Anda di halaman 1dari 27

1

P3 (PERCOBAAN, PENYERTAAN DAN PERBARENGAN)

I. PERCOBAAN

1. Sejarah dan Pengertian Percobaan :


A. Menurut Hukum Pidana Romawi
Belum didapat suatu kepastian tentang apakah pada zaman itu Percobaan sudah dipidana atau
belum.
Ada beberapa pendapat penulis tentang Percobaan :
Pendapat 1 : Pd bbrp delik terdapat Percobaan yang dapat dipidana
Pendapat 2 : Percobaan itu dipersamakan dengan Delik Sempurna dan diancam dengan
pidana yang sama.
Pendapat 3 : Pd Percobaan mutlak tidak diadakan ancaman pidana

B. Menurut Hukum Kanonik


Hukum Kanonik meniadakan perbedaan antara Percobaan dengan Delik Sempurna atas dasar
Voluntas Et Peccatum ( suatu kemauan sdh merupakan TP)

C. Menurut Hukum Carolina dan Code Penal


- Mulai ada ketentuan pemidanaan scr umum untuk Percobaan
- Belanda mengenalnya melalui Code Penal yang dibawa oleh Perancis
- Sudah ada pembedaan yang rapi antara Percobaan dengan Delik Sempurna
- Semula pemidanaan thd Percobaan disamakan dengan Delik Sempurna, namun pd th 1854
dirubah dimana ancaman pidana untuk Percobaan adalah lebih ringan daripada Delik
Sempurna.

D. Percobaan di Indonesia
Berdasarkan asas konkordansi maka Hukum Pidana yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia)
adalah menganut Hukum Pidana yang berlaku di negeri Belanda, dengan demikian maka
perumusan tentang Percobaan adalah sama dengan yang berlaku di negeri Belanda sampai
dengan saat ini

2. Pengertian Dasar tentang Percobaan


1. Menurut pengertian umum
Mencoba dlm pengertian umum berarti melakukan suatu tindakan dalam rangka usaha
untuk mencapai tujuan tertentu yang bisa berhasil dan bisa tidak.
2. Menurut pengertian Hukum Pidana
Mencoba menurut Hukum pidana adalah justru usaha untuk mencapai tujuan itu tidak
tercapai/tidak berhasil, walaupun sudah ada niat dan tindakan untuk mencapai tujuan
tersebut.

3. Percobaan itu termasuk Perluasan Pengertian TP atau Perluasan Pemidanaan


(Pertanggung jawaban pidana)
Timbul persoalan dan perdebatan di kalangan sarjana perihal apakah Percobaan itu termasuk
Perluasan Pengertian TP atau Perluasan Pemidanaan/Pertanggung jawaban pidana.
 Percobaan Merupakan Perluasan Pengertian TP
- Pd dasarnya suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu TP apabila telah memenuhi
seluruh unsur’s TP, jika belum memenuhi maka tidak dapat dikategorikan sebagai suatu
TP.
- Namun demikian ada kalanya suatu tindakan belum memenuhi unsur’s TP tapi dinilai
sudah membahayakan suatu kepentingan maka tindakan itu merupakan TP.
- Percobaan untuk melakukan suatu TP sekalipun belum memenuhi seluruh unsur dari TP
namun dikategorikan sebagai suatu TP.

1
2

- Oleh karena itu Percobaan dirumuskan agar dapat dipandang sebagai TP sekalipun belum
memenuhi semua unsur’snya.
# Dikuatkan dengan Pasal 163 Bis “ Barangsiapa mencoba menggerakkan orang lain
supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana”. Dapat ditafsirkan bahwa mencoba
untuk menggerakkan orang lain saja dapat dipidana, apalagi mencoba menggerakkan diri
sendiri pun harus dianggap sebagai suatu TP.

 Percobaan Merupakan Perluasan Pemidanaan/Pertanggungjawaban pidana


- Menurut pendapat ini Percobaan bukanlah TP dalam bentuk khusus, melainkan hanya
menentukan tentang suatu kelakuan yang ada hubungannya dengan suatu rumusan TP,
seperti pada Pasal 53 KUHP.
- Seseorang petindak baru dapat ditindak atas tindakannya setelah mengkombinasikan
antara suatu Pasal TP dengan Pasal Percobaan.
- Alasannya sejalan dengan pengertian bahwa seorang petindak baru dapat dipidana
apabila tindak pidana itu telah sempurna dilaksanakan.

4. Percobaan Menurut MvT


Percobaan mnrt MvT adalah adanya Niat yang telah diwujudkan dengan Permulaan Tindakan
Pelaksanaan namun tindakan tsb tidak selesai.
Ada 3 penonjolan disini yaitu :
1) Niat : mengarah kepada pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
2) Tindakan : mengarah kepada tindakan terlarang
3) Tidak selesai karena suatu sebab yang bukan kehendaknya

5. Percobaan Menurut Sianturi


Sianturi bergabung kepada pendapat bahwa Percobaan merupakan Perluasan TP atau
merupakan TP berbentuk khusus.
# TP berbentuk khusus ini diuraikan lagi sbb :
- Tindak pidana khusus adalah “suatu Tindakan Khusus yang dilarang oleh Undang-Undang
dimana Petindaknya diancam dengan Pidana”
- Sebenarnya Percobaan dan Pembantuan adalah tindakan’s yang membahayakan
kepentingan negara dan masyarakat, namun karena unsur’snya belum lengkap sehingga sulit
untuk dipertanggungjawa pidanakan.
- Oleh karena itulah diperlukanlah bentuk hukum tertentu agar petindaknya dapat ditindak
sesuai dengan ketentuan undang-undang
- Pengurangan pidana pada Percobaan adalah karena “kekhususannya” yakni sifatnya yang
lebih ringan dari tindak pidana serupa yang kepada pelakunya juga diancam dengan pidana.
- Pengurangan pidana pada Pembantuan adalah karena “kekhususannya” yakni intensitas dan
cara penyertaan yang lebih rendah/kurang dibandingkan dengan petindak utamanya.

Kaitan antara kedua pendapat ttg Percobaan


- Dalam rangka suatu Tindakan tidak sempurna maka dapat dikatakan sebagai belum memenuhi
perumusan undang-undang, sehingga semestinya tidak dipidana. Agar petindak dapat dipidana
maka dibuatlah suatu ketentuan pemidanaannya. Hal inilah yang disebut dengan Perluasan
Pemidanaan.
- Sebaliknya suatu tindakan sekalipun belum sempurna memenuhi perumusan, namun dapat
dikatakan sebagai tindak (-an tercela dan layak di-) pidana
- Kedua pendapat tersebut pd akhirnya sepakat untuk memandang Percobaan sebagai bentuk
yang lebih ringan baik ditinjau dari sudut tindakannya maupun petindaknya , niat ancaman
ataupun pidananya sehingga tidak ada gunanya untuk mempertajam kedua perbedaan
pendapat tersebut.

2
3

6. Dua Aliran Mengenai Dasar-Dasar Pemidanaan

1) Teori Percobaan Subyektif


- Tolak pangkal adalah pada diri petindak, jiwa petindak yaitu niat petindak untuk melakukan
kejahatan yang harus ternyata dari tindakannya yang merupakan pernyataan keberbahayaan.
- Petindak yang beru menyatakan niat jahatnya dalam bentuk tindakan permulaan sudah harus
dipidana, sekalipun belum terjadi suatu kerugian bagi kepentingan hukum sesuai pasal’s TP
- Aliran ini menghendaki pemberantasan kejahatan pada tindakan permulaannya

2) Teori Percobaan Objektif


- Tolak pangkal ada pada tindakan (dari si petindak) yang telah membahayakan suatu
kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang.
- Harus ada hubungan antara tindakan dengan kepentingan hukum yang dilindungi
- Sekalipun digembar gemborkan adanya niat kejahatan namun kalau tidak menunjukkan
adanya hubungan maka dianggap tidak ada pemidanaan.

3) Perbandingan Kedua Teori


- Jika diihat maka seakan-akan T. Percobaaan subyektif lebih dulu ada dibandingkan T.P
Obyektif karena pd teori obyektif bisa saja telah terjadi bbrp rentetan perbuatan namun belum
terjadi suatu keberbahayaan bg kepentingan hukum.
- Namun pd perkembangannya nampak perbedaan antara kedua teori itu hampir-hampir tidak
ada.

4) Teori yang dianut KUHP


KUHP menganut Teori Objektif, yang didasarkan kepada ancaman pidana yang dikurangi
sepertiga dari ancaman pidana maksimum TP sempurna, adalah sepadan karena sesuai dengan
sedikitnya tingkat keberbahayaan bagi kepentingan hukum dibandingkan dengan TP yang
sempurna.

7. Percobaan terhadap Kejahatan


Mnrt sistem hukum pemidanaan thd Percobaan yang dapat dipidana adalah Percobaan Thd
Kejahatan, sementara untuk Percobaan Thd Pelanggaran tidak dipidana.
Namun ternyata ketentuan tsb tidak dipedomani secara konsekuen karena :
1) Percobaan untuk melakukan kejahatan dengan tegas dinyatakan tidak diancam dengan
pidana.
Contoh :
- Percobaan melakukan penganiayaan binatang (Psl 302 ayat 4)
- Percobaan melakukan penganiayaan manusia ( Psl 351 ayat 5 dan 352 ayat 2)
- Percoban untuk melakukan “perkelahian” (Psl 184 ayat 5)
# Uraian
 Penganiayaan Binatang
Untuk Psl 302 Penulis menggunakan istilah binatang , Moelyatno gunakan istilah Hewan.
Mnrt penulis istilah Binatang lebih tepat digunakan untuk kesatuan besar Gajah, Monye,
Lumba-Lumba dll yang mencakup segala jenis satwa. Sedangkan apabila digunakan istilah
Hewan itu lebih tepat untuk satuan binatang-binatang jinak saja seperti anjing, sapi,
kambing dll sehingga tidak bisa mencakup semua satwa. Sedangkan untuk pasal 101
digunakan istilah “Ternak”.
 Perkelahian
Di dalam KUHP “Perkelahian tanding” dicantumkan dalam Pasal 182-186 KUHP.
- Prof Moelyatno telah “menghapuskan” pasal’s 182-186 KUHP karena dianggap tidak perlu
lagi berdasarkan Pasal V UU No.1 /1946. Penulis tidak sependapat dgn Prof Moelyatno
karena :

3
4

(1) Apabila kan menghapus pasal’s tertentu dalam KUHP harus dengan dinyatakan
dengan Undang-Undang.
(2) Istilah “Perkelahian” masih diperlukan di Indonesia tentunya dengan pengertian
Indonesia.
(3) Pasal’s ttg Perkelahian tsb masih diperlukan sebagai sandaran bagi Pasal 101
KUHPM yang mengatur ttg Perkelahian, kalau pasal’s tsb dihapus maka Psl 101
KUHPM akan kehilangan sandarannya.
(4) Bila terjadi perkelahian sesama orang Barat di Indonesia maka pasal’s tersebutlah
yang akan digunakan.

 Alasan untuk tidak memidana Percobaan thd kejahatan’s diatas adalah :


# Untuk percobaan penganiayaan thd manusia dan binatang
Karena hakekat dari tindakan yang dilakukan dengan Percobaan dengan kepentingan
hukum yang dilindungi adalah sedemikian rupa sehingga tidak diperlukan ancaman
pemidanaan, kecuali untuk Percobaan Penganiayaan Manusia yang dikualifisir seperti
penganiayaan berat dan penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu.
# Untuk percobaan perkelahian
Adalah atas dasar kegunaan, maksudnya adalah diharapkan pihak-pihak yang akan
melakukan perkelahian dapat didamaikan secara adat (bg sipil) atau secara penegakan
disiplin (bg militer) tanpa harus dipidana karena melakukan Percobaan.
 Alasan (ratio) secara umum untuk tidak memidana Percobaan thd pelanggaran dan
kejahatan tertentu adalah :
- Kerugian atau keberbahayaannya masih belum terlalu dirasakan oleh umum.
- Diharapkan Polisi dapat lebih aktif melakukan tugas preventi daripada harus
memidana.
- Mempertinggi respek masyarakat akan hukum yang dibuatnya sendiri
- Bila dipidanakan maka biaya penyelesaian perkara ini baik dari sudut penegak hukum
maupun drsudut petindak akan lebih mahal dari kerugian yang ditimbulkannya

2) Percobaan untuk pelanggaran yang justru diancam dengan pidana


- Percobaan thd Pelanggaran juga ternyata pernah diancam dengan pidana,
contoh :
Pasal 26 Peraturan Bahan-Bahan yang Membiuskan ditentukan bahwa “Pelanggaran thd
opium dipidana”
- Apakah hal ini bertentangan dengan pasal 53 dan 54 KUHP? Yang menyatakan bahwa
Percobaan thd Kejahatan dipidana (Psl 53 KUHP) dan Percobaan thd Pelanggaran tidak
dipidana (Psl 54 KUHP)
Ternyata jawabannya adalah Pasal 103 KUHP yaitu bahwa suatu tindakan dapat ditentukan
berbeda dengan undang-undang diatasnya selama yang menentukan adalah pembuat
undang-undang sendiri.

8. Percobaan terhadap Delik Kealpaan


Salah satu syarat dan merupakan syarat yang pertama dari Percobaan adalah adanya Niat.
Memang sangat sulit dibayangkan adanya Niat dalam Kealpaan, namun kemungkinan itu tetap
ada. Contoh :
1) Seseorang yang berniat melakukan suatu persetubuhan dengan wanita di luar
perkawinan, sedang sepatutnya ia dapat menduga bahwa wanita itu masih di bawah
umur (Pasal 287 KUHP).
2) Seseorang yang tertarik membeli sebuah barang yang nampak mahal yang ditawarkan
kepadanya, ternyata dijual dengan harga yang cukup murah, maka sepatutnya ia
menduga bahwa barang itu adalah barang curian. Walaupun barang itu tidak jadi dibeli
karena si pemilik datang mengambil kembali barangnya yang hilang, tetapi Percobaan
terhadap Penadahan-Kealpaan tetap telah terjadi.

4
5

9. Perumusan Percobaan Dalam Kuhp


Ketentuan Mengenai Percobaan
(Pasal 53 KUHP)
(1) Percobaan terhadap kejahatan dipidana, jika niat petindak telah dinyatakan dengan adanya
permulaan pelaksanaan tindakan, dan pelaksanaan tindakan itu tidak selesai hanyalah
karena keadaan-keadaan di luar kehendaknya.
(2) Maksimum pidana pokok yang ditentukan terhadap kejahatan itu, dalam hal Percobaan
dikurangi dengan sepertiganya.
(3) Jika pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancamkan thd kejahatan itu,
maka pidana penjara yang maksimumnya 15 tahun yang dijatuhkan.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan sama dengan kejahatan selesai

Pasal 54 KUHP
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
Ternyata yang ditentukan dari 2 Pasal diatas bukanlah definisi melainkan Syarat-Syarat
Percobaan, yaitu :
(1) Ada niat/kehendak petindak untuk melakukan kejahatan
- Niat dalam perumusan Percobaan tidak sama dengan Niat dalam ajaran Schuld. Dalam
ajaran schuld Niat identik dengan sengaja, jd perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
pasti didasari dengan Niat. Namun pada perumusan Percobaan merupakan kekhususan
dimana Niat tidak menggantikan posisi dolus(dengan sengaja).
- Contoh :
a. Orang berniat untuk membunuh (Pasal 338)
b. Orang berniat untuk mencuri (Pasal 362)
c. Orang berniat untuk merusak barang (Pasal 406)
d. Dst
- Jadi Niat disini diperinci terpisah dari “dengan sengaja” contoh apabila Pasal 338
diperincikan : Niat untuk dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Sehingga nampak
bahwa unsur Niat tidaklah menggantikan unsur Dengan Sengaja.
- Sulit membayangkan adanya Kemungkinan Niat dalam Kealpaan, namun ada Pasal yang
merumuskan adanya Kemungkinan Niat di dalam Kealpaan, yaitu Pasal 359 :
“ Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”

Contoh : sopir menubruk, jururawat salah memberi obat, serdadu kurang hati-hati ketika
membersihkan senjata, dlsb)

(2) Ada permulaan pelaksanaan tindakan


Permulaan Pelaksanaan Tindakan ini dapat ditafsirkan dalam 2 penafsiran :
1) Penafsiran scr tata bahasa
Permulaan pelaksanaan tindakan ditafsirkan sebagai “pelaksanaan tindakan dari niat”
2) Penafsiran scr sistematis
Permulaan pelaksanaan tindakan ditafsirkan sebagai “pelaksanaan tindakan dari kejahatan”

Penjelasan menurut MvT


a. Pelaksanaan tindakan dari kejahatan
Bahwa percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tapi tidak
selesai. (ajaran percobaan obyektif)
b. Pelaksanaan tindakan dari niat
Bahwa percobaan adalah sesuatu permulaan pelaksanaan tindakan dari niat yang dinyatakan
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. (ajaran percobaan subyektif)

5
6

Penjelasan melalui contoh kasus Amat-Badu


Amat berkehendak untuk membunuh Badu. Untuk itu Amat melakukan serentetan perbuatan sbb
:
(1) Amat meminjam atau membeli sepucuk pistol
(2) Amat membawa pistol itu ke rumahnya
(3) Amat melatih diri menggunakan pistol tersebut
(4) Amat merencanakan penembakan yang akan dilakukannya
(5) Amat kemudian membawa pistol tsb ke jurusan rumah Badu
(6) Sesaat setelah Amat melihat badu, ia mengisi pistol tersebut
(7) Amat mengarahkan / membidikkan pistol kepada Badu

# Mnrt ajaran ekstrim subyektif


Ukurannya adalah sejak adanya permulaan pelaksanaan tindakan dari Niat di petindak.
Jadi sejak dari faktor (1) itu sudah terjadi Permulaan Pelaksanaan Tindakan dari Niat itu.
# Mnrt ajaran obyektif
Ukurannya adalah telah adanya bahaya bagi suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum
Jadi mnrt ajaran ini faktor (6) atau (7) dapat dikatakan telah terjadi permulaan pelaksanaan
tindakan dari kejahatan itu.

Ternyata daru uraian diatas pun masih terdapat kesulitan yakni untuk menarik batas mana
tindakan yang masih merupakan persiapan pelaksanaan dan sudah merupakan tindakan
pelaksanaan.
i. Persiapan pelaksanaan _tidak dipidana
ii. Tindakan pelaksanaan _ dipidana

Berikut adalah beberapa pandangan yang berusaha membatasi sifat tindakan yang dapat
dianggap sebagai Permulaan Pelaksanaan Tindakan :

1) Van Hamel (Subyektif)


Tindakan yang dapat dianggap sebagai permulaan-pelaksanaan-tindakan (yang dapat dipidana)
ialah setiap tindakan yang telah membuktikan kehendak yang kuat dari petindak.
Cth : pd kasus Amat-badu adalah baru pada faktor (6) dapat dibuktikan adanya “kehendak yang
kuat”. Faktor’s sebelumnya tidak lagi dianggap sebagai permulaan pelaksanaan tindakan.

2) Vos (subyektif)
Tindakan yang dapat dianggap sebagai permulaan-pelaksanaan-tindakan (yang dapat dipidana)
adalah apabila tindakan itu mempunyai sifat terlarang terhadap suatu kepentingan hukum.
Cth : pd kasus Amat Badu, maka permulaan-pelaksanaan-tindakan adalah pada faktor 6), 7) dan 8)

3) Simons (obyektif)
Bertolak pangkal pada perumusan undang-undang
- Pd delik Formal : dikatakan ada permulaan-pelaksanaan-tindakan bilamana tindakan itu
merupakan sebahagian dari perbuatan yang dirumuskan (terlarang) oleh undang-undang.
- Pd delik Material : dikatakan ada permulaan-pelaksanaan-tindakan bilamana tindakan itu
menurut sifatnya langsung akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang

4) Putusan Hoge Raad


Sejalan dengan ajaran obyektif, ciri’s permulaan-pelaksanaan-tindakan adalah adanya
hubungan langsung antara tindakan daengan kejahatan yang diniatkan oleh petindak.
 Putusan’s HR :
1. Kejahatan perkosaan. Seorang pria telah merangkul seorang wanita dan menciumnya.
Kemudian memaksanya tergeletak di atas tanah dan menyumbat mulut wanita itu supaya
tidak berterian. Tetapi wanita itu mengadakan perlawanan yang kebetulan mendapat
pertolongan dari dua orang laki’s lainnya, sehingga perkosaan itu tidak dapat diselesaikan.
# HR memutuskan bahwa pd kasus ini telah terjadi permulaan-pelaksanaan-tindakan.
6
7

2. Kejahatan Pencurian. Si pencuri dengan maksud mempermudah dan mempersiapkan


pencurian itu telah ada kekerasan terhadap seseorang yang akan dirugikan itu.
# HR memutuskan bahwa pada kasus ini juga telah terjadi permulaan-pelaksanaan-tindakan.
3. Kejahatan pembakaran. A berniat untuk membakar suatu rumah. Pd bbrp kamar telah
dipasang tabung gas dan bahan pembakar lainnya dan diatas kompor telah dipasang pistol
gas yang diikat seutas tali yang ditarik keluar. Sehingga jika ditarik tali itu maka rumah itu
akan meledak, paling tidak adalah terbakar. Ternyata rencana itu tidak jadi terlaksana karena
warga telah berdatangan mengerumuni rumah itu.
# HR memutuskan A bebas. Dianggap tidak ada permulaan pelaksana an tindakan, karena tidak
ada tindakan petindak yang dianggap cukup dekat dengan penyelesaian pembakaran itu yang
dapat dianggap sebagai permulaan pelaksanaan tindakan.

 Putusan MA
1. Kejahatan pencurian. Seorang pegawai kantor pos di Medan berniat mencuri barang’s yang
ada di dalam kantor. Untuk itu selepas jam pulang kerja dia menyembunyikan diri di dalam
WC. Setelah malam ia keluar, namun ternyata kepergok oleh Kepala Kantor pos. Setelah itu
pegawai itupun diserahkan kepada Polisi untuk diperiksa.
- PN menyatakan bahwa Percobaan pencurian tsb telah terbukti
- PT memutus sama dan menguatkan putusan PN
- MA membebaskan pegawai tsb

(3) Pelaksanaan tindakan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan di luar kehendak petindak
Pd syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu :
a. Tidak selesai
Yang tidak selesai adalah kejahatannya. Maksud dari perkataan ini adalah bahwa
tindakan untuk merugikan kepentingan yang dilindungi oleh hukum itu terhenti sebelum
terjadi “kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang”.

b. Hanyalah
Disini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa sekalipun seseorang
mengurungkan niatnya secara sukarela dan penyesalan, tetapi diserta dengan rasa
takut maka dianggap tetap dapat dipidana karena percobaan
Sebaliknya apabila mengurungkan niat karena murni HANYA karena kesukarelaan,
maka dianggap syarat ketiga ini tidak dipenuhi dan dianggap tidak ada percobaan.
Tenggang waktu harus dilihat secara kasusistis.

c. Keadaan-keadaan di luar kehendak petindak

Keadaan di luar kehendak petindak disini maksudnya adalah keadaan yang


menghalangi atau menyebabkan tidak sempurnanyan kejahatan itu. Keadaan ini
terbagi 2 yaitu :
1) Keadaan badaniah
Cth :
- Pd saat A membidikkan pistolnya, tangannya dipukul oleh orang ketiga
- Teh beracun yang disediakan oleh A (pembantu) ketika hendak diminum oleh
majikannya, mendadak ditubruk oleh kucing, sehinggan tumpah
- A menembak B ternyata meleset dan hanya melukai B
- A tidak jadi menembakkan pistolnya karena mendadak tanah tempatnya
berpijak mendadak longsor.

2) Keadaan rohaniah
Cth :
Seseorang yang akan menembak tiba’s merasa takut karena jangan-jangan ada
petugas disekitarnya yang melihat aksinya sehingga ia mengurungkan niatnya.
7
8

Rasa takut ini bukan hanya karena disebabkan oleh manusia saja melainkan bisa
oleh alam atau bahkan hewan.
Rasa takut yang menyebabkan tidak selesainya tindakan itu di dalam hukum
pidana dianggap sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak

10. Teori-Teori Mengenai Percobaan

Percobaan yang Tidak Wajar


Niat dari petindak telah diwujudkan melalui permulaan pelaksanaan tindakan, namun ada keadaan
diluar kehendak petindak yang menghalangi penyelesaian tindakan tsb.
Keadaan ini bukanlah rintangan oleh manusia, hewan atau alam, melainkan karena Alat dan
Sasarannya yang tidak wajar dan ketidak wajaran ini tidak diketahui oleh si petindak sebelumnya
Ada 4 bentuk Percobaan Tidak Wajar :
1) Alatnya mutlak tidak wajar
A pergi ke apotek beli arsenikum untuk meracun majikannya, ternyata karyawan apotek malah
memberi gula. Sehingga pd saat dicampur di minuman dan diminum oleh majikannya tidak apa-
apa karena yang dicampur adalah gula bukan arsenikum.

2) Alatnya relatif tidak wajar


A beli arsenikum dan memang asli diberikan arsenikum, setelah dicampur dalam minuman
majikannya ternyata tidak apa-apa. Mungkin karena dosis arsenikumnya yang kurang atau
kondisi fisik majikannya yang cukup kuat.

3) Sasarannya mutlak tidak wajar


A menembak B yang punya sakit jantung yang sedang terbarig di tempat tidur. Ternyata hasil
pemeriksaan forensik B sudah meninggal bbrp menit sebelum ditembak oleh A. Sehingga
sesungguhnya B sudah meninggal sebelum ditembak oleh A.

4) Sasarannya relatif tidak wajar


A menusuk B untuk membunuh B dengan pedang. Diluar dugaan, B tidak tembus justru pedang
A patah. Ternyata B mengenakan baju lapis baja dibalik bajunya.

11. apakah bentuk percobaan tidak wajar ini dapat dipidana


 Mnrt ajaran subyektif
Tidak sempurnanya kejahatan ini adalah karena alat atau sasaran yang tidak wajar, seandainya
wajar maka pasti sudah selesai dengan sempurna kejahatan itu. Oleh karena itu mnrt ajaran
subyektif semua bentuk percobaan tidak wajar adalah sudah dapat dipidana.
 Mnrt ajaran obyektif
Walaupun sudah ada tindakan, namun harus dilihat dulu keberbahayaannya bagi kepentingan
hukum.
- Oleh karena itu untuk semua percobaan yang mutlak tidak wajar, dianggap tidak ada
keberbahayaan bagi kepentingan hukum sehingga tidak dapt dipidana.
- Dan untuk semua percobaa yang relatif tidak wajar dianggap sudah ada keberbahayaan bagi
kepentingan hukum, sehingga dapat dipidana.

12. Ternyata dalam prakteknya tidak mudah untuk pemecahan persoalan percobaan yang
tidak wajar, berikut contoh’snya :
1) Kasus peti uang
Seseorang dipersalahkan atas percobaan pencurian peti uang. Dia berniat membongkar dan
mengambil uang yang ada di dalam peti tsb. Ternyata peti itu kosong. Dia tetap dipersalahkan
atas percobaan sekalipun sasarannya mutlak tidak wajar, sebab pertimbangan Hakim adalah
semua orang pasti berpendapat yang sama bahwa suatu peti uang pastilah berisi uang.

8
9

2) Kasus pencopet
Seorang pencopet yang dipersalahkan melakukan percobaan pencurian dengan cara
memasukkan tangan dan berusaha mengambil uang seorang perempuan dari kantongnya.
Ternyata kantongnya kosong namun si pelaku tetap dipersalahkan, padahal sasaran mutlak tidak
wajar. Pertimbangan Hakim adalah sama bahwa pd umumnya kantong pasti berisi uang.

3) Kasus pistol kosong


A mau membunuh B dengan menembakkan pistolnya, ternyata pistolnya kosong. A tetap
dipersalahkan sekalipun alatnya mutlak tidak wajar. Pertimbangan Hakim adalah adanya
keberbahayaan dari pistol yang dia acungkan.

# Dengan demikian dalam hal percobaan yang tidak wajar tidak hanya dapat dilihat dari wajar
tidaknya alat/sasaran atau hanya dari keberbahayaan dari petindak saja, melainkan harus dinilai
seluruh kejadian baik dari keberbahayaan petindak maupun wajar/tidaknya alat yang digunakan.

Kejadian-Kejadian yang Mirip dengan Percobaan yang Tidak Wajar


1) Seseorang yang mendoakan orang lain supaya meninggal dunia, ternyata yang didoakan tetap
sehat wal afiat
- Alatnya mutlak tidak wajar

2) Seorang dukun yang melakukan guna-guna dengan menggunakan boneka, ternyata yang
diguna-guna tetap sehat wal afiat
- Alatnya mutlak tidak wajar

3) Menggugurkan kandungan seorang wanita padahal sesungguhnya wanita itu tidak pernah hamil
- Sasarannya mutlak tidak wajar

4) Seorang istri yang tunduk pd hukum perdata barat melakukan poliandri, dia tidak tahu padahal
suaminya sesungguhnya sudah lama meninggal di LN.
- Sasarannya mutlak tidak wajar

5) A mencuri suatu benda , padahal tanpa dia ketahui benda tsb berdasarkan surat wasiat akan
diwariskan kepadanya.
- Sasarannya mutlak tidak wajar
# Ada juga yang disebut dengan Poetatief Delict yaitu seseorang mengira bahwa dirinya telah
melakukan suatu TP padalah tindakan tsb tidak terlarang dan diancam pidana
Cth : seorang WNA masuk ke Indonesia dengan membawa sejumlah mata uang negaranya. Awalnya
dia mengira bahwa telah melakukan percobaan kejahatan dengan mengimpor uang kertas asing.
Tetapi selagi masih dalam batas yang diperkenankan, tidak melanggar hukum. Percobaan yang
demikian tidaklah dapat dipidana.

13. Percobaan Dikwalifisir, Sempurna Selesai dan Tercegat


a. Percobaan dikwalifisir
Sistem hukum pidana kita tidak mengenalnya. Petindak membatalkan lanjutan dari tindakan yang
diniatinya scr sukarela, untuk melaksanakan suatu kejahatan tertentu. Namun di waktu yang
sama ia juga telah memenuhi unsur’s TP lainnya. Dalam hal ini petindak akan dituntut
berdasarkan TP lainnya itu
Cth:
A hendak membunuh B sekelurga dengan cara membakar rumahnya. Pd saat api mulai naik
tiba’s ia menyesal dan berusaha menyelamatkan B sekeluarga. Akhirnya B dan keluarganya
selamat namun rumahnya hancur. Untuk ini A akan dituntut dgn TP pembakaran bukan
percobaan pembunuhn

9
10

b. Percobaan selesai atau percobaan sempurna


Petindak telah mempersiapkan segala sesuatunya supaya terjadi akibat yang dikehendakinya
tetapi tidak terwujud.
Cth A bermaksud membunuh B dengan menembaknya tetapi ternyata tidak kena.

c. Percobaan tercegat
Ketika petindak sedang menyelesaikan tindakan percobaan tersebut, ia mendadak dihalang-
halangi sehingga percobaanya menjadi tidak sempurna
Cth : petembak telah mengarahkan pistolnya ke sasaran, namun ada pihak ketiga yang
menghalang-halangi sehingga percoban menjadi gagal.

14. Makar dan Mufakat Jahat


Pasal 87 : Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu tindakan, jika niat petindak telah dinyatakan
dengan adanya permulaan-pelaksanaan-tindakan, seperti dimaksud dalam Pasal 53.
- Ada di dalam Buku kedua Bab I, II dan III (kejahatan thd Presiden, Wapres, negara
sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya)
- Dari 3 syarat Percobaan untuk makar cuku hanya 2 syarat pertama saja
- Tidak perlu dipersoalkan apakah yang diniatkan itu berhasil atau tidak
- Ancaman pidana bagi makar yang sudah sempurna thd kejahatan tertentu, percobaan thd
kejahatan tsb dan terselesaikan “kejahatan khusus itu” SAMA SAJA.
- Pembatalan niat scr sukarela dalam soal makar tidak meniadakan pidana.

15. Percobaan Terhadap Makar dan Mufakat Jahat


Pasal 88 : dikatakan ada mufakat jahat jika dua orang atau lebih telah sepakat untuk mufakat untuk
melakukan kejahatan
- Bila dikaitkan dengan syarat kedua dari Percobaan yaitu Persiapan Pelaksanaan (yang
tidak dipidana) dan Tindakan Pelaksanaan (Yang dipidana) maka mufakat jahat tergolong
kepada Persiapan Pelaksanaan, namun untuk Mufajat jahat justru sudah diancam dengan
pidana. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan pada tahap awal
permulaan sekali

- Pd mufakat jahat tiada peniadaan pidana, hanya apabila terjadi pembatalan secara
sukarela.
- Ada juga bbrp pasal di dalam KUHP yang sifat tindakannya mirip dengan Persiapan
Pelaksanaan :
1) Mempunyai bahan persediaan untuk membuat mata uang palsu (Psl 250)
2) Menyimpan bahan untuk pemalsuan materai (Psl 261)
3) Menyimpan bahan untuk pemalsuan surat/akta otentik (Pasal 275)

10
11

II. PENYERTAAN

1. Definisi penyertaan
- Dua orang atau lebih yang melakukan suatu TP atau dengan kata lain dua orang atau lebih
mengambil bagian untuk mewujudkan suatu TP
- Terbatas pd Penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP yaitu Pasal 55s.d 60 : penyertaan dalam
arti sempit (Psl 55) dan Pembantuan (Psl 59)
- Ada bbrp Penyertaan dalam arti luas yang tidak dimasukkan dalam ketentuan Bab V, bentuk’s ini
sudah diatur sebagai TP tersendiri, yaitu :
1. Mereka yang merencanakan kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 104-108 jo Psl 110
ayat 2 ke-4
2. Seseorang yang menyembunyikan petindak (Pasal 221)
3. Pria dan wanita yang melakukan persetubuhan, dimana salah satunya terikat kepada
perkawinan (Psl 284)
4. Seseorang yang menyembunyikan sesuatu benda yang diketahuinya berasal dari kejahatan
(Psl 480)

2. Dalam hubungan antara setiap peserta akan ditemukan variasi’s sebagai berikut :
a. Penyerta yang satu dengan yang lain sama’s memenuhi unsur TP
b. Penyerta yang turut melakukan TP itu tidak mengetahui bahwa tindakannya merupakan TP, atau
ia terpaksa melakukannya (manus ministra)
c. Penyerta benar’s sadar dan langsung turut serta untuk melakukan TP
d. Penyerta melakukan TP karena adanya sesuatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk
melakukannya
e. Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran, karena ia adalah pengurus, dsb.
f. Penyerta hanya sekedar membantu saja.

Sehingga Pokok Persoalan dalam ajaran Penyertaan adalah :


1. Menentukan bentuk hubungan antara peserta’s tsb
2. Menentukan bentuk pertanggung jawaban pidana dari masing’s peserta, karena telah melakukan
suatu TP.

3. Penyertaan Dalam Arti Sempit


Yang dimaskud dengan Penyertaan dalam arti sempit adalah semua bentuk Penyertaan
yang ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, hal ini untuk membedakan dengan dengan
Pembantuan (Psl 56 KUHP)
Pasal 55 KUHP
(1) Dipidana sebagai petindak-petindak (daders) dari suatu TP :
Ke-1 Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta dalam
suatu TP ;
Ke-2 Mereka yang dengan suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan
kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan
pemberian kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menggerakkan orang
lain untuk melakukan suatu tindakan.
(2) Terhadap penggerak tersebut hanya tindakan yang dengan sengaja digerakkannya beserta
akibat-akibatnya saja yang diperhitungkan.

Dari pasal tsb dapat kita lihat bahwa merumuskan sebagai apa yang disebut dengan peserta
melainkan apa yang diartikan sebagai petindak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
yang dipidana sebagai Petindak ada 4 golongan yaitu :
1. Mereka yang melakukan suatu tindakan
2. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan
3. Mereka yang turut serta melakuka suatu tindakan
4. Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan suatu tindakan
dengan syarat’s yang telah ditentukan dengan scr pasti (limitatif)
11
12

4. Pengertian Petindak (dader)


Mnrt IPHP Petindak adalah barangsiapa yang telah mewujudkan/memenuhi semua unsur’s
(termasuk unsur subjek) dari suatu TP sebagaimana unsur’s itu dirumuskan dalam undang-undang.

5. Bentuk-Bentuk Penyertaan
1. Mereka yang Melakukan Suatu Tindakan (pelaku/pelaku-pelaku)
Setiap petindak itu memenuhi semua unsur’s TP

Cth : ada 3 org berdiri di pinggir jalan dan kemudia melintas sebuah truk mengangkut muatan.
Tiba2 salah satu kemasan dr truk itu jatuh di dekat 3 org tsb. Kemudian ketiga org itu
langsung mengambil barang-barang yg jatuh dr truk itu tanpa adanya kesepakatan
sebelumnya diantara mereka (kehendak sendiri-sendiri)
- Dgn demikian, masing2 org tsb telah melakukan suatu TP secara sempurna dan ancaman
pidana diterapkan sepenuhnya kepada masing2 dr mereka, tidak secara kolektif.

2. Mereka yang Menyuruh Melakukan Sesuatu Tindakan (Doen Plegen)


- Ada yang sebagai Penyuruh dan ada yang Disuruh
- Penyuruh tidak melakukan sendiri scr langsung suatu TP, melainkan menyuruh orang lain
- Penyuruh (manus domina) bermain di belakang layar, sedangkan yang melakukan TP adalah
orang lain yang disuruh (manus ministra) yang merupakan alat di tangan Penyuruh.
- Yang disuruh telah melakukan TP tsb karena ketidaktahuanm kekeliruan atau paksaan,
karenanya padanya tidak ada unsur kesalahan, sehingga kepadanya tidak dipidana atau
setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan.
- Dasar dari tidak dipidananya Manus Ministra adalah Pasal 44, 48 dan 51 ayat 2 KUHP.
- Berlaku asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea atau Geen Straf Zonder Schuld
- Dalam Penyertaan terkadang terjadi seseorang yang tidak mempunyai kualitas menyuruh orang
yang justru mempunyai kualitas. Namun demikian Penyertaan tidak mempedulikan ada tidaknya
kualitas di dalam orang yang menyuruh.

- Cth : A suruh B melakukan pembunuhan. B melakukan pembunuhan tsb. Ternyata B


adalah orang gila. Maka B tidak dapat dipertanggung jawab pidanakan, dan hanya A yg
dpt dipertanggung jawab pidanakan.

3. Mereka yang Turut Serta Melakukan Suatu Tindakan (Medeplegen)


- Mereka yang bersama-sama orang lain melakukan suatu TP
- Syaratnya :
1. Subjeknya paling sedikit 2 orang
2. Menyadari bahwa tindakan mereka itu adalah dalam rangka kerjasama
3. Menyadari bahwa keadaan pribadi yang diatur oleh undang-undang itu ada dalam diri
dengan siapa ia bekerjasama. (Pasal 58)
4. Sama-sama ambil bagian dalam tindakan pelaksanaan
- Pertanggung jawaban pidana setiap Pelaku Peserta adalah SAMA

Cth : Psl 284 (1) ke-1 dan ke-2

6. Syarat-syarat Kerjasama
Kerjasama harus dilakukan secara sadar dan langsung
- Sadar maksudnya adalah setiap pelaku peserta saling mengetahui dan menyadari tindakan
dari para pelaku peserta lainnya. Tidak dipermasalahkan apakah kesepakatan diantara
mereka dekat atau jauh sebelum tindakan pelaksanaan

- Langsung maksudnya adalah bahwa perwujudan dari TP yang terjadi adalah akibat langsung
dari tindakan dari para pelaku peserta.

-
12
13

7. Kerjasama dalam Delik Alpa


Contoh kasus :
a. Dalam suatu kasus kecelakaan KA dimana terlibat sebagai terdakwa-terdakwanya adalah
kepala stasion dan pengatur perjalanan kereta api. Disini dikatakan bahwa telah terjadi
kerjasama dalam bentuk kealpaan yang sangat besar dari kedua terdakwa tsb. Dinyatakan
bahwa bentuk pelaku penyertaan untuk melakukan delik pasal 195 telah terjadi, karen
tindakan dari masing-masing pelakun peserta, satu sm lain berhubungan erat dalam rangka
bahwa terwujudnya kecelakaan itu tidak dikehendaki oleh undang-undang.
b. Dua orang kuli bangunan yang sedang membuat rumah bersama-sama melempar balok dari
aas ke bawah, ternyata balok tsb menimpa orang yang melintas dan orang itu meninggal
dunia. Bila mereke berdua dianggap kurang hati-hati dapat dikenakan melakukan Tindak
Pidana yang mengakibatkan matinya orang lain secara culpa (psl 359)

8. Mereka yg Menggerakkan Untuk Melakukan Suatu Tindakan dgn Daya Upaya Tertentu
(Uitlokking)
Perbedaan Mereka yang menggerakkan dengan Mereka yang menyuruh
Mereka yang menyuruh Mereka yang menggerakkan
- Yang disuruh tidak dapat dipidana - Yang digerakkan dapat dipidana
- Daya upaya pd penyuruh tidak ditentukan - Daya upaya yang digunakan
scr limitatif penggerak dirumuskan scr limitatif

Syarat’s penyertaan penggerak adalah :


a. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh pelaku yang
digerakkan
b. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan oleh Undang-
Undang
c. Ada orang yang digerakkan dan telah melakukan suatu tindakan karena daya upaya
tersebut.
d. Pelaku yang digerakkan harus telah melakukan TP yang digerakkan atau percobaan untuk
TP itu.

9. Tujuan dan Kesengajaan (kehendak) penggerak


Sampai tahun 1924
Dikatakan ada Penggerakkan hanya jika pelaku yang digerakkan benar-benar melakukan TP
yang digerakkan (termasuk percobaannya), dan untuk ini Penggerak dapat dipidana

Tahun 1925
Diadakanlah Pasal 163 bis yang TETAP MEMIDANA Penggerak sekalipun:
a) Pelaku yang digerakkan ternyata tidak bergerak untuk melakukan TP dimaksud
b) Pelaku yang digerakkan sudah menyatakan kesanggupannya
c) Pelaku yang digerakkan sudah menyatakan kesanggupannya tetapi belum sampai pada
Tindakan pelaksanaannya

1) Daya Upaya Tertentu


Berikut adalh bbrp bentuk daya upaya yang dapat dipidana sebagai upaya Penggerakan :
a) Pemberian/perjanjian
b) Penyalahgunaan kekuasaan
c) Penyalahgunaan martabat
d) Kekerasan
e) Ancaman
f) Pemberian kesempatan, sarana atau keterangan

Dan ada beberapa yang sebetulnya dapat dikategorikan sebagai daya upaya namun
dalam undang-undang tidak memasukkan secara limitatif sehingga daya upaya seperti di
bawah ini tidak dapat dipidana
13
14

a) Hutang budi
b) Pengejekan
c) Pemberitahuan sesuatu kejadian yang benar-benar terjadi
d) Saran yang seakan-akan baik

2) Orang Lain yang Digerakkan


Penggerakan bisa dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung
# Tidak secara langsung:
A menggerakkan B untuk membunuh X, B kemudian mengajak C untuk ikut dalam
tindakan pelaksanaannya. Dengan demikian atas tindakan yang dilakukan oleh C itu A
juga ikut dipertanggungjawab pidanakan karena C dianggap (turut)tergerak oleh A.

3) Penggerakkan yang Gagal (Mislukte Uitlokking)


Dasar ; pasal 163 Bis
Intinya adalah ;
a. Apabila yang digerakkan tidak melakukan apa yang dikehendaki si Penggerak (atau
paling banter sampai pada tahap persiapan saja) maka kepada Penggerak sudah
dapat dipidana dengan ancaman pidana 2/3 dari ancaman pidana maksimum bila TP
tsb sempurna selesai. Namun dengan catatan tidak lebih dari 6 tahun

4) Pertanggung jawaban yang Dibatasi dan Diperluas serta Penuntutan


Pertanggungjawaban Dibatasi
A menggerakkan B untuk membunuh C. Ternyata dalam pelaksanaannya C terlebih
dahulu membunuh F (pembantu C). Dalam kasus ini pertanggung jawaban pidana A hanya
sampai pembunuhan C, perihal ikut terbunuhnya F itu diluar pertanggungjawaban A.

Pertanggungjawaban Diperluas
D menggerakkan E untuk menganiaya F. Akibat penganiayaan tsb bbrp hari kemudian F
meninggal dunia akibat penganiayaan tsb. Dengan demikian D akan dipertanggungjawab
pidanakan atas meninggalnya F. Karena kematian F merupakan konsekunsi logis dari
penganiayaan yang dia perintahkan kepada E.

Tempat penuntutan
Adalah saat dan tempat penggerakkan terjadi. Untuk surat dakwaan yang tidak dengan
tegas menyebutkan saat penggerakkan terjadi adalah Batal Demi Hukum.

10. Bentuk-Bentuk Penyertaan di Luar Ketentuan Bab V Buku I KUHP


1) Bentuk-Bentuk yang Menyimpang Penuntutannya
a) Delik Pers _meniadakan pidana kepada pencetak
b) Pasal 72 KUHPM _peniadaan pidana kepada milter yang memberitahukan adanya
mufakat jahat
c) Pasal 59 KUHP _ peniadaan pertanggungjawaban pengurus sepanjang ia dapat
membuktikan bahwa pelanggaran tsb dilakukan oleh pengurus lainnya

2) Bentuk-Bentuk Penyertaan Bersanding (Noodzakelijk Vormen van Deelneming)


TP yang hanya mungkin terjadi kalau dilakukan oleh dua org atau lebih ;
a) Perzinahan (284)
b) Duel (182-186)
c) Bigami /poligami (279)

14
15

PEMBANTUAN

1. Dasar Pasal 56 & 59

2. Mrpkan bentuk Penyertaan tambahan (kelima) dari Penyertaan dalam arti sempit

3. Pembantuan dapat dilakukan :


a. Sebelum suatu TP dilakukan
b. Pd saat suatu TP dilakukan

4. Pertanggung jawaban pidana


- Dibedakan antara pelaku dengan pembantu, pembantu ancaman pidananya dikurangi 1/3 dari
ancama pidana maksimum dari kejahatan bersangkutan.
- Bisa juga lebih kalau ada pemberatan

5. Pasal 58 _ harus juga dilihat keadaan pribadi masing-masing pelaku, sbg contoh apabila si
pelaku itu adalah anak-anak atau bahkan mungkin seorang residivis maka pemberlakuan
pidananya juga akan berbeda. Utk anak2 diberlakukan UU No. 11/2012 dan utk residivis
dikenakan Pasal Perbarengan.

6. Pembantu Aktif

Pasif tidak berbuat apa2 didasarkan kpd peraturan per


Undang-Undangan atau perjanjian
Tempat dimana org tsb bekerja

# Catatan :
Penyertaan ada yg sudah diatur tersendiri dalam Undang-Undang, contoh :
1) Psl 284 ke-1 dan ke-2 : Penyertaan sudah diatur secara khusus, dasarnya adalah Psl 103
KUHP shg tdk perlu lagi dikaitkan dengan Psl 55 KUHP
2) Psl 170 tentang tindak kekerasan yang dilakukan scr bersama-sama

15
16

III. PERBARENGAN
(Samenloop/ Concursus)

1. Pengertian perbarengan
Perbarengan adalah terjemahan dari samenloop atau consursus, ada juga yang
menterjemahkannya sebagai gabungan .

Intinya adalah seseorang/ bbrp orang (umumnya satu orang) melakukan Tindakan yang
mengakibatkan terjadinya dua atau lebih Tindak Pidana. Dan belum ada salah satu dari TP tsb yang
sudah pernah diadili.

2. Batasan, bentuk dan syarat-syarat perbarengan


a. Batasan
Pembatasan dr perbarengan adalah adanya :
1. 1 tindakan (aktif/pasif) mengakibatkan terjadinya 2 atau lebih TP (yang dirumuskan o/
perUUan)
2. 2 atau lebih tindakan (aktif/pasif) mengakibatkan terjadinya 2 atau lebih TP (yang
dirumuskan o/ perUUan)
3. 2 atau lebih tindakan yang dilakukan scr berlanjut (aktif/pasif) mengakibatkan terjadinya 2
atau lebih TP (yang dirumuskan o/ perUUan) umumnya sejenis.

# catatan : pada 1, 2 dan 3 belum ada salah satu dari TP itu yang sudah pernah diadili.

b. Bentuk
Bentuk-bentuk dari Perbarengan adalah sbb :
1. Perbarengan Tindakan Tunggal (PTT)_endaadse samenloop/ concursus idealis
Terbagi lagi menjadi :
a) PTT sejenis_concursus idealis homogenus
b) PTT beragam_concurses idealis heterogenus

2. Perbarengan Tindakan Jamak (PTJ)_meerdaadse samenloop/ concursus realis


a) PTJ sejenis_concursus realis homogenus
b) PTJ beragam_cocncursus realis heterogenus

3. Perbarengan Tindakan Berlanjut (PTB)_ Voortgezette Handeling/ Delict

c. Syarat-syarat
Syarat-syarat dari Perbarengan adalah :
1) Ada 2 atau lebih TP (yang sesuai rumusan perUUan) dilakukan.
2) Bahwa 2 atau lebih TP tsb dilakukan oleh 1 orang (atau 2 orang/lebih dlm rangka
pernyertaan).
3) Bahwa 2 atau lebih TP tsb belum ada yang diadilii.
4) Bahwa 2 atau lebih TP tsb akan diadili sekaligus.

3. Perbarengan mengandung bbrp persoalan dalam penerapannya, yakni :


1. Persoalan Pertama dan merupakan pokok adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan
dengan sistem/stelsel pemidanaan ;
- Dalam hal terjadi 2/lebih TP (baik dikarenakan oleh 1 Tindakan atau 2/lebih Tindakan) yang
sekaligus disidangkan, apakah ancaman pidana dari masing’s TP tsb akan diterapkan atau
tidak?
- Ternyata dlm KUHP dianut bbrp Stelsel mengenai pemidanaan, yaitu :
a. Stelsel penyerapan (absortie)
b. Stelsel penjumlahan (comulatie)
c. Stelsel antara

16
17

2. Persoalan Kedua tentang Perbarengan adlah mengenai dogma hukum tentang :


a. Penafasiran istilah Tindakan (feit)
b. Ukuran untuk menentukan istilah 1 TINDAKAN atau LEBIH
c. Pengertian dari Tindakan Berlanjut (Voortgezette Handeling atau Voortgezette Delict)

3. Persoalan Ketiga adalah mengenai Locus Delicti :


Hubungannya dengan Pengadilan mana yang berwenang mengadili bila TP tsb terjadi di daerah
kekuasaan Pengadilan yang berbeda.

4. Perbarengan Tindakan Tunggal (Ptt)


a. Rumusan dalam KUHP
Pasal 63 KUHP
1) “Jika suatu tindakan masuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu dari ketentuan-ketentuan itu; jika berbeda maka yang
diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok paling berat”
2) Jika suatu tindakan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum, tetapi termasuk juga
dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang diterapkan”.

- Dikatakan PTT apabila dengan 1 TINDAKAN  2 atau lebih TP


- Contoh :
a) Seseorang yang melakukan pemerkosaan di muka umum
Scr sekaligus melanggar pasal :
(1) Pasal 285 tentang pemerkosaan
(2) Pasal 281 tentang asusila di muka umum

b) Seseorang yang mengancam dengan kekerasan kepada sipir penjara untuk


membantu tahanan melarikan diri
Scr sekaligus melanggar pasal :
(1) Pasal 211 tentang ancaman dengan kekerasan kepada pegneg.
(2) Pasal 223 tentang membantu tahanan untuk meloloskan diri

c) Seseorang yang berniat membunuh A dengan menembak, tetapi di luar perkiraan


peluru tersebut tembus dari badan A dan melukai badan B.
Scr sekaligus melanggar pasal :
(1) Pasal 338 tentang merampas nyawa orang lain
(2) Pasal 351 tentang penganiayaan

b. Ukuran Menentukan “satu tindakan atau lebih”


 Pokok masalah adalah Pasal 63 ayat 1 tentang ukuran menentukan satu tindakan.
 Para sarjana masih terdapat perbedaan pendapat tentang ukuran dari yang dimaksud
dengan satu tindakan. Shg yang dijadikan acuan adalah putusan’s Hoge Raad (HR).
 Ukuran yang mendasari putusan’s HR itu sendiri juga mengalami perbedaan antara
sebelum tahun 1932 dan setelah tahun 1932
a. Sebelum tahun 1932
- Yang dimaksud satu tindakan (dlm psl 63 ayat 1 KUHP) adalah tindakan nyata
atau feit material.
- Contoh kasus : seorang sopir yang telah dicabut SIMnya mengemudikan mobil
dalam keadaan mabuk, dipandang sebagai satu tindakan saja. (Arrest HR, 11
April 1927 W. 11673)
- Perbarengan ini disebut juga sebagai concursus idealis heterogenus

b. Setelah tahun 1932


- Yang dimaksud dengan satu tindakan adalah didasarkan kepada perbedaan
waktu dari tindakan’s tsb shg dpt dibayangkan keterpisahannya satu sm lainnya.

17
18

Contoh kasus : seorang supir yang mabuk mengendarai mengendarai sebuah


mobil tanpa lampu pd waktu malam hari. Hal ini dipandang sebagai dua tindakan
dan melanggar dua ketentuan pidana. (Arrest HR, 15 Februari 1932 W. 12491)

- Untuk selanjutnya dianut pendirian yang sama untuk pengertian satu tindakan.
Contoh pada kasus :
1. Penangkapan ikan tanpa hak dan dan tidak seijin dari pemilik kolam
2. Perburuan di luar waktu berburu dan tanpa ijin dari yang berhak/menguasai
dari daerah berburu tersebut.

Hal ini memunculkan pendapat dari beberapa sarjana yakni :


 Taverne
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan itu terdiri atas dua atau lebih tindakan yang berdiri sendiri yang mempunyai sifat
berbeda yang tidak ada kaitannya satu sama lain, dan dapat dibayangkan
keterpisahannya masing-masing.

 Modderman
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan itu dilihat dari sudut badaniah merupakan satu tindakan namun dari sudut
rohaniah ia merupakan pluralitas.

 Pompe
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan tsb dilakukan pada satu tempat dan saat namun mempunyai lebih dari satu
tujuan atau cakupan.

 Van Benmelen
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan tsb walaupun dilakukan pd satu tempat dan saat, namun melanggar beberapa
kepentingan hukum

c. Ketentuan Khusus
 Pokok masalah adalah Pasal 63 ayat 2 yang sesuai dengan asas :
1. Lex Specialis derogate generali
2. Lex posterior derogate lex priori

 Dengan ini maka ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum.


 Sudah tidak ada lagi persoalan tentang perbarengan, krn sudah ditentukan hanya satu
ketentuan pidana yang diterapkan, yaitu yang khusus.
 Yang dimakud dengan khusus itu adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau
tercakup semua unsur’s yang ada pd TP umum, tetapi padanya masih ada unsur lain
atau suatu kekhususan
 Contoh :
1. Pencurian ternak (Pasal 363 ) merupakan ketentuan pidana khusus terhadap Pasal
362 (Pencurian)
2. Pasal 364 KUHP ttg Pencurian barang yang nilai maksimumnya hanya Rp.250 (UU
no. 16 Perpu Th 1960, LN No. 50 th 1960) adalah merupakan ketentuan pidana
khusus thd TP pencurian(Pasal 362)
3. Pasal 65 KUHPM (pemberontakan militer) merupakan ketentuan pidana khusus thd
TP pemberontakan umum (Pasal 108 KUHP)
4. Pasal 344 (Pembunuhan atas permintaan korban) merupakan ketentuan pidana
khusus thd TP pembunuhan (Pasal 338 KUHP)

18
19

5. Perbarengan Tindakan Berlanjut (Ptb)


a. Rumusan dalam KUHP
Ditentukan di Pasal 64 KUHP yang berbunyi :
(1) Jika antara beberapa tindakan yang masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang sebagai satu
tindakan berlanjut, maka hanya satu ketentuan pidana yang diterapkan; jika berbeda
maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Begitu juga hanya diterapkan satu ketentuan pidana, jika petindak dinyatakan bersalah
melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan demikian juga menggunakan
barang yang dipalsu atau dirusak itu.
(3) Akan tetapi, jika yang dilakukan itu kejahatan-kejahatan tersebut pasal 364, 373, 379 dan
407 ayat 1 sebagai tindakan berlanjut sedangkan jumlah nilai kerugian yang ditimbulkan
melebihi Rp. 250,- (Tafsir dai Undang-Undang No.16 Prp Tahun 1960) maka padanya
diterapkan ketentuan pidana tersebut pasal 362, 372, 378 dan 406.

b. Ciri’s PTB
Dikatakan sebagai PTB apabila tindakan-tindakan itu masing-masing merupakan kejahatan
atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai tindakan berlanjut.

 Ciri’s PTB ialah :


1) Tindakan’;s yang terjadi adalah perwujudan dari satu kehendak jahat (one criminal
intention)
2) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
3) Tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.

c. Contoh PTB
Cth 1 :
Seorang PRT yang mengetahui tempat penyimpanan uang majikannya yang diketahuinya
berjumlah Rp 10.000,-. Timbul kehendak dalam dirinya untuk mengambil uang tersebut.
Namun agar tidak segera ketahuan maka ia berencana akan mengambil uang tersebut
sedikit demi sedikit selama beberapa hari secara berturut-turut hingga berjumlah Rp.8000,-

Cth 2 :
Begitu juga halnya dengan seorang kasir yang dengan satu kehendak telah secara berturut-
turut mengambil uang dari brankas yang ada dalam pengawasannya, sehingga ia telah
melakukan penggelapan-penggelapan yang merupakan PTB.

d. Perbedaan pendapat para sarjana tentang “hubungan sedemikian rupa”


Para sarjana masih tidak sependapat perihal rumusan “hubungan sedemikian rupa” yang
tercantum dalam Pasal 64. Perbedaan pendapat tsb berkisar pada :
1) Apakah delik yang terjadi sebagai perwujudan dari hanya satu kehendak itu harus sama
atau sejenis ?
2) Apakah yang dilakukan itu berupa tindakan-tindakan ataukah telah berupa delik?

Pendapat HR dan Para sarjana


- Bahwa tindakan-tindakan itu harus sejenis sesuai yang diuraikan oleh MvT dengan
alasan yang bersandar kepada Pasal 64 ayat 2.
- Pasal 64 ayat 2 merupakan pengecualian thd pendirian MvT diatas
- Tindakan-tindakan lain diluar tersebut pasal 64 ayat 2 harus tetap dipandang sebagai
aneka jenis.

Pendapat Simons
- Tidak sependapat dengan pendirian MvT
- Tindakan’s tsb tidak selalu harus sejenis asal saja timbulnya dari satu kehendak jahat
(one criminal intention)
19
20

- Cth :
A dihina oleh B shg A berkehendak untuk membalas dendam kepada B :
Hari pertama A mencaci maki B di muka umum
Hari kedua A menelanjangi B di depan umum
Hari ketiga A memukuli B hingga luka
# Nampak bahwa ketiga tindakan tsb tidaklah sejenis namun timbul dari satu kehendak.

# Kesimpulan :
1) a. Pasal 64 (1) Concursus Idealis Homogenus/ PTB/ VH
b. Pasal 64 (2) Pengecualian untuk “sejenis”
c. Diluar Pasal 64 (2) adalah “aneka jenis”
2) Menurut Simons : Psl 64 (1) “tidak harus sejenis”

e. Berupa tindakan atau delik


Apakah kejadian itu baru berupa tindakan-tindakan atau sudah berupa delik-delik ?
Pendapat 1
Bahwa yang dimaksud dengan “tindakan berlanjut “ sebenarnya seolah-olah bbrp delik telah
dijadikan satu.
Pendapat 2
- Berpegang teguh pd Pasal 64 dan mengatakan bahwa undang-undang tidak mengenal
istilah delik berlanjut.
- Demikian pula bila dikatakan sebagai delik berlanjut, maka konsekuensi dari penggunaan
istilah delik adalah ia harus dikaitkan dengan ketentuan yang berhubungan dengan delik
sempurna. Krn itu ia sebenarnya adalah Perbarengan Tindakan Jamak, akan tetapi
berupa oengecualian krn ancaman pidananya sejalan dengan bentuk Perbarengan
Tindakan Tunggal

f. Manfaat dari pembedaan apakah tindakan’s tsb berupa Tindakan atau Delik
Mengenai apakah suatu kejadian itu berupa tindakan atau telah berupa delik sangat erat
hubungannya dengan bbrp hal dibawah ini, berikut manfaat dari pembedaan tersebut :
1) Pengadilan/ Mahkamah yang berwenang mengadilinya
Terjadi Tp yang dilakukan di bbrp tempat / daerah tetapi dari satu kehendak jahat (one
criminal intention), maka :
 Jika dianut Pendapat 1 diatas
Hanya salah satu Pengadilan saja yang berwenang mengadilinya
 Jika dianut Pendapat 2 diatas
Tiap Pengadilan yang di daerahnya salah satu tindakan tsb dilakukan, berwenang
mengadilinya.

2) Penyertaan dari orang lain


 Jika dianut Pendapat 1 diatas
Bila seseorang hanya menyertai satu kali saja diantara tujuh kali tindakan berlanjut,
maka peserta itu tetap harus dipandang sebagai peserta dari keseluruhan dari delik-
delik itu, karena telah dipandang sebagai satu delik saja.
 Jika dianut Pendapat 2 diatas
Maka peserta tsb hanya dianggap berperan satu kali saja, yaitu dimana ia turut serta
melakukan tindakan tersebut.

3) Kedaluwarsaan dari delik yang bersangkutan


Yang dipermasalahkan adalah apakah kedaluwarsaan untuk masing’s tindakan atau delik
tetap berlaku.

20
21

g. Cakupan dari “satu kehendak jahat” dengan delik dolus/culpa dan delik material/
formal
# Untuk delik dolus
Dalam hubungannya dengan delik formal/ material tidak ada masalah mengenai batas
cakupan dari “satu kehendak jahat”

# Untuk delik culpa


Dalam hubungannya dengan delik formal/material dapat dipermasalahkan apakah mungkin
terjadi suatu “kehendak” untuk melakukan delik culpa secara berlanjut?
- Untuk delik formal hal itu sukar dibayangkan akan terjadi
- Sebaliknya untuk delik material dapatlah dibayangkan bila kehendak itu mencakup
tindakan’s yang akan dilakukan dan tidak mencakup akibat’s yang terjadi
Cth : seorang sopir yang hendak menempuh jarak jauh berkehendak dan melakukan
pengebutan yang di sepanjang jalan telah menimbulkan beberapa korban.

6. Perbarengan Tindakan Jamak (Ptj)


a. Rumusan dalam KUHP
PTJ diatur dalam KUHP dalam Pasal’s 65, 66, 70 dan 70 bis
 Pasal 65
(1) Dalam hal perbarengan beberapa tindakan yang masing-masing harus dipandang
sebagai tindakan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah maksimum pidana yang diancamkan
terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, namun tidak boleh melebihi maksimum
pidana terberat ditambah sepertiga.

 Pasal 66
(1) Dalam perbarengan beberapa tindakan yang masing-masing harus dipandang
sebagai tindakan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, dijatuhkan masing-masing pidana
tersebut namun jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah
sepertiga.
(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung sesuai dengan maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk tindakan tersebut.

 Pasal 70
(1) Jika ada perbarengan seperti tersebut pasal 65 dan 66, baik perbarengan
pelanggaran dengan kejahatan ataupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka
untuk tiap-tiap pelanggaran diancamkan masing-masing pidana tanpa dikurangi.
(2) Maksimum lamanya pidana kurungan dan kurungan pengganti untuk pelanggaran
adalah satu tahun empat bulan, sedangkan maksimum pidana kurungan pengganti
adalah delapan bulan.

 Pasal 70 bis
Dalam penggunaan pasal-pasal 65, 66 dan 70, kejahatan-kejahatan tersebut pasal 302
ayat 1, 352, 364, 373, 379 dan 482 dipandang sebagai pelanggaran, tetapi dengan
pengertian jika dijatuhkan pidana penjara untuk kejahatan-kejahatan itu, maksimumnya
adalah delapan bulan.

b. Perbedaan PTJ berdasarkan Uraian Pasal-pasal


 Berdasarkan jenis ancaman pidana kepada kejahatan’s tsb
- Pasal 65 bertitik berat pd ancaman pidana yang sejenis (cth: sama’s pidana penjara
atau sama’s pidana kurungan)
- Pasal 66 bertitik berat pada ancaman pidana yang tidak sejenis

21
22

 Berdasarkan jenis tindak pidananya


- Pasal 70 ditentukan tentang perbarengan antara kejahatan dgn pelanggaran atau
antara pelanggaran dengan pelanggaran (kemudian berkaitan dgn stelsel
pemidanaan)
- Pasal 70 bis ditentukan tentang kejahatan’s ringan yang dipandang sebagai
pelanggaran.

c. Pengertian PTJ dan ragamnya


 Pengertian
Satu orang melakukan dua/lebih tindakan, masing2 tindakan berdiri sendiri dan
merupakan dua/lebih TP dan tindakan’s tsb bukan perwujudan dari satu kehendak .

 Ragam
PTJ ini dapat berupa :
1. PTJ dengan kejahatan’s senama
2. PTJ dengan kejahatan’s sejenis
3. PTJ dengan kejahatan’s beragam
Contoh kasus :
1. Melakukan pencurian di rumah A pd hari Senin, kemudian pd hari Rabu melakukan
pencurian di rumah B dan pd hari Sabtu melakukan pencurian di suatu gudang.
Pencurian’s tsb dilakukan bukan dengan satu kehendak.  Kejahatan’s senama (Psl
65)
2. Melakukan pencurian pd hari Pertama, penggelapan pd hari Ketiga dan penipuan pd
hari ketujuh.  kejahatan’s sejenis (Psl 65)
3. Melakukan penghinaan pd hari Pertama, penipuan pd hari Ketiga dan penadahan pd
hari Keenam.  kejahatan’s tidak sejenis (Psl 66)
4. Melakukan kejahatan pd hari Pertama, kemudian hari melakukan pelanggaran’s atau
melakukan pelanggaran2 pd hari berurutan.  kejahatan’s beragam (Psl 70)

d. Delik tertinggal
Untuk delik tertinggal akan dibahas di bagian akhir dari rangkuman ini.

7. Perbarengan di Dalam KUHP dan di Dalam RUU KUHPNasional


 Di dalam KUHP, Perbarengan diatur dalam Bab tersendiri, yaitu Bab VI Buku ke-I
 Di dalam RUU KUHPNasional Indonesia 1993, Perbarengan diatur dalam Bab III (Pemidanaan)
sub Bab V tentang Perbarengan.
 Di dalam RUU KUHPNasional Indonesia 1993 diatur ketentuan pidana bagi Pengulangan, Pasal
97 ayat ke-8 dan Pasal 97 ayat 2 dicantumkan “ Dipidana karena pengulangan barangsiapa
melakukan LAGI tindak pidana dalam waktu 5 tahun sejak :
(a) Ia menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; atau,
(b) Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
(c) Kurungan menjalani pidana pokok yang dijatuhkan itu belum kadaluwarsa
 Apa yang direncanakan di dalam RUU KUHPNasional 1993 itu lebih sederhana sehingga
memenuhi kebutuhan akan hukum yang hidup, namun untuk persoalan’s yang membutuhkan
keterperincian maka makna atau jiwa yang terkandung dalam KUHP masih tetap akan berguna.

8. Sistem Pemidanaan
Ukuran Pidana
Persoalan pokok dalam Perbarengan adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel
atau sistem pemidanaan. Beberapa stelsel diantaranya sbb :
a. Stelsel pidana minimum secara umum (algemene strafminima)
Ditentukannya secara umum pidana terendah yang berlaku untuk setiap TP. Yang dianut dalam
KUHP adalah :
1) Pidana penjara terpendek adalah 1 hari (Pasal 12)
2) Pidana kurungan terpendek adalah 1 hari (Pasal 18)
3) Pidana denda paling sedikit adalah 15 sen (Pasal 30)
22
23

b. Stelsel pidana maksimum secara umum (algemene strafmaxima)


Ditentukannya secara umum pidana tertinggi yang berlaku untuk setiap TP, dengan pengecualian
apabila ada hal’s yang memberatkan. Dalam KUHP ketentuan ini ditentukan :
1) Pidana penjara maksimum 15 tahun berlanjut kecuali dalam hal tersebut pada pasal 12 ayat 3,
2) Pidana kurungan maksimum 1 tahun, kecuali dalam hal tersebut pasal 18 ayat 2.
Untuk pidana denda dalam Buku I KUHP tidak ditentukan maksimumnya shg harus dicari dalam
pasal’s TP ybs dlm KUHP, atau dalam perUndang-Undangan apabila diatur di luar KUHP (vide Pasal
103 KUHP)

c. Stelsel pidana maksimum secara khusus (speciale strafmaxima)


Ditentukannya secara khusus untuk suatu pasal TP, maksimum ancaman pidananya.
Atau jika hal itu di luar KUHP, ditentukan maksimum pidana untuk sesuatu pasal atau bbrp pasal dlm
perUndang-Undangan pidana ybs

Ketentuan Pasal 12 sangatlah bermanfaat bagi para pembuat undang-undang, karena sistem yang
dianut dlm perundangan pidana ialah : “bahwa pada pasal atau pasal-pasal tertentu sudah secara
langsung diancamkan pidana maksimum dengan memperhatikan ketentuan pasal 12 tersebut. Misalnya
 Untuk kejahatan’s berat langsung diancam pidana penjara terberat yaitu maksimum 15 tahun:
Psl 107 (1), 108, 124 (1,) 187 ke-2, 338, 347 (2), 355(2), 365 (3), 438, 439, 440, 441, 442 dlsb.
 Untuk kejahatan yang sangat berat diancam pidana penjara yang lebih berat yaitu maksimum 20
tahun, atau dapat dialternatifkan menjadi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau hanya
dengan pidana penjara seumur hidup saja
- Demikian juga dalam hal Concursus, Residiv dan Pemberatan yang ditentukan pd pasal-pasal 52, 52
a KUHP dsb dapat dilampaui menjadi maksimum 20 thn pidana penjara.
 Dan untuk TP selebihnya diancamkan pidana yang maksimumnya lebih rendah dr yang
dicantumkan pd pasal 12.
 Hal yang sama juga berlaku untuk maksimum pidana kurungan. Lihat Psl 18 KUHP dst
 Hakim diberikan kewenangan untuk memilih lamanya pidana badan dan besarnya pidana denda
dengan berpedoman yang berkisar antara “strafminima s.d strafmaxima” yang ditentukan.
- Tidak menjadi masalah apabila dalam penyelesaian perkara pidana biasa, sebab hakim jarang
menjatuhkan pidana maksimum dalam praktek sehari-hari.

Contoh : seseorang telah melakukan pemerasan dan pencurian


- Pemerasan Psl 368 KUHP (maksimum ancaman pidana penjara 9 tahun)
- Pencurian Psl 362 KUHP (maksimum ancaman pidana 5 tahun)
Pertanyaannya adalah berapakah maksimum ancaman pidananya ?
Apakah menjadi 9 th + 5 th = 14 th,
Atau hanya 9 th saja dengan mengabaikan yang terkecil (yang 5 tahun)
Atau diadakan ketentuan lain, misalnya terberat ditambah 1/3 menjadi 12 tahun.

# Untuk menentukan itu maka digunakan Stelsel, dan dikenal 2 stelsel untuk Pemidanaan yaitu
stelsel pokok dan stelsel antara.

9. Stelsel Pemidanaan Untuk Perbarengan


Stelsel untuk pemidanaan terbagi atas :
1) Stelsel Pokok, terdiri atas :
a) Stelsel kumulasi murni (stelsel penjumlahan murni)
- Setiap TP dikenakan pidana masing’s tanpa pengurangan.
Cth : seseorang melakukan 3 TP yang masing’s ancaman pidana maksimumnya
adalah 5 bln, 4 bln dan 3 bln maka kumulasi maksimum ancaman pidananya
adalah 12 bulan
- Bbrp pendapat :

23
24

1. Gewin (setuju) : bhw untuk setiap TP dituntut pemidanaannya, tidak ada satu
Tppun yangb dibiarkan tanpa pidana.
2. Sarjana lain (tidak setuju) : penggunaan stelsel ini scr menyeluruh adalah
kejam, shg tidak dapat diterima sebagai stelsel umum untuk diberlakukan.

b) Stelsel absorsi murni


- Hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang dikenakan
- Pengertiannya adalah bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak
sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi
- Uraian :
Stelsel ini sukar dielakkan bila salah satu TP tsb diancam dengan pidana yang
tertinggi (pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara maksimum 20 th).
Akan tetapi dlm hal terjadi Perbarengan Tindakan Jamak, dimana yang satu
diancam pidana penjara maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4
tahun, maka seakan-akan tindak pidana lainnya itu “dibiarkan” tanpa
penyelesaian scr hukum pidana.
Krn itu para sarjana umumnya lebih cenderung untuk “mempertajam” atau
“menambahnya” seperti dijelaskan berikut di nomor 4.

2) Stelsel Antara, terbagi atas :


a. Stelsel Kumulasi Terbatas (stelsel kumulasi terhambat atau reduksi)
- Stelsel Mrpkn bentuk tengah dari 1. dan 2.
- Setiap TP dikenakan masing’s ancaman pidana yang ditentukan pidananya akan tetapi
dibatasi dengan suatu penambahan lamanya / jumlahnya yang ditentukan berbilang
pecahan dari yang tertinggi.
- Contoh :
Misalnya 2 TP yang masing’s diancam dengan maksimum 6 th dan 4 th. Bila ditentukan
maksimum penambahan 1/3 dari yang tertinggi, maka maksimum ancaman pidana tsb
adalah : 6 th + 1/3 x 6 th = 8 tahun

Stelsel inilah yang cenderung lebih sering digunakan oleh para sarjana dalam hal terjadi
Perbarengan Tindakan Jamak.
a) kumulasi terbatas (stelsel kumulasi terhambat atau reduksi)
b) Stelsel absorsi dipertajam

b. Stelsel Absorsi (Penyerapan) Dipertajam


- Mrpkn varian dr stelsel kumulasi terbatas
- TP yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi dianggap
sebagai keadaan yang memberatkan bg TP yang lebih berat ancaman pidananya.
- Penentuan maksimum pidana mnrt stelsel ini hampir sama dengan stelsel kumulasi
terbatas yaitu “pidana yang diancamkan terberat ditambahb dengan sepertiganya”.

10. Stelsel Pemidanaan yang Dianut dalam-Bab VI Buku I KUHP


Melihat perumusan pd Bab VI Buku I KUHP, disimpulkan bahwa KUHP menganut bbrp stelsel
pemidanaan :
a. Untuk PTT (Psl 63 ayat 1 dan 2) dan PTB (Psl 64 ayat 1 dan 2) stelsel yang dianut adalah :
- Ditinjau dr sudut TP’s yang terjadi, dianut stelses penyerapan murni.
- Ditinjau dr sudut ketentuan yang hanya mengenakan satu ketentuan pidana saja (yang
terberat), maka dianggap tidak ada persoalan “penyerapan” disini.

24
25

b. Untuk PTB yang kejahatannya adalah kejahatan2 ringan seperti tsb dlm pasal’s 364, 373,
379 dan 407 ayat 1, dimana jumlah kerugian yang ditimbulkan melebihi Rp 250,- (tafsir undang-
undang no.16 Perpu Th 1960) maka PTB tsb dikualifisir sebagai kejahatan biasa yang ancaman
pidananya adalah ancaman seperti halnya ancaman thd kejahatan biasa.
Cth : apabila ada seseorang melakukan pencurian berlanjut, maka seakan’s ia dipandang
melakukan pencurian biasa yang diatur dlm Psl 362 KUHP. Dalam hal ini tiada persoalan
ataupun kumulasi seperti yang diuraikan seperti diuraikan pd nomor terdahulu.

c. * Untuk PTJ yang ancaman pidananya sejenis (Psl 65 KUHP)


- Mnrt Simons dan Pompe dipandang sebagai menggunakan Stelsel Penyerapan yang
dipertajam.
- MvT, Van Hamel dan Vos memandang sebagai menggunakan Stelsel Kumulasi yang
Terbatas.

* Untuk PTJ yang ancaman pidananya tidak sejenis (Psl 66 KUHP)


Semua sepakat memandang sebagai Stelsel Kumulasi Terbatas

 Shg penentuan pidana bagi keduanya adalah :


- Psl 65 : dijumlahkan masing’s ancaman pidana yang sejenis
Syarat : Tidak boleh melebihi ancaman maksimum terberat pd salah satu kejahatan tsb
dengan ditambah sepertiganya

- Psl 66 : dijumlahkan masing’s ancaman pidana yang tidak sejenis


Syarat : Tidak boleh melebihi ancaman maksimum terberat pd salah satu kejahatan tsb
dengan ditambah sepertiganya
# sekalipun ada perbarengan pidana yang tidak sejenis, namun dlm prakteknya , tiada
seberapa manfaatnya.

d. Untuk perbarengan tindakan’s yang masing’s berupa pelanggaran atau perbarengan


kejahatan dan pelanggaran seperti termaksud dlm Psl 70 dengan tidak mempersoalkan
apakah ancaman pidananya sejenis (vide psl 65) atau tidak sejenis (vide psl 66) dianut Stelsel
Kumulasi Murni.
- Untuk tiap’s pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri’s tanpa dikurangi (namun jumlah pidana
kurungan dan kurungan pengganti tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan _ ditafsirkan bahwa
karena jumlah pidana kurungan pengganti ditentukan maksimum 8 bulan, maka maksimum
pidana kurungannya adalah 1 tahun 4 bulan – 8 bulan = 8 bulan saja.
- Untuk kejahatan’s (ringan) pasal 302 ayat 1, 352, 364, 373, 379 dan 482 dalam perbarengan
seperti tsb dlm pasal 65, 66 dan 70. Kejahatan’s tsb dipandang sebagai pelanggaran-
pelanggaran. _oleh karena itu dianut stelsel kumulasi murni, namun bila yang dijatuhkan
adalah pidana penjara, maka maksimumnya ditentukan 8 bulan (vide psl 70 bis)

11. Penjatuhan Pidana Pokok dan Pidana Tambahan


Dalam hal seseorang yang dijatuhi Pidana Mati atau Pidana Penjara Seumur Hidup, maka kepadanya
HANYA BOLEH dijatuhkan pidana tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang’s yang telah disita sebelumnya
c. Pengumuman keputusan hakim

Sehingga walaupun salah satu TP yang dilakukan itu diancam dengan pidana lainnya, namun pidana
lainnya tsb tidak boleh dijatuhkan
Contoh :
- A dijatuhkan pidana mati, maka kepadanya tidak boleh lagi dijatuhkan pidana lainnya (pidana
penjara seumur hidup, tutpan, kurungan atau denda) selain dari pidana tambahan sbgmana tsb
diatas. Sekalipun pada delik yang lainnya diancamkan pidana yang lain. (vide pasal 67)

25
26

- A dijatuhkan pidana penjara seumur hidup, maka kepadanya tidak boleh djatuhkan lagi pidana-
pidana lainnya kecuali pidana tambahan (pasal 67)

Ketentuan’s lain mengenai pidana tambahan selain dari Psl 67, yaitu diatur dlm Psl 68_ditinjau dr sudut
stelsel pemidanaan :
a. Psl 68 ayat 1 menganut asas penyerapan.
- Bila pidana’s tambahan itu merupakan Pencabutan Hak Yang Sama, maka disamping pidana
pokok hanya satu saja yang dijatuhkan yang lamanya min 2 th dan max 5 th melebihi
pidana’s pokok yang dijatuhkan.
- Berarti lamanya pencabutan hak itu : X tahun + 2 – 5 tahun
- Jika pidana pokoknya hanya berupa denda saja, maka lamanya pencabutan hak itu minimal 2
tahun dan maksimal 5 tahun.

b. Psl 68 ayat 2 menganut asas kumulasi.


- Bila hak’s yang dicabut itu adalah Tidak Sama (berbeda), maka dijatuhkan sendiri’s tanpa
dikurangi.
Cth : pencabutan hak seseorang untuk masuk TNI bersamaan pencabutan haknya menjalani
kekuasaan sebagai Bapak. Dalam hal ini masing’s dijatuhkan secara tersendiri.

c. Psl 68 ayat 3 menganut asas kumulasi.


- Dalam hal perampasan barang’s tertentu, demikian juga kurungan pengganti karena barang’s
yang dirampas tidak diserahkan, dijatuhkan sendiri’s tanpa dikurangi.

12. Penentuan Pidana Mana yang Lebih Berat pada Perbarengan


Bila terjadi perbarengan sebagaimana diatur dlm Psl 65 dan 66 perlu untuk menentukan mana pidana
yang terberat dari semua pidana yang diancamkan. Untuk itu diatur dlm Psl 69 :
a. Apabila pidana’s pokok yang diancamkan itu SEJENIS, maka yang terberat adalah yang
maksimum ancaman pidananya lebih tinggi
b. Apabila pidana’s pokok yang diancamkan itu TIDAK SEJENIS, pidana terberat adalah yang
paling dulu disebut dalam urut2an Psl 10 KUHP.
c. Bila Hakim boleh memilih antara bbrp pidana pokok, maka Hanya yang Terberatlah yang
diterapkan.
d. Perbandingan lamanya pidana’s pokok (penjara, tutupan dan kurungan) baik sejenis ataupun
tidak, juga ditentukan berdasarkan maksimumnya masing’s.

13. Ketentuan Pemidanaan bagi Delik “Tertinggal”


# Dasar : Pasal 71
Jika setelah dijatuhi pidana kepada seseorang kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran lain (yang juga terjadi) sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana
terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam
Bab ini mengenai perkara-perkara yang diadili pada saat yang sama.
- Ini merupakan PENGECUALIAN thd bangunan Perbarengan
- Intinya adalah Sekalipun suatu delik tidak diadili pd saat yang sama karena “tertinggal”, namun dr
sudut pemidanaan harus dipandang sebagai diadili pd saat yang sama.

# Contoh :
A pada bulan Maret 1978 melakukan bbrp TP yakni ;
- Tgl 1 Maret 1978 melakukan pencurian
- Tgl 8 Maret 1978 melakukan penggelapan
- Tgl 15 Maret 1978 melakukan penipuan
Kemudian pd tgl 31 Maret 1978 disidangkan untuk perkara pencurian dan penipuan, yang kemudian
diputus dengan didasari ketentuan’s dlm Bab VI Buku I KUHP, dan delik Penggelepannya ternyata tidak
serentak diajukan (biasanya krn pembuktian yang belum lengkap).
Bila setelah tgl 31 Maret 1978 perkara penggelapan itu diajukan dan diadili, maka putusan yang
sebelum tgl 31 Maret 1978 tsb dimana pidana telah dijatuhkan sepenuhnya ( dlm kasus ini 5 tahun + 1/3
26
27

x 5 thn) maka untuk perkara penggelapan yang diajukan kemudian, walaupun pelaku terbukti dan sama
dinyatakan bersalah, namun TIDAK BOLEH atau tidak mungkin lagi dijatuhi pidana.
Alasannya ialah :
Seandainya ketiga2 perkara tsb diajukan scr serentak, maksimum ancaman pidananya adalah tetap 5 th
+ 1/3 x 5 th = 6 thn 8 bulan.
Ketentuan ini sengaja dibuat untuk :
Bagi Penuntut Umum
1. Mencegah Penuntut Umum memecah perkara Perbarengan dgn maksud untuk mengakibatkan
pemidanaan yang melebihi dari perkara yang semestinya.
2. Mendorong PU supaya harus dapat mengajukan SECARA SEKALIGUS sgl TP yang yang
pernah dilakukan oleh seseorang tersangka/terdakwa.
3. Ditujukan kpd para hakim agar apabila menghadapi pemisahan

Bagi hakim
1. Para hakim agar apabila menghadapi pemisahan perkara perbarengan, supaya tidak
mengadakan pemidanaan baru lagi
2. Untuk menghindari pemidaan baru, haim harus selalu menanyakan apakah seorang terdakwa
sudah pernah diadili sebelumnya. Jika Ya, apakah delik yang sedang dilaksanakan terjadi
sebelum tersangka diadili.
(Dlm hal ini undang-undang tidak membatasi bahwa putusan pertama itu adalah putusan
hakim/pengadilan setempat yang sama atau tidak. Karenanya putusan pengadilan/mahkamah
yang lain pun tercakup dlm ketentuan Psl 71)

# Dalam praktek sehari’s, jarang hakim menjatuhkan putusan pemidanaan yang maksimum shg apabila
terjadi “ketertinggalan” masih ada jalan sedikit untuk pemidanaan. Dan harus disebutkan dalam
pertimbangan hakim “perhitungan” yang dimaksud oleh Pasal 71. Misalnya ancaman pidana setelah
diperberat adalah 6 tahun 8 bulan, dan Hakim menjatuhkan 5 tahun 8 bulan. Maka dengan ini masih
ada kemungkan dijatuhkan pidana 1 tahun lagi.

27

Anda mungkin juga menyukai