Hukum Pidana Islam Kel 5..
Hukum Pidana Islam Kel 5..
Disusun oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan oleh hukum. Hukum yang
diterapkan di indonesia merupakan hukum yang diadaptasi dari kitab hukum belanda
yang dulu pernah diterapkan pemerintah belanda selama masa penjajahan. Hukum
pidana di indonesia sendiri merupakan hukum yang digunakan untuk memberikan
perasaan jera kepada pelaku pidana.
BAB I
1.latar belakang………………………………………………………….…...2
1.2rumusan masalah…………………………………………………....…….2
1.3tujuan ………………………………………………………...…………...2
BAB II……………………………………………………………………………3
PEMBAHASAN…………………………………………………………………3
BAB III………………………………………………………………….………18
PENUTUP……………………………………………………………….……...18
3.1kesimpulan……………………………………..…………………….18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………19
BAB II
4
PEMBAHASAN
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.1
Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut tradisi
syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat melakukannya.
Perbuatan yang dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus
dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama,
jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda.2
1. Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan manusia,
maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurianlah yang kerap kali
munculmelatarbelakangi seseorang melakukan tindak pidana pencurian.Para pelaku
sering kali tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya
pekerjaan.Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi
kebutuhan keluarga, membeli sandang maupun pangan, atau ada sanak keluarganya
yang sedang sakit, maka sesorang dapat berbuat nekat dengan melakukan tindak
pidana pencurian.
sebagainya, disebabkan orang tua (pada umumnya ibu yang sudah janda), atau isteri
atau anak maupun anak-anaknya, dalam keadaan sakit keras.Memerlukan obat,
sedangkan uang sulit di dapat.Oleh karena itu, maka seorang pelaku dapat termotivasi
untuk melakukan pencurian.
2. Factor pendidikan
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang minim di dalam
masyarakat dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat tersebut, yaitu mereka
merasa dan bersikap rendah diri serta kurang kreatif sehingga tidak ada kontrol
terhadap pribadinya sehingga mudah melakukan tindakan-tindakan kejahatan
utamanya Anak melakukan Tindak Kriminal. Dengan pendidikan yang minim pola
pemikiran mereka mudah dipengaruhi oleh keadaan sosial sehingga pergaulan dalam
lingkungannya mudah mengekspresikan tingkah laku yang kurang baik lewat
perbuatan yang merugikan masyarakat.
Bekal pendidikan yang baik ada kemungkinan dapat mencegah tingkah laku
jahat karena faktor pendidikan ini penulis anggap penting disoroti karena menurut
salah satu petugas lapangan Lembaga Permasyarakatan Pekanbaru bagian pembinaan
mengatakan bahwa sebagian besar pelaku Anak melakukan Tindak Kriminal yang
ada dalam lembaga permasyarakatan adalah mereka yang tergolong dalam pendidikan
minim (rendah). Sehubungan dengan pendidikan yang minim itu maka pola pikir
mereka mudah terpengaruh karena kadang-kadang mereka bisa mengekspresikan
tingkah laku yang tidak baik lewat perbuatan yang merugikan masyarakat. Jadi
melalui bekal pendidikan yang diperoleh dengan baik dapat merupakan proses
pembentukan nilai-nilai atau perilaku mereka. Memang jika faktor pendidikan
dikaitkan dengan latar belakang kejahatan yang dilakukan itu rata-rata yang
berpendidikan rendah yang berpendidikan sekolah dasar yang banyak melakukan
kejahatan Anak melakukan Tindak Kriminal.
3. Faktor Lingkungan
5. Factor individu
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa
yamg diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan
tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah
peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai
keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam undang – undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.
Hakim dalam hal ini menenmpatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili
perkara yang konkret) sebagai penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam
diri pelaku seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Dengan demikian
alasan – alasan penghapus pidana ini adalah alasan – alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan delik, untuk tidak dipidana; dan ini merupakan
kewenangan yang diberikan undang – undang kepada hakim.
5
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus), (PT Refika Aditama.2013) 30
6
Daffa Dhiya, perbedaan alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam hukum pidana,
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/perbedaan-alasan-pembenar-dan-alasan-pemaaf-dalam-hukum-
pidana/, 26 Oktober 2021.
10
Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa tidak dihukum seorang yang
melakukan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya,
oleh karena daya fikir kurang tumbuh atau terganggu oleh suatu penyakit. Namun ada
pula yang melakukan suatu tindak pidana karena adanya paksaan. Jika dalam keadaan
overmacht ini ia tidak dihukum. Paksaan di sini adalah paksaan relative, artinya
sebenarnya bisa dielakkan, tetapi seorang manusia biasa tidak dapat mengelakkan
paksaan itu tanpa kerugian yang besar pada kepentingannya atau kepentingan orang
lain. Tetapi apabila dalam keadaan terguncang jiwanya akibat serangan yang
melawan hukum, dapat saja orang mengadakan serangan balasan yang melampaui
batas. Dalam keadaan ini serangan balasan yang melampaui batas tadi tetap melawan
hukum, tetapi si pelaku dimaafkan atas perbuatannya. Disini ada dasar pemaaf, bukan
dasar pembenar
Pasal 51 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang yang melakukan suatu
perintah jabatan yang tidak sah, namun dia mengira secara jujur bahwa perintah itu
adalah sah, maka dia tidak dipidana. Perbuatan tersebut harus berada dalam lindungan
pekerjaan jabatan. Dalam hal ini juga merupakan dasar pemaaf. Dengan kata lain
bahwa perbuatan orang itu tetap melawan hukum, namun kesalahan pelaku
dimaafkan
Dalam Hukum Pidana Islam, pada dasarnya orang yang melakukan jarimah
itu dihukum salah satu syaratnya adalah mukallaf. Dalam syarat sahnya memberi
hukuman kepada mukallaf ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:7
1. Seorang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus mampu
memahami nas-nas hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan sunnah baik
langsung maupun yang melalui perantara.
2. Seorang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau layak.
7
Racmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung; Pustaka Setia, 2007) 338.
11
Kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada seseorang maka ia dapat dikenai
pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari kedua prinsip syarat tersebut adalah
kemampuan membedakan dengan menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat
diartikan bertindak tepat tanpa perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab
merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
Jelasnya pengertian tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri
seseorang bahwa setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun
bagi dirinya sendiri.
Jadi, dalam Hukum Pidana Islam seorang anak tidak dapat dikenakan sanksi pidana
sampai usianya dewasa, hal ini justru berbeda dengan Hukum Pidana positif yang
tetap memberiksan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana terhadap anak meskipun
sanksi tersebut berupa tindakan. Dari segi usia, ukuran dewasa menurut Hukum
Pidana positif berbeda dengan ukuran dalam Hukum Pidana Islam. Menurut Hukum
PidanaIslam seseorang dianggap telah dewasa apabila seseorang tersebut telah baligh.
Ukuran baligh menurut ilmu fikih dapat dilihat dari pendapat Imam Syafi’i, yang
menyatakan bahwa apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki maupun
perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah
haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah dianggap dewasa. 9 Ukuran baligh
juga dapat diketahui dengan tanda bahwa seorang anak laki-laki yang mimpi
bersetubuh sehingga mengeluarkan air mani walaupun belum berumur 15 tahun
sudah dianggap dewasa, hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an Q.S. an-Nur (24) : 59 yang berbunyi:
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah
8
Al-Bukhari al-Ja‟fy, 1992, Ṣaḥihḥ al-Bukhari, Juz VIII, op cit, hlm. 336. Lihat Dawud, 1988, Sunan
Abi Dawud, op cit, hlm. 1137-139. Dan lihat juga Al-Tirmiżi, t.th., al-Jami„ aṣṢaḥiḥ, op cit, hlm. 24.
9
Chairuddin Suharwardi K. Lubis, Perjanjian dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 1996) 10.
13
Dalam Hukum Pidana Islam, dapat simpulkan bahwa alasan-alasan yang menjadi
hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam hal-hal sebagai berikut:
10
Al-Qur’an dan Terjemah Departemen Agama RI, hlm.358.
14
Latar belakang pokok pemikiran atau ide dasar penyusunan konsep KUHP
baru dapat dilihat dari berbagai sudut /aspek, yaitu dari sudut kebijakan pembaharuan
hukum nasional dan dari aspek kesatuan sistem hukum pidana, diihat dari sudut/aspek
kebijakan pembaharuan hukum nasional berarti dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan
tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/
penggantian konsep KUHP lama (wetboek Van Strafrecht) warisan zaman kolonial
Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform” (pembaharuan hukum pidana)
yang pada hakikatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar, yaitu
pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional11.
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan
pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut harus pula
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang
telah ditetapkan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
(policy oriented appoarch). Pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam
bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban.
2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan
penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku kejahatan
itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya.
4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa,
sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.11
11
John Kenedy, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum di
Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017) 39-46
19
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Kenedy John, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan
Hukum di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2017
Lubis Chairuddin Suharwardi K., Perjanjian dan Hukum Islam, Jakarta; Sinar
Grafika, 1996
Al-Bukhari al-Ja‟fy, 1992, Ṣaḥihḥ al-Bukhari, Juz VIII, op cit. Lihat Dawud, 1988,
Sunan Abi Dawud, op cit. Dan lihat juga Al-Tirmiżi, t.th., al-Jami„ aṣṢaḥiḥ, op cit.
H.M Hamdan. Alasan Penghapus Pidana (teori dan Studi Kasus), (PT Refika
Aditama.2013) 30
Daffa Dhiya, perbedaan alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam hukum pidana,
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/perbedaan-alasan-pembenar-dan-alasan-
pemaaf dalam-hukum-pidana/, 26 Oktober 2021.