Anda di halaman 1dari 48

KODE MODUL: B.

MODUL BIMBINGAN TEKNIS PENGEMBANGAN DAN


PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN TK, SD, DAN SMP DALAM MODIFIKASI
DAN ADAPTASI KURIKULUM, PEMBELAJARAN, DAN
PENILAIAN DALAM LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF

MATERI B.1
KERAGAMAN PESERTA DIDIK, IDENTIFIKASI, ASESMEN
DIAGNOSTIK, DAN INTERVENSI

Disampaikan Oleh:

Tim Nara Sumber Lintang Samudra Edukasi Yayasan MDP Indonesia

DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA, DAN OLAHRAGA


KABUPATEN KARAWANG
TAHUN 2021
KODE MODUL : B1
JUDUL MATERI : KERAGAMAN PESERTA DIDIK, IDENTIFIKASI, ASESMEN
DIAGNOSTIK, DAN INTERVENSI
WAKTU : 5 (LIMA) A. 45 MENIT (2 JP TATAP MUKA, 3 JP TUGAS
MANDIRI)
HARI/TANGGAL : 8 NOVEMBER 2021
NARA SUMBER : TIM LINTANG SAMUDRA EDUKASI YAYASAN MDP
INDONESIA

B1. Keragaman Peserta Didik, Identifikasi, Asesmen Diagnostik, dan Intervensi


1. Deskripsi
Dalam modul ini akan dijelaskan mengenai keragaman peserta didik, identifikasi
asesmen diagnostic, dan intervensi peserta didik berkebutuhan khusus atau penyandang
disabilitas dalam layanan pendidikan inklusif yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh
guru dan/atau tim pada satuan pendidikan umum.

2. Tujuan
Setelah mempelajari materi modul B1 tentang keragaman peserta didik, identifikasi,
dan asesmen diagnostik peserta dapat:
a. Keragaman Peserta Disik
1) Menjelaskan keragaman peserta didik
2) Menjelaskan pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
3) Menjelaskan pengertian peserta didik penyandang disabilitas
4) Menjelaskan pengertian peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa
5) Memberi contoh jenis-jenis peserta didik berkebutuhan khusus atau ragam
disabilitas
6) Menjelaskan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengakomodasi peserta
didik berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas dalam layanan pendidikan
inklusif
b. Identifikasi
1) Menjelaskan pengertian identifikasi
2) Menjelaskan tujuan identifikasi
3) Menyebutkan petugas yang melaksanakan identifikasi
4) Menyebutkan fungsi identifikasi
5) Menjelaskan cara melakukan identifikasi
6) Menjelaskan prosedur pelaksanaan identifikasi
7) Menjelaskan cara menyusun instrument identifikasi
c. Asesmen Diagnostik
1) Menjelaskan pengertian asesmen diagnostik dan nondiagnostik
2) Menjelaskan tujuan asesmen
3) Menjelaskan penggolongan dan jenis asesmen
4) Menjelaskan bentuk asesmen
5) Menyebutkan petugas/pelaksana asesmen
6) Menjelaskan prosedur asesmen
7) Memberikan contoh instrumen asesmen.
d. Intervensi
1) Menjelaskan pengertian intervensi
2) Menjelaskan tujuan intervensi
3) Fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
4) Menjelaskan prinsip layanan intervensi
5) Menjelaskan ruang lingkup layanan intervensi

3. Strategi Pembelajaran
b. Perkenalan antara narasumber/fasilitator dengan peserta
c. Menayangkan video tentang keragaman peserta didik
d. Tanya jawab mengenai keragaman peserta didik
e. Paparan materi mengenai: 1) keragaman peserta didik, pengertian peserta didik
berkebutuhan khusus, penyandang disabilitas, peserta didik yang memiliki kecerdasan
dan/atau bakat istimewa, jenis-jenis peserta didik yang memerlukan layanan
pendidikan khusus, ragam disabilitas, dan penerimaan peserts didik baru dalam
layanan pendidikan inklusif.; 2) pengertian identifikasi, tujuan identifikasi, petugas
yang melaksanakan identifikasi, fungsi identifikasi, cara melakukan identifikasi,
prosedur identifikasi, dan cara menyusun instrument identifikasi; 3) pengertian
asesmen diagnostik dan non diagnostik, tujuan asesmen diagnostik, penggolongan
dan jenis asesmen, bentuk asesmen, petugas/pelaksana asesmen, prosedur asesmen,
dan contoh isntrumen asesmen; dan 4) pengertian asesmen diagnostik dan
nondiagnostik, tujuan asesmen, penggolongan dan jenis asesmen, bentuk asemen,
petugas pelaksana asesmen, prosedur asesmen, dan contoh instrument asesmen; 5)
pengertian intervensi, tujuan intervensi, fase-fase dalam pelaksanaan intervensi,
prinsip pelaksanaan intervensi, dan ruang lingkup layanan intervensi.
f. Tanya jawab tentang keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi
g. Latihan dan tugas mandiri
h. Menyimpulkan materi keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi

4. Media
a. Video tentang keragaman peserta didik
b. Laptop
c. LCD
d. Layar
e. Sound system
f. PPT Materi keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi
g. Kertas warna
h. Kertas flipchart
i. Spidol berwarna
j. Penggaris
k. Pensil
l. Pulpen
m. Lem kertas
n. Doubletip foam

5. Uraian Materi
a. Keragaman peserta didik
Setiap manusia memiliki potensi yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa. Setiap
manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.
Setiap manusia sesungguhnya memiliki banyak kecerdasan (multiple intelegnece).
Potensi dasar manusia harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terintegrasi
dalam pelaksanaan pembelajaran, walau dalam perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan. Faktor-faktor heriditas dan lingkungan
tentunya akan memberikan warna tersendiri pada manusia. Semuanya saling berkaitan dan
mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor lainnya.
Manusia adalah inti dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
manusia adalah subjek atau pelaku pendidikan. Oleh sebab itu berbicara masalah pendidikan
harus diformulasikan dan dikaitkan dengan konsep hakekat manusia sebagai pelakunya.
Keragaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat di mana terdapat perbedaan dalam
berbagai bidang terutama suku bangsa, ras, gender, agama, idelogi, budaya “masyarakat yang
majemuk”. Keragaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat yang terdapat perbedaan,
contohnya di Indonesia. Indonesia terbagi menjadi beberapa daerah provinsi. Setiap daerah
memiliki pakaian adat yang beragam atau berbeda-beda. Dalam suatu ikatan yang kokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun berbeda-beda namun tetap bersatu.
Perbedaan bukanlah hal yang harus dipermasalahkan atau diperdebatkan. Keragaman
merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan ditemukan keragaman karakteristik
anak-anak atau individu di lingkungan sekitar. Keragaman yang dijumpai antara lain usia,
jenis kelamin, pekerjaan, agama dan kepercayaan yang dianutnya, dan sebagainya.
Keragaman sebenarnya mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati
satu sama lain. Keragaman dapat menumbuhkan rasa toleransi agar lingkungan di sekitar kita,
baik itu lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan pekerjaan tetap aman,
nyaman, dan menyenangkan. Dengan memahami keragaman setiap individu maka sikap
tenggang rasa akan lebih baik dalam menghargai perasaan orang lain. Dengan memahami
keragaman maka akan tumbuh saling menghargai antar sesama, belajar untuk tidak
membeda-bedakan, tidak menganggap diri adalah yang paling baik, dan dapat memperkaya
pengetahuan dan penguatan karakter sehingga membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pada satuan pendidikan beragam. Kelas merupakan bentuk kecil dari
keragaman yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat beragam karena setiap individu yang
ada di dalamnya juga beragam. Pada hakekatnya kita terbiasa dengan keragaman. Sejak usia
dini kita disuguhkan oleh keragaman di sekeliling kita. Semesta ini diciptakan dengan
keragaman. Keragaman adalah sesuatu yang biasa, sesuatu yang normal adanya.
Begitu pula dengan kemapuan peserta didik didik. Kemampuan anak beragam antara
lain dalam kemampuan kinestetik, kemampuan naturalis, kemampuan eksistensial,
kemampuan linguistic, kemampuan logic mathematic, kemampuan visual dan sosial,
kemampuan musikal, kemampuan interpersonal, dan kemampuan intrapersonal.
Peserta didik tumbuh dan berkembang seiring waktu. Pertumbuhan adalah suatu
pertambahan atau perubahan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme
sebagai suatu kesatuan. Perkembangan adalah proses perubahan yang berlangsung sepanjang
rentang kehidupan, termasuk di dalamnya pola berfikir, hubungan sosial, dan kemampuan
motorik. Fungsi perkembangan dapat memberikan harapan yang realistis terhadap peserta
didik. Memungkinkan orang tua dan guru memberikan pembelajaran atau pendidikan yang
tepat sesuai dengan pola dan tingkat perkembangan peserta didik. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan antara lain genetik (nature), lingkungan (nurture), dan makanan (nutritionis).
Menurut Salmana Billah (Kompasiana, 17 Januari 2015) faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan adalah: “1. Herediitas (bawaan atau keturunan); 2. Kondisi Lingkungan; 3.
Peran Kematangan; 4. Lingkungan Sosial; 5. Status Sosial; 6. Budaya, Ras, dan Etnis; dan 7.
Konteks Sejarah).
Di sekitar kita bahkan di kelas ditemukan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta
didik berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan
memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan yang diakibatkan oleh faktor internal dan
eksternal atau kombinasi dari keduanya, sehingga diperlukan modifikasi dan adaptasi dalam
pembelajaran (tujuan, bahan, metode/media, dan penilaian).
b. Pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Selanjutnya pada Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:” Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam konteks pendidikan
kata “anak” bisa digunakan untuk sebutan peserta didik pada Taman Kanak-kanak (TK) atau
anak yang belum bersekolah yang ada di masyarakat yang usianya belum 18 (delapan) belas
tahun. Sebutan peserta didik di SD, SMP, dan SMA adalah siswa. Berarti siswa adalah
peserta didik pada SD, SMP, dan SMA/SMK. Mengenai pengertian peserta didik dijelaskan
pada Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagai berikut: “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.”
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, istilah atau sebutan bagi peserta didik yang
memiliki hambatan atau gangguan fisik, emosional, mental, dan sosial disebut peserta didik
yang memiliki “kelainan”. Peserta didik tersebut memerlukan pendidikan khusus. Peserta
didik yang memerlukan pendidikan khusus termasuk juga peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Namun seiring dengan gerakan-gerakan
inklusifitas yang humanis maka sebutan peserta didik yang memiliki kelainan disebut
“peserta didik berkebutuhan khusus”. Istilah lain peserta didik yang memiliki kalinan yaitu
“penyandang disabilitas” seperti tertuang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas. Sebutan atau istilah lainnya yang senada dengan kelainan atau
penyandang disabilitas adalah peserta didik yang memiliki “ketunaan”, “hambatan”, atau
“gangguan.”
Berbicara peserta didik berkebutuhan khusus sebenarnya berbicara pula peserta didik
berkebutuhan khusus yang sifatnya permanen dan temporer. Jika dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 maka PDBK yang sifatnya permanen tersebut adalah peserta
didik yang memiliki kelainan (penyandang disabilitas) dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa yang memerlukan pendidikan khusus seperti dijelaskan pada Pasal
32 ayat (1) sebagai berikut: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Peserta didik berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer adalah peserta didik yang
berasal dari daerah yang terpencil atau terbelakang, anak yang berasal dari masyarakat adat
yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi
ekonomi. Anak tersebut memerlukan pendidikan layanan khusus seperti dijelaskan pada Pasal
32 ayat (2) sebagai berikut: “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan
spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children)
ketika istilah ini digunakan karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebutan untuk jenis pendidikannya pun
berubah yang tadinya “Pendidikan Luar Biasa” pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
menjadi “Pendidikan Khusus” pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang secara pendidikan
memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya. PDBK
ini memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and
development), oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan
hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing peserta
didik. Istilah yang digunakan bagi peserta didik yang memiliki hambatan/kelainan atau
penyandang disabilitas pada beberapa peraturan perundang-undangan adalah “Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus.”
Di bawah ini disajikan tabel mengenai peristilahan peserta didik berkebutuhan khusus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut.
Tabel 1 Peristilahan/Nomenklatur Peserta Didik Berkebutuhan Khsus

No Peristilahan/ Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur atau


Nomenklatur Anak yang yang Menjadi Rujukan Peristilihan/Nomenklatur
Membutuhkan Pendidikan Khusus
1 Peserta Didik yang Memiliki UU No. 20 Tahun 2003
Kelainan dan Memiliki Potensi PP No. 19 Tahun 2005
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa PP No. 17 Tahun 2010
Permendiknas No. 32 Tahun 2008
Permendiknas No. 70 Tahun 2009
Dst.
2 Peserta Didik Berkebutuhan Khusus Perdirjen Dikdasmen Kemendikbud No
10/D/KR/2017
Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 2951/D/ D6/HK/2017
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi
Khusus
Dst.
3 Penyandang Disabilitas UU No 35 Tahun 2014
UU No 8 Tahun 2016
PP No 13 Tahun 2020
PP No 57 Tahun 2021
Permendikbud No 32 Tahun 2018
Permendikbud No 1 Tahun 2021
Dst.
Jadi siapapun yang menyebut peserta didik berkebutuhan khusus, perserta didik yang
memiliki kelainan, peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa,
dan peserta didik penyandang disabilitas tidak perlu dipertentangkan atau diperdebatkan,
semuanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembahasan pada modul
ini difokuskan pada peserta didik yang memerlukan layanan pendidikan khusus secara
inklusif (pendidikan inklusif), terdiri atas: 1) peserta didik yang memiliki kelainan atau
penyandang disabilitas dan 2) peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa.
c. Jenis-ienis peserta didik berkebutuhan khusus dan ragam disabilitas
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan proses diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 angka 4 UU No 20 Tahun
2003). Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga
negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus. (Pasal 5 ayat 2 dan ayat 4 UU No 20 Tahun 2003).
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2003).
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.(Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003).
Pasal 52 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa: “Anak yang memiliki keunggulan
diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
khusus.” “Pasal 51 UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No
23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa: “Anak Penyandang Disabilitas
diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
inklusif dan/atau pendidikan khusus.”
Dari pasal-pasal dan ayat dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 dan UU No 23 Tahun 2002 di atas menyatakan bahwa warga negara
atau peserta didik yang berhak memperoleh “pendidikan khusus” yaitu
“peserta didik yang memiliki kelainan (penyandang disabilitas)” dan “peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.”
Istilah “peserta didik berkebutuhan khusus” dalam modul ini artinya
sama dengan “peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan khusus.”

Peserta Didik yang Memiliki Kelainan


atau Penyandang Disabilitas
Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus
Peserta Didik yang Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Gambar 1 Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Untuk memahami lebih jelas mengenai penyandang disabilitas di bawah ini
akan dipaparkan pengertian disabilitas dan ragam disabilitasnya. Istilah penyandang
disabilitas semakin sering didengar seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Istilah itu pengganti kata “Cacat.”
Atau “Penyandang Cacat” yang sebelumnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1977 tentang Penyandang Cacat. Istilah “Penyandang Disabilitas”, sebenarnya
sudah lama dikenal di negara kita dan istilah tersebut sudah digunakan pada Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa: ”Anak Penyandang Disabilitas adalah
Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam
jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi
penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.” Berikutnya pada Pasal 51 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa: ”Anak Penyandang Disabilitas
diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif
dan/atau pendidikan khusus.” Istilah yang senada dengan penyandang disabilitas, di
kalangan masyarakat dikenal juga istilah difabel atau penyandang difabel.
Kita mengetahui bahwa negara kita menjamin kelangsungan hidup setiap
warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan
hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia
dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat
Indonesia. Namun dalam kenyataannya sebagian besar penyandang disabilitas di
Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin disebabkan masih
adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak
penyandang disabilitas.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan
fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas).
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, ragam penyandang disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas Fisik;
b. Penyandang Disabilitas Intelektual;
c. Penyandang Disabilitas Mental; dan
d. Penyandang Disabilitas Sensorik.
Ragam disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka
waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Secara lebih rinci mengenai ragam disabilitas diatur pada Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang
Disabilitas menjadi:
 Penyandang Disabilitas Fisik
 Penyandang Disabilitas Intelektual
 Penyandang Disabilitas Mental
 Penyandang Disabilitas Sensorik (Disabilitas netra dan disabilitas rungu dan/atau
disabilitas wicara)
Pasal 9 ayat (1), (2), (3), dan (4) PP No 13 Tahun 2020 menjelaskan bahwa:
“Penerima manfaat akomodasi yang layak merupakan peserta didik penyandang disabilitas.
Peserta didik penyandang disabilitas diberikan akomodasi yang layak berdasarkan ragam
penyandang disabilitas. Ragam penyandang disabilitas meliputi: penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental, dan penyandang disabilitas
sensorik (disabilitas netra dan disabilitas rungu dan/atau disabilitas wicara). Ragam
penyandang disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi ganda dalam jangka
waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pada penjelasan Pasal 9 ayat (3) dan (4) lebih spesifik menjelaskan maksud
penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, sensori, dan penyandang disabilitas ganda
atau multi ganda, sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas fisik"
adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi,
celebral palsg (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil; Yang dimaksud dengan
"Penyandang Disabilitas intelektual" adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat
kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita, dan doun
sgndrome; Yang. dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas mental" adalah terganggunya
fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar,
depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b. disabilitas perkembangan yang
berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif; Yang
dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas sensorik" adalah terganggunya salah satu fungsi
dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, danf atau disabilitas wicara;
dan Yang dimaksud dengan "Penyandang Disabilitas ganda atau multi" adalah Penyandang
Disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas
rurngu/wicara dan disabilitas netra-tuli. Yang dimaksud dengan "dalam jangka waktu lama"
adalah jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen.”
Ragam disabilitas atau jenis peserta didik berkebutuhan khusus sebagai berikut:

Tabel 2 Ragam Disabilitas dan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

RAGAM JENIS KEKHUSUSAN


DISABILITAS
Disabilitas Fisik Tunadaksa Ringan Tunadaksa Sedang Cerebral Palsy
Disabilitas Intelektual Tunagrahita Ringan Tunagrahita Sedang Down Syndrom
Disabilitas Mental Hyperaktif Autis
Disabilitas Sensorik Tunanetra Tunarungu Tunawicara
Disabilitas Ganda dan Tunaganda/Hambatan Tunalaras
Kelompok Lain Majemuk
Lamban Belajar (Slow ADD/ADHD
Learner)
Kesulitan Belajar Disleksia (Kesulitan Membaca)
(Learning Disabilities) Diskalkulia (Kesulitan Berhitung)
Disgrafia (Kesulitan Menulis)
Didfpaksia (Kesulitan Koordinasi Gerak(

d. Peserta Didik Berkebutuhan Khusus yang Memiliki Kelainan atau Penyandang


Disabilitas
1) Peserta didik yang memiliki hambatan penglihatan (tunanetra/Disabilitas
Sensorik)
Peserta didik tunanetra adalah peserta didik yang memiliki hambatan
dalam penglihatan yang sedemikian rupa. Tunanetra dapat diklasifikasikan
kedalam dua golongan yaitu buta total (blind) dan kurang awas (low vision).
Menurut Kaufman dan Hallahan tunanetra adalah anak yang memiliki lemah
penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam
indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang
lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Prinsip yang harus diperhatikan
dalam memberikan pengajaran kepada peserta didik tunanetra adalah media yang
digunakan harus bersifat  taktual dan bersuara, contohnya adalah
penggunaan tulisan Braille, gambar timbul, benda model, dan benda nyata,
sedangkan media yang bersuara adalah radio, tape recorder, VCD, DVD,
televisi, dan sebagainya. Untuk membantu tunanetra beraktifitas di satuan
pendidikan khusus (Sekolah Luar Biasa) mereka diberikan program kebutuhan
khusus Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi disingkat
POMSK. POMSK adalah Program Kebutuhan Khusus pada Satuan Pendidikan
SDLB, SMPLB, dan SMALB di SLB.
Program kebutuhan khusus tidak ada pada struktur kurikulum satuan
pendidikan umum/ kejuruan/keagamaan. Untuk itulah maka perlu adanya sebuah
upaya di satuan pendidikan umum/kejuruan/keagamaan agar peserta didik
tunanetra mendapat kesempatan dalam mengembangkan POMSK. POMSK
diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta
bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat
dari alumunium). Apabila hal ini tidak dilakukan di satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif maka peserta didik berkebutuhan khusus
tunanetra tersebut akan ketinggalan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan
dan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupannya yaitu orientasi,
mobilitas, sosial, dan komunikasi.
2) Peserta didik yang memiliki hambatan pendengaran (tunarungu/disabilitas
sensorik)
Peserta didik tunarungu adalah peserta didik yang memiliki hambatan
dalam pendengaran yang sedemikian rupa. Peserta didik dengan gangguan
pendengaran atau tunarungu mengalami kehilangan pendengaran meliputi
seluruh gradasi atau tingkatan baik ringan, sedang, berat, dan sangat berat yang
akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya.
Ketunarunguan dikelompokkan atau digolongkan kedalam kurang dengar
(hard of hearing) dan tuli (deaf). Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan pendengaran adalah gangguan pendengaran sangat ringan (27-40 dB),
gangguan pendengaran ringan (41-55dB), gangguan pendengaran sedang (56-
70dB) gangguan pendengaran berat (71-90dB), gangguan pendengaran
ekstrim/tuli (di atas 91dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran
peserta didik tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka
sering tertukar pemahamannya dengan tunawicara. Bagi peserta didik tunarungu
yang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan bahasa oral/lisan, cara
berkomunikasi dengan peserta didik tunarungu menggunakan bahasa isyarat,
untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat
bahasa berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia dikenal dengan Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia). Saat ini
dibeberapa satuan pendidikan khusus dikembangkan komunikasi total yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa
tubuh. Cara berkomunikasi ini bisa digunakan di satuan pendidikan umum dan
satuan pendidikan kejuruan. Peserta didik tunarungu cenderung kesulitan dalam
memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Pada peserta didik tunarungu perlu
dikembangkan program kebutuhan khusus Pengembangan Komunikasi, Persepsi
Bunyi dan Irama (PKPBI). Pengetahuan mengenai ketunarunguan dan sistem
layanan pendidikan yang disesuaikan untuk peserta didik tunarungu penting
untuk diketahui oleh Guru Mata Pelajaram dan Guru Bimbingan dan Konseling
atau Konselor.
3) Peserta didik yang memiliki hambatan bicara (tunawicara/disabilitas sensorik)
Peserta didik tunawicara yaitu peserta didik yang mengalami kesulitan
bicara, yang bisa diakibatkan tidak/kurang berfungsinya alat-alat bicara seperti
rongga mulut, bibir, lidah, langit-langit, pita suara, dan lainnya, bisa juga
diakibatkan pada kerusakan lain seperti tidak/kurang berfungsinya indra
pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada sistem saraf
dan struktur otot, juga ketidakmampuan dalam kontrol gerak dapat
mengakibatkan gangguan bicara. Di antara mereka ada yang tidak dapat bicara
sama sekali, ada yang bisa mengeluarkan bunyi tetapi tidak berucap, dan ada
yang berbicara sedikit tapi tidak jelas. Kelainan bicara juga bisa dari faktor
psikologis sehingga ditemui peserta didik yang bicaranya gagap (stutering).
4) Peserta didik yang memiliki hambatan kecerdasan intelektual
(tunagrahita/disabilitas intelektual)
Peserta didik tunagrahita adalah peserta didik yang memiliki intelegensi
yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan
dalam adaptasi prilaku (perilaku) yang muncul dalam masa perkembangan.
Peserta didik tunagrahita mempunyai hambatan yang sedemikian rupa sehingga
dalam layanan pembelajarannya memerlukan adaptasi/modifikasi kurikulum
yang sesuai dengan kebutuhan khususnya. Klasifikasi tunagrahita berdasarkan
pada tingkatan IQ. Tunagrahita ringan (IQ: 51-70), Tunagrahita sedang (IQ: 36-
51), Tunagrahita berat (IQ: 20-35), Tunagrahita sangat berat (IQ di bawah 20).
Merujuk pada tingkatan IQ, peserta didik down syndrome termasuk kedalam
klasifikasi tunagrahita. Mereka dikategorikan sebagai tunagrahita sedang yaitu
dengan kisaran IQ antara 40 sampai 55. Karakteristik fisik yang ada pada down
syndrome adalah mereka memiliki raut muka seolah-olah menyerupai orang
mongol dengan ciri-ciri mata sipit dan miring, hidung yang datar, lidah tebal,
kepala cenderung pipih. Sehingga, para peserta didik dengan hambatan down
syndrome ini cenderung memiliki wajah yang sama.
Pada peserta didik dengan down syndrome, mereka memiliki ukuran
lidah, bibir tebal, rongga hidung sempit, dan posisi rahang yang tidak sempurna
menyebabkan gangguan artikulasi menonjol. Gangguan tersebut meliputi banyak
hal, diantaranya adalah perubahan bunyi dan penghilangan bunyi yang akan
terlihat ketika anak down syndrome melafalkan bunyi-bunyi vokal, konsonan,
maupun semi vokal.
Pembelajaran bagi peserta didik tunagrahita lebih dititik beratkan pada
pengembangan diri dan cara bersosialisasi. Seperti peserta didik tunanetra dan
tunarungu, maka untuk peserta didik berkebutuhan khusus tunagrahita pun
membutuhkan program kebutuhan khusus yang disebut Pengembangan Diri
(PD). Kurikulum yang berlaku di satuan pendidikan umum dan kejuruan perlu
dimodifikasi/diadaptasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan atau
kemampuan peserta didik tunagrahita.
5) Peserta didik yang memiliki hambatan fisik dan fungsi gerak
(tunadaksa/disabilitas fisik).
Peserta didik tunadaksa adalah peserta didik yang memiliki gangguan
gerak yang disebabkan oleh kelainan neuromuskular dan struktur tulang yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk cerebral palsy, amputasi
(amputi), polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah “ringan”
yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik tetap masih dapat
ditingkatkan melalui terapi, “sedang” yaitu memilki keterbatasan motorik dan
mengalami gangguan koordinasi sensorik, “berat” yaitu memiliki keterbatasan
total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik. Bagi
peserta didik tunadaksa tersebut perlu diberikan program kebutuhan khusus yang
disebut Pengembangan Diri dan Gerak (PDG).
6) Peserta didik yang memiliki hambatan emosi dan perilaku atau kontrol sosial
(tunalaras)
Peserta didik bekebutuhan khusus tunalaras adalah peserta didik yang
mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi dan perilaku atau kontrol
sosial. Peserta didik tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang
tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Peserta didik
tunalaras mudah marah, mudah terangsang emosinya (emosional), sering
menentang perintah atau tugas, sering melanggar tata tertib, agresif, sering
merusak, suka mencuri, mengganggu lingkungan, dan tidak suka dengan
kegiatan yang rutin. Bagi peserta didik tunalaras tersebut perlu diberikan
program kebutuhan khusus yang disebut Pengembangan Pribadi dan Sosial
(PPS).
7) Peserta didik berkesulitan belajar spesifik (Learning Disability)
Peserta didik berkesulitan belajar spesifik adalah peserta didik yang
memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang
dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, membaca, berhitung, berbicara yang
disebabkan karena gangguan persepsi, braininjury, disfungsi minimal otak,
seperti: (dislexia, diskalkulia), dan afasia perkembangan. Peserta didik
berkesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau di atas rata-rata, mengalami
gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan
orientasi arah dan ruang, dan keterlambatan perkembangan konsep. Peserta didik
berkesulitan belajar akan berbeda dengan peserta didik masalah belajar (learning
problem). Peserta didik berkesulitan belajar spesifik (Learning Disability)
memiliki hambatan yang permanen, aspek yang mempengaruhi adalah
kurangnya kemampuan pada aspek membaca, menulis dan berhitung serta aspek
pada psikologi dasar. Sedangkan peserta didik dengan masalah belajar (learning
problem) memiliki hambatan yang sifatnya sementara. Faktor penyebab peserta
didik dengan masalah belajar (learning problem) adalah karena lingkungan,
sehingga, dengan berjalannya waktu hambatan tersebut bisa diatasi. Dengan
demikian terdapat perbedaan antara Peserta didik berkesulitan belajar spesifik
dan peserta didik dengan masalah belajar (learning problem).
a) Kesulitan membaca (Disleksia)
Gejala umum yang nampak sebagai berikut.
(1) Banyak kesalahan dalam membaca
(2) Tidak lancar dalam membaca
(3) Kemampuan membaca bacaan sangat rendah
(4) Sulit membedakan huruf yang bentuknya mirip, misalnya hurup p dengan
huruf d dan b.
(5) Tidak bisa membaca
b) Kesulitan menulis (Disgrafia)
Disgrafia berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata “dys” dan “graphia.”
“Dys” artinya terganggu dan “graphia” artinya menulis kata dengan tangan.
Dysgraphia artinya gangguan menulis dengan tangan. Penulisan dalam
Bahasa Indonesia adalah “Disgrafia” yang artinya kesulitan menulis atau
gangguan menulis.
Gejala umum yang nampak sebagai berikut.
(1) Kesulitan dalam menerjemahkan ucapan lisan menjadi tulisan
(2) Kesulitan dalam meniru bentuk
(3) Kesulitan menggenggam dan menggerakan alat tulis untuk merangkai
kalimat atau membuat tulisan dengan benar.
(4) Tulisannya jelek, tidak dapat dibaca atau tidak dipahami.
(5) Tulisannya banyak salah, ada huruf yang hilang atau terbalik.
(6) Sering terlambat dalam menyalin tulisan
(7) Kesulitan menulis lurus pada kertas yang tidak bergaris
(8) Sering menulis yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa
(9) Tidak bisa menulis
c) Kesulitan berhitung (Diskalkulia)
Gejala umum yang nampak sebagai berikut.
(1) Kesulitan dalam mengoperasikan hitung bilangan meskipun sederhana
(2) Sering melakukan kesalahan dalam mengurutkan bilangan
(3) Mengalami kesulitan dalam membedakan angka yang bentuknya mirip,
misalnya angka 6 dengan 9, angka 17 dengan 71
(4) Kesulitan dalam membedakan bangun geometri
(5) Tidak bisa berhitung.
d) Kesulitan koordinasi gerak (Disprakia)
Dispraksia merupakan gangguan neurologis yang menyebabkan hambatan
pada kemampuan seseorang untuk merencanakan dan memproses sebuah
gerakan motorik. Peserta didik dengan dispraksia sering memiliki hambatan
dalam berbicara dan terkadang memiliki hambatan dalam persepsi.
Gejala umum yang nampak sebagai berikut.
(1) Gangguang keseimbangan
(2) Penampilan postur tubuh kurang baik.
(3) Terlihat ceroboh
(4) Gangguan dalam berbicara.
(5) Kesulitan belajar menulis, menggambar, dan menggenggam benda-
benda yang bentuknya kecil (kesulitan dalam koordinasi tangan dan
mata)
(6) Kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi sosial (kebingungan)
(7) Kesulitan dalam mengendalikan emosi.
(8) Kesulitan dalam mempersepsikan sesuatu.
8) Peserta didik lamban belajar (Slow Learner)
Peserta didik lamban belajar (slow learner) adalah peserta didik yang
memiliki potensi intelektual sedikit dibawah normal tetapi belum termasuk
tunagrahita. Peserta didik lamban belajar sering ketinggalan dalam proses belajar
sehingga peserta didik tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama jika
dibandingkan dengan peserta didik yang lainnya yang memiliki taraf proses
intelektual yang sama. Peserta didik lamban belajar kurang mampu menguasai
pengetahuan dalam batas waktu yang telah ditentukan karena faktor tertentu
yang mempengaruhinya.
Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir,
merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding
dengan tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan peserta didik pada
umumnya, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat
menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun nonakademik, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Karakteristik atau ciri-ciri peserta
didik lamban belajar yaitu rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah, dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-
teman seusianya dan daya tangkap terhadap pelajaran lambat.
9) Peserta didik autis (disabilitas mental)
Peserta didik autis adalah gangguan perkembangan pada peserta didik
yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.  Autis adalah suatu
kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat
dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal,
peserta didik tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia
repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif (Baron-Cohen, 1993). Kata autis
berasal dari bahasa Yunani auto berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang
yang menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri. Pada umumnya peserta
didik autis mengacuhkan suara, penglihatan, ataupun kejadian yang melibatkan
mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau
bahkan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak merespon
terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan
peserta didik lain, dan sebagainya). Autis dapat terjadi pada semua kelompok
masyarakat kaya miskin, di desa atau di kota, berpendidikan maupun tidak, serta
pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian di negara
maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga
memungkinkan penanganan yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.
Peserta didik autis memiliki hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi, pola
bermain, gangguan sensoris, perkembangan lambat atau tidak normal,
penampakan gejala, perilaku, dan emosi. Untuk itulah peserta didik autis perlu
diberikan program kebutuhan khusus Pengembangan Komunikasi, Interaksi
Sosial, dan Perilaku. Kita harus mengetahui banyak istilah atau sebutan lain yang
artinya sama untuk anak autis, antara lain “autistik”, “autisma”, “autism”, dan
“autisme.”
10) Peserta didik yang memiliki gangguan motorik
Peserta didik yang memiliki gangguan motorik mempunyai hambatan
yang berat dalam perkembangan koordinasi motorik, yang tidak disebabkan oleh
retardasi mental, gangguan neurologis yang didapat maupun kongenital.
Gangguan ini bisa bersamaan dengan kesulitan bicara.
Saat bayi, anak ini tidak bisa merangkak, kalau merangkak seperti
merayap. Bila duduk posisi kaki seperti huruf “w”. Anak tampak berbeda atau
aneh dalam berjalan tidak seperti anak lainnya, sering jatuh, tersandung, dan
menabrak. Anak yang memiliki gangguan motorik lambat belajar berlari,
melompat, dan naik turun tangga. Anak tersebut kesulitan mengikat sepatu,
kesulitan memasang dan melepaskan kancing, kesulitan melempar dan
menangkap bola. Anak tampak lamban dalam gerak halus dan kasar. Benda yang
dipegang sering jatuh, tidak pandai menggambar, dan tulisannya kurang baik.
11) Peserta didik tunaganda (kelainan majemuk/disabilitas ganda)
Peserta didik tunaganda atau kelainan majemuk adalah peserta didik yang
memiliki dua kelainan atau lebih. Misalnya anak yang mempunyai hambatan
penglihatan dan pendengaran, peserta didik yang mempunyai hambatan
pendengaran, kecerdasan, autis, dan sebagainya. Peserta didik tersebut
memerlukan program kebutuhan khusus disesuaikan dengan jenis
kekhususannya, misalnya peserta didik tunaganda karena tunanetra dan
tunagrahita maka memerlukan program kebutuhan khusus Pengembangan
Orientasi, Mobilitas, Sosial, dan Komunikasi serta program kebutuhan khusus
Pengembangan Diri.
12) Peserta didik dengan gangguan konsentrasi (Attention Deficit Disorder/ADD)
Peserta didik dengan gangguan konsentrasi memiliki kesulitan untuk
beradaptasi dan tingkat perkembanagnnya tidak konsisten. Gejala-gejala yang
nampak antara lain sering gagal ketika memperhatikan secara detail, sering
membuat kesalahan dalam kegiatan atau dalam pekerjaan sekolah. Peserta didik
ini pun sering kesulitan dalam memperhatikan aktivitas permainan atau tugas-
tugas. Ketika diajak bicara pun sering tidak mendengarkan. Tidak senang atau
sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah. Tidak
senang dengan pekerjaan atau tugas sekolah. Sering beralih perhatian pada
rangsangan luar serta mudah lupa terhadap kegiatan sehari-hari. Untuk itulah
peserta didik dengan gangguan konsentrasi perlu diberikan program kebutuhan
khusus Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.
13) Peserta didik dengan gangguan hiperaktif (Attention Deficit Hiperactivity
Disorder) dan Hipoaktif.(Disabiitas mental)
Peserta didik dengan gangguan hiperaktif tidak mampu untuk memusatkan
perhatian pada suatu obyek dengan waktu yang cukup lama. Peserta didik ini cenderung
hiperaktivitas. Gerakan motorik tinggi, perhatiannya mudah buyar, tidak bisa diam,
canggung, tidak fleksibel, sering berbuat tanpa dipikir akibatnya, dan mudah frustasi.
Peserta didik dengan gangguan hipoaktif yaitu peserta didik yang tidak reaktif terhadap
stimulus. Mereka biasanya sangat pendiam, tidak mau bicara dan tidak merespon
terhadap stumulus yang diberikan. Untuk itulah gangguan hiperaktif dan hipoaktif perlu
diberikan program kebutuhan khusus Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan
Perilaku.
e. Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
adalah peserta didik yang secara significant memiliki potensi di atas rata-rata dalam
bidang kemampuan umum, akademik khusus, kretivitas, kepemimpinan, seni,
dan/atau olahraga. Penggunaan istilah potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
berkait (berkaitan) erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan. Potensi
kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak
hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Proses mengidentifikasi peserta didik
cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional.
Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelegensi). Batasan
yang digunakan adalah peserta didik yang memiliki dimensi kemampuan umum
pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 135 ke atas dengan pengukuran menggunakian
skala Wechsler.
Konsepsi tiga cingcin dari Renzuli banyak digunakan dalam menyusun
pendidikan untuk peserta didik cerdas istimewa dan merupakan teori yang mendasari
pengembangan pendidikan peserta didik cerdas istimewa dan berbakat istimewa
(Gifted and Talented Children). Tiga komponen yang penting yaitu: (1)
Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan atau (dan/atau) kemampuan khusus di
atas rata-rata, (2) kreativitas yang tinggi, dan (3) komitmen terhadap tugas yang
tinggi. Peserta didik yang memiliki bakat istimewa yaitu memiliki bakat yang sangat
istimewa misalnya dalam bidang seni (seni musik, seni suara, dan seni rupa) dan
olahraga.
Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
memerlukan pendidikan khusus. Perlunya pendidikan khusus secara eksplisit tertulis
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70
Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Pesetta Didik yang Memiliki Kelainan
dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Menurut de Groot & Pagman dalam Van Tiel & Widyorini, (2014:60-61).
Dikatakan bahwa 2/3 dari anak gifted mempunyai kemampuan Visual Spatial
Learner (VSL). VSL berbeda dengan Visual learner. Perkembangan kecerdasan
visual spasial artinya perkembangan kemampuan pandang ruang yang didukung oleh
kemampuan melihat suatu dimensi atau ruang melalui pencandraan melalui mata
kemudian diintegrasi secara detail dan prespektif di dalam otak dan disimpan dalam
memori jangka panjang. Jadi mereka berpikir tentang 1 konsep dalam bentuk empat
dimensi di pikiran mereka.
Misalnya ada statement: Makan harus pakai tangan kanan. Nah sebelum
menerima konsep tersebut, anak gifted biasanya akan bertanya seperti ini:
What: Makan harus pakai tangan kanan?
Why: Kenapa harus makan pakai tangan kanan?
Who: Siapa saja yang bisa makan pakai tangan kanan? Kalau mereka left
handed dominant gimana?
When: Kapan saja kita bisa makan pakai tangan kanan?
Where: Dimana sebaiknya kita makan pakai tangan kanan?
How: Bagaimana cara menggunakan tangan kanan buat makan?
Semua pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh guru ataupun orang dewasa
yang memberikan staement tersebut, anak gifted baru akan melakukannya. Mereka
harus visualisasikan konsep terebut secara empat dimensi di pikiran.
Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang
sering dikenal sebagai peserta didik gifted-talented, tergolong peserta didik yang
memiliki kebutuhan khusus. Berdasarkan hal ini, Peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa membutuhkan perlakuan dan penanganan
khusus dalam dunia pendidikan. Beberapa alasan peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa merupakan peserta didik dengan kebutuhan
khusus, yaitu tingkat kecerdasan yang di atas rata-rata, penalaran produktifitas yang
tinggi serta tanggung jawab atas kewajibannya, dan mempunyai dorongan yang
besar untuk memperoleh prestasi. Sedangkan karakteristik personalitasnya,
diantaranya: mempunyai rasa keingintahuan yang besar, minat terhadap tantangan,
tidak mudah puas serta giat dalam berusaha (Munandar, 2012).
Sehubungan hal tersebut di atas maka seyogyanya guru-guru di sekolah
umum dan kejuruan memiliki kemampuan atau kompetensi dalam layanan
pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa.

f. Penerimaan Peserta Didik Baru


Bahwa setiap warga negara termasuk peserta didik berkebuhan
khusus berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan berkeadilan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
UU No 20
Tahun 2003,
UU No 23
UU Tahun 2002,
UU No 8
Tahun 2016
PERM Permendikn
PP No 17 Tahun as No 70
EN
2010, PP No 13 PP DIKBU Tahun 2009,
Tahun 2010 Permendikb
D
ud Nomor 1
Tahun 2021
PERGPergub Jawa Barat Nomor 72
UB
Tahun 2013

Pergub Jawa Barat Nomor 29


Tahun 2021

Gambar 2 Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur PPDB Wajib


Mengakomodasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Pasal 81 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
menjelaskan bahwa: “SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat
wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.” Akses yang wajib
diberikan antara lain dalam Penerimaan Peserta Didik Baru.
Kebijakan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus khususnya
untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk
Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Pasal 11 (b) berupa pemberian
afirmasi seleksi masuk di lembaga penyelenggara pendidikan. Afirmasi
diberikan sesuai dengan kondisi fisik peserta didik penyandang disabilitas
berdasarkan keterangan dokter dan/atau dokter spesialis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020: “Bentuk
Akomodasi yang Layak berdasarkan ragam Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b bagi Peserta Didik
Penyandang Disabilitas intelektual berupa: …f. penyesuaian rasio antara
jumlah guru/dosen dengan jumlah Peserta Didik Penyandang Disabilitas
intelektual di kelas.”
Pasal 4 Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 menjelaskan:
Ayat (1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)
sekolah asar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Ayat (2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5 Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 menjelaskan:
Ayat (1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan
pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah.
Ayat (2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam
1 (satu) rombongan belajar yang akan diterima.
Ayat (3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan
pendidikan dapat menerima peserta didik normal.
Pada tahun 2021 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1
Tahun 2021 tentang Pemerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-
kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Sekolah Meengah Kejuruan. Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tersebut menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru
pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang dianggap
belum mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum layanan
pendidikan.
Penerimaan Peserta Didik Baru yang selanjutnya disingkat (PPDB)
adalah penerimaan peserta didik baru pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.
PPDB dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel dan
dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi sekolah yang secara khusus
dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama
tertentu. Terkait dengan peserta didik yang memiliki kelainan atau
penyandang disabilitas dan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa seperti dijelaskan pada pasal dan ayat pada
Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 sebagai berikut:
 Pasal 4 ayat (3) Persyaratan usia paling rendah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikecualikan menjadi paling
rendah 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan pada tanggal 1 Juli tahun
berjalan bagi calon peserta didik yang memiliki: a. kecerdasan
dan/atau bakat istimewa; dan b. kesiapan psikis.
 Pasal 4 ayat (4) Calon peserta didik yang memiliki kecerdasan
dan/atau bakat istimewa dan kesiapan psikis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan rekomendasi tertulis
dari psikolog profesional. Pasal 4 ayat (5) Dalam hal psikolog
profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tersedia,
rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru sekolah yang
bersangkutan.
 Pasal 11 Calon peserta didik baru penyandang disabilitas
dikecualikan dari ketentuan persyaratan:
a. batas usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1),
Pasal 5 huruf a, dan Pasal 6 ayat (1) huruf a; dan
b. ijazah atau dokumen lain yang menyatakan kelulusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
 Pasal 15 ayat (1) Ketentuan mengenai jalur pendaftaran PPDB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikecualikan untuk
sekolah sebagai berikut: d. sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan khusus.
 Pasal 21 ayat (1) PPDB melalui jalur afirmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b diperuntukkan bagi
calon peserta didik baru: a. berasal dari keluarga ekonomi tidak
mampu; dan b. penyandang disabilitas.
 Pasal 21 ayat (2) Peserta didik yang melalui jalur afirmasi
merupakan peserta didik yang berdomisili di dalam dan di luar
wilayah zonasi sekolah yang bersangkutan.
 Pasal 21 ayat (3) Dalam hal calon peserta didik yang mendaftar
melalui jalur afirmasi melampaui jumlah kuota jalur afirmasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat, maka penentuan
peserta didik dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat
tinggal calon peserta didik yang terdekat dengan sekolah.
PPDB bagi peserta didik penyandang disabilitas berdasarkan
Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru selanjutnya diatur oleh Pemerintah Daerah Provinsi/
Kabupaten/Kota. Peraturan Gubernur tentang PPDB pada tahun 2021 di
Provinsi Jawa Barat yaitu Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 29 Tahun
2021 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru pada Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa.
Pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 29 Tahun 2021 sudah
dijelaskan terkait PPDB bagi penyandang disabilitas antara lain:
 Pasal 9 ayat (1) Pendaftaran PPDB SMA di Daerah Provinsi
dilaksanakan melalui jalur sebagai berikut: a. jalur zonasi; b. jalur
Afirmasi; c. jalur perpindahan tugas orang tua/wali dan anak
guru; dan d. jalur prestasi.
 Pasal 9 ayat (3) Jalur Afirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b diperuntukkan bagi peserta didik yang berasal dari
keluarga ekonomi tidak mampu termasuk kuota bagi anak
penyandang disabilitas, serta peserta didik yang membutuhkan
bantuan karena kondisi tertentu.
 Pasal 10 ayat (3) Ketentuan mengenai jalur pendaftaran PPDB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 pada ayat (1) dikecualikan
untuk: a. SMK; b. Sekolah Kerja Sama; c. Sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan khusus; d. Sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan layanan khusus; e. Sekolah
berasrama; f. Sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar;
dan g. Sekolah di daerah yang jumlah penduduk usia Sekolah
tidak dapat memenuhi ketentuan jumlah peserta didik dalam 1
(satu) Rombongan Belajar.
 Pasal 11 Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas wajib
menerima calon Peserta Didik sesuai kuota berdasarkan
ketentuan sebagai berikut: b. jalur Afirmasi, sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Daya Tampung sekolah dengan rincian: 1. 15%
(lima belas persen) bagi afirmasi keluarga ekonomi tidak mampu;
dan Disabilitas; dan 2.5% (lima persen) bagi afirmasi kondisi
tertentu.
 Pasal 12 ayat (4) SMK dapat menerima calon peserta didik
Disabilitas, disesuaikan dengan persyaratan bidang/program/
kompetensi keahlian.
 Pasal 16 ayat (4) Peserta Didik dari anak penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dibuktikan dengan
keterangan dari tenaga medis sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Pasal 21 ayat (1) Dalam hal kuota jalur Afirmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 melebihi daya tampung, maka
dilakukan seleksi dengan memprioritaskan domisili terdekat
menuju sekolah.
 Pasal 21 ayat (2) Dalam hal masih terdapat kelebihan kuota
setelah seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
diprioritaskan calon Peserta Didik yang berusia lebih tua.
Mengenai kuota peserta didik berkebutuhan khusus pada setiap
tingkatan kelas diatur pada Pasal 5 Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor
72 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
sebagai berikut: “Setiap satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif harus memiliki paling sedikit 1 (satu) peserta didik berkebutuhan
khusus (PDBK) untuk setiap tingkatan kelas, dan paling banyak 3 (tiga)
PDBK atau sesuai dengan kekuatan daya pendukung satuan pendidikan.”
Secara de jure (berdasarkan hukum) kebijakan PPDB di SMA dan
SMK Provinsi Jawa Barat sudah mengakomodasi peserta didik penyandang
disablitas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara de
facto (berdasarkan fakta) masih ada SMA dan SMK yang belum siap
menerima peserta didik penyandang disabilitas dengan berbagai alasan
antara lain komponen pendukung yang belum tersedia. Perlu waktu dan
komitmen tinggi dari semua pihak dalam upaya menjadikan semua sekolah
menjadi ramah, terbuka, dan tidak mendiskriminasi.

g. Identifikasi
Kondisi peserta didik sangat beragam baik secara intelektual atau akademik,
sosial, emosi, dan budaya. Kondisi ini mengharuskan guru mata pelajaran dan guru
bimbingan dan konseling untuk mengetahui latar belakang dan kebutuhan masing-
masing peserta didik agar dapat memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat.
Setiap peserta didik memiliki karakteristik unik yang berkaitan dengan upaya-upaya
yang harus dilakukan agar tepat dalam memenuhi kebutuhan khususnya dan
kebutuhan pembelajarannya. Untuk itu maka setiap guru harus memiliki kemampuan
mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui kondisi
semua peserta didik dan lebih fokus lagi mengetahui ada tidaknya peserta didik
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhannya.
1) Pengertian Identifikasi
Identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali peserta didik yang
diindikasikan atau diduga membutuhkan pendidikan khusus sesuai dengan
hambatan atau disabilitasnya.
2) Tujuan Identifiksi
Tujuan identifikasi adalah untuk menemukan dan mengenali
(menemukenali) anak yang diindikasikan atau diduga memiliki hambatan fisik,
intelektual, sosial, emosi, dan/atau sensori neurologis. Tujuan berikutnya adalah
mengklasifikasikan atau mengkategorikan hambatan atau disabilitas anak ditinjau
dari keragamannya. Dengan dilakukan identifikasi akan membantu memecahkan
permasalahan yang dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus supaya perkembangan
yang dicapai sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
3) Petugas/Pelaksana Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan oleh orang tua atau saudara peserta didik, guru,
guru bimbingan dan konseling, guru pendidikan khusus, dan guru pembimbing
khusus. Identifikasi juga bisa dilakukan oleh dokter, psikolog, petugas sosial
sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Identifikasi yang bertujuan untuk menandai gejala-gejala berkaitan dengan
kelainan, gangguan, atau penyimpangan perilaku yang mengakibatkan
kesulitan/hambatan peserta didik dalam belajar di SPPPI dapat dilakukan oleh
guru misalnya dengan menggunakan daftar cek disesuaikan dengan kebutuhan.

4) Fungsi Identifikasi
Fungsi identifikasi yang dilakukan guru dengan secermat mungkin
bermanfaat untuk penjaringan, klasifikasi, pengalihtanganan, perencanaan
pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.
a) Penjaringan
Fungsi identifikasi untuk penjaringan dengan menandai dan menetapkan anak
yang memiliki hambatan fisik, mental, intelektual, sosial, dan emosi yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala perilaku yang berbeda dari perilaku anak
pada umumnya. Dengan kegiatan identifikasi guru akan mengetahui anak
yang memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, bicara, sosial, dan
sebagainya.
b) Klasifikasi
Dengan kegiatan identifikasi guru akan mengetahui anak yang tergolong
berkebutuhan khusus terkait dengan perbedaan kondisi fisik, mental,
intelektual, social atau emosional, serta gejala-gejala perilaku yang
menyimpang dari perilaku peserta didik pada umumnya. Dengan mengatahui
anak yang tergolong berkebutuhan khusus maka selanjutnya akan mengetahui
anak yang perlu mendapar perhatian dan penangan khusus.
c) Pengalihtanganan
Kegiatan identifikasi berfungsi sebagai pengalih tanganan kepada tenaga
profesi lainnya yang lebih kompeten di bidangnya. Berdasarkan hasil
identifikasi dapat ditemukan anak yang perlu dialihtanganan apabila
ditemukan gejala-gejala yang memerlukan pengamatan lanjut secara teliti dan
cermat. Dengan referral yang tepat oleh tenaga ahlinya diharapkan hasilnya
dapat digunakan dalam meberi petimbangan keputusan tindakan berikutnya
sesuai dengan kondisi anak.
d) Perencanaan Pembelajaran
Identifikasi untuk kepentingan perencanaan pembelajaran adalah hal yang
utama bagi guru. Identifikasi dilakukan untuk keperluan penyusunan program
pembelajaran individual yang sesuai dengan kebutuhan Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus.
e) Pemantauan Kemajuan Belajar
Identifikasi yang dilakukan oleh guru berfungsi untuk mengetahui apakah
program pembelajaran individual yang diberikan kepada peserta didik itu
sudah berhasil atau tidak dalam meningkatkan kompetensinya. Jika telah
berhasil maka dapat dilanjutkan dan ditingkatkan, dan jika belum berhasil
perlu ditinjau ulang dan diperbaiki beberapa aspek yang berkaitan dengan
tujuan, materi, model, metode, media, dan penilaian/evaluasinya.
5) Cara Melakukan Identifikasi
Guru di SPPPI melakukan identifikasi dengan cara melihat aspek
kemampuannya, melihat hambatannya, hingga melihat kebutuhan masing-masing.
Teknik identifikasi yang digunakan yaitu observasi, inventori, catatan guru,
pendapat peserta didik, tes baku, dan tes buatan guru.
a) Observasi
Guru melakukan observasi pada peserta didik di kelasnya dengan terlebih
dahulu menyiapkan lembar catatan yang akan diisi temuan-temuan selama
guru melakukan observasi pada peserta didik.

Tabel 3 Contoh Pedoman Observasi Kebiasaan Menulis

Nama Peserta Didik :


Satuan Pendidikan :
Kelas/Semester :
Nama Guru :
No Aspek yang Diamati Hasil
Ya Tidak
Penampilan
1 Apakah peserta didik memegang pensil dengan benar?
2 Apakah posisi posisi kertas/buku sudah benar?
3 Apakah posisi duduk peserta didik sudah benar, termasuk
jarak antara mata dan kertas?
4 Apakah peserta didik tampak tegang, frustasi, atau emosional
pada waktu menulis?
5 Apakah peserta didik menunjukkan sikap negative, bosan,
atau terganggu pada waktu menulis?
Kinerja
1 Apakah peserta didik dapat menguasai dasar-dasar menulis
secara benar, seperti membuat garus lurus, garis tegak, garis
miring, dan garis lengkung?
2 Apakah peserta didik dapat menulis bentuk huruf dengan
benar?
3 Apakah cara penulisan bentuk huruf besar dan penulisan
huruf kecil sudah tepat dan konsisten?
4 Apakah peserta didik dapat mengatur jarak suku kata secara
konsisten?
5 Apakah peserta didik dapat menulis dan menempelkan tanda
baca secara konsisten?
Total Skor
(Alimin Zainal, Dkk.. 2013:77)

b) Inventori
Guru dapat membuat daftar cek yang berisi sejumlah perilaku yang
diperlukan akan muncul pada saat guru melakukan pengamatan pada peserta
didiknya.

Contoh instrument inventori seperti disampaikan di bawah ini.

Tabel 4 Contoh Inventori Gaya Belajar Peserta Didik

Nama Peserta Didik : …………………………………………………………


Nama Sekolah : …………………………………………………………
Kelas/Semester : ………/……………………………………………….
Tahun Pelajaran . :………………………………………………………….

Kriteria
No Pertanyaan Sering Kadang- Jarang Keterangan
kadang

c) Catatan guru
Selama mengajar guru membuat catatan mengenai kemajuan belajar
masing-masing peserta didik. Catatan yang dibuat guru bisa dibaca ulang
untuk menemukan dan mengenali kekhasan peserta didiknya.

Tabel 5 Contoh Format Catatan Kemajuan Belajar Peserta Didik

No Tanggal Nama Peserta Catatan Kemajuan Tindak Lanjut


Didik Belajar

d) Tes baku
Tes baku bisa diperoleh dari Biro-biro Layanan Psikologi dan sejenisnya.
Hasil tes baku, contohnya yang dilakukan oleh psikolog dalam menentukan
intelligence questions (IQ) seorang peserta didik dapat dijadikan bahan
masukan oleh guru dalam pelaksanaan identifikasi dan asesmen.
e) Tes buatan guru
Guru dapat membuat tes untuk menemukan dan mengenali peserta didik
yang diindikasikan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Tes yang
dibuat guru disesuaikan dengan kebutuhan.
Identifikasi harus dilakukan dengan secermat mungkin. Di samping
menemukan dan mengenali peserta didik berkebutuhan khusus, sekaligus guru
mengenali gejala-gejala perlaku yang berbeda dari kebiasaan perilaku peserta
didik pada umumnya, misalnya gejala fisik, gejala perilaku dan emosi, dan
gejala hasil belajar.

6) Prosedur Pelaksanaan Identifikasi


Prosedur atau langkah-langkah pelaksanaan identifikasi yaitu:
a) Menghimpun data peserta didik
Guru mengumpulkan data mengenai kondisi peserta didik di kelas
berdasarkan gejala yang tampak dengan menggunakan instrumen identifikasi
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus. Instrumen seperti ini mudah ditemukan
karena sudah banyak contoh yang dibuat tinggal mencari di google atau
diperoleh dari wadah/organisasi profesi atau kelompok kerja pendidikan
inklusif.
b) Menganalisis data dan mengklasifikasikan peserta didik
Berdasarkan data yang dihimpun, langkah berikutnya adalah
menganalisis dan mengklasifikasikan peserta didik yang tergolong
berkebutuhan khusus sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus
dengan membuat daftar nama peserta didik yang diindikasikan berkebutuhan
khusus atau penyandang disabilitas sesuai dengan ciri-cirinya. Jika ada yang
diindikasikan maka dicatat pada daftar nama-nama peserta didik tersebut.

Tabel 6 Daftar Peserta Didik Berkebutuhan Khusus/Penyandang Disabilitas yang


Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus

No Nama Tempat Tanggal Jenis Deskripsi/Kasu Keterangan


Peserta Didik Lahir Kelamin s Masalah
(L/P)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

c) Menginformasikan hasil analisis dan klasifikasi


Hasil analisis dan klasifikasi yang telah dibuat oleh guru dilaporkan kepada
kepala sekolah, orang tua peserta didik, dan komite sekolah untuk
mendapatkan saran penanganan dan tindak lanjutnya. Dalam melaporkan hasil
analisis dan klasifikasi kepada orang tua peserta didik perlu dilakukan dengan
sebaik mungkin supaya orang tua dapat memahami dan menerima keadaan
putra/putrinya dengan hati terbuka.
d) Menyelenggarakan pembahasan kasus
Pembahasan kasus merupakan kegiatan yang bermakna untuk menentukan
langkah-langkah penangan anak yang terbaik. Setelah semua data peserta
didik berkebuthan khusus terkumpul dari semua kelas diadakan pembahasan
kasus dengan dikoordinasikan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah
mengundang guru, orang tua peserta didik, tenaga profesional terkait misalnya
psokolog, terapis, dan dokter serta guru pendidikan khusus atau guru
pembimbing khusus dengan agenda membicarakan temuan dari masing-
masing guru mengenai hasil identifikasinya untuk mendapat tanggapan dan
cara-cara menanganinya.
e) Menyusun laporan hasil pembahasan kasus
Guru harus menyusun laporan hasil pembahasan kasus. Untuk itulah maka
pada kegiatan pembahasan kasus, harus dilaksanakan secermat mungkin.
Tanggapan dan saran dari berbagai pihak disusun dengan sebaik-baiknya.
Cara-cara pemecahan masalah dan penanggulangannya dirumuskan dalam
hasil pertemuan pembahasan kasus.
f) Membuat rujukan
Guru melakukan pendalaman data mengenai kondisi peserta didik
berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhannya. Guru menentukan kembali
informasi apa yang sangat dibutuhkan dan siapa yang dianggap dapat
memberikan informasi tersebut. Peserta didik berkebutuhan khusus dirujuk ke
pihak lain atau profesi lain yang memiliki keahlian di bidangnya. Misalnya
ditemukan peserta didik tunarungu yang mempunyai kesulitan dalam
mengucapkan beberapa konsonan velar misalnya k, g, ng, h. Peserta didik
tunarungu tersebut seyogyanya dirujuk ke terapi bicara atau guru pendidikan
khusus untuk latihan mengucapkan konsonan. Perlu dipahami oleh guru-guru
berkenaan dengan jenis hambatan dan program kebutuhan khusus atau
layanan kompensatoris yang diperlukan.

Tabel 7 Program Kebutuhan Khusus/Layanan Kompensatoris

No Jenis Kekhususan Program Kebutuhan Khusus/Kompensatoris


/Disabilitas
1 Tunanetra/Netra Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial, dan
Komunikasi
2 Tunarungu/Rungu Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama
3 Tunagrahita Pengembangan Diri
4 Tunadaksa/Fisik Pengembangan Diri dan Gerak
5 Tunalaras (Gangguan Pengembangan Pribadi dan Sosial
Emosi dan Perilaku)
6 Autis Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan
Perilaku

7) Instrumen Identifikasi
Dalam melaksanakan identifikasi tentunya harus didukung dengan
instrumen yang memadai. Untuk itulah maka guru harus memahami dan terampil
menyusun dan menggunakan instrumen identifikasi. Instrumen identifikasi
disusun dan disesuaikan dengan tujuan identifikasi yang akan dilaksanakan.
Guru dapat menyusun instrumen identifikasi yang khas buatannya sendiri
atau dapat menggunakan instrumen yang sudah ada. Pada prinsipnya instrumen
identifikasi berkenaan dengan hambatan/kekhususan atau disabilitas peserta didik.
Contoh instrumen identifikasi sebagai berikut.

Tabel 8 Instrumen Identifikasi

No Klasifikasi Gejala/Karakteristik Ya Tidak


1 Anak yang 1.1. Tidak mampu melihat
mengalami 1.2. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6
gangguan meter
penglihatan 1.3. Kerusakan pada kedua bola mata
(tunanetra) 1.4. Kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya
1.5. Sering meraba-raba waktu berjalan
1.6. Sering tersandung atau terbentur atau
menginjak benda waktu berjalan tanpa
disengaja
1.7. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh
/bersisik /kering
1.8. Adanya peradangan yang hebat pada kedua
bola mata
1.9. Bola mata bergoyang terus
1.10 Selalu mencoba mengadakan fixation atau
melihat suatu benda dengan memfokuskan
pada titik- titik benda.
1.11. Menanggapi rangsang cahaya yang datang
padanya, terutama pada benda yang terkena
sinar (visually function)
1.12 Merespon warna
1.13 Dapat menghindari rintangan- rintangan
yang berbentuk besar dari sisa
penglihatannya
1.14 Memiringkan kepala jika akan memulai dan
melakukan suatu pekerjaan
1.15 Mampu mengikuti gerak benda dengan sisa
penglihatannya
1.16 Tertarik pada benda bergerak dan berusaha
mencari benda yang jatuh dengan
menggunakan sisa penglihatannya

1.17 Berjalan dengan menyeretkan atau


menggeserkan kaki atau salah langkah
1.18 Kesulitan dalam menunjuk benda atau
mencari benda kecuali warnanya kontras
1.19 Kesulitan melakukan gerakan- gerakan yang
halus dan lembut
1.20 Koordinasi atau kerjasama antara mata dan
anggota badan lemah
1.21 Masih mengenal bentuk atau objek dari
berbagai jarak
1.22 Tidak mengenal tangan yang digerakkan
1.23 Tidak memiliki persepsi cahaya (no light
perception)
1.24 Mampu membaca cetakan standar
1.25 Mampu membaca cetakan standar dengan
menggunakan kaca pembesar
1.26 Mampu membaca cetakan besar (ukuran
huruf No. 18)
1.27 Mampu membaca cetakan kombinasi
cetakan regular dan cetakan besar
1.28 Membaca cetakan besar dengan
mengggunakan kaca pembesar
1.29 Menggunakan Braille tetapi masih bisa
melihat cahaya
1.30 Menggunakan Braille dan tidak punya
persepsi cahaya
2 Anak yang 2.1. Tidak mampu mendengar
mengalami 2.2. Terlambat perkembangan bahasa atau bicara
gangguan 2.3. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
pendengaran 2.4. Ucapan kata tidak jelas
2.5. Kualitas suara aneh/monoton
2.6. Sering memiringkan kepala dalam usaha
mendengar
2.7. Sering menggunakan isyarat dalam
berkomunikasi
2.8. Banyak perhatian terhadap getaran
1.9. Kegagalan merespon jika diajak bicara
2.10 Keluar cairan “nanah” dari kedua telinga
2.11 Melakukan kesalahan artikulasi
2.12 Menggunakan alat Bantu dengar
2.13 Ketidak mampuan memusatkan perhatian
yang sifatnya kronis
3 Anak yang 3.1. Penampilan fisik tidak seimbang (missal:
mengalami bentuk kepala terlalu besar/kecil)
gangguan intelektual 3.2. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia
subnormal di bawah 3.3. Perkembangan bicara/bahasa terlambat/
rata-rata normal komunikasi tidak lancar
(tunagrahita) 3.4. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya
Terhadap lingkungan (pandangan kosong)
3.5. Memiliki hambatan dalam perilaku
3.6. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering
tidak terkendali)
3.7. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut
(ngiler)
3.8. Memiliki IQ 50-70
3.9. Memiliki IQ 30-50
3.10Memiliki IQ kurang dari 30
4 Anak yang 4.1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh
mengalami kelainan 4.2. Memiliki kesulitan dalam gerakan yaitu tidak
anggota sempurna, tidak lentur atau tidak terkendali
tubuh/gerakan 4.3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
(Tunadaksa) lengkap/tidak sempurna (amputi) sebelah
tangan
4.4. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) kedua belah
tangan
4.5. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) sebelah
kaki
4.6. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) kedua belah
kaki
4.7. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) sebelah
tangan
dan sebelah kaki kanan atau kiri)
4.8. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) sebelah tangan
(kanan/kiri) dan kedua belah kaki
4.9. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) sebelah
kaki (kanan/kiri) dan kedua belah tangan
4.10. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna (amputi) kedua
belah tangan dan kedua belah kaki.
4.11 Bagian anggota tubuh lebih kecil dari biasa
4.12 Terdapat cacat pada alat gerak
4.13 Jari tangan kaku dan tidak dapat
menggenggam
4.14 Kesulitan pada saat berdiri/berjalan duduk
dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
4.15 Berjalan/beraktifitas menggunakan kursi roda
4.17 Berjalan/beraktifitas menggunakan kruk (alat
penyangga tubuh)
4.18 Berjalan/beraktifitas menggunakan alat
bantu khusus lainnya
4.19 Mengalami gangguan bicara yang disebabkan
oleh kelainan motorik otot-otot bicara, kurang
dan tidak terjadinya proses interaksi dengan
lingkungan, tidak mampu menirukan bicara
orang lain, serta kerusakan pada area tertentu di
dalam otak yang berfungsi sebagai pusat bicara
sehingga mempengaruhi proses bicara anak.
4.20 Mengalami kelainan emosi dan penyesuaian
sosial yang disebabkan kecacatan anak itu
sendiri, respon orang tua serta masyarakat.
5 Anak yang 5.1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar
mengalami yang diterima umum
gangguan emosi dan 5.2. Cenderung membangkang/melawan
perilaku (tunalaras) 5.3. Mudah terangsang emosinya/ emosional
/mudah marah
5.4. Sering melakukan tindakan agresif, merusak,
atau mengganggu
5.5. Sering bertindak melanggar norma sosial
5.6. Sering bertindak melanggar norma susila
5.7. Sering bertindak melanggar norma hukum
5.8. Sering berkelahi
6 Anak yang memiliki 6.1. Membaca pada usia lebih muda
potensi kecedasan 6.2. Membaca lebih cepat dan lebih banyak
dan bakat istimewa 6.3. Memiliki perbendaharaan kata yang luas
(Intellectualy 6.4. Mempunyai rasa ingin tahu yang besar/kuat
Superior) atau 6.5. Mempunyai minat yang luas termasuk
disebut pula Gifted masalah orang dewasa
6.6. mempunyai inisiatif dan dapat bekerja sendiri
dan Talented
6.7. Mampu menghasilkan ide-ide orsinil, atau
menunjukkan keaslian (originalitas) dalam
ungkapan verbal

6.8. Memberi jawaban-jawaban yang baik


6.9. Dapat memberikan banyak gagasan
6.10 Luwes dalam berpikir
6.11 Mempunyai pengamatan yang tajam
6.12 Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu
yang lama terutama terhadap tugas atau
bidang yang diminati
6.13 Berfikir kritis juga terhadap diri sendiri
6.14 Terbuka terhadap rangsangan- rangsangan
dari lingkungan
6.15 Senang mencoba hal-hal baru
6.16. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi
dan sintesis yang tinggi
6.17. Senang terhadap kegiatan intelektual dan
pemecahan-pemecahan masalah
6.18 Cepat menangkap hubungan sebab akibat
6.19 Berperilaku terarah pada tujuan
6.20 Mempunyai daya imajinasi yang kuat
6.21 Mempunyai banyak kegemaran (hobi) dan
keahlian yang sedemikian rupa unggul
/menonjol (Potensi Bakat Istimewa)
6.22 Mempunyai daya ingat yang kuat
6.23 Tidak cepat puas dengan prestasinya
6.24 Peka (sensitif) serta menggunakan firasat
(intuisi)
6.25 Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan
tindakan
6.26. Cenderung merespon atau bereaksi dengan
cara yang tidak dapat diduga- duga
6.27. Menunjukkan minat yang luas
6.28 Berambisi untuk mencapai prestasi yang
lebih tinggi
6.29 Melibatkan diri sepenuhnya dan ulet
menghadapi tugas yang diminatinya
6.30 Memiliki IQ 135 ke atas dengan pengukuran
menggunakan skala Wechsler (Bagi anak
yang memiliki potensi kecerdasan istimewa)
7 Lamban Belajar 7.1. Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah
(Slow Learner) (kurang dari KKM yang ditentukan)
7.2. Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
sering terlambat dibandingkan dengan teman-
teman seusianya
7.3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat
8 Anak yang 8.1.1. Perkembangan kemampuan membaca terlambat
Berkesulitan Belajar 8.1.2. Kemampuan memahami isi bacaan rendah
Specifik 8.1.3. Kalau membaca sering banyak kesalahan
8.1 Anak yang
mengalami
kesulitan
membaca
(disleksia)
8.2. Anak yang 8.2.1. Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai
mengalami keslitan 8.2.2. Sering salah menulis huruf atau angka,
menulis (disgrafia) misalnya b ditulis p, p ditulis q, v dengan u, 2
dengan 5, 6 dengan 9 dsb.
8.2.3. Hasil tulisannya jelek dan tidak tercbaca
8.2.4. Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf
hilang
8.2.5. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak
bergaris
8.3. Anak yang 8.3.1. Sulit membedakan tanda-tanda:
mengalami +, -, X, >, <, =
kesulitan 8.3.2. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan
berhitung 8.3.3. Sering salah membilang dengaan urut
(diskalkulia) 8.3.4. Sering salah membedakan angka 9 dan 6, 17
dengan 71, 2 dengan 5, 3 dan 8 dan
sebagainya
8.3.5. Sulit membedakan bangun- bangun
geometri
9 Anak yang 9.1.1. Adanya gangguan suara (voice disorder)
mengalami 9.1.1.1.Suaranya parau atau kecil atau terdengar
gangguan aneh
komunikasi 9.1.1.2 Organ bicaranya tidak normal (Misalnya
(tunawicara) bibirnya sumbing, lidahnya pendek,
9.1. Tunawi- adanya celah pada langit- langit keras atau
cara pada langit-langit lunak, dan pita suara)
(Speech sehingga mengakibatkan gangguan suara
disorder) 9.1.2. Adanya gangguan artikulasi (articulation
disorder) (Misalnya buku diucapkan butu,
cokelat diucapkan colkat, tidak bisa
mengucapkan huruf r)
9.1.3. Adanya gangguan kelancaran bicara (fluency
disorder) (Tidak lancar dalam berbicara/
mengemukakan ide)
9.2. Ganggu 9.2.1. Adanya gangguan kemampuan berfikir
an dalam berkomunikasi (sulit menangkap isi
bahasa pembicaraan orang lain)
(language 9.2.2. Adanya gangguan bernalar masalah-
disorder) masalah sosial-emosional (psikis) (Kalau
bicara sering gagap atau gugup)
9.2.3 Sering menggunakan isyarat dalam
berkomunikasi
10 Autistik/ 10.1. Adanya gangguan interaksi social
Autis 10.1.1. Tidak ada kontak mata atau sedikit sekali
10.1.2. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya
10.1.3. Tidak ada interaksi sosial
10.1.4. Tidak bisa mengendalikan emosi
10.1.5. Tidak peduli terhadap orang lain
10.2. Adanya gangguan komunikasi (bicara,
bahasa dan komunikasi)
10.2.1. Mengalami keterlambatan bicara
10.2.2. Tidak ada usaha berkomunikasi dengan
orang lain
10.2.3. Sering mengeluarkan kata-kata yang tidak
bermakna
10.2.4. Bahasa aneh (tidak lazim) yang diulang-
ulang
10.2.5. Tidak dapat bermain dalam kelompok
10.3. Adanya gangguan perilaku
10.3.1. Mempertahankan satu minat atau lebih
secara sangat khas dan berlebih-lebihan
10.3.2. Senang pada rutinitas dan ritualistik yang
tidak berguna
10.3.3. Gerakan motorik yang diulang- ulang dan
stereotip, misalnya memainkan
tangan/jari
10.3.4. Sangat tertarik pada bagian-bagian benda
tertentu (baunya, getarannya,
permukaannya) yang tidak lazim
10.3.5. Mudah tantrum (histeris) hanya karena
hal-hal yang sepele
10.3.5. Suka menyakiti diri sendiri
10.4. Adanya gangguan sensoris
10.4.1. Sensitif terhadap sentuhan
10.4.2. Sensitif terhadap suara
10.4.3. Tidak sensitif terhadap rasa sakit
10.5. Adanya gangguan pola bermain
10.5.1. Cara bermain kurang variatif
10.5.2. Pola bermain cenderung individu
h. Asesmen Diagnostik
1) Pengertian Asesmen
Pengertian asesmen dalam layanan pendidikan inklusif untuk peserta didik
berkebutuhan khusus perlu dipahami sehingga mengetahui fokus atau perbedaan
dan kesamaannya dengan asesmen secara umum. Dalam Lampiran Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus dijelaskan
pengertian asesmen dan asesmen diagnostik. “Asesmen adalah proses sistematis
dalam pengumpulan, pengolahan, dan penggunaan data aspek kognitif dan non-
kognitif untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Asesmen diagnostik
adalah asesmen yang dilakukan secara spesifik untuk mengidentifikasi kompetensi,
kekuatan, kelemahan peserta didik, sehingga pembelajaran dapat dirancang sesuai
dengan kompetensi dan kondisi peserta didik.”
Pengertian asesmen dalam layanan pendidikan inklusif untuk peserta didik
berkebutuhan khusus sebagai berikut: ”Asesmen adalah suatu proses pengumpulan
informasi tentang perkembangan peserta didik dengan mempergunakan alat dan teknik
yang sesuai untuk membuat keputusan pendidikan berkenaan dengan penempatan dan
program bagi peserta didik tersebut. Melalui asesmen dapat diketahui kemampuan apa
yang sudah dimiliki, apa yang belum atau kelemahannya, dan apa yang menjadi kebutuhan
peserta didik sehingga dapat dirancang program pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.”

Asesmen adalah suatu proses yang sistematis dan komprehensif untuk menggali
permasalahan lebih lanjut untuk mengetahui apa yang menjadi potensi, masalah, dan
hambatan. Hasil asesmen digunakan untuk menentukan kebutuhan individu dan
memberikan layanan pendidikan yang sesuai berdasarkan modalitas (potensi) yang
dimiliki individu yang diperlukan dalam menyusun program pembelajaran (Robert M.
Smith, 2002).

2) Tujuan Asesmen
Tujuan utama asesmen adalah untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran bagi peserta
didik berkebutuhan khusus (PDBK). Asesmen dilakukan untuk lima keperluan, yaitu : (1)
penyaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referral), (3) klasifikasi (classification),
(4) perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan (5) pemantauan kemajuan
belajar anak, (monitoring pupil progress).

Asesmen yang dipergunakan dalam konteks pendidikan khusus mempunyai


makna yang khusus. Pada dasarnya asesmen dalam pendidikan khusus bertujuan untuk
mengetahui kemampuan awal yang dimiliki peserta didik, sebagai baseline sebelum
pembelajaran dimulai. Berdasarkan hasil asesmen, dapat dirancang program pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, yang dituangkan dalam program
pembelajaran individual (PPI). Peserta didik berkebutuhan khusus disertai dengan
hambatan akademik dapat menggunakan kurikulum yang diadaptasi di bawah standar
nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang digali
dengan pelaksanaan asemen yaitu informasi yang berkaitan dengan menemukan
kemampuan, hambatan, dan kebutuhannya.

3) Penggolongan dan Jenis Asesmen


a) Penggolongan asesmen
(1) Asesmen yang bersifat formal
Asesmen yang bersifat formal menggunakan instrumen yang telah
dibakukan misalnya untuk mengetahui ketajaman penglihatan
menggunakan Snellen Chart, untuk mengetahui ketajaman pendengaran
menggunakan audiometer, dan untuk mengetahui kecerdasan menggunakan
tes inteligensi.
(2) Asesmen yang bersifat informal
Asesmen yang bersifat informal dilakukan untuk melihat fungsi dari
potensi yang masih ada dan hambatan belajar yang diakibatkan oleh
kelainan/kekhususan/ketunaan yang dimilikinya dengan menggunakan
instrumen yang dibuat oleh guru. Misalnya pedoman observasi, pedoman
wawancara, dan pedoman analisis contoh pekerjaan anak.
b) Jenis asesmen
(1) Asesmen perkembangan
Asesmen perkembangan merupakan seperangkat asesmen yang dipakai
untuk mengungkap kondisi perkembangan anak. Proses pengumpulan
informasi tentang aspek-aspek perkembangan anak dianggap penting,
karena hasilnya diduga memiliki pengaruh yang cukup bermakna terhadap
prestasi akademik anak.
(2) Asesmen akademik
Asesmen akademik adalah asesmen yang dilakukan untuk mengungkap
kemampuan atau kompetensi peserta didik dalam bidang akademik atau
pembelajaran. Asesmen akademik sangatlah penting karena akan mengungkap
kondisi nyata kemampuan peserta didik, minimal mencapai aspek kemampuan
akademik dasar yaitu asesmen kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
Ketiga kemampuan awal ini sangat fundamental bagi kemajuan belajar peserta
didik. Kemampuan akademik peserta didik yang akan diasesmen sesuai dengan
tingkatan kelas dan satuan pendidikan masing-masing. Selain asesmen akademik
dikenal asesmen nonakademik yaitu seperangkat asesmen yang digunakan untuk
mengungkap aspek-aspek peserta didik diluar kegiatan akademik. Misalnya
mengenai kondisi peserta didik berkebutuhan khusus, kondisi
hambatan/disabilitas, kemampuan yang sudah dikuasai, kesulitan atau hambatan
yang dialami yang akan digunakan dalam memberikan keputusan tentang
kebutuhan yang diperlukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki peserta
didik dan mengurangi dampak kondisi kekhususannya atau disabilitasnya.

4) Bentuk Asesmen
Terdapat tiga bentuk assessmen, yaitu: (1) Assessmen For Learning (AfL),
yaitu asesmen yang digunakan untuk kepentingan proses belajar. Asesmen ini
bersifat asesmen yang berorientasi pada kurikulum. (2) Assessmen As Learning
(AaL), yaitu asesmen yang dilakukan dalam proses belajar berlangsung untuk
melihat respon atau perilaku yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung. (3)
Assessmen Of Learning (AoL), yaitu asesmen yang dilakukan diakhir pelajaran
untuk melihat tingkat penguasaan setelah intervensi dilakukan.
5) Petugas/Pelaksana Asesmen
Setiap guru pada satuan pendidikan selayaknya dapat melaksanakan asesmen
perkembangan yang sifatnya informal dan melaksanakan asesmen akademik dan
nonakademik sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Asesmen dapat dilakukan oleh tim
asesmen yang dibentuk oleh satuan pendidikan, dengan melibatkan guru pendidikan
khusus atau guru pembimbing khusus, guru, orangtua, dan/atau tenaga ahli lain sesuai
dengan kebutuhan.

6) Prosedur Pelaksanaan Asesmen


Prosedur atau langkah-langkah pelaksanaan asesmen yaitu:
a) Merencanakan/menyusun instrumen asesmen
b) Melaksanakan asesmen (pengumpulan data)
c) Analisis hasil asesmen, pemetaan hambatan dan potensi, dan analisis skala
prioritas
d) Menggambarkan profil; sebagai kesimpulan yang menggambarkan hambatan,
potensi, dan kebutuhan
e) Laporan hasil asesmen
f) Tindak lanjut hasil asesmen (rekomendasi)

7) Instrumen Asesmen
a) Instrumen Asesmen Perkembangan
Model atau contoh instrumen asesmen perkembangan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus sudah banyak disusun oleh para ahli atau praktisi. Guru
bisa menggunakannya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dari setiap
aspek perkembangan yang akan diasesmen. Guru juga bisa menyusun
instrumen asesmen sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengasesmen
perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus secara komprehensif tidak
bisa dilakukan secara terpisah-pisah atau sebagian-sebagian, melainkan harus
dilakukan secara terus menerus untuk melihat tahapan perkembangannya. Jadi
pelaksanaan asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus harus
dilakukan secara terus menerus. Dengan pelaksanaan asesmen perkembangan
yang terus menerus, akan diketahui tahapan perkembangan peserta didik
berkebutuhan khusus dari waktu ke waktu, dari kemampuan awal ke
kemampuan berikutnya dan dari pengenalan ke tahap kemampuan nyata.
Dengan demikian, asesmen perkembangan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus harus dilakukan secara terus menerus untuk mengetahui tahapan-
tahapan yang harus dilaluinya secara optimal. Sebab bagaimana pun
perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus tersebut akan mewarnai
kemampuan akademiknya.
Instrumen asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus pada
satuan pendidikan adalah alat yang digunakan untuk memantau, menelaah,
meneliti, dan melihat tingkat perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus
yang meliputi perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan
motorik, perkembangan sosial-emosional, perkembangan karakter dan moral
peserta didik, dan perkembangan seni peserta didik. Jadi untuk melakukan
asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus pada satuan
pendidikan (SMA/SMK) diperlukan instrumen atau alat yang tepat untuk
melihat tingkat perkembangannya. Dengan alat yang tepat maka akan diketahui
dan diprediksi tentang perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus sesuai
dengan jenis hambatannya secara tepat, berkesinambungan, dan terus menerus
sehingga perubahan dan pertumbuhan sikap dan prilaku peserta didik
berkebutuhan khusus dapat dilihat dan dipantau secara utuh dan terus menerus.
Contoh instrumen asesmen perkembangan sebagai berikut.
Tabel 9 Contoh Instrumen Asesmen Perkembangan Peserta Didik Autis

Aspek Kompetensi Indikator Mampu Tidak


Mampu
1. Memiliki  Duduk dengan tenang selama 5-10 menit
perilaku yang
 Dapat memperhatikan/fokus pada kegiatan
kooperatif
belajar di kelas
 Dapat mengikuti/melakukan kegiatan
sederhana; pasang puzzle, mewarnai bebas
Perilaku dsb.
2. Mampu  Dapat menirukan gerakan motorik kasar;
menirukan angkat tangan, tepuk tangan, lompat dsb.
gerakan/  Dapat menirukan gerakan dengan benda
aktivitas (kibarkan bendera, memainkan mobil,
pukul kendang, bunyikan lonceng dsb)
3. Mampu  Dapat menunggu giliran/ antrian
bersosialisasi di  Mematuhi aturan sederhana (boleh/ tidak
lingkungan boleh di lakukan)
Interaksi Sosial sekitar
4. Mampu mengikuti  Memilih kegiatan sendiri
permainan  Dapat bermain dengan teman sebaya
dengan baik
 Melakukan permainan terstruktur
Komunikasi 5. Melakukan  Melakukan kontak mata pada saat
dan Bahasa komunikasi awal berkomunikasi
dengan benar  Menirukan verbal vokal
 Menjawab” iya” setiap kali namanya di
panggil
 Menjawab kabar sesuai dengan kondisi
pada saat itu
 Memberi salam pada saat bertemu orang
lain
1. Mampu  Memanggil orang di sekitarnya/ temannya
mengungkap-  Menyatakan keinginan secara lisan: mau ke
kan perasaan dan toilet, makan dan minum
pikiran  menjawab pertanyaan sederhana mengenai
apa
2. Mengidentifikasi  Mengidentifikasi diri sendiri
orang-orang atau
 Mengidentifikasi keluarga inti
tempat-tempat
yang ada di  Mengidentifikasi teman sekelas
sekitar  Mengidentifikasi guru-gurunya
3. Memahami  Dapat menunjukkan alat makan; sendok dan
objek/benda piring
yang ada di  Dapat menunjukkan alat minum; gelas
sekitar  Dapat menunjukkan binatang; ayam, bebek,
kucing dsb.
 Dapat menunjukkan alat transportasi;
mobil, motor, pesawat
4. Memahami kata  Dapat melakukan perintah satu tahap
perintah duduk, berdiri, ke sini dan ambil

5. Dapat melakukan  Berdiri dengan satu kaki


kegiatan  Melakukan kegiatan melompat
(merespon) dengan
baik terkait dengan  Melakukan gerakan menggantung/
keseimbangan bergelayut
 Meniti di atas papan titian
 Berdiri di atas papan keseimbangan
 Main ayunan
Sensori  Bermain prosotan
 Bermain jungkat-jungkit
6. Dapat  Bermain pasir
melakukan  Melem
kegiatan  Bermain lilin
(merespon)  Bermain dengan media tanah liat
dengan baik
terkait dengan
sentuhan
7. Mampu  Memasang puzzle 1 keping
melakukan  Memasukkan benda ke dalam botol
latihan motorik  Memegang alat tulis
halus
 Meronce manik-manik dengan tepat
 Meremas kertas, plastisin atau kain dengan
Motorik menggerakkan seluruh jari
 Menyobek
 Melem dan menempel
8. Mampu  Melempar dan menangkap bola dengan
melakukan benar
latihan motorik  Menarik suatu benda
kasar  Melompat dengan dua kaki dari lingkaran
satu ke lingkaran lainnya
 Dapat berguling di atas matras
 Mengangkat beban
Pengembangan diri 9. Mampu merawat  Dapat melakukan kegiatan buang air kecil
diri sendiri  Melakukan kegiatan buang air besar (BAB)
10. Kemandirian  Membuka makanan kemasan
terkait dengan  Mengambil nasi dan lauk sendiri
diri sendiri  Makan menggunakan tangan/sendok dan
garpu
 Minum menggunakan gelas atau cangkir

Berikutnya contoh instrumen asesmen perkembangan aspek motorik


sebagai berikut.
Tabel 10 Contoh Instrumen Asesmen Perkembangan Aspek Motorik
Sub Komponen Hasil
No Komponen Indikator Skor
Dapat Tidak
(Skor 1) Dapat
(Skor 0)

1 Jalan a. Jalan Melakukan jalan lurus


Lurus mengikuti garis lurus,
dengan tidak menginjak
garis

b. Jalan Melakukan jalan


Melingkar melingkar, mengikuti
arah garis yang
melingkar, dengan tidak
menginjak garis

c. Jalan Melakukan jalan zigzag


Zigzag mengikuti arah garis
zigzag,dengan tidak
menginjak garis

2 Lari a. Lari Lurus Melakukan lari lurus,


mengikuti garis lurus,
dengan tidak mengijak
garis

b. Lari Melakukan lari


Melingkar melingkar, mengikuti
arah garis yang
melingkar, dengan tidak
menginjak garis

c. Lari Zigzag Melakukan lari zigzag,


dengan mengikuti garis
zigzag , dengan tidak
menginjak garis

3 Loncat a. Loncat di Melakukan loncat di


Tempat tempat, dengan tidak
keluar dari garis pijakan.

b. Loncat ke Melakukan loncat ke


Depan depan, dengan
pendaratan ke dua kaki
berbarengan.

c. Loncat ke Melakukan loncat ke


Belakang belakang, dengan
pendaratan ke dua kaki
bersamaan.

d. Loncat ke Melukukan loncat ke


Samping samping, dengan
pendaratan ke dua kaki
bersamaan.

4 Berguling a. Berguling ke Melakukan berguling ke


Kanan arah kanan, dengan posisi
tangan dan kaki rapat
dibadan, dengan tidak
keluar jalur.

b. Berguling ke Melakukan berguling kea


Kiri rah kiri, dengan posisi
tangan dan kaki rapat
dibadan, dengan tidak
keluar jalur.

5 Mengejar a. Mengejar Melakukan mengejar bola


Bola Bergerak Bola bergerak, dengan bola
Bergerak besar.
Bola Besar

b. Mengejar Melakukan mengejar bola


bola bergerak, dengan bola
bergerak, kecil
bola kecil

b) Instrumen asesmen akademik


Guru menyusun instrumen asesmen akademik (pembelajaran) sesuai
dengan kebutuhan/tujuan.
Contoh format instrumen asesmen akademik sebagai berikut.
Tabel 11 Contoh Format Instrumen Asesmen Akademik

No Aspek Sub-Aspek Indikator Catatan/Keterangan


1
2
3
4

Instrumen asesmen akademik untuk setiap mata pelajaran dengan contoh


format di bawah ini.

Tabel 12 Contoh Format Instrumen Asesmen Akademik


No Kompetensi Indikator Pertanyaan/ Hasil Asemen Ket
Dasar/ Pernyataan Mampu Mampu Tidak
Capaian dengan Mampu
Pembelajaran Bimbingan
1
2
3
4

Setelah mengumpulkan data hasil asesmen perkembangan/akademik


kemudian mengolahnya dan hasilnya disimpulkan serta dituangkan contohnya
pada tabel di bawah ini.
Tabel 13 Contoh Kesimpulan Hasil Asesmen Perkembangan

Catatan/
No Aspek Perkembangan Deskripsi
Keterangan
1 Motorik
2 Kognitif
3 Bahasa
4 Sosial Emosi

Tabel 14 Contoh Kesimpulan Hasil Asesmen Akademik (Mata Pelajaran)

Mata Pelajaran, KI-KD,


No dan Indikator/Capaian Deskripsi Catatan/
Pembelajaran Keterangan
1
2
3
4
Langkah selanjutnya dalam kegiatan asesmen adalah pemetanaan hambatan dan
potensi. Untuk pemetaan dan potensi aspek perkembangan dapat menggunakan contoh
format di bawah ini.
Tabel 15 Contoh Format Pemetaan Hambatan dan Potensi Aspek Perkembangan
Yang Telah Yang Belum Yang Dibutuhkan
No Aspek*)
Dikuasai Dikuasai
1
2
3
4
*) Diisi sesuai kebutuhan (misal aspek koginitf, aspek sosial, aspek emosi, aspek
sensorik, aspek motorik, aspek kemandirian, aspek perilaku adaptif, dll).
Pemetaan hambatan dan potensi aspek akademik dengan menggunakan contoh
format di bawah ini.
Tabel 16 Contoh Format Pemetaan Hambatan dan Potensi Aspek Akademik (Mata
Pelajaran)

Mata Pelajaran, KI-KD,


No dan Indikator/ Capaian Yang Telah Yang Belum Yang Dibutuhkan
Pembelajaran Dikuasai Dikuasai

Untuk menentukan skala prioritas asesmen akademik mata pelajaran dengan


menggunakan format di bawah ini.

Tabel 17 Contoh Format Analisis Skala Prioritas Akademik


(Mata Pelajaran)
KI-KD/ Capaian
Tidak
No Pembelajaran Indiktor Dibutuhkan Prioritas
Dibutuhkan
1
2
3
4
5
Ds
t

1) Intervensi
1) Pengertian intervensi
Menurut Endang Rochyadi: “Intervensi secara harfiah diartikan sebagai
“ikut campur atau keterlibatan”. Jadi Intervensi dapat dipandang sebagai
keterlibatan seseorang (someone's involvement) di dalam memberikan bantuan.
Stimulasi diartikan sebagai “rangsangan”. yaitu keterlibatan seseorang di dalam
memberikan ransangan-ransangan.”
2) Tujuan intervensi
Intervensi bertujuan untuk meminimalisir atau meredakan masalah, bahkan
jika mungkin dapat menghilangkannya. Stimulasi bertujuan untuk mengantisifasi
atau mencegah agar terhindar dari masalah yang tidak diharapkan. Akan tetapi
keduanya memiliki ujung yang sama yaitu sebagai upaya untuk menghilangkan
atau meredakan masalah. Dari sisi orientasi atau sasaran penanganan, intervensi
dan stimulasi bedanya hanya pada penekanan, diaman yang satu bersifat
mengantisifasi (stimulasi) sementara intervensi orientasinya secara tegas pada
mereka yang secara nyata memiliki masalah (intervensi) dengen tujuan untuk
menyelesaikan atau sekurang-kurangnya meminimalisir masalah yang dimiliki
individu. (Endang Rochyadi: 2020)
3) Fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
a) Skjorten (2003) menjelaskan bahwa perkembangan
pengetahuan, penelitian dan praktek dalam intervensi
mengalami banyak perubahan. Ada tiga fase perkembangan
dalam intrevensi, sebagai berikut;
b) fase pertama; pada fase ini, seorang intervensionis (guru ahli
intervensi) melakukan intervensinya secara khusus dan langsung
kepada anak (child-focused intervenstion) tanpa melibatkan pihak
manapun. Treatment atau di-remedial langsung agar kelemaham dan
hambatan itu dapat diatasi (Dunst, 2005).
c) Fase kedua; ahli intervensi mulai melibatkan pihak lain, yaitu orang
tua (familily base early intervenstion). Ahli intervensi pada fase ini,
mulai memberikan intervensinya dengan melibatkan orang tua untuk
melakukan tindakan tertentu atas rekomendasi-rekomendai yang
diberikan oleh intervionis. Fase kedua ini dipandang sebagai
kemajuan luar biasa dalam melakukan intervensi dimana orang tua
mulai terlibat, namun asumsi yang digunakan masih sama seperti
pada fase pertama. Pada fase dua ini dipandang belum membangun
kompetensi pihak yang dilibatkan, tetapi masih sebatas berpartisifasi
aktif untuk ikut melakukan tindakan berdasarkan rekomendasi yang
diberikan oleh ahli intervensi.
d) Fase ketiga; Seorang intervionis (ahli intervensi) tidak lagi
melakukan intervensi langsung kepada anak, melainkan adanya
pengalihtanganan kepada keluarga agar memilki kompetensi. Ahli
intervensi bersama keluarga melakukan intervensi kepada anak
(family base intervenstion). Intervensi pada fase ketiga ini melihat
bahwa faktor utama dalam perkembangan anak adalah penciptaan
lingkungan keluarga (microsystem). Tugas intervensionis pada fase ini
adalah membangun kompetensi keluarga (orang tua) untuk dapat
melakukan intervensi pada anaknya. Jadi sasaran intervensionis
adalah keluarga. Urie Brofenbrenner (Dunt, 2005).
4) Prinsip layanan intervensi
Ada beberapa prinsip dalam pemberian layanan intervensi, prinsip-prinsip
yang dimaksud yaitu:
a) Spesifik; yang dimaksud prinsip spesifik dalam dalam intervensi adalah apa
yang akan diselesaikan benar-benar fokus pada satu perilaku tertentu. Apakah
terkait dengan soal perkembangan yang menjadi inti masalah dan
menimbulkan terjadinya hambatan belajar pada individu itu atau focus dalam
pengertian pada prilaku negative tertentu yang menimbulkan terjadinya
hambatan dalam belajar. Misalnya; perilaku hiperaktif dengan menunjukkan
perilaku meninggalkan tempat duduk (focus perilaku) pada saat individu
belajar dengan frekuensi yang tinggi. Jika perilaku ini muncul, maka harus
dicari cara secara spesifik untuk meredakan tingkah laku tersebut agar
individu itu dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tenang.
b) Cermat; yang dimaksud cermat dalam intervensi adalah tindakan-tindakan
intervensi yang dilakukan didasarkan atas pertimbangan yang tepat dan
matang. Ketepatan dan kematangan dalam tindakan intervensi didasarkan atas
data-data perilaku yang ditunjukkan.
c) Inten dan berkelanjutan; yang dimaksud inten dan berkelanjutan adalah
tindakan-tindakan intervensi dilakukan secara konsisten, terjadwal dan
terstruktur berdasarkan tahapa-tahapan dan berkesinambungan.
d) Keterlibatan pihak lain; melibatkan pihak lain yang dimaksud adalah pihak-
pihak yang dekat dengan individu, misalnya keterlibatan orang tua (keluarga).
Keterlibatan keluarga menjadi dasar dalam melakukan tindakan-tindakan
dalam intervensi agar setiap tindakan yang diharapkan sejalan dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan guru (sekolah).
e) Responsif dan reaktif. (Dalam Endang Rochyadi: 2020)
5) Ruang lingkup layanan intervensi
Pemberian intervensi pada anak berkebutuhan khusus akan terjadi dalam
banyak hal, baik intervensi yang berkaitan dengan masalah akademik,
perkembangan atau perilaku spesifik. Intervensionis (guru) yang menangani anak
berkebutuhan khusu dalam memberikan intervensinya tidak hanya satu aspek
secara terpisah, melainkan seringkali harus menghadapi pada aspek yang berbeda
tetapi dilakukan tindakan-tindakannya dalam waktu bersamaan atau paling tidak
jarak antara masalah yang diintervensi yang satu memiliki rentang yang pendek
pada masalah lainnya. Misalnya; pada saat yang hampir bersamaan guru
menyelesaikan masalah membaca, tapi pada saat itu pula guru meredakan
perilaku meludah, atau mengepak-ngepak tangan (streotif).
Secara umum aspek-aspek intervensi yang sangan mendasar dan paling
awal dilakukan dalam masalah akademik terkait dengan ketemapilan dasar Tree-
Art yaitu kemampuan akademik dalam bahasa; mendengar (listening), bicara
(speak) membaca (reading), menulis (pre-writing dan writing) dan berhitung
(arithmatic) ; komputasi, bilangan, oprasi hitung, geometri, waktu dan uang).
Dalam aspek perkembangan mencakup; Kognitif (klasifikasi, seriasi,
korespondensi dan konservasi. Dalam Aspek Motorik (gross motor, fine motor,
balance, locomosi dan koordinasi), Dalam aspek persepsi visual (diskriminasi,
spasial, figure and ground, memory), persepsi auditori (keadaran fonem, morfem,
semantic dan sintaksis)
Perilaku-peilaku spesifik seperti; stereotif fisik (memukul-mukul
bagian anggoota badan) stereotif verbal (membunyikan kata-kata terentu tanpa
arti), echolalia (mengikuti ucapan orang lai), hipoaktif (tidak mau merespon),
Hiperaktif (tidak maudiam tanpa arah), memukul tanpa sebab, meludah tanpa
henti, memutar-mutar benda tertentu, menjambak rambut tanpa sebab gangguan
perhatian dan atau konsentrasi dan lain-lain. (Endang Rochyadi: 2020)

6. Evaluasi (Latihan/Kasus/Tugas)
LEMBAR KERJA B1 TUGAS MANDIRI
a. Keragaman Peserta Disik
1) Jelaskan keragaman peserta didik
2) Jelaskan pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
3) Jelaskan pengertian peserta didik penyandang disabilitas
4) Jelaskan pengertian peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa
5) Berilah contoh jenis-jenis peserta didik berkebutuhan khusus atau ragam
disabilitas
6) Jelaskan cara penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengakomodasi
peserta didik berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas dalam layanan
pendidikan inklusif
b. Identifikasi
1) Jelaskan pengertian identifikasi
2) Jelaskan tujuan identifikasi
3) Jelaskan petugas yang melaksanakan identifikasi
4) Jelaskan fungsi identifikasi
5) Jelaskan cara melakukan identifikasi
6) Jelaskan prosedur pelaksanaan identifikasi
7) Buatlah contoh instrumen identifikasi
c. Asesmen Diagnostik
1) Jelaskan pengertian asesmen diagnostik dan nondiagnostik
2) Jelaskan tujuan asesmen
3) Jelaskan penggolongan dan jenis asesmen
4) Jelaskan bentuk asesmen
5) Jelaskan petugas/pelaksana asesmen
6) Jelaskan prosedur asesmen
7) Buatlah contoh instrumen asesmen perkembangan
d. Intervensi
1) Jelaskan pengertian intervensi
2) Jelaskan tujuan intervensi
3) Jelaskan fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
4) Jelaskan prinsip layanan intervensi
5) Jelaskan ruang lingkup layanan intervensi

7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut


Setelah mempelajari bahasan ini peserta melakukan diskusi dengan guru-guru dan
tenaga kependidikan di satuan pendidikan/binaan untuk memahami lebih luas lagi
mengenai keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi.

8. Referensi
a. Bronfenbrenner, U. (1992). Ecological System Theory. In R. Vasta (Ed.), Six theories
of child development: Revised formulations and current issues (pp. 187-248).
Philadelphia, PA: Jessica Kingsley.
b. Duns, C. J., Trivette, C. M., & Deal, A. (1988). Enabling and empowering families:
Principles and guidelines for practice. Cambridge, MA: Brookline Books.
c. Dunst, C. J. (2005). Framework for practicing evidence-based early childhood
intervention and family support. Retrieved from CASEinPoint, 1 (1), 1-11:
http://fipp.org/static/media/uploads/caseinpoint/caseinpoint, vol11no11.pdf
d. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2020). Karakter Pembelajaran Inklusif.
Penerbit MDP Media
e. Johnsen, B. H., & Skjørten, M. D. (2003). Pendidikan Kebutuhan khusus; Sebuah
Pengantar,. Bandung: Unipub.
f. Kaufman, J.M. dan Hallahan, D. (2005), Special Education; What It Is and Why We
Need It, Boston: Pearson Education
g. James A. McLoughlin and Rena B. Lewis. (1986). Assessing Special Students. Merril
Publishing Company Columbus Toronto London Sydney.
h. Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2021). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif.
Balitbang dan Perbukuan. Kemendikbudristek.
i. Zainal Alimin Dkk. (2013). Layanan Pendidikan Inklusi Pegangan bagi Pelatih. Save
The Children, IKEA, dan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai