MATERI B.1
KERAGAMAN PESERTA DIDIK, IDENTIFIKASI, ASESMEN
DIAGNOSTIK, DAN INTERVENSI
Disampaikan Oleh:
2. Tujuan
Setelah mempelajari materi modul B1 tentang keragaman peserta didik, identifikasi,
dan asesmen diagnostik peserta dapat:
a. Keragaman Peserta Disik
1) Menjelaskan keragaman peserta didik
2) Menjelaskan pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
3) Menjelaskan pengertian peserta didik penyandang disabilitas
4) Menjelaskan pengertian peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa
5) Memberi contoh jenis-jenis peserta didik berkebutuhan khusus atau ragam
disabilitas
6) Menjelaskan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengakomodasi peserta
didik berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas dalam layanan pendidikan
inklusif
b. Identifikasi
1) Menjelaskan pengertian identifikasi
2) Menjelaskan tujuan identifikasi
3) Menyebutkan petugas yang melaksanakan identifikasi
4) Menyebutkan fungsi identifikasi
5) Menjelaskan cara melakukan identifikasi
6) Menjelaskan prosedur pelaksanaan identifikasi
7) Menjelaskan cara menyusun instrument identifikasi
c. Asesmen Diagnostik
1) Menjelaskan pengertian asesmen diagnostik dan nondiagnostik
2) Menjelaskan tujuan asesmen
3) Menjelaskan penggolongan dan jenis asesmen
4) Menjelaskan bentuk asesmen
5) Menyebutkan petugas/pelaksana asesmen
6) Menjelaskan prosedur asesmen
7) Memberikan contoh instrumen asesmen.
d. Intervensi
1) Menjelaskan pengertian intervensi
2) Menjelaskan tujuan intervensi
3) Fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
4) Menjelaskan prinsip layanan intervensi
5) Menjelaskan ruang lingkup layanan intervensi
3. Strategi Pembelajaran
b. Perkenalan antara narasumber/fasilitator dengan peserta
c. Menayangkan video tentang keragaman peserta didik
d. Tanya jawab mengenai keragaman peserta didik
e. Paparan materi mengenai: 1) keragaman peserta didik, pengertian peserta didik
berkebutuhan khusus, penyandang disabilitas, peserta didik yang memiliki kecerdasan
dan/atau bakat istimewa, jenis-jenis peserta didik yang memerlukan layanan
pendidikan khusus, ragam disabilitas, dan penerimaan peserts didik baru dalam
layanan pendidikan inklusif.; 2) pengertian identifikasi, tujuan identifikasi, petugas
yang melaksanakan identifikasi, fungsi identifikasi, cara melakukan identifikasi,
prosedur identifikasi, dan cara menyusun instrument identifikasi; 3) pengertian
asesmen diagnostik dan non diagnostik, tujuan asesmen diagnostik, penggolongan
dan jenis asesmen, bentuk asesmen, petugas/pelaksana asesmen, prosedur asesmen,
dan contoh isntrumen asesmen; dan 4) pengertian asesmen diagnostik dan
nondiagnostik, tujuan asesmen, penggolongan dan jenis asesmen, bentuk asemen,
petugas pelaksana asesmen, prosedur asesmen, dan contoh instrument asesmen; 5)
pengertian intervensi, tujuan intervensi, fase-fase dalam pelaksanaan intervensi,
prinsip pelaksanaan intervensi, dan ruang lingkup layanan intervensi.
f. Tanya jawab tentang keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi
g. Latihan dan tugas mandiri
h. Menyimpulkan materi keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi
4. Media
a. Video tentang keragaman peserta didik
b. Laptop
c. LCD
d. Layar
e. Sound system
f. PPT Materi keragaman peserta didik, identifikasi, asesmen, dan intervensi
g. Kertas warna
h. Kertas flipchart
i. Spidol berwarna
j. Penggaris
k. Pensil
l. Pulpen
m. Lem kertas
n. Doubletip foam
5. Uraian Materi
a. Keragaman peserta didik
Setiap manusia memiliki potensi yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa. Setiap
manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.
Setiap manusia sesungguhnya memiliki banyak kecerdasan (multiple intelegnece).
Potensi dasar manusia harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terintegrasi
dalam pelaksanaan pembelajaran, walau dalam perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan. Faktor-faktor heriditas dan lingkungan
tentunya akan memberikan warna tersendiri pada manusia. Semuanya saling berkaitan dan
mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor lainnya.
Manusia adalah inti dari sebuah proses pendidikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
manusia adalah subjek atau pelaku pendidikan. Oleh sebab itu berbicara masalah pendidikan
harus diformulasikan dan dikaitkan dengan konsep hakekat manusia sebagai pelakunya.
Keragaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat di mana terdapat perbedaan dalam
berbagai bidang terutama suku bangsa, ras, gender, agama, idelogi, budaya “masyarakat yang
majemuk”. Keragaman adalah suatu kondisi dalam masyarakat yang terdapat perbedaan,
contohnya di Indonesia. Indonesia terbagi menjadi beberapa daerah provinsi. Setiap daerah
memiliki pakaian adat yang beragam atau berbeda-beda. Dalam suatu ikatan yang kokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun berbeda-beda namun tetap bersatu.
Perbedaan bukanlah hal yang harus dipermasalahkan atau diperdebatkan. Keragaman
merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Akan ditemukan keragaman karakteristik
anak-anak atau individu di lingkungan sekitar. Keragaman yang dijumpai antara lain usia,
jenis kelamin, pekerjaan, agama dan kepercayaan yang dianutnya, dan sebagainya.
Keragaman sebenarnya mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati
satu sama lain. Keragaman dapat menumbuhkan rasa toleransi agar lingkungan di sekitar kita,
baik itu lingkungan rumah, lingkungan sekolah, dan lingkungan pekerjaan tetap aman,
nyaman, dan menyenangkan. Dengan memahami keragaman setiap individu maka sikap
tenggang rasa akan lebih baik dalam menghargai perasaan orang lain. Dengan memahami
keragaman maka akan tumbuh saling menghargai antar sesama, belajar untuk tidak
membeda-bedakan, tidak menganggap diri adalah yang paling baik, dan dapat memperkaya
pengetahuan dan penguatan karakter sehingga membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pada satuan pendidikan beragam. Kelas merupakan bentuk kecil dari
keragaman yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat beragam karena setiap individu yang
ada di dalamnya juga beragam. Pada hakekatnya kita terbiasa dengan keragaman. Sejak usia
dini kita disuguhkan oleh keragaman di sekeliling kita. Semesta ini diciptakan dengan
keragaman. Keragaman adalah sesuatu yang biasa, sesuatu yang normal adanya.
Begitu pula dengan kemapuan peserta didik didik. Kemampuan anak beragam antara
lain dalam kemampuan kinestetik, kemampuan naturalis, kemampuan eksistensial,
kemampuan linguistic, kemampuan logic mathematic, kemampuan visual dan sosial,
kemampuan musikal, kemampuan interpersonal, dan kemampuan intrapersonal.
Peserta didik tumbuh dan berkembang seiring waktu. Pertumbuhan adalah suatu
pertambahan atau perubahan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme
sebagai suatu kesatuan. Perkembangan adalah proses perubahan yang berlangsung sepanjang
rentang kehidupan, termasuk di dalamnya pola berfikir, hubungan sosial, dan kemampuan
motorik. Fungsi perkembangan dapat memberikan harapan yang realistis terhadap peserta
didik. Memungkinkan orang tua dan guru memberikan pembelajaran atau pendidikan yang
tepat sesuai dengan pola dan tingkat perkembangan peserta didik. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan antara lain genetik (nature), lingkungan (nurture), dan makanan (nutritionis).
Menurut Salmana Billah (Kompasiana, 17 Januari 2015) faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan adalah: “1. Herediitas (bawaan atau keturunan); 2. Kondisi Lingkungan; 3.
Peran Kematangan; 4. Lingkungan Sosial; 5. Status Sosial; 6. Budaya, Ras, dan Etnis; dan 7.
Konteks Sejarah).
Di sekitar kita bahkan di kelas ditemukan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta
didik berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan perkembangan, hambatan belajar dan
memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan yang diakibatkan oleh faktor internal dan
eksternal atau kombinasi dari keduanya, sehingga diperlukan modifikasi dan adaptasi dalam
pembelajaran (tujuan, bahan, metode/media, dan penilaian).
b. Pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Selanjutnya pada Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:” Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam konteks pendidikan
kata “anak” bisa digunakan untuk sebutan peserta didik pada Taman Kanak-kanak (TK) atau
anak yang belum bersekolah yang ada di masyarakat yang usianya belum 18 (delapan) belas
tahun. Sebutan peserta didik di SD, SMP, dan SMA adalah siswa. Berarti siswa adalah
peserta didik pada SD, SMP, dan SMA/SMK. Mengenai pengertian peserta didik dijelaskan
pada Pasal 1 angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagai berikut: “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.”
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, istilah atau sebutan bagi peserta didik yang
memiliki hambatan atau gangguan fisik, emosional, mental, dan sosial disebut peserta didik
yang memiliki “kelainan”. Peserta didik tersebut memerlukan pendidikan khusus. Peserta
didik yang memerlukan pendidikan khusus termasuk juga peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Namun seiring dengan gerakan-gerakan
inklusifitas yang humanis maka sebutan peserta didik yang memiliki kelainan disebut
“peserta didik berkebutuhan khusus”. Istilah lain peserta didik yang memiliki kalinan yaitu
“penyandang disabilitas” seperti tertuang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas. Sebutan atau istilah lainnya yang senada dengan kelainan atau
penyandang disabilitas adalah peserta didik yang memiliki “ketunaan”, “hambatan”, atau
“gangguan.”
Berbicara peserta didik berkebutuhan khusus sebenarnya berbicara pula peserta didik
berkebutuhan khusus yang sifatnya permanen dan temporer. Jika dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 maka PDBK yang sifatnya permanen tersebut adalah peserta
didik yang memiliki kelainan (penyandang disabilitas) dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa yang memerlukan pendidikan khusus seperti dijelaskan pada Pasal
32 ayat (1) sebagai berikut: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Peserta didik berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer adalah peserta didik yang
berasal dari daerah yang terpencil atau terbelakang, anak yang berasal dari masyarakat adat
yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi
ekonomi. Anak tersebut memerlukan pendidikan layanan khusus seperti dijelaskan pada Pasal
32 ayat (2) sebagai berikut: “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan
spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children)
ketika istilah ini digunakan karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebutan untuk jenis pendidikannya pun
berubah yang tadinya “Pendidikan Luar Biasa” pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
menjadi “Pendidikan Khusus” pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Peserta didik berkebutuhan khusus adalah peserta didik yang secara pendidikan
memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya. PDBK
ini memiliki hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and
development), oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan
hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing peserta
didik. Istilah yang digunakan bagi peserta didik yang memiliki hambatan/kelainan atau
penyandang disabilitas pada beberapa peraturan perundang-undangan adalah “Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus.”
Di bawah ini disajikan tabel mengenai peristilahan peserta didik berkebutuhan khusus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut.
Tabel 1 Peristilahan/Nomenklatur Peserta Didik Berkebutuhan Khsus
g. Identifikasi
Kondisi peserta didik sangat beragam baik secara intelektual atau akademik,
sosial, emosi, dan budaya. Kondisi ini mengharuskan guru mata pelajaran dan guru
bimbingan dan konseling untuk mengetahui latar belakang dan kebutuhan masing-
masing peserta didik agar dapat memberikan pelayanan dan bantuannya dengan tepat.
Setiap peserta didik memiliki karakteristik unik yang berkaitan dengan upaya-upaya
yang harus dilakukan agar tepat dalam memenuhi kebutuhan khususnya dan
kebutuhan pembelajarannya. Untuk itu maka setiap guru harus memiliki kemampuan
mengidentifikasi peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui kondisi
semua peserta didik dan lebih fokus lagi mengetahui ada tidaknya peserta didik
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhannya.
1) Pengertian Identifikasi
Identifikasi adalah proses menemukan dan mengenali peserta didik yang
diindikasikan atau diduga membutuhkan pendidikan khusus sesuai dengan
hambatan atau disabilitasnya.
2) Tujuan Identifiksi
Tujuan identifikasi adalah untuk menemukan dan mengenali
(menemukenali) anak yang diindikasikan atau diduga memiliki hambatan fisik,
intelektual, sosial, emosi, dan/atau sensori neurologis. Tujuan berikutnya adalah
mengklasifikasikan atau mengkategorikan hambatan atau disabilitas anak ditinjau
dari keragamannya. Dengan dilakukan identifikasi akan membantu memecahkan
permasalahan yang dihadapi Anak Berkebutuhan Khusus supaya perkembangan
yang dicapai sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
3) Petugas/Pelaksana Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan oleh orang tua atau saudara peserta didik, guru,
guru bimbingan dan konseling, guru pendidikan khusus, dan guru pembimbing
khusus. Identifikasi juga bisa dilakukan oleh dokter, psikolog, petugas sosial
sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Identifikasi yang bertujuan untuk menandai gejala-gejala berkaitan dengan
kelainan, gangguan, atau penyimpangan perilaku yang mengakibatkan
kesulitan/hambatan peserta didik dalam belajar di SPPPI dapat dilakukan oleh
guru misalnya dengan menggunakan daftar cek disesuaikan dengan kebutuhan.
4) Fungsi Identifikasi
Fungsi identifikasi yang dilakukan guru dengan secermat mungkin
bermanfaat untuk penjaringan, klasifikasi, pengalihtanganan, perencanaan
pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.
a) Penjaringan
Fungsi identifikasi untuk penjaringan dengan menandai dan menetapkan anak
yang memiliki hambatan fisik, mental, intelektual, sosial, dan emosi yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala perilaku yang berbeda dari perilaku anak
pada umumnya. Dengan kegiatan identifikasi guru akan mengetahui anak
yang memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, bicara, sosial, dan
sebagainya.
b) Klasifikasi
Dengan kegiatan identifikasi guru akan mengetahui anak yang tergolong
berkebutuhan khusus terkait dengan perbedaan kondisi fisik, mental,
intelektual, social atau emosional, serta gejala-gejala perilaku yang
menyimpang dari perilaku peserta didik pada umumnya. Dengan mengatahui
anak yang tergolong berkebutuhan khusus maka selanjutnya akan mengetahui
anak yang perlu mendapar perhatian dan penangan khusus.
c) Pengalihtanganan
Kegiatan identifikasi berfungsi sebagai pengalih tanganan kepada tenaga
profesi lainnya yang lebih kompeten di bidangnya. Berdasarkan hasil
identifikasi dapat ditemukan anak yang perlu dialihtanganan apabila
ditemukan gejala-gejala yang memerlukan pengamatan lanjut secara teliti dan
cermat. Dengan referral yang tepat oleh tenaga ahlinya diharapkan hasilnya
dapat digunakan dalam meberi petimbangan keputusan tindakan berikutnya
sesuai dengan kondisi anak.
d) Perencanaan Pembelajaran
Identifikasi untuk kepentingan perencanaan pembelajaran adalah hal yang
utama bagi guru. Identifikasi dilakukan untuk keperluan penyusunan program
pembelajaran individual yang sesuai dengan kebutuhan Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus.
e) Pemantauan Kemajuan Belajar
Identifikasi yang dilakukan oleh guru berfungsi untuk mengetahui apakah
program pembelajaran individual yang diberikan kepada peserta didik itu
sudah berhasil atau tidak dalam meningkatkan kompetensinya. Jika telah
berhasil maka dapat dilanjutkan dan ditingkatkan, dan jika belum berhasil
perlu ditinjau ulang dan diperbaiki beberapa aspek yang berkaitan dengan
tujuan, materi, model, metode, media, dan penilaian/evaluasinya.
5) Cara Melakukan Identifikasi
Guru di SPPPI melakukan identifikasi dengan cara melihat aspek
kemampuannya, melihat hambatannya, hingga melihat kebutuhan masing-masing.
Teknik identifikasi yang digunakan yaitu observasi, inventori, catatan guru,
pendapat peserta didik, tes baku, dan tes buatan guru.
a) Observasi
Guru melakukan observasi pada peserta didik di kelasnya dengan terlebih
dahulu menyiapkan lembar catatan yang akan diisi temuan-temuan selama
guru melakukan observasi pada peserta didik.
b) Inventori
Guru dapat membuat daftar cek yang berisi sejumlah perilaku yang
diperlukan akan muncul pada saat guru melakukan pengamatan pada peserta
didiknya.
Kriteria
No Pertanyaan Sering Kadang- Jarang Keterangan
kadang
c) Catatan guru
Selama mengajar guru membuat catatan mengenai kemajuan belajar
masing-masing peserta didik. Catatan yang dibuat guru bisa dibaca ulang
untuk menemukan dan mengenali kekhasan peserta didiknya.
d) Tes baku
Tes baku bisa diperoleh dari Biro-biro Layanan Psikologi dan sejenisnya.
Hasil tes baku, contohnya yang dilakukan oleh psikolog dalam menentukan
intelligence questions (IQ) seorang peserta didik dapat dijadikan bahan
masukan oleh guru dalam pelaksanaan identifikasi dan asesmen.
e) Tes buatan guru
Guru dapat membuat tes untuk menemukan dan mengenali peserta didik
yang diindikasikan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Tes yang
dibuat guru disesuaikan dengan kebutuhan.
Identifikasi harus dilakukan dengan secermat mungkin. Di samping
menemukan dan mengenali peserta didik berkebutuhan khusus, sekaligus guru
mengenali gejala-gejala perlaku yang berbeda dari kebiasaan perilaku peserta
didik pada umumnya, misalnya gejala fisik, gejala perilaku dan emosi, dan
gejala hasil belajar.
7) Instrumen Identifikasi
Dalam melaksanakan identifikasi tentunya harus didukung dengan
instrumen yang memadai. Untuk itulah maka guru harus memahami dan terampil
menyusun dan menggunakan instrumen identifikasi. Instrumen identifikasi
disusun dan disesuaikan dengan tujuan identifikasi yang akan dilaksanakan.
Guru dapat menyusun instrumen identifikasi yang khas buatannya sendiri
atau dapat menggunakan instrumen yang sudah ada. Pada prinsipnya instrumen
identifikasi berkenaan dengan hambatan/kekhususan atau disabilitas peserta didik.
Contoh instrumen identifikasi sebagai berikut.
Asesmen adalah suatu proses yang sistematis dan komprehensif untuk menggali
permasalahan lebih lanjut untuk mengetahui apa yang menjadi potensi, masalah, dan
hambatan. Hasil asesmen digunakan untuk menentukan kebutuhan individu dan
memberikan layanan pendidikan yang sesuai berdasarkan modalitas (potensi) yang
dimiliki individu yang diperlukan dalam menyusun program pembelajaran (Robert M.
Smith, 2002).
2) Tujuan Asesmen
Tujuan utama asesmen adalah untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran bagi peserta
didik berkebutuhan khusus (PDBK). Asesmen dilakukan untuk lima keperluan, yaitu : (1)
penyaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referral), (3) klasifikasi (classification),
(4) perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan (5) pemantauan kemajuan
belajar anak, (monitoring pupil progress).
4) Bentuk Asesmen
Terdapat tiga bentuk assessmen, yaitu: (1) Assessmen For Learning (AfL),
yaitu asesmen yang digunakan untuk kepentingan proses belajar. Asesmen ini
bersifat asesmen yang berorientasi pada kurikulum. (2) Assessmen As Learning
(AaL), yaitu asesmen yang dilakukan dalam proses belajar berlangsung untuk
melihat respon atau perilaku yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung. (3)
Assessmen Of Learning (AoL), yaitu asesmen yang dilakukan diakhir pelajaran
untuk melihat tingkat penguasaan setelah intervensi dilakukan.
5) Petugas/Pelaksana Asesmen
Setiap guru pada satuan pendidikan selayaknya dapat melaksanakan asesmen
perkembangan yang sifatnya informal dan melaksanakan asesmen akademik dan
nonakademik sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Asesmen dapat dilakukan oleh tim
asesmen yang dibentuk oleh satuan pendidikan, dengan melibatkan guru pendidikan
khusus atau guru pembimbing khusus, guru, orangtua, dan/atau tenaga ahli lain sesuai
dengan kebutuhan.
7) Instrumen Asesmen
a) Instrumen Asesmen Perkembangan
Model atau contoh instrumen asesmen perkembangan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus sudah banyak disusun oleh para ahli atau praktisi. Guru
bisa menggunakannya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dari setiap
aspek perkembangan yang akan diasesmen. Guru juga bisa menyusun
instrumen asesmen sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengasesmen
perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus secara komprehensif tidak
bisa dilakukan secara terpisah-pisah atau sebagian-sebagian, melainkan harus
dilakukan secara terus menerus untuk melihat tahapan perkembangannya. Jadi
pelaksanaan asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus harus
dilakukan secara terus menerus. Dengan pelaksanaan asesmen perkembangan
yang terus menerus, akan diketahui tahapan perkembangan peserta didik
berkebutuhan khusus dari waktu ke waktu, dari kemampuan awal ke
kemampuan berikutnya dan dari pengenalan ke tahap kemampuan nyata.
Dengan demikian, asesmen perkembangan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus harus dilakukan secara terus menerus untuk mengetahui tahapan-
tahapan yang harus dilaluinya secara optimal. Sebab bagaimana pun
perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus tersebut akan mewarnai
kemampuan akademiknya.
Instrumen asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus pada
satuan pendidikan adalah alat yang digunakan untuk memantau, menelaah,
meneliti, dan melihat tingkat perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus
yang meliputi perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan
motorik, perkembangan sosial-emosional, perkembangan karakter dan moral
peserta didik, dan perkembangan seni peserta didik. Jadi untuk melakukan
asesmen perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus pada satuan
pendidikan (SMA/SMK) diperlukan instrumen atau alat yang tepat untuk
melihat tingkat perkembangannya. Dengan alat yang tepat maka akan diketahui
dan diprediksi tentang perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus sesuai
dengan jenis hambatannya secara tepat, berkesinambungan, dan terus menerus
sehingga perubahan dan pertumbuhan sikap dan prilaku peserta didik
berkebutuhan khusus dapat dilihat dan dipantau secara utuh dan terus menerus.
Contoh instrumen asesmen perkembangan sebagai berikut.
Tabel 9 Contoh Instrumen Asesmen Perkembangan Peserta Didik Autis
Catatan/
No Aspek Perkembangan Deskripsi
Keterangan
1 Motorik
2 Kognitif
3 Bahasa
4 Sosial Emosi
1) Intervensi
1) Pengertian intervensi
Menurut Endang Rochyadi: “Intervensi secara harfiah diartikan sebagai
“ikut campur atau keterlibatan”. Jadi Intervensi dapat dipandang sebagai
keterlibatan seseorang (someone's involvement) di dalam memberikan bantuan.
Stimulasi diartikan sebagai “rangsangan”. yaitu keterlibatan seseorang di dalam
memberikan ransangan-ransangan.”
2) Tujuan intervensi
Intervensi bertujuan untuk meminimalisir atau meredakan masalah, bahkan
jika mungkin dapat menghilangkannya. Stimulasi bertujuan untuk mengantisifasi
atau mencegah agar terhindar dari masalah yang tidak diharapkan. Akan tetapi
keduanya memiliki ujung yang sama yaitu sebagai upaya untuk menghilangkan
atau meredakan masalah. Dari sisi orientasi atau sasaran penanganan, intervensi
dan stimulasi bedanya hanya pada penekanan, diaman yang satu bersifat
mengantisifasi (stimulasi) sementara intervensi orientasinya secara tegas pada
mereka yang secara nyata memiliki masalah (intervensi) dengen tujuan untuk
menyelesaikan atau sekurang-kurangnya meminimalisir masalah yang dimiliki
individu. (Endang Rochyadi: 2020)
3) Fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
a) Skjorten (2003) menjelaskan bahwa perkembangan
pengetahuan, penelitian dan praktek dalam intervensi
mengalami banyak perubahan. Ada tiga fase perkembangan
dalam intrevensi, sebagai berikut;
b) fase pertama; pada fase ini, seorang intervensionis (guru ahli
intervensi) melakukan intervensinya secara khusus dan langsung
kepada anak (child-focused intervenstion) tanpa melibatkan pihak
manapun. Treatment atau di-remedial langsung agar kelemaham dan
hambatan itu dapat diatasi (Dunst, 2005).
c) Fase kedua; ahli intervensi mulai melibatkan pihak lain, yaitu orang
tua (familily base early intervenstion). Ahli intervensi pada fase ini,
mulai memberikan intervensinya dengan melibatkan orang tua untuk
melakukan tindakan tertentu atas rekomendasi-rekomendai yang
diberikan oleh intervionis. Fase kedua ini dipandang sebagai
kemajuan luar biasa dalam melakukan intervensi dimana orang tua
mulai terlibat, namun asumsi yang digunakan masih sama seperti
pada fase pertama. Pada fase dua ini dipandang belum membangun
kompetensi pihak yang dilibatkan, tetapi masih sebatas berpartisifasi
aktif untuk ikut melakukan tindakan berdasarkan rekomendasi yang
diberikan oleh ahli intervensi.
d) Fase ketiga; Seorang intervionis (ahli intervensi) tidak lagi
melakukan intervensi langsung kepada anak, melainkan adanya
pengalihtanganan kepada keluarga agar memilki kompetensi. Ahli
intervensi bersama keluarga melakukan intervensi kepada anak
(family base intervenstion). Intervensi pada fase ketiga ini melihat
bahwa faktor utama dalam perkembangan anak adalah penciptaan
lingkungan keluarga (microsystem). Tugas intervensionis pada fase ini
adalah membangun kompetensi keluarga (orang tua) untuk dapat
melakukan intervensi pada anaknya. Jadi sasaran intervensionis
adalah keluarga. Urie Brofenbrenner (Dunt, 2005).
4) Prinsip layanan intervensi
Ada beberapa prinsip dalam pemberian layanan intervensi, prinsip-prinsip
yang dimaksud yaitu:
a) Spesifik; yang dimaksud prinsip spesifik dalam dalam intervensi adalah apa
yang akan diselesaikan benar-benar fokus pada satu perilaku tertentu. Apakah
terkait dengan soal perkembangan yang menjadi inti masalah dan
menimbulkan terjadinya hambatan belajar pada individu itu atau focus dalam
pengertian pada prilaku negative tertentu yang menimbulkan terjadinya
hambatan dalam belajar. Misalnya; perilaku hiperaktif dengan menunjukkan
perilaku meninggalkan tempat duduk (focus perilaku) pada saat individu
belajar dengan frekuensi yang tinggi. Jika perilaku ini muncul, maka harus
dicari cara secara spesifik untuk meredakan tingkah laku tersebut agar
individu itu dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tenang.
b) Cermat; yang dimaksud cermat dalam intervensi adalah tindakan-tindakan
intervensi yang dilakukan didasarkan atas pertimbangan yang tepat dan
matang. Ketepatan dan kematangan dalam tindakan intervensi didasarkan atas
data-data perilaku yang ditunjukkan.
c) Inten dan berkelanjutan; yang dimaksud inten dan berkelanjutan adalah
tindakan-tindakan intervensi dilakukan secara konsisten, terjadwal dan
terstruktur berdasarkan tahapa-tahapan dan berkesinambungan.
d) Keterlibatan pihak lain; melibatkan pihak lain yang dimaksud adalah pihak-
pihak yang dekat dengan individu, misalnya keterlibatan orang tua (keluarga).
Keterlibatan keluarga menjadi dasar dalam melakukan tindakan-tindakan
dalam intervensi agar setiap tindakan yang diharapkan sejalan dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan guru (sekolah).
e) Responsif dan reaktif. (Dalam Endang Rochyadi: 2020)
5) Ruang lingkup layanan intervensi
Pemberian intervensi pada anak berkebutuhan khusus akan terjadi dalam
banyak hal, baik intervensi yang berkaitan dengan masalah akademik,
perkembangan atau perilaku spesifik. Intervensionis (guru) yang menangani anak
berkebutuhan khusu dalam memberikan intervensinya tidak hanya satu aspek
secara terpisah, melainkan seringkali harus menghadapi pada aspek yang berbeda
tetapi dilakukan tindakan-tindakannya dalam waktu bersamaan atau paling tidak
jarak antara masalah yang diintervensi yang satu memiliki rentang yang pendek
pada masalah lainnya. Misalnya; pada saat yang hampir bersamaan guru
menyelesaikan masalah membaca, tapi pada saat itu pula guru meredakan
perilaku meludah, atau mengepak-ngepak tangan (streotif).
Secara umum aspek-aspek intervensi yang sangan mendasar dan paling
awal dilakukan dalam masalah akademik terkait dengan ketemapilan dasar Tree-
Art yaitu kemampuan akademik dalam bahasa; mendengar (listening), bicara
(speak) membaca (reading), menulis (pre-writing dan writing) dan berhitung
(arithmatic) ; komputasi, bilangan, oprasi hitung, geometri, waktu dan uang).
Dalam aspek perkembangan mencakup; Kognitif (klasifikasi, seriasi,
korespondensi dan konservasi. Dalam Aspek Motorik (gross motor, fine motor,
balance, locomosi dan koordinasi), Dalam aspek persepsi visual (diskriminasi,
spasial, figure and ground, memory), persepsi auditori (keadaran fonem, morfem,
semantic dan sintaksis)
Perilaku-peilaku spesifik seperti; stereotif fisik (memukul-mukul
bagian anggoota badan) stereotif verbal (membunyikan kata-kata terentu tanpa
arti), echolalia (mengikuti ucapan orang lai), hipoaktif (tidak mau merespon),
Hiperaktif (tidak maudiam tanpa arah), memukul tanpa sebab, meludah tanpa
henti, memutar-mutar benda tertentu, menjambak rambut tanpa sebab gangguan
perhatian dan atau konsentrasi dan lain-lain. (Endang Rochyadi: 2020)
6. Evaluasi (Latihan/Kasus/Tugas)
LEMBAR KERJA B1 TUGAS MANDIRI
a. Keragaman Peserta Disik
1) Jelaskan keragaman peserta didik
2) Jelaskan pengertian peserta didik berkebutuhan khusus
3) Jelaskan pengertian peserta didik penyandang disabilitas
4) Jelaskan pengertian peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa
5) Berilah contoh jenis-jenis peserta didik berkebutuhan khusus atau ragam
disabilitas
6) Jelaskan cara penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengakomodasi
peserta didik berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas dalam layanan
pendidikan inklusif
b. Identifikasi
1) Jelaskan pengertian identifikasi
2) Jelaskan tujuan identifikasi
3) Jelaskan petugas yang melaksanakan identifikasi
4) Jelaskan fungsi identifikasi
5) Jelaskan cara melakukan identifikasi
6) Jelaskan prosedur pelaksanaan identifikasi
7) Buatlah contoh instrumen identifikasi
c. Asesmen Diagnostik
1) Jelaskan pengertian asesmen diagnostik dan nondiagnostik
2) Jelaskan tujuan asesmen
3) Jelaskan penggolongan dan jenis asesmen
4) Jelaskan bentuk asesmen
5) Jelaskan petugas/pelaksana asesmen
6) Jelaskan prosedur asesmen
7) Buatlah contoh instrumen asesmen perkembangan
d. Intervensi
1) Jelaskan pengertian intervensi
2) Jelaskan tujuan intervensi
3) Jelaskan fase-fase dalam pelaksanaan intervensi
4) Jelaskan prinsip layanan intervensi
5) Jelaskan ruang lingkup layanan intervensi
8. Referensi
a. Bronfenbrenner, U. (1992). Ecological System Theory. In R. Vasta (Ed.), Six theories
of child development: Revised formulations and current issues (pp. 187-248).
Philadelphia, PA: Jessica Kingsley.
b. Duns, C. J., Trivette, C. M., & Deal, A. (1988). Enabling and empowering families:
Principles and guidelines for practice. Cambridge, MA: Brookline Books.
c. Dunst, C. J. (2005). Framework for practicing evidence-based early childhood
intervention and family support. Retrieved from CASEinPoint, 1 (1), 1-11:
http://fipp.org/static/media/uploads/caseinpoint/caseinpoint, vol11no11.pdf
d. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2020). Karakter Pembelajaran Inklusif.
Penerbit MDP Media
e. Johnsen, B. H., & Skjørten, M. D. (2003). Pendidikan Kebutuhan khusus; Sebuah
Pengantar,. Bandung: Unipub.
f. Kaufman, J.M. dan Hallahan, D. (2005), Special Education; What It Is and Why We
Need It, Boston: Pearson Education
g. James A. McLoughlin and Rena B. Lewis. (1986). Assessing Special Students. Merril
Publishing Company Columbus Toronto London Sydney.
h. Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2021). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif.
Balitbang dan Perbukuan. Kemendikbudristek.
i. Zainal Alimin Dkk. (2013). Layanan Pendidikan Inklusi Pegangan bagi Pelatih. Save
The Children, IKEA, dan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat