Anda di halaman 1dari 25

DEPARTEMEN ANESTESI LAPORAN KASUS

TERAPI INTENSIF DAN AUGUSTUS 2019


MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
PENGELOLAAN JALAN NAPAS (INTUBASI) PADA TINDAKAN EKSTIRPASI
TUMOR PALATUM

OLEH:
Iin Nensi Mendo Tandirerung
C014 17 2019

SUPERVISOR PEMBIMBING
Dr.dr. A Muh Takdir Musba, Sp.an-KMN

RESIDEN PEMBIMBING
dr.Albertus M.Mario

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMENANESTESI TERAPI INTENSIF
DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Berikut nama dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Iin Nensi Mendo Tandirerung


NIM : C014 17 2019
Judul Lapsus : Pengelolaan Jalan Napas ( Intubasi) pada Tindakan Ekstirpasi Tumor
Palatum
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Augustus 2019

Residen Pembimbing Coass

dr. Albertus M. Mario Iin Nensi Mendo T

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. A Muh Takdir Musba, Sp.An-KMN

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

STATUS PASIEN.................................................................................. 1

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 11

2.1. Defenisi............................................................................................ 11

2.2.Tujuan................................................................................................ 11

2.3. Indikasi Intubasi Trakea...................................................………… 12

2.4 Prosedur Intubasi............................................................................... 12

2.5 . Kesulitan Intubasi…………………………………………………. 15

BAB 3. KESIMPULAN ........................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 22

iii
STATUS PASIEN

I. Identitas

Nama : Tn S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 1-10-1997

Umur : 22 tahun

Alamat : Makassar

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Pekerjaan : Mahasiswa

Penjamin : BPJS

No. Rekam Medis :889232

Tanggal pemeriksaan : 07/08/2019

II. Anamnesis

Keluhan Utama : Benjolan di mulut

Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan benjolan di mulut dialami sejak 1 tahun sebelum

masuk rumah sakit , semakin membesar sejak 2 bulan terakhir , disfagi tidak ,odinofagi

tidak ,sesak tidak , batuk tidak, otore tidak ,otalgia tidak, tinnitus tidak, vertigo tidak ,

epitaksis tidak , rinore tidak ,blood stain rhinore tidak. Riwayat demam tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat alergi (-), riwayat hipertensi (-),riwayat penyakit

jantung (-), riwayat DM (-).

1
Riwayat Pengobatan :

Riwayat mengkonsusmsi obat-obat anti hipertensi (-), riwayat mengkonsumsi obat-

obatan anti diabetes mellitus (-), riwayat mengkonsumsi obat-obat antidiuretic (-),

riwayat mengkonsumsi obat-obatan penyakit jantung (-).

Riwayat Kebiasaan : Konsumsi alkohol (-), merokok (-)

III. Pemeriksaan fisik

 Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)

Tanda-tanda vital

Tekanan darah: 120/90 mmHg

Nadi :18 x/menit

Nadi :95 x/menit

Suhu : 36,8 °C

Antropometri

Berat badan :48 kg

Tinggi badan : 156 cm

BMI : 19,72 kg/m2

 Primary Survey

 B1:RR:18x/menit, Rhonki-/-, Wheezing -/-, SpO2: 99%

2
 B2:TD 120/90 mmHg, N 95 x/menit regular, kuat angkat.

 B3:GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor ∅ 2,5mm/2,5mm, RC +/+, suhu Axilla 36,8 °C,

NRS 1/10

 B4: urin spontan, produksi sulit dinilai

 B5: Datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani.

 B6: Edema (-/-), fraktur (-/-).

 Secondary Survey

 Kepala dan leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB (-), deviasi trachea

(-) ,pada mulut terpadat massa di palatum

 Thorax

o Paru :

 Inspeksi : Pergerakan dada simetris, D=S

 Palpasi : Fremitus raba simetiris, D=S

 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru

 Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, rhonki (-/-),wheezing (-/-)

o Jantung

 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL (S)

 Perkusi :

 Batas jantung kanan : ICS III PSL (D)

3
 Batas jantung kiri : ICS V MCL (S)

 Auskultasi : S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen

o Inspeksi : datar

o Palpasi : massa tumor (-)

o Perkusi : timpani

o Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

 Ekstremitas : fraktur (-), edema (-)

IV. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium :

4
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

WBC 5,2 x103 4,00-10,00 x 103

RBC 5,31 x 10 6/mm3 4,00- 6,00 6/mm3

HGB 14,4 g/dl 12,0-16,0 g/dl

HCT 44 % 37,0-48,0 %

PLT 251 x 103/m3 150-400 x 103/m3

PT 10,2 10,0 – 14,0 detik

APTT 26,0 22,0-30,0

GDS 93 140

SGOT/SGPT 27 / 30 <38/ <41

Ur/Cr 23 / 0.80 10-50/ <1,1

Na/K/Cl 138/4,2/105 136-145/3.5-5.1/97-111

mmol/l

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

b. Foto thorax PA : tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax ini

c. CT Thyroid Leher (tanpa kontras ) :

Uraian pemeriksaan sebagai berikut :

5
- Massa soft palatum yang meluas ke parapharyeal space , choana dan nasofaring

sisi sinistra menyempitkan airway sugestif abcess

- Retension cyst sinus maxillaris sinistra

IV. Diagnosis

Tumor Palatum Mole

V. Planning

Ekstirpasi Tumor Palatum dengan anestesi GETA ( General Endotracheal Anestesia)

BAB I

6
PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian terpenting dalam suatu

tindakan .Dengan dilakukan anestesi umum, jalan napas pasien harus dijaga dimana jalan napas

harus bebas, berjalan lancar, serta teratur. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien

adalah dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal.1

Mengenali dan mengantisipasi dekompensasi pernapasan adalah tahap pertama dalam

pengelolaan jalan napas darurat. Pengenalan dasar meliputi pemastian patensi jalan napas,

perlindungan terhadap aspirasi, dan pemberian ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.

Pengelolaan jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang sangat penting dalam

kegawatdaruratan karena jika jalan napas tidak adekuat maka pasien dapat kehilangan nyawa

dengan cepat. Sebelum membebaskan jalan napas, tentu dokter ataupun paramedis harus

mengenal beberapa tanda-tanda sumbatan jalan napas. 3,4

7
ABC (Airway, Breathing, Circulation) merupakan respon awal pada pasien dengan

kondisi yang sakit berat. Penilaian jalan napas awal meliputi penilaian untuk obstruksi jalan

napas. Secara umum, sumbatan jalan napas dapat dibagi atas sumbatan parsial (sebagian)

ataupun sumbatan total.3 Sumbatan parsial sering ditandai dengan adanya suara snorring

(ngorok) bahwa lidah jatuh ke belakang, atau gurgling yang menandakan adanya cairan di jalan

napas. Jalan napas yang adekuat dapat dinilai dengan memberikan pertanyaan sederhana seperti

“Pak,Pak, Anda kenapa?”, “Siapa nama Anda?”. Pada obstruksi total, suara napas tidak

terdengar lagi. Look, Listen and Feel merupakan langkah penialian jalan napas, setelah itu

menentukan jenis sumbatan jalan napas, dengan mengetahu jenis sumbatan jalan napas, maka

pengelolaan jalan napas yang akan diberikan pun akan sesuai. Manuver head tilt-chin lift

merupakan manuver yang dapat mengekstensikan kepala menjadi “sniffing position” dan

membuat lidah tidak jatuh ke belakang, merupakan metode yang sangat bisa dilakukan untuk

membuka jalan napas. Hiperekstensi dari kepala tidak dianjurkan dan mungkin saja dapat

menyebabkan obstruksi jalan napas. Misalnya sumbatan jalan napas sebagian (parsial) seperti

gurgling (terdapat cairan di jalan napan) maka dapat dilakukan suctioning atau pada keadaan

snorring dapat dipasangkan gudle (oropharyngeal airway) (gambar A).

8
Gambar (A)

GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik anestesi umum

dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas. Perlindungan jalan napas tersebut dilakukan

dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung

atau mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan

memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.1

Salah satu pengelolaan jalan napas yang dapat dilakukan adalah intubasi.4Intubasi

melalui endotracheal tube merupakan salah satu pengelolaan jalan napas yang cepat dalam kasus

kegawatdaruratan.Meskipun pengambilan keputusan dalam melakukan intubasi mengalami

kesulitan maka pengalaman klinik sangatlah dibutuhkan dalam mengenali tanda-tanda dari

impending gagal napas (takipneu, kesadaran menurun).5

BAB II

9
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Intubasi adalah suatu tindakan pengelolaan jalan napas dengan memasukkan pipa ke

dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi meliputi intubasi orotrakeal

(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal3,4,6 . Intubasi orotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan

pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff sehingga ujung

distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea, antara pita suara dan bifurcatio trachealis.

Sedangkan intubasi nasotrakeal yaitu suatu tindakan memasukkan pipa nasal melalui nasal dan

nasopharing dalam oropharing sebelum laryngoscopy.6,8,9

2.2. Tujuan

Tujuan dilakukannya intubasi yaitu7,11:

 mempermudah pemberian anesthesia

 mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran

pernapasan

 mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,

lambung penuh dan tidak ada didapat refleks batuk.

 mempermudah pengisapan sekret endotrakeal.

 pemakaian ventilasi mekanis yang lama

 mengatasi obstruksi laring akut

2.3. Indikasi

10
Indikasi intubasi endotrakeal yaitu pada keadaan-keadaan yang membutuhkan

pengontrolan jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi

dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap

pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,

menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala, memungkinkan

berbagai posisi misalnya tengkurap, duduk, lateral, kepala ke bawah, menjaga darah dan

sekresi keluar dari trakea selama operasi.4,6,12

Intubasi trakea darurat dibutuhkan oleh pasien trauma yang mengalami:

a) obstruksi jalan napas

b) hipoventilasi

c) hipoksemia berat

d) penurunaan kesadaran (GCS≤8)

e) henti jantung

f) syok hemoragik berat

2.4. Prosedur

Intubasi endotrakeal dilakukan dengan membuka mulut pasien dengan tangan kanan dan

gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut

kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop di dorong ke dalam rongga

mulut. Gagang di angkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring srta

epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga

tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube

diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara akan dapat

tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi

11
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa

dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan

auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri sama. Bila dada

ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal.5,6

Gambar 1. Kurva bilah laringoskopi (A) meluruskan bilah laringoskopi (B)

12
Gambar 2. Gambaran plica vocalis

Gambar 3. Insersi ETT

13
Gambar 4. ETT (terpasang)

2.5. Kesulitan Intubasi

Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu tindakan

yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop

konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan

dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit

(Latto,1997).Menurut ASA, jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana seorang ahli

anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami kesulitan dalam

memberikan ventilasi sungkup muka dan kesulitan melakukan intu.

14
Pasien dengan struma harus dievaluasi untuk kemungkinan kesulitan pengelolaan jalan

napas dan deviasi trakea. Biasanya operasi dilakukan dengan intubasi endotrakeal. Penilaian

untuk kemungkinan adanya kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai dengan

kriteria LEMON .

Pemasangan intubasi tidak selamanya berjalan dengan lancar, terdapat kondisi-kondisi

tertentu di mana proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian hambatan intubasi dapat

dinilai dengan kriteria berikut:

a. L (Look externally)

Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal yang

dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma pada wajah,

lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.

b. E (Evaluate 3 – 3 - 2)

Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental Langkah ini

merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.

Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan

intubasi.

Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3

jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung

mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2:

a. Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral

b.Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika

laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.

15
c. Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila

kurang dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin

menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

A. B.

C.

16
c. Mallampati Score.

Gambar 6. Derajat Kesulitan Mallampati

Mallampati Score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi

Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.

Derajat 2: Tampak hanya palatum molle, palatum durum, dan uvula.

Derajat 3: Tampak hanya palatum molle dan palatum durum.

Derajat 4: Tampak hanya palatum durum.

d. O (Obstruction)

Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat

adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice

(hot potato voice), adanya kesulitamenelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan

adanya stridor.

17
e. N (Neck mobility)

Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam

intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu

posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian

mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital.

Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai

normalnya adalah 35 derajat.

Tahun 1984, Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat

visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai pada saat

visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada dalam posisi sniffing yang

optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik laringoskopi yang benar, dan

bergantung pada keterampilan serta kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.

Derajat kesulitan berdasarkan Cormack dan Lehane :

- Derajat I : Semua glotis terlihat, tidak ada kesulitan

- Derajat II : Hanya glotis bagian posterior yang terlihat

- Derajat III : Tidak ada bagian glotis yang terlihat tetapi epiglotis terlihat

- Derajat IV : Epiglotis tidak terlihat

Gambar 7. Derajat Kesulitan Cormack dan Lehane

18
Untuk penilaian jalan napas pada pasien ini pasien ini dari pemeriksaan luar

didapatkan massa pada leher sebelah kanan sebesar bola pingpong dan deviasi trakhea minimal

ke kiri, dari evaluasi 3 -3-2: pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari, jarak di antara ujung

mentum dan persimpangan mandibular leher 3 jari dan jarak di antara persimpangan mandibula-

leher dan tiroid notch2 jari. Dari penilaian Mallampati pasien masuk dalam kategori I. Tidak

ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan mobilitas leher yang baik. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa diperkirakan tidak ditemui kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi. Dari

evaluasi praanestesi pasien berada pada kondisi eutiroid baik secara klinis yang dinilai dari index

wayne dan laboratoris dimana kadar T3, T4 dan TSH pasien berada dalam batas normal.

19
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan jalan napas

sangatlah penting.

Intubasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kepatenan

jalan napas, mencegah aspirasi, dan menjaga agar ventilasi memadai. Intubasi dapat dilakukan

pada keadaan di mana terdapat obstruksi jalan napas, hipoventilasi, hipoksemia berat,

penurunaan kesadaran (GCS ≤ 8), henti jantung, serta syok hemoragik berat. Perlindungan jalan

napas dapat dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ETT) ke dalam

trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke

dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pengelolaan anestesi pada

pasien struma disertai tumor paru membutuhkan beberapa perimbangan khusus yaitu pasien

harus berada dalam kondisi eutiroid secara klinis dan laboratoris, kedalaman anestesi harus

dijaga cukup dalam untuk tindakan intubasi dan selama operasi,

Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian derajat kesulitan jalan napas dan sebelum

melakukan intubasi, termasuk dalam tindakan .

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Semarang: IDSAI: 2010; 185-207

2. Jurnal THT-KL.Vol.2,No.3, September - Desember 2009, hlm 127 - 133

3. Mark P., et al. 2016. Emergency Airway Management. Medscape

4. Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. 2008. Anesthesiology. USA: The

McGraw-Hill Companies

5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Airway Management. USA: McGraw-

Hill Companies

6. Charles, et al. 2002. Guidelines for Emergency Tracheal Intubation Immediately

Following Traumatic Injury. Eastern Association for The Surgery of Trauma

7. Batra, Yandra Kumar. 2005. Airway Management With Endotracheal Intubation

(Including awake intubation and blind intubation). Indian Journal of

Anesthesiologist.

8. American Heart Association. 2016. ACLS Provider Manual Supplementary Material.

9. Horton CL, et al. 2014. Trauma Airway Management. J Emerg Med.

10. Walls R, et al. 2012. Manual of Emergency Airway Management. Philadelphia.

11. Mahadaven SV, et al. 2012. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.

Cambridge University Press.

12. Roberts H, et al. 2003. A Clinical Procedures in Emergency Medicine. Philadelphia.

13. Jurnal Anestesiologi Indonesia.2015.Volume VII, Nomor 1.

21
22

Anda mungkin juga menyukai