Anda di halaman 1dari 60

Cover

Buku Saku
GUSDURian
Buku Saku GUSDURian
Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, 2016
Email:
jaringangusdurian@gmail.com
Twitter:
@gusdurians
Fanpage Facebook:
KH Abdurrahman Wahid
Instagram:
Jaringangusdurian
9
NILAI UTAMA
GUS DUR
4

KETAUHIDAN

Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang


Maha Ada, satu-satunya Dzat hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang
disebut dengan berbagai nama. Ketauhidan didapatkan lebih dari
sekadar diucapkan dan dihafalkan, tetapi juga disaksikan dan
disingkapkan. Ketauhidan menghujamkan kesadaran terdalam
bahwa Dia adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan
di jagat raya. Pandangan ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal
yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi
agama. Ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam perilaku
dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

KEMANUSIAAN

Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa


manusia adalah makhluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk
mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan
cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri
manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan
menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan
Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia
berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan
pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.

Buku Saku GUSDURian


5

KEADILAN
Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan
hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan
kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya
hadir di dalam realitas kemanusiaan dan karenanya harus
diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok
masyarakat yang diperlakukan tidak adil, merupakan tanggung
jawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupnya, Gus Dur rela dan
mengambil tanggung jawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk
menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

KESETARAAN
Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan
meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang
sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi
dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus
Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan
terhadap kaum tertindas dan dilemahkan, termasuk di dalamnya
adalah kelompok minoritas dan kaum marjinal.

Buku Saku GUSDURian


6

PEMBEBASAN
Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia
memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kesetaraan dan
keadilan, untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu.
Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka,
bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus
Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa
merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.

KESEDERHANAAN
Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan
perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi
konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati
diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap
berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur
dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan
keteladanan.

PERSAUDARAAN
Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas
kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan
kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan
peradaban. Sepanjang hidupnya, Gus Dur memberi teladan dan
menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam
masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan
pemikiran.

Buku Saku GUSDURian


7

KEKSATRIAAN
Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan
menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan
tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan
mencerminkan integritas pribadi: penuh rasa tanggung jawab atas
proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi,
komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki
Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam
menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang
dicapainya.

KEARIFAN TRADISI
Kearifan tradisi bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang
berpijak pada tradisi dan praktek terbaik kehidupan masyarakat
setempat. Kearifan tradisi Indonesia di antaranya berwujud dasar
negara Pancasila, Konstitusi UUD 1945, prinsip Bhinneka Tunggal
Ika, dan seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab. Gus
Dur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai
sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam
membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa
kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan
peradaban.

Buku Saku GUSDURian


9

NARASI PEMIKIRAN
GUS DUR

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN ISLAM

I
slam hadir di Indonesia tidak dalam ruang yang hampa.
Sejak kehadirannya, Islam menempatkan diri pada lanskap
kebudayaan yang telah ada. Dengan demikian,
keberadaan Islam menjadi bagian dari peradaban dan
kebudayaan yang terus menjadi (becoming). Dalam kerangka
proses pergulatan menjadi Islam Indonesia, “pribumisasi
Islam” atau “Indonesiasasi Islam” penting menjadi perhatian
kita dewasa ini.
Dalam sejarahnya yang panjang, Wali Sanga berhasil
mengislamkan Jawa tanpa mengeliminasi tradisi dan budaya
Jawa. Kenyataan sejarah ini membuktikan keber-hasilan Islam
menyatu dengan kebudayaan dan tradisi. Untuk selanjutnya,
dalam perkem-bangan yang terus berubah, NU telah berhasil
12

memadukan Islam dengan Pancasila dan Negara Kesatuan


Republik Indonesia. Menjadi Islam Indonesia, tidak harus
menjadi ke-Arab-arab-an atau meniru corak keislaman yang
lain.
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Kehadiran Islam
memberikan kedamaian dan rahmat bagi seluruh umat
manusia, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, etnik, ras,
agama, dan anutan ideologis. Penerjemahan “Islam rahmat
semesta” dalam politik keagamaan adalah toleransi,
memberikan ruang yang setara bagi agama lain, kepercayaan
lain, atau pemahaman yang berbeda, untuk hidup bersanding,
dan memperjuangkannya agar kehidupan yang damai tetap
lestari.
Sebagai bagian dari peradaban yang terus menjadi, Islam
terus bergulat dengan isu demokrasi, hak asasi manusia,
gender, lingkungan hidup, ragam teknologi, dan pencarian
kehidupan yang lebih baik. Pergulatan ini tidak akan pernah
berhenti, kita tetap harus mengikutinya dengan berpegang
pada prinsip-prinsip dasar keislaman ala ahlussunnah wal
jama’ah yang moderat, adil, setara, berimbang, dan
memperhatikan budaya dan tradisi.
Islam bukan produk yang siap saji, melainkan tata nilai
dan semangat perubahan yang terus bergerak untuk
mewujudkan cita-citanya, yakni kemaslahatan atau kebaikan
seluruh umat manusia. Atas dasar ini, umat Islam harus
memosisikan Islam sebagai semangat transformasi sosial
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Dalam konteks politik kenegaraan, Islam sesungguhnya
tidak memerlukan formalisasi label yang berlebihan. Jika pun

Buku Saku GUSDURian


13

ada kelompok lain yang melakukannya, maka yang perlu


dicegah adalah jangan sampai terjadi proses over-islamisasi di
pemerintahan, karena dengan demikian Islam mudah
dimanipulasi, kemudian disantuni begitu rupa sehingga
kemampuannya untuk berkembang dinamis,
independensinya dari kekuasaan dan kreativitasnya sebagai
lembaga yang hidup atas tenaganya sendiri, akan terancam.
Islam harus menemukan wujudnya secara mandiri dengan
lanskap kebudayaan Indonesia hari ini.[]

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN NU

N
U (Nahdlatul Ulama) adalah bentuk
pengorganisasian gerakan Islam ahlussunnah wal
jama’ah yang lahir dari dan tumbuh kembang
bersama tradisi pesantren. Islam ahlussunnah wal jama’ah
menganut pandangan moderasi (tawassuth), keseimbangan
(tawazun), keadilan (ta’adul), kesetaraan (musawah), dan
toleransi (tasamuh), baik dalam kehidupan publik maupun
domestik. Pandangan ini menempati posisi penting dalam
perjalanan NU, yakni sebagai jiwa dan semangat gerakan
jam’iyyah dan jama’ah. Melalui berbagai ragam pengalaman,
akhirnya pada saat ini NU merupakan salah satu wajah utama
moderasi di lingkungan gerakan Islam di Indonesia.
Keputusan NU dengan tegas menolak kehadiran “Negara
Islam Indonesia” yang didirikan Kartosuwiryo, bahkan para
ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat
15

(pemberontak). Sejak semula, NU memberikan dukungan


kepada aspirasi perjuangan kemerdekaan berkulminasi pada
lahirnya negara Republik Indonesia sebagai sebuah negara
non-teokratis. NU telah final menerima Pancasila sebagai
dasar Negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap dan kecintaan NU terhadap negara NKRI tidak bisa
dikooptasi oleh kekuasaan. NU selalu menjadi kekuatan
kontrol terhadap negara. Dalam sejarahnya, NU memiliki
kekayaan kultural dan pengalaman politik yang sangat
beragam. Atas dasar ini, NU harus selalu memainkan peran-
peran yang strategis dalam upayanya untuk turut serta
menyelesaikan problematika kemanusiaan dan kebangsaan
yang terus terjadi. Cara yang ditempuh NU bukan dengan
“strategi perjuangan politik” atau “ideologi Islam” dalam
artian yang abstrak, melainkan melalui pendekatan sosio-
kultural. “Pendekatan ini mengutamakan sikap
mengembangkan pandangan dan perangkat kultural, yang
dilengkapi oleh upaya membangun sistem kelembagaan
masyarakat yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin
dicapai. Pendekatan ini mementingkan kiprah budaya dalam
konteks kiprah mengembangkan lembaga-lembaga yang
dapat mengubah struktur masyarakat secara berangsur-
angsur dalam jangka panjang.”
Dengan pendekatan ini, dalam situasi apapun, NU harus
menjadi gerakan sosial keagamaan yang berpihak pada
kemaslahatan rakyat. Sebab hakikatnya NU hadir untuk
kemanusiaan. Oleh karena itu, pengor-ganisasian jamaah NU
sebagai kekuatan civil society menjadi sangat penting. Segala
upaya penataan dan pengorganisasian dalam tubuh NU,

Buku Saku GUSDURian


16

termasuk pilihan-pilihan strategi yang bersifat kontekstual,


harus diorientasikan pada perjuangan kemanusiaan ini. Inti
perjuangan ini tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan
apapun.
Pimpinan NU di semua tingkatan harus pandai mengelola
pengaruh besar para ulama dan menggerakkan tradisi untuk
kemaslahatan rakyat, pembelaannya kepada kaum yang
dilemahkan dan minoritas, serta keteguhannya dalam
menjaga jangkar Islam yang memberikan kedamaian bagi
semesta (rahmatan lil ‘alamin).[]

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN PESANTREN

P
esantren adalah sebuah kehidupan yang unik, yang
membentuk subkultur tersendiri. Pesantren tidak
pernah menampakkan wajah yang tunggal.
Sebaliknya, pesantren selalu memiliki watak yang multi-
dimensional. Pesantren bukan saja memiliki dimensi
pendidikan keagamaan, pembentukan watak, dakwah
Islamiyah, dan penguatan kehidupan masyarakat, melainkan
pesantren juga menjadi sumber inspirasi bagi sikap hidup
yang diinginkan dapat tumbuh dalam diri para santri,
terutama pada saat sistem pendidikan di luar pesantren tidak
memberikan harapan besar bagi terjangkaunya ketenangan
dan ketenteraman hidup mereka.
Eksistensi pesantren dipandang sebagai alternatif ideal
bagi sikap hidup yang ada di masyarakat dan berkembangnya
suatu proses pengaruh-mempengaruhi dengan masyarakat di
18

luarnya. Proses ini akan berkulminasi pada pembentukan


nilai-nilai baru yang secara universal diterima kedua belah
pihak. Pesantren, dengan demikian, tidak saja memerankan
pembentukan tata nilai hidup baru dari tradisi lama, namun
dalam kehidupan yang nyata pesantren juga menjadi
kekuatan masyarakat yang sangat diperhitungkan oleh
kekuatan lain di luar pesantren, termasuk negara.
Dalam konteks perubahan sosial di Indonesia, pesantren
menjadi elemen yang sangat penting. Selain faktor
kesejarahan yang telah terbukti membebaskan Indonesia dari
penindasan dan penjajahan, pesantren juga telah mewarnai
cara hidup masyarakat Islam Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak hanya menyediakan generasi
bangsa yang jujur, adil, toleran, religius, dan bersikap
sederhana, pesantren juga menjadi bagian dari kesadaran
transformasi sosial yang hidup dalam keseharian masyarakat,
terutama di pelosok desa.
Di antara elemen penting dalam pesantren adalah kiai.
Kedudukan yang dipegang seorang kiai adalah kedudukan
ganda, sebagai pengasuh yang menjadi pembimbing para
santri dalam segala hal, dan sekaligus pemilik pesantren. Kiai
hidup dan tinggal bersama santri dalam lingkungan
pesantren. Fungsi ini menghasilkan peranan kiai sebagai
peneliti, penyaring, dan akhirnya asimilator aspek-aspek
kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren. Dalam fungsi
ini, kiai menjadi agen budaya (cultural brokers), karena para
santri nanti akan mengembangkan aspek-aspek kebudayaan
yang telah memperoleh imprimatur sang kiai di masyarakat
mereka sendiri.

Buku Saku GUSDURian


19

Selain itu, tidak sedikit para kiai juga memiliki fungsi yang
beragam dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai
pendidik dan pembimbing agama, kiai juga menjadi pembela
kepentingan masyarakat pada saat berhadapan dengan
kepentingan luar, mempengaruhi cara pandang negara dalam
memproduksi kebijakan publik, dan juga merawat tradisi-
tradisi yang hidup di tengah-tengah kehidupan
masyarakatnya.[]

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN MASYARAKAT SIPIL

Perjuangan membela masyarakat adalah bagian dari


keimanan
Masyarakat harus menjadi kontrol terhadap negara,
tanpa harus terjebak pada sikap anti.
Masyarakat sipil harus berorientasi membangun
kesatuan nasional.
Tidak ada gerakan sipil tanpa ada emansipasi
kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan.
Kita harus menciptakan fakta-fakta baru untuk
melakukan perubahan.
Independensi dan kemandirian gerakan masyarakat
memiliki akar dalam pesantren, kongregasi gereja,
padepokan penghayat, dan lain-lain.
Harus ada keberanian melawan kesewenang-wenangan,
kebrutalan, dan teror.

N
egara akan menjadi baik dan kuat kalau memiliki
masyarakat sipil yang kuat, mandiri, independen,
dan banyaknya non state actor yang berperan
21

sebagai kontrol, sebagai saksi kenabian kalau diperlukan,


motor gerakan-gerakan advokasi dan pemberdayaan
masyarakat. Masyarakat sipil yang kuat itu bukan
dimaksudkan sebagai membangun masyarakat tanpa negara
atau tidak membutuhkan negara, tetapi masyarakat kuat
yang tidak didikte negara dan tidak subordinat terhadap aktor
negara, yang menghargai hukum dan setia pada konstitusi.
Visi yang dikembangkan adalah emansipasi
kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan dalam mengangkat
martabat manusia di semua lini: kaum miskin, kaum
perempuan, kaum difabel, kaum marjinal, dan lain-lain, yang
diperlukan dalam masyarakat yang belum tumbuh menjadi
masyarakat sehat, dan nilai-nilai demokratis belum menjadi
acuan warga dan aparat bangsa.
Kekuatan masyarakat sipil dicerminkan dalam
kemampuan dirinya, di samping mampu melakukan kontrol
sosial dan saksi kenabian yang menyuarakan keadilan, juga
mampu mengatasi problem-problem dan kontradiksi di
dalam dirinya (seperti adanya kontestasi antarkelompok, ego,
dan konflik yang terjadi). Semakin negara ikut terlibat dalam
menyelesaikan problem-problem yang terkandung dalam
masyarakat sipil itu sendiri, maka masyarakat sipil itu semakin
rapuh; dan semakin minimnya negara terlibat di dalamnya,
masyarakat mampu mengatasinya, maka semakin baik
masyarakat sipil.
Basis yang harus dibangun dalam menumbuhkan
masyarakat sipil adalah kemandirian dan independensi tanpa
terjebak pada sikap anti terhadap negara, yang perlu
dibangun dengan:pertama, pendidikan rakyat dalam arti

Buku Saku GUSDURian


22

seluas-luasnya yang menumbuhkan kesadaran


memanusiawikan dan membe-baskan. Kedua, mengorganisir
diri membangun alat-alat produksi sebagai basis komunitas.
Ketiga menerima apa saja dari luar yang baik, dengan tetap
menggali dan berpijak pada akar tradisi bangsa sendiri, seperti
akar independensi yang sering dicontohkan Gus Dur adalah
independensi Sultan Pajang setelah dikalahkan Panembahan
Senopati yang tetap membangun masyarakat Jawa dengan
tetap berada dalam wilayah Keraton, tetapi tetap mandiri dan
ada di luar ordinat kerajaan. Gus Dur juga sering
mencontohkan cikal bakal gerakan kemandirian masyarakat
sipil dari independensi kongregasi gereja-gereja, padepokan-
padepokan kalangan penghayat, dan pesantren yang tetap
berada di luar orbit kerajaan, meskipun tetap menerima dan
ada di wilayah kerajaan.
Dalam fondasi gerakannya, gerakan masyarakat sipil
akan tegak manakala ada: pertama, kerja sama dari berbagai
kalangan yang memiliki keprihatinan sama untuk melakukan
emansipasi sosial, sehingga perlu adanya jejaring yang kuat
dan saling mempercayai untuk memperjuangkan cita-cita
bersama, seperti tercermin dalam perjuangan bersama di
Fordem. Kedua, adanya pemimpin yang dijadikan simbol
berjuang bersama rakyat dan siap mendampinginya, yang
bersedia bergaul dengan berbagai kalangan yang luas, seperti
tampak ketika dia menjadi ketua PBNU, ketua Fordem, dan
aktif di berbagai gerakan lintas iman. Ketiga, adanya
kepeloporan kelompok besar di masyarakat untuk bisa
berpikir emansipatif dan memperjuangkan kemaslahatan
masyarakat. Dalam konteks ini GD, dia menjadikan NU

Buku Saku GUSDURian


23

sebagai laboratorium dan lokomotif untuk melakukan itu di


kalangan santri; dan bersama Fordem untuk menggalang para
aktivis kritis untuk melakukan emansipasi, karena GD
menyebutkan: “Perjuangan ideologis-kultural” perlu
menggandeng peranan kaum agama di dalamnya.
Diperlukan keberanian, kesabaran, dan ketelatenan
untuk terus menerus berjuang bersama rakyat, baik dalam
menghadapi kelompok-kelompok penebar teror, ke-kuatan
tentara yang brutal, dan anomali di dalam kelompok sipil
sendiri, tanpa harus kehilangan kelenturan, perlu berpikir di
luar pakem, setiap pada lanskap tanpa kekerasan, dan taat
pada hukum yang berlaku. Perjuangan masyarakat sipil di
Indonesia juga bisa berwujud bila dalam gerakan ideologis
kultural yang harus memberikan tempat pada gerakan
keagamaan untuk berperanan dalam melakukan kerja-kerja
masyarakat sipil; dan gerakan politik dan berjejaring
membangun partai alternatif yang bermartabat sebagai
langkah ideologis-struktural, dengan berusaha menciptakan
fakta-fakta baru untuk melakukan perubahan-perubahan
yang penting. []

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN HAK ASASI MANUSIA

Perbedaan YES! Pembedaan/diskriminasi NO


Keimanan membela martabat kemanusiaan
Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi

S
etiap orang adalah setara, memiliki derajat yang sama
di dalam martabat kemanusiaannya. Derajat ini ada
bukan karena dijamin semata oleh DUHAM atau UUD,
tetapi karena inheren dia sebagai manusia yang diciptakan
Tuhan. Manusia– baik sebagai individu maupun kelompok-
mempunyai hak sama yang harus dijamin di bidang sospol dan
ekosob, di antaranya jaminan untuk hidup secara aman,
berpendapat dan berorganisasi, setara di depan hukum,bebas
beribadah dan berkeyakinan, orang diperlukan adil, tidak
diteror,mendapat pendidikan hidup secara layak,
memperoleh akses pekerjaan yang sama, dan lain-lain.
Perjuangan dalam membela HAM tercermin dalam dua
wilayah, masyarakat sipil dan politik kekuasaan. Di dalam
masyarakat sipil, Gus Dur memperjuangkan tradisi dan nilai-
25

nilai HAM di tengah masyarakat, dengan menancapkan


teologi pembebasan dan hak-hak sipol di dalam kerangka
keimanan Islam, sehingga menjembatani antara teks-teks
Islam, dipahami koheren dengan persoalan-persoalan HAM
yang tengah berkembang di kalangan masyarakat dunia dan
Indonesia. Gus Dur memberikan dan memberi bingkai
kesadaran teologis orang santri bahwa memperjuangkan
HAM adalah bagian dari keimanan seorang muslim, dan
tuntutan menjadi warga bangsa Indonesia yang harus taat
pada hukum. Dan, dengan begitu, dia menjamin bahwa santri
merupakan bagian dari bangsa ini yang akan membangun
bangsa, bukan ancaman yang harus dicurigai.
Secara praksis, Gus Dur mendukung gerakan-gerakan
yang berusaha mewu-judkan kesadaran HAM di kalangan
gerakan sipil, dengan mensupport gerakan lintas iman,
mensupport dan ikut mendampingi orang-orang yang digusur
(seperti di Kedungombo), orang-orang yang diteror oleh
kebrutalan kelompok-kelompok peneror, dan membela kaum
yang dizalimi seperti minoritas Tionghoa, Syi’ah, Ahmadiyah,
Penghayat, dan lain-lain; dan mengkritik pendekatan
militeristik dalam pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan dan akumulasi kekayaan untuk segelintir
kelompok dengan menawarkan alternatif-alternatif.
Dalam perjuangan politik kekuasaan Gus Dur
menciptakan fakta-fakta baru, dengan melikuidasi Deppen,
agar rakyat memiliki akses informasi yang cukup dan tidak
dibatasi secara sewenang-wenang oleh negara, menghapus
Litsus yang membelenggu hak politik para mantan tapol, dan
membubarkan Bakorstanas yang selama ini bekerja

Buku Saku GUSDURian


26

melakukan Litsus; memberikan haknya kembali kalangan


Konghucu yang dibelenggu orde baru, memisahkan tentara
dari urusan-urusan sipil dan menempatkan tentara di bawah
supremasi sipil dengan mengangkat Menhankam dari
kalangan sipil, untuk menekankan sumber dari militerisme
yang menghambat HAM.
Gus Dur juga mengizinkan ratusan eksil untuk pulang ke
Indonesia. Gus Dur meminta maaf terhadap korban dalam
kasus 65 sebagai pintu masuk agar ada rekonsiliasi nasional
bisa terjadi. Langkah ini juga diikuti dengan gagasannya
mendukung penuntasan kasus 65-66 melalui mekanisme
hukum, dan mengusulkan pencabutan TAP XXV/MPRS/ 1966.
Dia menyatakan TAP ini dibuat oleh “seseorang yang tengah
berendam dalam nafsu(kekuasaan), dan takut dituduh sebagai
salah seorang anggota PKI itu sendiri”. PKI - menurut Gus Dur-
telah dihukum bertahun-tahun tanpa proses peradilan. Secara
retoris Gus Dur melontarkan pertanyaan: Apakah kita masih
harus menghukum mereka (kaum komunis)? Bagi Gus Dur,
TAP ini melanggar HAM, yang oleh karenanya harus dicabut.
Kontribusi Gus Dur juga tercermin dalam membela
identitas lokal sembari meneguhkan NKRI terlihat dalam
caranya menangani masalah Papua: memberikan nama
Papua mengganti Irian Jaya, dikibarkannya bintang kejora
meski harus tetap di bawah merah putih di Papua; dan
menyetujui didirikannya Majelis Rakyat Papua. Gus Dur juga
berkomitmen melakukan pembelaannya terhadap kesetaraan
perempuan diwujudkan secara personal dengan pilihannya
tidak berpoligami dan mengeluarkan berbagai kebijakan
afirmatif terhadap perempuan.

Buku Saku GUSDURian


27

Gus Dur berusaha menciptakan kesetaraan, melawan


diskriminasi, melawan teror, dan memberikan penghormatan
terhadap martabat kemanusiaan di dalam memperjuangkan
martabat manusia, bangsa dan dunia di sisi lain, tetapi juga
memperjuangkan kehormatan komunitas di mata warga
bangsa lain dan dunia. []

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR,
POLITIK,
DAN DEMOKRASI

Negara kesatuan adalah final


Tasharruful Imam ‘alar ra’iyyati manuthun bil maslahat
ma la yatimmul wajibu illa bihi, wahuwa wajibun
Demokrasi, Civil Society dan Pluralisme/HAM adalah tiga
fondasi perjuangan politik GD
Semua manusia sama.
innama bu’istu lid diini al-hanifah as samhah.

K
ecintaan pada tanah air dan bangsa Indonesia bagian
dari keimanan seorang muslim di Indonesia.
Mewujudkan negara damai (darul sulh) dalam negara
kesatuan itu adalah tugas setiap muslim. Karena membela
negara kesatuan untuk menciptakan kedamaian, keadilan,
kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat kemanu-
siaan sudah sah menurut syariat, dan negara kesatuan untuk
menciptakan kedamaian itu didirikan oleh wakil-wakil Islam
yang membuat perjanjian luhur.
Membangun negara kesatuan dilakukan dengan dua
strategi: strategi kultural di dalam masyarakat sipil dan
29

strategi struktural di wilayah politik kekuasaan. Kekuasaan


hanya semata alat, tetapi memiliki arti penting bagi
perubahan masyarakat. Oleh karena itu, terjun ke dalam
politik kekuasaan adalah bagian dari perjuangan keimanan,
manakala didasarkan pada keberpihakannya pada
kepentingan rakyat, untuk mewujudkan kemaslahatan umat,
dan membela masyarakat tertindas; diorientasikan untuk
memperkuat integrasi nasional bukan separasi; dan dibatasi
oleh tujuan penjaminan pada martabat manusia dan
kehidupan kemanusiaan untuk menegakkan khalifah manusia
di muka bumi.
Ada tiga fondasi yang diperjuangkan dalam politik di
dalam masyarakat Indonesia: demokrasi, kebinekaan, dan
civil society. Demokrasi akan menjamin kehidupan dan
aspirasi setiap kelompok tanpa menggunakan kekerasan, dan
masing-masing orang memperoleh jaminan untuk bisa
didengarkan dan mendengarkan. Kebinekaan merupakan
khazanah yang dimiliki bangsa Indonesia. Demokrasi yang
baik di Indonesia adalah yang bisa menjamin tegaknya
kebinekaan ini dengan mengembangkan toleransi dan sikap
terbuka. Demokrasi satu-satunya sistem yang paling mungkin
bisa menjaga kebinekaan masya-rakat. Penegakan demokrasi
yang menghargai kebhinnekaan itu tidak akan bisa berarti
tanpa ada masyarakat sipil yang kuat yang berfungsi sebagai
kontrol.
Dalam berpolitik harus setia dan tunduk kepada
konstitusi. Kesetiaan kepada konstitusi dan prinsip-prinsip
yang harus ditegakkan dalam negara demokrasi untuk
mewujudkan kemaslahatan, keadilan, kesetaraan dan

Buku Saku GUSDURian


30

penghormatan terhadap kemanusiaan adalah harga mati


yang dipertahankan dalam situasi apapun.
Berpolitik harus bisa menciptakan fakta-fakta baru
seberat apapun tantangannya, karena itu yang akan menjadi
tonggak kehidupan di kemudian hari. Gus Dur melakukan
berbagai eksperimen yang meski ada dalam periode singkat
ketika dia menjadi presiden tetapi capaiannya dalam
eksperimen politiknya terus hidup dan dirasakan penting. []

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN AGAMA-AGAMA

G
us Dur tidak pernah menempuh cara-cara kekerasan
dalam mem-perjuangkan gagasannya, Pesan yang
konstan disuarakannya adalah perdamaian. Islam
baginya adalah perdamaian sebagaimana makna kata al-
islâm yang berarti perdamaian, Islam kaffah bagi Gus Dur
berarti perdamaian total. Prinsip nirkekerasan adalah fondasi
dalam membangun hubungan dengan orang atau kelompok
lain. Dari sinilah lahir berbagai tindakan yang mendamaikan,
misalnya, dialog antar agama, rekonsiliasi, dan toleransi.
Dialog agama adalah sebuah kewajiban sosial yang harus
dijalani oleh para pemeluk agama. Jika dialog adalah
prasyarat bagi terciptanya toleransi, kerja sama dan
perdamaian, maka dialog antar agama adalah keniscayaan
yang harus dilalui.
"Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau
melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama lain,
terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan
32

umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu


tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan,
apabila ada dialog antar agama.... Kerja sama tidak akan
terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama
juga menjadi kewajiban." (Abdurrahman Wahid, Islamku,
Islam Anda dan Islam Kita, 2006: 133-134).
Toleransi tidak hanya membiarkan orang lain dengan sikap
apatis. Toleransi adalah sikap empati terhadap keyakinan
orang lain yang dibangun di atas pemahaman yang mendalam
akan perbedaan dan kesamaan. Sikap ini menjadi landasan
bagi persaudaraan dan kerja-kerja kemanusiaan yang bersifat
universal.
"Baik agama Hindu, Katolik maupun Islam, memandang
orang suci memiliki beberapa sifat yang membedakan dari
orang lain. Ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan ataupun
pengorbanan mereka pada kepentingan manusia.
Persamaan pandangan inilah yang membuat kami saling
menghormati dengan sepenuh hati.... Saya tidak pernah
memikirkan perbedaan melainkan justru persamaan yang
selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan
pengabdian kemanusiaan."
(Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan
Zaman, 83-84)
Jadi, inti toleransi bagi Gus Dur adalah kesadaran bahwa
setiap manusia memiliki keyakinan berbeda. Perbedaan ini
sama sekali tidak menghalangi penghormatan dan
persaudaraan karena ada nilai-nilai universal yang
menyatukan antar sesama manusia. Bahkan nilai substansial
setiap agama pun dipersatukan dalam semangat pengabdian
kepada Tuhan dan pengorbanan untuk manusia. Inilah yang
membuat persaudaraan, penghormatan, dan kerja sama

Buku Saku GUSDURian


33

antar agama agama yang jauh dari kekerasan, kebencian, dan


intoleran.
Perbedaan keyakinan, menurut Gus Dur, tidak membatasi
atau melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama
lain, terutama dalam hal yang menyangkut keyakinan umat
manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu tentunya akan
dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan apabila ada
dialog antar agama. Kerja sama tak akan terlaksana tanpa
dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga menjadi
kewajiban. (Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita, 2006: 133-134).
Bagi Gus Dur, dialog antar agama dan keyakinan adalah
kunci untuk terbangunnya bukan saja hubungan baik
melainkan juga kerja sama umat manusia untuk tatanan yang
lebih baik. Dalam banyak hal untuk mengatasi masalah sosial
dan politik seperti konflik, Gus Dur menggunakan pendekatan
dialog atau kerja sama antar agama, baik sebelum, ketika
menjadi presiden maupun setelah lengser.
Sebelum Gus Dur menjadi Ketua PBNU, sudah menjalin
hubungan dan dialog dengan kelompok-kelompok agama.
Setelah menjadi Ketua Umum PBNU dialog dan kerja sama
semakin luas. Gus Dur juga menjadikan dialog antar agama
sebagai cara untuk mengkritisi situasi dan pemerintah orde
baru ketika itu.
“Umat Islam seyogyanya menghindari eksklusivisme dan
lebih menekankan pada agenda nasional bagi kepentingan
semua kelompok masyarakat, termasuk minoritas dan non-
pribumi. Hal ini pada hemat saya akan meningkatkan
perlakuan yang menguntungkan dari pemerintah dan
kelompok lain kepada umat Islam dalam memperjuangkan

Buku Saku GUSDURian


34

demokrasi, hak asasi, pembangunan hukum (rule of law),


kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul.”
(Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, 2001: 97).
Gus Dur juga punya prinsip untuk tidak campur tangan
antar keyakinan agama dan tidak mengkritik keyakinan
agama lain terutama yang minoritas. Sebelum menjadi
presiden, Gus Dur adalah pelaku advokasi dari agama, sekte
dan aliran kepercayaan yang selama Orde Baru didiskriminasi.
Gus Dur sangat sering berhadapan dengan kebijakan
pemerintah. Ketika menjadi presiden Gus Dur, membangun
berbagai kebijakan, meskipun belum tuntas, agar Negara
tidak campur tangan terhadap agama dan keyakinan. Gus Dur
misalnya, sudah mencanangkan agar MUI tidak terus menerus
menyusu kepada pemerintah. Gus Dur memberikan modal
dana abadi Rp 1M kepada MUI. Tetapi pemisahan MUI dari
pemerintah belum selesai sudah keburu lengser. Setelah
lengser Gus Dur kembali mengadvokasi agama dan keyakinan
yang didiskriminasi.
Dalam Deklarasi Universal HAM PBB tercantum dengan
jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia.
Padahal fikih/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang
pada ketentuan bahwa berpindah dari agama Islam ke agama
lain adalah tindak kemurtadan (apostasy) yang patut dihukum
mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20
juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam
ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.
Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak
akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan

Buku Saku GUSDURian


35

kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.


Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan
mekanisme untuk mengubah ketentuan fikih/hukum Islam
yang secara formal sudah berabad-abad diikuti.
(Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita,
2006: 122).
Gus Dur sangat menghormati hak setiap orang dengan
keyakinan agamanya masing-masing, tanpa syarat. Karena
itu, Gus Dur menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk
diskriminasi berdasar agama. Gus Dur menolak peran Negara
yang masuk mengintervensi agama yang diakui dan agama
yang tidak diakui. Gus Dur menulis:
“Dalam hal keyakinan, kita berhadapan dengan pihak2
pejabat pemerintah yang beranggapan , negara dapat
menentukan mana agama dan mana yang bukan. Inilah
bahaya penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang
menentukan sesuatu agama atau bukan adalah pemeluknya
sendiri. Karena itu, sebaiknya peranan negara dibatasi pada
pemberian bantuan belaka. Karena itu pulalah penulis
menyanggah niat Kapolda Jawa Tengah yang ingin menutup
Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biarkan
masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan
sebuah Negara Islam di Negara ini!”. (Abdurrahman Wahid,
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, 2006: 153).

“Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat


yang harus berperan menentukan hidup matinya agama di
negeri ini. Di sinilah letak arti firman Tuhan dalam al-Quran:
“Tidak ada paksaaan dalam beragama, (karena) benar-benar
telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu” (QS. [2]:
256). Jelas dalam ayat itu, tidak ada peranan Negara sama

Buku Saku GUSDURian


36

sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat


yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu.
Jika semua agama itu bersikap saling menghormati, maka
setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang
atau tidaknya pejabat pemerintahan. (Abdurrahman Wahid,
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, 2006: 154).

“…..diskriminasi memang ada dimasa lampau, tetapi


sekarang harus kita kikis habis. Ini kalau kita memiliki Negara
yang kuat dan bangsa yang besar. Perbedaan diantara kita
justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa….”
(Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita,
2006: 154).

Pertama, Gus Dur menolak formalisasi Islam dalam Negara,


dan lebih menekankan pendekatan sosial budaya. Hukum
Islam tidak boleh dilaksanakan untuk menjadi hukum Negara,
kecuali aspek-aspek hukum Islam yang bisa diterima semua
kalangan. Hukum Islam lebih banyak diletakkan sebagai etika
sosial. Gus Dur menulis:
“Hukum Islam tidak dijadikan hukum nasional in toto.
Hanya partikel-partikel yang dapat diterima semua pihak
sajalah yang diundangkan oleh negara, sedangkan
selebihnya menjadi etika masyarakat bagi kaum muslimin.
Cara penerapan hukum Islam tersebut sebagai salah satu
unsur pembentukan hukum dalam konsep negara bangsa
(nation state), merupakan kunci pemecahan masalah
menurut pandangan ini. (Abdurrahman Wahid, Pergulatan
Negara, Agama, dan Kebudayaan, 2001: 96).

Buku Saku GUSDURian


37

“Nilai-nilai kehidupan bangsa tidaklah harus diislamkan


secara formal, melainkan dicarikan titik-titik persama-annya
dengan nilai-nilai universal yang diikuti dan diakui seluruh
warga bangsa. Islam tidak lagi menjadi partikularisme yang
menghardik wawasan-wawasan lain yang telah ada,
melainkan menjadi salah satu penopang bersama sekian
banyak wawasan kebangsaan yang telah, sedang dan akan
dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”.
(Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, 2001, 87).
Gus Dur mengkritik pandangan formalisme Islam dengan
mengatakan:
“….pandangan seperti ini mempunyai banyak kelemahan.
Yang paling mendasar adalah perbenturan antara klaim
mereka tetap setia pada UUD 1945, sedangkan pada saat
yang sama menginginkan legislasi ajaran agama (Islam, pen)
sebanyak mungkin. Jelas ini merupakan sikap kontradiktif,
karena pada dasarnya jaminan UUD 1945 bagi kebebasan
beragama, berpikir dan berpendapat, persamaan di muka
hukum hanya akan tercapai manakala Negara tidak
mencampuri urusan agama dan keyakinan warga Negara.
(Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, 2001, 86-87).

“Dalam pandangan formal, ajaran Islam selalu menjadi


aturan bernegara dalam bentuk undang-undang. Formalisasi
ini mengancam kebersamaan kaum muslimin Indonesia.
Karena Negara akan menetapkan sebuah versi (mazhab)
dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang hukum Islam versi
lain berada di luar UU. Dengan demikian, yang benar atau
yang salah adalah apa yang tertera dalam rumusan UU itu,

Buku Saku GUSDURian


38

sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu saja tidak


dipakai”.
(Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita,
2006: 75-76).
Kedua, Gus Dur lebih menekankan agenda dan kepentingan
bangsa daripada kepentingan ego keagamaan. Gus Dur
menulis:

“Umat Islam seyogyanya menghindari eksklusivisme dan


lebih menekankan pada agenda nasional bagi kepentingan
semua kelompok masyarakat, termasuk minoritas dan non-
pribumi. Hal ini pada hemat saya akan meningkatkan
perlakuan yang menguntungkan dari pemerintah dan
kelompok lain kepada umat Islam dalam memperjuangkan
demokrasi, hak asasi, pembangunan hukum (rule of law),
kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul.
(Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, 2001: 89)

“Penghadapan Islam dan Pancasila adalah sesuatu yang


tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang
bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus.
Kalau itu diteruskan, berarti rasionalitas telah ditinggalkan,
dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita.
Tentu kita lebih mementingkan sesuatu yang rasional, bila
dibandingkan dengan sesuatu yang emosional.
(Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita,
2006: 90).

Buku Saku GUSDURian


PERJUANGAN EKONOMI
GUS DUR

B
agi Gus Dur, ekonomi harus ditata orientasinya.
Ikhtiar ekonomi, seluruhnya harus diubah bukan
semata untuk kepentingan elit tetapi juga untuk
seluruh rakyat Indonesia, termasuk kepentingan rakyat kecil
dan menengah, sehingga bisa secara signifikan mengentas
kemiskinan dan menciptakan kemaslahatan bersama. Secara
singkat, ekonomi harus menjadi ruang untuk mewujudkan
keadilan sosial. Pandangan ini digerakkan oleh semangat
kebangsaan, mandat konstitusi serta spirit keagamaan. Bagi
Gus Dur, untuk menemukan dan memperjuangkan ‘api’ Islam,
maka tak sekadar berhenti pada formalitas dan jargon agama
semata. Ikhtiar ekonomi harus diarahkan pada kepedulian
terhadap kaum miskin serta melindungi kaum yang terancam
dan mustadz'afin. Dalam konteks ini, semua potensi kekuatan
dan kekuasaan harus diorientasikan pada kemaslahatan
khalayak. Tasharruful imam alar ra'iyyah, manuthun bil
40

mashlahah. Karena pada dasarnya, semua hal tergantung


maksud dan orientasinya: al Umuru bi Maqashidiha.
Bagi Gus Dur, negara harus hadir dalam sistem ekonomi
masyarakat. Sistem difungsikan sebagai alat untuk
menciptakan kesejahteraan secara utuh, tidak hanya
sejahtera secara ekonomi tetapi juga bahagia secara sosial-
politik. Dengan orientasi ekonomi yang jelas, maka di tangan
Gus Dur pendekatan ekonomi bisa dijalankan dengan sangat
lentur sesuai faktor eksternal dan internal yang melingkupi.
Kejeniusan dan kejelian Gus Dur untuk menggandeng
China dan India sebagai kekuatan ekonomi dunia yang akan
mampu bersaing bahkan menggantikan hegemoni ekonomi
Amerika Serikat adalah contoh pentingnya pemahaman akan
situasi eksternal terkait strategi dan pendekatan ekonomi.
Prediksi dan intuisi Gus Dur ini akhirnya terbukti satu dekade
berikutnya ketika China bisa menyalip Amerika sebagai
kekuatan ekonomi baru dunia. Dalam hubungan
internasional, Gus Dur selalu menekankan pentingnya
kemandirian ekonomi nasional di hadapan kekuatan ekonomi
global yang berpotensi mendominasi, mendikte dan
mengintervensi sehingga menitipkan agenda ekonomi negara
lain di pasar domestik.
Hal ini bisa dibuktikan dari keteguhan dan kewaspadaan
Presiden Gus Dur dan tim ekonominya saat memerintah. Gus
Dur meminta tim ekonomi menyusun sendiri draft
kesepakatan dengan IMF dan membuang 60 poin berisi
agenda tersembunyi yang merugikan kepentingan nasional
sebagaimana kewajiban memberikan izin untuk pendirian
pasar modern (supermarket) di seluruh wilayah nusantara,

Buku Saku GUSDURian


41

audit keuangan TNI yang bertujuan mengetahui kekuatan


serta kebutuhan belanja alat utama sistem pertahanan dan
lainnya. Di masa Presiden Gus Dur pula, disusun road map
pembubaran CGI yang kemudian terealisir pada rezim
berikutnya serta mendapatkan hibah yang sangat besar dari
CGI sebesar lebih kurang 700 juta US$. Selain itu, di era
Presiden Gus Dur-lah Indonesia berhasil melakukan negosiasi
utang luar negeri dengan Jerman dengan skema dept swap,
serta mengurangi hutang sebesar 9 Miliar dolar, terbesar
dibanding Presiden lainnya.
Secara internal (domestic), pendekatan ekonomi yang
dilakukan Gus Dur adalah dengan memperkuat potensi
keswadayaan dan kemandirian masyarakat dengan cara
meningkatkan daya beli (purchasing power), meningkatkan
kemampuan produksi dan komoditi, mendorong kepemilikan
aset dengan reforma agraria, mendorong inklusi keuangan
dengan adanya linkage antara bank konvensional dengan
lembaga non-bank seperti BMT, BPR, dan lain-lain. Bahkan
semasa menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur telah
melakukan langkah konkrit berupa pendirian Bank
NUsumma, yang kemudian menginspirasi program kredit
bagi rakyat kecil, sebagaimana Kredit Usaha Rakyat (KUR) di
era Presiden SBY.
Karena itu secara ideologi, pendekatan ekonomi Gus Dur
adalah ide dan upaya untuk melampaui pertarungan ideologi
ekonomi kapitalisme vs sosialisme. Gus Dur berpendapat
bahwa ideologi di bidang ekonomi harus bisa bersaing dan
membuktikan dengan spirit fastabiqul khairat, mana yang bisa
memberikan aspek kemaslahatan untuk rakyat. Ideologi dan

Buku Saku GUSDURian


42

sistem ekonomi penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah


orientasinya, yakni yang mampu membawa kemanfaatan
untuk rakyat dan membahagiakan semua rakyat.
Bagi Gus Dur, ideologi kapitalisme bisa diambil aspek
positifnya seperti pengakuan terhadap kepemilikan pribadi,
tidak ada larangan untuk berusaha dan mendapatkan hak atas
hasil usahanya, akses keuangan yang sama (inklusi). Dalam
konteks ini, dapat dilihat dari kebijakan yang telah Gus Dur
telurkan antara lain: (i) restrukturisasi bisnis properti dengan
mengurangi bunga sehingga Gus Dur dijuluki sebagai “Dewa
Penyelamat Industri Properti”, menghentikan monopoli dan
oligopoli industri penerbangan (Garuda, Merpati dan
Mandala) sehingga muncullah beberapa penerbangan baru,
airfare budget. Kebijakan ini mampu menurunkan harga tiket
pesawat hingga 60%, sehingga mobilitas rakyat makin
meningkat; (ii) menolak desakan bahwa bunga bank sebagai
riba. Bagi Gus Dur, bunga bank tidak masalah secara
keagamaan.
Dari ekonomi sosialistik, Gus Dur mengambil spirit
pemerataan kue ekonomi kepada seluruh lapisan rakyat
sekaligus melakukan perlindungan terhadap rakyat. Hal ini
dapat dilihat dari ide dan kebijakan: (i) gagasan redistribusi
tanah (reforma agraria) dengan membeli 40% lahan
perkebunan: 30% diberikan kepada buruh perkebunan, 10%
pada warga desa di sekitar perkebunan; (ii) memberikan
keberpihakan pada UKM dengan melakukan restrukturisasi
hutang ratusan ribu UKM agar mereka bisa kembali berusaha
dengan dana usaha baru; (iii) spirit sosialisme juga bisa dilihat
dari rekonstruksi sistem ekonomi yang dilakukan Gus Dur

Buku Saku GUSDURian


43

dengan menata kembali relasi antara negara dengan pasar,


negara dengan rakyat, dan negara dengan kekuatan ekonomi
global.
“...keharusan kita untuk mempertahankan kompetisi, tata
niaga internasional dan efisiensi yang rasional, merupakan
bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah kebangkitan
ekonomi. Namun yang harus didorong sekuat tenaga, adalah
ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahan-kemudahan,
fasilitas-fasilitas dan sistem kredit sangat murah bagi
perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi dengan
pendapatan pegawai negeri sipil dan militer, yang harus
dilakukan guna mendorong peningkatan kemampuan daya
beli (purchasing power) mereka...”
(Abdurrahman Wahid, Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi
Islam?)
Segala ikhtiar di bidang ekonomi harus diarahkan kepada
ekonomi yang membahagiakan rakyat dan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ikhtiar tersebut
terinspirasi dari nilai-nilai dalam penemuan “api Islam” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan
membahagiakan rakyat ini menunjukkan bahwa
kesejahteraan bagi Gus Dur tidak hanya berhubungan dengan
kondisi sejahtera secara ekonomistis namun kesejahteraan
berhu-bungan dengan kondisi sejahtera secara non-
ekonomistis.
Beberapa terobosan kebijakan pro rakyat yang perlu
diketahui semasa pemerintahan Presiden Gus Dur antara lain:
1. Pembuatan kebijakan kereta api dengan membangun jalur
ganda (double track) Jakarta –Surabaya untuk menghindarkan
kecelakaan/ tabrakan kereta api kelas ekonomi. Kebijakan ini

Buku Saku GUSDURian


44

diambil untuk menjawab seringnya kecelakaan kereta yang


dialami KA ekonomi, agar rakyat mendapatkan kesetaraan
akses dan layanan angkutan massal yang nyaman dan aman.
2. Kebijakan Kepala Bulog untuk meng-hentikan impor beras
untuk melindungi beras petani serta tidak menyimpan beras
di gudang Bulog, melainkan menyimpan dalam bentuk gabah
karena akan lebih awet dan memberikan aspek ekonomi
ketika dibutuhkan dengan aktivitas penggilangan beras di
desa-desa.
3. Terobosan restrukturisasi valuasi Telkom dan Indosat,
dengan melakukan penataan bisnis, menghindarkan
persaingan terbuka, head to head antara dua raksa
perusahaan telekomunikasi milik negara tersebut, sehingga
terhindar dari penjualan saham (divestasi) bahkan pemerintah
mendapatkan penghasilan triliunan rupiah.
4. Menegoisasi hutang luar negeri dengan cara membarter
hutang Indonesia kepada Jerman melalui program reboisasi,
serta bernegosiasi dengan Kuwait untuk menukar hutang
dengan hutang baru dengan bunga yang lebih murah dan
mendapat reward pembangunan fly over Pasteur Bandung
dengan cuma-cuma.
5. Terobosan kebijakan bantuan pangan (food stamp) bagi
rakyat miskin dengan program Raskin (Beras bagi Rakyat
Miskin) yang terbukti efektif, dengan memanfaatkan potensi
kepemimpinan kulturan di kampung/desa dalam hal
pendistribusiannya.[]

Buku Saku GUSDURian


GUS DUR
DAN STRATEGI BUDAYA

B
agi Gus Dur, kebudayaan bukanlah produk melainkan
suatu proses negosiasi terus-menerus di antara
berbagai kekuatan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Kebudayaan tidak statis, melainkan dinamis dan
selalu melibatkan berbagai kekuatan yang heterogen yang
memiliki modus eksistensinya masing-masing.
Suatu strategi kebudayaan tidak bertujuan untuk
merekayasa atau mengatur kebudayaan, tetapi melakukan
intervensi untuk menye-diakan dan memfasilitasi lalu-lintas
pertukaran kebudayaan, membuka ruang bagi interaksi intra
dan antar kebudayaan, menggemburkan ranah di mana
masing-masing modus eksistensi dapat bertahan dan
berkembang dengan vitalitas, daya cipta dan daya tahan yang
melekat pada eksistensinya sebagai manusia.
Strategi kebudayaan pada gilirannya bertujuan untuk
mengangkat harkat kemanusiaan dengan menjadikan
46

manusia sebagai tujuan dari kehidupan berkebudayaan, alih-


alih alat atau instrumen.
Kebudayaan adalah penemuan suatu masyarakat
dalam arti buah yang hidup dari interaksi sosial antara
manusia dan manusia, antara kelompok dan kelompok.
"Negara dan Kebudayaan", Makalah Kongres Kebudayaan, 3
November 1991

Ketidakterhinggaan varian budaya sebuah masyarakat,


apalagi dengan ketinggian derajat pluralitas seperti bangsa
kita, mengharuskan kita semua mendorong munculnya
peluang yang sama bagi semua warga negara yang
berkepentingan dengan perkembangan budaya bangsa
mereka untuk memulai prakarsa, separsial apapun dalam
perkembangan budaya itu sendiri.
"Mendesentralisasikan Kebudayaan Bangsa", Jawa Pos 9
November 1992

Pengembangan budaya suatu masyarakat harus


diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat manusiawi
semua warganya. Dengan demikian, kemanusia-anlah satu-
satunya ukuran kegunaan suatu bentuk kegiatan budaya.
"Sumbangan Islam bagi Pengembangan Budaya Indonesia",
Mimbar Ulama, No. 115 Th. IX.

Buku Saku GUSDURian


KODE ETIK
JARINGAN GUSDURIAN
KODE ETIK
JARINGAN GUSDURIAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam kode etik ini yang dimaksudkan dengan:
1. Kode Etik Jaringan Gusdurian adalah norma-norma atau
aturan-aturan yang merupakan landasan etik dan filosofis
dari perilaku dan ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan,
dilarang, patut atau tidak patut dilakukan oleh Anggota
Jaringan Gusdurian. Gusdurian adalah individu dan/atau
kumpulan individu yang mendukung pemikiran, meneladani
karakter dan prinsip nilai, serta berupaya untuk meneruskan
perjuangan Gus Dur.
2. Jaringan Gusdurian adalah jaringan kultural, bersifat
terbuka, non politik praktis yang terdiri dari para individu
dan/atau komunitas yang mendukung pemikiran, meneladani
50

karakter, nilai, dan prinsip, serta berupaya untuk meneruskan


perjuangan Gus Dur yang berada dalam koordinasi Yayasan
Bani Abdurrahman Wahid.
3. Anggota Jaringan Gusdurian adalah setiap individu yang
mempunyai komitmen melakukan dan meneruskan nilai
dasar dan prinsip yang telah diwariskan oleh KH Abdurrahman
Wahid melalui jalur kultural atau non politik praktis.
4. Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian adalah pengelola
jaringan dan penghubung antar Gusdurian.
5. Dewan Etik adalah majelis yang dibentuk oleh Seknas
Jaringan Gusdurian untuk memeriksa, memutus dan
menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran etik berdasarkan
kesepakatan bersama.

BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Kode Etik Gusdurian bertujuan untuk menjaga martabat,
kehormatan, citra, dan kredibilitas Jaringan Gusdurian ,
serta memberi pedoman bagi anggota Jaringan Gusdurian di
dalam melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban,
dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan
komunitasnya.

BAB III
NILAI DASAR PERJUANGAN
Pasal 3
Jaringan GUSDURian dalam bertindak dan berperilaku
mengacu pada sembilan nilai dasar Gus Dur.

Buku Saku GUSDURian


51

Nilai dasar perjuangan Jaringan GUSDURian adalah


spiritualitas, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan,
pembebasan, kesederhanaan, kekesatriaan, persaudaraan,
dan kearifan tradisi.
Penjelasan 9 nilai dasar Gus Dur dijelaskan di lampiran.

BAB IV
PRINSIP PERJUANGAN
Pasal 4
Jaringan Gusdurian memegang prinsip-prinsip sebagai
berikut
1. Integritas
2. Anti-diskriminasi
3. Independensi
4. Transparansi
5. Anti-kekerasan
6. Kesetaraan gender
7. Keberpihakan kepada kelompok lemah
8. Anti penindasan
9. Berperspektif ekologis

BAB V
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 5
Menjalankan dan menyebarluaskan nilai-nilai dasar dan
prinsip perjuangan Jaringan Gusdurian

Buku Saku GUSDURian


52

Pasal 6
Membangun rasa saling percaya, setia kawan, rukun,
bersahabat dan bersaudara sebagai sesama keluarga besar
Gusdurian.
Pasal 7
Mengembangkan semangat saling menghormati dan
menghargai keanekaragaman pandangan pendapat dan
keyakinan di antara anggota Gusdurian.
Pasal 8
Bersikap kritis terhadap berbagai hal yang tidak berpihak
kepada masyarakat
Pasal 9
Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat baik
menyangkut keyakinan, agama, suku, ras dan politik.
Pasal 10
Menghindari setiap campur tangan pihak-pihak di luar
Jaringan Gusdurian yang tidak selaras dengan pelaksanaan
nilai dan prinsip perjuangan Jaringan Gusdurian

BAB VI
LARANGAN UMUM
Pasal 11
Anggota Jaringan Gusdurian dilarang bertindak, berperilaku,
dan atau mengucapkan hal-hal yang bertentangan dengan
nilai dan prinsip perjuangan Jaringan Gusdurian
Pasal 12
Anggota Jaringan Gusdurian dilarang mengatasnamakan
nama Jaringan Gusdurian dalam setiap bentuk kegiatan
politik praktis

Buku Saku GUSDURian


53

Pasal 13
Anggota Jaringan Gusdurian dilarang mendorong dan atau
menempatkan komunitas Gusdurian dalam setiap bentuk
kegiatan politik praktis
Pasal 14
Anggota Jaringan Gusdurian dilarang menggunakan nama
Jaringan Gusdurian demi kepentingan pribadi

Pasal 15
Dengan atau tidak mengatasnamakan Jaringan Gusdurian,
anggota dilarang melakukan intimidasi, ancaman, dan atau
pemerasan kepada pihak lain dengan alasan apapun

BAB VII
PELAKSANAAN DAN PENEGAKAN KODE ETIK
Pasal 16
Setiap anggota Jaringan Gusdurian wajib taat dan tunduk
pada Kode Etik ini.
Pasal 17
Pengawasan dan Pelaksanaan Kode Etik ini dilakukan oleh
Dewan etik
Pasal 18
Proses penegakan Kode Etik menganut prinsip:
1. Asas praduga tak bersalah.
2. Hak untuk membela diri.
3. Mendengarkan para pihak.
4. Tidak ada intervensi dari atau kepada pihak tertentu.
5. Adil.

Buku Saku GUSDURian


54

Pasal 19
1. Penilaian akhir dan sanksi atas pelanggaran kode etik
dilakukan oleh dewan etik.
2. Keputusan dewan etik bersifat final dan tidak bisa diganggu
gugat

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Hal-hal yang belum diatur dalam Kode Etik ini diputuskan oleh
Seknas Jaringan Gusdurian.
Pasal 21
Kode Etik ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Yogyakarta, 18 Mei 2013

Ditandatangani oleh:
1. GUSDURian Banyuwangi
2. GUSDURian Bondowoso
3. GUSDURian Jember
4. Forum GUSDURian Sumenep
5. GUSDURian Gresik
6. Gerdu Suroboyo
7. GUSDURian Sidoarjo
8. Komunitas Gitu Saja Kok Repot Pasuruan
9. Garuda Malang
10. GUSDURian Batu

Buku Saku GUSDURian


55

11. GUSDURian Kediri


12. PALM Kediri
13. GUSDURian Mblitar
14. STARA Muda Jombang
15. GUSDURian Jombang
16. GUSDURian Tulungagung
17. GUSDURian Tuban
18. GUSDURian Ponorogo
19. GUSDURian Bojonegoro
20.GUSDURian Mojokerto/moxer
21. GUSDURian Lumajang
22.GUSDURian Trenggalek
23. GUSDURian Nganjuk
24. The Drunken Master Madiun
25.Forum GUSDURian Madiun
26. GUSDURian Solo
27. SOBAT Salatiga
28.GUSDURian Jepara
29. GUSDURian Blora
30. GUSDURian Pati
31. GUSDURian Grobogan
32. GUSDURian Demak
33. GUSDURian Undip semarang
34. GUSDURian Unwahas Semarang
35. GUSDURian Kendal
36. GUSDURian Batang
37. GUSDURian Pekalongan
38. GUSDURian Tegal
39. GUSDURian Wonogiri

Buku Saku GUSDURian


56

40. GUSDURian Klaten


41. GUSDURian Temanggung
42. GUSDURian Lintas Kampus Jogja
43. Komunitas Entrepreuneur Gusdurian Jogja
44. GUSDURian Muda Wonosobo
45.GUSDURian Ngapak Kebumen
46. GUSDURian Banyumas
47. GUSDURian Cirebon
48. Pelita Cirebon
49. GUSDURian Kuningan
50.GUSDURian Indramayu
51. GUSDURian Tasik Kab
52.GUSDURian Bogor
53. GUSDURian Garut
54.GUSDURian Subang
55. Jaka Tarub Bandung
56.Forkom UIN Bandung
57. GUSDURian UPI Bandung
58.GUSDURian Karawang
59.KPG Jakarta
60. KBGD Jakarta
61. GUSDURian Kalimantan Timur
62. GUSDURian Aceh
63. GUSDURian Lampung
64. GUSDURian Makasar
65.GUSDURian Jeddah

Buku Saku GUSDURian


57

Catatan:

Buku Saku GUSDURian


Cover Belakang

Anda mungkin juga menyukai