Anda di halaman 1dari 129

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

Untuk dapat mengembangkan model pembelajaran Bahasa Inggris di

perguruan tinggi yang ideal perlu dikaji hakekat pengajaran Bahasa Inggris di

perguruan tinggi. EAP adalah Bahasa Inggris yang dipergunakan di perguruan

tinggi. Hakekat EAP, isinya dan bagaimana mengajarkannya adalah kajian sentral

dalam hal ini. EAP di perguruan tinggi idealnya disampaikan dengan model CBI,

dan di antara berbagai jenis CBI yang ada, pengajaran Bahasa berbasis tema

adalah model yang paling fleksibel untuk diterapkan di konteks Indonesia.

Pembahasan tentang theme-based teaching dan CBI tidak akan dapat terlepas dari

pembahasan tentang communicative language teaching (CLT), yang merupakan

induk dari berbagai model pengajaran yang menjadi mainstream pada saat ini.

Selain isi dan bagaimana mengajarkan EAP, kajian tentang bagaimana

mengembangkan program pembelajaran juga diperlukan. Teori-teori tentang

pengembangan program pembelajaran Bahasa Inggris, pengembangan silabus,

pengembangan materi ajar, implementasi dan evaluasinya akan dibahas pula pada

kajian teori ini. Akhirnya, teori bagaimana mengembangkan model pembelajaran

Bahasa Inggris berbasis tema dengan model 6T di perguruan tinggi ditampilkan

sebagai tumpuan dalam melakukan penelitian pengembangan.

21
1. Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi

Bahasa Inggris yang diajarkan dan digunakan di perguruan tinggi dikenal

dengan nama Bahasa Inggris Akademik atau English for Academic Purposes,

yang sering disingkat dengan EAP.

a. Pengertian EAP

Hutchinson dan Waters (1987: 16-17) menyatakan bahwa pembelajaran

Bahasa Inggris sebagai bahasa asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Bahasa

Inggris Umum (General English-GE) dan Bahasa Inggris untuk tujuan khusus

(English for Specific Purposes-ESP). Selanjutnya, ESP dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu Bahasa Inggris untuk kepentingan belajar (English for Academic

Purposes-EAP) dan Bahasa Inggris untuk kepentingan kerja (English for

Occupational Purposes-EOP). Dengan demikian EAP adalah cabang dari ESP

yang berfokus pada Bahasa Inggris untuk kepentingan belajar (akademik).Tujuan

EAP umumnya sama, yaitu untuk mempersiapkan mahasiswa bukan penutur asli

Bahasa Inggris (Non-Native Speaker of English students) dengan kemampuan

Bahasa Inggris dan keterampilan belajar agar dapat berhasil dalam belajar di

perguruan tinggi berbahasa Inggris (Jarvis, 2001: 206).

EAP pada mulanya lebih berfokus pada diskursus atau peristilahan

akademik pada bidang-bidang ilmu tertentu yang menjadi kajian dari mahasiswa

yang bersangkutan. Bahasa Inggris yang diajarkan berupa teks akademik yang

diambil dari literatur dan jurnal-jurnal ilmiah bidang tertentu, misalnya bidang

kedokteran, bidang hukum, ekonomi, dan sebagainya. Mahasiswa diharapkan

dapat memahami dan dapat berpartisipasi dalam masyarakat akademiknya. Pada

22
perkembangan berikutnya, EAP tidak hanya berfokus pada teks akademik,

melainkan mencakup berbagai kegiatan mahasiswa, misalnya mendengarkan

kuliah, berpartisipasi dalam seminar dan tutorial, membaca buku teks, artikel,

menulis essay, mengerjakan soal ujian, bahkan juga keterampilan-keterampilan

yang lebih spesifik misalnya bertanya, membuat catatan kuliah, membuat

ringkasan, dan sebagainya (Hyland, 2006).

Terkait dengan perkembangan ini Hyland (2006: 9) membedakan EAP

menjadi dua, yaitu EGAP (English for General Academic Purposes) dan ESAP

(English for Specific Academic Purposes). EGAP adalah bahasa Inggris yang

digunakan oleh semua mahasiswa dari berbagai macam bidang studi dalam

kegiatan belajarnya, sedangkan ESAP adalah Bahasa Inggris akademik yang

digunakan untuk bidang studi tertentu, misalnya bidang kedokteran. Kemudian,

muncullah dua pendekatan dalam EAP, yaitu pendekatan EGAP dan ESAP.

Dalam pendekatan EGAP, guru berusaha memisah-misah keterampilan

berbahasa dan bentuk bahasa, dan mengkaji kegiatan-kegiatan akademik yang

dianggap sama pada semua bidang studi. Dudley-Evans dan St. John (1998:4)

dalam Hyland (2006: 9) menyebutkan keterampilan-keterampilan itu meliputi

mendengarkan kuliah, berpartisipasi dalam kegiatan supervisi, seminar dan

tutorial, membaca buku teks, artikel dan bahan lain, menulis esai, jawaban soal

ujian, laporan dan disertasi. Pendekatan ini memasukkan kegiatan Bahasa Inggris

yang lebih umum, bertanya-jawab, membuat catatan, membuat ringkasan,

menyiapkan slide untuk presentasi, melakukan presentasi, dan sebagainya.

Gagasan ini didukung oleh Hutchison and Waters (1987), Blue (1988), dan Spack

23
(1988) yang disitir Hyland (2006) yang menyatakan bahwa fokus pengajaran EAP

adalah siswa dan proses belajar, dan bukan pada target texts. Sebaliknya,

pendekatan ESAP lebih berfokus pada pengajaran keterampilan dan bahasa yang

diperlukan pada disiplin ilmu tertentu, misalnya bahasa Inggris bidang

kedokteran, bidang hukum, dan sebagainya. Pendekatan ini didukung oleh

Dudley-Evans dan St. John (1988) yang menyatakan bahwa guru harus membantu

siswa dalam mengembangkan keterampilan akademik inti pada bidang ilmunya

(Hyland, 2006).

Selain pendekatan EGAP dan ESAP, Brick (2012) menambahkan

pendekatan lain, yaitu pendekatan keterampilan belajar. Menurutnya ada tiga

pendekatan EAP, yaitu Study skills, EGAP, dan ESAP. Pendekatan study skill

berfokus pada pengembangan keterampilan belajar yang diperlukan mahasiswa

dalam mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Keterampilan belajar ini berlaku

umum bagi semua mahasiswa, apapun bidang studinya. Keterampilan ini

meliputi: menemukan gagasan utama sebuah teks, membedakan antara fakta dan

pendapat, menebak makna kata sesuai konteks, membuat catatan kuliah, membuat

ringkasan, mengacu ke sumber informasi secara benar, dan mengenal fungsi

discourse markers. Pendekatan EGAP berfokus pada diskursus akademik umum

yang ditandai dengan 10 ciri bahasa akademik yaitu: “...the need to be explicit, to

organize texts deductively, with topic and argument indicated in the introduction,

to use language suggestive of objectivity and appropriate level of authority, and

to refer appropriately to the work of others” (Brick, 2012: 171). Sebaliknya,

24
ESAP berfokus pada pengembangan kemampuan mahasiswa untuk dapat

berfungsi secara efektif dalam kelompok bidang profesinya.

Pilihan antara EGAP atau ESAP, menurut Brick (2012), lebih banyak

ditentukan oleh bidang studi atau profesi yang diambil mahasiswa. Untuk bidang-

bidang studi yang lebih umum seperti bidang pendidikan, ilmu alam, ilmu sosial,

dan kebudayaan, EGAP lebih cenderung dipilih, sedangkan untuk bidang profesi

khusus, seperti bidang hukum, kedokteran, keperawatan, dan teknik yang

memerlukan pelatihan khusus, pendekatan ESAP lebih cenderung dipilih. Untuk

konteks UNY, EGAP dengan study skill nampaknya lebih masuk akal karena

program studi yang ada di UNY bersifat lebih umum. Selain itu EGAP dapat

diajarkan oleh dosen-dosen Bahasa Inggris yang diambil dari Jurusan Pendidikan

Bahasa Inggris sesuai dengan kondisi yang selama ini telah berlangsung.

b. Cakupan EAP

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa EAP adalah salah satu cabang dari

ESP. Ciri dari ESP adalah bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan

kebutuhan. Oleh karenanya analisis kebutuhan adalah langkah awal yang harus

dilakukan dalam pengembangan program pembelajaran EAP. Analisis kebutuhan

untuk EAP telah banyak dilakukan oleh para ahli, seperti misalnya Richards

(2001), Nation (2012), dan juga Chaudron (2006). Menurut Nation (2012)

mahasiswa yang belajar Bahasa Inggris untuk kepentingan akademik memerlukan

keterampilan berbahasa untuk mengembangkan keterampilan belajar yang

tercakup dalam tabel berikut.

25
Tabel 1.Keterampilan yang tercakup dalam EAP

Skill focus Study skill


Listening Note taking
Speaking - Presenting a prepared talk
- Taking part in discussion
- Following discussion
- Discussing academic reading
Reading - Note taking
- Reading academic texts
- Using library resources
- Using internet resources
Writing - coping with written assignments
- understanding and applying the classic
research article format
- understanding referencing conventions
- avoiding plagiarism
- developing skill in computer use (word
processing,spreadsheets, library and
journal searches, referencing programs)
- writing emails
Language Learning - Coping with technical vocabulary
- Increasing vocabulary size
University - Understanding attendance, work, and
Requirements assessment requirements
Sumber: Nation (2012: 56)

Tabel Nation (2012) ini mengindikasikan bahwa cakupan EAP adalah

study skills. Ini artinya dalam EAP selain belajar Bahasa Inggris, mahasiswa pada

dasarnya juga belajar study skills. Study skills perlu diajarkan kepada mahasiswa

dan menurut Nation (2012), study skills ini masuk dalam pengajaran EAP.

Selain masuk dalam EAP, study skills dapat pula diajarkan tersendiri

malalui modul-modul atau e-learning yang banyak ditemukan di website

perguruan tinggi terkenal, dan bisa juga diintegrasikan pada pengajaran konten

(Rasanen, 2009). Study skills perlu dilatihkan kepada mahasiswa baru karena

umumnya mereka dianggap telah menguasainya padahal sebenarnya belum

26
(Rasanen, 2009). Pendapat ini diperkuat oleh Shahidi, Dowlatkhah, Avan,

Musavi, dan Muhammadi (2014) yang menemukan bahwa kemampuan study

skills mahasiswa baru masih sangat rendah sehingga keterampilan ini perlu

diajarkan secara eksplisit.

Perlunya mengajarkan study skills secara eksplisit ini juga didukung oleh

banyak penelitian, antara lain, Hassanbeigi, Askari, Nakhjavani, Shirkhoda, dan

Barzegar (2011), Pepe (2012) dan Bulent, Hakan, dan Aydin (2015). Hassanbeigi

dkk. menemukan bahwa study skills berperan sangat penting dalam meningkatkan

performance akademik mahasiswa. Pepe (2012) menemukan adanya korelasi yang

linier antara study skills dan indeks prestasi mahasiswa. Demikian juga halnya

dengan Bulent dkk. (2015) yang menemukan adanya korelasi positif antara study

skills dengan prestasi belajar mahasiswa.

Selain study skills/keterampilan belajar, Gillett (1989) mengidentifikasi

pula seting di mana mahasiswa menggunakan bahasa Inggris dalam

kehidupannya, yang meliputi 7 hal, yaitu ketika mengikuti kuliah, seminar,

tutorial, kerja proyek, praktikum, belajar mandiri, dan saat ujian. Dengan

memasukkan tujuh seting tersebut Gillet merangkum cakupan EAP dalam

bagan berikut.

27
Setting Lecture Seminar Tutorial Group Practical Private Exams
Instrumenta project sessions Studies
lity
Spoken Listening for general understanding plus Listening to
Receptive specific points to remember instructions
Following instruction,
understding explanation
Spoken Asking for clarification or further information Asking for
Productive clarification
Oral presentationMaking
or
Discussion suggestions,
information
discussion
Written Reading handouts, boards, OHP Reading Reading
Receptive intensive and
Following instructions
ly for understandi
main ng
informati examination
on, for questions
specific
informati
on,
library
skills
Written Note taking Writing Writing
Productive essays, examination
Writing Writing reports,
reports answer
reports, support of work
instruct
ion

Gambar 1. Cakupan EAP model Gillet (Gillet, 1989)

Dari apa yang diungkapkan Nation dan Gillett dapat ditarik kesimpulan

bahwa EAP mancakup empat keterampilan berbahasa (listening, speaking,

reading dan writing) yang dikaitkan dengan keterampilan belajar pada seting

akademik baik di dalam maupun di luar kelas. Beberapa keterampilan belajar

yang diajukan Nation perlu mendapat perhatian yaitu yang terkait dengan

keterampilan menggunakan komputer dan internet dan pengembangan penguasaan

kosakata. Penggunaan komputer dan Internet telah menjadi bagian tak terpisahkan

28
dalam pembelajaran di perguruan tinggi, dan olah karenanya, EAP perlu

memasukkan keterampilan tersebut dalam program pembelajarannya. Sedangkan

terkait dengan pengembangan kosakata, disebutkan oleh Nation (2012) bahwa

untuk dapat menggunakan Bahasa Inggris untuk kepentingan akademik

diperlukan penguasaan kosakata paling tidak 5000 word families dan akan lebih

baik lagi jika mencapai 8000 word families, ditambah dengan kosakata

akademik.Untuk itu pembelajaran EAP perlu memberi bekal kepada mahasiswa

untuk senantiasa meningkatkan penguasaan kosakata baik secara terprogram

dalam pembelajaran maupun secara mandiri.

Bahasa Inggris akademik termasuk jenis Bahasa Inggris tingkat

tinggi.Untuk mencapai kompetensi berbahasa Inggris di bidang akademik, selain

memerlukan penguasaan kosakata yang sangat banyak juga memerlukan

keterampilan-keterampilan berbahasa dan keterampilan belajar tingkat tinggi.

Oleh karena itu untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris akademik

diperlukan program pembelajaran yang menyeluruh dengan beban belajar yang

cukup berat dan dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contoh adalah Kurikulum

Nasional EAP yang dikembangkan oleh Negara Israel. Kurikulum Nasional EAP

di Israel didisain untuk seluruh perguruan tinggi yang mendidik calon guru di

negara tersebut. Program EAP dibagi menjadi enam tingkat, yang masing-masing

tingkat berbobot 4 sks. Keenam tingkat tersebut adalah 1) Basic/mechina/below

scale, 2) Intermediate I, 3) Intermediate II, 4) Advanced I, 5) Advanced II, dan 6)

Proficiency/Exemption level. Dengan demikian di Israel, mahasiswa dipersiapkan

untuk menguasai Bahasa Inggris Akademik melalui program pembelajaran

29
berbobot 24 SKS, yang terbagi ke dalam 6 semester. Sedangkan Gillett (1989)

membagi program EAP ke dalam 4 program perkuliahan yang terpisah, yaitu

Academic Listening, Academic Reading, Academic Writing, dan Seminar Skill

yang masing-masing program perkuliahan memerlukan waktu cukup banyak

untuk menguasainya. Dari sini nampak jelas bahwa kemampuan Bahasa Inggris

akademik yang sesungguhnya, yang merupakan tujuan dari pembelajaran EAP

amat sulit untuk dapat diraih hanya dengan 2 SKS. Kemampuan ini memerlukan

program pelatihan yang komprehensif dan penguasaannya memerlukan usaha

keras dari dosen dan mahasiswa dan dalam waktu yang cukup lama.

Contoh lain kurikulum Bahasa Inggris perguruan tinggi yang memang

didisain untuk mengembangkan kemampuan Bahasa Inggris akademik yang lebih

komprehensif adalah kurikulum yang diusulkan oleh Sinem (2011). Kurikulum

Sinem ini didisain untuk konteks negara Turki. Untuk mencapai kemampuan

Bahasa Inggris akademik, Sinem (2011) mengusulkan kurikulum yang mencakup

3 level kelompok perkuliahan (Intensive English Programs, Content-based

Programs, dan CALLA), yang masing-masing kelompok dibagi lagi ke dalam

beberapa perkuliahan. Kelompok pertama sebagai program matrikulasi terdiri dari

3 mata kuliah Bahasa Inggris umum, kelompok kedua terdiri dari 4 matakuliah

ESP (EGAP, ESAP 1, ESAP 2, dan EOP), dan level tertinggi adalah program

CALLA, di mana mahasiswa dilatih untuk menulis artikel ilmiah dalam Bahasa

Inggris.

Dari contoh-contoh kurikulum EAP di perguruan tinggi yang telah dibahas

sebelumnya, mata kuliah Bahasa Inggris MKU yang ada di perguruan tinggi di

30
Indonesia hanyalah salah satu bagian dari serangkaian perkuliaan EAP yang ada

di negara-negara lain. Jika dimasukkan ke dalam kurikulum Sinem (2011),

program perkuliahan yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah EGAP,

salah satu mata kuliah ESP level pertama, yaitu perkuliahan dasar dalam

pengembangan kemampuan EAP. Untuk dapat menguasai EAP yang mencukupi

sesungguhnya masih diperlukan matakuliah EAP dengan level yang lebih tinggi.

c. Keterampilan Membaca dalam EAP

Melihat cakupan EAP yang begitu luas, yang meliputi empat keterampilan

berbahasa (membaca, menulis, menyimak, dan berbicara) dan keterampilan

belajar, serta tingginya tuntutan usaha dan banyaknya waktu untuk menguasai

kemampuan bahasa Inggris akademik, perancang program pembelajaran Bahasa

Inggris Akademik dituntut untuk realistik, terutama terkait dengan waktu.

Meskipun EAP mencakup 4 keterampilan berbahasa dan keterampilan belajar,

fokus tertentu perlu dipilih agar tujuan program pembelajaran dapat direalisasikan

melalui waktu, usaha, dan fasilitas yang tersedia. Grabe dan Stoller (2011)

menyatakan bahwa di antara empat keterampilan berbahasa, membaca merupakan

keterampilan akademik yang paling penting yang diperlukan mahasiswa.

Mahasiswa dituntut untuk mampu membaca dengan baik karena dalam konteks

akademik, membaca merupakan sumber input segala informasi yang akan

membawa mahasiswa untuk belajar lebih lanjut. Selain itu, membaca juga mampu

menumbuhkan minat dan motivasi mahasiswa dalam mengkaji berbagai macam

topik. Menurut mereka keterampilan membaca mahasiswa perlu digarap lebih

31
serius dalam pembelajaran EAP, dan membaca dapat menjadi dasar dan fokus

pembelajaran EAP.

Sejalan dengan Grabe dan Stoller, Anderson (2012: 219) mengatakan

bahwa dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang bermakna, guru dapat

menempatkan membaca sebagai keterampilan inti pembelajaran yang selanjutnya

guru dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan bahasa yang lain.Gagasan

ini divisualkan oleh Anderson dengan gambar berikut.

Gambar 2: Model Pembelajaran EAP yang berpusat pada Reading


(Anderson, 2012: 219)

32
Menempatkan membaca sebagai keterampilan utama dalam pembelajaran

Bahasa Inggris mendapatkan banyak dukungan dari para pakar, antara lain

Harmer (2004), Hirvela (2004), Carson (1993), Evans, Hartshorn, dan Anderson

(2010) sebagaimana dinyatakan oleh Anderson (2012: 219).

2. Pembelajaran Membaca Bahasa Inggris


a. Hakekat Membaca

Sugirin (2013) menjelaskan bahwa membaca dapat diartikan melalui tiga

demensi yaitu demensi mikro, makro, dan meso. Pada dimensi mikro, membaca

dapat diartikan sebagai kemampuan menghubungkan tulisan dengan bunyi bahasa

yang ditandai dengan kemampuan melafalkan tulisan. Membaca berarti

melafalkan tulisan. Pengertian membaca secara mikro ini merupakan makna

utama yang dimaksud oleh para ahli pembelajaran membaca pada awal

perkembangan budaya membaca, namun dalam bingkai keterampilan membaca

secara umum, kemampuan ini hanyalah salah satu dari the micro skills of reading.

Membaca tidak sekedar dapat melafalkan tulisan melainkan juga harus memahami

makna yang dibaca.

Dalam dimensi makro, membaca berarti memahami makna dari apa yang

dibaca. Apa yang dibaca dalam konteks makro dapat berupa fenomena alam,

tanda-tanda atau simbul untuk dapat melakukan penilaian berdasarkan kondisi

yang ada. Makna membaca dalam dimensi ini sangat luas sehingga membaca

tidak selalu terkait dengan teks tulis atau cetak. Kemampuan membaca dalam

konteks ini dapat berarti kemampuan membaca tanda-tanda zaman, membaca

peluang pasar, dan sebagainya.

33
Hakekat membaca secara mikro dan makro, jika dipandang sebagai hal

yang terpisah, memiliki makna yang terlalu ekstrim. Dalam perspektif mikro,

membaca seolah-olah hanya sekedar melafalkan tulisan. Reading bukan sekedar

itu, melainkan selalu berhubungan dengan pesan tertulis dalam bentuk teks

bahasa, sehingga hakekat micro tidak sesuai dengan hakekat membaca itu sendiri.

Burnes dan Page (1985:25) sebagaimana dikutip Sugirin (2013) menyatakan

“there is no reading without meaning”. Menurut Sugirin (2002), pengertian

inilah yang dimaksud dengan mezzo reading atau general reading. Menurutnya,

pada hakekat meso, reading berarti upaya memaknai informasi visual (teks) yang

tertangkap lewat mata dengan bantuan informasi non-visual, yaitu pengalaman

yang diperoleh sebelumnya. Reading merupakan bentuk komunikasi yang lebih

eksplisit dan selalu terkait dengan upaya menafsirkan makna dari apa yang

tersurat dalam teks. Prioritas membaca adalah pemahaman isi bacaan tanpa

menafikan hakekat membaca mikro dan makro.

b. Belajar Membaca Bahasa Kedua atau Asing

Ada perbedaan-perbedaan kondisi ketika orang belajar membaca pada

bahasa pertama dan bahasa ke dua/asing. Pada bahasa pertama, seorang anak yang

belajar membaca telah membawa kemampuan berbahasa lisan. Dia telah memiliki

pengetahuan kosa kata, mampu melafalkannya dengan baik dan mampu

memahami struktur bahasa yang didengar dan diucapkannya. Belajar membaca

baginya berarti belajar menghubungkan bentuk tulisan dan pelafalannya. Apa

yang dia lafalkan dari tulisan yang dibacanya telah dia ketahui maknanya karena

dia telah menguasai bahasanya (Sugirin, 2013).

34
Tidak demikian halnya dengan belajar membaca pada bahasa asing.

Belajar membaca dalam bahasa asing merupakan upaya dalam mempelajari

bahasa asing tersebut. Seseorang yang sedang mulai belajar Bahasa asing belum

menguasai Bahasa yang digunakan dalam teks. Oleh karenanya, kesulitan

membaca dalam Bahasa asing terkait dengan dua hal, yaitu masalah penguasaan

Bahasa dan penguasaan keterampilan membaca (Alderson & Urquhart, 1984).

Masalah penguasaan bahasa meliputi penguasaan kosa kata dan grammar yang

digunakan dalam teks. Masalah keterampilan membaca meliputi bagaimana

menafsirkan makna kata dalam kalimat, menghubungkan makna satu bagian

dengan bagian lainnya, memahami isi teks secara keseluruhan, atau menangkap

pesan moralnya. Dalam belajar membaca Bahasa asing kesulitan lebih banyak

disebabkan oleh faktor bahasa, yaitu karena kosa kata dan grammar belum

mereka ketahui. Bouvet (2000) menyatakan bahwa vocabulary merupakan

masalah utama dalam membaca Bahasa asing.

c. Pendekatan dalam Membaca

Ada tiga pendekatan membaca, bottom-up, top-down, dan interaktif

(Sugirin, 2013; Grabe & Stoller, 2011). Pendekatan bottom-up adalah proses

membaca yang dimulai dari huruf, morfim dan kata. Selanjutnya makna diperoleh

dengan menghubungkan satuan Bahasa yang lebih tinggi tingkatannya dari frase,

klausa, kalimat, paragraph, sampai wacana tulis. Bottom-up approach digunakan

dalam membaca teks-teks tentang bidang yang belum kita kenal sehingga

pemahaman semata mata mengandalkan kemampuan memanfaatkan informasi

yang tertulis. Pendekatan ini juga dikenal dengan nama Outside-in model

35
(Combourne, 1979) atau data-driven model (Silbersten, 1994) karena

pembentukan makna sangat tergantung pada informasi pada teks atau data di luar

pembaca (Sugirin, 2013).

Top-dowm approach atau conceptually-driven model atau inside-out

model adalah proses pemahaman teks yang berawal dari apa yang telah diketahui

(yang tersimpan di otak) pembaca untuk memperkirakan isi teks yang dibaca,

misalnya, dengan melihat judulnya. Top-dowm process berjalan lebih lamban

dibandingkan dengan bottom-up approach karena keterbatasan kapasitas memori

dan kemampuan mental dalam kecepatan menampung dan menyimpan informasi,

sehingga pembaca terus menerus mengubah hipotesis tentang informasi dari

bagian teks berikutnya. Pembaca menerapkan pengetahuannya tentang konvensi

dan struktur retorika serta pengetahuan pribadi di luar yang tersurat untuk

menafsirkan makna teks yang sesuai dengan konteksnya. Di sini pentingnya peran

penalaran dalam proses membaca. Pembaca berperan aktif dalam proses

memaknai teks. Pembaca menebak makna kata dengan dasar pengetahuan tentang

isi bacaan, dan berdasarkan pengalaman hidupnya. Membaca dengan pendekatan

top-down ini lebih mengandalkan pengetahuan atau konsep yang telah dimiliki

pembaca (Sugirin, 2013).

Interaktive approach adalah pendekatan yang mengintegrasikan dua

pendekatan sebelumnya. Pendekatan bottom-up saja atau top-down saja dianggap

terlalu menyederhanakan realita. Hudson (2006) menyatakan bahwa membaca

harus dipandang dari dua arah, yaitu yang melibatkan proses tingkat tinggi seperti

36
pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki, dan juga pencermatan teks itu

sendiri.

d. Membaca Akademik dalam Pengajaran Bahasa Inggris

1) Tujuan Membaca Akademik

Membaca dalam konteks akademik memiliki banyak tujuan. Grabe dan

Stoller (2011) mengklasifikasikan tujuan membaca akademik menjadi tujuh,

yaitu: (1) membaca untuk menemukan informasi sederhana, (2) membaca untuk

menemukan fakta dengan cepat, (3) membaca untuk belajar dari teks, (4)

membaca untuk menyatukan informasi, (5) membaca untuk menulis, (6) membaca

untuk mengkritisi teks, dan (7) membaca untuk pemahaman umum.

Grabe dan Stoller (2011: 129) menyatakan bahwa keterampilan membaca

sangat penting dalam konteks akademik. Dalam konteks ini, membaca berperan

sangat signifikan karena merupakan sumber input utama bagi siswa untuk belajar

lebih lanjut, baik terkait dengan belajar bahasa maupun isi atau informasinya.

Selain itu, membaca juga mampu menumbuhkan minat dan motivasi bagi siswa

untuk menggali informasi-informasi lain melalui bacaan-bacaan tambahan.

Namun demikian, keterampilan membaca tidak datang dengan sendirinya,

melainkan memerlukan penguasaan kosakata cukup banyak, penguasaan grammar

yang mencukupi, dan strategi-strategi yang diperlukan dalam kegiatan membaca

yang efektif. Untuk itu membaca harus diajarkan dengan baik.

37
2) Prinsip-prinsip Pembelajaran Membaca Akademik

Untuk dapat mengajarkan keterampilan membaca dengan baik, perlu

diketahui hal-hal yang harus dikuasai siswa agar dapat membaca dengan baik.

Grabe dan Stoller (2011: 130) menyatakan bahwa untuk dapat membaca dengan

terampil, pemelajar perlu menguasai kemampuan-kemampuan berikut:

a) Mengenali bentuk tulisan untuk menangkap kata dengan efisien,


b) Menangkap makna dari rangkaian kata-kata secara otomatis,
c) Menangkap makna informasi gramatikal tingkat frase dan kalimat,
d) Menggabungkan makna-makna tingkat klausa dan kalimat untuk
memahami teks secara lebih luas,
e) Mengenali struktur diskursus yang membangun dan membantu
pemahaman,
f) Menggunakan strategi membaca untuk tugas-tugas membaca
akademik,
g) Menetapkan tujuan membaca dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan,
h) Menggunakan berbagai macam inferensi untuk memonitor
pemahaman,
i) Memanfaatkan prior knowledge (pengetahuan awal) untuk membantu
pemahaman,
j) Mengevaluasi, mengentegrasikan, dan mensintesa informasi dalam
membaca kritis,
k) Menjaga proses membaca ini dengan lancar dan dalam waktu yang
cukup lama,dan
l) Menjaga motivasi untuk tetap membaca dan menggunakan informasi
teks sebagai tujuan membaca.

38
Pembelajaran bahasa perlu memperhatikan kemampuan-kemampuan ini

dan memasukkannya ke dalam kurikulum yang dirancang. Dalam merancang

program pembelajaran membaca, ada prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan.

Grabe dan Stoller (2011: 132) mengajukan prinsip-prinsip pembelajaran membaca

sebagai berikut:

a) Integrasikan pelajaran membaca dengan praktik membaca ekstensif.


b) Gunakan sumber bacaan yang menarik, bervariasi, melimpah dan
mudah diakses.
c) Beri kesempatan kepada siswa untuk memilih.
d) Kenalkan dan latihlah siswa dengan bahan-bahan yang diambil dari
buku teks pelajaran mereka.
e) Hubungkan bacaan buku teks dengan apa yang sudah diketahui siswa
(background knowledge).
f) Sajikan pelajaran dengan tugas-tugas pre-reading, during-reading,
dan post-reading.
g) Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami kesuksesan
memahami teks.
h) Buatlah agar kegiatan membaca terjadi pada setiap pelajaran.
i) Rencanakan pembelajaran membaca dalam kerangka kurikulum yang
mengintegrasikan pengembangan kemampuan membaca.Untuk itu,
guru harus:
(1) meningkatkan kemampuan siswa untuk mengenali kata secara
efisien,
(2) membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan kosakata
yang banyak,
(3) menciptakan kesempatan untuk latihan membaca pemahaman,
(4) membangun kesadaran siswa akan struktur teks,
(5) menyediakan kesempatan membaca ekstensif secara konsisten,
(6) memotivasi siswa untuk membaca, dan

39
(7) mengintegrasikan tujuan memahami isi bacaan (pelajaran) dengan
tujuan belajar bahasa.

Pengajaran membaca untuk kepentingan akademik ini sudah banyak

dikaji, antara lain oleh Shen (2015). Melalui action research, dia menemukan

bahwa untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan membaca akademik

guru harus berperan sebagai fasilitator, yaitu pertama melalukan analisis

kebutuhan kemudian menyediakan apa yang diperlukan siswa. Guru juga perlu

memilih materi yang tidak terlalu sulit, sesuaikan dengan tingkat kemampuan

siswa. Pengajaran dimulai dengan kegiatan pre-reading untuk menyiapkan siswa

terkait topik dan istilah-istilah baru yang akan muncul pada teks. Strategi

membaca yang telah dipelajari siswa perlu diterapkan untuk membaca teks-teks

bidang studi mereka.

Di sisi lain, EAP dapat pula diartikan sebagai salah satu pendekatan

pembelajaran bahasa berbasis isi (CBI- content based Instruction) yang ada di

konteks perguruan tinggi (Stoller dan Grabe, 1997). Sedangkan dalam peta

metodologi pembelajaran bahasa, CBI merupakan salah satu kerangka

pembelajaran bahasa komunikatif berbasis proses (Richards, 2006: 27).

3. Pembelajaran Bahasa Berbasis Isi (Content Based Instruction-CBI)


a. Pengertian CBI

Brinton dan Snow (2017) mengatakan, “At the heart of CBI is the

integration of language and content”. Snow (2014), menyatakan bahwa CBI

adalah:

40
. . . an umbrella term for a multifaceted approach to SFL teaching
that differs in terms of factors such as educational setting, program
objectives, and target population but shares a common point of
departure—the integration of language teaching aims with content
instruction. (p. 439)
Wesche dan Skehan (2002: 220) menyatakan: “Content-based language

instruction (CBI) refers to the integration of school or academic content with

language-teaching objectives.” Krahnke (1987: 6) dalam Richards (2006: 27)

mendefinisikan CBI sebagai “the teaching of content or information in the

language being learned with little or no direct or explicit effort to teaching the

language itself separately from the content being taught.” Davis (2003)

mendefinisikan CBI sebagai “a teaching method that emphasizes learning about

something rather than learning about language”. Brewster (2004) menyatakan

bahwa “CBI is a version of bilingual education and subject-teaching which

simultaneously teaches the language required for school learning and promotes

thinking skills.” Nation dan Webb (2012: 631) menyatakan bahwa “CBI involves

the learning of language while studying content matter subjects such as

mathematics, science, English literature and technology.”Dari berbagai definisi

tentang CBI, Crandall (2012: 149) menyitir definisi yang dikemukakan oleh

Richards dan Rogers (2001) yang menyatakan bahwa pembelajaran bahasa

berbasis isi (content-based instruction-CBI) adalah pendekatan pembelajaran

bahasa melalui belajar isi mata pelajaran atau topik tertentu, dan bukan berfokus

pada grammar, keterampilan bahasa atau task tertentu. Misalnya, dengan

menggunakan bahan tentang matematika untuk mahasiswa jurusan Matematika,

tentang ekonomi untuk mahasiswa jurusan Ekonomi, atau tentang topik-topik

41
tertentu yang mengintegrasikan beberapa bidang studi misalnya tentang

lingkungan hidup yang mengintegrasikan bidang IPA dan IPS, atau dapat pula

berupa pengenalan topik-topik akademik, seperti misalnya Introduction to

Psychology (Crandall, 2012: 150).

Pembelajaran berbasis isi (CBI) muncul dengan berbagai nama dan dalam

berbagai macam konteks pembelajaran. Brewster (2004) menyatakan bahwa CBI

di Eropa dikenal dengan nama CLIL (Content and Language Integrated

Learning). Di tempat lain dikenal dengan nama Language Across the Curriculum

atau Cross-curricular Language Learning.CBI dikenal juga dengan nama

Sustained-content language teaching (SCLT) (Nation, 2012: 631). Di konteks

Sekolah Dasar, CBI di kenal dengan istilah The whole Language Teaching, dan

yang kemudian berkembang menjadi dasar Program Imersi di Canada dan

Program Bilingual di Amerika Serikat.

b. Pendekatan dan Model CBI

Terkait dengan nama-nama CBI yang berbeda-beda ini, Stoller dan Grabe

(1997) mengklasifikasikan CBI berdasarkan pendekatannya. Menurut mereka, ada

delapan pendekatan dalam CBI, yaitu 1) CAL (Center for Applied Linguistics)

Approach, 2) English for Academic Purposes (EAP), 3) University-level Foreign

Language CBI, yang overlap dengan EAP, 4) discoursal knowledge structure

approach, 5) A genre-based approach to K-12 literacy instruction with a content

emphasis, 6) Immersion programs, 7) Cognitive Academic Language Learning

42
Approach (CALLA), dan 8). the whole language approach. Stoller dan Grabe

(1997) menjelaskan masing-masing pendekatan sebagai berikut.

1) Pendekatan CAL (Center for Applied Linguistics)

Pendekatan CAL terhadap CBI adalah pendekatan paling populer. Selama

bertahun-tahun berbagai macam penelitian telah dilakukan untuk menemukan

teori tentang a) bagaimana mengintegrasikan content dan bahasa dalam

pengajaran, b) bagaimana bahasa yang digunakan dalam bidang tertentu

dapat menimbulkan permasalahan pemahaman terhadap isi, dan c) bagaimana

melakukan assessment untuk mengevaluasi hasil belajar terkait content dan

bahasa. Kegiatan CAL telah menghasilkan rekomendasi bagaimana

menerapkanCBI dalam pengajaran dan bagaimana mengevaluasinya.

2) Pendekatan EAP (English for Academic Purposes)

Dalam pendekatan EAP ini dinyatakan bahwa EAP umumnya dilaksanakan

dengan mengikuti tiga model prototipe, yaitu a) sheltered instruction, b)

adjunct instruction, dan c) theme-based instruction. Dalam Sheltered dan

Adjunct models, content yang diajarkan sudah pasti, yaitu bidang studi yang

dipelajari, sedangkan dalam theme-based model, content ditetapkan oleh

guru bersama dengan siswa.

3) University–level Foreign Language CBI

Pendekatan ini nampak tumpang tindih dengan EAP, yang didalamnya

terdapat dua model pembelajaran yaitu a) pembelajaran bahasa asing yang

disusun berdasarkan bidang studi yang ada di perguruan tinggi, dan b)

43
pembelajaran bidang studi dengan memanfaatkan bahasa asing atau

bagaimana menggunakan bahasa untuk memahami bidang studi.

4) Discoursal Knowledge Structure Approach to Convey Content Information

Pendekatan ini menyatakan bahwa semua content disusun berdasar atas enam

jenis struktur pengetahuan discourse dasar, yaitu: diskripsi, sekuensi, pilihan,

klasifikasi, prinsip-prinsip, dan evaluasi. Tiga jenis yang pertama (diskripsi,

sekuensi, dan pilihan) mengungkapkan cara pengorganisasian informasi

secara lebih khusus, sedangkan tiga jenis yang kedua (klasifikasi, prinsip-

prinsip, dan evaluasi) menggambarkan pola pengorganisasian informasi yang

lebih umum. Pendekatan ini telah memberikan kerangka pedagogis

bagaimana menggabungkan content dan bahasa dalam pengajaran, dan

membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi.

Pendekatan ini juga menyediakan forum alamiah bagi guru untuk

memperkenalkan content sambil membantu siswa untuk memahami pola

discourse yang mendukung pengorganisasian contentknowledge. Pengetahuan

discourseini, selanjutnya, dapat ditransfer untuk memahami content

knowledge yang lain. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya

penggunaan graphic representations untuk menjelaskan struktur

pengetahuan tekstual dan untuk membantu siswa dalam mengembangkan

kemampuan discourse akademik.

5) A genre-based Approach to K-12 Literacy Instruction with a Content

Emphasis

44
Dengan mengacu teori linguistik fungsionalnya Halliday, pendekatan ini

mengusung penggunaan bentuk bahasa dan fungsi bahasa dalam kegiatan

komunikatif. Pendekatan ini berupa pendekatan pengajaran berbasis teks

(genre) dengan memperhatikan secara khusus content atau isi teks yang

diajarkan.

6) Program Imersi (Immersion programs)

Pendekatan ini berupa pembelajaran bidang studi (content) yang disampaikan

dalam bahasa target (Inggris, Perancis) yang banyak digunakan di Canada.

7) Cognitive Academic Language Learning Approach (CALLA)

Pendekatan ini menekankan pada pengembangan kemampuan berbahasa,

pemahaman bidang studi (content) dan pelatihan strategi belajar secara

eksplisit.Tujuan pembelajaran ini adalah untuk mempersiapkan siswa

kelompok bahasa minoritas agar mampu menguasai keterampilan akademik

lanjut dan penguasaan bidang studi. Pendekatan ini menekankan pentingnya

penggunaan graphic organizer untuk memudahkan siswa memahami isi

pembelajaran.

8) The Whole Language Approach

Pendekatan ini diterapkan di konteks pembelajaran di sekolah dasar. Dalam

pendekatan ini, pembelajaran berpusat pada unit tematik atau siklus tema

yang menggabungkan pengajaran keterampilan berbahasa dan isi mata

pelajaran seperti IPS, IPA, seni, matematika, dan lain-lain. Pendekatan ini

menekankan pada penggunaan bahasa untuk mengkomunikasikan isi mata

pelajaran. Unit tematik dikembangkan dengan cara memilih tema yang sesuai,

45
memilih topik-topik dari tema yang dipilih, mengkaitkan topik-topik yang

ada, mengembangkan tugas-tugas dalam satu rangkaian pembelajaran

sehingga menjadi satu siklus pembelajaran yang utuh dan koherens.

Dari delapan pendekatan tersebut di atas, terdapat tumpang tindih satu

sama lain, namun demikian, mereka memiliki ciri dasar yang sama sebagai CBI,

yaitu: pembelajaran mengintegrasikan antara belajar content dan bahasa, siswa

menggunakan bahasa untuk menegosiasi makna, memungkinkan terjadinya

cooperative learning, mengembangkan kemampuan discourse, dan menggunakan

content yang dapat memotivasi siswa.

Selain klasifikasi yang diajukan oleh Stoller dan Grabe, Met (1999) yang

dikutip oleh Snow (2001: 305) mengelompokkkan CBI berdasarkan fokus

pembelajaran, apakah lebih condong ke content ataukah lebih condong ke

bahasa.Oleh karenanya, pengajaran bahasa asing berbasis isi (CBI) muncul dalam

berbagai model yang ditempatkan dalam satu kontinum sebagai berikut.

Content driven language driven

Total Partial Sheltered Adjunct Theme Language


Immersion Immersion Courses Model Based classes
Courses with
Frequent
use of
Content
for Lang.
practice

Gambar 3. Met’s Continuum of CBI


Sumber: Snow, 2001: 305

46
Model yang paling menekankan pada isi pelajaran, yang dikenal dengan

istilah strong version of CBI, adalah program imersi total, kemudian diikuti oleh

imersi parsial dan baru kemudian sheltered model, sedangkan yang lebih banyak

berfokus pada bahasa (weak version of CBI) adalah the theme based model

karena model ini sangat dekat dengan kelas bahasa biasa yang sering

menggunakan isi untuk berlatih penggunaan bahasa.

Model Imersi yang merupakan strong version of CBI pertama kali muncul

pada tahun 1965 di Montreal Canada, namun sekarang sudah banyak ditemukan di

seluruh Canada dan beberapa wilayah di Amerika Serikat dan negara-negara lain

seperti Hungaria, Spanyol, dan Finlandia (Johnson & Swain (1997) dalam Snow

(2001). Dalam program imersi, siswa (berbahasa Indonesia, misalnya) mengikuti

pelajaran di sekolah dengan bahasa target, misalnya Bahasa Inggris. Bahasa

Inggris ini digunakan sebagai bahasa pengantar dalam mempelajari matematika,

ilmu alam, ilmu sosial maupun pelajaran-pelajaran yang lain. Program imersi

banyak ditemukan pada pendidikan tingkat dasar, sedangkan model yang lain,

seperti sheltered model dan adjunct model banyak ditemukan pada pendidikan

tingkat menengah atau perguruan tinggi (Snow, 2001: 305-308).

Sheltered model muncul pertama kali di Universitas Ottawa tahun 1982.

Kemudian model ini banyak ditemukan di sekolah-sekolah lanjutan dan di

perguruan tinggi yang lain. Sheltered berarti pemisahan di mana sekelompok

siswa (bukan native speaker) dipisahkan dari siswa native speaker agar mereka

dapat memahami isi pelajaran dengan lebih baik. Mereka diajar oleh pengajar ahli

47
bidang studi dengan menggunakan bahan dan strategi khusus agar isi dapat lebih

mudah dipahami (Snow, 2001:307).

Adjunct model adalah pengajaran bahasa berbasis isi di mana siswa pada

waktu yang bersamaan menempuh kelas bidang studi dan kelas bahasa. Model ini

biasa ditemukan di perguruan tinggi di mana pertautan antara kelas bahasa dan

kelas bidang studi dapat dimungkinkan. Ciri utama dari model ini adalah adanya

koordinasi antara tujuan dan kegiatan kelas bahasa dan kelas bidang studi di mana

kebutuhan siswa pada kelas bidang studi menentukan kegiatan pada kelas bahasa.

Apa yang dilakukan siswa pada klas bahasa ditujukan untuk membantu

pemahaman bidang studi.

Theme-based model termasuk dalam weak version of CBI artinya model

ini lebih berfokus pada bahasa dari pada isi. Model ini menggunakan tema atau

topik tertentu sebagai isi pembelajaran bahasa dan berdasar tema ini pula guru

menentukan kegiatan pembelajaran bahasa. Theme based model banyak

digunakan dalam pengajaran Bahasa Inggris di perguruan tinggi (EAP) di mana

terdapat banyak mahasiswa yang berasal dari beragam bidang studi, sehingga

pengajar harus mampu menemukan tema-tema sesuai dengan minat para

mahasiswa.

Jika klasifikasi model CBI yang diajukan Met ini dibandingkan dengan

klasifikasi Stoler dan Grabe akan nampak bahwa tiga model Met yang disebut

terakhir (sheltered, adjunct, dan theme-based model) masuk dalam kelompok

pendekatan EAP yang diajukan Stoler dan Grabe. Dengan demikian dapat

48
disimpulkan bahwa pengajaran bahasa berbasis tema adalah model pembelajaran

bahasa berbasis isi yang lebih berfokus pada bahasa dari pada konten, dan jika

berada pada konteks perguruan tinggi, merupakan salah satu model pembelajaran

EAP atau bahasa Inggris untuk kepentingan akademik yang dapat diselenggarakan

pada konteks di mana bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa asing, dapat

diikuti oleh mahasiswa dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih rendah,

dan dapat diajarkan oleh pengajar bahasa, dan bukan ahli materi.

c. Rasional Penggunaan CBI

Dalam kerangka pembelajaran Bahasa Inggris komunikatif, CBI telah

mendapat banyak dukungan dari berbagai macam teori. Stoller dan Grabe (1997:

5) menyatakan bahwa CBI telah mendapat banyak dukungan dari berbagai macam

teori yang didukung dengan hasil penelitian, mulai dari teori pemerolehan bahasa,

teori belajar, teori pelatihan bahasa, sampai pada dampak dari penggunaan CBI

dalam berbagai konteks pembelajaran.

CBI sebagai pendekatan pembelajaran bahasa asing didasarkan pada

prinsip belajar bahwa orang dapat belajar bahasa asing dengan baik jika mereka

menggunakan bahasa sebagai alat untuk memperoleh informasi, dan bukan

sekedar untuk belajar bahasa itu sendiri. Dengan CBI siswa belajar untuk

memperoleh kemampuan akademik, sehingga CBI lebih memotivasi siswa. Selain

itu, belajar bahasa asing akan berhasil jika informasi yang diperoleh dengan

menggunakan bahasa tersebut menarik, berguna, dan mengarah pada pencapaian

tujuan belajar lebih lanjut. Untuk itu, isi materi ajar sangat signifikan sebagai

49
dasar pembelajaran bahasa. Siswa akan belajar dengan baik jika apa yang

dipelajari sesuai dengan kebutuhannya. Teori belajar lain yang juga diangkat

dalam CBI adalah bahwa siswa akan belajar dengan baik jika pengajaran

berdasarkan pada apa yang sudah diketahui siswa (Richards & Rogers, 2001: 207-

211).

Teori bahasa yang mendasari CBI adalah bahwa bahasa adalah teks dan

discourse, bukan terbatas pada tingkat kalimat saja, karena pembelajaran dalam

CBI berfokus pada bahasa untuk menyampaikan makna dan informasi melalui

teks dan discourse. CBI juga mengimplikasikan penggunaan bahasa secara

terintegrasi antara reading, writing, listening dan speaking. Oleh karenanya,

dalam CBI siswa sering terlibat dalam kegiatan yang melibatkan beberapa

keterampilan bahasa sekaligus, misalnya siswa mendengarkan kuliah sambil

membuat catatan (Richards & Rogers, 2001: 210).

Selanjutnya Richards dan Rogers (2001: 210) menambahkan bahwa dalam

merancang pembelajaran yang bermakna guru perlu mempertimbangkan banyak

hal, yaitu: (1) bagaimana menyediakan kesempatan yang maksimal kepada

mahasiswa untuk mendengarkan guru menggunakan bahasa target, (2) bagaimana

mengoptimalkan kesempatan bagi mahasiswa untuk berinteraksi menggunakan

bahasa target dan dosen memberikan feedback yang berguna, (3) bagaimana

memilih dan mengintegrasikan teks lisan dan tulis dengan mempertimbangkan

tingkat otentisitas dan urutan penyajian, dan (4) mencari strategi untuk membawa

konteks ke dalam pengalaman belajar dengan mengintegrasikan bahasa dan isi

50
dengan menggunakan pendekatan yang mampu menumbuhkan kemampuan

berbahasa dan penguasaan isi.

Terkait dampak penggunaan CBI pada beberapa konteks pembelajaran

bahasa asing, dilaporkan bahwa CBI sangat efektif diterapkan dalam

pembelajaran bahasa asing karena mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa,

menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan berbahasa, dan literasi kultural.

“CBI uses the content, learning objectives and activities from the school

curriculum as the vehicle for teaching language skills, and it has been shown to

result in enhanced motivation, self-confidence, language proficiency, and cultural

literacy (Leaver & Stryker, 1989; Met, 1991; Snow & Brinton, 1997; Stoller,

2004 dalam Shrum & Glisan, 2010: 89).

d. Keuntungan Menggunakan CBI dalam Pembelajaran Bahasa

Penggunaan teks otentik dalam CBI, yaitu teks yang diambil dari mata

pelajaran lain, dapat menghadirkan konteks yang nyata, bermakna, dan efektif

dalam pembelajaran bahasa. Guru dapat menggunakan teks otentik baik tertulis

maupun lisan sebagai tema unit pembelajaran, sebagai konteks kegiatan

pembelajaran, dan sebagai isi pelajaran yang menarik untuk dieksplorasi.

Pemberian konteks yang nyata sangat penting dalam proses pembelajaran bahasa

yang bermakna (Shrum & Glisan, 2010: 88).

Lebih lanjut Shrum dan Glisan (2010: 88) menambahkan bahwa selain

memberikan konteks yang nyata untuk pembelajaran bahasa, isi atau topik

pembelajaran dalam CBI memberikan tantangan kognitif yang bermutu kepada

51
mahasiswa. Dengan CBI mahasiswa akan berkesempatan mengembangkan

keterampilan berpikir yang sangat berguna dalam pengembangan kemampuan

akademik lebih lanjut. Terlebih lagi jika pembelajaran dengan CBI ini dirancang

dengan baik untuk mengajarkan keterampilan belajar dengan kegiatan yang

mengarah pada kemandirian belajar (autonomous learning).

Dari berbagai paparan tentang keuntungan penggunaan CBI dalam

pembelajaran, Richards (2001: 158) mengacu pada Brinton, Snow, Wesche,

(1989) meringkas keuntungan CBI dalam pembelajaran bahasa asing yang

meliputi:

1) Model pembelajaran ini memfasilitasi pemahaman,


2) Content membuat bentuk bahasa lebih bermakna,
3) Content menyediakan dasar terbaik untuk mengajarkan bidang
keterampilan berbahasa,
4) Model ini dapat memenuhi kebutuhan siswa
5) Model ini memotivasi siswa
6) Model ini memungkinkan pengintegrasian empat keterampilan
berbahasa,
7) Model ini memungkinkan penggunaan materi ajar otentik.

4. Pengajaran Bahasa Berbasis Tema

Seperti telah diungkapkan dalam pembahasan tentang pembelajaran

berbasis isi (CBI), Theme-based model termasuk dalam weak version of CBI,

artinya model ini lebih berfokus pada bahasa dari pada isi. Model ini

menggunakan tema atau topik tertentu sebagai isi pembelajaran bahasa dan

berdasarkan tema ini pula guru menentukan kegiatan pembelajaran bahasa. Theme

52
based model banyak digunakan dalam pengajaran Bahasa Inggris di perguruan

tinggi (EAP) di mana terdapat banyak mahasiswa yang berasal dari beragam

bidang studi, sehingga pengajar harus mampu menemukan tema-tema sesuai

dengan minat para mahasiswa.Theme-based model umumnya ditemukan di

konteks EFL (pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing), misalnya di

Indonesia (UNY), dan kelas Bahasa Inggris dengan theme based model umumnya

diajar oleh ahli pengajaran bahasa (Davis, 2003).

Pengajaran bahasa berbasis tema yang merupakan bagian dari CBI

memiliki ciri-ciri yang serupa dengan CBI, yaitu pengajaran bahasa dirancang

untuk membahas isi atau tema tertentu. Pengajaran berbasis tema juga memiliki

keuntungan-keuntungan yang serupa dengan pembelajaran berbasis isi (CBI),

yaitu bahwa model ini mengajarkan language use dalam konteks yang jelas,

memungkinkan terciptanya lingkungan belajar yang kondusif untuk penggunaan

bahasa yang sedang dipelajari, menyediakan lingkungan kelas yang kaya-bahasa

dengan berfokus pada berbagai aspek dari topik-topik atau tema-tema tertentu,

menawarkan kesempatan kepada siswa untuk menghubungkan apa yang mereka

ketahui dengan yang sedang mereka pelajari, dan mampu menyediakan beragam

aktivitas terkait tema yang memungkinkan siswa belajar berbagai hal, tanpa

kecuali belajar bahasa (Language and Culture Bulletin, 2013).

Menurut Cameron (2001), pengajaran bahasa berbasis tema telah

diselenggarakan di sekolah dasar sejak tahun 1960 di Inggris. Pembelajaran

berbasis tema berisi berbagai macam kegiatan yang terkait satu sama lain sekitar

tema yang sedang dibahas dan dapat diselenggarakan dengan berbagai cara.

53
Pertama, pengajaran bahasa diintegrasikan dengan mata pelajaran lain. Model ini

mirip dengan sheltered-model of CBI. Model kedua adalah kelas bahasa yang

menggunakan isi atau materi dari pelajaran lain. Model ini paling banyak

digunakan oleh kelas-kelas bahasa yang ingin mengajarkan bahasa dengan lebih

bermakna. Model ketiga, adalah model the whole language class, dimana semua

mata pelajaran diajarkan dengan menggunakan bahasa target. Model ketiga ini

mirip dengan model imersi dalam CBI. Model yang lain disebut dengan activity-

based, yaitu dengan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan belajar dari mata

pelajaran lain ke dalam pengajaran bahasa. Lebih lanjut Cameron (2001)

menyebutkan bahwa outcome dari pembelajaran bahasa berbasis tema biasanya

berupa kegiatan presentasi.

Pengajaran bahasa berbasis tema termasuk pengajaran yang demanding,

sehingga guru dituntut untuk merancangnya sejak awal (Cameron, 2001: 185).

Menurutnya, dalam merancang theme-based teaching, langkah pertama adalah

menentukan tema. Pada tahap ini, siswa perlu dilibatkan sehingga tema dan topik

yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Melibatkan siswa dalam

proses penentuan tema dan topik juga memberikan keuntungan tersendiri.

Mumford (2000: 6) menyatakan bahwa pembelajaran menjadi lebih bermakna jika

siswa dilibatkan dalam proses pemilihan tema dan cara mereka belajar. Dengan

cara ini juga, model pembelajaran sepanjang hidup mampu dibawa ke dalam

konteks sekolah.

Langkah kedua, adalah menetapkan kegiatan belajar dan alokasi waktu

untuk masing-masing kegiatan. Pada tahap ini guru perlu melibatkan guru-guru

54
lain dan melakukan brainstorming untuk mendapatkan ide-ide yang lebih lengkap

dan variatif. Selanjutnya, ide-ide ini diletakkan dalam skema atau web. Dengan

cara ini, gagasan-gagasan dapat dikumpulkan tidak secara linier, sehingga tema

dan sub-tema dapat lebih mudah dikembangkan. Kegiatan-kegiatan belajar

ditentukan berdasarkan tema dan disesuaikan dengan usia siswa.

Pelibatan siswa dalam proses perencanaan pembelajaran, mengubah peran

guru dalam theme-based teaching. Guru bukan satu-satunya penentu

pembelajaran, namun lebih sebagai koordinator atau fasilitator (Mumford, 2000:

4). Dalam proses pembelajaran, guru lebih berperan sebagai komentator dan

pemberi masukan. Selain itu, guru juga dituntut untuk mengendalikan jalannya

pembelajaran dan perilaku siswa. Guru juga harus siap dengan segala

kemungkinan perubahan arah pembelajaran, sehingga guru dituntut untuk lebih

fleksibel dan mampu menghandel kelas jika muncul butir-butir bahasa dalam

situasi tertentu yang tidak direncanakan sebelumnya.

Pembelajaran bahasa berbasis tema yang merupakan bagian dari CBI dan

merupakan bagian dari pembelajaran bahasa komunikatif (CLT) diselenggarakan

dengan menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa komunikatif, dan

memiliki keunggulan-keunggulan yang sama dengan yang ditemukan dalam

pembelajaran bahasa berbasis isi (CBI). Meskipun demikian, pembelajaran bahasa

berbasis tema dinyatakan lebih fleksibel dalam banyak hal (Davis, 2003; Nunan,

2004).

55
5. Pengajaran Bahasa Berbasis Tema dengan Pendekatan 6T

Stoller dan Grabe (1997) menyatakan meskipun ada berbagai macam

pendekatan dan model, CBI memiliki dasar yang sama, yaitu semuanya berbasis

tema (isi). Berdasarkan persamaan dari berbagai model CBI tersebut, mereka

menawarkan model pembelajaran berbasis tema yang mereka sebut ‘The six T’s

approach’ atau pendekatan 6 T.

Pendekatan 6T dalam CBI yang diusulkan Stoller dan Grabe (1997) terdiri

dari 6 komponen, yaitu Themes (tema), Topics, texts, Threads (penghubung),

Tasks, and Transition. Tema adalah gagasan utama yang mencakup semua unit

pelajaran utama. Tema ini dipilih berdasarkan kebutuhan dan minat siswa, misi

lembaga, sumber-sumber yang tersedia, dan kemampuan guru. Teks adalah

sumber isi materi ajar. Topik adalah subunit dari isi materi yang membahas aspek

khusus dari tema. Thread adalah penghubung antar tema yang berbeda-beda. Task

(tugas) adalah unit dasar pengajaran dimana tema, topik dan T lain direalisasikan

dalam kegiatan belajar sehari-hari. Sedangkan transisi adalah kegiatan yang

direncanakan secara khusus untuk memberikan benang merah antar topik dalam

satu tema dan antar tugas dalam satu topik (Stoller & Grabe, 1997 dalam Snow

2001).

a. Tema

Tema merupakan pertimbangan awal dalam mendisain model

pembelajaran ini.Tema harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa, tujuan belajar

siswa, harapan institusi, kemampuan pengajar, tujuan pembelajaran atau

kompetensi yang diharapkan dari matakuliah Bahasa Inggris. Jika kebutuhan dan

56
harapan ini sudah ditetapkan, enam komponen dalam model ini baru dapat

ditetapkan. Tema adalah gagasan utama yang mendasari komponen-komponen

yang lain dan perlu ditetapkan dengan analisis kebutuhan yang layak. Dengan

demikian, langkah pertama merancang model pembelajaran ini adalah analisis

kebutuhan.

Analisis kebutuhan adalah langkah awal dalam pengembangan program.

Analisis kebutuhan dapat dilakukan dengan mengkaji literature, meminta

rekomendasi dari pakar, observasi lingkungan, atau dengan survei yang dapat

dilakukan dengan wawancara atau kuesioner. Kajian literatur dan rekomendasi

pakar akan menghasilkan pre-determined needs (kebutuhan menurut teori), dan

kebutuhan ini perlu divalidasi dengan kebutuhan nyata di lapangan, yaitu dengan

observasi, wawancara atau kuesioner.

Sesuai konteks, Bahasa Inggris yang dikembangkan ini adalah mata kuliah

umum (MKU) yang merupakan mata kuliah pembentuk kepribadian (MPK).

MKU atau MPK dimaksudkan untuk mengantarkan mahasiswa agar menjadi

manusia seutuhnya sebagai warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan

YME, berbudi luhur, dan berkarakter, sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian

tema-tema yang diusung juga terkait dengan MKU, misalnya tentang keagamaan,

moral dan etika, kewarganegaraan dan hukum, kependudukan dan lingkungan

hidup, dan sejenisnya. Di samping itu, karena matakuliah ini diselenggarakan di

berbagai fakultas yang terdiri dari beragam bidang studi, tema-tema yang dipilih

juga perlu mewakili bidangstudi yang berbeda-beda pula. Oleh karenanya, tema

lintas bidang lebih diutamakan. Misalnya, tema kependudukan dan lingkungan

57
hidup dapat dibahas melalui berbagai macam perspektif, seperti dampak sosialnya

(berbagai macam masalah sosial), dampak lingkungan (polusi, perusakan alam)

kesehatan, ekonomi, moral kepribadian, pendidikan, dan sebagainya.

b.Topik

Topik adalah sub-unit dari isi pembelajaran yang mengeksplorasi aspek-

aspek dari tema secara spesifik.Topik dipilih sesuai dengan minat mahasiswa,

sumber-sumber yang tersedia, pilihan pengajar, dan tujuan pembelajaran yang

lebih besar.Topik-topik harus dirancang untuk menghasilkan koherensi sebuah

tema yang diangkat, dan secara bersamaan mampu mengembangkan kemampuan

mahasiswa dalam memahami isi sekaligus keterampilan berbahasa. Tema yang

sama dapat berkembang ke arah yang berbeda tergantung pada topik-topik yang

dipilih. Di sini peran dosen sangat menentukan arah kemana tema tersebut akan

dibawa dengan memilih topik-topik yang mereka sukai. Misalnya untuk tema

kependudukan dapat dikembangkan dengan topik-topik sebagai berikut:

Tabel 2. Topik-topik dalam Theme-based Instruction


Tema Kelompok Topik I Kelompok topik II
Kependudukan Dampak penduduk terhadap Tren penduduk
a. Udara a. Di Negara-negara
b. Air berkembang
c. Sumber-sumber alam b. Di Negara-negara
maju
c. Dan dampaknya
pada lingkungan
(Stoller dan Grabe, 1997)

Dengan tema yang sama yang terkait dengan MKU, dosen dapat memilih

topik yang berbeda disesuaikan dengan program studi di mana dia mengajar,

58
sehingga isi pembelajaran menjadi lebih sesuai dengan minat mahasiswa yang

selanjutnya akan lebih memotivasi mahasiswa dalam belajar.

c. Texts.

Teks dapat diartikan sebagai sumber isi pembelajaran. Teks ini dapat

berupa teks tulis maupun lisan yang menjadi dasar perencanaan unit-unit dari

tema yang diangkat. Pemilihan teks ditentukan oleh pertimbangan primer yaitu

minat mahasiswa, relevansi, kelayakan untuk pembelajaran, dan pertimbangan-

pertimbangan sekunder yang meliputi kemenarikan format, panjang pendeknya

teks, koherensi, kaitan dengan bahan lain, accessibility, availability, dan harga.

Teks yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Inggris di kelas

dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu TALO, TAVI, dan TASP. TALO adalah

singkatan dari Texts As a Linguistics Object. Teks jenis ini dipilih untuk

kepentingan kegiatan kebahasaan terkait dengan grammar atau kosa kata. Jenis ini

biasanya digunakan dalam Grammar translation method. TAVI adalah Texts As

a Vehicle for Information. Teks jenis ini digunakan dalam pembelajaran

komunikatif di mana belajar bahasa berarti belajar menggunakan bahasa untuk

berkomunikasi yang antara lain untuk mencari informasi. TASP adalah Texts As a

Springboard for Production. Teks jenis ini biasanya digunakan sebagai input

proses pembelajaran atau sebagai teks model yang kemudian digunakan untuk

penggunaan bahasa produktif, seperti speaking dan writing (Clandfield, 2018).

Stoller dan Grabe (1997) menyatakan bahwa jenis teks yang digunakan

dalam proses pembelajaran dapat meliputi berbagai jenis sebagai mana terangkum

dalam table 3.

59
Tabel 3. Jenis teks dalam Theme-based Instruction

Jenis teks Contoh sumber bahan ajar


Teks yang dikumpulkan Bahan bacaan berbagai jenis teks, rekaman
video, rekaman pidato, presentasi, peta, tabel,
grafik, dan software
Teks buatan pengajar Perkuliahan, lembarkerja, graphic
representation, bulletin board displays
Tugas-tugas buatan pengajar Student freewrites, discussion, problem-solving
activities, graphic representations, library
searches, debates, survey/questionnaires
Sumber dari luar Guest speakers, field trips
(Stoller dan Grabe, 1997)

Teks yang digunakan beragam dan mencerminkan 5 keterampilan yang

dikembangkan secara terpadu, yaitu reading (membaca), listening

(mendengarkan), Speaking (berbicara), writing (menulis), dan study skill

(keterampilan belajar). Teks tulis untuk Reading menjadi dasar pengembangan

kegiatan yang akan mengarah ke teks-teks yang lain. Misalnya, teks tulis yang

berisi paparan tentang penduduk Indonesia yang harus dibaca dan dipahami

mahasiswa, dapat dilengkapi dengan perkuliahan/penjelasan (teks lisan) dari

pengajar. Dalam presentasi tersebut dosen dapat memanfaatkan slide-slide, grafik,

gambar sebagai alat peraga. Kemudian dapat dilengkapi dengan lembar kerja

yang harus dilengkapi oleh mahasiswa, mahasiswa membuat ringkasan atau

laporan dan menyajikannya secara lisan di depan kelas. Dengan cara ini 5

keterampilan dapat dikembangkan secara terpadu.

d. Threads

Threads adalah penghubung antar tema yang akan menciptakan koherensi

kurikulum secara lebih luas. Thread melingkupi, namun tidak secara langsung

terikat dengan gagasan pokok dari tema-tema yang ada. Threads berupa konsep-

60
konsep abstrak, seperti misanya nilai-nilai kemanusiaan (tanggung jawab, etika

moral, kesadaran, dan sebagainya) yang dapat menjadi penghubung alami antar

tema, menyediakan review dan pengulangan isi dan butir bahasa yang penting,

dan penekanan ulang strategi belajar yang penting.Threads dapat memberikan

jembatan penghubung antar tema yang nampaknya tidak terkait satu sama lain,

sehingga thread mampu menghadirkan rancangan pembelajaran yang lebih utuh.

Ada banyak thread yang mampu menghubungkan beragam tema, mampu

mengintegrasikan isi pembelajaran baik isi pesan maupun butir-butir bahasa

dengan perspektif baru. Berikut adalah contoh thread yang mampu

menghubungkan lima tema sekaligus.

Tabel 4. Threads that link various themes


Thread that links various theme units Themes
Responsibility to
Uphold civil rights for citizens Civil rights
Control population Population
Regulate family size Demography
Conduct ethical research Solar system
Protect endangered cultures Global cultures

(Stoller dan Grabe, 1997)

e. Task (tugas)

Task adalah unit dasar (terkecil) dari pengajaran dan melalui task inilah

model pembelajaran 6T direalisasikan dari waktu ke waktu.Task juga merupakan

kegiatan dan teknik pembelajaran yang digunakan untuk merealisasikan isi

pembelajaran ( isi, bahasa, dan strategi belajar) ke dalam kegiatan kelas, misalnya

kegiatan untuk mengajarkan kosakata, struktur kalimat, organisasi teks, interaksi

komunikatif, keterampilan belajar, dan keterampilan-keterampilan berbahasa.

61
Dalam model pembelajaran ini, task dirancang sesuai dengan teks yang sedang

digunakan. Dengan demikian, isi/pesan menentukan kegiatan-kegiatan

pembelajaran. Task-task utama diatur dan diurutkan di dalam satu tema, atau

dalam tema-tema yang lain untuk mencapai tujuan pembelajaran secara umum.

Task-task yang digunakan juga didaur ulang dengan kompleksitas yang lebih

tinggi saat mahasiswa pindah dari satu tema ke tema yang lain. Merancang

serangkaian tugas yang akan membawa mahasiswa pada kegiatan puncak,

misalnya kerja proyek yang mengintegrasikan berbagai macam kegiatan belajar

dalam satu tema, lebih diutamakan, karena kegiatan seperti ini memerlukan

sintesa dari berbagai macam pengetahuan, keterampilan berbahasa dan

keterampilan belajar. Namun demikian tugas-tugas kecil juga tidak boleh

diabaikan, karena tugas seperti ini memberikan kemampuan dasar dan karena

lebih mudah dikerjakan, dapat memberikan rasa berhasil kepada mahasiswa

sehingga lebih memotivasi. Berikut adalah contoh task untuk kegiatan membaca.

Mengapa membaca yang dipilih, karena membaca merupakan jantung dari

kegiatan belajar (Grabe & Stoller, 2001: 191).

62
Tabel 5. Sequenced Activities in a reading Instruction

Tahapan Tasks/activity
reading
Pre-reading 1. Previewing the text (by examining distinguishing features
Instruction of the text such as the title, subheadings, illustrations and
captions, and sections) to determine (or at least
hypothesize) the general topic of the reading, relevant
vocabulary, and possible challenges.
2. Skimming the text or portions of the text (e.g. the first
andthe last paragraph) to decide the main ideas of the text.
3. Answering questions about information in the text or
formulating questions for which students want answers.
4. Exploring key vocabulary
5. Reflecting on or reviewing information from previously
read text in light of the topic of the new text.
During-reading 1. Outlining or summarizing key ideas in a difficult sections
instruction 2. examining emotions and attitudes of key characters
3. Determining sources of difficulty and seeking
clarification
4. Looking for answers to questions posed during pre-
readingactivities.
5. Writing down prediction of what will come next.
Post-reading 1. Completing a graphic organizer (e.g. table, chart,
Instruction grid)based on text information
2. Expanding or changing a semantic map created earlier
3. Listening to a lecture and comparing information from
thetext and the lecture
4. Ranking the importance of information on the text based
on a set of sentences provided
5. Answering questions that demonstrate comprehension of
the text, requirethe application of text material, demand a
criticalstance on text information, or oblige students to
connect text information to personal experiences
andopinions

(Grabe & Stoller, 2001: 191-192)

f. Transition

Transisi adalah kegiatan yang dirancang secara eksplisit yang memberikan

koherensi antar topik dan antar tasks dalam satu topik. Transisi memberikan

penghubung antar topik dan pengantar yang membangun untuk task berikutnya.

63
Ada dua jenis transisi yang efektif, yaitu transisi topik dan transisi task. Berikut

adalah contoh transisi yang memberikan koherensi antar-topik dan antar-task

dalam satu topik:

Tabel 6.Transisi dalam Theme based Instruction

Transition type Samples transition activities in a theme unit on demography


Topical A deliberate shift in emphasis from global population
transitions trends, to trends in developing counties, to trends in
developed countries, to trends in student’s home country.
Students are explicitly made aware of these transitions.
Task transitions Students are asked to
(a) interpret a graph depicting population trends
(b) create a new graph with raw data obtained from a
classroom survey
(c) write an interpretation of the new graph
(d) reconstruct the graph on the computer
(e) incorporate the graph into a research paper, bulletin
board display, or oral presentation
(Grabe & Stoller 1997)

Model 6T memungkinkan kita mengembangkan kurikulum atau program

pengajaran berbasis isi secara koherens. Dengan model ini, tema menjadi sumber

utama perencanaan program. Berbagai macam teks yang menarik dan relevan

akan mengarah ke pemilihan topik. Satu set topik yang keherens diharapkan

semakin menarik minat mahasiswa dalam belajar. Keterkaitan antar topik perlu

diperhatikan untuk mengundang keterlibatan siswa dan mengarah ke pencapaian

tugas final, yaitu kerja proyek.Task-task khusus dirancang untuk mengajarkan

informasi /isi pelajaran, butir bahasa, dan strategi belajar yang ada dalam teks

terkait tema yang diangkat sesuai dengan kebutuhan siswa. Transisi dan threads

memberikan penghubung antar komponen sehingga membuat program menjadi

satu kesatuan yang utuh.

64
Model pembelajaran bahasa asing berbasis tema 6T yang juga merupakan

model pembelajaran berbasis isi, memandang isi atau pesan (content/message)

yang diwujudkan dalam theme, text dan topic, sebagai dasar perencanaan program

pembelajaran. Berbagai macam sumber isi (text) memberikan kesempatan kepada

mahasiswa untuk mempelajari butir-butir bahasa dan strategi belajar yang relevan,

dan juga kesempatan untuk menggunakan bahasa dan isi untuk kegiatan

komunikatif yang bermakna. Pengajaran bahasa berbasis tema dengan pendekatan

6T dapat divisualisasikan sebagai berikut.

Threads

Theme Theme Theme

Topic 1 Topic 2 Topic 3

Text 1 Text 2 Text 3

Task 1 Task 2 Task 3

Transition

Gambar 4. Kerangka Theme-based Instruction dengan model 6 T

6. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses guru mengajar dan siswa

belajar. Proses guru mengajar dinamakan pengajaran, sedangkan siswa belajar

disebut pemelajaran. Dengan demikian pembelajaran mencakup pengajaran dan

65
pemelajaran (Madya, 2013: 47). Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Inggris

mencakup bagaimana guru mengajarkan bahasa Inggris dan bagaimana siswa

belajar Bahasa Inggris. Untuk mengkaji konsep ini perlu diuraikan apakah Bahasa

Inggris itu, apa yang diajarkan dan apa yang dipelajari di kelas-kelas bahasa

Inggris, dan bagaimana seseorang belajar bahasa serta bagaimana guru dapat

membantu siswa mempelajari bahasa Inggris. Konsep tentang bahasa dan cara

mengajarkannya sehingga siswa dapat belajar bahasa dengan baik telah dikaji oleh

banyak pakar dan konsep ini telah berkembang dari waktu ke waktu.

Perkembangan pandangan tentang hakekat bahasa dan bagaimana

mengajarkannya tertuang dalam teori pembelajaran bahasa. Metodologi

pengajaran bahasa dikelompokkan menjadi tiga era besar, yaitu era prametode, era

metode, dan era pascametode (Stern, 1983; Brown, 2006; Madya, 2013). Dalam

era metode, muncul berbagai macam metode pembelajaran bahasa, yang pada

puncaknya muncul pendekatan komunikatif yang tetap bertahan hingga kini

dengan alasan pendekatan ini menunjukkan kemenyeluruhan perspektif yang

digunakan (Madya, 2013: 47).

Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa dapat diartikan

sebagai serangkaian prinsip-prinsip yang mencakup tujuan pembelajaran bahasa,

bagaimana orang mesti belajar bahasa, kegiatan pembelajaran apa saja yang

paling membantu orang dalam belajar bahasa, dan peran guru serta siswa dalam

pembelajaran bahasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Richards (2006: 2)

“Communicative language teaching can be understood as a set of principles

about the goals of language teaching, how learners learn a language, the kinds of

66
classroom activities that best facilitate learning, and the roles of teachers and

learners in the classroom.”

Pendekatan komunikatif yang telah berkembang sejak tahun 1960an

(Stern, 1983; Brown, 2006; Madya, 2013) memandang bahasa sebagai sistem

komunikasi, atau sebagai sarana mengungkapkan makna fungsional lewat

tatabahasa dan kosakata (Richards & Rogers 1986). Belajar bahasa berarti belajar

untuk mengungkapkan makna (Halliday 1973, 1975). Tujuan orang belajar bahasa

adalah untuk menguasai bahasa sebagai sistem komunikasi, sehingga dalam

pendekatan komunikatif keterampilan kebahasaan dan kemampuan komunikatif

hendaknya dikaitkan satu sama lainnya (Widdowson, 1978 dalam Madya 2013:

47). Yang harus dikuasai oleh orang yang belajar bahasa adalah kemampuan

berbahasa sebagai alat komunikasi yang oleh Bahman (1990: 41) dinamakan

Communicative Language Ability (CLA), atau communicative competence

(Richards, 2006: 2) dan yang diterjemahkan oleh Madya (2013) menjadi

kompetensi komunikatif.

a. Kompetensi Komunikatif

Pembahasan kompetensi komunikatif dapat dimulai dari model Bahman.

Bahman (1990) mengajukan Model Communicative language ability (CLA) yang

terdiri dari tiga komponen yaitu language competence, strategic competence, dan

psychophysical mechanism. Language competence mencakup serangkaian

kemampuan berbahasa tertentu yang dipergunakan dalam berkomunikasi

menggunakan bahasa. Strategic competence adalah kemampuan mental untuk

67
menerapkan komponen-komponen language competence dalam penggunaan

bahasa untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks. Dengan demikian

kompetensi strategik ini menyediakan alat untuk menghubungkan antara

kemampuan berbahasa dengan fitur-fitur konteks situasi di mana kegiatan

berkomunikasi terjadi dan dengan struktur pengetahuan pengguna bahasa, baik

pengetahuan tentang sosiokultural maupun pengetahuan umum, sedangkan

psychophysical mechanism adalah proses-proses psikologis dan neurologis yang

terjadi dalam kegiatan berbahasa yang sesungguhnya yang dapat diamati sebagai

gejala fisik. Hubungan antara ketiga komponen CLA tersebut dapat digambarkan

dengan diagram berikut.

LANGUAGE COMPETENCE
KNOWLEDGE STRUCTURES
Knowledge of the world Knowledge of language

STRATEGIC COMPETENCE

PSYCHOPHYSIOLOGICAL
MECHANISMS

CONTEXT OF SITUATION

Gambar 5. Bahman’s Communicative Language Ability Model


(Bahman, 1990: 85)

68
Sejalan dengan Bahman, Madya (2013: 49-50) menyatakan bahwa tujuan

orang belajar bahasa adalah kompetensi komunikatif. Dengan mengacu model

Littlewood (1981) dia menyatakan bahwa kompetensi komunikatif terdiri dari 5

komponen yaitu: (1) kompetensi kebahasaan yang meliputi pengetahuan tentang

kosakata, tata-bahasa, semantik, dan fonologi, (2) kompetensi wacana/teks yang

dimaksudkan untuk memampukan penutur untuk terlibat dalam wacana/teks

yang berkesinambungan, (3) kompetensi pragmatik, untuk memampukan

penutur bahasa sasaran untuk menggunakan sumberdaya kebahasaannya untuk

menyampaikan dan menafsirkan makna dalam situasi nyata, termasuk ketika

mereka menemui kesulitan karena ada kesenjangan dalam pengetahuan, (4)

kompetensi sosiolinguistik yang terdiri khususnya atas pengetahuan tentang

bagaimana menggunakan bahasa secara tepat dalam situasi sosial, yaitu

menyampaikan kadar keresmian yang tepat, keterusterangan, dan sebagainya,

dan (5) kompetensi social budaya yang mencakup kesadaran tentang

pengetahuan budaya dan asumsi yang mempengaruhi pertukaran makna dan

dapat mengarah pada kesalahpahaman dan komunikasi antarbudaya.

Mengacu pada model kompetensi komunikatif Bahman, kompetensi

bahasa hanya merupakan salah satu komponen dari kemampuan komunikatif.

Masih ada dua komponen lain yang diperlukan agar seseorang dapat

berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, yaitu kompetensi strategik dan

kompetensi psychophysical mechanism. Kemampuan bahasa mencakup

kemampuan pengorganisasian baik tingkat kalimat maupun wacana, dan

kemampuan pragmatik

69
Selanjutnya, Madya (2013: 52-53) menambahkan bahwa selain Bahman

ada juga ahli-ahli lain yang telah mengembangkan konstruk kompetensi

komunikatif, yang makin lama makin menyeluruh seiring dengan kemenyeluruhan

pemahaman terhadap hakekat bahasa sebagai alat komunikasi dalam situasi

kehidupan nyata yang sangat beragam dalam berbagai aspek. Dalam model yang

berbeda tersebut ada unsur yang sejak awal telah ada, sedangkan unsur lain

ditambahkan kemudian. Model terakhir menunjukkan bahwa pengembangannya

memiliki pemahaman yang lebih menyeluruh dibandingkan sebelumnya. Dari

berbagai model kompetensi komunikatif yang ada, dapat dilihat bahwa semua

mengakui pentingnya kompetensi tatabahasa (pengetahuan tentang aturan

tatabahasa, kosakata, lafal, ejaan, dll.), kompetensi wacana (kemampuan untuk

mengombinasikan struktur bahasa ke dalam berbagai jenis teks yang kohesif), dan

kompetensi strategis, yaitu pengetahuan tentang strategi komunikasi verbal dan

noverbal yang meningkatkan efisiensi komunikasi serta mengatasi kemacetan

komunikasi.

Secara lebih sederhana Richards (2006: 3) menyatakan bahwa kompetensi

komunikatif meliputi kemampuan-kemampuan: 1) memahami bagaimana

menggunakan bahasa untuk berbagai macam fungsi dan tujuan, 2) memahami

bagaimana menggunakan bahasa sesuai dengan seting dan lawan bicaranya,

memahami berbagai macam teks dan mampu memproduksinya, dan mampu

menjaga keberlangsungan komunikasi meskipun mengalami berbagai macam

kesulitan dan hambatan.

70
b. Asumsi Pembelajaran Komunikatif

Kompetensi komunikatif yang menjadi tujuan belajar bahasa dapat

diajarkan melalui pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif dilandasi

sepuluh asumsi inti seperti yang dinyatakan oleh Richards (2006: 23) yang juga

dikutip oleh Madya (2013: 47- 48) sebagai berikut:

1) Pemelajaran bahasa kedua/asing difasilitasi ketika siswa terlibat dalam


interaksi dan komunikasi yang bermakna.
2) Tugas-tugas pemelajaran dan latihan-latihan yang efektif di kelas
memberi kesempatan bagi siswa untuk mengasosiasi makna,
memperluas sumberdaya bahasa mereka, memperhatikan bagaimana
bahasa digunakan, dan berperan serta dalam pertukaran antar pribadi
yang bermakna.
3) Komunikasi bermakna terjadi karena siswa memroses isi yang relevan,
bertujuan, menarik, dan melibatkan/mengasikkan.
4) Komunikasi merupakan proses holistik yang sering memerlukan
penggunaan beberapa keterampilan bahasa dan modalitas.
5) Pemelajaran bahasa difasilitasi oleh kegiatan yang melibatkan
pemelajaran induktif atau pemelajaran penemuan terhadap aturan-
aturan yang mendasari penggunaan dan pengaturan bahasa, maupun
yang melibatkan analisis bahasadan refleksi.
6) Pemelajaran bahasa merupakan proses bertahap yang melibatkan
penggunaan kreatif bahasa, dan melakukan coba-coba dan kesalahan.
Meskipun kesalahan merupakan produk normal pemelajaran, tujuan
akhir pemelajaran adalah untuk menjadi mampu menggunakan bahasa
baru baik secara akurat maupun lancar.
7) Pemelajar mengembangkan caranya sendiri untuk belajar bahasa,
meningkat dengan kecepatan yang berbeda, dan memiliki kebutuhan
dan motivasi yang berbeda pula untuk belajar bahasa.
8) Pemelajar bahasa akan berhasil jika melibatkan strategi belajar dan
komunikasi yang efektif.
9) Peran guru dalam kelas bahasa adalah sebagai fasilitator, yang
menciptakan iklim kelas yang kondusif bagi terjadinya pemelajaran
bahasa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan
dan berlatih bahasa dan melakukan refleksi tentang penggunaan bahasa
dan pemelajaran bahasa.
10) Kelas merupakan komunitas siswa yang belajar melalui kolaborasi dan
berbagi.

71
c. Fitur Utama Pembelajaran Komunikatif

Dengan menyitir Celce-Murcia (2001) dan Littlewood (1981), Madya

(2013:48-49) menyajikan fitur utama pembelajaran komunikatif, yang meliputi:

1) Kemampuan pelajar untuk berkomunikasi dalam bahasa sasaran


merupakan tujuan pembelajaran bahasa,
2) Isi pelajaran bahasa menyakup nosi semantik dan fungsi sosial bukan
hanya struktur kebahasaan,
3) Siswa secara teratur bekerja dalam kelompok atau berpasangan untuk
menyampaikan dan jika perlu menegosiasikan makna dalam situasi
dimana satu orang memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh orang
lainnya (kegiatan kesenjangan informasi),
4) Siswa sering terlibat dalam bermain peran atau dramatisasi untuk
menyesuaikan penggunaan bahasa sasaran mereka dengan berbagai
konteks sosial.
5) Bahan dan kegiatan kelas sering bersifat otentik untuk mencerminkan
situasi dan tuntutan kehidupan nyata.
6) Keterampilan-keterampilan dipadukan dari permulaan: kegiatan yang
tersedia dapat melibatkan membaca, berbicara, mendengarkan, dan
juga menulis (dengan asumsi bahwa pemelajar terdidik dan melek
aksara).
7) Peran guru pada dasarnya sebagai fasilitator untuk terjadinya
komunikasi dan sebagai pengoreksi kesalahan tetapi hanya sebagai
peran sekunder.

d. Prinsip-prinsip pendekatan komunikatif

Madya (2013: 57) menyatakan agar pembelajaran bahasa dapat berhasil

dengan maksimal perlu dirancang, direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi

berdasarkan prinsip-prinsip yang relevan yang telah dikembangkan oleh para

pakar. Richards (2006) sebagaimana disitir Madya (2013: 57-58) telah

meringkas prinsip-prinsip pembelajaran komunikatif sebagai berikut:

1) Jadikan komunikasi nyata sebagai fokus pemelajaran bahasa.


2) Berikan kesempatan kepada siswa untuk bereksperimentasi dan
mengujicobakan apa yang telah mereka ketahui.

72
3) Beri toleransi kepada kesalahan-kesalahan siswa karena kesalahan-
kesalahan itu menunjukkan bahwa siswa membangun kompetensi
komunikatifnya.
4) Beri kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keakuratan dan
kelancaran mereka.
5) Kaitkan berbagai keterampilan seperti berbicara, membaca, dan
mendengarkan karena keterampilan-keterampilan digunakan secara
berkaitan dalam kehidupan nyata.
6) Biarkan siswa menemukan sendiri aturan-aturan tata bahasa.
Selain Richards, pakar lain Morrow (1981) mengajukan lima prinsip

pembelajaran komunikatif sebagaimana disitir Madya (2013: 58-64) yang

meliputi:

1) Tahu apa yang anda lakukan

2) Keseluruhan lebih dari kumpulan bagian-bagian

3) Proses sama pentingnya dengan bentuk

4) Belajar bahasa, gunakanlah bahasa tersebut

5) Kesalahan bukanlah selalu kesalahan

e. Kerangka Kerja Metodologi Komunikatif

Kemampuan komunikatif yang meliputi kemampuan bahasa dan

menggunakannya untuk berkomunikasi dapat dipelajari melalui tahap kegiatan

pra-komunikatif dan diteruskan dengan tahap komunikatif. Kegiatan

prakomunikatif difokuskan pada bentuk-bentuk bahasa yang relevan (tatabahasa,

lafal, kosakata, frasa, ungkapan) dan fungsinya, dan bertujuan untuk membantu

siswa memperoleh pengetahuan tentang aturan-aturan tatabahasa, kosakata, dan

lafal dan untuk mengembangkan keterampilan menggunakan aturan-aturan

tersebut di tingkat kalimat. Sedangkan kegiatan komunikatif difokuskan kegiatan

73
untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang telah dipelajari dalam kegiatan

prakomunikatif tersebut untuk mencapai kegiatan komunikatif ( Richards, 2006;

Madya, 2013: 65).

f. Perubahan-perubahan Cara Pandang dalam Pembelajaran Bahasa

Komunikatif

Pendekatan komunikatif memberikan perubahan-perubahan cara pandang

dalam pembelajaran bahasa. Madya (2013: 70-72) menyitir pendapat Richards

(2006) menyatakan bahwa perubahan-perubahan cara pandang tersebut meliputi:

1) Otonomi pelajar, yaitu pelajar memiliki otonomi lebih besar untuk

menentukan sendiri apa yang akan mereka pelajari dan bagaimana

mempelajarinya.

2) Hakekat sosial pembelajaran, yaitu bahwa kegiatan pemelajaran

bahasa bukanlah kegiatan individual melainkan kegiatan sosial yang

bergantung pada interaksi dengan pihak lain.

3) Integrasi kurikuler, yang artinya bahwa belajar bahasa bukan hanya

bertujuan untuk menguasai bahasa itu sendiri, melainkan agar mampu

menggunakan bahasa tersebut untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu

lain. Kurikulum bahasa inggris dikaitkan dengan bidang-bidang studi

yang lain, sebagaimana yang terjadi dalam model pembelajaran

bahasa berbasis isi, berbasis teks, dan juga berbasis tugas.

74
4) Fokus pada makna. Makna dipandang sebagai kekuatan pendorong

pembelajaran, sehingga pembelajaran bahasa harus bermakna dalam

kehidupan siswa.

5) Keragaman. Siswa belajar dengan cara yang berbeda-beda sehingga

guru dituntut untuk mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan

belajar siswa.

6) Keterampilan berpikir. Bahasa hendaknya dipandang sebagai alat

pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau sebagai

berpikir kritis dan kreatif dan diharapkan mampu mengembangkan

keterampilan ini di luar kelas bahasa.

7) Penilaian alternatif. Penilaian alternatif perlu digunakan dalam

evaluasi pembelajaran bahasa, karena penilaian tradisional saja belum

cukup untuk mampu mengukurkompetensi komunikatif.

8) Guru sebagai mitra pelajar. Guru dipandang sebagai fasilitator yang

terus menerus mencobakan cara baru dalam belajar bahasa Inggris.

Pandangan ini mengarah pada perlunya penelitian tindakan dalam

pembelajaran.

Perubahan cara pandang pembelajaran komunikatif tentang hakekat bahasa

dan bagaimana mempelajarinya telah mengarah pada terbentuknya beberapa

kerangka model pembelajaran komunikatif. Kompetensi komunikatif dapat

dicapai melalui berbagai macam model/kerangka pembelajaran, dan bukan hanya

satu model saja.

75
g. Prinsip-prinsip Pembelajaran Bahasa Komunikatif

Perubahan cara pandang pendekatan komunikatif terhadap bahasa dan

pengajarannya, dan bagaimana seseorang dapat memperoleh dan mengembangkan

kemampuan komunikatif telah melahirkan prinsip prinsip pembelajaran bahasa

asing. Banyak pakar telah mengajukan pandangannya, antara lain Nation dan

Macalister (2010), Brown (2002), dan Kumaravadivelu (2002).

Nation dan Macalister (2010: 38-39) mengajukan 20 prinsip yang perlu

diikuti dalam pengembangan program pembelajaran. Prinsip-prisip tersebut

dikelompokkan menjadi 3, yaitu 1) isi dan urutan bahan, 2) format dan penyajian,

dan 3) monitoring dan assessment. Brown (2002: 12-13) mengajukan 12 prinsip

pengajaran Bahasa asing. Prinsip-prinsip pengajaran Bahasa asing tersebut

meliputi:

a) Automaticity. Belajar bahasa tidak boleh berhenti pada bentuk saja

melainkan harus membentuk otomatisiti, artinya siswa dapat

menggunakan bahasa secara otomatis. Ini sejalan dengan prinsip

fluency yang diajukan Nation dan Macalister (2010)

b) Meaningful learning. Pembelajaran harus bermakna sehingga siswa

tidak mudah melupakannya. Pembelajaran bermakna dapat dicapai

dengan content-based teaching. Belajar bahasa bukan untuk menguasai

bahasa itu saja melainkan untuk menguasai pengetahuan atau ilmu

tertentu.

76
c) The anticipation of reward. Guru harus mampu menciptakan aktivitas

pembelajaran yang menumbuhkan rasa berhasil pada diri siswa,

sehingga siswa senantiasa merasa mendapatkan reward dalam belajar.

d) Instrinsic motivation. Pembelajaran harus mampu menumbuhkan

motivasi instrinsik pada diri siswa.

e) Strategic investment. Keberhasilan siswa dalam menguasai bahasa

merupakan buah dari waktu dan usahanya sendiri. Oleh karenanya

siswa harus dilatih strategi-strategi belajar sesuai dengan kerakter dan

kebutuhannya.

f) Language ego. Ego kebahasaan siswa dapat menghambat proses belajar

bahasa asing. Oleh karenanya, guru harus mampu menciptakan kondisi

tertentu agar siswa mampu membuka diri untuk dapat menerima bahasa

lain.

g) Self-confidence. Keberhasilan dalam mengerjakan tugas-tugas

pembelajaran akan menimbulkan rasa percaya diri pada diri siswa, dan

rasa percaya diri ini yang kemudian akan membawa keberhasilan pada

tahap-tahap belajar berikutnya.

h) Risk taking. Pembelajar bahasa yang berhasil biasanya tidak takut

membuat kesalahan dalam belajar. Oleh karenanya pembelajaran harus

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menggunakan

bahasa tanpa takut membuat kesalahan.

i) The language-culture connection. Pengajaran bahasa selalu melibatkan

system budaya yang kompleks yang mencakup nilai sikap, cara berfikir,

77
perasaan dan cara berperilaku. Budaya akademik perlu diajarkan dalam

pengajaran EAP.

j) The native language effect. Pengaruh bahasa pertama perlu mendapat

perhatian dalam pembelajaran bahasa asing. Guru perlu memperhatikan

bagian-bagian dari bahasa pertama yang mendukung maupun yang

menghambat penguasaan bahasa target.

k) Interlanguage. Pembelajar bahasa dalam proses belajarnya akan melalui

fase dimana bahasa target yang dihasilkan terdapat banyak

penyimpangan dari bentuk bahasa yang seharusnya. Guru perlu

menyadarinya, dan menyadarkan siswa agar bisa mengurangi kesalahan

dan penyimpangan dari waktu ke waktu.

l) Communicative competence. Tujuan belajar bahasa asing adalah

kompetensi komunikatif, oleh karenanya pembelajaran bahasa asing

harus mengarah ke kompetensi komunikatif yang meliputi semua

komponen (organisasi, pragmatik, strategik dan psikomotorik).

Pembelajaran harus mengarah ke use bukan sekedar usega, fluency

tanpa mengesampingkan accuracy, dan mengarah pada bahasa dan

konteks yang authentic dan penggunaan bahasa pada komunikasi yang

nyata.

Prinsip-prinsip pembelajaran bahasa asing yang diajukan oleh Brown dan

Nation dan Macalister ini sangat dekat dengan strategi makro yang diusulkan

Kumaravadivelu (2003), dan hendaknya diterapkan dalam pembelajaran bahasa

oleh setiap guru (Madya, 2013: 129). Strategi makro dalam pembelajaran bahasa

78
yang diajukan oleh Kumaravadivelu (2003) kemudian diusung menjadi prinsip-

prinsip pembelajaran bahasa pada era pascametode yang meliputi: 1) Maximize

learning opportunity, 2) Facilitate negotiated interaction, 3) Minimize perceptual

mismatches, 4) Activate intuitive heuristics, 5) Foster language awareness, 6)

Contextualize linguistic input, 7) Integrate language skills, 8) Promote learner’s

autonomy, 9) Ensure social relevance, dan 10) Raise cultural consciousness

(Kumaravadivelu, 2006: 2001).

Strategi makro yang diajukan Kumaravadivelu (2003, 2006) selanjutnya

oleh Madya (2013: 134-135) dijelaskan sebagai berikut:

a) Memaksimalkan kesempatan belajar, berarti mengajar merupakan

proses menciptakan dan memanfaatkan kesempatan belajar, dan oleh

karenanya, guru adalah perencana dan mediator pemelajaran.

b) Memfasilitasi interaksi ternegosiasi, berarti interaksi antar pemelajar

dan pemelajar, pemelajar dan guru dimana pemelajar memiliki

kebahasaan untuk secara aktif ambil inisiatif dan menafigasi

pembicaraan, tidak hanya sekedar bereaksi dan menanggapinya.

c) Meminimalkan selip perceptual, yang berarti selip kognitif,

komunikatif, linguistik, pedagogis, strategis, kultural, evaluatif,

prosedural, pemelajaran, dan sikap antara persepsi guru dan persepsi

siswa.

d) Mengaktifkan heuristika intuitif, yang berarti menyediakan bagi siswa

data bahasa yang memadai agar siswa dapat menemukan sendiri dan

79
membuat inferensi tentang aturan-aturan bahasa dan fungsi yang

digunakan.

e) Menumbuhkan kesadaran bahasa, yang berarti guru harus menarik

perhatian siswa pada properti atau perlengkapan bahasa yang kurang

tampak untuk meningkatkan pemelajaran, dimana perlu.

f) Mengontektualisasi asupan linguistik, yaitu fitur-fitur wacana perlu

dikontekstualkan daripada dikenalkan secara terpisah tanpa konteks

yang jelas.

g) Memadukan keterampilan bahasa. Keterampilan bahasa pada intinya

saling terkait dan saling menguatkan. Pemisahan keterampilan secara

tradisional lebih bersifat logistik daripada logis.

h) Meningkatkan otonomi (kemandirian siswa). Membantu siswa belajar

bagaimana belajar membekali mereka dengan strategi kognitif, afektif,

sosial dan/atau metakognitif, dan membantu mereka untuk

bertanggungjawab atas pemelajaran mereka sendiri.

i) Menumbuhkan kesadaran budaya, yaitu memahami tujuan belajar dan

penggunaan bahasa dalam konteks sosial lokal.

j) Menjamin relevansi sosial, yaitu kesadaran budaya global, bukan hanya

sekedar bahasa sasaran.

Dari pendapat Brown (2002), Kumaravadivelu (2003, 2006), Nation dan

Macalister (2010) dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris sebagai

bahasa asing dengan pendekatan komunikatif harus memenuhi kaidah-kaidah

sebagai berikut:

80
a) Tujuan belajar bahasa Inggris adalah untuk mencapai kemampuan

komunikatif (Brown, 2002). Kemampuan komunikatif mencakup

penguasaan sistem kebahasaan/linguistic system (Nation and

Macalister, 2010) dan penggunaannya dalam berkomunikasi secara

nyata. Oleh karenanya language-culture connection (Brown, 2002)

perlu diperhatikan dan kesadaran kultural (Kumaravadivelu, 2003,

2006) pada diri siswa perlu ditingkatkan dalam pembelajaran. Selain

kemampuan komunikatif, siswa juga perlu diajarkan strategi belajar,

yang disebut dengan strategic investment (Brown, 2002) atau

strategies (Nation & Macalister, 2010) untuk meningkatkan learner

autonomy (Kumaravadivelu, 2003, 2006; Nation & Macalister, 2010).

b) Untuk terjadinya proses pembelajaran diperlukan language exposure

yang akan menjadi input bahasa (Kumaravadivelu,2003, 2006) bagi

siswa. Input bahasa harus melimpah dan kontekstual (kumaravadivelu,

2003, 2006), bermakna (Brown, 2002), dan comprehensible (Nation &

Macalister, 2010). Input yang melimpah akan mengaktifkan intuitive

heuristic (Kumaravadivelu, 2003, 2006).

c) Pembelajaran bahasa harus disajikan secara integrated

(Kumaravadivelu, 2003, 2006) dengan bagian-bagiannya dilatihkan

secara seimbang, yang meliputi input (listening dan Reading), output

(speaking dan Writing), deliberate learning (focus on form), dan

fluency (Nation & Macalister, 2010) sehingga siswa mampu mencapai

tingkat otomatisasi (Brown, 2002).

81
d) Materi dan tugas-tugas pembelajaran dipilih dengan memperhatikan

kondisi siswa, disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa,

learning style sehingga teachable dan mampu ditanggung siswa

(learning burden). Tugas belajar dipilih dan disusun sehingga siswa

engaged on learning on task dan memproses bahasa secara mendalam

(Nation & Macalister, 2010).

e) Dengan materi dan tugas belajar yang sudah dirancang dengan cermat,

siswa akan mendapat harapan sukses, dan ini akan menimbulkan

motivasi dari dalam diri siswa (Brown, 2002; Kumaravadivelu, 2003,

2006; Nation & Macalister, 2010).

f) Siswa yang termotivasi ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif

dan tidak menakutkan untuk menurunkan language ego siswa (Brown,

2002). Dalam lingkungan ini siswa didorong untuk berani mencoba

tanpa takut membuat kesalah (Brown, 2002), dilengkapi dengan feed

back dari guru (Nation & Macalister, 2010) yang kemudian akan

meminimalkan ketidakcocokan (Kumaravadivelu, 2003, 2006).

Feedback dari guru beserta focus on form akan mengarahkan ke

language awareness (Kumaravadivelu, 2003, 2006).

g) Interaksi antara siswa-siswa, dan siswa-guru perlu selalu dijalin untuk

menegosiasi makna (Kumaravadivelu, 2003, 2006) sehingga

kesempatan belajar dapat dioptimalkan (Kumaravadivelu, 2003, 2006).

Interaksi ini juga akan meminimalkan perceptual mismatch

(Kumaravadivelu, 2003, 2006) atau kesalahpahaman.

82
h) Siswa berada dalam lingkungan sosial tertentu. Apa yang dipelajari

harus sesuai dengan kebutuhan sosialnya (Kumaravadivelu, 2003,

2006).

i) Siswa yang belajar bahasa asing telah membawa kemampuan

berbahasa ibu dan bahasa kedua. Bahasa yang telah dikuasai siswa

perlu mendapat perhatian, dimanfaatkan untuk memfasilitasi

pengembangan kemampuan berbahasa target, memahami

interlanguage siswa, meminimalkannya (Brown, 2002) dan juga

meningkatkan language awareness siswa (Kumaravadivelu, 2003,

2006). Dalam mencapai kemampuan komunikatif dalam bahasa target,

siswa masih sering membuat kesalahan berbahasa baik karena

pengaruh bahasa ibu maupun karena belum menguasai bahasa target

sepenuhnya. Guru harus bijak dalam menyikapinya, baik terkait antara

form dan meaning, fluency, accuracy, maupun appropriacy ( Nation

& Macalister, 2010)

h. Kerangka Kerja Pembelajaran Bahasa Komunikatif

Ada beberapa kerangka pembelajaran dalam pendekatan komunikatif,

yang oleh Richards (2006: 27) dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu

kelompok yang berorientasi pada proses, dan yang berorientasi pada produk.

Kerangka kerja pembelajaran yang berorientasi pada proses mencakup

pembelajaran berbasis isi (Content-based Instruction-CBI) dan pembelajaran

berbasis tugas (Task-based Instruction). Sebaliknya, kerangka pembelajaran yang

berorientasi pada produk mencakup pembelajaran bahasa berbasis teks

83
(Text/Genre-based Instruction) dan pembelajaran berbasis kompetensi

(Competency-based Instruction).

Dengan demikian pendekatan komunikatif memandang bahwa belajar

bahasa berarti belajar untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.

Kemampuan komunikasi tidak hanya mencakup kemampuan bahasa, melainkan

juga kemampuan strategik, dan kemampuan psycho-physical mechanism.

Kemampuan bahasa mencakup kemampuan pengaturan baik tingkat kalimat

maupun wacana, dan kemampuan pragmatik mencakup fungsi-fungsi bahasa

maupun kemampuan sosiolinguistik. Dengan demikian bahasa adalah wacana atau

teks yang terdiri dari segala komponennya, baik yang terkait dengan bentuk,

makna, maupun penerapannya.

Pembelajaran Bahasa dengan pendekatan komunikatif yang begitu

menyeluruh dan sangat ideal secara teori ini bukannya tanpa kendala dalam

penerapannya. Whitehead (2017), Kraut dan Poole (2017) menjelaskan kendala-

kendala yang dihadapi guru Bahasa Inggris di Korea dan di China dalam

menerapkan pendekatan komunikatif. Kendala itu meliputi kendala budaya dan

orientasi pendidikan di kedua negara tersebut. Secara budaya, orang-orang timur,

termasuk juga orang Indonesia, adalah orang-orang yang harus mendengarkan

guru. Belajar adalah mendengarkan dan bukan bicara. Orang-orang timur tidak

begitu terbuka mengungkapkan pendapat dan perasaan secara bebas di depan

publik sehingga ke-interaktif-an susah dicapai. Kendala kedua adalah pendidikan

yang berfokus pada ujian tulis. Target siswa dalam belajar apapun, termasuk

Bahasa Inggris, adalah mendapatkan skor tinggi, karena skor tinggi ini adalah

84
masa depan mereka. Tugas guru adalah membantu mereka dalam mencapai

tujuan, sehingga pengajaran lebih berfokus pada cara mengerjakan soal ujian dan

metode mengajar yang dirasa paling tepat adalah grammar translation method,

dan bukan CLT. Itulah suara guru dan siswa di Korea dan China yang tentunya

tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Berdasar teori CLT untuk dapat menguasai kemampuan berkomunikasi,

siswa harus aktif menggunakan bahasa untuk bernegosiasi makna dengan

temannya. Dengan demikian orang tidak akan belajar secara sendirian, melainkan

dalam kelompok komunitas sosial. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan

untuk menyampaikan makna dengan demikian pembelajaran bahasa harus

berfokus pada makna. Fokus pada makna dapat dicapai manakala pembelajaran

bahasa disampaikan secara terpadu, baik keterampilan bahasanya maupun dengan

pelajaran lain. Pembelajaran bahasa terpadu dapat direalisasikan dengan kerangka

pembelajaran seperti Text-based Teaching dan competency-based Teaching

(model yang berfokus pada hasil belajar), ataupun, Task-based Teaching dan

Content-based Teaching yang berfokus pada proses belajar.

7. Kemandirian Belajar

Salah satu perubahan cara pandang dalam pendekatan komunikatif adalah

menempatkan otonomi pelajar sebagai hal yang sentral. Pelajar memiliki otonomi

lebih besar untuk menentukan sendiri apa yang akan mereka pelajari, dan

bagaimana mempelajarinya (Madya, 2013: 70 menyitir Richards, 2006; Jacobs &

Farell, 2003). Kemandirian belajar juga merupakan salah satu prinsip

85
pembelajaran bahasa asing yang diusulkan oleh banyak pakar, antara lain Nation

dan Macalister (2010), Kumaravadivelu (2006), dan Brown (2002). Nation dan

Macalister (2010: 38) menyebutkan strategies dan autonomy sebagai prinsip

kedua dari 20 prinsip pembelajaran Bahasa asing. Mereka menyatakan bahwa

pembelajaran bahasa harus melatih pelajar bagaimana belajar bahasa dan

bagaimana memonitor dan menjadi sadar akan usaha belajarnya sehingga mereka

menjadi pemelajar yang efektif dan mandiri. Brown (2002: 12) menyatakan

bahwa pembelajaran bahasa harus mengarahkan pemelajar pada automoticity.

Untuk mencapai automaticity, pemelajar harus diajarkan strategi belajar. Hal ini

didasarkan pada prinsip bahwa keberhasilan siswa dalam menguasai bahasa

adalah buah dari waktu dan usahanya sendiri. Oleh karenanya kemandirian belajar

sangat penting dalam pembelajaran bahasa. Kumaravadivelu (2006: 201)

menempatkan learners’ autonomy sebagai prinsip kedelapan dari sepuluh prinsip

pembelajaran bahasa yang diajukan.

a. Pengertian Kemandirian Belajar

Kemandirian belajar yang dalam literatur disebut dengan barbagai macam

istilah yang berbeda, seperti learning autonomy, learner autonomy, learner

independence, independent learning, autonomous learning, atau self direction

tidak mudah untuk didefinisikan karena menyangkut banyak dimensi dan

terkadang menggelincirkan (Palfreyman & Smith, 2003:3). Benson (1997)

sebagaimana dikutip Palfreyman dan Smith (2003: 3) membedakan learner

autonomy dalam pembelajaran bahasa ke dalam tiga perspektif, yaitu:

86
1) Teknis, yang berfokus pada keterampilan dan strategi belajar:

metakognitif, kognitif, sosial dan strategi-strategi lain sebagaimana

yang dijelaskan oleh Oxford (1990).

2) Psikologis, yang menekankan pada sikap dan kemampuan kognitif yang

lebih luas yang memungkinkan pemelajar bertanggungjawab untuk

belajarnya sendiri.

3) Politis, yang menekankan pemberdayaan dan emansipasi pemelajar

dengan diberikannya kontrol terhadap isi dan proses belajarnya.

Pengertian kemandirian belajar dapat dilihat dari ciri-ciri orang yang

memiliki kemandirian belajar. Little (1991) menyatakan bahwa: “…autonomous

learners understand the purpose of their learning program, explicitly accept

responsibility for their learning, share in the setting of learning goals, take

initiatives in planning and executing learning activities, and regularly review

their learning and evaluate its effectiveness.” Pembelajar bahasa yang mandiri

paham apa tujuan belajarnya, mampu bertanggung jawab untuk usaha belajarnya,

berusaha mencapai tujuan belajar yang sudah ditetapkan, memiliki prakarsa untuk

merancang dan melaksanakan rancangan kegiatan belajarnya, dan secara teratur

mereview hasil belajarnya dan mengevaluasi keefektifan usaha belajarnya.

Thanasoulas (2000) menyatakan bahwa pembelajar yang mandiri adalah

mereka yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab pada kegiatan

belajarnya, dan kemandirian ini menyangkut paling tidak lima hal, yaitu, 1) situasi

di mana pembelajar belajar secara mandiri, 2) serangkaian keterampilan yang

dapat dipelajari dan diterapkan dalam belajar atas kemauannya sendiri, 3)

87
kapasitas bawaan sejak lahir, 4) penerapan latihan bertanggung jawab bagi

pembelajar, dan 5) hak pembelajar untuk menentukan arah belajarnya sendiri.

Menurutnya, otonomi dalam belajar dapat diartikan sebagai proses sosial,

pemetaan kembali porsi pembelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan, dan

peran aktif pembelajar dalam proses belajar.

Selanjutnya Thanasoulas (2000) menyebutkan tujuh ciri pembelajar yang

mandiri, yaitu:

1) memiliki pemahaman terhadap gaya belajar dan strategi belajarnya

sendiri,

2) aktif dalam menghadapi tugas-tugas pembelajaran,

3) mau mengambil resiko dalam berkomunikasi,

4) penebak yang baik,

5) punya perhatian yang cukup baik terhadap bentuk maupun makna dalam

berbahasa, terhadap accuracy maupun appropriacy,

6) berusaha mengembangkan kemampuan berbahasa target, dan bersedia

merevisi atau mengubah pandangannya jika ternyata hipotesisnya tidak

benar, dan

7) memiliki toleransi dan mau membuka diri untuk menerima bahasa target.

Tujuh karakteristik autonomous learners ini bukanlah produk akhir pembelajaran,

melainkan proses yang berkelanjutan. Seseorang hanya mampu mengarahkan

dirinya menuju autonomous learner. Dengan mengarahkan dirinya menuju

88
autonomus learner ini seseorang memiliki tujuan dalam belajar dan memiliki cara

untuk mencapai tujuan tersebut.

b. Filsafat Belajar yang Mendasari Kemandirian Belajar

Thanasoulas (2000) menyatakan kemandirian belajar banyak didasari oleh

filsafat belajar constructivism dan critical theory. Constructivism menyatakan

bahwa siswa membangun makna terhadap dunia yang dihadapi dengan

mengkaitkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki.

Gagasan dan pengalaman baru dicocokkan dengan pengetahuan yang telah

dimilikinya untuk memberikan makna dan pemahaman terhadap hal-hal baru

tersebut. Pandangan ini telah mengubah dari pembelajaran yang teacher-centered

menuju ke learner-centered. Pemelajar memiliki peran utama dalam memberikan

makna terhadap pengetahuan baru dan terhadap hasil belajarnya.

Critical theory adalah pendekatan humanis dalam pembelajaran bahasa

dan memiliki pandangan serupa dengan constructivism bahwa pengetahuan baru

itu dibangun (constructed), dan bukan dipelajari atau ditemukan. Bahkan teori ini

juga menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu merefleksikan

kenyataan yang sebenarnya, melainkan bentuk kompromi dari idiologi-idiologi

yang diterapkan di dalam masyarakat. Dengan demikian, belajar terkait dengan

isu-isu kekuasaan dan idiologi, dan dipandang sebagai proses interaksi di dalam

masyarakat yang dapat membawa perubahan sosial. Bentuk bahasa terkait erat

dengan makna sosial, dan demikian pula sebaliknya, makna sosial terkait erat

dengan bentuk bahasa. Berdasarkan teori ini, learner autonomy lebih diwarnai

89
oleh nuansa sosial dan politik. Ketika pemelajar menjadi lebih sadar terhadap

konteks sosial dimana mereka berada dan menyadari hambatan-hambatan yang

dihadapinya, lambat-laun mereka akan menjadi mandiri, melepaskan diri dari

ikatan-ikatan yang membelenggunya, dan dapat dianggap sebagai “the author of

their own world”

c. Strategi Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa

Meskipun telah belajar cukup lama, banyak mahasiswa yang belum

mampu mengembangkan keterampilan belajar mandiri. Menurut Turner (1989)

hal ini disebabkan oleh (1) kurangnya pelatihan belajar mandiri oleh guru, (2) Ada

pelatihan keterampilan belajar mandiri namun diberikan secara membabi-buta, (3)

lemahnya kemampuan metacognitive siswa, (4) keengganan siswa untuk

mengubah pola tingkah laku. Untuk membantu siswa menuju kemandirian belajar,

ada beberapa hal yang perlu diupayakan, antara lain: (1) dengan pemodelan oleh

guru, (2) pengajaran keterampilan belajar secara langsung, (3) penggunaan

kegiatan pembelajaran yang mampu membuat mahasiswa belajar mandiri, (4)

menyediakan fasilitas-fasilitas untuk belajar mandiri.

Pemodelan adalah salah satu cara untuk mengarahkan siswa mencapai

kemandirian belajar. Guru sendiri harus mandiri karena kemandirian guru akan

berimbas ke siswa. Guru yang mandiri akan mampu membuat siswa mandiri.

Guru punya peran sentral dalam mengarahkan siswa mencapai kemandirian

belajar dengan menciptakan situasi dan kondisi dan melatihkan strategi belajar

90
kepada siswa. (Johnson, Pardesi & Paine, 1990, sebagaimana dikutip

Thanasoulas, 2000: 7)

Selain memberi contoh sebagai pembelajar yang mandiri, guru perlu

mengetahui kegiatan pembelajaran yang mampu mendorong siswa ke arah

kemandirian belajar. Broad (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa

kegiatan pembelajaran yang paling banyak mengembangkan kemandirian

mahasiswa adalah tatkala mereka melakukan riset, dan yang paling sedikit

mengembangkan kemandirian adalah aktivitas pembelajaran di kelas.

Selain menyediakan kegiatan pembelajaran yang mengharuskan siswa

banyak belajar mandiri, guru juga perlu menyediakan fasilitas atau wadah yang

memungkinkan belajar mandiri. Perpustakaan adalah sarana yang paling

diperlukan untuk pengembangan kemandirian belajar. Koneksi Internet, program-

program e-learning, daftar websites yang perlu diakses siswa juga diperlukan.

Selain pemodelan, kegiatan pembelajaran dan fasiltas yang tersedia,

mengajarkan strategi belajar secara langsung juga diperlukan untuk memfasilitasi

siswa dalam mengembangkan kemandirian belajar. Strategi belajar, menurut

Oxford (1990: 8) adalah, pertama, sebagai cara-cara yang diterapkan oleh

pemelajar untuk membantu pemerolehan bahasa, menyimpan, menemukan

kembali, dan menggunakan informasi-informasi, dan yang kedua adalah tindakan-

tindakan tertentu yang diambil oleh pemelajar agar belajar menjadi lebih mudah,

lebih cepat, lebih menyenangkan, lebih self-directed, lebih efektif, dan lebih

mudah ditransfer ke situasi yang baru. Menurutnya, definisi yang kedua lebih

91
kaya dan lebih mencerminkan konsep yang dimaksud. Oxford (1990)

mengklasifikasi strategi belajar Bahasa menjadi dua kategori besar, yaitu strategi

langsung dan tidak langsung. Strategi belajar langsung terdiri dari tiga, yaitu

cognitive strategies, memory strategies, dan compensation strategies. Strategi

belajar tidak langsung terdiri dari tiga, yaitu metacognitive strategies, affective

strategies, dan social strategies. Masing-masing strategi belajar, baik langsung

maupun tidak langsung terbagi lagi menjadi beberapa strategi yang lebih spesifik,

sebagaimana tercakup dalam table 7 dan 8 berikut.

Tabel 7. Klasifikasi Strategi Belajar Bahasa Langsung menurut Oxford


(1990)

Learning Strategies Components Sub-components


Cognitive strategies Practicing -repeating
-formally practicing with sound and
writing system
-recognizing and using formulas
-recombining
-practicing naturalistically
Receiving & sending massages -getting the idea quickly
-using resources for receiving and
sending messages
Analysing & reasoning -reasoning deductively
-analysing expressions
Analyzing contrastively
-translating
-transferring
Creating structure for input and output -taking notes
-summerizing
-highlighting
Memory strategies Creating mental linkage -grouping
-associating/elaborating
-placing new wordsinto a context
Applying images and sounds -using imagery
-semantic mapping
-using keywords
-representing sounds in memory
Reviewing wll -structured reviewing
Employing action -using physical response or sensation
-using mechanical techniques
Compensation strategies Guessing intelligently -using linguistic clues
-using other clues
Overcoming limitation in speaking and -switching to the mother tongue
writing -getting help
-using mime or gestures
-avoiding communication partially or
totally
-selecting the topic
-adjusting or approximating the message
-coining words
-using a circumlocution or synonym

92
Tabel 8. Klasifikasi Strategi Belajar Bahasa Tidak Langsung Menurut Oxford
(1990)

Learning Strategies Components Sub-components


Metacognitive strategies Centering learning -overviewing and linking with
already known materials
-paying attention
-delaying speech production
to focus on listening
Arranging and planning -finding out about
learning languagelearning
-organizing
-setting goals and objectives
-identifying the purpose of a
language task
-planning for alanguage task
-seeking practice
opportunities
Evaluating learning -self monitoring
-self evaluating
Affective strategies Lowering anxiety -using progressive leraxation,
deep breathing, or meditation
-using music
-using laughter
Encouraging oneself -making positive statements
-taking risk wisely
-rewarding oneself
Taking one’s emotional Listening to your body
temperature -using a checklist
-using a languagelearning
diary
-discussing your feeling with
someone else
Social strategies Asking questions -asking for clarification or
verification
-asking for correction
Cooperating withothers -cooperating with peers
-cooperating with proficient
users of the new language
Emphatising with others -developng cultural
understanding
-becoming aware of others’
thoughts and feelings

93
Di antara sekian banyak strategi belajar dalam klasifikasi Oxford, Turner

(1989) mengidentifikasi strategi-strategi yang mendorong kemandirian belajar

yang meliputi: (1) rehearsal strategies, (2) elaboration strategies, (3)

comprehension monitoring strategies, (4) affecting strategies.

Turner (1989) menyarankan kegiatan guru yang mampu meningkatkan

kemandirian belajar siswa, yaitu: (1) sediakan checklist strategi belajar yang perlu

diisi oleh siswa, (2) Sediakan deskripsi dan manfaat dari masing-masing strategi

belajar, (3) terapkan pembelajaran dengan model CBI, dan (4) pindahkan

tanggung jawab belajar kepada siswa.

Dari paparan Turner ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model

pembelajaran CBI adalah salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian belajar

mahasiswa.

d. Strategi Belajar, Kemandirian Belajar, dan Kemampuan Komunikatif

Begitu pentingnya kemandirian belajar dalam pengembangan kemampuan

komunikatif sehingga perlu diupayakan agar siswa memiliki kemandirian belajar.

Nelson-Herber yang dikutip Turner (1989) menyatakan bahwa kemandirian

belajar siswa dapat berkembang by design not by chance. Guru dapat membantu

siswa mengembangkan kemandirian belajarnya dengan cara mengidentifikasi

strategi yang mendorong siswa aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran,

melatihkan strategi belajar yang diperlukan siswa, dan melatih siswa untuk dapat

bertanggungjawab terhadap belajarnya. Siswa akan mampu mengembangkan

94
kemandirian belajarnya jika dia mampu merancang, memonitor, menerapkan, dan

mengevaluasi proses belajarnya sendiri.

Semua strategi belajar bahasa mengarah ke pencapaian kemampuan

komunikatif. Pengembangan kemampuan komunikatif memerlukan interaksi

nyata antar siswa dengan menggunakan input bahasa yang bermakna dan

kontekstual. Strategi belajar membantu siswa untuk berpartisipasi aktif dalam

komunikasi otentik semacam ini. Hubungan antara strategi belajar dan

kemampuan komunikatif dapat dijelaskan sebagai berikut: Strategi metakognitif

membantu siswa dalam mengarahkan kemampuan pikirnya untuk memusatkan,

merancang, mengevaluasi kemajuan belajarnya saat mereka sedang

mengembangkan kemampuan komunikatifnya. Strategi afektif mengembangkan

rasa percaya diri, perseverance diperlukan siswa dalam melibatkan diri secara

aktif dalam belajar bahasa yang merupakan persyaratan mencapai kemampuan

komunikatif. Strategi sosial menyediakan interaksi dan pemahaman empatif yang

lebih baik, yang merupakan dua kualitas yang diperlukan dalam mencapai

kemampuan komunikatif. Strategi kognitif tertentu, seperti analysing, memory,

teknik kata kunci, sangat berguna dalam memahami dan mengingat kembali

informasi baru, yang merupakan fungsi penting dalam proses mencapai kemahiran

dalam bahasa baru (Oxford, 1990: 8-9)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa learning strategi akan

mengarahkan siswa menjadi pemelajar yang mandiri dan kemandirian belajar ini

akan mengarah ke pencapaian kemampuan komunikatif. Ini sesuai dengan

pernyataan Oxford (1990) yang menyatakan: “Language learning strategies

95
encourage greater overall self-direction for learners. Self direction is particularly

important for language learners, because they will not always have the teacher

around to guide them as they use the language outside the classroom. Moreover,

self-direction is essential to the active development of ability in a new language”

(Oxford, 1990: 10). Strategi belajar yang dikuasai siswa dapat mengarahkan

mereka pada kemandirian belajar. Kemandirian ini sangat penting karena guru

tidak selalu ada di dekat mereka. Dengan kemandirian belajar siswa akan tetap

mengembangkan kemampuan berbahasa meskipun mereka sudah berada di luar

kelas.

Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar. Meyer,

Haywood, Sachdev, dan Faraday (2008) menemukan bahwa kemandirian belajar

siswa dipengaruhi oleh factor-faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal

meliputi: penciptaan hubungan yang kuat antara guru dan siswa, penciptaan

lingkungan belajar yang memungkinkan tumbuhnya kemandirian belajar misalnya

tersedianya sumber dan sarana belajar yang melimpah. Faktor internal meliputi

keterampilan individu siswa untuk belajar mandiri, misalnya, keterampilan

kognitif untuk memfokuskan memori dan perhatian, keterampilan metakognitif

bagaimana cara belajar, dan keterampilan afektif terkait dengan perasaan dan

emosi

Pentingnya kemandirian dalam belajar sudah banyak diteliti, antara lain

oleh Meyer, Haywood, Sachdev, dan Faraday (2008) dan mereka menemukan

bahwa kemandirian belajar meningkatkan performansi akademik, meningkatkan

motivasi dan percaya diri, meningkatkan kesadaran siswa akan kelemahan-

96
kelemahan dirinya sehingga mereka bisa mengelola kekurangan-kekurangan itu,

memungkinkan guru memberikan tugas yang bervariasi kepada siswa, dan

meningkatkan keterlibatan social siswa.

8. Penggunaan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa Inggris

Pemanfaatan teknologi dalam pengajaran bahasa telah menjadi kebutuhan

yang tidak dapat diabaikan. Conole dalam Levy (2012: 279) dalam penelitiannya

terhadap dua siswa yang belajar bahasa menemukan bahwa mereka telah

menggunakan lebih dari 30 jenis teknologi yang berbeda baik untuk belajar

maupun untuk melakukan kontak dengan orang lain. Levy (2012:279)

mengartikan istilah teknologi sebagai segala objek yang dapat dilihat dan disentuh

dan mengelompokkannya berdasar lima kategori yaitu 1) bentuk konkritnya

(pesawat telephon, handphone, computer, perekam suara, video kamera, dll) 2)

system manajemen belajar (blackboard, EduKate, scholaris) 3) alat dan aplikasi

teknologi (e-mail, blog, chat, videoconferencing, word, powerpoint, internet

explorer, web design, sound editing, dsb.) 4) sumbernya (onlinenewspaper,

linguascope dan web site lain yang dirancang untuk pembelajaran Bahasa) dan 5)

teknologi bagian yang menyokong berfungsinya program induk seperti spelling

check, grammar check, dan online dictionaries.

Donaldson dan Haggstrom (2006: vii) menyatakan bahwa munculnya

teknologi telah membawa dampak yang signifikan dalam segala aspek kehidupan

termasuk juga dalam aspek pendidikan. Perkembangan teknologi yang begitu

pesat dan begitu beragam jenisnya memberikan tantangan yang cukup berat bagi

97
guru, karena guru dituntut untuk mengubah sikapnya terhadap proses pendidikan.

Guru dituntut untuk lebih bersikap terbuka, bersedia belajar hal baru,dan bersedia

memainkan peran yang baru dalam proses belajar mengajar. Perkembangan

teknologi telah memunculkan teori baru tentang pengajaran bahasa, termasuk

hubungan antara guru dan murid dan oleh karenanya guru perlu dipersiapkan

dengan baik ke arah itu.

Dudeney dan Hockly (2008:7-8) menyatakan bahwa komputer dan ICT

semakin menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengajaran bahasa karena

beberapa alasan, yaitu:

a. Adanya akses Internet di mana-mana

b. Teknologi adalah bagaian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda

c. Bahasa Inggris sebagai Bahasa internasional digunakan dalam konteks

berteknologi,

d. Internet menghadirkan materi ajar dan kegiatan pembelajaran otentik,

bahkan mampu menghadirkan materi ajar siap pakai yang melimpah.

e. Internet menawarkan kesempatan berkolaborasi dan berkomunikasi antar

pembelajar bahasa yang terpisah secara geografis.

f. Teknologi menawarkan sumber dan buku ajar yang melimpah bagi guru.

g. Teknologi menawarkan cara baru dalam latihan berbahasa dan

mengevaluasi hasil belajar Bahasa.

h. Teknologi mampu mengatasi hambatan ruang dan waktu, sehingga

program pembelajaran dapat digunakan di mana saja, tidak harus di ruang

kelas.

98
i. Menggunakan berbagai alat ICT memungkinkan pembelajar Bahasa

memperoleh language exposure untuk berlatih empat keterampilan

berbahasa.

Munculnya teknologi komputer dalam pembelajaran bahasa bukan berarti

menghilangkan peran guru dalam proses pembelajaran, melainkan memberikan

peran baru. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Sumber

informasi menjadi lebih beragam dan guru bertugas sebagai fasilitator.

Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran bahasa dimaksudkan agar

siswa dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif. Agar teknologi dapat

dimanfaatkan secara efektif dalam pembelajaran, tiga hal harus dipertimbangkan

secara cermat yaitu: 1) teacher’s beliefs about the nature of language and

language learning, yaitu aspek bahasa apa saja yang penting dan harus diajarkan

kepada siswa. Tahap ini adalah penentuan isi pembelajaran; 2) the pedagogical

approach and methodologies, yaitu bagaimana bahasa harus diajarkan, apakah

menggunakan CBI, TBLT, atau yang lain; dan 3) the choice of technologies to

support the learning tasks, karena setiap teknologi memiliki keunggulan dan

kelemahan masing-masing (Levy, 2006: 2).Siapa pun yang ingin memanfaatkan

teknologi dalam pembelajaran bahasa harus mempertimbangkan tiga hal tersebut

secara seimbang dengan memasukkan berbagai macam aspek bahasa yang saling

terkait, kebutuhan, tujuan belajar, kesukaan individu yang berbeda-beda, sumber

dan teknologi yang tersedia dalam konteks pembelajaran tertentu.

99
Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran memunculkan istilah CALL

(Computer Assisted Language Learning), dan e-learning. CALL adalah

pembelajaran bahasa berbantuan komputer sedangkan E-learning adalah

pembelajaran yang memanfaatkan teknologi elektronik, seperti misalnya internet,

CD-ROMs, dan alat-alat komunikasi lain seperti hand-phones, atau MP3 players

(Dudeney dan Hockly, 2008:136). Menurutnya, terkait dengan pemanfaatan e-

learning dalam pembelajaran, terdapat beberapa istilah yang satu dengan lainnya

dapat dipertukarkan dan terkadang membingungkan, yaitu distance learning, open

learning, online learning, dan blended learning. Distance learning dan open

learning tidak selalu memanfaatkan e-learning, namun tidak demikian halnya

dengan online learning dan blended learning. Online learning adalah

pembelajaran melalui internet, sedangkan blended learning adalah pembelajaran

yang sebagian dilakukan secara tatap muka offline dan sebagian lagi dengan

memanfaatkan internet. Terkait dengan online dan blended learning, 3 model

pembelajaran diajukan oleh Dudeney dan Hockly (2008: 138-139), yaitu: (1) A

100 percent online language learning course, (2) A blended language learning

course, (3) A face-to-face language learning course with additional online

materials. Menurutnya, pada umumnya guru yang memiliki minat pribadi untuk

mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran, mulai menerapkannya

dengan model ke tiga, sedangkan model 1 dan 2 biasanya diterapkan sebagai

bagian dari kebijakan atau mandat dari lembaga atau pemerintah. Model ke 3 juga

sangat mungkin diterapkan dalam kontek di mana akses internet dan benwidth

internet masih sangat terbatas.

100
Banchari (2006: 35) menyatakan bahwa pengembangan materi ajar untuk

CALL merupakan kerja kolaboratif dari ahli pembelajaran bahasa, ahli program

komputer, dan ahli grafis. Aspek pedagogis harus menjadi pertimbangan utama,

dan karenanya dalam mendisain materi ajar dengan komputer dapat dilakukan

dengan langkah: 1) Menggambarkan aktivitas dan latihan-latihan berbahasa di

dalam kelas tanpa komputer dalam semua aspek dan langkah-langkahnya, 2)

Menirukan prosedur pembelajaran yang sama dalam setting komputer, dan 3)

Mengevaluasinya dari perspektif guru, siswa, pengembang software, dan ahli

program dan grafik.

Banyak penelitian telah dilakukan terkait dengan penggunaan ICT dalam

pembelajaran Bahasa Inggris. Sebagian besar mendukung penggunaan ICT dalam

pengajaran karena kelebihan yang ditawarkan. Pollard (2015) misalnya, dia

menerapkan web-based journal untuk mengajarkan writing di kelasnya dan

ditemukan bahwa pembelajarannya menjadi motivating dan menciptakan

kemandirian belajar mahasiswa. Demikian pula dengan Elfurqaan (2014) yang

menerapkan blended learning untuk mengajarkan grammar dan dia menemukan

bahwa model blended learning mampu mengatasi kekurangan waktu dalam

pelajaran tatap muka dan pengajarannya menjadi lebih efisien dan efektif. Selain

kelebihan-kelebihan yang ditemukan pada penggunaan ICT, seperti misalnya

dapat mengatasi kurangnya exposure terhadap Bahasa target, kurang latihan dan

kurang sumber ajar, untuk dapat berhasil dalam penggunaannya memerlukan

kondisi-kondisi yang harus dipenuhi (Alberth, 2013). Kondisi-kondisi itu antara

101
lain, karakteristik siswa, karakteristik guru, disain pengajaran, dukungan fasilitas,

dan faktor teknologi.

Tidak terpenuhinya kondisi-kondisi yang diperlukan untuk suksesnya

penggunaan ICT dalam pembelajaran Bahasa Inggris dapat menghambat proses

pembelajaran berbantuan ICT secara maksimal di Indonesia. Wright (2017)

misalnya, menemukan bahwa pembelajaran on-line yang dapat diterapkan di Asia

tenggara, masih sebatas pada asycronious model. Syncronious model tidak mudah

diterapkan karena sulitnya memperoleh sambungan Internet yang kuat. Karena

kondisi seperti ini siswa-siswa yang dia teliti lebih memilih kegiatan pembelajaran

tatap muka dari pada pembelajaran online. Menurut siswa-siswa yang dia teliti,

pembelajaran tatap muka lebih berharga dari pada pembelajaran on-line, dalam

artian lebih memotivasi, lebih menyenangkan, lebih membuat paham, dan juga

interaksi antara guru-siswa dan siswa dengan siswa lainnya lebih berharga dan

bermakna.

9. Pengembangan Program Pembelajaran Bahasa Inggris

a. Pengertian Pengembangan Program

Pengembangan program pembelajaran atau kurikulum dapat diartikan

sebagai proses menentukan pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap apa yang

harus dipelajari siswa di sekolah, pengalaman belajar apa yang harus diberikan

untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan bagaimana proses belajar mengajar di

kelas dapat direncanakan, diukur, dan dievaluasi (Richards, 2001: 2). Seel (2008:

132) menyatakan bahwa isu pokok dalam pengembangan kurikulum adalah untuk

102
menentukan isi dan metode pembelajaran yang relevan untuk menjawab tantangan

kehidupan siswa saat ini maupun masa depan. Pengembangan kurikulum

menghasilkan keputusan tentang tujuan, karakteristik siswa, isi dan strategi

pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber-sumber belajar (seperti IT dan

media) yang diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan formasi yang dapat

didayagunakan.

Pengembangan program pembelajaran bahasa, menurut Richards (2001: 2)

termasuk dalam garapan linguistik terapan yang diartikan sebagai serangkaian

proses yang saling terkait yang berfokus pada merancang, merevisi, menerapkan,

dan mengevaluasi program pembelajaran bahasa. Pengembangan program

meliputi proses penentuan kebutuhan siswa, menetapkan tujuan program untuk

memenuhi kebutuhan siswa tersebut, menentukan silabus yang sesuai, struktur

mata pelajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, dan menyelenggarakan evaluasi

program.

Seel (2008: 138) mengatakan bahwa program harus didisain dengan benar.

Desain yang benar akan menggambarkan saling keterkaitan antar komponen

program dan bagaimana sumbangan masing-masing komponen tersebut terhadap

rancangan secara keseluruhan. Disain program yang dirancang dengan baik akan

memberikan peta bagi seluruh peserta pendidikan (guru, siswa, orang tua) dalam

memahami rancangan program pembelajaran. Disain struktural program harus

memenuhi kriteria integritas konseptual (conceptual integrity) dan kesatuan

struktural (Structural unity). “Conceptual integrity means that all concept must be

intelligebly defined, consistently employed, and coherently, systematically, and

103
semantically related to each other in ways that assure integrity throughout the

design. Structural unity can be achieved by assuring that the elements in a

curriculum are contributing to some overall purposes.”

b. Langkah-langkah Pengembangan Program Pembelajaran

Nation dan Macalister (2010: 1) mengatakan bahwa merancang program

pembelajaran bahasa adalah kegiatan prosedural yang menuntut integrasi

pengetahuan dari berbagai bidang kajian linguistik terapan, seperti kajian teori

pemerolehan bahasa, metodologi pengajaran, asesmen, deskripsi bahasa, dan

pengembangan bahan ajar. Komponen dari disain kurikulum bahasa terdiri dari

1) analisis lingkungan, 2) analisis kebutuhan, 3) prinsip-prinsip pembelajaran

bahasa, 4) tujuan, 5) isi dan urutan bahan ajar, 6) menemukan format dalam

penyajian bahan, 7) monitoring dan assessing. Richards (2001: 41) menyatakan

bahwa pengembangan kurikulum adalah “... the range of planning and

implementation processes involved in developing or renewing a curriculum. The

processes focus on needs analysis, situational analysis, planning learning

outcomes, course organization, selecting and preparing teaching materials,

providing for effective teaching, and evaluation.”

Dari pendapat Nation dan Macalister (2010) dan Richards (2001) dapat

disimpulkan bahwa dalam mengembangkan program pembelajaran Bahasa Inggris

diawalai dengan analisis lingkungan atau situasi dan analisis kebutuhan, kemudian

menetapkan tujuan pembelajaran, selanjutnya menetapkan isi dan organisasi

104
pembelajaran atau silabus, memilih dan menyiapkan bahan ajar,

menyelenggarakan pengajaran efektif, dan akhirnya melakukan evaluasi program.

1) Analisis Lingkungan

Analisis lingkungan yang berasal dari istilah environment analysis (Nation

& Macalister, 2010: 2), situation analysis atau constraints analysis (Richards

2001) adalah mempertimbangkan faktor situasi yang berpengaruh terhadap

program pengajaran yang akan dikembangkan. Analisis lingkungan meliputi tiga

hal, yaitu hal-hal yang terkait dengan situasi proses belajar dan mengajar (alokasi

waktu, fasilitas, dan sumber belajar yang tersedia), terkait dengan guru

(kualifikasi guru, kemampuan bahasa Inggris, belief terhadap pembelajaran,

apakah mereka memiliki waktu untuk mempersiapkan pembelajaran) dan terkait

dengan siswa pada umurnya, seperti misalnya, apa yang sudah mereka ketahui,

untuk apa mereka belajar bahasa Inggris, apakah mereka menyukai cara belajar

tertentu.

Richards (2017) menegaskan bahwa analisis situasi bertujuan untuk

menemukan gambaran konteks pembelajaran yang meliputi lima hal, yaitu

gambaran tentang institusi, guru, siswa, sumber belajar yang tersedia, dan

hambatan-hambatan yang mungkin akan muncul.

2) Analisis Kebutuhan

Needs analysis atau analisis kebutuhan dimaksudkan untuk menemukan

tujuan dan isi pembelajaran (Nation & Macalister 2010: 24). Kebutuhan dapat

dikelompokkan menjadi target needs dan learning needs (Hutchinson & Waters,

105
1987). Target needs adalah kemampuan apa yang diperlukan siswa dalam situasi

target. Target needs dapat dikelompokkan menjadi necessities, lacks, dan wants.

Necessities adalah kemampuan apa yang diperlukan mahasiswa untuk dapat

berfungsi dengan baik. Lacks adalah apa yang belum mereka kuasai, sedangkan

wants adalah apa yang mereka ingin pelajari. Learning needs adalah kebutuhan

belajar atau apa yang harus dilakukan siswa untuk dapat belajar.

Menurut Gillett (1989) dalam konteks akademik siswa memerlukan bahasa

untuk berkomunikasi lisan maupun tulis baik reseptif maupun produktif. Artinya

mahasiswa perlu melakukan kegiatan reading, writing, listening dan speaking

dalam seting perkuliahan di kelas, seminar, tutorial, mengerjakan tugas proyek,

kegiatan praktik, belajar mandiri, dan mengerjakan soal ujian. Learning needs

adalah apa yang perlu dilakukan siswa untuk dapat belajar (Nation & Macalister

2010: 24). Menurut Hyland (2006) dan Brick (2012) mahasiswa memerlukan

keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan belajar. Mahasiswa perlu

menguasai kosa kata, grammar, sistem tatatulis Bahasa Inggris untuk dapat

memahami bacaan. Mahasiswa perlu mendengarkan perkuliahan, membuat

catatan, meringkas isi bacaan, membuat slide, dan melakukan presentasi atau

prepared talk, dan juga menjawab soal ujian.

Poedjiastutie (2017) melalukan analisis kebutuhan belajar Bahasa Inggris

akademik di Indonesia dan menemukan lima kebutuhan belajar Bahasa Inggris di

perguruan tinggi, yaitu: (1) untuk dapat membaca publikasi dalam Bahasa Inggris,

(2) meningkatkan kolaborasi internasional, (3) meningkatkan kemampuan untuk

106
mendapatkan pekerjaan, (4) meningkatkan taraf kehidupan, dan (5) meningkatkan

hasil belajar.

Berbagai macam tujuan belajar Bahasa Inggris ini tentu tidak semuanya

dapat dicapai dalam satu perkuliahan Bahasa Inggris.Untuk itu perlu dipilih tujuan

mana yang akan diangkat dalam model pembelajaran Bahasa Inggris yang akan

dikembangkan.

3) Menetapkan Tujuan (goals) Program Pembelajaran

Tujuan (goals) program pembelajaran ditetapkan berdasarkan hasil analisis

lingkungan dan analisis kebutuhan. Richards (2001: 120) mengatakan bahwa

goals terdiri dari aims dan objectives. Aim adalah tujuan umum sedangkan

objectives adalah tujuan khusus.”Aim refers to a statement of a general change

that a program seeks to bring about to learners. ...An objective refers to a

statement of specific changes a program seeks to bring about and results from an

analysis of the aim into its different components.”

Tujuan umum program pembelajaran ditetapkan berdasarkan hasil analisis

lingkungan, analisis kebutuhan, dan filsafat belajar yang diikuti oleh perancang

program. Richards (2001:113) menyatakan,

In developing goals for educational program, curriculum planners draw


on their understanding both of the present and long-term needs of learners
and of society as well as the planners’ beliefs and ideologies about
schools, learners, and teachers. These beliefs and values provide the
philosophical underpinnings for educational programs and the
justification for the kinds of aims they contain.

107
Selanjutnya, Richards memberikan contoh-contoh tujuan umum program

pembelajaran Bahasa Inggris sebagai berikut:

a) Acquire good reading habits to understand, enjoy, and appreciate a


wide range of texts .
b) Ecquire thinking skills to make critical and rational judgements
c) Negotiate their learning goals and evaluate their own progress
d) Acquire information and study skills to learn the other subjects taught
in Ennglish
e) Acquire knowledge for self-development and for fulfilling personal
needs and aspiration
f) Develop positive attitude towards constructive ideas and values that
are transmitted in oral and/or written forms using the English
language
g) Develop a sensitivity to, and an appreciation of other varieties of
English and the culture they reflect.
Richards (2001: 122) menyatakan bahwa tujuan umum perlu dirumuskan

tidak hanya sekedar menyebutkan aktivitas yang akan dilakukan siswa, melainkan

perubahan apa yang akan dihasilkan. Misalnya, jangan hanya dirumuskan

“Students will study listening skill”. Untuk menjadi aim yang baik harus

dirumuskan “ Students will learn how to listen effectively in conversational

interaction and how to develop better listening strategies”

Dalam sebuah program pembelajaran dapat dirumuskan sekitar tiga atau

empat tujuan umum tergantung besar kecilnya atau lamanya program yang

bersangkutan. Tujuan umum perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi tujuan-tujuan

khusus (objectives). Richards (2001: 123) mengatakan bahwa tujuan khusus

menyebutkan apa yang akan dicapai dalam unit-unit yang lebih kecil, memberikan

dasar dalam menyusun aktivitas pembelajaran, dan merumuskan hasil belajar

yang dapat diamati. Oleh karenanya tujuan khusus yang baik perlu dirumuskan

108
dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah sebagai berikut: menjelaskan learning

outcomes, consistent with the aims, dan feasible.

Selanjutnya, Richards (2001: 125) dengan menyitir Frankel (1983: 124)

memberikan contoh penjabaran aims menjadi objectives untuk program

pembelajaran Bahasa Inggris bagi mahasiswa tahun pertama di Thailan sebagai

berikut.

Aim: To read authentic, non-specialist, non-fiction texts in English with


comprehension and at a reasonable speed.
Objectives:
1. To use linguistic information in the texts as clues to meaning,
including:
a. Deducing the meaning and use of unfamiliar items through an
understanding of word formation and context clues
b. Decoding complex phrases and sentences including premodification,
postmodification, complex embedding, and clause relation in
compound and complex sentences
c. Recognizing and interpreting formal cohesive devices for linking
different parts of a text
d. Recognizing and interpreting discourse markers
2. To understand the communicative value of a text, including
a. Its overall rhetorical purpose (e.g., giving instruction, reporting an
event)
b. Its rhetorical structure, including ways of initiating, developing, and
terminating a discourse.
3. To read for information, including
a. Identifying the topic (theme)
b. Identifying the main ideas, stated and implied
c. Distinguishing between the topic and the main idea
d. Reading for detail
e. Distinguishing important from unimportant details
f. Skimming to obtain the gist or the general impression of the semantic
content
g. Scanning to locatespecifically required information
h. To read interpretatively, including:
i. Extracting information not explicitly stated by making inferences
j. Distinguishing fact from opinion
k. Interpreting the writer’s intention, attitude, and bias

109
l. Making critical judgements.

4) Merancang Pembelajaran dan Mendisain Silabus

Kurikulum dan silabus adalah bagian penting dalam merancang program

pembelajaran, dan kedua istilah ini perlu dibedakan terlebih dahulu. Richards

(2017) menyatakan bahwa kurikulum lebih luas dari pada silabus karena

kurikulum adalah rancangan keseluruhan program pembelajaran atau pendidikan

yang meliputi tujuan program dan isinya yang terdiri dari berbagai bidang atau

mata pelajaran, sedangkan silabus adalah rancangan cakupan isi dan urutan dari

mata pelajaran atau course tertentu.

Proses pengembangan silabus adalah serangkaian proses yang terdiri dari

kegiatan-kegiatan: (1) developing a course rationale, (2) describing entry and exit

levels, (3) choosing course content, (4) sequencing course content, (5) planning

the course content (syllabus and instructional blocks), (6) preparing the scope

and sequence plan. Keenam proses ini tidak selalu dilakukan secara linier, namun

terkadang berjalan bersamaan dan pada aspek-aspek tertentu terjadi revisi terus

menerus bersamaan dengan proses pembelajaran (Richards, 2001: 145).

Developing the course rationale. Langkah pertama dalam merancang

pembelajaran adalah mendeskripsikan the course rationale. Course rationale

adalah deskripsi singkat tentang alasan diselenggarakannya program pembelajaran

beserta ciri-cirinya. Rationale menjelaskan siapa sasaran pembelajaran, apa isinya,

dan kegiatan belajar-mengajar apa yang akan diselenggarakan dalam program

110
tersebut. Deskripsi ini didasarkan pada beliefs, values, dan goals program

pembelajaran. Berikut adalah contoh a course rationale:

This course is designed for working adults who wish to improve their
communication skills in English in order to improve their employment
prospects. It teaches the basic communication skills needed to communicate
in a variety of different work settings. The course seeks to enable
participants to recognize their strengths and needs in language learning
and to give them the confidence to use English more effectively to achieve
their own goals. It also seeks to develop the participants’ skills in
independent learning outside of the classroom.

Describing the entry and exit levels. Untuk dapat mendisain program

pembelajaran Bahasa Inggris, perlu ditetapkan proficiency level yang ingin dituju.

Umumnya, tingkat proficiency yang digunakan adalah elementary, intermediate,

dan advance. Tingkatan ini terlalu umum, sehingga perlu ditetapkan lebih spesifik

lagi, misalnya dengan mengacu ke skor TOEFL, IELTS, atau dengan tes khusus

untuk menetapkan tingkat kemampuan siswa. Kemampuan awal siswa ini juga

dapat dipakai dasar untuk merevisi tujuan pembelajaran yang mungkin terlalu

tinggi atau terlalu rendah (Richards, 2001: 146-147).

Choosing course content. Penentuan isi pembelajaran merupakan isu dasar

dalam disain pembelajaran. Isi pembelajaran merefleksikan filsafat dan asumsi-

asumsi dasar tentang bahasa dan pembelajarannya yang digunakan oleh perancang

program. Richards (2001: 148) menyatakan, “Decisions about course content

reflect the planners’ asumptions about the nature of language, language use, and

language learning, what the most essential elements or units of language are, and

how these can be organized as an affective basis for second language learning.”

111
Pendekatan khusus dalam penentuan isi pembelajaran ini ditentukan oleh

bidang studi yang dipelajari siswa, tingkat kemampuan bahasa siswa, pandangan

mutakhir tentang pembelajaran bahasa, kebijaksanaan konvensional, dan

kenyamanan. Informasi yang terkumpul dari analisis kebutuhan ikut menjadi

dasar dalam menentukan isi pembelajaran (Richards, 2001: 148).

Proses dalam menentukan isi pembelajaran umumnya dimulai dengan

menuliskan gagasan awal yang masih kasar, diikuti dengan brainstorming dalam

diskusi teman sejawat. Misalnya sesorang mengusulkan unit tertentu untuk

dimasukkan ke dalam program, peserta lain menambahkan gagasannya. Gagasan-

gagasan ini dibandingkan satu sama lain dan dengan sumber-sumber lain sampai

mendapatkan gagasan yang jelas dan mendapatkan persetujuan dari tim. Dalam

proses ini tujuan program pembelajaran selalu diacu sehingga baik rumusan

tujuan maupun isi program pembelajaran selalu direvisi terus menerus.Isi atau

topik-topik yang ditetapkan kemudian ditinjau ulang dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan seputar:

a) Are all the suggested topics necessary?


b) Have any important topics been omitted?
c) Is there sufficient time to cover them?
d) Has sufficient priority been given to the most important areas?
e) Has enough emphasis been put on the different aspects of the areas
identified?
(Richards 2001: 149).

Menurutnya, penentuan isi program pembelajaran ini biasanya dilakukan

bersamaan dengan proses penyususnan silabus, karena isi program pembelajaran

biasanya tergantung pada jenis silabus yang digunakan.

112
Determining the scope and content. Keputusan tentang isi program

pembelajaran bahasa juga mengarah ke distribusi isi sepanjang program. Ini

terkait dengan penentuan scope dan sequence program. Scope menunjuk pada

keluasan dan kedalaman cakupan bahan dan ini mengacu ke pertanyaan-

pertanyaan (1) what range of content will be covered dan (2) to what extent

should each topic be studied?. Sequence menunjuk pada urutan penyajian,

penentuan topik mana yang diberikan di awal, berikutnya dan sampai yang

terakhir.

Planning the course structure. Langkah berikutnya dalam perancangan

program pembelajaran adalah pemetaan struktur program yang menggambarkan

bentuk dan urutan program pembelajaran sesuai dengan pendekatan yang diikuti.

Dalam proses ini kegiatan yang penting adalah memilih kerangka silabus yang

digunakan dan mengembangkan unit pembelajaran.

Selecting a syllabus framework. Silabus menjelaskan elemen-elemen

utama yang akan digunakan dalam menyusun rancangan program pembelajaran

dan menjadi dasar dalam menentukan fokus dan isi pembelajaran. Ada banyak

kerangka silabus yang dapat digunakan, antara lain, grammatical/ structural,

situational, topical, functional, dan task based syllabus. Dalam memilih jenis

silabus yang digunakn dalam program pembelajaran bahasa, perancang program

dipengaruhi oleh:

113
a) Knowledge and belief about the subject area. Silabus

merefleksikan gagasan dan kepercayaan terhadap hakekat bahasa

dan cara pembelajarannya,

b) Research and theory. Penelitian tentang penggunaan dan

pembelajaran bahasa teori-teori linguistik terapan sering mengarah

pada saran untuk menggunakan bentuk silabus tertentu,

c) Common practice, yaitu keumuman yang terjadi di masyarakat

pada umumnya,

d) Trends, yaitu bahwa pendekatan dalam disain silabus datang dan

pergi silih berganti ditentukan oleh tren saat itu baik di tingkat

nasional maupun internasional

Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa mengisyaratkan model-

model sylabus tertentu, antara lain competency based, task-based, text-based dan

content-based syllabus.

Content-based atau topical-based syllabus adalah silabus yang disusun

berdasarkan tema, topik, dan unit-unit isi lainnya. Dalam silabus jenis ini, isi atau

topik, dan bukan grammar, menjadi dasar atau starting point dalam penyusunan

silabus. Sebenarnya dalam program pengajaran bahasa, apapun bentuk silabusnya

selalu melibatkan isi atau topik dan grammar. Hanya starting pointnya yang

berbeda (Richards, 2001, 2017: 573).

Developing instructional blocks. Setelah ditetapkan isi dan urutan

pembelajaran serta model silabus yang digunakan, instructional blocks perlu

114
dikembangkan. An instructional block adalah a self-contained learning sequence

that has its own goals and objectives and that also reflects the ovelall objectives

for the course (Richards, 2001: 165). Penyusunan program ke dalam blok

pembelajaran dimaksudkan agar 1) isi pembelajaran menjadi mudah diajarkan dan

mudah dipelajari (teachable and learnable), memberikan progresi dari yang

mudah ke yang sukar, dan menujukkan koherensi dari keseluruhan program

pembelajaran. Blok pembelajaran bisa disajikan dalam bentuk lessons, unit dan

modul (Richards, 2017).

Lesson atau pelajaran adalah satu teaching block yang biasanya dapat

diselesaikan dalam satu atau dua kali pertemuan. Pelajaran ini memuat

serangkaian aktivitas untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu

Unit adalah teaching block yang biasanya lebih panjang dari pada satu

pelajaran (lesson) namun lebih pendek dari pada modul dan merupakan cara yang

paling banyak digunakan dalam mengatur isi program pembelajaran dan materi

ajar. Satu unit biasa berisi serangkaian pelajaran yang dirancang untuk membahas

satu fokus. Satu unit memberikan serangkaian aktivitas terstruktur yang mengarah

pada satu hasil pembelajaran. Faktor-faktor yang ikut mnentukan keberhasilan

sebuah unit pmbelajaran adalah:

a) Panjangnya unit: cukup dan jangan terlalu banyak materi yang

disajikan dalam satu unit

b) pengembangan: satu aktivitas pembelajaran mengarah pada

pencapaian kegiatan berikutnya.

115
c) Coherensi: satu unit memeiliki satu bentuk kesatuan

d) Pacing: Setiap kegiatan dalam satu unit bergerak dalam langkah-

langkah dan durasi waktu yang masuk akal

e) outcome: pada akhir unit, siswa harus mampu memahami atau

mampu melakukan serangkaian kegitan yang terkait.

Modul adalah seslf-contained and independent learning sequence with its

own objectives. Assessment dilaksanakan di akhir modul. Modul dapat

memberikan fleksibilitas program pembelajaran dan memberikan rasa

keberhasilan pada siswa karena tujuan pembelajaran lebih dekat untuk dicapai dan

lebih khusus, namun perlu diperhatikan agar program tidak terlalu terkesan

terpisah-pisah

Blok-blok pembelajaran ini selanjutnya disusun dengan mengikuti prinsip-

prinsip pengembangan materi ajar.

5) Memilih dan Menyiapkan Bahan Ajar

a) Teori yang Mendasari Penyusunan Bahan Ajar yang Baik

Terkait dengan bahan ajar, Tomlinson (2008:4) membedakannya menjadi

dua, yaitu teaching material dan learning material. Bahan ajar yang disusun

sebaiknya berupa learning material, yaitu berupa input bahasa yang akan

memungkinkan siswa memperoleh dan mengembangkan keterampilan berbahasa.

Materi ajar harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu dan prinsip-prinsip

ini didasarkan pada teori pemerolehan dan pengembangan bahasa. Tomlinson

116
(2008: 4) menyitir pendapat dari Kreshen (1985), dan Maley (1994) dan

menyatakan bahwa pemerolehan bahasa pada siswa akan terjadi jika siswa

tersebut memperoleh language exposure (input) yang melimpah, input bahasa

tersebut harus kontekstual, comprehensible, salient, bermakna, dan sering

ditemukan berulang-ulang. Selain itu, anak harus dalam keadaan rileks,

termotivasi, bersikap positif, terlibat secara emosional sehingga siswa tersebut

mampu mencapai kondisi pemrosesan bahasa yang mendalam dan

multidimensional. Dari teori ini selanjutnya Tomlinson menjabarkan

pemikirannya terhadap kondisi yang memungkinkan terjadinya pemerolehan

Bahasa dan mengusulkan kriteria materi yang dapat membantu siswa dalam

memperoleh dan mengembangkan kemampuan berbahasa, yaitu:

(1) Menyediakan pengalaman yang kaya akan berbagai jenis teks


(2) Menyediakan pengalaman positif yang estetik melalui
penggunaan ilustrasi dan disain yang menarik,
(3) Menggunakan multimedia untukmemberikan pengalaman belajar
yang menarik,
(4) Membantu pembelajar membuat penemuan sendiri,
(5) Membantu pembelajar menjadi pembelajar Bahasa yang
mandiri,
(6) Menyediakan materi tambahan untuk ekstensive reading dan
writing,
(7) Membantu siswa menjadikan pengalaman belajar menjadi
pengalaman pribadi yang bermakna.
(Tomlinson, 2008: 6)

Tomlinson (2011) mengembangkan lebih lanjut teori tentang

pengembangan materi ajar Bahasa Inggris dan dia menambahkan hal-hal lain

sehingga kriteria yang diajukan menjadi 16 yang meliputi:

(1) Materi ajar harus berdampak pada belajar siswa.

117
(2) Materi ajar harus memudahkan belajar siswa.
(3) Materi harus mampu membatu siswa mengembangkan rasapercaya
diri.
(4) Materi harus relavan dan berguna bagi siswa
(5) Materi menuntut dan memfasilitasi siswa untuk self-investment.
(6) Materi menyiapkan siswa memperoleh apa yang diajarkan.
(7) Materi meng-expose siswa pada penggunaan bahasa secara
otentik.
(8) Materi menarik perhatian siswa terhadap fitur kebahasaan dari
input teks.
(9) Materi memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan
bahasa target untuk tujuan komunikatif.
(10) Materi mempertimbangkan pengaruh positif dari pengajaran yang
tertunda
(11) Materi mempertimbangkan gaya belajar siswa.
(12) Materi mempertimbangkan perbedaan sikap afektif siswa.
(13) Materi memberikana silent period pada awal proses pembelajaran
(14) Materi memaksimalkan potensi belajar siswa dengan mendorong
keterlibatan intelektual, emosional dan estetika dengan aktivitas
yang menstimulasi otak kanan dan kiri.
(15) Materi tidak terlalu berfokus pada latihan terkontrol.
(16) Materi menyediakan kesempatan kepada siswa untuk
mendapatkan feed back hasil belajar.
(Maley, 2016: 16-17)
Selain mengajukan pandangannya sendiri, Tomlinson juga mensintesa

pandangan para praktisi penyususn materi ajar, bahwa dalam mengembangkan

matari ajar hal-hal berikut harus diperhatikan. Hal-hal tersebut meliputi: teks

harus otentik, isi harus engaging, Bahasa harus natural, grammar diajarkan secara

118
induktif, kontekstual, praktis harus personal, keterampilan bahasa diintegrasikan,

pendekatan harus seimbang antara induktif–diduktif, accuracy-fluency, creative-

control dan antara task-beased dan terkontrol, materi harus mengajarkan siswa

bagaimana belajar yang baik (Maley, 2016: 17).

Maley (2014) mengusulkan kriteria sejenis tentang materi ajar yang efektif

yang meliputi: Materi harus menarik, engaging, memungkinkan proses kognitif

secara mendalam, fleksibel, open endedness, tidak trivial, relevan, bervariasi,

kreatif dan merangsang siswa untuk kreatif, ekonomis dan elegan.

Dari berbagai kriteria yang telah tersebut di atas, Hadfield (2014)

merangkumnya dan menamakannya dengan Hadfield’s over-arching principles

yang meliputi:

(1) Materi ajar (texts and tasks) harus interesting, engaging, motivating
and involving.
(2) Bahasa yang digunakan harus bermakna, natural, dan bermanfaat.
(3) Harus ada progresi yang mulus dari langkah satu ke langkah berikutnya
dan selalu ada review untuk langkah-langkah sebelumnya.
(4) Bahasa yang diajarkan harus meliputi language functions yang
terbingkai dalam grammar (harus formulaic and rule-based); Lexis
harus theme-based sekaligus frequency-based, meliputi chunks dan juga
kata-kata lepas, disajikan baik bentuk maupun maknanya, yang
diajarkan baik secara explicit maupun implicit.
(5) Aktivitas Receptive skills harus meliputi reading dan listening untuk
pemahaman umum maupun detail beserta analisis teks. Cakupan materi
harus meliputi pengajaran sistematik mikro dan makro skills. Skills
harus terintegrasi, dan masukkan juga extensive reading and listening.
(6) Kegiatan pembelajaran productive skills harus communicative,
meaningful and student-centred. Writing activities harus mencakup
dimensi process dan produk. Kegiatan speaking harus mencakup sub-
skill khusus (turn-taking, turn beginning, dll.).

119
(7) Focus on form atau penjelasan grammar harus melibatkan siswa secara
aktif, disampaikan secara induktif, dengan cara discovery learning dan
deep-processing, jika mungkin.
(8) Latihan kebahasaan harus communicative, meaningful and student-
centred, mencakup accuracy- based dan juga fluency activities.
(9) Kegiatan pembelajaran harus beragam dan banyak pilihan untuk
menjamin flexibilitas bagi guru maupun siswa, sehingga mereka dapat
memilih sesui dengan kebutuhan.
(10) Silabus harus mencakup tujuan kebahasaan maunpun non-
kebahasaan (non-linguistic, misalnya pengembangan kekompakan
kelompok, pengajaran strategi belajar, pengembangan motivasi dan rasa
percaya diri siswa).
Sepuluh kriteria yang diajukan Hadfield (2014) ini dapat dijadikan

pedoman dalam menyusun materi ajar Bahasa Inggris sehingga tersusun materi

ajar yang efektif.

b) Kriteria Penilaian Bahan Ajar EAP yang Baik

Materi ajar yang telah disusun dengan berpedoman pada kriteria-kriteria

tersebut di atas diharapkan dapat menghasilkan materi ajar yang efektif. Untuk

mengevaluai keefektifan materi dapat ditempuh dengan cara menjawab

pertanyaan-pertanyaan berikut.

(1) Do the materials provide exposure to English in authentic way?


(2) Is the exposure to English in use likely to be meaningful to the
target learners?
(3) Are the texts likely to interest the learners?
(4) Are the activities likely to provide achievable challenges to the
learners?
(5) Are the activities likely to engage the learners affectively?
(6) Are the activities likely to angage the learners cognitively?
(7) Do the activities provide opportunities to make discoveries about
how English is used?
(8) Do the activities provide opportunities for meaningful use of
English?

120
(9) Do the activities provide opportunities to gain feedback on
effective use of English?
(10) Are the materials likely to sustain positive impact?
(Mol & Tin, 2008: 77)
Sepuluh kriteria penilain bahan ajar Bahasa Inggris ini dapat digunakan

dalam penilaian bahan ajar yang telah dikembangkan.

6) Menyelenggarakan Pembelajaran Efektif

Setelah program pembelajaran bahasa dirancang dengan baik selanjutnya

diimplementasikan untuk menghasilkan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran

yang efektif terwujud tidak hanya tergantung pada seberapa baik guru mengajar,

namun juga melalui penciptaan konteks dan lingkungan kerja yang memfasilitasi

pembelajaran yang berkualitas. Ada empat faktor yang mempengaruhinya, yaitu

faktor institusi, faktor guru, program pengajaran itu sendiri, dan siswa (Richards,

2001).

7) Evaluasi Program Pembelajaran

Pembelajaran yang telah dirancang selanjutnya diuji-coba atau diterapkan

dan selanjutnya dievaluasi untuk melihat keefektifan program. Richards (2001)

menyatakan bahwa evaluasi program dapat berfokus pada berbagai hal, antara

lain, disain kurikulum, silabus dan isi program, proses pembelajaran di kelas,

bahan ajar, guru atau pengajarnya, pelatihan guru, siswanya, progress siswa,

motivasi siswa, institusi, lingkungan belajar, pengembangan staf, pengambilan

keputusan.

121
Richards (2017) menyatakan bahwa evaluasi dapat dilakukan ketika

program sedang bejalan untuk perbaikan program (evaluasi formatif), atau dapat

pula sesudah program berakhir untuk melihat efektivitas program (evaluasi

sumatif).

Menurutnya, evaluasi formatif berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

a) Apakah waktu yang tersedia cukup dan dapat dimanfaatkan dengan baik?

b) Apakah materi ajar dapat digunakan dengan baik, tidak terlalu sukar, tidak

terlalu mudah?

c) Bagaimana penerimaan siswa terhadap materi ajar? Apakah mereka

menyukainya?

d) Apakah metode pembelajaran yang digunakan tepat?

e) Apakah siswa menikmati pembelajaran? Jika tidak apa yang harus

dilakukan agar siswa lebih termotivasi?

f) Apakah siswa mendapatkan latihan yang memadai?

g) Apakah langkah-langkah pembelajaran tepat, tidak terlalu padat namun

waktu digunakan dengan efisien

Untuk evaluasi sumatif, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meliputi:


a) How effective was the course?
b) What did the students learn?
c) How well was the course received by the students and teachers?
d) Did the materials work well?
e) Were the objectives adequate or do they need to be revised?
f) Were the pacement and achievement tests adequate?
g) Was the amount of time spent on each unit sufficient?
h) How appropriate were the teaching methods?
i) What problems were encountered during the course?
(Richards, 2001:292).

122
Efektivitas program pembelajaran Bahasa Inggris dapat pula dilihat

dengan cara membandingkan kualitas penerapan program dengan kriteria. Li

(2012) mensintesa berbagai penelitian tentang keefektifan program pembelajaran

Bahasa Inggris dan menyimpulkan bahwa program pembelajaran Bahasa Inggris

yang efektif adalah program yang:

a) Menerapkan challenging curriculum dengan high expectation.

b) Mendisain standar isi akademik dan membuatnya lebih terjangkau.

c) Memberikan pengajaran eksplisit yang relevan secara kultural.

d) Mendukung pengembangan strategi meta kognitif dan strategi belajar

khusus.

e) Menggunakan Bahasa pertama pembelajar secara strategik untuk

konsep-konsep sulit.

f) Mengajarkan kosakata dalam konteks beragam.

g) Mengembangkan kemampuan membaca komprehensi.

h) Memberikan model Bahasa target tulis dan lisan yang bagus untuk

diikuti.

i) Mengintegrasikan empat keterampilan Bahasa.

Richards dan Bohlke (2011) mengajukan ciri-ciri pembelajaran Bahasa

Inggris yang efektif sebagai berikut.

a) Pembelajaran mencerminkan standar profesionalistas yang tinggi.

b) Pembelajaran mencerminkan prinsip-prinsip pembelajaran Bahasa

asing yang berlaku.

123
c) Pembelajaran mengarah pada pencapaian hasil belajar yang bermakna.

d) Pembelajaran menyediakan kesempatan bagi siswa untuk

berpartisipasi dalam latihan penggunakan Bahasa secara luas dan

bermakna.

e) Pembelajaran dikelola dengan efektif.

f) Aktifitas pembelajaran runtut dan keherens, membentuk satu kesatuan.

g) Pembelajaran memotivasi siswa untuk belajar dan memberikan

kesempatan untuk meraih keberhasilan.

h) Pembelajaran mencerminkan filosofi pembelajaran Bahasa asing yang

seharusnya.

Dari indikator-indikator pembelajaran Bahasa Inggris efektif ini

sebenarnya telah dapat digunakan untuk mengupayakan terciptanya pembelajaran

efektif sejak program ini dirancang, yaitu dengan mengikuti langkah-langkah

pengembangan program pembelajaran Bahasa Inggris yang seharusnya, mulai dari

analisis konteks, analisis kebutuhan, mengkaji teori pembelajaran Bahasa Inggris,

merancang program dengan memanfaatkan hasil langkah-langkah sebelumnya,

mengembangkan silabus, membuat rencana pembelajaran, memilih dan

mengembangkan materi ajar dan alat evaluasinya. Begitu program telah

dikembangkan, kemudian, diuji-coba dan dievaluasi apakah program dapat

diterapkan sesuai dengan rencana dan dapat mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Dengan demikian efektifitas penerapan program dapat dilihat dari

indikator proses pembelajaran dan indicator outcome, yaitu kemampuan program

mencapai tujuan pembelajaran.

124
Mengacu pada sintesis Li (2012) dan Richards dan Bohlke (2011) proses

pembelajaran yang efektif tercermin dari apakah pembelajaran di kelas dikelola

dengan baik sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik,

mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran, dengan

terlibat secara aktif, menikmati pembelajaran, termotivasi, dan punya respon

positif terhadap pembelajaran.

Dari dimensi hasil, program pembelajaran Bahasa Inggris yang efektif

adalah program yang mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan,

mengembangkan kemampuan membaca, mengembangkan kosa-kata,

mengembangkan kemampuan metacognitive dan strategi belajar khusus lainnya.

Sebagus apapun program pembelajaran telah dirancang oleh perancang

program dengan maksimal, efektivitas program pembelajaran tetap berada di

tangan guru pengajar. Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang dilakukan

oleh guru efektif (Rosenshine, 2008). Dalam penelitiannya, Rosenshine (2008)

menemukan bahwa guru efektif mengajar dengan langkah-langkah berikut: (1)

Memulai pelajaran dengan mengulas pelajaran yang lalu. (2).Menyatakan tujuan

pelajaran yang akan dicapai. (3) Menyajikan materi ajar baru secara bertahap yang

diikuti dengan latihan-latihan untuk setiap langkah pembelajaran. (4)

Menyampaikan pelajaran dengan jelas dan detil. (5) Memberikan tugas-tugas

latihan sehingga siswa menjadi sangat aktif. (6) Memberikan banyak pertanyaan

untuk mengecek pemahaman siswa dan memperoleh respon dari semua siswa. (7)

Membimbing siswa pada latihan tahap awal. (8) Memberikan umpan balik dan

125
koreksi yang sistematis terhadap performansi siswa. (9) Memberikan pengajaran

dan (10) latihan secara eksplisit dan memonitornya pada jam pelajaran.

Pengajaran yang dilakukan oleh guru efektif ini selanjutnya dinamakan

dengan istilah pengajaran langsung (direct instruction) (Rosenshine, 2008).

Sebagian besar atau bahkan hampir semua pengajaran yang dirancang oleh guru

untuk dilaksanakan di dalam kelas adalah pengajaran langsung. Pengajaran

langsung memiliki banyak keunggulan, yaitu berorientasi akademik, tujuan

pengajaran jelas, waktu digunakan secara efektif dan efisien, siswa aktif dalam

proses pembelajaran sehingga sebagain besar siswa dapat mencapai tujuan

pembelajaran dengan baik (Joyce, Weil, & Calhoun, 2009).

Sintaks pembelajaran langsung menurut Joyce, Weil dan Calhoun (2009)

terdiri dari lima tahap, yaitu tahap orientasi, tahap presentasi, tahap latihan

terstruktur, tahap latihan terbimbing, dan tahap latihan mandiri, yang ditampilkan

dalam table berikut.

Tabel 9. Sintaks Pengajaran Langsung

Phase one: Orientation Teacher establishes content of the lesson.


Teacher reviews previous learning.
Teacher establishes learning objectives.
Teacher establishes the procedure for the
lesson.
Phase two: Presentation Teacher explains/demonstrates new concepts
or skills.
Teacher provides visual representation of the
task.
Teacher checks for understanding.
Phase Three: Structured Teacher leads group through practice
Practice examples in lock step.
Students respond to questions.

126
Teacherprovides corrective feedback for errors
and reinforces correct practices.
Phase Four: Guided Students practice semi-independently.
Practice Teacher circulates, monitoring students
practice.
Teacher provides feedback through praise,
promps, and leave.
Phase Five: Independent Students practice independently at home or in
Practice class.
Feedback is delayed.
Independent practices occur several times over
an exended period.
(Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 375-276).

Pengajaran langsung ini jika diterapkan dalam pengajaran Bahasa sangat

mirip dengan pengajaran berbasis teks (genre/text-based teaching) dan dengan

model pengajaran PPP (presentation-practice-production).

Penerapan pengajaran langsung dalam proses pembelajaran di dalam kelas

terbukti efektif dan mampu meningkatkan hasil belajar. Wenno (2014) dalam

penelitiannya menemukan bahwa penerapan pengajaran langsung dalam kelasnya

telah berhasil meningkatkan hasil belajar siswa.

10. Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Tema


dengan Pendekatan 6T.

a. Pengertian Model Pembelajaran

Model adalah suatu pola yang dikembangkan melalui penelitian

pengembangan dan menjadi landasan teknis dalam melakukan suatu pekerjaan,

sebagaimana diungkapkan oleh Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 76) “Models are

developed patterns that have been submitted to research and development. They

are the technical base for a vocation.” Dari pengertian dasar “model” ini, istilah-

127
istilah lain yang dibentuk dengan kata model (model pengajaran, model

pembelajaran, model pengembangan) menjadi lebih mudah dipahami.

Pengertian model pengajaran dapat dipahami dengan mengacu ungkapan-

ungkapan Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: viii, dan 6), “Models of teaching are a

variety of well-developed ways of teaching. Models of teaching are the product of

teachers who have beaten a path for us and hacked out some clearings where we

can start our own inquiries.” Model pengajaran adalah cara-cara atau langkah-

langkah baku guru mengajar yang dikembangkan melalui penelitian

pengembangan. Model-model pengajaran ini dapat diikuti dan diteliti lebih lanjut.

Pengertian model pembelajaran pada dasarnya sama dengan model

pengajaran karena ketika guru mengajar adalah suatu upaya bagaimana membuat

siswa belajar. Dengan demikian model pembelajaran adalah pola baku bagaimana

guru mengajar dan siswa belajar. Sedangkan model pengembangan pembelajaran

adalah pola baku bagaimana mengembangkan suatu program pembelajaran.

Model pembelajaran memiliki empat aspek, yaitu goals, syntax,

environment, dan management system (Arends, 1997). Sejalan dengan hal tersebut

Satsangee, Saxena, dan Paul (2010) juga mengemukakan bahwa model

pembelajaran terdiri dari empat hal utama, yaitu focus, syntax, social system, dan

support system. Model pembelajaran harus memiliki elemen dasar tersebut, yaitu

harus memiliki tujuan yang jelas. Model juga menjelaskan bagaimana proses

pembelajaran dijalankan, dievaluasi, dan kondisi serta dukungan fasilitas apa saja

yang perlu disediakan.

128
b. Langkah-langkah Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis
Tema
Terkait dengan model pengembangan program pembelajaran berbasis tema

dengan pendekatan 6T, Stoller dan Grabe (1997) menyatakan bahwa model

pembelajaran berbasis tema dengan pendekatan 6T merupakan model

pengembangan program pembelajaran bahasa berbasis isi yang koherens, di mana

isi/pesan yang diwujudkan dalam tema, teks, dan topik merupakan dasar dalam

menentukan kegiatan belajar yang diwujudkan dalam tasks. Tasks ini mencakup

semua kegiatan belajar baik yang terkait dengan pemahaman isi, butir bahasa,

maupun strategi belajar. Berbagai topik dan tasks akan ditautkan melalui transisi,

sedangkan tema-tema yang bervariasi diikat dengan thread. Model 6T ini

dikembangkan dengan langkah-langkah:

1) Melakukan needs analisis: menemukan kebutuhan siswa, tujuan

belajar siswa, harapan institusi, sumber-sumber yang tersedia,

kemampuan guru, kompetensi yang diharapkan.

2) Merumuskan tujuan pembelajaran Umum.

3) Menentukan isi pembelajaran (tema, teks, dan topik-topik).

4) Menentukan threads (penghubung antar tema).

5) Sequencing of content.

6) Merumuskan tujuan-tujuan khusus (terkait dengan tema, teks, dan

topik).

7) Menyusun tasks (tugas) terkait dengan teks yang ada.

8) Menentukan transisi.

129
9) Menerapkan dalam pembelajaran (fine-tuning theme units while they

are being implemented. Plan will change and vary as teachers take

advantage of students’ interest and ongoing input)

11. Revisi

Langkah-langkah pengembangan pembelajaran ini dapat dibandingkan

dengan langkah pengembangan program bahasa yang diajukan Nation dan

Macalister (2010) yang meliputi: (1) analisis lingkungan (konteks), (2) analisis

kebutuhan, (3) Mengkaji prinsip pengajaran Bahasa Inggris, (4) Menetapkan

tujuan, (5) Menentukan isi dan urutan bahan, (6) menentukan format penyajian,

(7) monitoring dan assessment, serta (8) evaluasi, dan yang diajukan Richards

(2001), keduanya dapat dipadukan dan akan menghasilkan langkah-langkah

sebagai berikut:

1) Analisis Kebutuhan (meliputi analisis konteks, menentukan kebutuhan

belajar, dan mengkaji prinsip-prinsip pembelajaran bahasa asing yang

efektif)

2) Menetapkan tujuan pembelajaran

3) Menyusun silabus (Menentukan isi dan urutan bahan yang mencakup

penentuan 6 T, yaitu tema, topik, thread, text, tasks, dan transition).

4) Menentukan format penyajian (langkah-langkah pembelajaran)

5) Penerapan pembelajaran untuk monitoring dan assessment

6) Evaluasi program.

130
Jika dipadukan dengan model penelitian dan pengembangan yang diajukan

Dick dan Carey (1996) yang terdiri dari Analysis, Design, Development,

Implementation, dan Evaluation, langkah-langkah penelitian ini mencakup:

1) Tahap studi pendahuluan, berupa kegiatan Analysis, baik analisis

lingkungan/konteks, dan analisis kebutuhan

2) Tahap Perancangan, atau Design. Tahap ini meliputi penetapan tujuan, isi

materi, urutan bahan, dan model penyajian.

3) Tahap Pengembangan atau Development. Tahap ini berisi kegiatan

menuangkan rancangan ke dalam produk perangkat pembelajaran, berupa

silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran yang dilengkapi dengan materi

ajar, media, assessment.

4) Tahap implementasi, berupa penerapan produk untuk pembelajaran di

kelas.

5) Tahap evaluasi, baik evaluasi formatif maupun sumatif.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian yang sejenis yang telah dilakukan terkait dengan

pengembangan program pengajaran Bahasa Inggris di perguruan tinggi di

Indonesia, antara lain oleh Mustadi (2011), Solikhah (2015), Sundari dan

Rahminingsih (2015), dan Aini (2008). Mustadi (2011) mengembangkan

pengajaran Bahasa Inggris di UNY dengan sasaran Program Studi PGSD yang

dikembangkan mengacu pada kompetensi komunikatif, namun pada akhirnya

program pengajaran yang dihasilkan lebih banyak berfokus pada grammar. Hal ini

131
dapat dilihat dari silabus yang dihasilkan, dengan topik pembahasan 90% tentang

Grammar.

Solikhah (2015) telah mengembangkan pengajaran Bahasa Inggris MKU

untuk IAIN Surakarta dengan berdasar pada learning outcome. Learning outcome

yang dituju adalah agar mahasiswa dapat membaca dengan pemahaman teks-teks

dengan grammar dasar dan kosakata 1000 dan 2000 pertama, dan dapat

melalukan percakapan sehari-hari dengan grammar dan kosa kata yang telah

dipelajari. Barang kali learning outcome yang dituju ini sangat sesuai dengan

konteksnya namun masih sangat jauh jika untuk mengarah kepada EAP.

Sundari dan Rachminingsih (2015) mengembangkan pengajaran bahasa

Inggris MKU untuk Sekolah Tinggi Seni di Bandung dengan model post-method

pedagogy. Dengan post-method pedagogy ini pengajaran dirancang berdasarkan

analisis lingkungan, guru dan siswa, dan guru berperan sebagai perancang

program, penyusun bahan ajar, pelaksana pengajaran yang pada akhirnya akan

mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran yang telah dilakukannya. Kelemahan

dari model ini ialah tidak ada standar isi, proses, maupun hasil yang dapat

digunakan oleh guru lain karena semua ditentukan oleh guru yang bersangkutan

dengan mempertimbangkan konteks, kemampuannya dan keinginan siswa.

Aini (2008) telah mengembangkan silabus untuk pengajaran Bahasa

Inggris I di Jurusan Budidaya Pernanian Universitas Malikussaleh dengan

berfokus pada kemampuan membaca. Teks-teks bacaan yang digunakan adalah

bertema pertanian karena fakultas yang menggunakan adalah fakultas pertanian.

132
Dengan demikian pengajaran Bahasa Inggris Aini ini sebenarnya berbasis tema,

yaitu dengan tema pertanian.

Di antara empat model pengajaran Bahasa Inggris MKU di Indonesia yang

telah ada, model ke empat (Aini, 2008) yang paling dekat dengan model yang

dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu pengajaran berbasis tema. Perbedaannya

terletak pada tema yang diusung dan fokus study skills yang menjadi target utama

dalam penelitian ini namun tidak disentuh dalam program Aini.

Penelitian pengembangan Bahasa Inggris dengan pendekatan CBI telah

banyak dilakukan di luar negeri. Sinem (2011) mengembangkan kurikulum

Bahasa Inggris dengan CBI di Uludag University Turki. Kurikulum Bahasa

Inggris yang dikembangkannya terdiri dari beberapa mata kuliah yang

dikelompokkan menjadi tiga: 1. Intensive English Program, yang terdiri dari tiga

tingkat, yaitu English for Beginners, English for Intermediate, dan Introduction to

CBI; 2. Content-based programs yang terdiri dari dua tingkatan, yaitu Theme-

based courses dan Language-Content-task courses. Level 2 bagian 2 ini

dikelompokkan lagi menjadi 3, yaitu English for Professional I, English for

Professional 2 dan English in the workplace; 3) CALLA courses yang berupa

penulisan laporan penelitian atau jurnal dalam Bahasa Inggris. Kelompok satu

dapat diasumsikan sebagai general English, kelompok dua, adalah ESP, yang

terdiri dari EAP level 1 (EGAP), EAP level 2 (ESAP 1), EAP level 3 (ESAP 2)

dan EOP. Kelompok 3 adalah EAP tertinggi, yaitu penulisan artikel jurnal dalam

Bahasa Inggris.

133
Jika dibandingkan dengan kurikulum Sinem, program pembelajaran

Bahasa Inggris yang dikembangkan dalam penelitian ini hanya sebagian kecil dari

keseluruhan program pengembangan kemampuan Bahasa Inggris di perguruan

tinggi, yaitu pada program perkuliahan kelompok dua level satu, yaitu theme-

besed courses atau EAP level 1 atau EGAP. Meskipun hanya bagian kecil dari

keseluruhan rancangan untuk dapat menguasai Academic English, program yang

dikembangkan dalam penelitian ini lebih terfokus dan lebih detil, bukan hanya

sekedar rancangan melainkan sudah sampai pada model penerapannya.

Penelitian lain terkait dengan penerapan CBI di perguruan tinggi dilakukan

oleh Broadaway (2012) di Jepang. Dia menerapkan CBI dalam pengajaran Bahasa

Inggris di perguruan tinggi dengan memanfaatkan TEDTalk dan Moodle di

Universitas Kanazawa Gakuin Jepang. TEDtalk digunakan sebagai sumber isi

pelajaran yang berupa video-video presentasi tentang berbagai macam topik yang

dapat digunakan secara bebas oleh para pendidik di dalam kelas. Moodle

digunakan sebagai system manajemen pembelajaran. Dengan memanfaatkan

TEDTalk dan Moodle dia mengembangkan sebuah pembelajaran berbasis web

yang diberi tema “How we learn” yang terbagi menjadi 4 bagian, yaitu 1) Tedtalk

sebagai input teks, 2) Blended activities, yaitu kegiatan pembelajaran baik secara

online/offline di dalam kelas maupun online di luar kelas, 3) Presentasi, di akhir

proses pembelajaran, dan 4) Ujian akhir semester. Model pembelajaran ini

dirancang untuk mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris tahun ke empat agar mereka

mampu menggunakan Bahasa Inggris untuk mengkomunikasikan gagasan tentang

pendidikan secara global, sehingga forum diskusi menjadi bagian yang sangat

134
penting. Dia menemukan bahwa mengelola forum diskusi adalah bagian yang

sangat banyak memakan waktu, oleh karenanya jumlah peserta (mahasiswa) harus

menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jumlah kegiatan.

Terkait dengan penerapan pembelajaran berbasis tema dalam pembelajaran

Bahasa Inggris, penelitian lain dilakukan oleh Hernandez (2012) di Universitas

Tecnologica di Pereira Colombia. Dalam penelitiannya dia menemukan bahwa

pengajaran Bahasa Inggris dengan CBI dengan model theme based instruction

bagi mahasiswa tahun pertama, mampu mendorong mahasiswa untuk lebih aktif

dalam proses pembelajaran karena mereka lebih tertantang dan termotivasi untuk

mengkomunikasikan gagasan terkait dengan topik-topik yang relevan dengan

kehidupan mereka. Oleh karenanya, mahasiswa mampu mengembangkan

kemampuan berbahasa maupun pengetahuan mereka, dan dosen harus mampu

menyeimbangkan fokus antara bahasa dan isi dalam proses pembelajarannya.

Di Hongkong, Chi Cheung Ruby Yang (2009) melakukan penelitian

tentang penerapan Theme-based teaching dalam pengajaran Bahasa Inggris di

tingkat sekolah dasar. Dia menemukan bahwa dengan theme-based teaching

pembelajaran menjadi lebih terintegrasi dan terorganisasi dengan lebih baik.

Belajar Bahasa Inggris menjadi lebih bermakna dan kosakata menjadi lebih

mudah untuk dipelajari. Namun demikian, sebagai pendekatan pembelajaran

bahasa, theme-based teaching tidak secara otomatis menjadikan pembelajaran

lebih menarik dan menentang. Kemenarikan pembelajaran lebih banyak

ditentukan oleh variasi kegiatan pembelajaran, dan pemilihan materi yang sesuai.

135
Theme dan tasks harus sesuai dengan tingkat kemampuan bahasa siswa, sesuai

dengan minat dan keinginan siswa, dan relevan dengan kehidupan siswa.

Penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang sudah ada

ditemukan persamaan dan juga perbedaan. Jika dibandingkan dengan penelitian

yang sudah ada di Indonesia, penelitian ini memiliki persamaan konteks, namun

berbeda pada pendekatan dan fokus pengembangan. Jika dibandingkan dengan

penelitian dengan model pembelajaran yang sama di luar negeri, penelitian ini

memiliki seting atau konteks yang berbeda. Seting yang berbeda menimbulkan

konsekwensi yang berbeda pula, baik terkait dengan kebijakan, orang-orang yang

terlibat, dan sumber-sumber belajar yang tersedia. Selain itu, seting yang berbeda

juga memberikan warna yang berbeda dalam segala aspek. Selain seting, substansi

pembelajaran yang dikembangkan juga berbeda. Jika Broadaway berfokus pada

model pembelajaran blended learning dengan memanfaatkan bahan ajar yang

sudah ada dan hanya efektif jika digunakan untuk kelas kecil, sebaliknya,

penelitian ini mengembangkan pembelajaran untuk kelas besar dan dengan bahan

ajar yang masih harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Di

samping perbedaan-perbedaan yang ada, beberapa kesimpulan dari keempat

penelitian terdahulu yang menggunakan CBI atau theme-based instruction dapat

dijadikan acuan dalam pengembangan model pembelajaran yang sedang

dikembangkan. Kesimpulan tersebut antara lain, bahwa pengajaran berbasis tema

dapat diterapkan di konteks pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing

dengan efektif, namun memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dari pihak

pengembang dan penyelenggara.

136
C. Kerangka Pikir

Bahasa Inggris di perguruan tinggi dikenal dengan nama Bahasa Inggris

akademik (EAP). EAP adalah salah satu cabang dari ESP, yaitu Bahasa Inggris

yang dimaksudkan untuk membatu mahasiswa mengembangkan kemampuan

Bahasa Inggrisnya agar mereka dapat mempelajari dan mendalami bidang

studinya. EAP berisi bahasa Inggris yang digunakan dalam literatur-literatur di

perguruan tinggi dan bahasa Inggris yang digunakan mahasiswa dalam kegiatan

akademiknya, seperti membaca literature, mengikuti perkuliahan, membuat

catatan, berdiskusi, membuat makalah, mengerjakan soal ujian, dan sebagainya

(Hyland, 2006).

Di antara banyak kegiatan akademik ini, membaca merupakan kegiatan

pertama dan utama yang harus dilakukan mahasiswa di Indonesia, dan kegiatan

membaca inilah yang paling sering memerlukan kemampuan Bahasa Inggris.

Reading dapat dijadikan dasar pengembangan keterampilan EAP (Anderson,

2012). Oleh karenanya, model ini berfokus pada keterampilan membaca.

Untuk dapat mengembangkan keterampilan membaca dengan baik,

prinsip-prinsip pengajaran membaca bahasa asing harus diperhatikan. Seseorang

dapat dikatakan mampu membaca jika dia mampu menangkap makna dari teks

tulis yang dibacanya (Sugirin, 2013; Grabe & Stoller, 2011). Untuk dapat

menangkap makna dari teks tulis yang dibaca, seseorang harus menguasai bahasa

yang digunakan dan keterampilan membaca pemahaman. Pengajaran membaca

Bahasa Inggris harus melatih siswa untuk meningkatkan kemampuan mengenali

kata-kata secara efisien, mengembangkan kosa-kata yang banyak, menciptakan

137
kesempatan untuk membaca pemahaman, mengembangkan kesadaran akan

struktur teks, menyediakan kesempatan membaca ekstensif secara konsisten, dan

memotivasi siswa untuk membaca (Grabe & Stoller, 2011).

Untuk dapat memotivasi siswa agar berlatih membaca secara konsisten,

teks-teks yang digunakan dalam pembelajaran membaca perlu dipilih dengan

cermat. Siswa akan termotivasi untuk tetap membaca jika teks-teks sesuai dengan

minat dan kebutuhan mereka. Pemilihan teks sesuai dengan minat dan kebutuhan

siswa sangat dimungkinkan jika pembelajaran dikemas dengan model

pembelajaran berbasis tema.

Pengajaran Bahasa Inggris berbasis tema dapat dikembangkan dengan

pendekatan 6T, yang terdiri dari langkah-langkah penentuan theme, topics, texts,

threads, tasks, dan transition. Dengan model 6T akan dapat dikembangkan model

pembelajaran Bahasa Inggris yang utuh dan fleksibel (Stoller & Grabe, 1997).

Theme, text, topik dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Tasks atau kegiatan

belajar yang mencakup semua keterampilan bahasa dan keterampilan belajar

dikembangkan berdasar pada text yang sedang diajarkan. Threads dipilih untuk

menyatukan tema-tema, sedangkan transisi dipilih untuk menyatukan berbagai

topic dan task yang akan mengarah pada tujuan akhir pembelajaran.

Model pembelajaran berbasis tema dirasa sangat tepat untuk diadopsi

sebagai model pembelajaran Bahasa Inggris di perguruan tinggi di Indonesia.

Pembelajaran Bahasa Inggris berbasis tema adalah model CBI yang sangat

fleksibel. Dia dapat diterapkan di tingkat pendidikan apa saja, di bidang keahlian

apa pun, untuk peserta pembelajaran dengan kemampuan bahasa seberapapun, dan

138
dapat diajarkan oleh pengajar bahasa tanpa harus sangat mahir di bidang studi

tertentu (Davis, 2003). Selain fleksibel, model ini juga motivating (Hernandez,

2012; Yang, 2009). Tema tertentu akan sangat menarik bagi mahasiswa program

studi tertentu, misalnya musik untuk mahasiswa program studi Seni Musik,

teknologi untuk mahasiswa program studi teknik, dan sebagainya.

Selain mengajarkan Bahasa Inggris akademik, EAP juga mengajarkan

keterampilan belajar (Hyland, 2006; Brick, 2012; Nation, 2013). Keterampilan

belajar di perguruan tinggi perlu diajarkan kepada mahasiswa junior karena

mereka belum menguasainya (Rasanen, 2009; Shahidi, dkk. 2014). Study skills

perlu dilatihkan secara eksplisit karena sangat berperan dalam meningkatkan

academic performance mahasiswa (Hassanbeigi, dkk., 2011). Penelitian lain

menemukan bahwa kemampuan study skills berkorelasi positif terhadap hasil

belajar mahasiswa (Pepe, 2012; Bulent, dkk., 2015).

Untuk dapat mengajarkan study skills secara eksplisit, model pembelajaran

ini mengangkat tema study skills at university sebagai tema utama. Dengan

mengangkat tema ini, study skills diajarkan secara eksplisit melalui teks-teks

bacaan, dan dilatihkan melalui kegiatan pembelajaran baik di dalam maupun di

luar kelas. Dengan cara ini pula mahasiswa akan memperoleh pengetahuan

tentang study skills at university (content knowledge), mengembangkan

keterampilan belajar melalui kegiatan pembelajaran yang dilatihkan, dan sekaligus

praktik membaca baik secara intensif di dalam kelas, maupun ekstensif di luar

kelas. Oleh karenanya, dengan tema ini, mahasiswa belajar keterampilan

membaca dan sekaligus keterampilan belajar di perguruan tinggi. Model

139
pembelajaran seperti ini dinamakan model pembelajaran langsung atau direct

instruction (Joyce, Weil, & Calhoun, 2009). Penerapan pengajaran langsung

mampu menghasilkan pembelajaran yang efektif (Rosenshin, 2008). Pembelajaran

langsung juga terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa (Wenno, 2014).

Kemandirian belajar adalah bagian dari keterampilan belajar di perguruan

tinggi (Allan, 2010). Kemandirian belajar ini sangat penting untuk dilatihkan

dalam pembelajaran di perguruan tinggi pada umumnya, maupun dalam

pembelajaran Bahasa Inggris pada khususnya. Kemandirian belajar adalah salah

satu prinsip dalam pembelajaran Bahasa Inggris komunikatif (Brown, 2006;

Kumaravadivelu, 2006; dan Nation & Macalister, 2010). Kemandirian belajar

mampu meningkatkan academic performance, meningkatkan motivasi dan

percaya diri, meningkatkan kesadaran siswa akan kelemahan dan kekurangan

dirinya sehingga mampu mengelola diri untuk mengatasinya (Meyer, dkk., 2008)

Kemandirian belajar dapat dilatihkan melalui pemodelan oleh guru,

penggunaan kegiatan pembelajaran yang mampu membuat mahasiswa belajar

mandiri, menyediakan fasilitas-fasilitas untuk belajar mandiri, dan pengajaran

keterampilan belajar secara langsung (Turner, 1989). Pemodelan oleh guru

bagaimana menjadi pembelajar mandiri adalah langkah pertama. Guru mandiri

akan membuat siswa mandiri. Guru mampu mengarahkan siswa mencapai

kemandirian belajar dengan menciptakan situasi dan kondisi dan melatihkan

strategi belajar mandiri kepada siswa (Johnson, Pardesi, & Paine, 1990 dalam

Thanasoulas, 2000). Kegiatan pembelajaran yang banyak melatihkan kemandirian

belajar adalah riset dan kerja projek (Broad, 2006). Fasilitas yang dapat

140
mendorong kemandirian belajar adalah tersedianya sarana dan bahan ajar yang

dapat digunakan oleh mahasiswa untuk belajar mandiri, seperti perpustakaan dan

Internet. Penggunaan materi ajar dengan ICT/Internet membuat pembelajaran

motivating dan menciptakan kemandirian belajar mahasiswa (Pollard, 2015;

Elfurqaan, 2014). Selain itu, kemandirian belajar juga perlu diajarkan secara

langsung (Turner, 1989).

Pengajaran kemandirian belajar secara langsung dapat diciptakan dengan

mengangkat topik kemandirian belajar sebagai bagian dari tema study skills at

university. Dengan topik ini mahasiswa membaca teks-teks tentang kemandirian

belajar sehingga memperoleh pengetahuan tentang kemandirian belajar di

perguruan tinggi, yang meliputi pengertiannya, ciri-cirinya, dan cara

miningkatkannya. Dengan pemahaman ini mereka diharapkan timbul kesadaran

dan keinginan untuk meningkatkan kemandirian belajarnya. Selain melalui tema

dan topik bacaan, strategi-strategi belajar juga dilatihkan melalui kegiatan

pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas, dengan modul dan blended

learning.

Dengan model pembelajaran berbasis tema yang berfokus pada

keterampilan membaca, dengan mengangkat study skills at university sebagai

tema utama, dan yang di dalamnya termuat topik tentang kemandirian belajar, dan

yang disampaikan melalui blended learning yang memungkinkan mahasiswa

belajar membaca secara intensif di dalam kelas dan secara ekstensif di luar kelas,

mahasiswa akan mampu mengembangkan keterampilan membaca, keterampilan

belajar di perguruan tinggi, dan juga mengembangkan kemandirian belajar

141
mereka. Dengan tiga keterampilan ini mereka akan meningkatkan learning

capacity mereka, yaitu mampu mempelajari bidang studi mereka dengan lebih

baik. Kerangka pikir ini dapat divisualkan dengan gambar berikut.

Gambar 6. Kerangka Pikir Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa


Inggris Berbasis Tema

Gambar 6 menunjukkan tiga fitur pembelajaran Bahasa Inggris berbasis

tema yang dikembangkan, yaitu berfokus pada Reading, berfokus pada study

skills, dan penerapan blended learning.Tiga capaian pembelajaran dari penerapan

model pembelajaran ini ialah keterampilan membaca, keterampilan belajar, dan

kemandirian belajar.

Keterampilan membaca adalah kemampuan pembelajar untuk menangkap

makna dari teks yang dibacanya yang ditandai dengan pemahaman, penguasaan

language items (grammar, vocabulary, dan discourse markers), penguasaan

strategi membaca akademik, kemampuan mengenali bentuk tulisan dengan cepat,

dan menjaga motivasi untuk tetap membaca.

142
Keterampilan belajar adalah pengetahuan dan keterampilan belajar di

perguruan tinggi yang meliputi berbagai pendekatan belajar di perguruan tinggi,

kemandirian belajar, academic reading skills, information skills, making good

notes, ethics in education, dan presentation skills.

Kemandirian belajar berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap terkait

dengan kemandirian belajar. Siswa paham apa yang dimaksud dengan

kemandirian belajar dan bagaimana cara mengembangkannya, mempunyai

keterampilan mengatur waktu dan diri untuk pengembangan diri, dan memiliki

sikap positif terhadap pembelajaran, motivasi belajar tinggi, memiliki kesadaran

terhadap potensi dan kelemahannya, dan memiliki keberanian untuk bertanya dan

mencoba hal baru.

•Language items (vocab,


grammar)
Reading •Reading strategies
Skills
•Motivation
•Comprehension

•Independent learning
•Academic reading
Study Skills •Ethics in education
•Information skills
•Presentation skills

•Knowledge
Independent
Learning
•Skills
•Attitude

Gambar 7. Capaian Pembelajaran dan Indikator Capaian Pembelajaran


Bahasa Inggris Berbasis Tema.

Berdasarkan pola pikir di atas, diusulkan model pembelajaran yang

dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran komunikatif dengan

143
kerangka CBI, dan lebih khusus lagi, dengan model theme-based teaching

(pembelajaran berbasis tema) dengan spesifikasi sebagai berikut.

1. Berbasis tema dan tema yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan.

Tema sebagai starting point dalam pengembangan program

memungkinkan terjadinya pembelajaran yang bermakna, sesuai dengan

kebutuhan siswa, memberikan konteks penggunaan bahasa yang jelas, dan

siswa berlatih menggunakan bahasa target dalam situasi yang nyata.

2. Berfokus pada pengembangan keterampilan belajar di perguruan tinggi

(Study skills at University), oleh karenanya fokus ini diangkat menjadi

tema pembelajaran, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan

pendekatan 6T.

3. Berfokus pada reading, yaitu pengajaran terutama dimaksudkan untuk

mengembangkan kemampuan membaca pustaka berbahasa Inggris sesuai

dengan bidang studi mahasiswa. Melalui reading pula, mahasiswa

diharapkan mampu meningkatkan penguasaan kosakata, termasuk di

dalamnya kosakata akademik. Selain itu, reading juga menyediakan input

bahasa yang utuh sebagai discourse lengkap dengan konteksnya sebagai

alat komunikasi. Selain membaca di kelas, penugasan untuk Extensive

reading dikelola agar mahasiswa mampu mengembangkan dirinya ke arah

kemandirian belajar (autonomous learning) dan mengembangkan

kelancaran berbahasa.

4. Pembelajaran disampaikan dengan blended learning, yaitu secara tatap

muka 16 kali yang dilengkapi dengan materi dan tugas-tugas baik mandiri

144
maupun kelompok secara online maupun offline. Pembelajaran di kelas

difokuskan pada pelatihan mikro skills yang diperlukan, intensive reading

untuk menerapkan micro skills, dan kegiatan komunikatif lainnya.

Latihan-latihan di luar kelas dimaksudkan untuk mengembangkan

kemamdirian belajar, meningkatkan language exposure, memperbanyak

praktik penggunaan bahasa untuk meningkatkan fluency.

5. Materi kebahasaan dikembangkan berdasarkan teks-teks bacaan yang

dibahas dan yang diperlukan mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas

yang diberikan. Dengan cara ini, butir-butir bahasa disajikan secara

kontekstual.

6. Integrated, atau keterampilan bahasa terintegrasi, artinya meskipun

berfokus pada reading, keterampilan bahasa lain juga muncul dalam

proses pembelajaran. Integrasi juga terwujud antara isi, bahasa, dan

keterampilan belajar. Pembelajaran bahasa yang terpadu memungkinkan

penggunaan bahasa yang bermakna sesuai dengan penggunaan bahasa

yang sesungguhnya.

7. Urutan pengajaran meliputi pre-reading, while-reading, dan post

reading.Urutan ini sesuai dengan prinsip pengajaran reading.

8. Teks otentik dipilih dari buku-buku teks perguruan tinggi, artikel-artikel

dari surat kabar, majalah, jurnal, maupun dari Internet.

9. Materi pembelajaran yang dikembangkan terbagi menjadi dua, yaitu

bahan untuk pembelajaran di kelas secara tatap muka yang berbobot 2

SKS (16 kali pertemuan), dan bahan ajar untuk belajar mandiri dalam

145
bentuk modul baik hard copy maupun soft copy yang di upload di Internet

melalui program Be-smart yang ada di UNY.

Model pembelajaran bahasa Inggris MKU yang diusulkan dapat divisualkan

dalam gambar berikut.

Gambar 8. Model Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Tema

Gambar di atas menjelaskan konsep pembelajaran bahasa komunikatif dengan

model pembelajaran berbasis tema. Mahasiswa akan belajar bahasa manakala

mereka mendapatkan input berupa teks-teks baik yang mereka dengar maupun

baca, atau, mereka mendapatkan language exposure. Teks-teks yang dipilih

146
sebagai input adalah teks akademik dengan tema-tema sesuai bidang studi mereka

agar mereka merasa bahwa apa yang mereka pelajari berguna dan sesuai dengan

kebutuhan dan minat mereka. Teks-teks yang dipilih adalah teks otentik sehingga

mahasiswa mendapatkan input teks yang tepat dan layak sesuai dengan

penggunaannya. Input harus melimpah, otentik dan comprehensible.

Tidak semua input yang diberikan kepada mahasiswa akan dapat diterima

dan menjadi pengetahuan baru bagi mereka. Hanya input yang comprehensible

saja yang akan menjadi pengetahuan baru (intake). Intake meliputi tiga hal, yaitu

pengetahuan isi/content knowledge, pengetahuan strategi belajar, dan

pengetahuan bahasa.Untuk meningkatkan intake, mahasiswa perlu mendapatkan

perlakuan berupa training yang tercermin dalam tugas atau aktivitas

pembelajaran, baik di dalam kelas maupun tugas-tugas belajar di luar kelas.

Disain proses pembelajaran yang diadopsi dalam model ini adalah model

pembelajaran terintegrasi yang berfokus pada reading. Prosedur pembelajaran

adalah sebagai berikut:

1. Pre-reading

2. While-reading

3. Post-reading

Proses pembelajaran yang dilaksanakan dangan sebaik-baiknya diharapkan

dapat meningkatkan intake yang selanjutnya akan menghasilkan respon, baik

respon langsung maupun respon yang tertunda.

Respons mahasiswa dapat berupa pemahaman maupun kegiatan

komunikasi, dan ini merupakan output dari kegiatan pembelajaran. Output yang

147
dihasilkan (content, language, dan learning strategy knowledge) akan senantiasa

digunakan dalam proses pembelajaran berikutnya, sehingga pengetahuan dan

keterampilan ini menjadi bagian dari kehidupan akademik mahasiswa, dan pada

akhirnya terbentuklah mahasiswa dengan kemandirian belajar yang tinggi

(autonomous learners). Disain model pembelajaran ini diajukan dengan asumsi-

asumsi sebagai berikut.

1. Belajar Bahasa Inggris di perguruan tinggi adalah untuk menguasai


kemampuan Bahasa Inggris bidang akademik (EAP).
2. Belajar Bahasa Inggris akan terjadi manakala mahasiswa mendapatkan
input berupa language exposure (dalam bentuk teks akademik) yang
melimpah dan comprehensible, memprosesnya, sehingga menghasilkan
output belajar berupa pemahaman dan respon komunikatif.
3. Setiap mahasiswa, apapun bidang studinya, memerlukan keterampilan
belajar yang sama, yaitu study skills at higher education, yang tercakup
dalam EGAP.
4. Study skills at higher education yang tercakup dalam EGAP meliputi
kemampuan memahami teks akademik (finding topics, main ideas, detail
information, inferencing, differentiating facts from opinions), making good
notes and summaries, approaches of learning at higher education, ethics
in education, dan presentation skills.
5. Keterampilan membaca akademik adalah keterampilan yang paling
diperlukan mahasiswa di konteks EFL.
6. Keterampilan membaca akademik dan keterampilan belajar di perguruan
tinggi tidak mungkin dapat dikuasai jika hanya mengandalkan
pembelajaran di dalam kelas. Oleh karena itu, mahasiswa perlu dilatih
belajar mandiri di luar kelas untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang telah dipelajari di kelas.
7. Keterampilan membaca akademik, keterampilan belajar di perguruan
tinggi, dan kemandirian belajar akan mampu meningkatkan kapasitas

148
mahasiswa sehingga mereka akan mampu belajar bidang ilmu mereka
dengan lebih baik. Hal ini dikarena mereka mampu membaca sumber-
sumber informasi dari Internet, buku-buku teks, artikel jurnal, sumber-
sumber belajar lainnya dalam Bahasa Inggris.
8. Meningkatnya kapasitas mahasiswa dengan penguasaan Bahasa Inggris
dan study skills at higher education akan meningkatkan hasil belajar
bidang studi mereka, dan meningkatkan daya saing mahasiswa di dunia
global.

D. Pertanyaan Penelitian

1. Apa kebutuhan institusi dan mahasiswa terhadap pembelajaran Bahasa

Inggris di UNY?

2. Apa tujuan pembelajaran Bahasa Inggris sebagai mata kuliah umum di

UNY?

3. Bagaimana silabus perkuliahan dikembangkan?

4. Model pembelajaran Bahasa Inggris MKU berbasis tema seperti

apakah yang dikembangkan?

5. Tema apa saja yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa?

6. Apa saja isi pembelajaran?

7. Bagaimana mengembangkan materi ajarnya?

8. Bagaimana proses pembelajarannya?

9. Apa peran dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran?

10. Bagaimana mengevaluasi hasil belajar mahasiswa?

11. Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan?

149

Anda mungkin juga menyukai