Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FIQIH SMP/SMA

‘’SYIRKAH DAN MUDHARABAH’’

Di susun oleh:
1. Afif Usfiyanto (201905010010)
2. Alex Wijaya putra (202005010003)

Dosen Pengampu : Drs. Sholehuddin Sulaiman, M.SI

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2019/2020
DAFTAR ISI

DAFTAR IS[............................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................3
A.    Latar Belakang............................................................................................................................3
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
A.    Pengertian Syirkah.....................................................................................................................4
B.     Dasar Hukum Syirkah................................................................................................................5
C.    Jenis-Jenis Syirkah......................................................................................................................6
D.    Rukun dan Syarat Syirkah..........................................................................................................8
E.     Implementasi Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah.......................................................9
F.     Pengertian Mudharabah atau Qiradl......................................................................................10
G.    Hukum Mudharabah atau Qiradl............................................................................................11
H.    Jenis-jenis mudharabah...........................................................................................................12
I.       Rukun dan Syarat Mudharabah.............................................................................................13
BAB III..................................................................................................................................................18
PENUTUP.............................................................................................................................................18
A.    Kesimpulan...............................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Masyarakat sejak dahulu tidak terlepas dari proses jual-beli dan kerjasama dalam
bidang perekonomian. Dalam ilmu fiqih tersapat macam-macam kerja sama dalam
perekonomian yang memang penting untuk di pelajari untuk kemaslahatan masyarakat atau
umat. Dan apa bila akan ada beberapa orang yang akan berserikat dalam kerjasama
ini,maka tergantung ingin berkerja sama dengan cara yang di ingin kan dan sesua dengan
kemampuan individu masing-masing dan ketentuan ketentuanya.
Syirkah merupakan salah satu kerjasama antara pemilik modal dan seorang pekerja
dannanti keuntugannya di bagi menurut akadnya yang dilandasi oleh rasa tolong menolong.
sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam
menjalankan roda perusahaan. Sistem ini telah ada sejak jaman sebelum islam karena
megandung nilai-nilai positif dan telah dikerjakan oleh Nabi SAW.( Sebelum diangkat
menjadi Rosull) dengan megambil modal dari khodijah sewaktu berniaga kesam (Syiria).
Terdapat beberapa bentuk kerja sama dalam pandagan islam, yaitu Syirkah, mudarabah
atau qiradh, musaqah, mujaraah, dan muhabarah.Untuk mengetahui kejelasan dari bentuk-
bentuk atau macam-macam kerjasama di atas maka diperlukan kajian yang seksama. Untuk
itu, akan dibahas lebih jelas khususnya syirkah dan mudarabah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Syirkah dan Mudarabah?
2.      Bagaimana dasar hukum Syirkah dan Mudarabah?
3.      Apa saja jenis-jenis Syirkah dan Mudarabah?
4.      Bagaimana penjelasan rukun dan syarat Syirkah dan Mudarabah?
5.      Bagaimana implementasi Syirkah dan Mudarabah dalam Lembaga Keuangan Syariah?
6. Apa saja manfaat syirkah?

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Syirkah


Secara bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (pencampuran) dan persekutuan. Yang
dimaksud dengan pencampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga sulit untuk membedakannya.
Adapun menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama:
1.      Menurut ulama Hanafiah
Syirkah yaitu, “Akad antar dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal) dan
keuntungan”.
2.      Menurut ulama Malikiyah
Syirkah yaitu, “Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama
terhadap harta mereka”.
3.      Menurut Hasby as-Shiddiqie
Syirkah yaitu, “Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling tolong menolong
dalam suatu usaha dan membagi keuntungannya”.1[1]
Jika dilihat dari tiga definisi diatas sesungguhnya perbedaan hanya bersifat
redaksional, namun secara esensial prinsipnya sama yaitu bentuk kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya
ditanggung secara bersama.

B.     Dasar Hukum Syirkah


Syirkah memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam islam. Sebab keberadaannya
diperkuat oleh al-Qur’an, hadits, ijma ulama. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
mengisyaratkan pentingnya syirkah diantaranya terdapat dalam al-Qur’an.
1.      Surat an-Nisa ayat 12.
Artinya: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga” (Q.S an-Nisa ayat 12)
2.      Surat Saad ayat 24.
Artinya: “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amvg al sholeh dan amat sedikit mereka itu”. (Q.S Saad Ayat 24)
Adapun dalam hadits, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Aku adalah orang ketiga dari dua hamba-Ku yang bekerjasama selama keduanya
tidak berkhianat. Jika salah satunya berkhianat, maka Aku akan keluar dari keduanya dan
penggantinya adalah syetan”. (HR. Abu Daud).
Berdasarkan sumber hukum diatas maka secara ijma para ulama sepakat bahwa
hukum syirkah yaitu boleh.2[2]

1[1] Hasby Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Hlm 89.
C.    Jenis-Jenis Syirkah
Syirkah merupakan kerja sama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dan
konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggungsecara bersama. Hukumnya sangat
dianjurkanjika kedua belah pihak saling amanah, Haram jika keduanya berkhianat. Para
ulama fiqh membagi syirkah menjadi dua macam yaitu:
1.         Syirkah Amlak (perserikatan dalam kepemilikan)
Menurut sayyid sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlak adalah bila lebih dari
satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiari atau jabari. Artinya
barang tersebut. Syirkah amlak dibagi menjadi dua yaitu:
a.    Ikhtiari atau disebut (syirkah amlak ikhtiari) yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan
hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang sepakat untuk membeli suatu barang.
b.    Jabari (syirkah amlak jabari) perserikatan yang muncul secara paksa bukan keinginan orang
yang berserikat, seperti harta warisan.3[3]

Hukum syirkah amlak menurut para fukaha, hukum kepemilikan syirkah amlak di
sesuaikan dengan hak masing-masing yaitu bersifat sendiri-sendiri secara hukum. Artinya
seseorang tidak berhak menggunakan atau menguasainya tanpa izin dari yang
bersangkutan. Karena masing-masing mempunyai hak yang sama.
2.         Syirkah Uqud (perserikatan berdasarkan akad)
Syirkah uqud adalah dua orang atau lebih melakukan akad untuk bekerja sama
(berserikat) dalam modal dan keuntungan. kerjasama ini didahului dengan transaksi
penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan.
a.    Syirkah al-Inan (penggabungan harta atau modal 2 orang atau lebih yang tidak harus sama
jumlahnya) boleh satu pihak memiliki modal lebih besar daripihak lain. Demikian halnya,
dengan beban tanggung jawab dan bekerja, boleh satu pihak bertanggung jawab penuh
sedangkan pihak lain tidak. Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati
sebelumnya, jika mengalami kerugian resiko ditanggung oleh kedua pihak.
b.    Syirkah al-Mufawadhah (perserikatan modal dan bentuk kerja sama dari semua pihak, baik
kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata) dalam syirkah al-
2[2] Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2010. Hlm. 128

3[3]Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer,Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,


2015, hlm. 110.
mufawadhah ini masing-masing pihak harus bekerja. Menurut Sayyid Sabiq ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1)   Jumlah modal masing-masing sama, jika berbeda maka tidak sah.
2)      Memiliki kewenangan bertindak yang sama, maka tidak sah syirkah antara anak kecil
dengan orang dewasa.
3)      Agama yang sama, maka tidak sah syirkah antara muslim dengan non muslim.
4)      Masing-masing pihak dapat bertindak sebagai penjamin bagi yang lain atas apa yang dibeli
ataupun dijual.
c.    Syirkah al-Abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya di bagi bersama sesuai
dengan kesepakatan). Artinya perserikatan antara dua orang atau lebih untuk menerima
suatu pekerjaan seperti tukang besi, dan tukang angkut.
d.   Syirkah al-Wujuh ( perserikatan tanpa modal) artinya dua orang atau lebih membeli suatu
barang tanpa modal, yang terjadi adalah hanya berpegang kepada nama baik dan
kepercayaan pra pedagang terhadap mereka. syirkah ini adalah syirkah tanggung jawab
tanpa kerja dan modal.
e.    Syirkah al-Mudarabah (bentuk kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang punya
keahlian dagang, dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama sesuai
kesepakatan) adapun kerugia ditanggung oleh pemilik modal saja. Menrut Hanabilah,
mudarabah dapat dikatakan syirkah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1)   Pihak-pihak yang berserikat cakap dalam bertindak sebagai wakil.


2)   Modal berbentuk uang tunai.
3)   Jumlah modal harus jelas.
4)   Diserahkan langsung kepada pekerja (pengelola) dagangan itu setelah disetujui.
5)   Pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu bukan dari harta yang lain.4[4]
D.    Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada
perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah
hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan kabul
(ungkapan penerimaan perserikatan). Istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah
terima. Contoh lafal ijab kabul, seseorang berkata kepada partnernya “Aku bersyirkah untuk

4[4] Abdul Rahman Ghazali dkk, Op.Cit, hlm. 131-13.


urusan ini” partnernya menjawab “telah aku terima”. Jika ada yang menambahkan selain
ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek
akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat. 5[5] Adapun
menurut Abdurrahman al-Jaziri rukun syirkah meliputi dua orang yang berserikat, shigat,
objek akad syirkah baik itu berupa harta maupun kerja. Adapun menurut jumhur ulama
rukun syirkah sama dengan apa yang dikemukakan oleh al-Jaziri di atas.
Jika dikaitkan dengan pengertian rukun yang sesungguhnya maka sebenarnya
pendapat al-Jaziri atau jumhur ulama lebih tepat sebab di dalamnya terdapat unsur-unsur
penting bagi terlaksananya syirkah yaitu dua orang yang berserikat dan objek syirkah.
Adapun pendapat Hanafiyah yang membatasi rukun syirkah pada ijab dan kabul saja itu
masih bersifat umum karena ijab kabul berlaku untuk semua transaksi.
Adapun syarat syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum
dilaksanakannya syirkah. Jika syarat tidak terwujud maka transaksi syirkah batal.6[6]
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi
empat bagian berikut ini.
1.         Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan
yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) yang berkenaan dengan benda
yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan
keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak,
misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
2.         Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat
pembayaran (nuqud) seperti Junaih, Riyal, dan Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta
pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama mauoun berbeda.
3.         Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah
disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang
bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan onjek akad disyaratkan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.

5[5] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr al-
Muashir, 2005, hlm.804.

6[6] Abdul Rahman Ghazaly dkk, Op.Cit, hlm.129.


4.         Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah
mufawadhah.
Menurut Malkiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad
ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd)
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan,
sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang
(pihak) yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja. Syarat-
syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini:
1.         Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada
pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2.         Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang
lainnya.
3.         Mencampurkan harta sehinga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa
mata uang maupun bentuk yang lainnya.7[7]

E.     Implementasi Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah


Implementasi Syirkah dalam LKS harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.         Proyek atau kegiatan usaha yang akan dikerjakan feasible dan tidak bertentangan dengan
syariah.
2.         Pihak-pihak yang turut dalam kerja sama memasukkan dana musyarakah, dengan
ketentuan:
a.    Dapat berupa uang tunai atau aset yang likuid.
b.    Dana yang tertimbun bukan lagi milik perorangan, tetapi menjadi dana usaha.
Musyarakah atau syirkah dalam konteks perbankan merupakan akad kerjasama
pembiayaan antara bank syariah (Islamic Banking), atau beberapa keuangan secara
bersama-sama, dan nasabah untuk mengelola suatu kegiatan usaha. Masing-masing
memasukkan penyertaan dana sesuai porsi yang disepakati. Pengelolaan kegiatan usaha,
dipercaya kepada nasabah. Selaku pengelola, nasabah wajib menyampaikan laporan berkala

7[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005,


hlm.127-129.
mengenai perkembangan usaha kepada bank-bank sebagai pemilik dana. Disamping itu,
pemilik dana dapat melakukan intervensi kebijakan usaha.
Pembiayaan syirkah dalam dunia perbankan syariah anatara lain adalah sebagai
berikut:
1.         Pembiayaan dalam modal kerja; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak
dalam bidang konstruksi, industri, perdagangan, dan jasa.
2.         Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang
industri.
3.         Pembiayaan secara indikasi; baik untuk kepentingan modal kerja maupun investasi.8[8]

F.     Pengertian Mudharabah atau Qiradl


Mudharabah atau Qiradl adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang
lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian
(perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi dua atau dibagi tiga seumpamanya.9[9]
Mudharabah juga di definisikan sebagai akad kerjasama antara dua pihak, yaitu
pihak pertama yang menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola.
Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi,
kerugian tersebut akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari
kelalaian pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, pengelola
bertanggung jawab mengatasinya.10[10]
Rasulillah Saw. telah melakukannya, beliau mengambil modal dari Siti Khadijah
sewaktu beliau berniaga ke Syam. Begitu pula ijma’ sahabat.
Qirad memang telah ada di masa Jahiliyah (sebelum islam), kemudian ditetapkan
(diperbolehkan) oleh agama Islam. Peraturan Qirad ini diadakan karena benar-benar
dibutuhkan oleh umat manusia. Betapa tidak, ada orang yang mempunyai modal tetapi
tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan; sedang yang lain pandai dan cakap lagi

8[8] Imam Mustofa, Op.Cit, hlm. 123-124.

9[9] H.Sulaiman Rasjid, FIQIH ISLAM (Hukum fiqih Islam), Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2015. Hlm. 299-300

10[10] Mia Lasmi Wardiah, Dasar-dasar Perbankan, Bandung: CV PUSTAKA SETIA,


2013. Hlm. 95
mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal. Qirad berarti juga untuk
kemajuan bersama; perdagangan juga mengandung arti tolong-menolong.

G.    Hukum Mudharabah atau Qiradl


Mudharabah mempunyai landasan dari Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
Mudharabah hukumnya adalah mubah (boleh), sebagaimana firman Allah swt :
1.      Firman Allah dalam surat al-Muzammil ayat 20
Artinya: “…berkeliaran di muka bumi mencari karunia Allah”
2.      Q.S Al-Jumu’ah ayat 10
Artinya: “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
3.      Q.S Al Baqarah, ayat 198
Artinya: Tiada dosa atas kamu sekalian akan mencari kelebihan dari Tuhanmu. (QS. Al
Baqarah ayat 198).
Pada dasarnya ayat-ayat diatas tidak secara langsung menjelaskan atau melegitimasi
akad mudharabah, hanya saja secara maknawi mengandung arti kegiatan ekonomi melalui
mudharabah. Dengan demikian, ayat-ayat tersebut bisa dijadikan landasan hukum akad
mudharabah. Landasan dari al-Sunnah antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Hadis riwayat Imam baihaqi dari Ibnu ‘Abbas:
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dan ake mitra
usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan
tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw. pun, membolehkannya.”
2.      Hadits riwayat Ibnu Majjah
“Dari Shuhaib, ra., : Bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: “ada tiga hal yang didalamnya
berisi berkah, yaitu: “jual-beli dengan kontan, menyerahkan permodalan dan mencampur
gandum dengan sya’ir untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual”.11[11]

11[11] Imam Mustofa, Op.Cit, hlm. 129-130.


Mudharabah atau Qiradl sewaktu-waktu boleh difasakh (dibubarkan) oleh yang
punya modal atau oleh orang yang diserahi pekerjaan itu. Jika salah satu orang dari mereka
meninggal atau gila, maka qiradl itu batal.12[12]

H.    Jenis-jenis mudharabah


Secara garis besar mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Dalam akad mudharabah mutlaqah pengelola modal di beri
keleluasaan dalam mengelola dan menjalankan modal. Keleluasaan menentukan jenis
usaha, termasuk lokasi, dan tujuan usah. Pemilik modal tidak menentukan jenis usaha yang
harus dijalankan oleh pengelola modal.
Sementara dalam akad mudharabah muqayyadah, pemilik modal sudah menentukan
usaha yang harus dijalankan oleh pengelola modal. Oleh karena itu dia harus menjalankan
usaha sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik modal saat akad. Jenis usaha, lokasi,
jangka waktu, dantujuan usaha harus sesuai dengan kesepakatan dan apa yang telah
ditentukan oleh pemilik modal.
Ketentuan-ketentuan dalam akad mudharabah. Ada beberapa ketentuan yang harus
dimengerti dan dipatuhi oleh masing-masing pihak yang melaksanakan akad mudharabah.
Ketentuantersebut sebagai berikut:
1.    Pada akad mudharabah mutlaqah, pengelola modal tidak diperbolehkan melakukan
tindakan-tindakan yang keluar dari ketentuan syara’.
2.    Pada akad mudharabah muqayyadah, pengelola modal dalam pengelolaan modal tidak
diperbolehkan menjalankan modal diluar usaha yang telah ditentukan bersama dengan
pemilik modal.
3.    Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mengambil atau berhutang dengan
menggunakan uang modal untuk keperluan lain tanpa seizin pemilik modal.
4.    Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan untuk membeli komoditi atau barang yang
harganya lebih tinggi dari modal yang telah di sediakan.
5.    Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mengalihkan modal kepada orang lain dengan
akad mudharabah, atau dengan kata lain mengoper modal untuk akad mudharabah.
6.    Bagi pengelola modal tidak diperbolehkan mencampur modal dengan harta miliknya.

12[12] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1978. Hlm 419-420.
7.    Pengelola modal hendaknya melaksanakan usaha sebagaimana mestinya.13[13]

Syirkah al-inan
Adalah persekutuan dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari
modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi di antara para
anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing harus
sama (Usanti, 2008, hlm.14). Dalam Syirkah ini antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990:
148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan
bisnis properti dengan membangun dan menjual belikan rumah. Masing-masing
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan
barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah,
kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya
50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh
Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata,
"Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)." (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah mufawadha
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan
wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya
(An-Nabhani, 1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu
ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau
ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitramitra usaha
berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah

13[13] Imam Mustofa, Op.Cit, hlm.134-135.


wujûh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur
teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja.
Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada
awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing
ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan
modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah.
Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi
kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud
syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Syirkah ‘Abdan atau A’maal /
Adalah bentuk kerjasama antara dua orang yang seprofesi untuk menerima
pekerjaan secara bersama-sama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu (Usanti,
2008, hlm.15). Dalam Syirkah ‘abdan antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis)
ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah
‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan
dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang
batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.
(An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa
pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara
mitra-mitra usaha (syarîk) Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah
(An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat
dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang
pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar
tidak membawa apa pun." (HR. Abu Dawud )
Adalah persekutuan dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk
mengelola modal bersama-sama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan
kesepakatan, syirkah ini berdasarkan kepercayaan yang bersifat kredibilitas (Usanti,
2008, hlm.15). Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, AsySyarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan
pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama
memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh
masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah
sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani,
1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (AnNabhani,
1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A
dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang
dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung
oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam
syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah
boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan
bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri
telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun
demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam
syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(Syahdeni, 1999, hlm.29). Mudharabah berasal dari akronim Ad-dhorbu fil Ardhi,
bepergian untuk berdagang (Abd. Shomad, 2001, hlm. 364). Praktik Mudharabah
dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi, sedangkan sahabat yang lain tidak
membantahnya. Wacana fiqh seputar Mudharabah hanyalah pandangan pribadi hasil
ijtihad para ahli hukum Islam karena nash tidak mengulas (Abd. Shomad, 2001, hlm.
365).

I.       Rukun dan Syarat Mudharabah


Akad mudharabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
mudharabah ada lima, yaitu pemilik modal (sahibul mal), pelaku usaha atau pengelola
modal (mudarib), modal (ra’sul mal), pekerjaan pengelola modal, (al-‘amal) dan keuntungan
(al-ribh). Penggunaan modal pada dasarnya untuk perdagangan, namun pada praktiknya
tidak selalu digunakan untuk bidang perdagangan, akan tetapi juga ada yang digunakan
untuk usaha dalam bidang jasa.
Mudharabah yang sah harus memenuhi syarat. Syarat yang melekat pada rukunnya.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad. Kedua belah pihak
yang berakad, pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola modal (mudarib) harus cakap
bertindak atau cakap hukum. Berakal dan baligh, dalam akad mudharabah kedua belah
pihak yang berakad tidak disyaratkan harus muslim.
Kedua, syarat yang terkait dengan modal adalah sebagai berikut:
1.    Modal harus berupa uang atau mata uang yang berlaku di pasaran. Menurut mayoritas
ulama modal dalam mudharabah tidak boleh berupa barang, baik bergerak maupun tidak.
2.    Modal harus jelas jumlah dan nilainya. Ketidakjelasan modal akan berakibat pada
ketidakjelasan keuntungan, sementara kejelasan modal merupakan syarat sah mudharabah.
3.    Modal harus berupa uang cash, buka piutang. Berdasarkan syarat ini, maka mudharabah
dengan modal berupa tanggungan utang pengelola modal kepada pemilik modal.
4.    Modal harus ada pada saat dilaksanakannya akad mudharabah.
5.    Modal harus diserahkan kepada pihak pengelola modal atau pengelola usaha (mudarib),
bila modal tidak diserahkan maka akad mudharabah rusak.
Persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau laba dalam akad mudharabah
adalah sebagai berikut:
1.    Jumlah keuntungan harus jelas. Selain itu, proporsi pembagian hasil antara pemilik modal
dan pengelola modal harus jelas, karena dalam mudharabah yang menjadi ma’qud alaih
atau obyek akad adalah laba atau keuntungan, bila keuntungan atau pembagiannya tidak
jelas maka akad diangap rusak. Proporsi pembagian hasil misalnya 50:50, 60:40, 65:35 dan
seterusnya.
2.    Sebagai tambahan untuk syarat pada poin satu di atas, disyaratkan juga bahwa proporsi
atau presentase pembagian hasil dihitung hanya dari keuntungan, tidak termasuk modal.
3.    Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan presentase dari jumlah modal yang diberikan
sahibul mal. Penghitungan bagi hasil harus berdasarkan keuntungan yang didapat.
4.    Tidak boleh menentukan jumlah tertentu untuk pembagian hasil, misalnya Rp. 1000.000,
Rp. 5000.000 dan seterusnya. Karena keuntungan atau hasil yang akan diperoleh belum
diketahui jumlahnya. Oleh karena itu, maka pembagian hasil berdasarkan presentase, bukan
berdasarkan jumlah tertentu.14[14]

J.      Implentasi Mudharabah dalam Lembaga Keuangan Syariah


1.    Pengertian (dalam Konteks Pembiayaan)
a.    Keuntungan usaha dibagi berdasarkan perbandingan nisbah yang telah disepakati dan pada
akhir periode kerja sama nasabah harus mengembalikan semua modal usaha lembaga
keuangan.
b.    Dalam hal terjadi kerugian, maka akan menjadi tanggungan lembaga keuangan, kecuali bila
kerugian diakibatkan oleh kelalaian nasabah. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kerugian, lembaga keuangan harus memahami karateristik risiko usaha tersebut dan kerja
sama dengan nasabah untuk mengatasi berbagai masalah.
2.    Aplikasi (dalam Konteks Pembiayaan)
a.    Pembiayaan modal kerja; modal bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang industri,
perdagangan, dan jasa.
b.    Pembiayaan investasi; untuk pengadaan barang-barang modal, aktiva tetap dan
sebagainya.

14[14] Ibid, hlm. 132-133.


c.    Pembiayaan investasi khusus; bank bertindak dan memosisikan diri sebagai arranger yang
mempertemukan kepentingan pemilik dana, seperti yayasan dan lembaga keuangan non-
bank, dengan pengusaha yang memerlukan.
3.    Praktik Pembiayaan Mudharabah
Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan berakad jual beli
maupun syirkah atau kerja sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (bai’bil
tsaman al-ajiil dan murabahah), maka bank akan mendapatkan margin keuntungan.
Pembagiannya tidak begitu rumit. Namun, jika pembiayaan berkaitan dengan akad syirkah
(musyarakah dan mudharabah), maka pembiayaan ini membutuhkan perhitungan-
perhitungan yang cukup njlimet.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak dalam
pembiayaan mudharabah (bagi hasil), yaitu (a) nisbah bagi hasil yang disepakati, (b) tingkat
keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh karena itu, bank sebagai pihak yang memiliki
dana akan melakukan perhitungan nisbah yang ada dijadikan kesepakatan pembagian
pendapatan.
4.    Cara Menentukan Nisbah
Nisbah merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil. Sebab, nisbah
merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang melakukan
transaksi. Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu diperhatikan aspek-aspek: data usaha,
kemampuan angsuran, hasil usaha yang dijalankan atau tingkat return aktual bisnis, tingkat
return yang diharapkan, nisbah pembiayaan dan distribusi pembagian hasil.
Penentuan nisbah bagi hasil dibuat sesuai dengan jenis pembiayaan mudarabah
yang dipilih. Ada dua jenis pembiayaan mudarabah, yaitu mudarabah mutlaqah dan
mudarabah muqayyadah.
a.       Nisbah bagi hasil pembiayaan mudarabah mutlaqah
Pembiayaan mudarabah mutlaqah adalah pembiayaan yang memiliki dana tidak diminta
syarat, kecuali syarat baku untuk berlakunya kontrak mudarabah. Untuk ini, nisbah dibuat
berdasarkan metode expected profit rate (ERP). ERP diperoleh berdasarkan (1) tingkat
keuntungan rata-rata pada industri sejenis; (2) pertumbuhan ekonomi; (3) dihitung dari nilai
requeired profit rate (RPR) yang berlaku di bank yang bersangkutan.
b.      Nisbah bagi hasil pembiayaan mudarabah muqayyadah
Pada pembiayaan jenis ini, nasabah menuntut adanya nisbah yang sebanding dengan situasi
bisnis tertentu. Dengan kata lain, pada kontrak pembiayaan mudarabah muqayyadah
pemilik dana menambah syarat lain di luar syarat kebiasaan mudarabah.15[15]

Syirkah ta’awuniyah (koperasi) adalah syirkah musahamah artinya syirkah yang dibentuk
melalui pembelian saham-saham oleh para anggota. Karena itu, syirkah ini adalah syirkah
amwal (badan kumpulan modal)’ dan bukan syirkah asyhkash (badan kumpulan orang) ,
sebab dalam syirkah ta’awuniyah ini yang tampak bukan kepribadian para anggota pemilik
saham. Sebagian ulama menganggap koperasi (syirkah ta’awuniyah) sebagai akad
mudharabah, yakni suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, yang mana
satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar
membagi keuntungan menurut perjanjian. Dan diantara syarat sahnya mudharabah itu
adalah menetapkan keuntungan setiap tahun kepada salah satu pihak dari mudharabah
itu , apabila koperasi itu termasuk mudharabah atau qiradh dengan menetapkan
prosentase keuntungan tertentu kepada salah satu pihak, maka akad ini tidak sah (batal)
dan hukumnya adalah seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan
pelaksana usaha mendapat upah yang pantas. Berbeda dengan pandangan Mahmud
Syaltut, sebab syirkah ta’awuniyah modal usahanya dari sejumlah anggota pemegang
saham, dan usaha koperasi itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh
koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masing, dan kalau pemegang saham
turut mengelola usaha koperasi tersebut, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan
sistem penggajian yang berlaku.

15[15] Ibid, hlm. 139-141. HUMAEROH, Humaeroh. Eksistensi Syirkah Ta’awuniyah Dalam
Perspektif Hukum Islam.
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Secara bahasa kata syirkah berarti al-ikhtilath (pencampuran) dan persekutuan.
Secara istilah, syirkah merupakan bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih dalam
sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Syirkah memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam islam. Sebab keberadaannya diperkuat
oleh al-Qur’an, hadits, ijma ulama. Syirkah dibagi menjadi dua yaitu Syirkah Amlak
(perserikatan dalam kepemilikan) dan Syirkah Uqud (perserikatan berdasarkan akad). Rukun
syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan
pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada
dua yaitu ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan kabul (ungkapan
penerimaan perserikatan). Adapun menurut Abdurrahman al-Jaziri rukun syirkah meliputi
dua orang yang berserikat, shigat, objek akad syirkah baik itu berupa harta maupun kerja.
Adapun menurut jumhur ulama rukun syirkah sama dengan apa yang dikemukakan oleh al-
Jaziri di atas. Adapun syarat syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum
dilaksanakannya syirkah. Jika syarat tidak terwujud maka transaksi syirkah batal. Syarat-
syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut ini: sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya, sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), sesuatu yang
bertalian dengan syarikat mufawadhah, dan adapun syarat yang bertalian dengan syirkah
inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah. Menurut Malkiyah syarat-syarat yang
bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan,
sedangkan syirkah yang lainnya batal. Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa
rukun syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik
harta maupun kerja. Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh Idris Ahmad berikut ini:
Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada
pihak yang akan mengendalikan harta itu, anggota serikat itu saling mempercayai, sebab
masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya, mencampurkan harta sehinga tidak dapat
dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainnya.
Musyarakah atau syirkah dalam konteks perbankan merupakan akad kerjasama pembiayaan
antara bank syariah (Islamic Banking), atau beberapa keuangan secara bersama-sama, dan
nasabah untuk mengelola suatu kegiatan usaha.
Mudharabah atau Qiradl adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang
lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian
(perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, dibagi dua atau dibagi tiga seumpamanya.
Mudharabah mempunyai landasan dari Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Secara garis
besar mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah. Akad mudharabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
mudharabah ada lima, yaitu pemilik modal (sahibul mal), pelaku usaha atau pengelola
modal (mudarib), modal (ra’sul mal), pekerjaan pengelola modal, (al-‘amal) dan keuntungan
(al-ribh). Mudharabah yang sah harus memenuhi syarat. Syarat yang melekat pada
rukunnya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, syarat yang terkait
dengan para pihak yang berakad, Kedua, syarat yang terkait dengan modal, dan ketiga
persyaratan yang terkait dengan keuntungan atau laba. Implementasi mudarabah dalam
lembaga keuangan syariah meliputi pengertian (dalam konteks pembiayaan), aplikasi (dalam
konteks pembiayaan), praktik pembiayaan mudharabah.

Mudharabah pada dasarnya termasuk dalam syirkah karena memenuhi rukun

dan syarat sebuah akad musyarakah (Antonio, 1999, hlm. 92). Syirkah merupakan

bentuk kerjasama sedangkan pembagian hasil dalam syirkah itu mengacu kepada

Mudharabah. Mari kita lihat, hasil keuntungan dari musyarakah juga diatur, seperti

halnya pada Mudharabah, sesuai dengan prinsip pembagian keuntungan dan


kerugian

(profit and loss sharing principle atau PLS) atau yang istilahnya digunakan oleh UU
No
10 tahun 1998 adalah prinsip bagi hasil. Keuntungan dibagi menurut propersi yang

ditentukan sebelumnya. Kedua pihak memikul resiko kerugian finansial. Musyarakah

bank mempunyai hak suara. Dalam musyarakah, bank adalah mitra usaha. Maka,
dalam

kedudukanya sebagai mitra usaha, bank mempunyai hak yang sama dengan sesama

mitra usaha dalam perjanjian musyarakah, antara lain: turut mengelola usaha yang
di

biayai.Sedangkan Al-Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak di mana

pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain

(mudharib) menjadi pengelola, di mana keuntungan usaha dibagi dalam bentuk

prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh


pemilik

modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu

diakibatkan oleh kelalaian si pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab


atas

kerugian tersebut (Antonio, 1999, hlm. 95).


Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha

tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau


amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan, Syirkah terdiri dari dua jenis, yaitu syirkah al-
milk. Syirkah al-milk terdiri dari empat

akad yaitu syirkah al-inan, syirkah mufawaghah, syirkah wujuh dan

syirkah Mudharabah.Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha

tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau

amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan, Syirkah terdiri dari dua jenis, yaitu syirkah al-
milk. Syirkah al-milk terdiri dari empat

akad yaitu syirkah al-inan, syirkah mufawaghah, syirkahsyirkah wujuh dan syirkah
Mudharabah.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqi, Hasby. Pengantar Fiqh Muamalah. 1984. Jakarta:Bulan Bintang.


Ghazaly, Abdul Rahman dkk, Fiqh Muamalat, 2010. Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP.
Mustofa, Imam. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. 2015. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Rasjid, H.Sulaiman. FIQIH ISLAM (Hukum fiqih Islam). 2015. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’I, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. 1978. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. 2005. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Wardiah, Mia Lasmi. Dasar-dasar Perbankan.2013. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. 2005. Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir.
HUMAEROH, Humaeroh. Eksistensi Syirkah Ta’awuniyah Dalam Perspektif Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai