Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi
pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi
luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri.
Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak
masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang
terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang,
sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai
sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam
jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada
kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur
dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang
selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada
kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa
berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.”
1. Definisi Jujur
79
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
2. Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran
merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya
kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan
kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama. Sifat jujur merupakan alamat
keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan
bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan
akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-
orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam
hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah.
Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang
diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka.
Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang
harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus
keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita
dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya
lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah
dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian
dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan
akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang
dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya.
Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi
musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan
alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga
rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan,
kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara
pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan
kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan
kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam
berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang
mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan
sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan
dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya
mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’
mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah,
80
baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya
semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya
tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih
kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak
mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang
bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap
hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang
masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai
pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan
kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur
dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar
kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-
sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak
meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan
kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
3. Macam-Macam Kejujuran
a. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu
amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran
niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga
orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’,
dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada
perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
b. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak
berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan
jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam
kejujuran.
c. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang,
“Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan
semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang
benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana
firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
81
yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
d. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
e. “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah,
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami,
pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang
yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari
karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka
memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-
Taubah: 75-76)
f. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga
tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan
oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya,
maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.'”
1) Contoh lain dari bagian dari jujur dalam perbuatan, seperti
2) Kejujuran Melaksanakan Perintah dan Menjauhi Larangan Nya
3) Kejujuran dalam Penggunaan Uang dan Berteman
4) Kejujuran dalam Melaksanakan Tugas dan Mengikuti Ulangan
g. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi,
sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan
tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan
tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi
sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar
dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin
seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara
sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-
sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat,
maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan
(kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di
tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah
menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain
mengetahuinya.
Kesimpulan
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan
keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk
memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran
sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra': 80)
82
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk
dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang)
kemudian.” (QS. asy-Syu’ara': 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung
kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di
dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat
kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan,
sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar.
Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai
kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS.
al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal
lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta
keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi
dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang
membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya.
Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan
kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya)
dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar.” (QS. al-Hasyr: 8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman
Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS.
Ali Imran: 61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta,
apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR.
Bukhari, Kitab-Iman: 32)
83
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan
menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang
diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam
ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa
menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang
yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta
terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di
neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang
yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah
orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada
sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah
akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang
mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)
84
Artinya : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapakmu. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya
berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah
engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik".
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah.'Wahai Tuhanku!'Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil."
b. QS. an-Nisa/4:36
Artinya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun.Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
c. Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud, aku bertanya kepada Nabi
saw. tentang amal-amal yang paling utama dan paling dicintai Allah.
Beliau menjawab, pertama; salat pada awal waktu, kedua; berbakti
kepada kedua orang tua, dan ketiga; jihad di jalan Allah.” (H.R. Bukhari
dan Muslim).
d. Rasulullah saw. bersabda, “Dari Abdullah bin Amr, dikatakan Rasulullah
saw. bersabda, ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan
murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (H.R. Bukhari).
e. Dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah saw. sambil berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang
paling berhak aku berbakti kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu”, Dia
bertanya lagi , “Kemudian siapa?”, Beliau menjawab, “Ibumu.”, Dia
bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?.” Beliau menjawab, “Ibumu.”, DIa
bertanya lagi, “Kemudian siapa?.”, beliau menjawab, “Kemudian
ayahmu.” (H.R. Bukhari)
85
2. Sikap dan perilaku yang menunjukkan birrul walidain
a. Mengikuti segala nasihat yang baik dan berusaha menyenangkan hatinya.
b. Selalu memohonkan ampun kepada Allah Swt.
c. Bergaul dengan kedua orang tua dengan cara yang baik.
d. Merendahkan diri dan tidak bersikap sombong kepada keduanya.
e. Apabila orang tua sudah meninggal, maka seorang anak harus
memohonkan ampun kepada Allah, membayar utang, melaksanakan
wasiat dan menyambung silaturrahim kepada teman dan kerabat kedua
orang tuanya.
f. Membantu orang tua dalam segala hal, baik akal fikiran, tenaga maupun
finansial.
86
f. Mentaatinya dalam hal hal yang tidak bertentangan dengan syariat Allah.
g. Mendengarkan nasihatnya
Secara umum kita diperintahkan taat kepada orang tua. Wajib taat
kepada kedua orang tua baik yang diperintahkan itu sesuatu yang wajib,
sunnah atau mubah. Demikian pula bila orang tua melarang dari peruntukan
yang haram, makruh atau sesuatu yang mubah kita wajib mentaatinya.Lebih
dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada orang tua dari pada
peruntukan wajib kifayah dan sunnah. Mengenai hal diatas para ulama telah
beristimbat dari kisah Juraij yg hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu katanya,
“Seorang yang bernama Juraij sedang mengerjakan ibadah di sebuah sauma
(tempat ibadah). Lalu ibu datang memanggilnya, “Humaid berkata, “Abu
Rafi’ pernah menerangkan kepadaku mengenai bagaimana Abu Hurairah
meniru gaya ibu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau
mendapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan
meletakkan tangan di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat
kepalanya, “Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku’. Ketika itu
perempuan tersebut mendapati anaknya sedang salat. Dengan keraguan Juraij
berkata kepada diri sendiri, ‘Ya Allah, ibuku atau salatku’. Tetapi Juraij telah
memilih untuk meneruskan salatnya. Tidak berapa lama selepas itu,
perempuan itu pergi untuk yang kedua kalinya. Beliau memanggil, ‘Hai Juraij
! Aku ibumu, jawablah panggilanku’. Juraij berkata lagi kepada diri sendiri,
‘Ya Allah, ibuku atau salatku’. Tetapi beliau masih lagi memilih untuk
meneruskan salatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu
berkata, ‘Ya Allah, sesungguh Juraij ialah anakku. Aku sudah memanggil
berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah
Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yg disebabkan oleh
perempuan pelacur. Pada suatu hari seorang pengembala kambing sedang
berteduh di dekat tempat ibadah Juraij yang letak jauh terpencil dari orang
ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga
sedang berteduh di tempat tersebut. Kemudian kedua melakukan peruntukan
zina, sehingga melahirkan seorang anak. Ketika ditanya oleh orang ramai,
‘Anak dari siapakah ini ?’. Perempuan itu menjawab. ‘Anak dari penghuni
tempat ibadah ini’. Lalu orang ramai berduyun-duyun datang kepada Juraij.
Mereka membawa besi perajang. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang
pada waktu itu sedang salat. Maka sudah tentu Juraij tdk melayani panggilan
mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala
melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada
Juraij. ‘Tanyalah anak ini’. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala
anak tersebut dan bertanya. ‘Siapakah bapakmu?’. Anak itu tiba-tiba
menjawab, ‘Bapakku ialah seorang pengembala kambing’. Setelah
mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu
berkata. ‘Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini
dengan emas dan perak’. Juraij berkata, ‘Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu
87
seperti asalnya’. Kemudian Juraij meninggalkannya”. [Hadits Riwayat
Bukhari -Fathul Baari 6/476, dan Muslim 2550 (8)].
Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa taat kepada kedua
orang tua harus didahulukan dari ibadah sunnah. Adapun kisah lainnya yang
dapat kita jadikan contoh pada masa nabi Muhammad saw. Tentang tingginya
kedudukan orang tua dalam syariat agama.
Di dalam kehidupan kaum salaf ada sebuah kisah, Abu Ghassan adl-
Dlabbi keluar di bawah terik matahari yang cukup panas. Sementara itu,
ayahnya berjalan di belakangnya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Abu
Hurairah, lalu ia bertanya, “Siapakah yang berjalan di belakangmu?” Abu
Ghassan menjawab, “Ayahku”. Maka Abu Hurairah berkata, “Kau telah
melakukan kesalahan dan menyalahi sunnah Rasulullah saw. kamu berjalan
di muka ayahmu itu adalah merupakan tindakan kurang ajar. Berjalanlah
seiring dengan ayahmu, atau bahkan di belakang ayahmu. Janganlah kau
menatap wajah ayahmu dengan pandangan yang tajam, tetapi tunduklah di
hadapannya. Jangan kau duduk sebelum dia duduk, dan jangan tidur sebelum
dia berangkat tidur.
Ibnu Hazm berkata, “Tidak boleh jihad kecuali dengan izin kedua
orang tua kecuali kalau musuh itu sudah ada di tengah-tengah kaum muslimin
maka tidak perlu lagi izin” [Al-Muhalla 7/292 No. 922]
Para ulama membawakan beberapa hadits bahwa selama jihad
tersebut fardhu kifayah maka harus didahulukan berbakti kepada kedua orang
tua. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Nasa’i dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash.” Seseorang datang
kepada Rasulullah saw. meminta izin untuk jihad. Kemudian Nabi saw.
bertanya, “Apakah bapak ibumu masih hidup ?” orang itu menjawab, “Ya”
maka kata Nabi saw. “Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya” [Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa’i, Ahmad 2/165,
188, 193, 197 dan 221]
88
6. Kewajiban Berbakti kepada Kedua Orang Tua
89
7. Pahala Berbakti kepada Orang Tua
90
aku masih kecil. Apakah dengan demikian berarti saya telah menunaikan
kewajibanku terhadapnya ?". Khalifah 'Umar ra. menjawab: "Tidak". Lelaki
itu kembali bertanya: "Mengapa demikian". Khalifah 'Umar ra. menjawab:
"Sesungguhnya ibumu mengurusi dirimu dengan harapan agar engkau hidup,
sedangkan engkau mengurusi dia dan engkau mengharapkan kematiannya.
Dari kisah di atas dapat diambil sebuah hikmah bahwa jasa seorang
Ibu tidak dapat dibalas dengan jas anak terhadap dirinya. Walaupun sang
anak sudah berusaha membalasnya dengan cara mengurusinya. Terlebih-lebih
bagi anak yang enggan mengurusi orang tuanya yang sudah beranjak tua.
91
Pelbagai cara yang boleh dilakukan oleh pelajar sebagai tanda kita
menghormati guru-guru kita.
Rasulullah saw. bersabda: “Muliakanlah orang-orang yang telah
memberikan pelajaran kepadamu.” (H.R. Abu Hasan Mawardi).
Imam Al-Ghazali berkata, “Seorang murid hendaklah memberikan
sepenuh perhatian kepada gurunya, mendiamkan diri sewaktu guru sedang
menyampaikan pelajaran dan menunjukkan minat terhadap apa yang
disampaikan guru.”
Di antara adab-adab yang telah disepakati para ulama’ dalam
menuntut ilmu adalah adab murid kepada gurunya. Imam Ibnu Hazm
berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli
Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan khalifah, orang yang
punya keutamaan dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-Syar’iah 1/408)
Berikut ini beberapa adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu
ketika menimba ilmu kepada gurunya, yaitu :
a. Memuliakan guru
Memuliakan orang yang berilmu termasuk perkara yang
dianjurkan.Sebagaimana Rasulullah saw.bersabda:
َ ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَرْ َح ْم
ِ َص ِغي َرنَا َويُ ِج َّل َكبِي َرنَا َوي
«ف لِ َعالِ ِمنَا َ »لَي
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati
orang yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengerti hak ulama
kami.” (HR. Al-Bazzar 2718, Ahmad 5/323, lafadz milik Al-Bazzar.
Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid
memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia
meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan
menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya dan
lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya
tersebut” (Al-Majmu’ 1/84).
b. Mendo’akan kebaikan
Rasulullah saw.bersabda:
َحتَّى يَعلَ َم أن قَد َكافَْئتُ ُموه،َُو َم ْن َأتَى ِإل ْي ُكم َمعْروفا ً فَ َكافُِئوه فَِإ ْن لَ ْم تَ ِجدوا فَا ْدعُوا لَه
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan
balasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka
doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas
dengan balasan yang setimpal.” (HR. Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no.
216, lihat as-Shohihah 254)
92
c. Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid
mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan,
dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkirah Sami’ hal. 88)
Sahabat Ibnu Abbas ra.dengan kemuliaan dan kedudukannya yang
agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit ra.seraya berkata:
“Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (As-Syifa,
2/608)
d. Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penuntut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian
guru, mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadzkirah Sami’ hal. 86)
Guru adalah orang yang harus dihormati, karena guru adalah dokter
rohani untuk kebaikan dunia dan akhirat, karena itu seorang murid dituntut
beradab dan bersikap baik dengan gurunya, meskipun guru itu sendiri tidak
menuntut hal itu dari muridnya. guru tidak berharap dihormati, tapi murid
harus menghormati guru. berikut beberapa adab murid terhadap guru yang
kami nukil dari kitab Taisir al-Khalaq:
1) Meyakini Guru lebih utama dari orang tua
2) Duduk manis dan Memperhatikan dengan baik
3) Meninggalkan canda
4) Jangan memuji Guru lain di hadapannya.
5) Jangan malu bertanya
12. Sikap dan perilaku yang menunjukkan hormat dan patuh/santun pada
guru
a. Memuliakan, tidak menghina atau mencaci guru.
b. Mendatangi tempat belajar dengan ikhlas dan penuh semangat.
c. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka
menuntut ilmu, Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.”
(H.R. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
d. Ketika belajar hendaknya berpakaian rapi dan sopan
e. Tidak mengobrol atau sibuk sendiri saat guru sedang menjelaskan
pelajaran.
f. Beranya kepada guru apabila ada sesuatu yang tidak dimengerti dengan
cara yang baik.
g. Saat bertanya menggunakan cara dan bahasa yang baik.
h. Tidak menyeletuk atau bertanya yang tidak ada faedahnya yang sekedar
mengolok-olok.
93