Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDUAL – 1

TEORI & APLIKASI ORGANISASI

NAMA : LA ODE MUHUNI


NIM : 221110001

1. Ulasan Singkat Paradigma Ilmu Administrasi Publik

Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara
memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Dan Ilmu Administrasi publik adalah ilmu pengetahuan yang dinamis dan telah mengalami
perubahan dan perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan tantangan yang
dihadapi. Paradigma yang muncul merupakan sudut pandang ahli tentang peranan dan
tantangan Administrasi Publik dalam menjawab masalah yang muncul. Walaupun selalu
muncul dalam sebuah paradigma akan umum para ahli menilai ada empat perkembangan
paradigma administrasi publik. Dalam beberapa literatur Administrasi Publik dari dalam
maupun luar negeri terdapat empat paradigma yang berkembang dalam Administrasi Publik
yaitu : Old Public Administration (OPA), New Public Administration (NPA), New Public
Management (NPM), New Public Services (NPS).

2. Ulasan singkat Teori Kontingensi dan contoh studi empiriknya


Teori kontingensi telah diterima secara luas dalam disiplin ilmu manajemen sejak awal
60an. Munculnya teori ini adalah hasil dari kritik terhadap klasik teori-teori yang
menganjurkan "one best way" untuk mengatur dan mengelola organisasi. Teori Kontingensi
mengusulkan bahwa tidak ada cara yang terbaik untuk mengatur berbagai macam organisasi
yang bekerja di industri yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula. Gaya manajemen dan
struktur organisasi yang sesuai tergantung pada konteks lingkungan organisasi yang
bersangkutan.

Salah satu studi paling berpengaruh dalam munculnya teori kontingensi adalah penelitian
Burns dan Stalker (1961). Mereka meneliti hubungan antara praktek manajemen internal dan
faktor lingkungan eksternal di 20 industri organisasi di Inggris untuk menemukan faktorfaktor
mempengaruhi pada kinerja ekonomi. Mereka menemukan dua praktek manajemen yang
berbeda yang digunakan, yang mereka kelompokkan sebagai "mekanistik" dan "Organik"
sistem. Sistem mekanistik sangat tepat untuk organisasi yang beroprasi di bawah kondisi yang
stabil. Organisasi-organisasi ini bekerja rutin dan paham dengan baik tentang teknologi. Tugas
dan kewajiban karyawan ditetapkan dengan jelas oleh kepala departemen. Komunikasi dalam
organisasi tersebut dirancang vertikal, dan isinya cenderung instruksi dari atasan. Di sisi lain,
sistem organik, lebih cocok untuk organisasi yang bekerja bawah lingkungan yang tidak stabil
dan mudah berubah. Sistem ini memungkinkan organisasi yang bersangkutan untuk
beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Organisasi ini tidak memperhatikan banyak aturan
dan prosedur. Untuk mengatasi perubahan, organisasi-organisasi menggunakan komunikasi
lateral, yang menyerupai konsultasi daripada perintah vertikal, dan oleh karena itu
membutuhkan rentang pengawasan yang dalam dan lebih luas daripada model mekanistik.
Burns dan Stalker menekankan bahwa setiap sistem yang sesuai harus melihat juga kondisi
tertentu. Tidak ada sistem lebih unggul daripada yang lain di segala situasi.

Hasil serupa juga ditemukan oleh Woodward (1965). Dia meneliti hubungan antara
teknologi dan struktur organisasi-organisasi yang sukses di Selatan Essex, Inggris. Berdasarkan
teknik produksi dan kompleksitas sistem produksi, ia mengklasifikasikan organisasi ke dalam
tiga kelompok, yang terdiri dari batch kecil dengan unit produksi (misalnya industri custom-
menjahit), batch besar dengan massa produksi (misalnya industri mesin berbahanbakar
standar), dan proses dengan berkesinambungan produksi (misalnya industri bahan kimia).
Woodward menunjukkan bahwa keberhasilan organisasi di industri yang berbeda dengan
teknologi yang berbeda ditandai oleh struktur organisasi yang berbeda pula. Sebagai contoh, ia
menemukan bahwa sukses organisasi yang terlibat dalam batch kecil dengan unit produksi
memiliki periode pengawasan pengendalian yang lebih luas dan tingkat hirarki lebih sedikit
daripada organisasi yang sukses dengan proses dan produksi berkesinambungan.

Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi atau Sistem mekanistik yang sesuai untuk organisasi
yang beroperasi dalam kondisi yang stabil seperti industri kimia, sedangkan sistem organik
sangat cocok untuk organisasi bekerja di bawah kondisi yang dinamis, seperti industri kecil
seperti penjahit.

Pengaruh lingkungan terhadap organisasi ini disorot lebih lanjut oleh Chandler (1962). Dia
melakukan studi banding terhadap perusahaan AS, yang kebanyakan memegang premis
sederhana struktur organisasi yang diikuti. Dari studi ini, ia menemukan bahwa perubahan
lingkungan, seperti perubahan dalam populasi, pendapatan, dan teknologi, memberikan pilihan
strategis baru untuk perusahaan. Pilihan yang dimaksudkan meliputi ekspansi dalam volume
produksi, ekspansi geografis (pasar diversifikasi), dan diversifikasi produk. Sebuah strategi
baru akan disebut baru jika dapat menumbuhkan peluang secara efektif. Selama studinya,
Chandler menunjukkan bahwa strategi yang berbeda dan lingkungan yang berbeda yang
dibutuhkan dalam struktur organisasi. Organisasi terpusat, misalnya, tampaknya hanya sesuai
untuk perusahaan yang beroperasi di lingkungan yang relatif tidak berubah. Namun, ketika
lingkungan berubah dengan cepat, struktur ini tidak memungkinkan bagi manajemen untuk
menanggapi perubahan lingkungan dengan cepat, dan karena itu tidak dapat memanfaatkan
kesempatan yang tersedia. Dalam lingkungan seperti itu, perusahaan-perusahaan yang
menerapkan struktur desentralisasi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Penerapan teori kontingensi di dalam organisasi
Kepemimpinana dalam organisasi yang efektif bergantung pada situasi ketika kepemimpinan
tersebut dilaksanakan. Teori kontingensi dari Fiedler adalah teori yang membahas gaya
kepemimpinan yang bergantung pada situasi organiasasi tersebut. Karakteristik situasi
kepemimpinan yang paling penting terdapat dalam 3 variabel yaitu :
1. Leader-Member Orientation: hubungan pribadi antara pemimpin dengan para anggotanya.
Jika sebuah organisasi memiliki situasi leader-member orientation yang baik, itu artinya
anggota menyukai, mempercayai dan menghargai pemimpin. Hal ini dianggap efektif
dalam kepemimpinan sebuah organisasi.
2. Task Structure: Tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk dikerjakan oleh
anggota organisasi. Semakin tugas terstruktur maka pemimpin makin memiliki pangaruh
besar dalam sebuah organisasi.
3. Kekuasaan jabatan : tingkat hukuman, penghargaan, kenaikan pangkat, disiplin, teguran
yang dapat diberikan pemimpin kepada anggotanya. Pemimpin mempunyai kekuasaan
besar dalam sebuah organisasi bila ia mampu member penghargaan dan menjatuhkan
hukuman bagi yang melakukan kesalahan.

Efektifitas pemimpin ditentukan oleh kesesuaian antara gaya pemimpin dengan


keharmonisan situasinya. Alasan yang menyebabkan gaya kepemimpinan tertentu lebih efektif
dalam beberapa situasi berbeda dapat diterangkan memalui harmonis dan tidak harmonis.
Studi Kasus Empriknya Misalnya dalam sebuah organisasi Himpunan Mahasiswa, dalam
situasi yang harmonis, pemimpin menjadi orang yang disukai, memberikan tugas yang jelas dan
mempunyai kekuasaan yang besar. Dalam kondisi seperti ini jelas semua variable situasi yang baik
telah tersedia, jadi pemimpin harus meningkatkan kewibawaan bagi anggotanya. Jika pemimpin
dari himpunan mahasiswa tersebut ada dalam situasi organisasi yang harmonis, maka anggotanya
akan bersedia mengikuti usaha pemimpin dalam mengarahkan mereka. Sebaliknya jika sebuah
organisasi himpunan mahasiswa memiliki pemimpin yang tudak disukai, penjelasan tugas samar-
samar dan kekuasaan lemah, maka itu merupakan situasi yang tidak harnonis. Dalam keadaan
seperti ini, pemimpin dalam organisasi HIMA harus memusatkan perhatian pada pekerjaan dan
mengarahkan anggota dengan mempergunakan pengaruh anda sebagai pemimpin yang memiliki
kewenangan untuk hal tersebut

3. Ulasan Singkat Teori Ekologi Populasi dan teori agensi dan contoh studi empiriknya
A. Teori Ekologi Populasi
Teori Ekologi Populasi membahas perubahan organisasi sebagai fungsi dari kekuatan-
kekuatan lingkungan pada populasi organisasi, khususnya pada proses pembentukan dan
kegagalan organisasi. Pandangan Ekologi Populasi tersebut menentang pendapat Teori
Kontijensi Struktural yang menyatakan bahwa proses adaptasi dilakukan pada level
individu organisasi. Bagi Teori Ekologi Populasi adaptasi terjadi pada level populasi
melalui proses lahir (birth) dan mati (death). Oleh sebab itu proses adaptasi yang dijalankan
oleh organisasi sebetulnya lebih merupakan proses seleksi alam (Donaldson,2000).

Berikut ini adalah beberapa konsep yang lazim ditemui dalam tulisan-tulisan mengenai
Teori Ekologi Populasi:
a) Structural inertia. Structural inertia adalah kecenderungan organisasi untuk
mempertahankan struktur internalnya apapun yang terjadi pada fakor lain-lainnya. Jadi
sebenarnya konsep ini merujuk pada ketidakmampuan suatu organisasi untuk
beradaptasi dengan lingkungannya: semakin kuat tekanan structural inertia, semakin
rendah fleksibilitas adaptif organisasi tersebut. Teori structural inertia menyatakan
bahwa proses perubahan akan menciptakan masalah reorganisasi internal dan legimitasi
eksternal (Hannan dan Freeman, 1984).
b) Liability of newness. Liability of newness berunjuk pada kenyataan bahwa risiko mati
(bangkrut) organisasi yang masih baru adalah tinggi dan risiko ini akan menurut sejalan
dengan bertambahnya usia perusahaan (Stinchombe, 1965).
c) Liability of smallness. Liability of smallness merujuk pada kecenderungan menurunnya
tingkat kematian (mortality rate) sejalan dengan semakin besarnya ukuran organisasi.
Ada dugaan mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu karena organisasi-organisasi besar
umumnya memiliki akuntabilitas, reliabilitas dan legitimasi yang juga lebih besar.
d) Niche width theory. Niche width theory menyatakan bahwa populasi organisasi
menempati niche yang sama dalam arti bahwa mereka tergantung pada sumber daya
lingkungan yang identik. Jika dua populasi organisasi menempati niche yang sama tapi
berbeda dalam hal karakteristik organisasi, maka populasi yang memiliki kecocokan
yang lebih kecil dengan karakteristik lingkungan akan dieliminasi.
e) Generalist population dan specialist population. Terkait dengan niche width
theory teori Ekologi populasi menyatakan bahwa generalist population tergantung pada
rentang niche yang lebar sumber daya lingkungan. Keadaan ini akan memaksimalkan
eksplorasi tetapi akan meningkatkan risiko. Sebaliknya specialist
population tergantung pada kondisi lingkungan yang spesifik atau rentangan niche yang
sempit dan hal tersebut akan memungkinkan organisasi di dalamnya untuk makmur dari
pemanfaatan niche khusus tersebut. Perbedaan karakteristik keluasan
rentangan niche ini akan berpengaruh pada strategi organisasi yang ada di dalamnya.
f) Density dependence. Density dependence menyatakan bahwa legimitasi dan kompetisi
bergantung pada tingkat kepadatan populasi. Pada waktu tingkat kepadatan rendah,
proses legitimasi mendominasi dan hal ini akan meningkatkan tingkat kelahiran dan
menurunkan kematian organisasi. Pada waktu tingkat kepadatan tinggi, kompetisi akan
mendominasi dan hal ini akan menurunkan tingkat kelahiran dan meningkatkan tingkat
kematian organisasi.
Ada beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam pembahasan-pembahasan. Teori
Ekologi Populasi (Robbins, 1990). Pertama, teori ini memusatkan pada kelompok atau
populasi organisasi, bukan sebuah organisasi. Kedua, teori ini mendefinisikan efektivitas
organisasi semata-mata sebagai survival (mampu bertahan hidup). Ketiga, lingkungan
sangat menentukan dan manajemen memiliki pengaruh yang kecil terhadap kemampuan
organisasi untuk bertahan hidup. Keempat, kapasitas (daya dukung/carriying capacity)
lingkungan adalah terbatas.

B. Teori Keagenan (Agency theory)

Persektif teori agensi merupakan dasar yang digunakan memahami isu corporate
governance dan earning management. Agensi teori mengakibatkan hubungan yang asimetri
antara pemilik dan pengelola, untuk menghindari terjadi hubungan yang asimetri tersebut
dibutuhkan suatu konsep yaitu konsep Good Corporate Governance yang bertujuan untuk
menjadikan perusahaan menjadi lebih sehat. Penerapan corporate governance berdasarkan
pada teori agensi, yaitu teori agensi dapat dijelaskan dengan hubungan antara manajemen
dengan pemilik, manajemen sebagai agen secara moral bertanggung jawab untuk
mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan
memperoleh kompensasi yang sesuai dengan kontrak. Dengan hal ini terdapat dua
kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk
mencapai kemakmuran yang dikehendaki, sehingga muncullah informasi asimetri antara
manajemen dengan pemilik yang dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk
melakukan manajemen laba dalam rangka menyesatkan pemilik mengenai kinerja ekonomi
perusahaan (Sefiana, 2009).

Masalah keagenan (agency problem) pada awalnya dieksplorasi oleh Ross (1973),
sedangkan eksplorasi teoritis secara mendetail dari teori keagenan pertama kali dinyatakan
oleh Jensen and Mecking (1976) menyebutkan manajer suatu perusahaan sebagai “agen” dan
pemegang saham “principal”. Pemegang saham yang merupakan principal mendelegasikan
pengambilan keputusan bisnis kepada manajer yang merupakan perwakilan atau agen dari
pemegang saham. Permasalahan yang muncul sebagai akibat sistem kepemilikan perusahaan
seperti ini bahwa adalah agen tidak selalu membuat keputusan-keputusan yang bertujuan
untuk memenuhi kepentingan terbaik principal. Salah satu asumsi utama dari teori keagenan
bahwa tujuan principal dan tujuan agen yang berbeda dapat memunculkan konflik karena
manajer perusahaan cenderung untuk mengejar tujuan pribadi, hal ini dapat mengakibatkan
kecenderungan manajer untuk memfokuskan pada proyek dan investasi perusahaan yang
menghasilkan laba yang tinggi dalam jangka pendek daripada memaksimalkan kesejahteraan
pemegang saham melalui investasi di proyek-proyek yang menguntungkan jangka panjang.

Terdapat cara-cara langsung yang digunakan pemegang saham untuk memonitor


manajemen perusahaan sehingga membantu memecahkan konflik keagenan. Pertama,
pemegang saham mempunyai hak untuk mempengaruhi cara perusahaan dijalankan melalui
voting dalam rapat umum pemegang saham , hak voting pemegang saham merupakan bagian
penting dari asset keuangan mereka. Kedua, pemegang saham melakukan resolusi dimana
suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan lobby terhadap manajer
(mewakili perusahaan) berkenaan dengan isu-isu yang tidak memuaskan mereka. Pemegang
saham juga mempunyai opsi divestasi (menjual saham mereka), divestasi mereprestasikan
suatu kegagalan dari perusahaan untuk mempertahankan investor, dimana divestasi
diakibatkan oleh ketidakpuasan pemegang saham atas aktivitas manajer ( Warsono, 2009).

Manajemen laba didasari oleh adanya teory agency yang menyatakan bahwa setiap
individu cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya. Konsep Agency Theory adalah
hubungan atau kontrak antara principal dan agen. Principal memperkerjakan agen untuk
melakukan tugas dalam rangka memenuhi kepentingan principal.
Contoh Studi Empiriknya yaitu ada satu Konflik antara manajer dan pemegang saham,
manajer memilih banyak laba yang iditahan sedangkan pemilik saham memilih untuk dividen
dibagikan. Yang kedua Konflik kepemilikan saham dengan pemegang saham. Dan yang ketiga
adalah Konflik investor dan pemberi pinjaman. Kebijakan deviden suatu perusahaan
melibatkan dua pihak yang berkepentingan dan saling bertentangan yaitu kepentingan
pemegang saham dengan deviden dan kepentingan perusahaan dengan laba ditahannya,
disamping itu kepentingan bandholder yang dapat mempengaruhi besarnya deviden kas yang
didirikan. deviden yang ditentukan kepada para pemegang tergantung pada kebijakan masing-
masing perusahaan, sehingga memerlukan pertimbangan lebih dari manajemen perusahaan .

4. Ulasan Singkat Teori Institusionalisme dan contoh studi empiriknya


Teori Institusional (Institusional Theory) atau teori kelembagaan yaitu terbentuknya
organisasi karena adanya tekanan lingkungan institutional yang menyebabkan
terjadinya institutionalisasi. Pemikiran yang mendasari teori ini adalah pemikiran bahwa
untuk bertahan hidup, suatu organisasi harus mampu meyakinkan kepada publik atau
masyarakat bahwa organisasi adalah suatu entitas yang sah (legitimate) serta layak untuk
didukung (Ridha dan Basuki, 2012). Teori Institusional yang dikemukakan oleh Scott (2008)
menjelaskan bahwa teori ini digunakan untuk menjelaskan tindakan dan pengambilan
keputusan dalam organisasi publik.
Teori Institusional telah muncul menjadi terkenal sebagai penjelas yang menguatkan, baik
untuk tindakan-tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan oleh faktor eksogen,
faktor eksternal, faktor sosial, faktor ekspektesi masyarakat, dan faktor lingkungan. Teori
Institusional ini mendefinisikan bahwa organisasi yang mengedepankan legitimasi akan
memiliki kecenderungan untuk berusaha menyesuakan diri pada harapan eksternal ataupun
harapan sosial dimana organisasi tersebut berada (Fitrianto, 2015). Penyesuaian terhadap
harapan eksternal atau harapan harapan sosial dapat menyebabkan timbulnya kecenderungan
organisasi untuk memisahkan kegiatan pribadi mereka dan berfokus pada sistem yang sifatnya
simbolis pada pihak eksternal. Organisasi publik yang cenderung fokus pada perolehan
legitimasi maka bisa jadi akan memiliki kesamaan atau isomorfisme (isomorphism) dengan
organisasi publik lainnya. Perspektif yang dikemukakan oleh Ridha dan Basuki (2012)
menyebutkan bahwa muncul bentukan-bentukan dari Institusional yang bersifat isomorphism.
Isomorfisme (isomorphism) yaitu suatu proses yang mendukung atau mendorong satu unit
kedalam populasi untuk menyerupai unit yang lainnya guna menghadapi pada kondisi
lingkungan yang sama. Penelitian terbaru telah menekankan bagaimana organisasi publik
menjadi subjek tekanan institusional yang mendalam sehingga menyebabkan suatu kemiripan
(Ridha dan Basuki, 2012).
Teori institusional ini memprediksi bahwa organisasi akan menjadi lebih serupa
dikarenakan oleh tekanan institusional, baik dikarenakan adanya koersif (ketika organisasi
terpaksa melakukan adopsi struktur atau aturan), normatif (ketika organisasi mengadopsi
berbagai bentuk karena tuntutan professional organisasi sementara itu sendiri mengklaim
bahwa mereka superior), dan mimetik (ketika organisasi mengkopi atau meniru organisasi
lainnya, biasanya disebabkan adanya ketidakpastian). Isomorfisme koersif merupakan bentuk
tekanan eksternal, dimana suatu organisasi ada dalam tekanan yang mengharuskan untuk
patuh pada aturan untuk mencapai tujuan. Isomorfisme normatif adalah bentuk komitmen
manajemen, dimana didalam organisasi jika semakin tinggi isomorfisme normatif maka tujuan
organisasi akan tercapai maksimal. Sedangkan isomorfisme mimetik merupakan terjadinya
ketidakpastian lingkungan terhadap suatu organisasi, dimana ketika terjadi isomorfisme
mimetik atasan akan mengarahkan bawahannya untuk meniru organisasi yang telah berhasil.

Contoh Studi Empiriknya misalnya perubahan sebuah Puskesmas menjadi BLUD dalam
perspektif Teori Kelembagaan dan peran akuntansi. perubahan Puskesmas menjadi BLUD
dari dimensi Coercive Isomorphism dalam perspektif Institusional yang disebabkan oleh
dominasi dari Regulasi dan Program 100 Hari Kerja Pemerintah Kabupaten Malang. Selain
itu, dalam bentuk dimensi Mimetic Isomorphism, ditemukan adanya model
swasta. Selanjutnya, dalam dimensi Isomorfisme Normatif, terdapat aktor-aktor profesional
diluar organisasi yang mengadopsi konsep-konsep terkait PPK-BLUD. Sementara itu, jika
diuji dari peran akuntansi—khususnya pada Akuntansi Manajemen—pemaknaan penonton
untuk mengenal Rencana Strategis Bisnis Lima Tahunan dan Rencana Bisnis Anggaran (RBA)
Tahunan. Selain itu, pengendalian internal untuk persediaan obat-obatan yang diidentifikasi
dari perspektif Sistem Informasi Akuntansi. Lebih lanjut, dalam aspek Akuntansi adalah
sekedar menjalankan SIMDA tanpa memahami SAP dan konsep Akuntansi
Akrual. pengendalian internal untuk persediaan obat-obatan diidentifikasi dari perspektif
Sistem Informasi Akuntansi. Lebih lanjut, dalam aspek Akuntansi adalah sekedar menjalankan
SIMDA tanpa memahami SAP dan konsep Akuntansi Akrual. pengendalian internal untuk
persediaan obat-obatan diidentifikasi dari perspektif Sistem Informasi Akuntansi. Lebih
lanjut, dalam aspek Akuntansi adalah sekedar menjalankan SIMDA tanpa memahami SAP
dan konsep Akuntansi Akrual.

5. Ulasan Singkat Teori Kepemimpinan Organisasi dan contoh studi empiriknya


Kepemimpinan telah lama menjadi kajian para ahli dan selalu menarik untuk dibahas
karena teori dan pendekatannya selalu berkembang dan berevolusi, dari mulai yang
mendasarkan pada sifat bawaan lahir, kemudian berkembang kepada gaya-gaya
kepemimpinan, kemudian berkembang lagi ke tipe kepemimpinan yang sesuai dengan situasi-
situasi tertentu, hingga ke model kepemimpinan yang dilihat dari bagaimana dia berinteraksi
dengan orang lain dan mampu membawa pengikutnya menghadapi perubahan-perubahan.
[ Bolden, 2003] menyatakan bahwa tinjauan terhadap literatur kepemimpinan
mengungkapkan adanya serangkaian perkembangan pemikiran mulai dari ‘Teori Manusia
Hebat’ dan Teori Sifat kepada Teori Kepemimpinan Transformasional. Mulai dari teori yang
berfokus pada karakteristik dan perilaku para pemimpin yang sukses bergeser kepada teori
yang mempertimbangkan peran pengikut dan sifat konstekstual kepemimpinan.
Berdasarkan teori kepemimpinan modern yang muncul belakangan menunjukkan bahwa
untuk menjadi pemimpin yang sukses diperlukan kemampuan dan keterampilan untuk
merumuskan visi serta mengimplementasikan visi tersebut ke dalam realitas organisasi. Ini
artinya, bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan berbagai analisis situasi dan informasi secara
mendalam dan komprehensif guna pengambilan keputusan yang tepat, cepat, dan akurat tanpa
mengabaikan pihak-pihak yang relevan dengan keputusan yang akan diambil. Pemimpin yang
sukses harus dapat menciptakan situasi yang dapat menggerakkan dan menginspirasi para
pengikutnya agar dapat mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi dari kondisi
sebelumnya. Dengan kata lain, pemimpin yang sukses harus dapat mengintegrasikan
pemberdayaan yang ideal, kualitas total, membangun tim, dan manajemen partisipatif, serta
menjadikan layanan moral dan etika sebagai filosofi kepemimpinan.
Menurut Greenleaf Center for Servant-Leadership [Page, 1997] model kepemimpinan yang
sukses adalah yang menekankan kepemimpinan pada peningkatan pelayanan kepada orang
lain, pendekatan holistik terhadap bekerja, memajukan rasa komunitas, dan berbagi kekuasaan
dalam pengambilan keputusan. Pemimpin harus bernilai dan berkarakter untuk mendorong
para pengikut untuk berkinerja dan berorientasi pada proses. Berdasarkan kajian literatur
kepemimpinan, minat dalam pengkajian kepemimpinan meningkat pada awal abad kedua
puluh. Awal teori kepemimpinan berfokus pada kualitas yang membedakan antara pemimpin
dan pengikut, sementara itu teori-teori yang muncul berikutnya melihat variabel-variabel lain,
seperti faktor situasional dan level keterampilan. Secara ringkas pokok-pokok pikiran dari
teori-teori kepemimpinan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut. 1). Teori Manusia
Hebat (Great Man Theories), 2). Teori Sifat (Trait Theories), 3). Teori Perilaku (Behavioral
Theories), 4). Teori Situasional (Situational Theories), 5). Teori Kontingensi (Contingency
Theories of Leadership), 6). Teori Transaksional (Transactional Theories) atau dikenal juga
Teori Manajemen (Management Theories), 7). Teori Kepemimpinan Partisipatif (Paticipative
Leadership Theories).
Berikut empat prinsip utama kepemimpinan pelayanan menurut [Smith, 2005] :
1. Layanan untuk pihak lain.
2. Pendekatan holistik untuk bekerja.
3. Memajukan rasa berkomunitas.
4. Berbagi kekuasaan dalam pengambilan keputusan..

Seperti diutarakan oleh [Russell, 2001] , "Pemimpin memungkinkan orang lain untuk
bertindak bukan dengan penimbunan kekuasaan yang mereka miliki, tetapi dengan
memberikannya kepada orang lain". Struktur organisasi yang dihasilkan dari kepemimpinan
pelayan kadang-kadang disebut sebagai "piramida terbalik", dengan karyawan, klien dan
pemangku kepentingan lainnya di bagian atas, dan pemimpin di bagian bawah. Pengikut
teladan, yaitu produk dari pendelegasian pengambilan keputusan, merupakan contoh lebih
lanjut dari sifat terbalik kepemimpinan pelayan itu. 3). Karakteristik Kepemimpinan Pelayan.
Karakter didefinisikan sebagai kematangan moral dan komitmen untuk melakukan hal yang
benar terlepas dari biaya personal [Herbert, 2005]. Karakter melibatkan keinginan untuk
menanggapi rangsangan sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip daripada hanya sekedar
selera, keterdesakan, keinginan, atau impuls.
Pendekatan Greenleaf untuk kepemimpinan pelayan didasarkan pada perlunya pendekatan
kepemimpinan yang lebih baik. Pendekatan yang lebih baik tersebut puncaknya adalah
perubahan paradigma dan karakteristik orang-orang yang terlibat dalam proses. Lawrence dan
Spears [Herbert, 2005] , menulis tentang sepuluh karakteristik penting dalam satu perangkat
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pelayan. Kesepuluh karakteristik tersebut adalah:
mendengarkan, empati, penyembuhan, kesadaran, persuasi, konseptualisasi, pandangan ke
depan, pelayanan, komitmen terhadap pertumbuhan orang, dan pembangunan komunitas.
Meskipun diakui bahwa daftar karakteristik tersebut mungkin tidak lengkap, tetapi kesepuluh
butir kunci tersebut mengkomunikasikan "kekuasaan dan janji" dari kepemimpinan pelayan.
Daftar karakteristik dari Lawrence dan Spears tersebut dianggap sebagai daftar yang paling
komprehensif dari semua daftar karakteristik kepemimpinan pelayan yang telah
dipublikasikan dalam berbagai literatur [Herbert, 2005] . Karakteristik pertama dari seorang
pemimpin pelayan adalah kemampuan untuk mendengarkan. Setiap orang ingin untuk
didengar, dan menjadi pendengar yang baik memungkinkan orang akan menjadi lebih bebas,
lebih bijaksana, dan lebih mandiri ( Koch dalam Hebert, 2005). Oleh karena itu, pemimpin
pelayan harus mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kebutuhan dan keprihatinan
pengikut mereka. Menurut [Greenleaf, 1977], bahwa hanya seorang pemimpin pelayan sejati
yang menanggapi masalah dengan mendengarkan terlebih dahulu dan dengan mendengarkan
tersebut dapat membangun kekuatan untuk orang lain. Karakteristik kedua adalah empati.
[Greenleaf, 1977], mendefinisikan empati sebagai "proyeksi imajinatif tentang kesadaran diri
seseorang kepada makhluk lain" [Herbert, 2005].
Dengan menggunakan konsep kepemimpinan pelayan, maka empati adalah kemampuan
untuk memahami orang lain yang lebih baik. Ada semangat untuk menerima dan mengakui
kekhususan dan keunikan orang lain. Pemimpin pelayanan lebih mungkin untuk membangun
kepercayaan karena mereka menerima pengikutnya sebagaimana apa adanya mereka dan
sejauh apa yang mereka dapat kerjakan. Karakteristik berikutnya adalah penyembuhan
(healing). Menurut [Herbert, 2005], karakteristik ini merupakan salah satu hadiah terbesar
seorang pemimpin pelayan, yaitu dapat berbagi dengan orang lain untuk memberikan
pelayanan penyembuhan diri sendiri dan orang lain. Menurut [ Nuryati, 2004], banyak
individu yang patah semangat dan menderita sakit secara emosional yang tidak mampu
menyembuhkan diri mereka sendiri. Di sinilah diperlukan peran seorang pemimpin pelayan
untuk membantu dalam proses penyembuhannya. Para pemimpin pelayan memiliki
kesempatan untuk membantu memberikan kesembuhan bagi mereka yang memerlukan
bantuannya yang tidak bersifat medis, tetapi aspek psikologis dan emosional. Karakteristik
yang keempat adalah kesadaran. Terutama kesadaran diri merupakan karakteristik yang kuat
dari seorang pemimpin yang melayani. Menurut Covey [Nuryati, 2004], kesadaran membantu
memahami persoalan yang melibatkan etika dan nilai-nilai yang sifatnya universal. Kesadaran
terhadap diri sendiri dan keberadaan orang lain dapat memperkuat pemimpin pelayan.
Karakteristik kelima adalah membangun kekuatan persuasif. Kemampuan untuk membujuk
dan menciptakan konsensus dalam kelompok merupakan kunci pemimpin pelayan. Pemimpin
pelayan berusaha meyakinkan orang lain tidak dengan paksaan sehingga tercapai
kepemimpinan efektif dalam membangun konsensus dalam kelompok. Ini yang membedakan
pemimpin pelayan dengan pemimpin otoriter. Pemimpin otoriter membuat keputusan
berdasarkan posisi dan jabatan, bukan persuasi, sedangkan pemimpin pelayan membangun
konsensus kelompok secara efektif untuk membuat perubahan. Karakteristik keenam adalah
konseptualisasi. Pemimpin pelayan berpikir di luar rutinitas sehari-hari untuk bermimpi hal-
hal yang membesarkan organisasi. Mengejar visi sangat penting bagi pemimpin karena mimpi
adalah peta jalan menuju masa depan. Pemimpin pelayan yang sukses adalah yang mampu
memahami visi jauh melampaui apa yang pemimpin dapat capai. Kemampuan melihat suatu
masalah dari perspektif konseptualisasi berarti bahwa orang harus berpikir melampaui realita
sehari-hari. Seorang pemimpin yang ingin menjadi pemimpin pelayan yang sukses harus
mampu mengoptimalkan pemikirannya hingga mempunyai landasan lebih visioner.
Karakteristik ketujuh adalah penatalayanan (stewardship). Block [Brewer, 2010] ,
mengartikan penatalayanan adalah kesediaan untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan
organisasi yang lebih besar dengan beroperasi melalui pelayanan bukan melalui kontrol. Atau
akuntabilitas tanpa kontrol atau kepatuhan. Di sini perlunya menekankan pada keterbukaan
dan kejujuran, bukan pengendalian atau pengawasan. Karakteristik kedelapan adalah memiliki
komitmen pada pertumbuhan manusia. Pemimpin pelayan berkomitmen untuk pertumbuhan
orang lain. Pemimpin memahami kekuatan dan kelemahan pengikutnya dan menetapkan
tugas-tugas yang mencerminkan kekuatan individu. Pemimpin pelayan melihat orang lain
lebih dari sekedar pekerja, mereka meilhat para pengikut lebih sebagai individu dengan
berbagai kebutuhan dan leinginan. Pemimpin pelayan membantu mencarikan dana untuk
pengembangan pribadi dan karir para anggotanya. Karakteristik kesembilan adalah
kemampuan meramalkan ( foresight). Foresight merupakan kemapuan untuk belajar dari
kesalahan masa lalu dan tumbuh dari kegagalan [Brewer, 2010]. Foresight menghindari
membuat kesalahan yang sama dan berulang kali dalam memprediksi target di masa depan.
Kemampuan meramalkan merupakan ciri khas yang memungkinkan pemimpin pelayan dapat
memahami pelajaran masa lalu, realita sekarang, dan kemungkinan konsekuensi suatu
keputusan di masa depan. Karakteristik terakhir atau kesepuluh adalah membangun komunitas
ditempat kerja. Membangun komunitas ini mencakup baik antar karyawan, antar pimpinan
dan bawahan, dan membangun komunitas masyarakat dan pelanggan. Pemimpin pelayan
menyadari bahwa pergeseran komitmen lokal ke suatu lingkungan yang lebih besar
merupakan pembentuk utama kehidupan manusia. Lingkungan kerja yang kondusif secara
internal dan eksternal diharapkan akan meningkatkan performansi organisasi secara maksimal.
Kemampuan pemimpin pelayan dalam menciptakan suasana rasa saling percaya akan
membentuk kerjasama yang cerdas dalam suatu tim kerja. Dengan ketulusan dan keteladan
yang dimiliki oleh pemimpin pelayan, rasa saling percaya dapat ditumbuhkan. 1). Nilai dalam
Kepemimpinan Pelayan. Atribut menggambarkan manifestasi dari karakteristik perilaku
kepemimpinan pemimpin pelayan. Menurut para ahli bahwa sifat-sifat tersebut tumbuh dari
nilai-nilai batin dan keyakinan para individu pemimpin, dan nilai-nilai personal seperti
keadilan dan integritas merupakan variabel independen yang menggerakkan perilaku
pemimpin pelayan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan inti dari filosofi
kepemimpinan yang membentuk karakteristik pemimpin, dan pada gilirannya berdampak pada
aktivitas serta perilaku pengambilan keputusan mereka. Menurut para ahli, system nilai yang
dipegang oleh pemimpin pelayan adalah unik dan berbeda dari jenis pemimpin dan teori
kepemimpinan yang lain. Motivasi seorang pemimpin dipandang sebagai perbedaan penting
lain antara kepemimpinan pelayan dan teori-teori manajemen lainnya. Motivasi untuk
memimpin timbul dari inti sistem keyakinan individu. Dalam kasus kepemimpinan pelayan,
motivasi seorang pemimpin berasal dari inti keyakinan egaliter bahwa mereka tidak lebih baik
dari orang-orang yang mereka pimpin. Perkembangan studi kepemimpinan transformasional
dapat dikatakan cukup pesat dengan munculnya berbagai teori baru seperti kepemimpinan
efektif dan kepemimpinan pelayan.
Contoh Studi Kasus Empiriknya seperti Munculnya kepemimpinan pelayan ini merupakan
respon dari kondisi perekonomian di Amerika Serikat yang buruk yang menyebabkan
terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal. Kesulitan ekonomi tersebut telah
menempatkan karyawan dalam kondisi ketakutan sehingga menurunkan tingkat produktivitas
karyawan. Kondisi ini semakin memperburuk hubungan antara pemimpin perusahaan dengan
karyawan. Pemimpin perusahaan tidak menyediakan waktu cukup untuk berhubungan dengan
karyawan. Atas dasar kondisi semacam itu Greenleaf memperkenalkan model kepemimpinan
pelayan di tempat kerja. Suatu model kepemimpinan memprioritaskan pelayanan kepada
pihak lain, baik kepada karyawan (anggota) perusahaan, pelanggan, maupun kepada
masyarakat sekitar. Praktik kepemimpinan pelayan ditandai dengan meningkatnya keinginan
untuk melayani pihak lain dengan melakukan pendekatan secara menyeluruh pada pekerjaan,
komunitas, serta proses pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak. Meskipun
diakui bahwa pengembangan kepemimpinan pelayan merupakan langkah maju dan cukup
berharga, namun secara akademik belum cukup dukungan kajian secara empirik, sehingga ke
depan penelitian empiris dalam kepemimpinan pelayan sangat diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai