Anda di halaman 1dari 4

Voudyee Thobyee

By: Haudhatin Adzimi

Aku, manusia yang mengklaim bahwa pertemanan itu tidaklah penting. Tidak
peduli seberapa banyak orang yang menawarkan diri untuk menjadi temanku karena
keputusanku sudah bulat, aku tidak butuh teman. Ya, menurutku pertemanan hanya
akan menghambat segalanya. Kau tahu? Beberapa waktu yang lalu aku sempat
membaca sebuah quotes yang berbunyi “Jika dengan mengurangi teman, mengurangi
drama. Kenapa tidak?”. Hahaha, tidak terlalu buruk. Namun ternyata Tuhan ingin
memperlihatkan kepadaku bahwa berteman tidaklah seburuk yang aku pikirkan. Suatu
hari, aku menerima pesan lewat aplikasi BBM di HandPhoneku. Penolakanku tidak
berarti apa-apa sepertinya bagi orang yang satu ini. Hingga akhirnya aku menyerah dan
mengikuti alurnya begitu saja. Waktu enam tahun kuhabiskan dengannya sebagai
sepasang sahabat, tapi apakah akan berakhir bahagia? Itu masih menjadi sebuah harapan
besar untukku.

***

“Iya aku mau jadi temanmu, asalkan apabila nanti aku butuh bantuan kamu harus bantu
aku.”

“Bantuan seperti apa?”

“Yaa, seperti membantu menyelesaikan PR mungkin.”

“Oke, setuju.”

***

Waktu terus berlalu meninggalkan diriku yang masih terpaku dalam sembilu.
Aku masih merindukannya dan selalu mengharapkannya kembali walau orang yang
memutuskan untuk pergi diantara kita adalah diriku sendiri. Tidak, aku tidak menyesali
apapun. Hanya saja aku kecewa. Ya, kamu berubah dan itu yang membuatku harus
pergi. Tapi mengapa? Haruskah setelah persahabatan yang kita jalin selama enam tahun
terakhir ini? Aku merindukanmu.
Mungkin kamu tidak pernah tahu betapa keras usahaku untuk menjaga
persahabatan kita agar tetap abadi tanpa harus ada perasaan yang tidak sewajarnya
muncul di antara kita. Sepertinya memang benar, ketika seorang laki-laki dan
perempuan menjalin hubungan persahabatan tidak menutup kemungkinan bahwa akan
timbul rasa suka dari salah satu diantara keduanya. Aku sempat memiliki perasaan itu,
tapi dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menghilangkannya tanpa kamu ketahui.
Entah apakah kamu juga begitu? Aku tidak tahu.

Aku masih ingat bagaimana dulu kamu memintaku untuk membuat panggilan
persahabatan untuk kita.

“Kenapa nama BBM mu Thoubyee?”

“Karena lucu.”

“Lucu?”

“Iya. Sebenarnya sih ceritanya begini. Aku sempat melihat nama sahabatku di kontak
kakak sepupuku. Namanya ‘Choubyee’, sedangkan nama kakakku di kontaknya
‘Poupyee’. Pantas sih, mereka pacaran. Aku pikir, lucu juga ya. Akhirnya aku bikin lah
buat diriku sendiri. Thoubyee.”

“Aku mau dong dibuatin nama yang lucu kayak punyamu.”

“Boleh. Aku pikir dulu ya.”

Setelah agak lama aku berfikir, akhirnya aku menemukan nama yang cocok buat kamu.
Kamu tahu apa?

“Voudyee.”

“Voudyee? Oke, bagus. Aku suka.”

“Jadi, kamu panggil aku Thoubyee! Dan sebaliknya, aku panggil kamu Voudyee.
Bagaimana?”

“Setuju.”
Ya, kita sahabat. Sejak saat itu dan hingga saat ini. Aku selalu berharap
begitu. Tapi entahlah, aku juga tidak mengerti apa yang membuat persahabatan kita
harus berakhir. Sekarang, nama itu hanya tinggal kenangan saja. Tidak akan pernah ada
lagi orang yang memanggilku dengan sebutan Thoubyee. Dan kau tahu? Aku rindu
dengan panggilan itu.

“Thoubyee.”

“Iya.”

“Ada sesuatu yang bisa aku bantu gak?”

“Apa ya? Gak ada. Kenapa?”

“Kamu lupa? Waktu itu kamu bilang kalau aku boleh jadi temanmu asal aku bisa bantu
kamu.”

“Oh itu. Iya aku ingat. Hahahahaha.”

“Kok malah ketawa?”

“Lucu aja kamu masih ingat sama janji konyol itu.”

Ini sudah tahun ke-3 sejak saat kamu meminta untuk menjdi temanku. Aku
baru sadar bahwa aku sangat pemilih waktu itu. Mungkinkah kamu ingat saat aku
menanyakan sekolah dan peringkatmu? Kalau saja kamu tidak mengatakan bahwa kamu
masuk dalam kategori tiga besar saat itu, mungkin kita tidak akan pernah seperti ini.

***

Kau tahu? Aku pernah penasaran bagaimana suaramu, karena kita tidak
pernah bertukar cerita lewat telepon ataupun pesan suara di BBM. Tapi aku begitu
gengsi untuk mengakui itu. Hingga pada suatu hari kamu pun merasakan hal yang sama.

“Thoubyee, ngomong-ngomong, kita ga pernah ya teleponan atau semacamnya?”

“Eh, iya.”
Aku pura-pura kaget, sebelum kemudian aku merasa canggung karena
keputusanmu untuk meneleponku. Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah itu.
Entah kita sama-sama berbicara atau malah sebaliknya, diam seperti dua patung sejarah
di depan tugu nasional. Aku tidak ingat apapun.

Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menghabiskan waktu


denganmu walau hanya di media social. Aku tahu banyak hal darimu.

“Kamu tahu gak introvert itu apa?”

“Gak begitu tahu. Memangnya apa?”

“Orang yang memiliki sifat introvert biasanya cenderung tertutup dan memilih untuk
tidak menceritakan masalah yang ia miliki kepada siapa-siapa. Ini, aku kirimkan link
tentang ciri-ciri orang introvert. Disitu, kamu bisa menyimpulkan sendiri kamu
termasuk ke dalam kategori introvert atau tidak. Lain kali kalau ada masalah, cerita!”

Aku benci untuk melupakan banyak hal tentang kita. Dalam waktu enam
tahun, mana mungkin hanya ini yang dapat aku ingat? Dan lebih menyakitkannya lagi,
mengapa harus berakhir sampai disini? Aku bingung, disaat kamu tiba-tiba bersikap
dingin kepadaku. Membalas pesanku hanya dengan satu atau dua patah kata saja. Ya,
kamu berubah. Dan akupun tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya
menyebabkanmu harus sedingin ini? Hingga sampai saatnya aku pergi, apakah tidak
bisa untuk kita memperbaiki segalanya lalu memulai kisah persahabatan kembali?

Tetapi akhirnya aku sadar, bahwa sebenarnya aku sudah menemukan cara
untuk mengembalikan diriku yang hilang. Aku rasa aku benar. Teman hanya akan
memperburuk segalanya. Jika waktu itu aku ingin mengucapkan terimakasih atas
beberapa kisah yang terkadang membuatku tertawa saat mengingatnya, tapi saat ini aku
akan berterimakasih untuk usahamu yang membuatku menjadi diriku lagi seperti dulu.
Terimakasih Voudyee, aku merindukanmu.

Anda mungkin juga menyukai