Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH DM 2 KAMMI PEKANBARU

IQAMATUDDIN PERSPEKTIF SIRAH NABAWIYAH : STUDY ANALISIS


FASE MAKIYYAH DAN MADANIYAH SERTA REALISASI
IQAMATUDDIN DI ZAMAN INI

Disusun oleh :
Mely Oktaviani

PK KAMMI TUANKU TAMBUSAI

PD KAMMI PEKANBARU

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil’alamiin, Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta


alam yang telah memberikan Rahmat dan HidayahNya kepada kita, hingga saat ini
kita masih berada pada jalan kebaikan dan kebenaran di tengah arus pengaruh yang
menarik kita kepada pusara kemunafikan dan kekafiran, akibat terbidik anak-anak
panah Ghazwul Fikri yang melesat pesat di zaman ini. Maka tak ada pegangan yang
kokoh selain daripada Al-qur’an dan As-Sunnah, semoga hati kita teguh dalam Iman
dan Islam, serta tidak termasuk golongan yang menyelisihi Sunnahnya.
Sholawat dan salam tercurah kepada pemilik teladan terbaik sepanjang masa,
yaitu kekasih Allah, baginda Rasulullah Sholallahu’alaihi wasallam dengan selalu
bersholawat padanya. Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad. Kelak, semoga kita
diakui sebagai ummatnya dan mendapatkan syafaatnya diyaumil akhir kelak.
Aamiin. Salam perjuangan kepada seluruh jundi Allah, para da’i/ah yang sampai hari
ini masih diberi kekuatan dan kesehatan untuk memberikan kontribusi terbaiknya,
semoga kita istiqamah.
Jika bukan karena petunjuk dan karunia dari Allah, tentu penulis tidak akan
mampu menyelesaikan tugas makalah DM 2 Pekanbaru ini dengan baik. Syukron
kepada Orang tua, yang doanya tak pernah habis dan henti-hentinya dilangitkan,
semata-mata agar anaknya selamat dalam pengembaraannya. Syukron, kepada
Murobbiah dan akhwat yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Pertolongan Allah,
hadir melalui tangan-tangan baik mereka. Jazakumullah khairan katsir.
Terakhir, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, baik untuk penulis
ataupun para pembaca. Segala kekurangan hadir dari dalam diri penulis yang
memiliki keterbatasan ilmu pengetahuan. Maka Semoga Allah membimbing kita
pada tingkat berilmu pengetahuan yang barokah, tidak hanya untuk mengisi kepala,
pandai berargumen dan membantah narasi lawan, tapi ilmu yang mampu menambah
keimanan pemiliknya serta ilmu yang diamalkan dan mencerahkan orang lain
melalui sikap dan tutur katanya. Amiin Allahumma Aamiin.

Penulis Makalah

[ii]
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1...................................................................................... Latar Belakang


............................................................................................................1
1.2................................................................................. Rumusan Masalah
............................................................................................................2
1.3.................................................................................. Tujuan Penulisan
............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

2.1.......................................................................................... Iqamatuddin
............................................................................................................3
2.2.......................... Upaya Iqamatuddin Fase Makiyyaah dan Madaniyah
............................................................................................................4
2.2.1. Realisasi Iqamatuddin
pada periode Sirriyatu Ad-Dakwah........................................... 4
2.2.2. Realisasi Iqamatuddin
pada periode Jahriyatu Ad-Dakwah.......................................... 5
2.2.3. Realisasi Iqamatuddin pada Fase Madaniyah........................... 10
2.3........................................ Relavansi Nilai-nilai pada Sirah Nabawiyah
dan Realisasi Iqamatuddin di Zaman Ini.............................................. 12

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 15

DAFTAR PUSTKA........................................................................................ 16

BIOGRAFI PENULIS.................................................................................... 17

[iii]
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jika kita refleksikan diawal mengenai penciptaan manusia, maka kita dapati
bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah.
Sebagaimana firmannya dalam Q.S Az-Zariyat ; 56 “Dan tidak aku ciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Maksud ibadah
disini mencakup seluruh ibadah, meliputi juga HablumminAllaah dan
Hablumminnaas. Oleh sebab itu, Allah mengutus manusia ke muka bumi untuk
dijadikan sebagai khalifah yang membawa suatu misi dan tugas besar yaitu
berdakwah mensyiarkan islam, bahwa islam adalah agama yang haq dan
sempurna. Maka kesempurnaan Islam dan ajarannya mampu menjadi Rahmatan
lil’alamiin (rahmat bagi seluruh alam).
Misi yang dibawa manusia kemuka bumi, sebagaimana firman Allah
‘Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. 21:1 07). Misi menjadi Rahmat mencakup pengertian
menebar kasih sayang, kedamaian dan manfaat yang seluas-luasnya bagi alam
dan manusia. Dalam mewujudkan Rahmatan lil ‘alamiin, Allah telah mengutus
nabi dan Rasul-Nya untuk menjalankan misi dan tugas besar tersebut. Dimana
para nabi dan Rasul diutus kepada suatu kaum dan berdakwah selama beberapa
kurun waktu. Hingga sampailah kita pada Nabi terakhir, Nabi Muhammad yang
merupakan penutup para Nabi. Tidak ada nabi setelahnya. Melalui kekasihNya,
telah Allah ridhoi Islam sebagai agama dan telah disempurnakanNya ajaranNya
bagi seluruh alam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, misi besar tersebut tetap dilanjutkan oleh
para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, para ulama hingga sampailah risalah tersebut
kepada para da’i di segala penjuru bumi hingga hari kiamat nanti. Menjalankan
misi ini merupakan ibadah, yang dengannya kita berharap mendapatkan
keridhoan Allah dan masuk kedalam SyurgaNya kelak. Capaian dari dakwah itu
tiada lain adalah Iqamatuddin ‘Iqamatuddin’ / ‘menegakkan agama’. Upaya
menegakkan agama tersebut dapat ditempuh dengan jalan dakwah. Dakwah ini
tidak hanya tugas ustadz/ah dan berlaku di Masjid saja melainkan kewajiban bagi
seluruh ummat muslim.
Berdakwah, tentu bukanlah perkara yang mudah. Perlu sarana yang memadai,
perlu strategi dan teknis yang berlaku sesuai zamannya. Maka akan banyak kita
temukan tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Hanya orang-orang
terpilih saja yang bertahan dan istimaqah hingga akhir. Sebagaimana
sebelumnya, Allah telah menawarkan amanah besar ini kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, namun mereka enggan untuk memikul amanah tersebut karena
khawatir ingkar, maka dipikullah amanah itu oleh manusia (Q.S Al-Ahzab ; 72).
Dalam berdakwah dan menegakkan agama islam dimuka bumi, kita telah
memiliki tauladan ulung yang darinya kita patut belajar dan mengambil contoh
agar dakwah yang kita lakukan tidak sembarangan, memiliki pedoman, arah dan
tujuan yang jelas. Bagaimana cara rasululah berdakwah di fase awal kenabian
hingga terbentuknya Daulah Islamiyyah. Oleh karena itu, wajib bagi kita
mempelajari dan memahami sejarah perjalanan Nabi, dalam Sirah Nabawiyyah.
Melalui pemahaman Sirah Nabawiyyah, maka umat muslim akan
mendapatkan gambaran yang utuh, contoh yang konkrit dan paripurna tentang
islam, sehingga mampu menumbuhkan ghirah/semangat bagi kaum muslimin
untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang dapat dijadikan bekal untuk
merealisasikan iqomatuddin di zaman ini.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Iqamatuddin dalam perspektif sirah Nabawiyyah pada fase
Makiyah dan Madaniyah?
1.2.2. Bagaimana relavansi nilai-nilai dalam kedua fase tersebut dan realisasi
Iqamatuddin di Zaman ini ?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Mempelajari dan memahami Iqamatuddin melalui analisis Sirah
Nabawiyyah fase Makiyyah dan Madaniyah..
1.3.2. Mengambil nilai-nilai Iqamatuddin di fase tersebut, mempelajari dan
merefleksikannya dalam upaya merealisasikannya di zaman ini.

[2]
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Iqamatuddin
Iqomatud Din adalah mempelajari, mengajarkan, dan memperjuangkan
Dienul Islam serta bersabar dalam menghadapi segala tantangan dan hambatan
yang menghadang selama proses mewujudkannya.
Tegaknya Dienul-Islam berarti wujudnya secara nyata ajaran/syariat Islam
dalam kehidupan, baik perorangan, masyarakat, maupun negara dalam konteks
geografis. Secara haraki tegaknya Dienul Islam dapat didefinisikan sebagai
berikut:
1. Wujudnya Qiyadah Rasyidah (Pemimpin dan kepemimpinan yang
bijaksana)
2. Wujudnya Qoidah Sholabah (Pendukung Inti)
3. Wujudnya Ardzun Mustaqillah (Wilayah geografi yang merdeka dari
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer non-islam)
4. Wujudnya pelaksanaan undang-undang Islami.

Untuk merealisasikannya, maka dakwah merupakan jalan yang tepat demi


tegaknya Dienul-Islam. Dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang cakupannya
terhadap seluruh aspek amal, seluruh perbaikan yang dicitakan, tidak terbatas
pada satu sisi lalu mengabaikan sisi yang lain atau mengambil satu sifat tanpa
sifat yang lain, bersungguh – sungguh untuk kembali kepada islam yang murni
yang dibawa oleh Rasulullah SAW., mengikuti manhaj para sahabat dan
salafusaleh.
Untuk mewujudkan Iqamatuddin tersebut tentu memerlukan langkah-langkah
yang sistematis dan terprogram dengan baik dan matang. Sejak awal kenabian
hingga berpulang kepangkuan sang Rabbi, Nabi Muhammad telah menempuh
langkah-langkah terprogram dalam gerakan dakwahnya. Maka sudah seyogyanya,
kita sebagai ummatnya mengikuti langkah-langkah dan tahapan-tahapan tersebut
dalam sirah nabawiyah atau buku-buku sejarah atau manhaj lainnya. Agar dapat

[3]
menerapkan Iqamatuddin dengan benar dan agar dapat mewujudkan ‘Dienul
Islam’/Daulah Islamiyah di muka bumi.
2.2. Upaya Iqamatuddin di Fase Makiyyah dan Madaniyah
Dalam menegakkan agama maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan
cara berdakwah. Pada fase Makiyah dan Madaniyah, sebagaimana mengacu pada
sirah Nabawiyah terjadi sejak permulaan wahyu/kenabian hingga Kaum muslimin
hijrah ke Madinah dan terbentuknya daulah islamiyah yang pertama. Metode
dakwah yang digunakan adalah Sirriyatud Dakwah, Sirriyatu At-Tanzhim serta
Jahriyatud Dakwah hingga Jihad Qital. Untuk menjelaskan upaya Iqamatuddin
difase ini, akan kita bagi kedalam tiga periode yaitu : pertama, periode Sirriyatu
Ad-dakwah/Sirriyatu At-Tanzim, kedua Jahriyatu Ad-dakwah/Sirriyau At-Tanzim
dan ketiga Iqamatu ad-daulah.
2.2.1. Realisasi Iqamatuddin pada periode Sirriyatu Ad-Dakwah
Pertama, dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
merahasiakan struktur organisasi selama tiga tahun. Hal ini karena pada saat
itu, situasi dan kondisi belum memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah
secara jahriyah (terang-terangan). Rasulullah memulai dakwah dengan
menyampaikan kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Dimulai
dari menyeru kepada sahabat dan orang-orang terdekat. Maka didapatilah
sejumlah orang yang masuk islam, atau yang dikenal dengan as-Saabiqunal
Awwaluun. Pada tahapan ini kebanyakan yang masuk islam terdiri atas orang-
orang fakir, lemah dan kaum budak karena pada masa itu terdapat perbedaan
dan perendahan terhadap orang-orang lemah, dan kesukuan yang sangat
kental.

Pada periode ini, dakwah tidak dilakukan secara terbuka seperti dalam
kajian dan majelis-majelis umum. Tetapi dilakukan berdasarkan pilihan
pribadi da’i itu sendiri terhadap targetan dakwah/mad’unya (orang yang
didakwahi), sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar. Dakwah ini
dilakukan dengan mengandalkan kepercayaan. Dari upaya-upaya tersebut
berhasil merekrut seluruh lapisan masyarakat, yaitu orang-orang merdeka,

[4]
kaum budak, lelaki, perempuan, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan
hampir segenap bangsa Quraisy dan lainnya telah bergabung, sehingga
hampir tidak ada keluarga di Mekah kecuali satu atau dua orang anggotanya
yang masuk islam dan turut membangun masyrakat ini.
Kedua, Rasulullah melakukan pembinaan dan perbaikan aqidah. Sebab,
ideologi kaum kafir dan thagut saat itu telah mendominasi. Hanya aqidah
yang benar yang mampu memancarkan ibadah dan perilaku yang benar. Pada
saat yang sama aqidahlah yang akan memberikan keteguhan jiwa di atas
pengorbanan di jalanNya. Dimasa-mas inilah Rasulullah berhasil membentuk
karakter dan pribadi setiap orang yang siap dalam memikul beban dakwah
ini.
Ketiga, menghindari konfrontasi dengan lawan dan menghindari
benturan di medan peperangan karena pondasi dakwah yang belum terbentuk
dan kokoh. Sehingga kaum quraisy tidak terlalu terusik dengan kehadirannya
karena keberadaannya dipandang tidak jauh berbeda dengan golongan hanif.
Bahkan, dijelaskan dalam buku Manhaj Haroki bahwa kaum Quraisy lebih
banyak memperhatikan golongan hanif. Hal ini kerena golongan hanif pernah
mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum Quraisy dan
sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum Muslimin belum pernah
menyatakan sikap seperti itu.
Demikianlah, periode sirriyatu ad-da'wah telah berakhir untuk
selamanya, setelah pondasi awal dakwah ini terbentuk. Karena agama ini
telah sempurna dan diumumkan, maka berakhirlah masalah kerahasiaannya.
2.2.2. Realisasi Iqamatuddin pada periode Jahriyatu Ad-Dakwah/Sirriyatu At-
Tanzim
Setelah berdakwah secara sirriyah selama tiga tahun, Allah
memerintahkan Nabi untuk berdakwah secara terang-terangan (Jahriyah),
dengan diturunkanNya firman :
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik"
(Q.S Al-Hijr : 94).

[5]
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang
terdekat.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 214)

Pertama, Setelah turunnya perintah tersebut, mulailah


Rasulullah berdakwah secara terang-terangan. Hal pertama yang dilakukan
Rasulullah adalah menyampaikan dakwah kepada kaum kerabatnya yang
terdekat. Maka Rasulullah mengumpulkan Bani Hasyim, diantaranya terdapat
Bani Muthallib bin Abdi Manaf. Dengan keseluruhan berjumlah 45 pria.
Dalam pertemuan ini Abu Lahab menentang seruan Nabi. Namun, Rasulullah
diam saja, tidak menjawab sepatah katapun. Selanjutnya, rasul mengundang
mereka untuk kedua kalinya, dan menyampaikan bahwa ia adalah utusan
Allah serta memberikan kabar tentang surga dan neraka. Dalam hal ini, Abu
Lahab menentang keras, sementara Abu Thalib menyambut dan mendukung
Nabi, namun tetap tidak bersedia meninggalkan agama Abdul Muthallib.
Kedua, setelah yakin akan mendapat pembelaan dan perlindungan dari
Abu Thalib Rasulullah kemudian mulai melancarkan dakwah kepada
khalayak yang lebih luas. Rasulullah mengumumkan tentang universalitas
da'wah, "Sesungguhnya aku adalah Rasulullah kepada kalian secara khusus
dan kepada umat manusia secara umum.". yang menandakan bahwa ini
bukanlah risalah lokal yang terikat oleh tempat atau waktu tertentu,
melainkan risalah umat manusia secara umum. Tldak ada perbedaan sedikit
pun antara seorang kulit putih dengan kulit hitam dan lainnya kecuali dalam
taqwa atau amal shalih. Tentu saja hal ini menyulut amarah, ancaman besar
dan peperangan dengan masyarakat jahiliyah sebab,
1. Masalah Wahdaniyah-Laa Ilaaha Illallah yang berarti pertentangan
dengan ideologi masyarakat jahiliah secara total (yang menyembah
berhala).
2. Masalah persamaan mengenai asal manusia, yang bertentangan
diametral dengan nilai-nilai masyarakat jahiliah.
Ketiga, meskipun dawakh telah dilakukan secara terang-terangan namun
Rasulullah tetap merahasiakan ‘organisasi’ dakwahnya/sirriyatu at-tanzhim.

[6]
Dalam upaya tersebut dipilihlah Darul Arqom sebagai markas rahasia yang
jauh dari pandangan mata. Bahkan persembunyian ini telah mampu
mengelabui kaum musyrikin selama dua tahun penuh. Upaya pengelabuan
sirriyah ini berhasil karena tiga sebab, yaitu :
1. Karena al-Arqam tidak diketahui keislamannya, sehingga tidak pernah
terpikir oleh mereka bahwa pertemuan Muhammad dan para
sahabatnya berlangsung di rumahnya.
2. Karena al-Arqam bin Abil Arqam berasal dari Bani Makhzum.
Sedangkan, kabilah Bani Makhzum adalah musuh bebuyutan Bani
Hasyim.
3. Karena al-Arqam pada waktu masuk Islam masih muda, sekitar usia
16 tahun. Maka, tatkala Quraisy mencari markas pengkaderan
tersebut, tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk mencarinya di
rumah "anak-anak kecil" dari sahabat Muhammad saw. Pendeteksian
dan pencarian mereka tertuju ke rumah-rumah para ahabat yang sudah
cukup usia atau ke rumah Nabi sendiri.
Keempat, terjadi proses pembinaan/halaqah di Darul Arqam yang
dilakukan secara rutin setiap harinya, dimana Nabi senantiasa berusaha
menjaga, kesatuan dan keunikan sumber penerimaan Al-Qur’an dengan
metode talaqqi. Pertemuan rutin tersebut mengikat para jundi dengan qiyadah
mereka, menumbuhkan rasa percaya (tsiqah) yang kuat, serta memperkuat
tekad mereka untuk me!anjutkan perjalanan da'wah. Pada tahapan pembinaan
ini, tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya dalam jiwa, selain
daripada menekankan ibadah, ketaatan, dan amalan·amalan sunnah.
Kelima, mengiringi proses perkembangan dakwah, penolakan dan
pertentangan semakin membesar. Bahkan hingga dilancarkannya penyiksaan
terhadap putra-putra dan budak-budak mereka untuk memalingkan dan
menghalangi mereka dari jalan Allah. Orang-orang musyrik tidak akan
berhenti menyiksa kaum muslimin sampai mereka mencela muhammad,
meninggalkan agama dan keimanannya, serta memuji lata dan uzza. Bahkan

[7]
dalam peristiwa penyiksaan ini kaum yang lemah boleh menampakkan
kemurtadannya.
Keenam, pada periode ini, boleh membela diri dalam keadaan darurat.
Namun tidak ditujukan untuk seluruhnya, melainkan hanya bagi kaum
muslimin yang memiliki kekuatan dan pembelaan dari kaumnya. Sehingga ia
mampu menolak permusuhan itu dari dirinya. Tindakan membela diri ini
justru mempunyai pengaruh positif di masyarakat, terutama bagi mereka yang
menghargai dan mengagumi kekesatriaan. Bahkan hal ini bisa menjadi daya
tarik bagi mereka untuk bergabung kedalam barisan dakwah. Yang perlu
diingat pembelaan diri ini tidak boleh bergeser menjadi balas dendam,
permusuhan dan agitasi.
Ketujuh, upaya menyelamatkan orang-orang lemah dengan segala
sarana yang memungkinkan. Salah satunya caranya adalah melakukan
pembebasan para budak. Adapun orang yang bertanggung jawab terhadap
usaha ini adalah Abu Bakar karena ia adalah satu-satunya orang kaya dalam
barisan kaum muslimin.
Kedelapan, dalam mengahadapi cobaan dan siksaan tersebut kaum
muslimin diperintahkan untuk bersabar, mereka sama sekali tidak melalukan
perlawanan terhadap hantaman penyiksaan tersebut, melainkan
menghadapinya dengan keimanan yang kuat. Inilah salah satu bentuk
keberhasilan pembinaan yang dilakukan nabi kepada para sahabat di fase atau
tahapan sebelumnya. Jika bukan karena iman yang kuat, tentu telah banyak
dari kaum muslimin yang menyerah dan berpaling.
Kesembilan, penyiksaan yang dilakukan kaum musyrikin itu, pada
akhirnya membawa umat muslim pada jalan keluar yang kedua yaitu Hijrah.
Memang seorang prajurit harus bersabar dalam menghadapi ujian dan
musibah dengan lapang dada dan teguh di atas agamanya. Tetapi tugas
seorang qiyadah adalah menjamin perlindungan dari ancaman musuh, selagi
perindungan tersebut tidak mengorbankan aqidah dan syariat. Diantara tempat
yang dituju yaitu Habasyah—sekarang Ethiophia.

[8]
Keberangkatan hijrah ini merupakan suatu kesulitan dan memerlukan
pengorbanan besar sebab dari segi kehidupan, budaya dan lain-lain berbeda
dengan negeri asal mereka. Harus meninggalkan keluarga, harta benda. Maka
hal ini tidak mungkin dilakukan bagi pemuda kecuali bagi mereka yang telah
memiliki kecintaan aqidah yang lebih besar daripada kecintaannya terhadap
keluarga, negara dan kerabatnya. Tujuan hijrah: selain perlindungan bagi
dakwah dan jundinya. Rasulullah hendak mencari basis lain selain Mekkah
yang dapat melindungi aqidah dan adanya kebebasan dalam berdakwah serta
perlindungan bagi para pemeluknya dari penindasan dan fitnah. Sebab lain
hijrah ialah untuk menimbulkan guncangan ditengah keluarga besar quraisy.
Kesepuluh, memanfaatkan perlindungan masyarakat jahiliyah (UU
perlindungan dan jaminan kesehatan). Masyarakat jahiliyah sangat
menghormati undang-undang perlindungan, yaitu perlindungan pihak yang
kuat terhadap pihak yang lemah. Apabila ada seorang yang lemah
mendapatkan perlindungan ini, maka tidak ada seorangpun yang berani
mengganggunya. Perlindungan pertama masyarakat mekkah kala itu, ialah
perlindungan Abu Thalib kepada Nabi. Namun pada saat itu, kebanyakan
mereka yang kuat hanya mampu memberikan perlindungan ibadah, dan hanya
sedikit sekali yang mampu memberikan jaminan dan perlindungan untuk
berdakwah.
Kesebelas, islamnya Umar dan Hamzah memberikan kekuatan baru bagi
dakwah islam. Keduanya memiliki peranan besar dalam mengakhiri periode
dakwah menuju periode dakwah yang baru. Islamnya Umar dan Hamzah
sama dengan munculnya dukungan militer dimasa sekarang.
Keduabelas, pada saat musim haji Nabi mendatangi kabilah-kabilah,
membacakan kitab kepada mereka dan mengajak mereka untuk mentauhidkan
Allah, namun tidak seorangpun yang menyambut ajakannya. Pada tahun
kesebelas dari kenabian, Nabi menemui kabilah-kabilah. Ketika berada di
Aqabah Nabi bertemu dengan kabilah Khazraj—orang-orang yang bersahabat
dengan orang Yahudi. Akhirnya mereka bersedia menganut islam.

[9]
Ketigabelas, adanya perundingan langsung antara Rasulullah dan
Quraisy sebagai alternatif perdamaian. Dimana kaum musyrikin mengajak
Rasulullah berunding dengan tujuan dapat membantahkan hujjahnya dan
menghentikan tugas dakwahnya dengan menawarkan harta, mereka juga
meminta Nabi untuk memohonkan kepada Allah kebun, tambang emas dan
perak untuk mereka, meminta agar diturunkannya malaikat yang
mendampingi Nabi agar nyata bukti kenabiannya. Bahkan mereka mengolok
dan menyampaikan bahwa Nabi di Challenges untuk memohonkan kebun,
tambang emas dan juga perak untuk dirinya. Akhirnya Rasulullah
meninggalkan mereka.
Keempatbelas, ketika dakwah di Makkah benar-benar menemui jalan
buntu, Rasulullah kemudian mengarahkan para sahabat untuk hijrah dan
berdakwah ditempat lain, yaitu Thaif. kedatangan beliau untuk mencari
pembelaan dan menyebarkan Islam ditolak dan bahkan dianiaya.
Adapun realisasi Iqamatuddin berikutnya, pada fase ini adalah :
memanfaatkan unsur-unsur persamaan islam dengan ideologi lain. Tidak
melepaskan satu bagian ajaran sekalipun demi perlindungan. Perlindungan
yang dimaksud disini adalah, ketika Abu Thalib wafat, muncullah fanatisme
Abu Lahab terhadap Nabi dengan memberikan penawaran, perlindungan
dapat berjalan terus dengan syarat mau ‘berdamai’ dan ‘menawar’ satu
kalimat dari ajaran islam atau semua perlindungan dibatalkan jika Nabi
menyebut hukum Allah.
2.2.3. Realisasi Iqamatuddin pada Fase Madaniyah
Pertama, adanya pembaiatan kepada Rasulullah oleh kaum Anshor di
Aqabah (Baiat Aqabah pertama dan kedua). Pada tahun sebelas kenabian,
islam tersebar di Madinah. Pada tahun berikutnya datanglah 12 lelaki dari
Anshor menemui Rasulullah dan berbaiat kepadanya sebagaimana baiat kaum
wanita—tidak terdapat butir tentang jihad dan qital karena belum
disyariatkan. Pada musim haji berikutnya, Mushab membawa sejumlah besar
kaum muslimin Madinah, dan dilanjutkan adanya Baiat Aqabah kedua
dengan jumlah lebih dari 70 orang, dua diantaranya adalah perempuan.

[10]
Perbedaan baiat pertama dan kedua, yaitu pada baiat yang kedua disebutkan
secara jelas masalah jihad dengan kekuatan dan membela Rasulullah dan
dakwahnya dengan segala sarana. Sementara hukum Qital (peperangan) baru
disyariatkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Allah tidak mewajibkan
Qital kecuali setelah ada Darul Islam yang dapat dijadikan sebagai tempat
berlindung dan mempertahankan diri dan Madinah adalah Darul Islam yang
pertama. Jihad Qital diwajibkan bagi kaum muslimin pada setiap masa
manakala telah memiliki kekuatan dan persiapan yang memadai.
Kedua, bersama para utusan dari Anshor, Rasulullah mengikutsertakan
Mushab bin Umair untuk megajarkan Al-Quran dan hukum-hukum agama
kepada mereka. Disinilah sejarah awal mula adanya duta yang membawa misi
‘diplomasi’.
Ketiga, Nabi mengizikan para sahabat hijrah ke Madinah secara
sembunyi-sembunyi kecuali Umar bin Khaththab. Hijrah ini merupakan ujian
yang berat karena harus meningglkan tanah air, keluarga dan harta benda.
Maka tidak akan bisa dilakukan selain oleh mereka yang teguh dalam
keimanannya kepada Allah dan Rasul. Malam harinya Rasul hijrah ke
Madinah bersama Abu Bakar, setelah ada berita bahwa nabi hendak dibunuh.
Keempat, setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka langkah awal yang
beliau lakukan adalah membangun masjid, mempersaudarakan kaum
muslimin secara umum dan kaum Anshor secara khusus, membuat perjanjian
yang mengatur kaum muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan
orang diluar islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.
Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat
Islam yang kokoh dengan terciptanya ikatan ukhuwah dan mahabbah sesama
kaum muslimin yang terjadi di dalam masjid.
Salah satu yang menjadi kekuatan dalam penerapan Iqamatuddin adalah
adanya ukhuwah islamiyah atau prinsip persatuan. Rasulullah
mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Kaum Anshor.
Kelima, Dibuatlah naskah perjanjian antara kaum muslimin dan orang-
orang diluar islam. Perjanjian tersebut dalam istilah modern disebut sebagai

[11]
Dustur (Undang-Undang Dasar). Undang-undang yang disepakati ini menjadi
bukti bahwa masyarakat islam tegak berdasarkan asas perundang-undangan
yang sempurna.
Keenam, Rasulullah juga mendirikan pasar di Madinah sebagai
pembangunan basis perekonomian.Selain itu, guna menjaga keamanan daulah
Islamiyah, Rasulullah mengirim sariyyah (satuan militer) yang bertugas
patroli mengawasi lalu lintas kafilah yang bergerak dari Makkah ke Syam dan
sebaliknya
Terakhir, pada periode ini upaya iqamatuddin dilakukan dengan perang
membela diri dengan berbagai strategi perang, ekspansi militer hingga
terbentuklah Daulah Islamiyah

2.3. Relavansi nilai-nilai dalam kedua fase tersebut; Makiyyah dan


Madaniyah serta Realisasi Iqamatuddin di Zaman ini.

Runtuhnya Turki Utsmaniyah menjadi akhir bagi esksistensi Daulah


Islamiyah. Negara-negara islam terpecah belah dan kaum muslimin tercerai
berai. Salah satu sebab runtuhnya Turki Utsmaniyah, jika ditinjau dari faktor
internal dan eksternal secara ringkas adalah adanya pengrusakan kaum
muslimin dari ‘sistem’, kaum muslimin mulai jauh dari Al-Quran, dan lebih
mencintai dunia dari pada akhirat. Hembusan Al-wahn yang dihujamkan oleh
Barat berhasil mengoyak-ngoyak keimanan kaum muslimin dengan harta,
jabatan, perempuan dan kesenangan duniawi lainnya.
Setelah kekalahan kaum kafir dalam sejarah peperangan yang
dilakukannya melawan kaum muslimin. Nyatalah kekalahan mereka. Mereka
merasa tidak percaya diri jika harus berhadapan dengan kaum muslimin dalam
jihad qital, yang memiliki prinsip kalau tidak pulang membawa kemenangan
maka gugur sebagai para syuhada yang mendapatkan jaminan syurga dengan
segala kenikmatannya. Satu-satunya cara untuk melumpuhkan kaum muslimin
adalah merusak mereka dari dalam/sistem yakni menjauhkan mereka dari
Alquran, menanamkan Al-wahn dan melancarkan Ghawzul Fikr (perang
pemikiran) yang hingga detik ini begitu melesat jauh menumbangkan

[12]
targetannya hingga perselisihan dan permusuhan diantara kaum muslimin
perihal toleransi dan pluralisme yang semakin kentara.
Berdasarkan analisis Iqamatuddin pada Fase Makiyah dan Madaniyah, lalu
nilai-nilai apa yang dapat diterapkan dalam upaya merealisasikan Iqamatuddin
dan berdirinya Dienul Islam di zaman ini?
2.3.1. Permasalahan Ummat Zaman ini
a. Penyakit Al-wahn, Ummat dengan kuantitas banyak namun kualitasnya
rendah.
Rasulullah pernah mengabarkan, bahwa kelak suatu massa umat
islam akan berada pada keadaan yang sedemikian buruknya sehingga
diumpamakan laksana makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan para
pemangsanya. Ketika itu, jumlah umat besar namun tak berdaya, karena
semua sudah dihinggapi penyakit Al-Wahn—cinta dunia dan takut mati.
Ciri penyakit Al-Wahn yang diidap kaum muslimin yaitu
1. Mudah Takjub, kepada harta dan benda serta kepada orang-
orang kafir karena dipandang memiliki peradaban yang maju serta
takjub pada hal-hal lain yang bersifat materi dan duniawi
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-
orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan
sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam; dan
jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya’ (Q.S Ali
Imran:196-197)
2. Silau melihat dunia dan isinya: menumpuk harta dan enggan
bersedekah
‘Dijadikan terasa indah pada (pandangan) manusia cinta kepada
apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Syurga)’ (Ali
Imran : 14)

[13]
3. Hilangnya rasa gentar terhadap musuh
Rasulullah bersabda “hampir tiba masanya kalian
diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang
memperebutkan makanannya. Maka seseorang bertanya
“Apakah karena sedikit jumlah kita ?, ‘bahkan kalian banyak,
namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah
mencabut rasa gentar dari musuh kalian terhadap kalian.
Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-
Wahn’. Seseorang bertanya ‘Ya Rasulullah, apakah Al-Wahn
itu?’. Nabi bersabda “cinta dunia dan takut akan mati’. (H.R
Abu Dawud.
Oleh sebab itu, hari ini kita dapati jumlah kita yang
banyak akan tetapi menjadi begitu takut dan pengecut dalam
menghadapi musuh-musuh islam, atau bahkan hanya sekedar
membela diri atas keislamannya juga bungkam. Maka, kita
perlu mengobati sakit menahun yang diderita ummat ini.
4. Mudahnya ‘menjual agama’
‘Bersegeralah beramal shalih, sebelum datang fitnah-fitnah
yang banyak. Seseorang diwaktu pagi masih beriman, namun
disore hari ia kafir. Atau seseorang disore hari ia beriman,
dan dipagi hari ia kafir. Dia menjual agamanya dengan secuil
kesenangan dunia’ (H.R Muslim)
5. Pengecut, dan tidak mau beramar ma’ruf nahi munkar
‘Tidaklah seseorang melakukan perbuatan-perbuatan maksiat
dan ia berada dalam suatu kaum, namun kaum itu tidak
mencegahnya walaupun ia mampu, melainkan Allah akan
menimpakan bencana yang pedih ke atas kaum itu sebelum
mereka mati” (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hari ini kita dapai bahwa semakin merajalelanya
kemaksiatan dan kemungkaran adalah karena diamnya orang-

[14]
orang baik, mereka enggan untuk terlibat dalam upaya
mencegah kemungkaran terlalu jauh. Sebab timbullah
pandangan, bahwa itu urusan mereka atau jangan turut
mencampuri urusan pribadi.
6. Hilangnya pemimpin yang kuat dan berani dalam ummat
‘Hendaklah kamu mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Jika tidak, maka Allah akan menguasakan
atasmu orang-orang paling jahat diantara kamu, kemudian
orang-orang yang baik diantara kamu berdoa dan tidak
dikabulkan (doa mereka)’ (H.R Abu-Dzar).
Ketidakpedulian ummat terhadap kondisi negaranya
sehingga membiarkan para orang jahat itu menjadi pemimpin
dan memiliki kuasa atas kita, maka bersiaplah kita dipimpin
oleh mereka yang tidak paham, jangankan paham tentang
islam, paham akan hak asasi manusia saja belum tentu. Maka
berlaku dzolimlah mereka.
7. Meninggalkan Jihad
‘Apabila kamu melakukan jual-beli dengan sistem ‘inah,
kalian berada dibelakang ekor sapi, ridha dengan cocok
tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan
menjadikan kalian dalam kondisi kehinaan, Allah tidak akan
mencabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama
kalian.” (H.R Abu Dawud)
Tentu saja, kesenangan dunia telah memperdayakan
kita untuk enggan dan meningglkan jihad karena khawatir
meninggalkan kesenangan duniawi, meninggalkan harta
benda dan orang-orang yang dicintai.
8. Asyik dalam bekerja dan lalai dalam beribadah
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.

[15]
Barangsiapa yang melakukannya maka mereka itulah orang-
orang yang merugi” (Al-Munafiqun ; 9)
b. Perpecahan antar sesama muslim karena perbedaan pandangan (furu’iyah)
Perbedaan pendapat merupakan rahmat dari Allah, sebagai perwujudan
penciptaan manusia yang beragam dan perkembangan intelektualisme itu
sendiri. Hal ini merupakan Sunnatullah yang ketetapannya telah berlaku.
Perpecahan antar ummat terjadi bukan sebab perbedaan pendapatnya
melainkan tanggapan kita dalam menyikapi perbedaan tersebut yang belum
dewasa dan bijak. Terutama perbedaan pendapat mengenai furu’iyah yang
justru membuat ummat terpecah belah.
Ketika Rasulullah hidup, perbedaan pendapat jarang terjadi sebab
Rasulullah merupakan rujukan segala permasalahan para sahabat. Maka
ketika para sahabat berselisih pendapat, mereka segera berkonsultasi dengan
Rasulullah. Kemudian, Rasulullah menjelaskan pendapat yang benar.
Perbedaan pendapat setelah Rasul wafat, dimulai dari kebenaran berita
Rasulullah meninggal dan zaman ini telah semakin jauh dari masa Nabi.
Maka berpegang teguhlah pada sunnahnya, mengikuti ijma’ ulama (jumhur
ulama) karena mereka adalah pewaris para nabi.
c. Islamophobia
Islamophobia merupakan bentuk ketakutan berupa kecemasan yang
dialami seseorang maupun kelompok sosial terhadap Islam dan orang-orang
Muslim yang bersumber dari prasangka dan pandangan yang tertutup dan
keliru tentang Islam. Islamophobia juga dapat berupa segala sikap dan
tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan yang berlebihan terhadap Islam,
disertai sentimen anti-Islam dan anti-Muslim sehingga terjadi. penolakan
sosial terhadap individu dengan acuan agama sebagai identitasnya.
Islamophobia menyebar dan diterima dengan cepat sebagai ancaman baru
bagi dunia pasca terjadinya peristiwa WTC 11 September 2001 di New
York
Islamophobia sebagai ketakutan dayang diciptakan dan keraguan yang
dihasilkan merupakan salah satu alat propaganda Ghawzul Fikri yang

[16]
dilakukan secara massif, teratur, dan sistematis melalui sarana-sarana yang
tersedia dan bentuk-bentuk yang beragam. Tidak hanya isu radikalisme,
ekstrimisme dan terorisme yang mampu mengubah citra dan persepsi
masyarakat terhadap islam saja melainkan juga masuk melalui perubahan
cara berpikir yang merasuk melalui pemikiran-pemikiran seperti
Feminisme, Liberalisme, Sekularisme, relativisme dan Pluralisme yang
akhirnya menciptkan keraguan umat muslim terhadap agama dan ajaran
agama yang dianutnya, sehingga akhirnya banyak yang memilih menjadi
agnostik, atheis atau bahkan keluar dari islam/murtad.
d. Periodesasi perjalanan sejarah ummat keempat : dipimpin oleh ‘Pemimpin
yang dzolim’
Kita memasuki fase dipimpin oleh orang-orang dzolim yang ditangannya
banyak pertumpahan darah dan merajalelanya perbuatan-perbuatan mungkar
dan maksiat lainnya. Hal ini karena masa kekhalifahan telah berakhir setelah
runtuhnya Turki Utsmani dan akan menemui fase terakhir yakni fase
kekhalifahan Al-Minhaj An-Nubuwwah. Menjadi tugas kita untuk
mempersiapkan diri menuju fase tersebut, yakni tegaknya Jama’atul
Muslimin.
2.3.2. Nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam upaya merealisasikan Iqamatuddin
di zaman ini.
1. Metode dakwah sirriyaut ad-dakwah atau dakwah secara sembunyi-
sembunyi di zaman ini sudah tidak relavan lagi. Sebab sirriyaut ad-
dakwah telah berakhir untuk selamanya, setelah pondasi awal dakwah
ini terbentuk dan karena agama ini telah disempurnakan dan
diumumkan. Akan tetapi Sirryiyah at Tanzim dapat diterapkan dalam
kerja membangun Jama’ah, dengan ketentuan:
a. Membatasi program kerja pada lingkungan pimpinan
(qiyadah). Setiap individu tidak boleh mengetahui tugas anggota
yang lain tetapi harus mengetahui tugas pribadinya
b. Menyembunyikan dakwah islamiyah secara fikrah dan
ajaran, bukanlah termasuk prinsip Sirriyah

[17]
c. Bagian yang bersifat struktural, yang wajib dirahasiakan. Bagian
yang bersifat pemikiran (fikri) dan nilai (ruh) yang harus
dijelaskan sesuai dengan program.
2. Untuk menghadapi permasalahan ghazwul fikri dan Al-wahn maka
harus dilakukan pembersihan fiqrah ummat, baik dengan kegiatan-
kegiatan ceramah yang masif dilakukan, pembinaan pribadi muslim
yang berkelanjutan melalui halaqah, serta forum-forum diskusi yang
mengkaji dan membedah pemikiran-pemikiran tersebut berdasarkan
Islamic Worldview. Sebagaimana Rasulullah yang melakukan
pembinaan terhadap para sahabatnya dengan menanamkan nilai-nilai
aqidah yang lurus, ibadah yang benar, akhlak yang baik dan lainnya.
3. Memanfaatkan digitalisasi sebagai kekuatan utama dakwah. Teknologi
dan Informasi dapat kita jadikan sebagai pedangnya. Misalnya:
kesalahan-kesalahan pemikiran barat seperti Liberalisme, Feminisme,
dan Sekularisme dapat diangkat, dibagikan untuk mencounter narasi-
narasi mereka yang sangat gencar tersebar melalui teknologi: aplikasi
atau platform lainnya. Dalam poin ini, kita juga dapat memanfaatkan
kelebihan seorang dai/iah, yang memiliki pengikut, peminat yang
banyak sehingga dapat memberikan pengaruhnya (influencer/youtuber)
4. Menggalang persatuan kembali, sesama kaum muslimin. Hal ini dapat
dilakukan jika adanya pembinaan mengenai aqidah, ibadah, dan akhlak
yang sudah baik. Sehingga konsep ukhuwah islamiyah bukan menjadi
pembicaraan kering tanpa makna dan ummat dapat dengan bijak
menyikapi perbedaan yang terjadi.
5. Membentuk gerakan dakwah islam yang kokoh. Saat ini telah banyak
gerakan dakwah islam. Namun sayangnya gerakan-gerakan tersebut
telah banyak diintervensi, disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang
sifatnya duniawi. Sehingga perlu adanya gerakan islam yang masih
teguh dan kokoh memegang Al-quran dan As-Sunnah dalam basis
gerakannya.

[18]
Jika kita menemukan adanya jama’ah islam, maka kita wajib
bergabung di dalamnya, dan tidak boleh mendirikan jama’ah yang
baru. Jika terdapat beberapa jama’ah maka hal yang dilakukan adalah
a. Menimbang prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran semua
jama’ah yang ada dengan neraca islam yg hanif. Sehingga dapat
diketahui manakah jama’ah yang prinsip dan pemikirannya lebih
dekat kepada islam. Maka kepada jamaah inilah para dai wajib
bergabung.
b. Memperhatikan hakikat persoalan yg mencerminkan kekurangan di
dalam jama’ah-jama’ah tersebut. Apakah ia menyangkut prinsip
agama (ushuluddin) atau cabangnya.
 jika menyangkut prinsip agama, maka umat islam tidak boleh
bergabung kedalam jama’ah tersebut, tetapi mereka wajib
menunjukkan kekurangan tersebut dan meluruskannya
 jika berkaitan dengan masalah cabang, maka hal ini tidak boleh
menghalangi para dai untuk bergabung ke dalamnya dan
berusaha memperbaiki kekurangan yang bersifat cabang
tersebut dari dalam jama’ah. Kerena jama’ah ini adalah
jama’ah manusia.
 Jika kedua sama-sama memiliki kekurangan menyangkut
masalah cabang maka diutamakan jama’ah yg lebih sedikit
kekurangannya.
6. Perlu strategi yang sistematis, terstruktur dan terprogram. Karena
kejahatan yang terorganisir akan mampu mengalahkan kebaikan yang
tidak terorganisir. Oleh sebab itu, perlu adanya kerja-kerja struktural.
Dalam implementasinya sudah tentu memerlukan pemimpin dan
orang-orang yang akan mengisi pos-pos tersebut. sebagaimana yang
telah disampaikan sebelumnya bahwa dalam strategi dakwah akan ada
orang-orang yang akan memerankan rahasia di dalam struktur lawan
disemua periode. Peran tersebut bukan mereka sendiri yang

[19]
menentukan melainkan qiyadah yang dipilih oleh jamaah (yang
memimpin gerakan islam)
7. Peka terhadap isu sosial dan politik. Jika ummat islam tidak peduli
dengan siapa yang akan memimpin negerinya, maka ia harus siap
dipimpin oleh mereka yang tidak memahami islam. Berhati-hatilah
bisa jadi ini salah satu penyebab kehancuran ummat ditangan para
penguasa yang dzolim. Memanfaatkan sistem demokrasi untuk turut
berkontribusi aktif dalam parlemen atau pemerintahan secara bertahap.

[20]
BAB III

KESIMPULAN

Upaya menegakkan agama islam diawali dengan mengenalkan prinsip-prinsip


islam, mengajak orang-orang terdekat, para sahabat dan orang yang sekiranya
mampu menerima seruan ini dengan baik. Kemudian dilanjutkan dengan mengajak
keluarga dan kaum kerabat yang disampaikan secara terang-terangan. Setelah
masuknya beberapa orang, hal pertama yang Rasulullah ajarkan adalah penanaman
aqidah yang merupakan pondasi awal dan utama bagi umat muslim.
Selanjutnya, Rasulullah melakukan pembinaan setiap harinya kepada para
sahabat, sehingga terciptalah rasa cinta terhadap agama, cinta terhadap rasul dan
sesama umat muslim. Ketika aqidah ini sudah kokoh maka ujian seberat apapun yang
datang menghadang, umat muslim tidak akan dapat digoyahkan dan mundur satu
langkahpun dalam peperangan. dalam fase ini Rasulullah membangun dua basis
kekuatan, pertama : basis kekuatan melalui Sumber Daya Manusia, kedua ; basis
kekuatan dukungan dan ‘benteng’ pertahanan’.
Dari sirah Nabawiyah ini kita dapat mempelajari dan memahami bagaimana
perjuangan Iqamatuddin dari fase awal hingga terbentuknya dienul islam yang
pertama. Adapun upaya-upaya siyasah yang ditempuh rasulullah adalah, melakukan
perundingan, adanya misi diplomasi, mengirim mata-mata untuk mengambil
informasi pihak lawan, mengutus delegasi ataupun duta, serta melakukan perang
dalam rangka membela diri, membela agama dan menyebarluaskan islam dengan
menaklukan wilayah musuh.
Tentu apa yang telah dilakukan Rasulullah merupakan contoh yang dapat
dijadikan pelajaran dan tauladan, hingga saat ini realisasi di kedua fase tersebut
masih bisa diterapkan namun disesuaikan dengan kondisi ummat zaman ini selagi
tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah. Hal paling mendasar yang harus
dilakukan adalah pelurusan aqidah dan fikrah ummat muslim melalui pembinaan
yang berkelanjutan, sebab penyakit Al-wahn dan ghazwul fikri telah membawa
kekacauan dan ketidakberdayaan yang begitu besar dan kronis dalam tubuh ummat
ini.

[21]
DAFTAR PUSTAKA

Ali Jabir, Husain bin Muhammad.1987.Menuju Jama’atul Muslimin.Jakarta:Rabbani


Pers

Al-Buthy, Muhammad Sa’id.1999.Sirah Nabawiyah.Jakarta: Robbani Pers

Al-Ghadban, Syaikh Munir Muhammad.1992.Manhaj Haroki.Jakarta: Robbani Pers

Aulia, Muhammad Lili Nur.2019.Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan


Kami.Tangerang Selatan:Ihsan Media

Masyhur, Syaikh Mushthafa.2000.Fiqh Dakwah Jilid 1.Jakarta: Al-I’tishom Cahaya


Umat

[22]

Anda mungkin juga menyukai