Lapsus Anestesi Intubasi
Lapsus Anestesi Intubasi
OLEH:
Iin Nensi Mendo Tandirerung
C014 17 2019
SUPERVISOR PEMBIMBING
Dr.dr. A Muh Takdir Musba, Sp.an-KMN
RESIDEN PEMBIMBING
dr.Albertus M.Mario
i
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii
STATUS PASIEN.................................................................................. 1
2.1. Defenisi............................................................................................ 11
2.2.Tujuan................................................................................................ 11
iii
STATUS PASIEN
I. Identitas
Nama : Tn S
Umur : 22 tahun
Alamat : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Penjamin : BPJS
II. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan benjolan di mulut dialami sejak 1 tahun sebelum
masuk rumah sakit , semakin membesar sejak 2 bulan terakhir , disfagi tidak ,odinofagi
tidak ,sesak tidak , batuk tidak, otore tidak ,otalgia tidak, tinnitus tidak, vertigo tidak ,
epitaksis tidak , rinore tidak ,blood stain rhinore tidak. Riwayat demam tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat alergi (-), riwayat hipertensi (-),riwayat penyakit
1
Riwayat Pengobatan :
obatan anti diabetes mellitus (-), riwayat mengkonsumsi obat-obat antidiuretic (-),
Status Generalis
Tanda-tanda vital
Suhu : 36,8 °C
Antropometri
Primary Survey
2
B2:TD 120/90 mmHg, N 95 x/menit regular, kuat angkat.
B3:GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor ∅ 2,5mm/2,5mm, RC +/+, suhu Axilla 36,8 °C,
NRS 1/10
Secondary Survey
Kepala dan leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB (-), deviasi trachea
Thorax
o Paru :
o Jantung
Perkusi :
3
Batas jantung kiri : ICS V MCL (S)
Abdomen
o Inspeksi : datar
o Perkusi : timpani
a. Laboratorium :
4
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HCT 44 % 37,0-48,0 %
GDS 93 140
mmol/l
b. Foto thorax PA : tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax ini
5
- Massa soft palatum yang meluas ke parapharyeal space , choana dan nasofaring
IV. Diagnosis
V. Planning
BAB I
6
PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian terpenting dalam suatu
tindakan .Dengan dilakukan anestesi umum, jalan napas pasien harus dijaga dimana jalan napas
harus bebas, berjalan lancar, serta teratur. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien
pengelolaan jalan napas darurat. Pengenalan dasar meliputi pemastian patensi jalan napas,
perlindungan terhadap aspirasi, dan pemberian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
Pengelolaan jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang sangat penting dalam
kegawatdaruratan karena jika jalan napas tidak adekuat maka pasien dapat kehilangan nyawa
dengan cepat. Sebelum membebaskan jalan napas, tentu dokter ataupun paramedis harus
7
ABC (Airway, Breathing, Circulation) merupakan respon awal pada pasien dengan
kondisi yang sakit berat. Penilaian jalan napas awal meliputi penilaian untuk obstruksi jalan
napas. Secara umum, sumbatan jalan napas dapat dibagi atas sumbatan parsial (sebagian)
ataupun sumbatan total.3 Sumbatan parsial sering ditandai dengan adanya suara snorring
(ngorok) bahwa lidah jatuh ke belakang, atau gurgling yang menandakan adanya cairan di jalan
napas. Jalan napas yang adekuat dapat dinilai dengan memberikan pertanyaan sederhana seperti
“Pak,Pak, Anda kenapa?”, “Siapa nama Anda?”. Pada obstruksi total, suara napas tidak
terdengar lagi. Look, Listen and Feel merupakan langkah penialian jalan napas, setelah itu
menentukan jenis sumbatan jalan napas, dengan mengetahu jenis sumbatan jalan napas, maka
pengelolaan jalan napas yang akan diberikan pun akan sesuai. Manuver head tilt-chin lift
merupakan manuver yang dapat mengekstensikan kepala menjadi “sniffing position” dan
membuat lidah tidak jatuh ke belakang, merupakan metode yang sangat bisa dilakukan untuk
membuka jalan napas. Hiperekstensi dari kepala tidak dianjurkan dan mungkin saja dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. Misalnya sumbatan jalan napas sebagian (parsial) seperti
gurgling (terdapat cairan di jalan napan) maka dapat dilakukan suctioning atau pada keadaan
8
Gambar (A)
GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik anestesi umum
dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas. Perlindungan jalan napas tersebut dilakukan
dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung
atau mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan
Salah satu pengelolaan jalan napas yang dapat dilakukan adalah intubasi.4Intubasi
melalui endotracheal tube merupakan salah satu pengelolaan jalan napas yang cepat dalam kasus
kesulitan maka pengalaman klinik sangatlah dibutuhkan dalam mengenali tanda-tanda dari
BAB II
9
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Intubasi adalah suatu tindakan pengelolaan jalan napas dengan memasukkan pipa ke
dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi meliputi intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal3,4,6 . Intubasi orotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan
pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff sehingga ujung
distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea, antara pita suara dan bifurcatio trachealis.
Sedangkan intubasi nasotrakeal yaitu suatu tindakan memasukkan pipa nasal melalui nasal dan
2.2. Tujuan
pernapasan
2.3. Indikasi
10
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu pada keadaan-keadaan yang membutuhkan
pengontrolan jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
berbagai posisi misalnya tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah, menjaga darah dan
b) hipoventilasi
c) hipoksemia berat
e) henti jantung
2.4. Prosedur
Intubasi endotrakeal dilakukan dengan membuka mulut pasien dengan tangan kanan dan
gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut
kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop di dorong ke dalam rongga
mulut. Gagang di angkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring srta
epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube
diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
11
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri sama. Bila dada
12
Gambar 2. Gambaran plica vocalis
13
Gambar 4. ETT (terpasang)
Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu tindakan
yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop
konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan
dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit
(Latto,1997).Menurut ASA, jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana seorang ahli
anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami kesulitan dalam
14
Pasien dengan struma harus dievaluasi untuk kemungkinan kesulitan pengelolaan jalan
napas dan deviasi trakea. Biasanya operasi dilakukan dengan intubasi endotrakeal. Penilaian
untuk kemungkinan adanya kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai dengan
kriteria LEMON .
tertentu di mana proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian hambatan intubasi dapat
a. L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal yang
dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma pada wajah,
lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.
b. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental Langkah ini
merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan
intubasi.
Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3
jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung
mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2:
b.Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika
laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
15
c. Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila
kurang dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin
A. B.
C.
16
c. Mallampati Score.
Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.
d. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat
adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice
(hot potato voice), adanya kesulitamenelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan
adanya stridor.
17
e. N (Neck mobility)
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu
mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital.
Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai
Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai pada saat
visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada dalam posisi sniffing yang
optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi yang benar, dan
- Derajat III : Tidak ada bagian glotis yang terlihat tetapi epiglotis terlihat
18
Untuk penilaian jalan napas pada pasien ini pasien ini dari pemeriksaan luar
didapatkan massa pada leher sebelah kanan sebesar bola pingpong dan deviasi trakhea minimal
ke kiri, dari evaluasi 3 -3-2: pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari, jarak di antara ujung
mentum dan persimpangan mandibular leher 3 jari dan jarak di antara persimpangan mandibula-
leher dan tiroid notch2 jari. Dari penilaian Mallampati pasien masuk dalam kategori I. Tidak
ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan mobilitas leher yang baik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa diperkirakan tidak ditemui kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi. Dari
evaluasi praanestesi pasien berada pada kondisi eutiroid baik secara klinis yang dinilai dari index
wayne dan laboratoris dimana kadar T3, T4 dan TSH pasien berada dalam batas normal.
19
BAB III
KESIMPULAN
sangatlah penting.
Intubasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kepatenan
jalan napas, mencegah aspirasi, dan menjaga agar ventilasi memadai. Intubasi dapat dilakukan
pada keadaan di mana terdapat obstruksi jalan napas, hipoventilasi, hipoksemia berat,
penurunaan kesadaran (GCS ≤ 8), henti jantung, serta syok hemoragik berat. Perlindungan jalan
napas dapat dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ETT) ke dalam
trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke
dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pengelolaan anestesi pada
pasien struma disertai tumor paru membutuhkan beberapa perimbangan khusus yaitu pasien
harus berada dalam kondisi eutiroid secara klinis dan laboratoris, kedalaman anestesi harus
Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian derajat kesulitan jalan napas dan sebelum
20
DAFTAR PUSTAKA
McGraw-Hill Companies
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Airway Management. USA: McGraw-
Hill Companies
Anesthesiologist.
21
22