Anda di halaman 1dari 6

REFLEKSI BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM PENAMAAN MAKANAN

HAJATAN

OLEH: LISA TRI UTARI

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1 Hasil Penelitian


Penamaan makanan hajatan dalam masyarakat Jawa dilatarbelakangi oleh harapan masyarakat
Jawa dan termasuk ke dalam unsur kebudayaan sistem pengetahuan dan sistem religi.

4.1.1 Bentuk Leksikon Makanan Hajatan


Leksikon makanan hajatan dari hasil pengumpulan data berjumlah sembilan leksikon.
Data-data tersebut dapat diklasifikasikan , seperti berikut ini:

Tabel 1.
Pembentukan Leksikon Makanan Hajatan
Menggunakan Analogi

No Nama Makanan Makna dalam Makna dalam


Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
1. Botok tawon ben tamune supaya tamunya
kemruyuk kaya berkumpul seperti
tawon lebah
2. Jajan pasar ben tamune rame supaya tamunya
kaya pasar ramai seperti pasar
3. Gedhang raja makmur kaya raja makmur seperti
raja

Dari tabel tersebut, diketahui terdapat tiga leksikon makanan hajatan yang
pembentukannya menggunakan analogi. Sebuah analogi melihat suatu yang kompleks
kemudian menyederhanakannya dengan sebuah perbandingan. Kata tawon pada leksikon
botok tawon, kata pasar pada leksikon jajan pasar, kata raja pada leksikon gedhang raja
merupakan bentuk analogi dari sifat tawon yang suka berkumpul, pasar yang ramai, dan
raja yang makmur.

Tabel 2.
Pembentukan Leksikon Makanan Hajatan
Berdasarkan Maknanya

No Nama Makanan Makna dalam Makna dalam


Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
1. Pitik ingkung pasrah pasrah
mengungkung
2. Peyek teri ben rejekine diteri supaya rezekinya
diantar
3. Lodeh kluwih rejekine luwih rezekinya lebih
4. Cok bakal bakal urip permulaan hidup
5. Bubur sengkolo mbuak sangkal tolak bala
6. Urap-urap urip hidup

Dari tabel tersebut, diketahui terdapat empat leksikon makanan hajatan yang
pembentukannya didasarkan pada maknanya. Suku kata –kung pada leksikon pitik ingkung
sama dengan suku kata –kung pada kata mengungkung, kata teri pada leksikon peyek teri
sama dengan morfem teri pada kata diteri, luwih pada leksikon lodeh kluwih
pembentukannya dari luwih yang ditambahkan fonem k di depannya, dan kata bakal pada
leksikon cok bakal sama dengan kata bakal pada leksikon bakal urip yang terdapat dalam
makna dalam bahasa Jawa. Kemudian ada leksikon bubur sengkolo, kata sengkolo berasal
dari kata sangkal yang mengalami perubahan dan penambahan bunyi dan leksikon urap-
urap merupakan kata ulang seluruh akibat dari proses reduplikasi kata dasar urap. Urap
berasal dari kata urip yang mengalami perubahan fonem.

Leksikon-leksikon makanan hajatan tersebut terbentuk atas dua kata, kecuali leksikon
urap-urap yang merupakan kata ulang akibat dari proses reduplikasi seluruh. Dua kata
tersebut berpola D-M “diterangkan-menerangkan”, yaitu kata pertama diterangkan atau
dijelaskan oleh kata kedua sehingga kata kedua berfungsi sebagai penjelas.

4.1.2 Makna Leksikon Makanan Hajatan


Nama makanan hajatan hanya akan diketahui maknanya secara utuh jika dipandang dari
segi kebudayaan karena leksikon makanan hajatan tersebut merupakan hasil dari
kebudayaan masyarakat Jawa, sehingga dalam pencarian maknanya dapat dirunut dari
bentuk lalu makna yang terdapat dalam leksikonnya. Makna leksikon dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

Tabel 1.
Makna Leksikon Makanan Hajatan
Berdasarkan Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

No Nama Makanan Makna Konseptual Makna Asosiatif


1. Piting ingkung ayam jantan yang menyembah dan pasrah
dimasak secara utuh dan atau berserah diri kepada
dibumbui. Setelah itu, Tuhan
ayam diletakkan
mengungkung
2. Peyek teri peyek berisi atau bahan kerukunan
utamanya ikan teri
3. Botok tawon botok berisi atau bahan keberkahan
utamanya tawon
4. Jajan pasar jajan yang umumnya hubungan antar manusia
hanya dijual di pasar

Dari tabel di atas, diketahui terdapat empat leksikon yang memiliki makna konseptual
dan asosiatif. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas
dari konteks atau asosiasi apa pun, sedangkan makna asosiatif adalah makna kata yang
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Makna asosiasi ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan
oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal tersebut.

Pitik ingkung merupakan ayam jantan yang dimasak secara utuh dan dibumbui. Setelah
itu, ayam diletakkan mengungkung seperti sedang berserah diri. Hal ini merupakan simbol
manusia yang menyembah dan pasrah atau berserah diri kepada Tuhan. Peyek teri dalam
nama makanan berarti ikan teri atau bahan utama peyek, sedangkan makna diteri berarti
diantar atau diberi. Teri bagi masyarakat Jawa bermakna kerukunan. Kerukunan itulah
yang diharapkan dapat memperlancar rezeki. Botok tawon terbuat dari lebah yang masih
kecil beserta sarangnya. Sifat lebah yang berkumpul atau bergerombol itu sebagai simbol
orang yang berkumpul dan membawa keberkahan. Jajan pasar untuk makanan hajatan
berisi cenil, puro, cantel, dan lupis. Jajan pasar umumnya hanya dijual di pasar. Pasar
sebagai simbol hubungan antar manusia.

Tabel 2.
Makna Leksikon Makanan Hajatan
Berdasarkan Makna Denotatif dan Makna Konotatif

No Nama Makanan Makna Denotatif Makna Konotatif


1. Urap-urap kelapa parut yang urip atau hidup
dibumbui untuk
campuran sayur-mayur
rebus, ubi, ketan, dan
sebagainya
2. Lodeh kluwih lodeh berisi atau bahan rejekine luwih atau
utamanya kluwih rezekinya lebih.
3. Bubur sengkolo bermakna bubur yang buwak sangkal atau tolak
terbuat dari beras, bala
santan, dan gula merah
4. Gedhang raja pisang dengan ukuran makmur kaya raja atau
sedang, kulit buah tebal makmur seperti raja.
dan berwarna kuning
menuju jingga saat
sudah matang dengan
sedikit corak kehitaman
5. Cok bakal cok bermakna alat bakal urip atau
tambat yang dibuat dari permulaan hidup
baja tuang, biasanya
berbentuk tanduk,
digunakan untuk
melewatkan tali atau
tros kapal, sedangkan
bakal bermakna sesuatu
yang akan menjadi

Dari tabel di atas, diketahui terdapat lima leksikon yang memiliki makna denotatif dan
konotatif. Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah kata sedangkan makna konotatif adalah makna yang lain yang
ditambahkan pada makna denotatif.

Urap-urap secara denotatif bermakna kelapa parut yang dibumbui untuk campuran sayur-
mayur rebus, ubi, ketan, dan sebagainya. Akan tetapi, secara konotatif bermakna urip atau
hidup. Makna tersebut mirip dengan bentuk leksikonnya. Urap-urap merupakan makanan
yang terbuat dari sayuran rebus lalu dicampur dengan kelapa parut yang telah dibumbui.
Proses mencampur tersebut disebut ngurap. Sayuran yang digunakan khusus, yaitu kacang
panjang, kangkung, dan cambah. Tiga komponen itu juga memiliki makna tentang
kehidupan. Kacang panjang bermakna rezeki yang panjang atau selalu ada dan umur yang
panjang. Kangkung bermakna keteguhan dalam hidup, sesuai dengan sifat kangkung yang
dapat hidup di air dan di darat. Cambah bermakna kesuburan karena mudah tumbuh dan
berkembang, begitupun dengan manusia yang diharapkan dapat terus tumbuh dan
berkembang hingga memiliki anak cucu.
Lodeh kluwih secara denotatif bermakna lodeh berisi atau bahan utamanya kluwih.
Namun, secara konotatif bermakna rejekine luwih atau rezekinya lebih. Makna tersebut
mirip dengan bentuk leksikonnya. Kluwih juga bermakna linuwih atau lebih daripada yang
lain, baik dari segi potensi diri maupun rezeki. Bubur sengkolo secara denotatif bermakna
bubur yang terbuat dari beras, santan, dan gula merah. Bubur itu terdiri dari dua warna:
putih dan merah. Putih merupakan warna asli dari beras, sedangkan merah atau juga bisa
disebut coklat, terbuat dari beras yang diolah bersama gula merah. Dalam hal ini, sengkolo
bermakna sangkal sehingga secara konotatif bubur sengkolo bermakna bubur yang
digunakan sebagai perwujudan dari kesungguhan doa pemilik hajat sebagai tolak bala atau
kesialan dan berharap keselamatan dari Tuhan.

Gedhang raja secara denotatif adalah pisang dengan ukuran sedang, kulit buah
tebal dan berwarna kuning menuju jingga saat sudah matang dengan sedikit corak
kehitaman. Akan tetapi, secara konotatif bermakna makmur kaya raja atau makmur seperti
raja. Hal ini ditandai dalam acara hajatan, masyarakat Jawa selalu menggunakan pisang
jenis raja, tidak pernah pisang jenis lain. Pisang raja dipilih dengan maksud sebagai simbol
harapan memiliki watak jujur, tepat janji, adil, berbudi luhur, serta menjadi makmur seperti
raja. Cok secara denotatif memiliki makna dalam bidang pelayaran yaitu alat tambat yang
dibuat dari baja tuang, biasanya berbentuk tanduk, digunakan untuk melewatkan tali atau
tros kapal, sedangkan Bakal bermakna sesuatu yang akan menjadi. Namun, secara konotatif
bermakna bakal urip atau permulaan hidup. Hal ini masih berhubungan dengan sifat pada
makna denotatifnya, yaitu alat tambat yang akan menjadi sesuatu atau dalam segi
kebudayaan tersirat sebagai bekal hidup. Cok bakal berisi klopo iris, gula abang, empon-
empon, miri utuh, endok pitik jawa, badek sego yang diletakkan dalam satu wadah dari
daun pisang bernama takir. Cok bakal merupakan sajen inti dari budaya masyarakat Jawa
yang ditujukan kepada roh nenek moyang. Makna permulaan hidup dapat dilihat dari
komponennya, contohnya: endok atau telur sebagai simbol awal kehidupan.

4.1.3 Fungsi Penamaan Makanan Hajatan


Penamaan makanan hajatan bagi masyarakat Jawa memiliki fungsi referensial. Fungsi
referensial terkait dengan makna pesan yang disampaikan dalam konteks tertentu. Dalam
hal ini, konteksnya adalah hajatan. Makna tentang kehidupan, keteguhan, kesuburan,
kepasrahan, keberkahan, kemanusiaan, keselamatan, keadilan, kejujuran, kesungguhan doa,
rezeki, umur, tepat janji, dan berbudi luhur merupakan makna yang ingin disampaikan
dalam hajatan.
Penamaan makanan hajatan berfungsi sebagai simbol harapan masyarakat Jawa kepada
Tuhan. Maka dari itu, hajatan dilaksanakan sebelum acara dimulai supaya acara dapat
berjalan lancar dan diberkahi oleh Tuhan. Selain itu, masyarakat Jawa juga masih
memercayai hal magis seperti penggunaan cok bakal yang merupakan sajen atau makanan
untuk makhluk halus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek moyang. Dari hal itu,
dapat diketahui bahwa masyarakat Jawa memiliki sifat yang luhur, religius, dan
menghormati nenek moyang atau leluhur.

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa penamaan makanan hajatan


dilatarbelakangi oleh harapan masyarakat Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa
penamaan itu merefleksikan pola pikir atau budaya masyarakatnya.

4.2 Bahasan Penelitian


Penamaan makanan hajatan dalam masyarakat Jawa termasuk dalam unsur kebudayaan
sistem pengetahuan dan sistem religi. Dalam penamaan tersebut, masyarakat memiliki
pengetahuan dan konsep tentang alam sekitar berupa sifat fauna dan menjadikannya
sebagai analogi. Contohnya pengetahuan tentang sifat tawon yang suka berkumpul,
sehingga tawon dijadikan analogi pada leksikon botok tawon sebagai simbol harapan
supaya banyak tamu yang datang. Lalu sistem religi tampak pada penggunaan cok bakal
sebagai sajen atau makanan makhluk halus yang ditujukan untuk menghormati roh nenek
moyang dan ayam ingkung sebagai lambang menyembah dan pasrah atau berserah diri
kepada Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai