P3 (Percobaan, Penyertaan Dan Perbarengan)
P3 (Percobaan, Penyertaan Dan Perbarengan)
I. PERCOBAAN
D. Percobaan di Indonesia
Berdasarkan asas konkordansi maka Hukum Pidana yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia)
adalah menganut Hukum Pidana yang berlaku di negeri Belanda, dengan demikian maka
perumusan tentang Percobaan adalah sama dengan yang berlaku di negeri Belanda sampai
dengan saat ini
1
2
- Oleh karena itu Percobaan dirumuskan agar dapat dipandang sebagai TP sekalipun belum
memenuhi semua unsur’snya.
# Dikuatkan dengan Pasal 163 Bis “ Barangsiapa mencoba menggerakkan orang lain
supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana”. Dapat ditafsirkan bahwa mencoba
untuk menggerakkan orang lain saja dapat dipidana, apalagi mencoba menggerakkan diri
sendiri pun harus dianggap sebagai suatu TP.
2
3
3
4
(1) Apabila kan menghapus pasal’s tertentu dalam KUHP harus dengan dinyatakan
dengan Undang-Undang.
(2) Istilah “Perkelahian” masih diperlukan di Indonesia tentunya dengan pengertian
Indonesia.
(3) Pasal’s ttg Perkelahian tsb masih diperlukan sebagai sandaran bagi Pasal 101
KUHPM yang mengatur ttg Perkelahian, kalau pasal’s tsb dihapus maka Psl 101
KUHPM akan kehilangan sandarannya.
(4) Bila terjadi perkelahian sesama orang Barat di Indonesia maka pasal’s tersebutlah
yang akan digunakan.
4
5
Pasal 54 KUHP
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
Ternyata yang ditentukan dari 2 Pasal diatas bukanlah definisi melainkan Syarat-Syarat
Percobaan, yaitu :
(1) Ada niat/kehendak petindak untuk melakukan kejahatan
- Niat dalam perumusan Percobaan tidak sama dengan Niat dalam ajaran Schuld. Dalam
ajaran schuld Niat identik dengan sengaja, jd perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
pasti didasari dengan Niat. Namun pada perumusan Percobaan merupakan kekhususan
dimana Niat tidak menggantikan posisi dolus(dengan sengaja).
- Contoh :
a. Orang berniat untuk membunuh (Pasal 338)
b. Orang berniat untuk mencuri (Pasal 362)
c. Orang berniat untuk merusak barang (Pasal 406)
d. Dst
- Jadi Niat disini diperinci terpisah dari “dengan sengaja” contoh apabila Pasal 338
diperincikan : Niat untuk dengan sengaja merampas nyawa orang lain. Sehingga nampak
bahwa unsur Niat tidaklah menggantikan unsur Dengan Sengaja.
- Sulit membayangkan adanya Kemungkinan Niat dalam Kealpaan, namun ada Pasal yang
merumuskan adanya Kemungkinan Niat di dalam Kealpaan, yaitu Pasal 359 :
“ Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”
Contoh : sopir menubruk, jururawat salah memberi obat, serdadu kurang hati-hati ketika
membersihkan senjata, dlsb)
5
6
Ternyata daru uraian diatas pun masih terdapat kesulitan yakni untuk menarik batas mana
tindakan yang masih merupakan persiapan pelaksanaan dan sudah merupakan tindakan
pelaksanaan.
i. Persiapan pelaksanaan _tidak dipidana
ii. Tindakan pelaksanaan _ dipidana
Berikut adalah beberapa pandangan yang berusaha membatasi sifat tindakan yang dapat
dianggap sebagai Permulaan Pelaksanaan Tindakan :
2) Vos (subyektif)
Tindakan yang dapat dianggap sebagai permulaan-pelaksanaan-tindakan (yang dapat dipidana)
adalah apabila tindakan itu mempunyai sifat terlarang terhadap suatu kepentingan hukum.
Cth : pd kasus Amat Badu, maka permulaan-pelaksanaan-tindakan adalah pada faktor 6), 7) dan 8)
3) Simons (obyektif)
Bertolak pangkal pada perumusan undang-undang
- Pd delik Formal : dikatakan ada permulaan-pelaksanaan-tindakan bilamana tindakan itu
merupakan sebahagian dari perbuatan yang dirumuskan (terlarang) oleh undang-undang.
- Pd delik Material : dikatakan ada permulaan-pelaksanaan-tindakan bilamana tindakan itu
menurut sifatnya langsung akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang
Putusan MA
1. Kejahatan pencurian. Seorang pegawai kantor pos di Medan berniat mencuri barang’s yang
ada di dalam kantor. Untuk itu selepas jam pulang kerja dia menyembunyikan diri di dalam
WC. Setelah malam ia keluar, namun ternyata kepergok oleh Kepala Kantor pos. Setelah itu
pegawai itupun diserahkan kepada Polisi untuk diperiksa.
- PN menyatakan bahwa Percobaan pencurian tsb telah terbukti
- PT memutus sama dan menguatkan putusan PN
- MA membebaskan pegawai tsb
(3) Pelaksanaan tindakan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan di luar kehendak petindak
Pd syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu :
a. Tidak selesai
Yang tidak selesai adalah kejahatannya. Maksud dari perkataan ini adalah bahwa
tindakan untuk merugikan kepentingan yang dilindungi oleh hukum itu terhenti sebelum
terjadi “kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang”.
b. Hanyalah
Disini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa sekalipun seseorang
mengurungkan niatnya secara sukarela dan penyesalan, tetapi diserta dengan rasa
takut maka dianggap tetap dapat dipidana karena percobaan
Sebaliknya apabila mengurungkan niat karena murni HANYA karena kesukarelaan,
maka dianggap syarat ketiga ini tidak dipenuhi dan dianggap tidak ada percobaan.
Tenggang waktu harus dilihat secara kasusistis.
2) Keadaan rohaniah
Cth :
Seseorang yang akan menembak tiba’s merasa takut karena jangan-jangan ada
petugas disekitarnya yang melihat aksinya sehingga ia mengurungkan niatnya.
7
8
Rasa takut ini bukan hanya karena disebabkan oleh manusia saja melainkan bisa
oleh alam atau bahkan hewan.
Rasa takut yang menyebabkan tidak selesainya tindakan itu di dalam hukum
pidana dianggap sebagai keadaan yang berada di luar kehendak petindak
12. Ternyata dalam prakteknya tidak mudah untuk pemecahan persoalan percobaan yang
tidak wajar, berikut contoh’snya :
1) Kasus peti uang
Seseorang dipersalahkan atas percobaan pencurian peti uang. Dia berniat membongkar dan
mengambil uang yang ada di dalam peti tsb. Ternyata peti itu kosong. Dia tetap dipersalahkan
atas percobaan sekalipun sasarannya mutlak tidak wajar, sebab pertimbangan Hakim adalah
semua orang pasti berpendapat yang sama bahwa suatu peti uang pastilah berisi uang.
8
9
2) Kasus pencopet
Seorang pencopet yang dipersalahkan melakukan percobaan pencurian dengan cara
memasukkan tangan dan berusaha mengambil uang seorang perempuan dari kantongnya.
Ternyata kantongnya kosong namun si pelaku tetap dipersalahkan, padahal sasaran mutlak tidak
wajar. Pertimbangan Hakim adalah sama bahwa pd umumnya kantong pasti berisi uang.
# Dengan demikian dalam hal percobaan yang tidak wajar tidak hanya dapat dilihat dari wajar
tidaknya alat/sasaran atau hanya dari keberbahayaan dari petindak saja, melainkan harus dinilai
seluruh kejadian baik dari keberbahayaan petindak maupun wajar/tidaknya alat yang digunakan.
2) Seorang dukun yang melakukan guna-guna dengan menggunakan boneka, ternyata yang
diguna-guna tetap sehat wal afiat
- Alatnya mutlak tidak wajar
3) Menggugurkan kandungan seorang wanita padahal sesungguhnya wanita itu tidak pernah hamil
- Sasarannya mutlak tidak wajar
4) Seorang istri yang tunduk pd hukum perdata barat melakukan poliandri, dia tidak tahu padahal
suaminya sesungguhnya sudah lama meninggal di LN.
- Sasarannya mutlak tidak wajar
5) A mencuri suatu benda , padahal tanpa dia ketahui benda tsb berdasarkan surat wasiat akan
diwariskan kepadanya.
- Sasarannya mutlak tidak wajar
# Ada juga yang disebut dengan Poetatief Delict yaitu seseorang mengira bahwa dirinya telah
melakukan suatu TP padalah tindakan tsb tidak terlarang dan diancam pidana
Cth : seorang WNA masuk ke Indonesia dengan membawa sejumlah mata uang negaranya. Awalnya
dia mengira bahwa telah melakukan percobaan kejahatan dengan mengimpor uang kertas asing.
Tetapi selagi masih dalam batas yang diperkenankan, tidak melanggar hukum. Percobaan yang
demikian tidaklah dapat dipidana.
9
10
c. Percobaan tercegat
Ketika petindak sedang menyelesaikan tindakan percobaan tersebut, ia mendadak dihalang-
halangi sehingga percobaanya menjadi tidak sempurna
Cth : petembak telah mengarahkan pistolnya ke sasaran, namun ada pihak ketiga yang
menghalang-halangi sehingga percoban menjadi gagal.
- Pd mufakat jahat tiada peniadaan pidana, hanya apabila terjadi pembatalan secara
sukarela.
- Ada juga bbrp pasal di dalam KUHP yang sifat tindakannya mirip dengan Persiapan
Pelaksanaan :
1) Mempunyai bahan persediaan untuk membuat mata uang palsu (Psl 250)
2) Menyimpan bahan untuk pemalsuan materai (Psl 261)
3) Menyimpan bahan untuk pemalsuan surat/akta otentik (Pasal 275)
10
11
II. PENYERTAAN
1. Definisi penyertaan
- Dua orang atau lebih yang melakukan suatu TP atau dengan kata lain dua orang atau lebih
mengambil bagian untuk mewujudkan suatu TP
- Terbatas pd Penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP yaitu Pasal 55s.d 60 : penyertaan dalam
arti sempit (Psl 55) dan Pembantuan (Psl 59)
- Ada bbrp Penyertaan dalam arti luas yang tidak dimasukkan dalam ketentuan Bab V, bentuk’s ini
sudah diatur sebagai TP tersendiri, yaitu :
1. Mereka yang merencanakan kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 104-108 jo Psl 110
ayat 2 ke-4
2. Seseorang yang menyembunyikan petindak (Pasal 221)
3. Pria dan wanita yang melakukan persetubuhan, dimana salah satunya terikat kepada
perkawinan (Psl 284)
4. Seseorang yang menyembunyikan sesuatu benda yang diketahuinya berasal dari kejahatan
(Psl 480)
2. Dalam hubungan antara setiap peserta akan ditemukan variasi’s sebagai berikut :
a. Penyerta yang satu dengan yang lain sama’s memenuhi unsur TP
b. Penyerta yang turut melakukan TP itu tidak mengetahui bahwa tindakannya merupakan TP, atau
ia terpaksa melakukannya (manus ministra)
c. Penyerta benar’s sadar dan langsung turut serta untuk melakukan TP
d. Penyerta melakukan TP karena adanya sesuatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk
melakukannya
e. Ia dipandang sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran, karena ia adalah pengurus, dsb.
f. Penyerta hanya sekedar membantu saja.
Dari pasal tsb dapat kita lihat bahwa merumuskan sebagai apa yang disebut dengan peserta
melainkan apa yang diartikan sebagai petindak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
yang dipidana sebagai Petindak ada 4 golongan yaitu :
1. Mereka yang melakukan suatu tindakan
2. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan
3. Mereka yang turut serta melakuka suatu tindakan
4. Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (orang lain) melakukan suatu tindakan
dengan syarat’s yang telah ditentukan dengan scr pasti (limitatif)
11
12
5. Bentuk-Bentuk Penyertaan
1. Mereka yang Melakukan Suatu Tindakan (pelaku/pelaku-pelaku)
Setiap petindak itu memenuhi semua unsur’s TP
Cth : ada 3 org berdiri di pinggir jalan dan kemudia melintas sebuah truk mengangkut muatan.
Tiba2 salah satu kemasan dr truk itu jatuh di dekat 3 org tsb. Kemudian ketiga org itu
langsung mengambil barang-barang yg jatuh dr truk itu tanpa adanya kesepakatan
sebelumnya diantara mereka (kehendak sendiri-sendiri)
- Dgn demikian, masing2 org tsb telah melakukan suatu TP secara sempurna dan ancaman
pidana diterapkan sepenuhnya kepada masing2 dr mereka, tidak secara kolektif.
6. Syarat-syarat Kerjasama
Kerjasama harus dilakukan secara sadar dan langsung
- Sadar maksudnya adalah setiap pelaku peserta saling mengetahui dan menyadari tindakan
dari para pelaku peserta lainnya. Tidak dipermasalahkan apakah kesepakatan diantara
mereka dekat atau jauh sebelum tindakan pelaksanaan
- Langsung maksudnya adalah bahwa perwujudan dari TP yang terjadi adalah akibat langsung
dari tindakan dari para pelaku peserta.
-
12
13
8. Mereka yg Menggerakkan Untuk Melakukan Suatu Tindakan dgn Daya Upaya Tertentu
(Uitlokking)
Perbedaan Mereka yang menggerakkan dengan Mereka yang menyuruh
Mereka yang menyuruh Mereka yang menggerakkan
- Yang disuruh tidak dapat dipidana - Yang digerakkan dapat dipidana
- Daya upaya pd penyuruh tidak ditentukan - Daya upaya yang digunakan
scr limitatif penggerak dirumuskan scr limitatif
Tahun 1925
Diadakanlah Pasal 163 bis yang TETAP MEMIDANA Penggerak sekalipun:
a) Pelaku yang digerakkan ternyata tidak bergerak untuk melakukan TP dimaksud
b) Pelaku yang digerakkan sudah menyatakan kesanggupannya
c) Pelaku yang digerakkan sudah menyatakan kesanggupannya tetapi belum sampai pada
Tindakan pelaksanaannya
Dan ada beberapa yang sebetulnya dapat dikategorikan sebagai daya upaya namun
dalam undang-undang tidak memasukkan secara limitatif sehingga daya upaya seperti di
bawah ini tidak dapat dipidana
13
14
a) Hutang budi
b) Pengejekan
c) Pemberitahuan sesuatu kejadian yang benar-benar terjadi
d) Saran yang seakan-akan baik
Pertanggungjawaban Diperluas
D menggerakkan E untuk menganiaya F. Akibat penganiayaan tsb bbrp hari kemudian F
meninggal dunia akibat penganiayaan tsb. Dengan demikian D akan dipertanggungjawab
pidanakan atas meninggalnya F. Karena kematian F merupakan konsekunsi logis dari
penganiayaan yang dia perintahkan kepada E.
Tempat penuntutan
Adalah saat dan tempat penggerakkan terjadi. Untuk surat dakwaan yang tidak dengan
tegas menyebutkan saat penggerakkan terjadi adalah Batal Demi Hukum.
14
15
PEMBANTUAN
2. Mrpkan bentuk Penyertaan tambahan (kelima) dari Penyertaan dalam arti sempit
5. Pasal 58 _ harus juga dilihat keadaan pribadi masing-masing pelaku, sbg contoh apabila si
pelaku itu adalah anak-anak atau bahkan mungkin seorang residivis maka pemberlakuan
pidananya juga akan berbeda. Utk anak2 diberlakukan UU No. 11/2012 dan utk residivis
dikenakan Pasal Perbarengan.
6. Pembantu Aktif
# Catatan :
Penyertaan ada yg sudah diatur tersendiri dalam Undang-Undang, contoh :
1) Psl 284 ke-1 dan ke-2 : Penyertaan sudah diatur secara khusus, dasarnya adalah Psl 103
KUHP shg tdk perlu lagi dikaitkan dengan Psl 55 KUHP
2) Psl 170 tentang tindak kekerasan yang dilakukan scr bersama-sama
15
16
III. PERBARENGAN
(Samenloop/ Concursus)
1. Pengertian perbarengan
Perbarengan adalah terjemahan dari samenloop atau consursus, ada juga yang
menterjemahkannya sebagai gabungan .
Intinya adalah seseorang/ bbrp orang (umumnya satu orang) melakukan Tindakan yang
mengakibatkan terjadinya dua atau lebih Tindak Pidana. Dan belum ada salah satu dari TP tsb yang
sudah pernah diadili.
# catatan : pada 1, 2 dan 3 belum ada salah satu dari TP itu yang sudah pernah diadili.
b. Bentuk
Bentuk-bentuk dari Perbarengan adalah sbb :
1. Perbarengan Tindakan Tunggal (PTT)_endaadse samenloop/ concursus idealis
Terbagi lagi menjadi :
a) PTT sejenis_concursus idealis homogenus
b) PTT beragam_concurses idealis heterogenus
c. Syarat-syarat
Syarat-syarat dari Perbarengan adalah :
1) Ada 2 atau lebih TP (yang sesuai rumusan perUUan) dilakukan.
2) Bahwa 2 atau lebih TP tsb dilakukan oleh 1 orang (atau 2 orang/lebih dlm rangka
pernyertaan).
3) Bahwa 2 atau lebih TP tsb belum ada yang diadilii.
4) Bahwa 2 atau lebih TP tsb akan diadili sekaligus.
16
17
17
18
- Untuk selanjutnya dianut pendirian yang sama untuk pengertian satu tindakan.
Contoh pada kasus :
1. Penangkapan ikan tanpa hak dan dan tidak seijin dari pemilik kolam
2. Perburuan di luar waktu berburu dan tanpa ijin dari yang berhak/menguasai
dari daerah berburu tersebut.
Modderman
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan itu dilihat dari sudut badaniah merupakan satu tindakan namun dari sudut
rohaniah ia merupakan pluralitas.
Pompe
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan tsb dilakukan pada satu tempat dan saat namun mempunyai lebih dari satu
tujuan atau cakupan.
Van Benmelen
Bahwa satu tindakan dipandang sebagai berbagai tindakan apabila :
Tindakan tsb walaupun dilakukan pd satu tempat dan saat, namun melanggar beberapa
kepentingan hukum
c. Ketentuan Khusus
Pokok masalah adalah Pasal 63 ayat 2 yang sesuai dengan asas :
1. Lex Specialis derogate generali
2. Lex posterior derogate lex priori
18
19
b. Ciri’s PTB
Dikatakan sebagai PTB apabila tindakan-tindakan itu masing-masing merupakan kejahatan
atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan sedemikian rupa, sehingga harus dipandang
sebagai tindakan berlanjut.
c. Contoh PTB
Cth 1 :
Seorang PRT yang mengetahui tempat penyimpanan uang majikannya yang diketahuinya
berjumlah Rp 10.000,-. Timbul kehendak dalam dirinya untuk mengambil uang tersebut.
Namun agar tidak segera ketahuan maka ia berencana akan mengambil uang tersebut
sedikit demi sedikit selama beberapa hari secara berturut-turut hingga berjumlah Rp.8000,-
Cth 2 :
Begitu juga halnya dengan seorang kasir yang dengan satu kehendak telah secara berturut-
turut mengambil uang dari brankas yang ada dalam pengawasannya, sehingga ia telah
melakukan penggelapan-penggelapan yang merupakan PTB.
Pendapat Simons
- Tidak sependapat dengan pendirian MvT
- Tindakan’s tsb tidak selalu harus sejenis asal saja timbulnya dari satu kehendak jahat
(one criminal intention)
19
20
- Cth :
A dihina oleh B shg A berkehendak untuk membalas dendam kepada B :
Hari pertama A mencaci maki B di muka umum
Hari kedua A menelanjangi B di depan umum
Hari ketiga A memukuli B hingga luka
# Nampak bahwa ketiga tindakan tsb tidaklah sejenis namun timbul dari satu kehendak.
# Kesimpulan :
1) a. Pasal 64 (1) Concursus Idealis Homogenus/ PTB/ VH
b. Pasal 64 (2) Pengecualian untuk “sejenis”
c. Diluar Pasal 64 (2) adalah “aneka jenis”
2) Menurut Simons : Psl 64 (1) “tidak harus sejenis”
f. Manfaat dari pembedaan apakah tindakan’s tsb berupa Tindakan atau Delik
Mengenai apakah suatu kejadian itu berupa tindakan atau telah berupa delik sangat erat
hubungannya dengan bbrp hal dibawah ini, berikut manfaat dari pembedaan tersebut :
1) Pengadilan/ Mahkamah yang berwenang mengadilinya
Terjadi Tp yang dilakukan di bbrp tempat / daerah tetapi dari satu kehendak jahat (one
criminal intention), maka :
Jika dianut Pendapat 1 diatas
Hanya salah satu Pengadilan saja yang berwenang mengadilinya
Jika dianut Pendapat 2 diatas
Tiap Pengadilan yang di daerahnya salah satu tindakan tsb dilakukan, berwenang
mengadilinya.
20
21
g. Cakupan dari “satu kehendak jahat” dengan delik dolus/culpa dan delik material/
formal
# Untuk delik dolus
Dalam hubungannya dengan delik formal/ material tidak ada masalah mengenai batas
cakupan dari “satu kehendak jahat”
Pasal 66
(1) Dalam perbarengan beberapa tindakan yang masing-masing harus dipandang
sebagai tindakan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, dijatuhkan masing-masing pidana
tersebut namun jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah
sepertiga.
(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung sesuai dengan maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk tindakan tersebut.
Pasal 70
(1) Jika ada perbarengan seperti tersebut pasal 65 dan 66, baik perbarengan
pelanggaran dengan kejahatan ataupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka
untuk tiap-tiap pelanggaran diancamkan masing-masing pidana tanpa dikurangi.
(2) Maksimum lamanya pidana kurungan dan kurungan pengganti untuk pelanggaran
adalah satu tahun empat bulan, sedangkan maksimum pidana kurungan pengganti
adalah delapan bulan.
Pasal 70 bis
Dalam penggunaan pasal-pasal 65, 66 dan 70, kejahatan-kejahatan tersebut pasal 302
ayat 1, 352, 364, 373, 379 dan 482 dipandang sebagai pelanggaran, tetapi dengan
pengertian jika dijatuhkan pidana penjara untuk kejahatan-kejahatan itu, maksimumnya
adalah delapan bulan.
21
22
Ragam
PTJ ini dapat berupa :
1. PTJ dengan kejahatan’s senama
2. PTJ dengan kejahatan’s sejenis
3. PTJ dengan kejahatan’s beragam
Contoh kasus :
1. Melakukan pencurian di rumah A pd hari Senin, kemudian pd hari Rabu melakukan
pencurian di rumah B dan pd hari Sabtu melakukan pencurian di suatu gudang.
Pencurian’s tsb dilakukan bukan dengan satu kehendak. Kejahatan’s senama (Psl
65)
2. Melakukan pencurian pd hari Pertama, penggelapan pd hari Ketiga dan penipuan pd
hari ketujuh. kejahatan’s sejenis (Psl 65)
3. Melakukan penghinaan pd hari Pertama, penipuan pd hari Ketiga dan penadahan pd
hari Keenam. kejahatan’s tidak sejenis (Psl 66)
4. Melakukan kejahatan pd hari Pertama, kemudian hari melakukan pelanggaran’s atau
melakukan pelanggaran2 pd hari berurutan. kejahatan’s beragam (Psl 70)
d. Delik tertinggal
Untuk delik tertinggal akan dibahas di bagian akhir dari rangkuman ini.
8. Sistem Pemidanaan
Ukuran Pidana
Persoalan pokok dalam Perbarengan adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel
atau sistem pemidanaan. Beberapa stelsel diantaranya sbb :
a. Stelsel pidana minimum secara umum (algemene strafminima)
Ditentukannya secara umum pidana terendah yang berlaku untuk setiap TP. Yang dianut dalam
KUHP adalah :
1) Pidana penjara terpendek adalah 1 hari (Pasal 12)
2) Pidana kurungan terpendek adalah 1 hari (Pasal 18)
3) Pidana denda paling sedikit adalah 15 sen (Pasal 30)
22
23
Ketentuan Pasal 12 sangatlah bermanfaat bagi para pembuat undang-undang, karena sistem yang
dianut dlm perundangan pidana ialah : “bahwa pada pasal atau pasal-pasal tertentu sudah secara
langsung diancamkan pidana maksimum dengan memperhatikan ketentuan pasal 12 tersebut. Misalnya
Untuk kejahatan’s berat langsung diancam pidana penjara terberat yaitu maksimum 15 tahun:
Psl 107 (1), 108, 124 (1,) 187 ke-2, 338, 347 (2), 355(2), 365 (3), 438, 439, 440, 441, 442 dlsb.
Untuk kejahatan yang sangat berat diancam pidana penjara yang lebih berat yaitu maksimum 20
tahun, atau dapat dialternatifkan menjadi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau hanya
dengan pidana penjara seumur hidup saja
- Demikian juga dalam hal Concursus, Residiv dan Pemberatan yang ditentukan pd pasal-pasal 52, 52
a KUHP dsb dapat dilampaui menjadi maksimum 20 thn pidana penjara.
Dan untuk TP selebihnya diancamkan pidana yang maksimumnya lebih rendah dr yang
dicantumkan pd pasal 12.
Hal yang sama juga berlaku untuk maksimum pidana kurungan. Lihat Psl 18 KUHP dst
Hakim diberikan kewenangan untuk memilih lamanya pidana badan dan besarnya pidana denda
dengan berpedoman yang berkisar antara “strafminima s.d strafmaxima” yang ditentukan.
- Tidak menjadi masalah apabila dalam penyelesaian perkara pidana biasa, sebab hakim jarang
menjatuhkan pidana maksimum dalam praktek sehari-hari.
# Untuk menentukan itu maka digunakan Stelsel, dan dikenal 2 stelsel untuk Pemidanaan yaitu
stelsel pokok dan stelsel antara.
23
24
1. Gewin (setuju) : bhw untuk setiap TP dituntut pemidanaannya, tidak ada satu
Tppun yangb dibiarkan tanpa pidana.
2. Sarjana lain (tidak setuju) : penggunaan stelsel ini scr menyeluruh adalah
kejam, shg tidak dapat diterima sebagai stelsel umum untuk diberlakukan.
Stelsel inilah yang cenderung lebih sering digunakan oleh para sarjana dalam hal terjadi
Perbarengan Tindakan Jamak.
a) kumulasi terbatas (stelsel kumulasi terhambat atau reduksi)
b) Stelsel absorsi dipertajam
24
25
b. Untuk PTB yang kejahatannya adalah kejahatan2 ringan seperti tsb dlm pasal’s 364, 373,
379 dan 407 ayat 1, dimana jumlah kerugian yang ditimbulkan melebihi Rp 250,- (tafsir undang-
undang no.16 Perpu Th 1960) maka PTB tsb dikualifisir sebagai kejahatan biasa yang ancaman
pidananya adalah ancaman seperti halnya ancaman thd kejahatan biasa.
Cth : apabila ada seseorang melakukan pencurian berlanjut, maka seakan’s ia dipandang
melakukan pencurian biasa yang diatur dlm Psl 362 KUHP. Dalam hal ini tiada persoalan
ataupun kumulasi seperti yang diuraikan seperti diuraikan pd nomor terdahulu.
Sehingga walaupun salah satu TP yang dilakukan itu diancam dengan pidana lainnya, namun pidana
lainnya tsb tidak boleh dijatuhkan
Contoh :
- A dijatuhkan pidana mati, maka kepadanya tidak boleh lagi dijatuhkan pidana lainnya (pidana
penjara seumur hidup, tutpan, kurungan atau denda) selain dari pidana tambahan sbgmana tsb
diatas. Sekalipun pada delik yang lainnya diancamkan pidana yang lain. (vide pasal 67)
25
26
- A dijatuhkan pidana penjara seumur hidup, maka kepadanya tidak boleh djatuhkan lagi pidana-
pidana lainnya kecuali pidana tambahan (pasal 67)
Ketentuan’s lain mengenai pidana tambahan selain dari Psl 67, yaitu diatur dlm Psl 68_ditinjau dr sudut
stelsel pemidanaan :
a. Psl 68 ayat 1 menganut asas penyerapan.
- Bila pidana’s tambahan itu merupakan Pencabutan Hak Yang Sama, maka disamping pidana
pokok hanya satu saja yang dijatuhkan yang lamanya min 2 th dan max 5 th melebihi
pidana’s pokok yang dijatuhkan.
- Berarti lamanya pencabutan hak itu : X tahun + 2 – 5 tahun
- Jika pidana pokoknya hanya berupa denda saja, maka lamanya pencabutan hak itu minimal 2
tahun dan maksimal 5 tahun.
# Contoh :
A pada bulan Maret 1978 melakukan bbrp TP yakni ;
- Tgl 1 Maret 1978 melakukan pencurian
- Tgl 8 Maret 1978 melakukan penggelapan
- Tgl 15 Maret 1978 melakukan penipuan
Kemudian pd tgl 31 Maret 1978 disidangkan untuk perkara pencurian dan penipuan, yang kemudian
diputus dengan didasari ketentuan’s dlm Bab VI Buku I KUHP, dan delik Penggelepannya ternyata tidak
serentak diajukan (biasanya krn pembuktian yang belum lengkap).
Bila setelah tgl 31 Maret 1978 perkara penggelapan itu diajukan dan diadili, maka putusan yang
sebelum tgl 31 Maret 1978 tsb dimana pidana telah dijatuhkan sepenuhnya ( dlm kasus ini 5 tahun + 1/3
26
27
x 5 thn) maka untuk perkara penggelapan yang diajukan kemudian, walaupun pelaku terbukti dan sama
dinyatakan bersalah, namun TIDAK BOLEH atau tidak mungkin lagi dijatuhi pidana.
Alasannya ialah :
Seandainya ketiga2 perkara tsb diajukan scr serentak, maksimum ancaman pidananya adalah tetap 5 th
+ 1/3 x 5 th = 6 thn 8 bulan.
Ketentuan ini sengaja dibuat untuk :
Bagi Penuntut Umum
1. Mencegah Penuntut Umum memecah perkara Perbarengan dgn maksud untuk mengakibatkan
pemidanaan yang melebihi dari perkara yang semestinya.
2. Mendorong PU supaya harus dapat mengajukan SECARA SEKALIGUS sgl TP yang yang
pernah dilakukan oleh seseorang tersangka/terdakwa.
3. Ditujukan kpd para hakim agar apabila menghadapi pemisahan
Bagi hakim
1. Para hakim agar apabila menghadapi pemisahan perkara perbarengan, supaya tidak
mengadakan pemidanaan baru lagi
2. Untuk menghindari pemidaan baru, haim harus selalu menanyakan apakah seorang terdakwa
sudah pernah diadili sebelumnya. Jika Ya, apakah delik yang sedang dilaksanakan terjadi
sebelum tersangka diadili.
(Dlm hal ini undang-undang tidak membatasi bahwa putusan pertama itu adalah putusan
hakim/pengadilan setempat yang sama atau tidak. Karenanya putusan pengadilan/mahkamah
yang lain pun tercakup dlm ketentuan Psl 71)
# Dalam praktek sehari’s, jarang hakim menjatuhkan putusan pemidanaan yang maksimum shg apabila
terjadi “ketertinggalan” masih ada jalan sedikit untuk pemidanaan. Dan harus disebutkan dalam
pertimbangan hakim “perhitungan” yang dimaksud oleh Pasal 71. Misalnya ancaman pidana setelah
diperberat adalah 6 tahun 8 bulan, dan Hakim menjatuhkan 5 tahun 8 bulan. Maka dengan ini masih
ada kemungkan dijatuhkan pidana 1 tahun lagi.
27