada


hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence) dan sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik kriminal atau kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa
politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik social.
20

DAFTAR PUSTAKA

Ihsan Khairul, Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindakan criminal, (Universitas


Riau, Vol.3 No. 2, 2016) 9-12

Kenedy John, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017

Lubis Chairuddin Suharwardi K., Perjanjian dan Hukum Islam, Jakarta; Sinar
Grafika, 1996

Al-Bukhari al-Ja‟fy, 1992, Ṣaḥihḥ al-Bukhari, Juz VIII, op cit. Lihat Dawud, 1988,
Sunan Abi Dawud, op cit. Dan lihat juga Al-Tirmiżi, t.th., al-Jami„ aṣṢaḥiḥ, op cit.

Al-Quran dan Terjemah Departemen Agama RI.

Magrhobi Berdy Despar, Tinjauan Kriminologis Faktor Penyebab Terjadinya Tindak


Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor, Universitas Brawijaya, 2014

Syafe’I Racmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung; Pustaka Setia, 2007

H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus), (PT Refika
Aditama.2013) 30

Daffa Dhiya, perbedaan alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam hukum pidana,
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/perbedaan-alasan-pembenar-dan-alasan-
pemaaf dalam-hukum-pidana/, 26 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai