Anda di halaman 1dari 25

FARINGITIS AKUT

Case Presentation Session


Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan pada bagian THT-KL

Disusun oleh:
Rezi Mayasi Jiham 4151201009
Herty Herlina Ramsy 4151201010
Alfian Ramadhan 4151201025

LXII-B

Pembimbing:
Asti Kristianti, dr., Sp.THT-KL, M.Kes

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL


RS DUSTIRA/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2021
Identitas Pasien
Nama : Legiyati
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 51 Tahun
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jl Cempaka Cimahi
Tgl. Pemeriksaan : 06/06/2021
Anamnesis
Pasien perempuan umur 51 tahun datang dengan keluhan sakit
tenggorokan sejak 5 hari yang lalu, keluhan dirasakan hilang timbul, keluhan
disertai nyeri menelan, gatal pada tenggorokan,batuk. Pasien merasakan demam
sejak 4 hari yang lalu sudah diobati paracetamol. Pada telinga pasien tidak
mengeluhkan nyeri, keluar cairan, gatal dan penurunan pendengaran pada telinga.
Pasien sebelumnya sering makan makanan berminyak, dan minuman dingin,
Riwayat penyakit pada pasien sebelumnya mengidap hipertensi sejak 5 tahun
yang lalu. Pada keluarga tidak mengidap keluhan yang sama.
Pasien tidak memiliki Riwayat alergi seperti bersin-bersin di pagi hari atau
saat terkena debu dan alergi pada obat-obatan tertentu. Pasien tidak pernah
tertusuk duri ikan. Tidak ada keluhan hidung tersumbat. Pasien tidak pernah
melakukan operasi pada bagian leher.

Pemeriksaan Fisik
KU : Compos Mentis
Kesan sakit : Sakit ringan
Tanda Vital : T: 120/80 mmHg; R: 21x/menit ; S: 36.6C

ADS:
Preaurikula:
kelainan kongenital: Fistula -/- ; Kista-/- Tragus asesorius -/-
infeksi: hiperemis -/- edema-/- parotitis-/- limfadenitis-/-
neoplasma : massa -/-
trauma ; laserasi -/- ; hematoma -/-, krepitasi -/-
Aurikula:
kelainan kongenital: mikrotia-/- anotia-/- makrotia-/-
infeksi: hiperemis -/-, edema -/-, krepitasi -/-
neoplasma: massa -/-
trauma: laserasi -/-, hematoma -/-, ear pierching-/-, frost bite-/-
Retroaurikula:
kelainan kongenital:-
infeksi: hiperemis -/-, edema -/-, krepitasi -/-
neoplasma: massa -/-
trauma: laserasi -/- ; hematoma -/-, krepitasi -/-

CAE : Kulit tenang / tenang


Sekret -/- ; hiperemis -/-
Serumen -/-
Jaringan granulasi: -/-
Massa/Benda Asing: -/-
MT: Intak/Intak
Refleks cahaya +/+ normal

Pemeriksaan hidung luar


Bentuk: simetris
Deformitas: -
Krepitasi: -
Inflamasi: -
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi : tenang / tenang
Mukosa cavum nasi : tenang / tenang
Sekret :-/-
Massa/Benda Asing : -/-
Konka Inferior: eutrofi / eutrofi
Konka Media : eutrofi/eutrofi
Septum : Tidak Deviasi
Pasase udara : +/+
Cavum Oris
Trismus : (-)
Mukosa : basah, tenang
Lidah : gerakan normal ke segala arah
Palatum mole : tenang, simetris
Gigi geligi : Karies gigi (-)
Uvula : simetris
Halitosis : (-)
Orofaring
Tonsil
Besar : T1/T1
Mukosa : tenang/tenang
Kripta : tidak melebar/tidak melebar
Detritus :-/-
Faring
Mukosa : Hiperemis
Granula : (+)
Post-nasal drip : (-)
Refleks muntah : (+)
Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Parase N. Kranialis : (-)
Tanda Rhinitis Alergi : (-)
Tanda Sinusitis : (-)
Leher :
KGB : tidak teraba
Massa : (-)
AD AS

Tes Suara Jarak 1 m mendengar bisikan Jarak 1 m mendengar bisikan

Tes Rinne + +

Tes Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi

Tes Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa


Schwabach

Kesan Normal

• Rhinoskopi Posterior
- Koana : terbuka/terbuka
- Orifisium tuba estachius : terbuka/terbuka
- Fossa Rossenmuller : tenang/tenang, massa -/- -
- Torus tubarius : tenang/tenang, massa -/-
- Adenoid/massa : -/-
•Laringoskopi indirek
- Epiglottis : massa -, edema -, ulkus -
- Aritenoid : tenang/tenang
- Plika ariepgoltika : tenang/tenang, massa -
- Plika vocalis : tenang/tenang, nodul -
- Plika ventrikularis : tenang/tenang, massa -
- Rima glottis : terbuka
- Trakea : deviasi (-)

Case Overview
Skenario Keterangan
Pasien perempuan umur 51 tahun Identitas pasien,

Datang dengan keluhan sakit tenggorokan Diagnosis Banding


sejak 5 hari yang lalu, C: -
I: Faringitis, Tonsilitis,
laryngitis, abses peritonsillar,
adenoiditis
N: Tumor ganas tonsil
T: Trauma termal
A: Laringofaring refluks, Benda
asing
Onset akut.
keluhan dirasakan hilang timbul, keluhan
disertai nyeri menelan, gatal pada Tanda dan gejala faringitis
tenggorokan,batuk. Pasien merasakan demam
sejak 4 hari yang lalu

sudah diobati paracetamol.


Riwayat pengobatan
Pada telinga pasien tidak mengeluhkan nyeri,
keluar cairan, gatal dan penurunan Menyingkirkan OE, OMA,
pendengaran pada telinga. Presbikusis

Pasien sebelumnya sering makan makanan


berminyak, dan minuman dingin, Pada Faktor risiko
keluarga tidak mengidap keluhan yang sama.

Pasien tidak memiliki Riwayat alergi seperti Menyingkirkan Rhinitis alergi


bersin-bersin di pagi hari atau saat terkena dan vasomotor
debu dan alergi pada obat-obatan tertentu.
Pasien tidak pernah tertusuk duri ikan.

Tidak ada keluhan hidung tersumbat. Pasien Menyingkirkan kemungkinan


tidak pernah melakukan operasi pada bagian adanya korpus alienum
leher.

Pasien tidak memiliki Riwayat kontak dengan Tidak ada faktor risiko kontak
penderita covid-19 dengan pasien susp.covid

PEMERIKSAAN FISIK ANALISIS


Keadaan umum: komposmentis
kesan sakit: ringan sedang.
Tanda vital: dalam batas normal.  Dalam Batas Normal
Status generalis: dalam batas normal.
Pemeriksaan Maksilofasial:  Dalam Batas Normal
- Wajah simetris
- Tidak terdapat gambaran adenoid facies
- Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak
ikterik
Pemeriksaan otoskopi:  Dalam Batas Normal
 KAE hiperemis/tenang
 sekret-/-
 serumen-/-
 membran timpani intak/intak
 refleks cahaya +/+
Pemeriksaan rinoskopi anterior:
Vestibulum nasi : tenang / tenang  Dalam batas normal
Mukosa cavum nasi : tenang / tenang
Sekret :-/-
Massa/Benda Asing : -/-
Konka Inferior: eutrofi / eutrofi
Konka Media : eutrofi/eutrofi
Septum : Tidak Deviasi
Pasase udara : +/+

Pemeriksaan orofaring :
Tonsil
Besar : T1/T1
Mukosa : tenang/tenang
Kripta : tidak melebar/tidak melebar
Detritus :-/-
Faring
Mukosa : Hiperemis Tanda faringitis, faring
Granula : (+) mengalami inflamasi
Post-nasal drip: (-) Tanda faringitis akut
Refleks muntah : (+) Dbn

Pemeriksaan Garputala
1. Test Rinne : +/+ 1. Normal atau sensorineural
2. Weber : tidak ada laterisasi
3. Schwabach :
Auris sinistra: sama dengan pemeriksa Dalam batas normal
Auris dextra: sama dengan pemeriksa
• Rhinoskopi Posterior
- Koana : terbuka/terbuka Dalam batas normal
- Orifisium tuba estachius :
terbuka/terbuka
- Fossa Rossenmuller : tenang/tenang,
massa -/- -
- Torus tubarius : tenang/tenang, massa
-/-
- Adenoid/massa : -/-
•Laringoskopi indirek
- Epiglottis : massa -, edema -, ulkus -
- Aritenoid : tenang/tenang Dalam batas normal
- Plika ariepgoltika : tenang/tenang,
massa -
- Plika vocalis : tenang/tenang, nodul -
- Plika ventrikularis : tenang/tenang,
massa -
- Rima glottis : terbuka
- Trakea : deviasi (-)

DK : Faringitis akut

1.2 Dasar Diagnosis


Dasar Diagnosis
Faringitis akut dapat ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut
Anamnesis:
 Nyeri tenggorokan
 Odinofagia
 Demam

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh virus seperti hipertrofi
tonsil, eritema, edema, atau “cobblestoning” pada faring posterior. Infeksi bakteri
dapat menyebabkan limfadenopati cervical anterior, ruam sandpaperlike
(scarlatiniform), eksudat tonsilar, and ptekie pada palatum .Faringitis jamur dapat
dijumpai dengan angular cheilitis dan plak putih yang nyeri atau bercak merah
yang alus disekitar orofaring.

Pemeriksaan Penunjang
Kultur tenggorokan tetap menjadi standar kriteria untuk diagnosis faringitis
bakterial, dengan spesifisitas 97% hingga 100%20 dan sensitivitas 90% hingga
95%. Sayangnya, kultur sampel tenggorokan sulit dilakukan dan dapat menunda
pemberian antibiotik.
Rapid antigen detection testing (RADT) dapat mendeteksi antigen bakteri dan
virus dari apus tenggorokan yang diambil dari eksudat tonsil atau orofaring
posterior menggunakan dipstick. Spesifisitas dan sensitivitas RADT sangat
bervariasi dari 54% hingga 100% dan 38% hingga 100%, masing-masing.
Meskipun hasilnya langsung terlihat, setiap kit bersifat spesifik patogen dan tidak
dapat membedakan secara luas antara faringitis virus dan bakteri. Oleh karena itu,
hasil negatif tidak dapat mengesampingkan faringitis bakteri non-GAS

1.3 Definisi
Faringitis akut adalah sindrom inflamasi faring yang disebabkan oleh
beberapa kelompok mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat menjadi
bagian dari infeksi saluran pernapasan atas umum atau infeksi tertentu yang
terlokalisasi di faring.
1.4 Klasifikasi
A. Faringitis akut
Faringitis akut merupakan peradangan dinding faring yang paling sering
disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%).
1. Faringitis viral
Tanda dan Gejala
Kebanyakan faringitis disebabkan oleh agen virus. Faringitis akibat Rinovirus
menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Gejala biasanya berupa demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok,
sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
Virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi
kulit berupa maculopapular rash.10
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,
terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

1.5 Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis adalah
penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat mengalami
setidaknya satu episode tonsilitis. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis
Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin
wanita.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di
Indonesia pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi
setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%, prevalensi tonsillitis kronik sebesar
3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai
Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Tonsilitis yang disebabkan
oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas.

1.6 Ilmu Kedokteran Dasar


1.6.1 Anatomi Faring
Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya
terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem
pernafasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar
hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke kaudal merupakan primaordial
paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua
lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling proksimal dari tuba akan
menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari
ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam
3-4 minggu berikutnya.
Faring adalah bagian sistem cerna yang terletak antara cavitas nasi dan cavitas
oris, di belakang laring, merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk
seperti corong dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit.
Faring merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus.
Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke
esophagus hingga setinggi vertebrata servikalis ke-6. Diameter bagian terlebar
mencapai 5 cm dan tersempit 1,5 cm Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa ±14 cm dan bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dan sebagian fasia bukofaringeal.
Gambar 2.1 Anatomi Faring Potongan Sagital

Otot-otot dinding faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan


memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari musculus
konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di
sebelah luar dan berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi
sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat.4,8
Kerja otot konstriktor ini adalah untuk mengecilkan lumen faring. Kerjanya
bersifat involunter yang bertujuan mendorong makanan ke esofagus dan otot-otot
ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. Otot-otot faring yang tersusun longitudinal
terdiri dari M.Stilofaring dan M.Palatofaring, letak otot-otot ini di sebelah dalam.
M.Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring sewaktu
menelan dan berbicara, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan ismus
orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. M.Stilofaring
dipersarafi oleh Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring dipersarafi oleh
Nervus Vagus.
Faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilaris os
oksipital di sebelah atas, koana dan palatum mole di sebelah anterior, dan vertebra
servikalis di sebelah posterior. Terdapat orofisium dari tuba Eustachius di dinding
lateral dan jaringan adenoid di sekitarnya. Pada atap dan dinding posterior
nasofaring terdapat faringeal tonsil (adenoid) dimana jaringan tersebut sering
mencapai ukuran besar pada usia anak-anak.
Orofaring merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan tulang
hyoid. Terdapat tonsil lingual, dan cincin Waldeyer yang berperan serta pada
reaksi imunologi. Laringofaring merupakan posisi terendah dari faring pada
bagian bawahnya sistem respirasi dan terdapat banyak kelenjar mukosa dan
jaringan lifoid.
Laringofaring terletak di antara epiglottis dan cartilago cricoid (vertebra C6),
lalu akan berlanjut menjadi oesophagus, tepatnya di posterior laring yang
berhubungan dengan laring melalui aditus laryngis.

Gambar 2.2 Otot-otot Faring


Faring mendapat vaskularisasi dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan, yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang
palatine superior. Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari
pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus
Vagus, cabang dari Nervus Glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang
faring dari Nervus Vagus berisi serabu motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif
ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang Nervus Glossopharyngeus.

Gambar 2.3 vaskularisasi


Gambar 2.3 Inervasi

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal
dalam bawah. Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring,
Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring).
Gambar 2.4 Aliran Limfatik

1.6.3 Histologi Faring


Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratori. Orofaring dan bagian tertentu
pada laringofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Lamina propria disusun
oleh jaringan ikat longgar sampai padat yang iregular dengan pembuluh darah dan
mengandung kelenjar seromukosa serta unsur limfoid. Lamina propria menyatu
dengan epimisium otot rangka faring. Lamina propria bagian posterior nasofaring
mengandung tonsil faringea, yaitu kumpulan jaringan limfoid yang tak terbungkus
kapsul. 
1.6.4 Fisiologi Faring
Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan artikulasi.
Fungsi menelan merupakan suatu proses yang dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1)fase oral, 2)fase faringeal dan 3)fase esophageal yang terjadi secara
berkesinambungan. Pada proses menelan akan terjadi pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, upaya sfingter mencegah
terhamburnya bolus selama fase menelan, mempercepat masuknya bolus makanan
ke dalam faring pada saat respirasi. Selain itu terjadi pencegahan masuknya
makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring, kerjasama yang baik dari
otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan kearah lambung, dan
usaha untuk membersihkan kembali esophagus.
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan air liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan bergerak dari
rongga mulut menuju faring. Gerakan ini bersifat volunter. Fase faringeal terjadi
secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus makanan dari faring
ke esophagus. Terjadi pergerakan faring dan laring ke atas, aditus laring tertutup
oleh epiglottis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepligotika, plika
ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi M.Ariepliglotika dan
M.Aritenoid obligus. Gerakan bersifat involunter. Fase esophageal ialah fase
perpindahan bolus makanan dari esophagus ke lambung. Terjadi kontraksi sfingter
yang lebih kuat sehingga makanan tidak kembali ke faring sehingga refluks dapat
dihindari.
Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal sfingter ini
akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esophagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat
maka sfingter iniakan menutup kembali.
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula M. Salpingofaring dan M. palatofaring, kemudian M.
Levator veli palatine bersama-sama M. konstriktor faring superior. Pada gerakan
penutupan nasofaring M. Levator veli palatine menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi
oleh tonjolan Passavant (fold of Passavant) pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan M. palatofaring (bersama M. Salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif M.
konstriktor faring superior.

Gambar 2.5 Proses menelan


1.7 Patofisiologi 
Invasi virus maupun bakteri kedalam mukosa faring akan menyebabkan
inflamasi lokal pada dinding faring, kemudian streptococcus group A beta
hemolitikus disebut sebagai bakteri yang paling sering menyebabkan faringitis
masuk kedalam sel epitel tenggorokan dan melepaskan toksin dan protease yang
menyebabkan kerusakan jaringan hebat melalui penetuan kompleks antigen
antibody berupa demam rematik, kerusakan otot jantung, dan glomerulonephritis
akut. Penyakit faringitis dapat menular melalui sekret hidung dan tenggorokan
yang ditularkan secara droplet infection

1.8 Komplikasi
Menurut Kazzi (2006) Biasanya faringitis dapat sembuh sendiri. Namun
jika faringitis ini berlangsung lebih dari 1 minggu, masih terdapat demam,
pembesaran nodus limfa, atau muncul bintik kemerahan. Hal tersebut berarti dapat
terjadi komplikasi dari faringitis, seperti demam reumatik. Komplikasi umum
pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media, epiglottitis, mastoiditis,
dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi streptokokus jika
tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut, peritonsillar
abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock syndrome
dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring Beberapa
komplikasi faringitis akut yang lain adalah :
a. Demam scarlet, yang di tandai dengan demam dan bintik kemerahan.
b. Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi, atau kerusakan
pada katup jantung. Demam reumatik merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pada faringitis akut.
c. Glomerulonefritis, komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan respon
inflamasi terhadap protein M spesifik. Komplek antigen- antibody yang terbentuk
berakumulasi pada glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan
glomerulonefritis ini.
d. Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam
dan dehidrasi.

1.9 Penatalaksanaan
1.9.1 Umum:
1. Meningkatkan higenitas mulut (sikat gigi setelah makan di pagi hari dan
sebelum tidur pada malam hari)
2. Menghindari faktor predisposisi dan faktor presipitasi (minum/makan es dan
makanan ringan mengandung MSG)

1.9.2 Khusus:
1.9.2.1 Non-farmakologi/Operatif
Menjaga hiegenitas mulut, istirahat yang cukup, konsumsi makanan yang lunak,
minum air hangat, diberikan analgetik, antipiretik dan obat kumur
1.9.2.2 Farmakologi
Faringitis viral
a. Penatalaksanaan
Pada penataalaksanaan faringitis viral diperlukan istirahat dan minum yang
cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika bila perlu. Antivirus metisoprinol
(Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
< 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Faringitis bakterial
a. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dengan antibiotik diberikan bila diduga penyebab faringitis


akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus. Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB,
IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10
hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/
hari.10 Kortikosteroid diberikan deksametason 8-16mg, IM, 1 kali. Pada anak
0,08-0,3 mg/kgBB, IM, 1 kali. Bisa diberikan analgetika dan kumur dengan air
hangat atau antiseptik.

1.10 Pemeriksaan Penunjang


 Apus tenggorok à pewarnaan gram, kultur dan tes sensitivitas
 Swab rapid antigen SARS-COV2 à untuk menyingkirkan COVID-19 ,
syarat operasi
 Pemeriksaan pre-op: Darah rutin, pt aptt, Rontgen thoraks PA

1.11 Prognosis
QAV  : ad bonam
Tidak mengancam jiwa karena pada pasien tidak terdapat tanda-tanda komplikasi
QAF  : ad bonam
1.12 BHP

Medical Indication Patient Preference


Seorang dokter dapat Dokter memberikan informed
menegakan diagnosis Faringitis Akut consent kepada pasien mengenai
secara tepat melalui anamnesis dan rencana pemberian terapi serta
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan mengedukasi pasien hal yang perlu
penunjang. dihindari.

KDM : Beneficence KDM : Autonomi

Quality of life Contextual features


Dokter mampu memberikan Dokter dapat mendistribusikan
penatalaksanaan yang sesuai untuk keuntungan dan kerugian tentang
mencegah perburukan dan komplikasi tindakan operatif yang akan dilakukan.
dan menilai prognosis.

KDM : Justice
KDM : Non Maleficence
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically Oriented
Anatomy. 7th Ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, hal 443-445)
2. Martini FH. Human Anatomy. 8th Ed. 2015.
3. Paulsen F., Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 15. Kanada:
Elsevier; 2011. Halaman 89
4. Mangunkusumo E. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala-Leher. Penerbit buku kedokteran EGC 2019.hal 309-321
5. Mescher AL. Junqueira’ Basic Histology Text And Atlas. 14 th Ed. English :
McGrawHill Medical.
6. Soepardy EA. Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Ke-7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2017. hal 197-201
7. Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., 2012. BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. 6 ed. Philadelphia: BOEIS FUNDMENTALS OR
OTOLARYNGOLOGY.
8. ESCMID Sore Throat Guideline Group; Pelucchi C, Grigoryan L, Galeone C,
Esposito S,
9. Huovinen P, et al. Guideline for management of acute sore throat. Clin
Microbiol Infect 2012;18(Suppl 1):1-28
10. Cunha BA. A positive rapid strep test in a young adult with acute pharyngitis:
be careful what you wish for! IDCases 2017;10:58-9.
11. Pankhurst CL. Candidiasis (oropharyngeal). BMJ Clin Evid 2013;2013:1304.
12. Mohseni M, Boniface MP. Mononucleosis. Treasure Island, FL: StatPearls
Publishing; 2018.

Anda mungkin juga menyukai