Anda di halaman 1dari 21

A.

PITHECANTHROPUS
a. PITHECANTHROPUS ERECTUS
Pithecanthropus erectus, yang artinya Manusia kera yang berjalan tegak, berdasarkan fosil
yang di temukan di desa Trinil lembah bengawan solo oleh E. Dubois (1890). Fosil yang
ditemukan berupa tulang rahang atas, tengkorak, dan tulang kaki.

piterchanthropus erectus

b. PITHECANTHROPUS MOJOKERTENSIS
Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus. Fosil manusia
purba ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di Mojokerto, J awa Timur. Fosil
yang ditemukan hanya berupa tulang tengkorak anak-anak.

Pithecanthropus mojokertensis

c. PITHECANTHROPUS SOLOENSIS
Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan
Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan berupa
tengkorak dan juga tulang kering.

Pithecanthropus soloensis

Ciri-ciri Pithecanthropus
Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.
Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.
Volume otak berkisar antara 750 1350 cc.
Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.
Hidung lebar dan tidak berdagu.
Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang besar.
Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.

B. MEGANTHROPUS
Meganthropus Paleojavanicus ditemukan di Sangiran J awa tengah pada tahun 1941 oleh van koenigswald.
Meganthropus paleojavanicus merupakan manusia yang berasal dari J awa dan mempunyai tubuh yang besar. Fosil
tersebut tidak ditemukan dalam keadaan lengkap, melainkan hanya berupa beberapa bagian tengkorak, rahang
bawah, serta gigi-gigi yang telah lepas. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini diperkirakan telah berumur 1-2 J uta tahun.

Meganthropus paleojavanicus

Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus
Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.
Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok.
Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai kera.
Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.
Makanannya berupa tumbuh-tumbuhan.

C. Homo
Manusia purba dari genus Homo adalah jenis manusia purba yang berumur paling muda, fosil
manusia purba jenis ini diperkirakan berasal dari 15.000-40.000 tahun SM. Dari volume otaknya
yang sudah menyerupai manusia modern, dapat diketahui bahwa manusia purba ini sudah
merupakan manusia (Homo) dan bukan lagi manusia kera (Pithecanthrupus). Homo merupakan
manusia purba yang memiliki fikiran yang cerdas Di Indonesia sendiri ditemukan tiga jenis
manusia purba dari genus Homo, antara lain Homo soloensis, Homo wajakensis, dan Homo
floresiensis.
a. HOMO SOLOENSIS
Homo soloensis, ditemukan oleh Von Koeningswald dan Weidenrich antara tahun 1931-1934
disekitar sungai bengawan solo. Fosil yang ditemukan hanya berupa tulang tengkorak.
b. HOMO WAJ AKENSIS
Homo wajakensis, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1889 di Wajak, J awa Timur. Fosil
yang ditemukan berupa rahang bawah, tulang tengkorak, dan beberapa ruas tulang leher.
C. HOMO FLORENSIS
Homo floresiensis, ditemukan saat penggalian di Liang Bua, Flores oleh tim arkeologi gabungan
dari Puslitbang Arkeologi Nasional, Indonesia dan University of New England, Australia pada
tahun 2003. Saat dilakukan penggalian pada kedalaman lima meter, ditemukan kerangka mirip
manusia yang belum membatu (belum menjadi fosil) dengan ukurannya yang sangat kerdil.
Manusia kerdil dari Flores ini diperkirakan hidup antara 94.000 dan 13.000 tahun SM.
Homo Sapiens,diduga merupaka nenek moyang bangsa indonesia yg berasal dari yunan-
daratan cina selatan yg menyebar di kepulauan indonesia tahun 1500 SM.

Ciri-ciri Manusia Purba Homo atau Homo Sapiens :
Memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh manusia pada zaman
sekarang.
Banyak meninggalkan benda-benda budaya.
Memilki Kehidupan sederhana.

.
CIRI DAN CORAK KEHIDUPAN MASYARAKAT
PRASEJARAH INDONESIA

Setelah mempelajari modul ini Anda dapat:
1. menjelaskan tiga ciri kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia; dan
2. menguraikan enam corak kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia.

Adapun pokok-pokok materi yang dapat Anda pelajari pada bagian modul ini meliputi:
1. Ciri-ciri kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia.
2. Corak kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia.

Keberhasilan selalu menjadi idaman setiap orang. Bagaimana dengan diri Anda?J ika
Anda ingin selalu dapat mempertahankan keberhasilan, seperti yang pernah Anda raih,
maka Anda harus tetap tekun dan ulet.
Kegiatan belajar 2 ini membutuhkan persiapan diri Anda.
Untuk lebih memahami apa yang di lakukan masyarakat prasejarah, silahkan Anda simak
terlebih dahulu uraian materi berikut ini.

Ciri Kehidupan Masyarakat Prasejarah Indonesia
Seperti yang pernah Anda pelajari pada kegiatan belajar 2 modul 1 tentang periodisasi prasejarah
berdasarkan ciri kehidupan masyarakat, maka uraian materi ini akan membahas bagaimana
perilaku masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, pada masa bercocok
tanam dan pada masa perundagian.
Dalam rangka memudahkan Anda memahami uraian materi ini maka yang akan disajikan
terlebih dahulu adalah perilaku masyarakat pada awal berlangsungnya kehidupan masa
prasejarah. Untuk itu simaklah uraian materi berikut ini.
1. Masa Berburu Dan Mengumpulkan Makanan
Masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia tinggal di alam terbuka
seperti di hutan, di tepi sungai, di goa, di gunung atau di lembah-lembah.
Tempat tinggal mereka belum menetap, masih berpindah-pindah atau
nomaden mengikuti alam yang dapat menyediakan makanan terutama
binatang buruan. Rekomendasi : sisipkan gambar/foto berkaitan dengan
paragraf ini !
Apabila binatang buruan dan bahan makanan sudah habis, mereka akan
mencari dan pindah ke tempat yang lebih subur. Inti dari kehidupan sehari-
hari masyarakat ini adalah mengumpulkan bahan makanan dari alam untuk
dikonsumsi saat itu juga. Kegiatan semacam ini disebut dengan Food
Gathering atau pengumpul makanan tahap awal.
Masyarakat pengumpul makanan tersebut telah mengenal kehidupan
berkelompok kecil, hal ini karena kehidupannya nomaden. Hubungan antara
kelompok sangat erat, karena mereka harus bekerja bersama-sama untuk
memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan kelompoknya dari
serangan kelompok lain atau serangan binatang-binatang buas. Meskipun
dalam kehidupan yang masih sangat sederhana, mereka telah mengenal
adanya pembagian tugas kerja, dimana kaum laki-laki biasanya tugasnya
adalah berburu, kaum perempuan tugasnya adalah memelihara anak serta
mengumpulkan buah-buahan dari hutan. Untuk lebih jelasnya silahkan Anda
amati gambar 24 berikut ini.

Masing-masing kelompok memiliki pemimpin yang ditaati dan dihormati
oleh anggata kelompoknya. Dengan demikian pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan sudah terlihat adanya tanda-tanda kehidupan sosial
dalam suatu kelompok masyarakat, walaupun tingkatannya masih sangat
sederhana.
Kesederhanaan kehidupan sosial tersebut terlihat dari ketidaktahuan
masyarakat dalam menyimpan sisa makanan, tidak mengenal tata cara
perkawinan, tidak melakukan penguburan terhadap mayat. Karena belum
mengenal religi/ kepercayaan. Hal ini dapat dibuktikan melalui alat-alat
kehidupan yang dihasilkan pada zaman batu tua.

Dari uraian tersebut, tentu masih hangat dalam ingatan Anda tentang
kebudayaan batu tua/paleolithikum. Untuk menambah pemahaman Anda
maka tulislah hasil kebudayaan palaeolithikum dan ciri-cirinya pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.1 Kebudayaan Palaeolithikum Dan Ciri-Cirinya

Setelah Anda mengisi tabel 2.1, maka sesuaikan apa yang Anda tulis dengan
kunci jawabannya berikut ini.
1. Chopper/kapak genggam
2. Flakes/alat serpih
3. Alat penusuk
4. Tombak
5. Mata panah
6. Sebagian besar alat terbuat dari batu
7. Terbuat dari tulang
8. Hasil buatannya kasar
9. Bentuknya sederhana.
10. Belum diasah/diupam
J ika jawaban Anda banyak yang benar, selamat untuk Anda. Dan Anda
dapat mempelajari kembali uraian berikutnya. Pengenalan terhadap api bagi
masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan sangat dimungkinkan
karena berdasarkan analogi jenis manusia purba yang ditemukan di Cina
sudah mengenal api.
Dari uraian tersebut, apakah Anda masih ingat nama jenis manusia purba
yang di temukan di Cina? J enis manusia purba di Cina disebut dengan
Sinanthropus Pekinensis yang memiliki persamaan dengan Homo Erectus.
Dimana keduanya memiliki persamaan. Untuk itu apa yang menjadi ciri dari
manusia Sinanthropus Pekinensis juga menjadi ciri dari Homo Erectus
sebagai pendukung dari kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan.
Apakah dari uraian tersebut Anda sudah pahami? Kalau Anda sudah paham,
silahkan simak kembali uraian materi ini.
Untuk mengetahui alat komunikasi apa yang dipakai oleh masyarakat zaman
batu tua sangatlah tidak mudah, tetapi yang jelas bahwa antar manusia yang
satu dengan yang lain pasti mempunyai cara untuk berkomunikasi. Kira-kira
menurut Anda bahasa apa yang dipakai sebagai alat komunikasi pertama
pada zaman batu tua?
Sesuai dengan kehidupan masyarakatnya berburu dan mengumpulkan
makanan, maka alat komunikasi yang sangat dimungkinkan adalah bahasa
isyarat, karena bahasa isyarat adalah bahasa yang diperlukan pada saat
berburu. Dengan adanya migrasi/perpindahan bangsa-bangsa dari Asia
daratan ke Indonesia seperti yang dilakukan oleh bangsa Papua
Melanosoide, maka secara lambat laun terjadi perubahan dalam kehidupan
masyarakat .
Perubahan kehidupan yang terjadi secara lambat sangat dimungkinkan
karena di lihat dari bentuk adaptasinya masih berdasarkan berburu dan
mengumpulkan makanan, walaupun sudah memasuki tingkat lanjut atau
disebut dengan Food gathering tingkat lanjut.

Kehidupan Food gathering tingkat lanjut terjadi pada saat berlangsungnya
zaman Mesolithikum ditandai dengan kehidupan sebagian masyarakatnya
bermukim dan berladang (huma). Yang menjadi tempat
mukimnya/menetapnya adalah gua-gua dipedalaman atau tepi-tepi pantai.
Dengan kehidupan menetap tersebut maka terjadilah pertumbuhan dalam
kehidupan yang lain yaitu antara lain mereka sudah tahu menyimpan sisa
makanan, mengenal tata cara penguburan mayat, mengenal api, mengenal
religi/kepercayaan dan bahkan mengenal kesenian.
Untuk lebih jelasnya, silahkan Anda amati gambar 25 berikut ini.

Bukti adanya pengenalan terhadap religi dan kesenian yaitu ditemukan
lukisan cap tangan yang diberi warna merah dan lukisan babi hutan yang
terdapat pada dinding gua Abris Sous Roche, seperti yang ditemukan di gua
Leang-Leang Sulawesi Selatan, di Seram dan di Irian J aya.

Untuk memperjelas pemahaman Anda , dapat Anda amati gambar 26 berikut
ini.

Gambar 26. Lukisan cap tangan
Dari gambar 26 yang Anda amati, bagaimana pendapat Anda tentang makna
lukisan tersebut?
Lukisan pada dinding gua zaman mesolithikum banyak dihubungkan dengan
keagamaan, karena lukisannya banyak menggunakan warna merah (warna
darah). Warna merah dianggap memiliki kekuatan magis/gaib. Lukisan cap
tangan dianggap memiliki makna tanda berkabung dari seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya, karena pada umumnya jari manis pada lukisan
tangan tersebut dipotong.
Sedangkan lukisan babi hutan yang sedang lari dan pada arah jantungnya
terdapat mata panah dimaksudkan bahwa, pada waktu berburu mereka
mengharapkan binatang buruan. Lukisan tersebut diduga dibuat oleh seorang
pawang pada waktu upacara perburuan.

Berdasarkan uraian materi tersebut, untuk mengukur tingkat
pemahaman Anda terhadap materi ciri-ciri kehidupan masyarakat
pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, maka lengkapilah
tabel 2.2 berikut ini.
Setelah Anda melengkapi tabel 2.2 di atas maka untuk mengetahui
kebenaran tabel yang Anda lengkapi, cocokkanlah dengan kunci jawaban di
bawah ini.
1. Hidupnya nomaden/berpindah - pindah tempat
2. Food Gathering
3. Hidupnya berkelompok kecil
4. Alat kehidupannya kasar
5. Sudah mengenal api
6. Menggunakan bahasa isyarat
7. Chopper/kapak genggam/kapak perimbas
8. Flakes
9. Mata panah
10. Alat-alat tulang
11. Menyimpan sisa makanan
12. Mengenal religi
13. Mengenal penguburan mayat
14. Mengenal kesenian
15. Alat kehidupannya agak halus
16. Hidupnya sebagian menetap
17. Pebble/kapak pendek
18. Flakes
19. Alat-alat tulang
20. Batu pipisan
Bagaimana dengan jawaban dari tabel 2.2 yang Anda lengkapi? Apakah
yang Anda tulis sudah benar? Kalau jawaban Anda banyak yang benar,
maka Anda dapat melanjutkan mempelajari uraian materi selanjutnya.
2.
3.



















Kehidupan Manusia Purba pada Masa
Bercocok Tanam
Kehidupan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam - Kehidupan manusia setelah masa
berburu dan mengumpulkan makanan adalah masa bercocok tanam. Bagaimanakah proses
perkembangan dari masa berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam?
a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan
karena ada interaksi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Ketika
kebutuhan hidup manusia terpenuhi oleh alam, manusia tidak perlu susah-susah membuat dan
mengolah makanan. Manusia cukup mengambil dari alam, karena alam banyak menyediakan
kebutuhan manusia, terutama makanan. Makanan itu antara lain buah-buahan dan binatang
buruan. Kehidupan awal manusia sangat tergantung dari alam. Ketika alam sudah tidak dapat
mencukupi kebutuhan hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber
daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan
makanan.
Manusia harus mengolah alam. Pada masa ini kehidupan manusia berkembang dengan mulai
mengolah makanan dengan cara bercocok tanam. Karena manusia sudah beralih pada tingkat
kehidupan bercocok tanam, maka pola hidupnya tidak lagi nomaden atau berpindah-pindah.
Manusia sudah mulai menetap di suatu tempat, yang dekat dengan alam yang diolahnya.
Binatang buruan pun sudah ada yang mulai dipelihara. Dengan demikian, bercocok tanam dan
beternak sudah berkembang pada masa ini. Alam yang dipakai untuk bercocok tanam adalah
hutan-hutan. Hutan itu ditebang, dibersihkan, kemudian ditanami dengan tumbuh-tumbuhan,
buah-buahan, atau pepohonan lainnya yang dibutuhkan oleh manusia atau masyarakat. Cara yang
mereka lakukan masih sangat sederhana. Berhuma merupakan cara bercocok tanam yang sangat
sederhana. Karena berhuma memerlukan tempat yang subur, maka ketika tanah itu sudah tidak
subur, mereka akan mencari daerah baru. Dengan demikian hidup mereka berpindah ke tempat
baru untuk waktu tertentu, dan begitu seterusnya.
b. Alat-alat yang dihasilkan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Peralatan pada masa bercocok tanam masuk pada zaman mesolithikum (zaman batu
pertengahan) dan neolithikum (zaman batu muda). Namun demikian alat-alat yang dihasilkan
pada masa berburu dan mengumpulkan makanan atau zaman palaeolithikum tidak ditinggalkan.
Alat-alat itu masih dipertahankan dan dikembangkan, seperti alat-alat dari batu sudah tidak kasar
lagi tapi sudah lebih halus karena ada proses pengasahan. Berikut ini alat-alat atau benda-benda
yang dihasilkan pada masa bercocok tanam.
1) Kjokkenmoddinger Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa bercocok tanam, manusia purba sudah
tinggal menetap. Salah satu bukti adanya sisa-sisa tempat tinggal itu ialah kjokkenmoddinger
(sampah-sampah dapur). Istilah ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken =dapur, modding =
sampah). Penemuan kjokkenmoddinger yang ada di pesisir pantai Sumatera Timur menunjukkan
telah adanya penduduk yang menetap di pesisir pantai. Hidup mereka mengandalkan dari siput
dan kerang. Siput-siput dan kerang-kerang itu dimakan dan kulitnya dibuang di suatu tempat.
Selama bertahun-tahun, ratusan tahun, atau ribuan tahun, bertumpuklah kulit siput dan kerang itu
menyerupai bukit. Bukit kerang inilah yang disebut kjokkenmoddinger.

Gambar 4.5 Pebble dari kjokkenmoddinger di Sumatera Timur
Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya, seperti pebble (kapak genggam
yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta landasannya, alat-alat dari tulang belulang, dan
pecahan-pecahan tengkorak.
2) Abris Sous Rosche Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu tempat
berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Peralatan yang ditemukan
berupa ujung panah, flakes, batu-batu penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat
itu terbuat dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat ditemukannya
abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong (Sulawesi
Selatan).

Gambar 4.6 Abris sous rosche di Lamoncong, Sulawesi Selatan
3) Gerabah Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal
ini dikarenakan fungsi gerabah di antaranya sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah
merupakan suatu alat yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan
berikut, gerabah tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam,
bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni. Cara pembuatan gerabah mengalami
perkembangan dari mulai bentuk yang sederhana hingga ke bentuk yang kompleks. Dalam
bentuk yang sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang digunakan berupa
campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan tangan. Teknik pembuatan
semakin berkembang, pencetakan menggunakan roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih
baik bahkan lebih indah. Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi
gerabah mulai dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada di antaranya hiasan anyaman.
Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu dengan cara menempelkan agak keras selembar
anyaman atau tenunan pada gerabah yang masih basah sebelum gerabah dijemur. Kemudian
gerabah dijemur sampai kering dan dibakar. Berdasarkan bukti ini, para ahli menyimpulkan
bahwa pada masa ini manusia sudah mengenal bercocok tanam dan orang mulai dapat menenun.

Gambar 4.7 Gerabah (Sumber : itrademarket.com/all/gisj/o/)
4) Kapak persegi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini yaitu batu yang
garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah bidang segi panjang atau ada juga yang
berbentuk trapesium. J enis lain yang termasuk dalam katagori kapak persegi seperti beliung atau
pacul untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil bernama tarah. Tarah berfungsi
untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat tangkai yang diikatkan. Orang yang
pertama memberikan nama Kapak Persegi yaitu von Heine Geldern.

Gambar 4.8 Berbagai jenis kapak persegi
Daerah-daerah tempat ditemukannya kapak persegi yaitu di Sumatra, J awa, Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Batu api dan chalcedon merupakan bahan yang dipakai
untuk membuat kapak persegi. Kapak persegi kemungkinan sudah menjadi barang yang
diperjualbelikan. Alat ini dibuat oleh sebuah pabrik tertentu di suatu tempat kemudian di bawa
keluar daerah untuk diperjualbelikan. Sistem jual-belinya masih sangat sederhana, yaitu sistem
barter. Adanya sistem barter tersebut, kapak persegi banyak ditemukan di tempat-tempat yang
tidak banyak ada bahan bakunya, yaitu batu api.

Gambar 4.9 Kapak persegi yang belum dihaluskan
5) Kapak lonjong Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu garis penampang
memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri
bundar telor. Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat
diasah hingga tajam. Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang besar disebut dengan
walzeinbeil dan kleinbel untuk ukuran kecil. Kapak lonjong masuk ke dalam kebudayaan
Neolitihikum Papua, karena jenis kapak ini banyak ditemukan di Papua (Irian). Kapak ini
ditemukan pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa,
dan Serawak.

Gambar 4.10 Kapak lonjong dari muka dan samping
Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong ditemukan pula di negara lain, seperti Walzeinbeil di
temukan di Cina dan J epang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan kapak lonjong dapat
memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari daratan Asia ke
J epang, Formosa, Filipina, Minahasa, terus ke timur. Penemuan-penemuan di Formosa dan
Filipina memperkuat pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran meluas sampai ke Melanesia.
6) Perhiasan Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan dibuat dengan bahan-
bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti hiasan kulit kerang dari sekitar
pantai. Hiasan lainnya ada yang terbuat dari yang dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada
pula yang terbuat dari batu. seperti gelang, kalung, dan beliung.

Gambar 4.11 Berbagai perhiasan dari batu
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan dengan cara, pertama batu dipukul-pukul sampai menjadi
bentuk gepeng. Setelah itu kedua sisi yang rata dicekungkan dengan cara dipukul-pukul pula,
kedua cekungan itu bertemu menjadi lobang. Untuk menghaluskannya, kemudian digosok-gosok
dan diasah sehingga membentuk suatu gelang. Bentuk gelang tersebut dari dalam halus rata dan
dari luar lengkung sisinya. Selain dipukul, cara lain untuk membuat lobang pada gelang yaitu
dengan cara menggunakan gurdi. Batu yang bulat gepeng itu digurdi dari kedua belah sisi
dengan sebuah gurdi dari bambu. Setelah diberi air dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan
sebilah bambu lainnya diputar di atas muka batu sampai berlubang.
7) Pakaian Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok tanam diperkirakan mereka
telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan untuk pakaian berasal dari kulit kayu. Daerah
tempat ditemukan bukti adanya pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa
tempat lainnya. Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kulit kayu yang
sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang akan dibuat.
c. Konsep kepercayaan dan bangunan megalit Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia pada zaman berburu dan mengumpulkan
makanan sudah mengenal kepercayaan. Kepercayaan manusia ini mengalami perkembangan.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan kepercayaan baru sebatas adanya penguburan.
Kepercayaan ini kemudian berkembang pada masa bercocok tanam dan perundagian. Bukti
peninggalan kepercayaan pada masa bercocok tanam yaitu ditemukannya bangunan-bangunan
batu besar yang berfungsi untuk penyembahan. Zaman penemuan batu-batu besar ini disebut
dengan zaman megalithikum. Bangunan-bangunan batu yang dihasilkan pada zaman
megalithikum antara lain sebagai berikut.
1) Menhir
Menhir merupakan tiang atau tugu batu yang dibuat untuk menghormati roh nenek moyang.
Daerah-daerah tempat ditemukannya menhir di Indonesia, seperti di J awa Barat, J awa Tengah,
J awa Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan Bali.

Gambar 4.12 Menhir
2) Sarkofagus
Sarkofagus menyerupai peti mayat atau keranda yang bentuknya seperti palung atau lesung,
tetapi mempunyai tutup. Benda ini terbuat dari batu sehingga diperkirakan kehadiran sarkofagus
sezaman dengan zaman megalithikum (zaman batu besar). Adanya sarkofagus ini menandakan
kepercayaan pada waktu itu, bahwa orang yang meninggal perlu dikubur dalam peti mayat. Di
daerah Bali, sarkofagus ini banyak ditemukan.
3) Dolmen
Tempat lain untuk melakukan pemujaan pada arwah nenek moyang pada waktu itu ialah
Dolmen. Dolmen ini terbuat dari batu besar yang berbentuk meja. Meja ini berkaki yang
menyerupai menhir. Dolmen berfungsi sebagai tempat sesaji dalam rangka pemujaan kepada roh
nenek moyang. Di beberapa tempat, dolmen berfungsi sebagai peti mayat, sehingga di dalam
dolmen terdapat tulang belulang manusia. Sebagai bekal untuk yang meninggal, di dalam dolmen
disertakan benda-benda seperti periuk, tulang dan gigi binatang, dan alat-alat dari besi.

Gambar 4.13 Dolmen
4) Kubur batu
Selain dolmen dan sarkofagus, ditemukan juga kubur batu yang fungsinya sebagai peti mayat.
Bedanya ialah kubur batu ini dibuat dari lempengan batu, sedangkan dolmen dan sarkofagus
dibuat dari batu utuh. Di daerah J awa Barat, penemuan kubur batu banyak ditemukan.

Gambar 4.14 Sarkofagus

Gambar 4.15 Sebuah keranda batu berisi kerangka manusia
5) Waruga
Waruga adalah kubur batu berbentuk kubus atau bulat. Bentuknya sama seperti dolmen dan
sarkofagus, yaitu dibuat dari batu yang utuh. Di Sulawesi Tengah dan Utara banyak ditemukan
waruga.

Waruga atau kubur batu banyak ditemui di daerah Minahasa

Gambar 4.17 Kubur batu
6) Punden berundak-undak
Bangunan lainnya yang dihasilkan pada zaman megalithikum adalah punden berundak-undak.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan yang berupa batu tersusun secara bertingkat-
tingkat. Di tempat punden berundak-undak biasanya terdapat menhir. Daerah ditemukannya
punden berundak-undak antara lain di Lebak Sibedug (Banten Selatan) dan Ciamis (J awa Barat).

Gambar 4.18 Punden berundak-undak dari Lebak Sibedug (Banten Selatan)
KEHIDUPAN SOSIAL ZAMAN
PERUNDAGIAN
Versi materi oleh Marwan S
Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup di desa-desa di daerah pegunungan, dataran
rendah dan tepi pantai. Susunan masyarakatnya makin teratur dan terpimpin. Masyarakat dipimpin
oleh ketua adat yang merangkap sebagai kapala daerah. Ketua adat dipilih oleh masyarakat, yaitu
orang tua yang banyak pengetahuan dan pengalamannya mengenai adat dan berwibawa terhadap
masyarakat. Kepala daerah yang besar wibawanya kemudian membawahi kepala-kepala daerah
lainnya dan makin besar kekuasaannya. Ia bertindak seperti seorang raja dan itulah permulaan
timbulnya raja-raja di Indonesia.




Untuk menaikkan derajat dalam masyarakat, orang berusaha membuat jasa sebanyak-banyaknya,
biasanya dengan melakukan hal-hal atau perbuatan-perbuatan luar biasa dan memperlihatkan
keberaniannya sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memperoleh kedudukan sebagai
pemimpin. Misalkan dalam perburuan binatang buas sepert harimau. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap kebiasaan masyarakat pada masa perundagian yang sering melakukan upacara khusus
dalam acara penguburan mayat para pemimpin mereka, menunjukan bahwa masyarakat pada
waktu itu telah memiliki norma-norma dalam kehidupan, terutama sikap menghargai
kepemimpinan seseorang. Walau dapat kita dipastikan bahwa masyarakat pada masa itu
didasarkan atas gotong royong, namun telah berkembang norma-norma yang mengatur hubungan
antara lain yang dipimpin dan yang memimpin.

Adanya norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada masa perundagian
menunjukan bahwa pada masa ini terdapat hasil-hasil kebudayaan berupa norma-norma. Bila
dilihat dari hasil kebudayaan yang berwujud peraturan. Pada masa perundagian masyarakat telah
mengenal suatu peraturan yang harus ditaati oleh semuanya. Salah satunya adalah peraturan dalam
penguburan mayat di tempayan. Penguburan dalam tempayan ini hanya dilakukan terhadap orang-
orang yang berkedudukan penting dalam masyarakat. Selain itu, terdapat juga aturan dalam
penggunaan harta kekayaan. Penguasaan dan pengambilan sumber penghidupan diatur menurut
tata tertib dan kebiasaan masyarakat. Pemakaian barang-barang dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari didasarkan atas sifat magis dari barang-barang tersebut.

Pada masa perundagian, manusia purba sangat taat kepada adat diantaranya adat gotong-royong,
tolong menolong, sambat-sinambat.Kebiasaan hidup berkelompok berkembang menjadi lebih luas
dalam kehidupan masyarakat desa secara bergotong royong. Gotong royong merupakan kewajiban
bagi setiap anggota masyarakat. Hal ini dapat di lihat dalam pembuatan alat-alat, dimana semuanya
dilakukan secara bergotong royong.

Anda mungkin juga menyukai