AKAD MUSYARAKAH
Disusun Oleh:
Muhammad Sya’ban Marpaung
(2202050025)
Dosen Pengampu:
Drs. M. Thahir, M.Ag.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melalui Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
musyarakah, Dewan Syariah Nasional telah memberikan izin operasional
produk pembiayaan musyarakah pada perbankan syariah. Selain itu,
diperkuat dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa
“Allah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba, ini menjadi
acuan nasabah untuk mengunakan produk pembiayaan syariah”.
Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Bank Syariah adalah
bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah
dan menurut jenisnya terbagi menjadi Badan Umum Syariah (BUS) dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pembiayaan musyarakah
merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing- masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan membagi keuntungan berdasarkan kesepakatan,
sedangkan kerugian dibagi berdasarkan kontribusi dana.
Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk
membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha
tersebut. Modal yang ada digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk
kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra
lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari akad musyarakah?
2. Sebutkan dasar syariah dari akad musyarakah!
3. Sebutkan rukun dan syarat akad musyarakah!
4. Bagaimana aplikasi akad musyarakah dalam lembaga keuangan
syari’ah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian dari akad musyarakah
2. Untuk mengetahui dasar syariah dari akad musyarakah
1
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat akad musyarakah
4. Untuk mengetahui aplikasi akad musyarakah dalam lembaga keuangan
lembaga syari’ah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama dan bagi hasil antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan cara masing-masing
pihak memberikan kontribusi atau menggabungkan modal, dana atau mal
dengan kesepakatan bahwa hak-hak, kewajiban, risiko dan keuntungan
ditanggung secara bersama dengan nisbah (bagi hasil) ditentukan sesuai
jumlah modal dan peran masing-masing.
Musyarakah disebut juga dengan istilah sharikah atau syirkah.
Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti al-
ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih, sehingga
antara masing-masing sulit dibedakan1. Seperti persekutuan hak milik
atau perserikatan usaha. Menurut fatwa DSN-MUI Nomor 8 Tahun 2000,
pengertian al-syirkah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan dana bahwa
keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk musyarakah diatur dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam pasal 1
angka 13 disebutkan bahwa musyarakah merupakan salah satu produk
pembiayaan pada perbankan syariah. Musyarakah adalah suatu transaksi
dua orang atau lebih, transaksi ini meliputi pengumpulan dana dan
penggunaan modal. Keuntungan dan kerugian di tanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Namun demikian modal tidak selalu
berbentuk uang tetapi dapat berbentuk lain.
Berikut definisi dan pengertian musyarakah dari beberapa para ahli:
Menurut Antonio (2001), musyarakah adalah akad kerja sama antara
1
Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm 183.
3
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
4
“Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Q.S. Sad: 24).
2. Al-Hadist
Dari abu hurairah Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya Allah
azza wa jallah berfirman “aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satu tidak ada yang menghianati pihak yang lain.
Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka” (HR
Abu Daud). Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah merupakan
dalil lain diperbolehkan nya praktik musyarakah. Hadis ini merupakan
hadist Qudsi, dan kedudukannya sahih menurut Hakim.
Di Hadis ini menjelaskan bahwa Allah memberikan pernyataan
bahwa mereka yang bersekutu dalam sebuah usaha akan mendapat
perniagaan dalam arti Allah akan menjaganya selain itu Allah akan
memberikan pertolongan namun Allah juga akan melaknat mereka yang
mengkhianati perjanjian dan usahanya. Hal ini lantas memperjelas
meskipun memiliki ikatan yang bebas namun kita tidak bisa
membatalkan sembarangan apa yang sudah menjadi kerjasamanya.
3. Ijma
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni mengatakan bahwa
“Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah
secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dari beberapa
elemennya”.
5
C. Rukun dan Syarat Musyarakah
Rukun dari Musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu sebagai berikut:
a. Pelaku akad, para mitra usaha
b. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (drabah)
c. Shighar, yaitu Ijab dan Qabul
d. Nisbah keuntungan (bagi hasil).2
Syarat-syarat yang berhubungan dengan musyarakah menurut
Hanafiyah dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:3
2
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013), hlm 52.
3
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 127.
6
sama,
2) bagi yang besyirkah ahli untuk kafalah.
3) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syurkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang
yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar. Sedangkan
Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah
syirkah inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
4
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Rajawali Press: Jakarta. 2011. cetakan ketujuh.
7
(Skema Pembiayaan Musyarakah)
Ketentuan umum dalam proyek musyarakah di perbankan syariah
adalah sebagai berikut:5
1. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi
2. Menjalakan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik
modal lainnya.
3. Memberi pinjaman kepada pihak lain.
4. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh
pihak lain.
5. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila menarik
diri dari perserikatan, meninggal dunia, atau menjadi tidak cakap hukum.
6. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek
harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan
sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi modal.
7. Proyek yang akan dilaksanakan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepakati (PKES, 2008).
5
PKES. Perbankan Syariah. PKES Publishing: Jakarta. 2008.
8
a) Pembiayaan Proyek.
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b) Modal Ventura.
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan
dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka
waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual
bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap (Syahroni, 2011).
c) Musyarakah Mutanaqisah.
Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah
yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik)
berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya,
hukum Musyarakah Mutanaqisah adalah boleh. Akad Musyarakah
Mutanaqisah terdiri dari akad Musyarakah/ Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
Dalam Musyarakah Mutanaqisah, para mitranya memiliki hak dan
kewajiban, di antaranya; a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan
kesepakatan pada saat akad, b. Memperoleh keuntungan berdasarkan
nisbah yang disepakati pada saat akad, dan c. Menanggung kerugian
sesuai proporsi modal. Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak
pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya
secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya. Jual beli
sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai kesepakatan. Setelah selesai
pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik
lainnya (nasabah).
Selain ketentuan di atas, dalam Musyarakah Mutanaqisah terdapat
ketentuan-ketentuan khusus sebagai berikut; 1. Aset Musyarakah
Mutanaqisah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain, 2.
Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah)
9
dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati, 3.
Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan
nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus
berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti
perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik, 4. Kadar/
Ukuran bagian/ porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang
berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan
disepakati dalam akad, dan 5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi
beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban
pembel (DSN MUI, 2000).
d) Sukuk Musyarakah.
Salah satu produk syariah di pasar modal Indonesia yang masih
terbatas namun berpotensi untuk dikembangkan baik dari sisi jumlah
maupun jenis akad adalah sukuk. Sukuk yang diterbitkan di Indonesia
saat ini baru menggunakan 2 (dua) akad, yaitu akad mudharabah dan
akad ijarah. Sedangkan beberapa negara di kawasan Timur Tengah, Asia
dan Eropa, struktur penerbitan sukuk telah menggunakan akad yang lebih
beragam antara lain akad ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna,
murabahah, salam, dan hybrid sukuk. Di Indonesia sukuk dengan
menggunakan akad musyarakah, berpotensi untuk diterapkan oleh
perusahaan di berbagai sektor bidang usaha, sedangkan sukuk dengan
menggunakan akad istishna untuk perusahaan di sektor infrastruktur.
Konsep ini sesuai diterapkan dalam kegiatan investasi, di mana
dalam kegiatan tersebut masih terdapat hal-hal yang belum dapat
diprediksikan antara lain berapa keuntungan yang akan diperoleh. Hal ini
dapat dikatakan bahwa sukuk musyarakah merupakan bentuk pembiayaan
syariah yang paling ideal karena dalam struktur ini terkandung dengan
jelas konsep syariah yaitu untung muncul bersama risiko (al ghunmu bil
ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman)
(Tim Kajian Pengembangan Produk Syariah, 2009).
1) Sukuk Musyarakah Tanpa SPV
Penerbitan sukuk didahului dengan adanya proyek (yang akan
10
dijadikan underlying asset) atau rencana proyek tertentu yang
memerlukan pendanaan lewat penerbitan sukuk musyarakah.
11
Dalam struktur yang lebih kompleks, Emiten dapat membentuk
perusahaan khusus SPV untuk pengelola aset/proyek dan sukuk yang
diterbitkan terkait dengan aset tersebut.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Musyarakah adalah bentuk percampuran (perseroan) dalam Islam yang
pola operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Prinsip
musyarakah berbeda dengan model perseroan dalam sistim ekonomi
kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada tidak hanya terletak pada tidak
adanya praktik bunga, melainkan juga berbeda dalam hal transaksi
pembentukannya, operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan
tanggungjawab kerugian. Musyarakah sangat penting peranannya dalam
pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Dasar hukum akad musyarakah yaitu, a) Al-Qur’an, b) Al-Hadist, c)
Ijma’.
13
DAFTAR PUSTAKA
A. Masadi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1994. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, cetakan
keempat belas. Jakarta: Tazkia Cendekia.
14