Anda di halaman 1dari 18

BAB XI

PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA DINI

Pada bab ini, akan dibahas mengenai perkembangan anak yang berkaitan dengan aspek
kognitif. Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan aspek perkembangan
kognitif dan melakukan identifikasi kegiatan pembelajaran yang sesuai. Secara lebih khusus, Anda
diharapkan mampu menjelaskan:
1. Teori perkembangan kognitif menurut Piaget dan teori perkembangan kognitif Vygotsky;
2. Perkembangan kognitif anak usia dini;
3. Kegiatan pembelajaran yang menunjang aspek kognitif untuk anak usia dini.

Anak-anak dalam berbagai tahapan usia berbeda seringkali memiliki cara berpikir dan alasan
yang amat berbeda berkaitan dengan situasi yang mereka hadapi atau fenomena yang mereka
amati. Perkembangan kognitif seorang anak menurut pendekatan teori kognitif dari Piaget terbagi
atas tahapan-tahapan, yaitu tahap sensorimotor, tahap pra-operasional, tahap konkret operasional,
dan tahap formal operasional. Setiap tahap tersebut dibangun berdasarkan pencapaian tahap
sebelumnya sehingga setiap anak harus melalui setiap tahapan tersebut secara berurutan.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky melihat perkembangan kognitif dalam kaitannya dengan
komponen-komponen sosial dimana anak berada. Menurut Vygotsky kemampuan kognitif seorang
anak berkembang tidak hanya karena melakukan sesuatu dengan objek, tetapi terutama dan
pertama-tama adalah melalui interaksi anak dengan orang dewasa atau teman sebaya yang
memiliki pengetahuan yang luas. Orang dewasa dapat meningkatkan kemampuan kognitif seorang
anak melalui kegiatan bersama yang bermakna dan menantang. Berdasarkan teori perkembangan
kognitif dari Vygotsky, pengarahan, bantuan fisik, dan pertanyaan-pertanyaan dari guru atau orang
dewasa lain yang mengarahkan (probing) akan membantu anak meningkatkan keterampilan dan
perolehan pengetahuan mereka.
Baik Piaget maupun Vygotsky keduanya sama-sama menjelaskan mengenai perkembangan
kognitif seorang anak. Piaget lebih menekankan pada kemampuan anak itu sendiri, dan bagaimana
lingkungan menyediakan stimulus yang kaya. Sementara itu, Vygotsky mencoba melihatnya dari
sudut interaksi seorang anak dengan lingkungannya atau dengan kata lain dengan komponen sosial
atau budaya dimana anak tinggal. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran bahwa untuk
mempelajari perkembangan kognitif seorang anak perlu dilihat baik faktor anak itu sendiri maupun
lingkungannya. Untuk memahami lebih jauh tentang perkembangan kognitif anak, mari kita bahas
satu persatu pendapat kedua tokoh tersebut.

A. TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET DAN VYGOTSKY


1. Teori Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Sesuai dengan kemampuan yang dituntut, setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu
menjelaskan orientasi umum teori tahap perkembangan kognitif Piaget, teori kognitif Vygotsky.
Oleh karena itu, dalam bab ini akan disajikan materi tentang orientasi umum teori tahap
perkembangan kognitif Piaget, dan teori perkembangan kognitif Vygotsky anak usia dini, dan
pendekatan pemanfaatan otak.
a. Orientasi Umum Teori Piaget
Sebelum kita membahas tentang teori Piaget, ada baiknya kita mengenal siapa Piaget.
Piaget (baca: Piase) yang nama lengkap Jean Piaget adalah seorang ahli biologi yang lahir di
Neuchätel, Swiss pada tahun 1896. Ia tertarik mempelajari secara luas dan beragam jawaban-
jawaban anak yang berkaitan dengan masalah yang mereka hadapi. Secara khusus, Piaget
ingin mengetahui mengenai sifat-sifat pengetahuan dan cara anak-anak memperolehnya.
Guna menentukan darimana pengetahuan datang dan bagaimana
bentuknya dalam tingkatan usia yang berbeda, Piaget mengamati
kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh bayi dan anak-anak, serta
menggambarkan perbedaan-perbedaan logika yang memengaruhi
perilaku mereka. Ia juga mengawali penggunaan suatu prosedur yang
disebutnya sebagai metode klinis (clinical method), dimana ia memberi
anak-anak berbagai macam tugas dan masalah serta mengajukan
serangkaian pertanyaan berdasarkan setiap jawaban yang diberikan
Gambar 16. oleh anak. Berdasarkan jawaban anak yang beraneka ragam Piaget
merangkai pertanyaan lanjutan. Demikian terus-menerus ia merangkai
suatu tanya jawab yang saling berkesinambungan dan berantai dengan anak sehingga
rangkaian pertanyaan untuk setiap anak akan berbeda-beda berdasarkan jawaban yang
mereka berikan. Cara ini dilakukan oleh Piaget sebagai suatu langkah untuk menggali lebih
dalam proses berpikir yang secara khusus digunakan oleh anak. Hasil penelitian Piaget
menunjukkan bahwa cara anak berpikir dan mempelajari dunia disekitar mereka ternyata
begitu unik.
Cara anak mempelajari, mengingat, mendengar, dan mengamati dunia disekitar mereka
tidaklah pasif. Mereka memiliki rasa ingin tahu mengenai dunia disekitar mereka dan secara
aktif mencari informasi yang dapat membantu mereka memahami serta mengerti situasi
disekitar mereka. Misalnya, percakapan Ica seorang anak perempuan berusia 4 tahun yang
sedang mengamati matahari dengan ibunya seperti berikut.

Ica : “Bu … matahari kok adanya cuma siang, kalo malam enggak kelihatan. Apa dia juga
seperti kita tidur kalau malam, terus bangun kalau siang?”
Ibu : “Tidak nak karena matahari mengelilingi bumi”.
Ica : “Tapi kata mbok, matahari kalo malam dimakan naga”.
Ibu : “Bukan nak, mbok itu salah”.
Ica : “Ooh…. begitu”.
Keesokan harinya Ica kembali menemui ibunya dan bertanya:
“Bu, aku udah muter-muter bumi ini kok enggak bersinar seperti matahari ya?” (sambil
menunjukkan bola dunia yang ia pegang).

Percakapan sederhana tersebut memperlihatkan bagaimana seorang anak berusia 4


tahun mencoba memahami gejala alam yang ada disekitarnya. Untuk memenuhi rasa ingin
tahu mengenai gejala tersebut, ia aktif mengajukan pertanyaan pada orang lain disekitar yang
dianggap lebih tahu, melakukan percobaan dan mengamati efek yang muncul akibat
percobaan yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa anak adalah seorang pembelajar yang
aktif dan memiliki keingintahuan yang besar.
Sebagai seorang pembelajar yang aktif, anak tidak dengan begitu saja mengumpulkan
pengetahuan yang mereka pelajari dan menyimpannya sebagai suatu koleksi yang terisolasi,
melainkan anak secara bertahap mengkonstruk gambaran keseluruhan bagaimana dunia
saling berinteraksi. Misalnya, dengan mengamati makanan, mainan, dan objek-objek lain yang
ada di dekatnya selalu jatuh ke bawah (tidak pernah ke atas), mulai tumbuh kesadaran awal
dalam diri seorang anak mengenai gravitasi. Seorang anak mengamati di rumah ada mobil.
Ketika bermain ke rumah teman, ia menjumpai mobil tetapi dengan warna yang berbeda. Di
jalan dia juga melihat mobil dengan berbagai ukuran dan bentuk. Kemudian dari buku dan
media lain, dia mengamati berbagai jenis mobil. Dengan pengalaman ini, dalam diri anak mulai
tumbuh pengertian yang lebih kompleks mengenai kendaraan.
Piaget menyebutkan bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh individu dan berhasil
dilakukan, diorganisasikan sebagai suatu skema, yaitu sekumpulan pikiran atau kegiatan yang
sama serta terorganisasi. Pada awalnya skema anak secara alamiah sebagian besar terbentuk
perilaku. Dengan berlalunya waktu, skema tersebut berubah menjadi operasi mental dan
akhirnya berubah menjadi abstrak. Contoh berikut mencoba menggambarkan perubahan
skema yang terjadi. Skema yang dimiliki oleh seorang bayi adalah memasukkan segala sesuatu
ke dalam mulut. Skema ini digunakan untuk berbagai macam objek, termasuk memasukkan
ibu jari, putting susu ibu, dot, selimut, mainan, bahkan jari kaki. Sementara itu, Rani seorang
anak berusia 5 tahun mungkin memiliki skema untuk mengidentifikasi kucing, bisa
berdasarkan jumlah kaki, warna bulu yang dimiliki, suara yang ditimbulkan, dan makanan yang
digemari. Putri yang berusia 11 tahun dengan bertanya pada pamannya yang dokter hewan,
membaca dari berbagai buku dan ensiklopedi binatang serta sumber-sumber lain di internet
mengetahui bahwa kucing ternyata banyak sekali jenisnya, lamanya bertahan hidup berlainan,
ada yang berbulu amat tebal dan ada yang tidak. Bahkan Putri mengetahui asal-usul
terbentuknya jenis tertentu.
Menurut Piaget seorang anak akan memperoleh banyak dan lebih banyak lagi skema,
baik dari situasi yang sudah biasa ia kenal maupun situasi yang baru. Dalam prosesnya, anak
akan menyaring skema-skema yang mereka miliki dan mulai menggunakan skema yang ada
serta mengombinasikannya satu sama lain. Pada akhirnya skema individual yang dimiliki oleh
setiap orang akan diintegrasikan ke dalam sistem proses mental yang lebih luas atau disebut
juga operasi (operation). Skema tersebut akan mengarahkan anak menuju cara berpikir yang
lebih canggih dan logis. Misalnya, Nabil yang berusia 2 tahun mengenali kucing berdasarkan
jumlah kaki saja, sedangkan Rani mengenali kucing berdasarkan jumlah kaki, suara yang
dikeluarkan, dan besarnya badan. Meskipun kedua anak mampu mengenali binatang kucing,
namu Nabil mengenali hanya berdasarkan satu ciri saja, sementara Rani secara bersamaan
mampu mengenali kucing berdasarkan tiga karakteristik sekaligus. Bersamaan dengan makin
bertambahnya perolehan pengetahuan maka skema mereka pun akan makin bertambah
kompleks.
Perolehan pengetahuan anak makin bertambah karena mereka melakukan percobaan,
penemuan baru, dan modifikasi cara berpikir yang sudah mereka miliki (lama) untuk
digabungkan dengan pengetahuan yang baru. Kemampuan seseorang untuk menangani
informasi baru melalui cara-cara tersebut oleh Piaget disebut sebagai adaptasi (adaptation).
Menurut Piaget, adaptasi terdiri dari dua kegiatan, yaitu asimilasi (assimilation) dan
akomodasi (accomodation). Asimilasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk menerima
(mengambil) informasi baru dan mencocokkannya dengan struktur yang sudah ada. Misalnya,
Nabil mengetahui bahwa binatang berkaki empat itu kucing. Ketika tiba-tiba dia melihat ada
binatang berkaki empat berjalan dihadapannya, ia akan menyebut binatang tersebut sebagai
kucing pula.
Akan tetapi, seringkali tidak mudah bagi anak untuk menginterpretasikan atau memaknai
suatu objek atau kejadian atau informasi baru hanya dengan mengandalkan skema yang
sudah mereka miliki. Dalam keadaan seperti ini ada kemungkinan akan terjadi proses
akomodasi (accomodation), yaitu anak akan mengubah atau memodifikasi skema-struktur
kognitif yang sudah ada untuk disesuaikan dengan objek atau kejadian atau informasi baru
dan membentuk skema baru agar sesuai. Kita kembali pada kasus Nabil. Ketika Nabil melihat
hewan berkaki empat yang lewat dihadapannya yang disebutnya sebagai kucing, ibu Nabil
melihat dan memperbaiki pengetahuan yang dimiliki Nabil dengan mengatakan, “Bukan nak,
itu anjing. Lihat badannya lebih besar dan bunyinya guk…guk…”. Melalui proses ini Nabil
melakukan akomodasi dan membentuk skema baru dalam kognisinya. Ia memiliki
pengetahuan baru bahwa hewan berkaki empat dan berbunyi guk…guk… adalah anjing BUKAN
kucing.
Meskipun skema anak-anak berubah seiring dengan berjalannya waktu, kedua proses
tersebut (asimilasi dan akomodasi) yang membuat perolehan skema semakin kompleks dan
mengalami modifikasi, saling berperan dalam proses perkembangan. Asimilasi dan akomodasi
saling bahu-membahu seiring dengan makin berkembangnya pengetahuan dan pengertian
anak mengenai dunia disekitar mereka. Anak-anak memaknai setiap informasi baru
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (asimilasi). Namun, pada waktu yang bersamaan anak
juga melakukan modifikasi pengetahuan yang telah dimiliki berdasarkan pengetahuan baru
(akomodasi). Akomodasi jarang terjadi tanpa kemunculan asimilasi.
Dengan demikian, dapat dimengerti bila anak membutuhkan adanya pengalaman baru
agar selalu terjadi proses modifikasi skema (akomodasi). Guna menimbulkan keadaan
tersebut, orang dewasa disekitar anak diharapkan mampu menumbuhkan minat anak untuk
melakukan eksplorasi (misalnya mengajak anak mengamati bagaimana tunas bisa tumbuh dari
biji kacang hijau) dan manipulasi dunia sekitar mereka (misalnya melihat perbedaan
kecepatan tumbuh tunas kacang hijau yang terkena sinar matahari dan yang tidak),
mendorong anak untuk melakukan percobaan sederhana (misalnya mengajak anak
membuktikan bahwa kacang panjang yang dimasak itu asalnya dari kacang yang memang
secara harafiah bentuknya panjang; air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah),
mempelajari ciri-ciri fisik dari volume dan berat, menemukan prinsip-prinsip hubungan. Pada
gilirannya kedua proses baik asimilasi dan akomodasi harus berjalan terus-menerus agar
terjadi ekuilibrasi (equilibrium) dan pertumbuhan kognitif.
Keadaan ekuilibrasi terjadi saat anak dapat menjelaskan pengetahuan baru berdasarkan
skema yang sudah mereka miliki. Misalnya dalam kasus Nabil, saat ia mengatakan hewan
berkaki empat sebagai kucing sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Namun, situasi ini
tidaklah terjadi secara terus-menerus karena dalam kehidupan sehari-hari seringkali anak
menemui kesulitan untuk menjelaskan suatu pengalaman baru berdasarkan skema atau
struktur kognitif yang sudah mereka miliki. Kondisi ini menimbulkan situasi disekuilibrium
(disequilibrium), yaitu munculnya keadaan mentak “tidak nyaman” pada waktu yang (sangat)
singkat. Keadaan ini mendorong anak mencocokkan pengalaman baru berdasarkan
pengamatan sehingga masuk akal. Dengan mengatur ulang, mengorganisasi ulang, atau
melakukan integrasi skema yang lebih baik (dengan kata lain melalui akomodasi), anak-anak
biasanya menjadi lebih mengerti dan dapat menerangkan dengan tepat teka-teki yang
menghadang. Misalnya, dalam kasus Nabil, ketika ia melihat hewan berkaki empat yang lewat
dihadapannya sebagai kucing, kemudian mengatakan bahwa itu anjing. Pada awalnya akan
muncul keadaan “tidak nyaman” dalam struktur kognitifnya (Nabil mungkin akan berkata “Kan
… itu kucing bu … itu … ada kakinya empat … seperti punya Nabil”). Namun setelah ibunya
menerangkan perbedaan antara kucing dan anjing berdasarkan ukuran badan yang lebih besar
dan bunyi yang berbeda maka terjadi proses mengatur ulang pada struktur kognitif Nabil
sehingga terbentuk skema baru dan ia menjadi ekuilibrium. Pergerakan dari ekuilibrium
menjadi disekuilibrium dan kembali menjadi ekuilibrium dikenal sebagai ekuilibrasi
(equilibration). Ekuilibrasi dan dorongan intrinsik anak untuk mencapai keadaan ekuilibrium
akan meningkatkan perkembangan berpikir dan pencapaian pengetahuan kearah yang lebih
kompleks.
Piaget mendapatkan kenyataan bahwa bagaimanapun logika berpikir seorang anak
ternyata amat luas terbentang. Ia mengamati bahwa ternyata cara berpikir seorang anak
berbeda dengan cara berpikir seorang remaja dan juga berbeda dengan orang dewasa.
Dengan demikian dapat dimengerti mengapa menurut Piaget perkembangan kognitif manusia
terdiri atas tahapan (stages). Proses berpikir dan bernalar secara kualitatif berbeda untuk
setiap tingkatan. Perubahan kualitatif dalam berpikir pada anak dipengaruhi baik oleh
kematangan neurologis maupun kemunculan dari integrasi proses pembentukan pengetahuan
dan berpikir.
Menurut Piaget, tahapan (stages) adalah suatu periode waktu dimana cara berpikir dan
perilaku anak dalam situasi yang beragam menggambarkan struktur mental tertentu yang
mendasari. Misalnya, ketika seorang anak berusia 4 tahun diminta untuk membandingkan
jumlah kelereng dari gambar berikut. Anak akan menunjuk kelereng pada paris b, yang
jumlahnya lebih banyak.

Gambar 17.

Namun, saat anak sudah berusia 8 tahun, ia mengetahui bahwa jumlah kedua baris
kelereng tersebut adalah sama. Menurut Piaget hal ini dapat timbul karena struktur mental
yang bekerja pada anak berusia 4 tahun berbeda dengan struktur mental anak usia 8 tahun.
Menurut Piaget tahapan (stages) perkembangan yang dikemukakannya memiliki
beberapa karakteristik berikut :
1) Tahapan (stage) merupakan keseluruhan yang terstruktur dalam keadaan ekuilibrium.
Perpindahan antara satu tahap ke tahap berikutnya mencakup perubahan struktural
yang lebih bersifat kualitatif (perubahan dalam jenis atau macam) daripada kuantitatif
(perubahan dalam derajat, jumlah, kecepatan, atau efisiensi).
2) Tiap-tiap tahap diperoleh, ditambahkan, dan ditransformasikan dari tahap sebelumnya,
serta merupakan persiapan untuk tahap selanjutnya. Dalam persiapan menuju tahap
berikut kemampuan tahap yang sekarang telah selesai diolah. Artinya, sekali suatu
tahap telah berhasil dicapai maka tahap sebelumnya yang mendasari tahap sekarang
telah selesai dicapai. Sebagai akibatnya, bila seseorang telah menguasai suatu tahap
maka dia tidak dapat mundur ke tahap sebelumnya. Misalnya, pada saat berusia 1
tahun seorang anak mulai belajar menendang dan melempar bola, tetapi arah dan
ketepatannya tidak menjadi tujuan. Pada saat berusia 6 tahun anak tetap membawa
keterampilan menendang dan melempar bola, namun sudah mulai terarah dan memiliki
tujuan serta dikombinasikan dengan kemampuan lain, misalnya ketepatan menuju
sasaran.
3) Setiap tahap mengikuti urutan yang tidak berubah. Tidak ada satu tahapan yang dapat
diloncati. Setiap tahap dipersiapkan dan diperoleh berdasarkan kemampuan-
kemampuan tahap sebelumnya.
4) Setiap tahap bersifat universal, artinya semua individu dibelahan dunia yang berbeda
memiliki urutan tahapan yang sama.
5) Tiap-tiap tahap mencakup a coming-into-being and a being. Ada masa persiapan dan
masa akhir yang akan dicapai dalam setiap tahap. Atau dapat dikatakan ada masa tidak
stabil yang mengarah pada masa yang lebih stabil.

b. Tahapan Perkembangan Kognitif Piaget


Untuk memahami setiap tahapan, dibutuhkan pengetahuan mengenai darimana asalnya
dan bagaimana bekerjanya tahapan tersebut. Setiap tahap berperan baik sebagai buah dari
tahap sebelumnya maupun bibit bagi tahap yang akan datang. Tahapan-tahapan
perkembangan kognitif tersebut, selain memiliki ciri-ciri seperti yang telah diuraikan, juga
dapat dibagi ke dalam empat tahap (Miller, 1993; Dodge dkk., 2002; Devitt & Ormrod, 2002;
Papalia dkk., 2004). Keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tahap sensorimotor (sensorimotor period), dimulai sejak lahir hingga kurang lebih usia 2
tahun.
2) Tahap praoperasional (preoperational period), dimulai sejak usia 2 th hingga kurang
lebih 6 atau 7 tahun.
3) Tahap operasi konkret (concrete operations period), dimulai sejak usia 6 atau 7 tahun
hingga kurang lebih usia 11 atau 12 tahun.
4) Tahap operasi formal (formal operations period), dimulai sejak usia 11 atau 12 tahun
hingga dewasa.

Secara umum gambaran tingkat perkembangan kognitif Piaget dapat dibuat bagan secara
ringkas seperti berikut.

Tahap Operasi Formal (Formal Operations Period)


Dimulai sejak usia 11 atau 12 tahun hingga dewasa
Proses berpikir logis sudah meliputi ide-ide abstrak, tidak lagi terbatas pada objek-objek
yang bersifat konkret

Tahap Operasi Konkret (Concrete Operations Period)


Dimulai sejak usia 6 atau 7 tahun hingga kurang lebih usia 11 atau 12 tahun
Cara berpikir logis yang menyerupai orang dewasa mulai muncul, namun masih dibatasi
oleh kemampuan penalaran yang sifatnya masih berdasarkan realitas konkret

Tahap Praoperasional (Preoperational Period)


Dimulai sejak usia 2 tahun hingga kurang lebih usia 6 atau 7 tahun
Berpikir simbolik dan bahasa mulai jelas terlihat untuk menggambarkan objek dan
kejadian, namun cara berpikir anak belum logis dan belum menyerupai cara berpikir
orang dewasa

Tahap Sensorimotor (sensorimotor Period)


Dimulai sejak lahir hingga kurang lebih usia 6 atau 7 tahun
Bayi memahami dunia melalui tindakan fisik dan nyata terhadap rangsang dari luar.
Perilaku berkembang dari refleks-refleks sederhana melalui beberapa tahap menuju
seperangkat skema yang terorganisasi (perilaku yang terorganisasi)

Gambar 18. Bagan Tingkat Perkembangan Kognitif dari Piaget (McDevitt & Ormrod (2002))

Batasan usia yang tertera merupakan perkiraan. Beberapa anak mungkin akan mencapai
suatu tahap sedikit lebih cepat dibandingkan rata-rata anak lain, sedangkan anak yang lain
mungkin mulai dalam usia yang sedikit lebih tua.
2. Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky
Dalam kegiatan belajar sebelumnya, Anda telah mempelajari teori perkembangan kognitif
dari Piaget. Sebagai perbandingan, dalam kegiatan belajar ini, kita akan membahas teori
perkembangan kognitif dari Vygotsky. Apa yang membedakan keduanya, dapat Anda ketahui
setelah mempelajari materi yang akan disajikan berikut ini.
a. Orientasi Umum Teori Vygotsky
Sebelum kita membahas tentang orientasi umum dari teori perkembangan kognitif
menurut Vygotsky, coba bersama-sama kita simak percakapan antara ibu dan seorang anak
perempuannya yang berusia 5 tahun berikut ini.

Ica : “Ibu…Ibu… ini apaan sih? Gimana bacanya?


Ma … ka… tambah en jadi mak …. En. Gitu ya bu?”
Ibu : “Coba Ica liat lagi! Baca pelan-pelan. Apa tadi? Ma … ka … terus.”
Ica : “Ma … ka … en. Kok en, sih bu? Makaaaen …”
Ibu : “Iya, terus. Coba pelan-pelan.”
Ica : “Makaeen. Oh, aku tahu. Makan. Iya makan. Hore … aku bisa.”
Ibu : “Iya betul. Pinter. Bacanya, makan. Coba baca sekali lagi pelan-pelan.”
Ica : “Ma … ka … tambah en. Jadi makan. Wah, aku bisa lho bu.”
Ibu : “Iya, benar. Nah, sekarang coba lihat kalimat selanjutnya. Jadi, apa tadi? Bagaimana
bacanya?”
Ica : “Jadi bacanya “Nana makan”. Terus yang ini, ini huruf apa ya bu?”
Ibu : “Coba lihat ini sama ndak dengan huruf yang tadi? Yang mana coba?”

Percakapan tersebut memperlihatkan bagaimana seorang ibu menuntun anaknya belajar


membaca sehingga anak itu sendiri yang menemukan jalan keluarnya. Kemudian ibu
membantu memperjelas apa yang telah berhasil ditemukan oleh anak, membantu
menghubungkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya.
Seorang tokoh yang menekankan pentingnya peranan komponen sosial dalam
perkembangan kognitif seorang anak adalah Vygotsky. Ia percaya bahwa orang dewasa dapat
meningkatkan perkembangan kognitif seorang anak dengan
melibatkan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang menantang dan
memiliki arti. Dengan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan dengan
anak berarti kita dapat menjalin hubungan yang membuat anak
menceritakan kembali pengalaman yang telah mereka lakukan.
Pertumbuhan kognitif seorang anak tidak semata-mata terjadi
karena hubungannya dengan objek, namun terutama dan pertama-
tama dalam hubungannya dengan orang lain. Baik itu orang dewasa
atau teman sebaya yang lebih berpengetahuan. Dengan kata lain,
lingkungan sosial dan budaya amat berperan dalam meningkatkan
perkembangan kognitif seorang anak. Berkenaan dengan hak tersebut, teori Vygotsky dikenal
juga sebagai teori yang mengambil titik pandang budaya atau biasa disebut sociocultural
perspective atau ada pula yang menyebutnya sebagai sociohistorical.
Siapa Vygotsky tersebut? Vygotsky yang nama lengkapnya Lev
Gambar 18. Semyonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896, tahun yang sama
dengan tahun kelahiran Piaget adalah seorang psikolog Rusia. Ia
meninggal pada tahun 1934 atau pada usia 37 tahun karena penyakit
tuberkulosa setelah masa pergulatannya yang hanya 10 tahun dalam bidang psikologi.
Vygotsky mengakui adanya faktor-faktor biologis yang memainkan peranan dalam
perkembangan seorang individu. Anak membawa karakteristik tertentu dan kecenderungan
tertentu dalam menghadapi situasi. Namun, ia telah menekankan peran lingkungan dan
terutama pada bagaimana lingkungan sosial anak dan lingkungan budayanya menyokong
pertumbuhan kognitif mereka. Hal ini dapat terjadi karena manusia selalu melekat pada
budaya dimana ia tinggal sehingga tingkah laku manusia tidak dapat dipahami bila dilepaskan
dari budayanya. Misalnya, seorang anak berusia 6 tahun yang tinggal di pedalaman Irian atau
kalimantan akan lebih terampil dalam mencari jejak di hutan dibandingkan anak Jakarta.
Sebaliknya, anak usia 6 tahun yang tinggal di Jakarta akan lebih terbiasa menggunakan
peralatan elektronik.
Menurut Vygotsky banyak proses berpikir berakar dari hubungan sosial yang dilalui oleh
anak dengan orang-orang lain. Misalnya, saat anak sedang bersitegang dengan kakak mereka
mengenai boleh atau tidak suatu acara televisi dilihat, saat anak bercerita dengan
orangtuanya mengenai kesulitan menghadapi pelajaran bahasa di sekolah. Mula-mula anak
berbicara dengan orang dewasa disekitarnya atau anak lain yang lebih banyak
pengetahuannya mengenai suatu hal. Kemudian, dalam prosesnya ia berhasil menemukan
bagaimana pendapat orang-orang disekitarnya mengenai kejadian atau suatu objek tertentu.
Dengan perkataan lain Vygotsky berpendapat bahwa proses mental yang lebih kompleks
dimulai sebagai kegiatan sosial (dalam istilah Vygotsky dikenal sebagai intramental atau within
minds). Misalnya, dalam contoh anak yang menemui kesulitan dalam pelajaran bahasa di
sekolah, ia bertanya kepada ibu dan bersama-sama dengan ibunya mengatasi kesulitan yang
ditemui (anak bicara dengan orang dewasa). Kemudian anak dengan bantuan ibunya berhasil
mengatasi masalah mereka dan menggunakan dalam situasi lain (dapat menginternalisasi dan
digunakan dalam situasi sosial secara independen).
Dalam pandangan Vygotsky dialog dengan orang lain merupakan kondisi yang mendasar
untuk meningkatkan perkembangan kognitif. Dari dialog ini, secara bertahap anak akan
memasukkan (menggabungkan) cara berpikir dan memahami dunia yang dilakukan bersama
dengan orang dewasa atau teman lain yang lebih berpengaruh. Proses aktivitas sosial
berkembang menjadi aktivitas mental internal disebut sebagai internalisasi.
Tidak semua proses mental tumbuh melalui interaksi anak dengan orang dewasa.
Ternyata beberapa proses berkembang sebagai hasil interaksi anak dengan teman sebayanya.
Misalnya, Putri yang berusia 4 tahun merundingkan dengan teman-temannya permainan apa
yang akan dilakukan saat istirahat sekolah tiba, siapa yang akan memulai permainan terlebih
dahulu, dimana mereka akan bermain. Menurut Vygotsky pembicaraan anak dengan teman
sebayanya akan membantu anak untuk melihat adanya sudut pandang yang berbeda
mengenai suatu situasi. Dengan kata lain, anak mampu melakukan internalisasi proses
argumentasi, yaitu kemampuan melihat suatu situasi dari beberapa sudut pandang yang
berbeda berdasarkan pemahaman anak. Baik kemampuan memecahkan masalah yang terjadi
maupun bahasa yang digunakan akan diinternalisasi oleh anak.
Seperti kita ketahui, dalam dialog digunakan bahasa. Penggunaan bahasa merupakan
suatu aspek yang amat penting dalam masyarakat. Pada awalnya menurut Vygotsky, anak
menggunakan bahasa lebih sebagai suatu alat untuk melakukan komunikasi. Bahasa lebih
dianggap sebagai suatu alat membina hubungan dengan lingkungan sosialnya daripada
sebagal alat berpikir. Seperti halnya dua orang melakukan komunikasi, anak juga
berkomunikasi dengan dirinya ketika berpikir. Pada bayi dan anak yang lebih kecil bahasa dan
berpikir merupakan dua hal yang terpisah. Namun, menjelang usia 2 tahun, bahasa dan
berpikir menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan.
Saat berpikir dan berbahasa mulai muncul maka akan timbul kemampuan berbahasa
yang oleh Vygotsky disebut sebagai bicara sendiri (self talk) atau dikenal juga sebagai bahasa
pribadi (private speed). Bicara sendiri atau bahasa pribadi ini ditandai dengan anak bicara
kepada diri sendiri dengan suara keras. Menurut Vygotsky, dengan bicara kepada diri sendiri,
anak belajar menuntun dan mengarahkan perilakunya sendiri melewati tugas-tugas dan
latihan yang sulit sebagaimana biasanya orang dewasa menuntun mereka. Misalnya, Rafi yang
berusia 2 tahun sedang bergumam sendiri. “hati … hati … ya! Jatuh, nanti jatuh”, saat sedang
berjalan di pinggir selokan. Hal ini terjadi karena beberapa saat sebelumnya, ibunya
mengatakan kepada Rafi untuk hati-hati berjalan agar tidak jatuh.
Bicara sendiri pada akhirnya akan mengembangkan bicara dalam hati (inner speech),
yaitu anak secara mental bicara kepada dirinya sendiri yang tidak terdengar orang lain.
Tujuannya tetap sama yaitu mengarahkan diri sendiri secara verbal untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan aktivitas, namun orang lain tidak dapat mendengar dan melihat aktivitas
mereka. Bicara sendiri dan bicara dalam hati, keduanya menggambarkan proses internalisasi
yang bersifat awal. Bersamaan dengan berlalunya waktu, anak secara bertahap
menginternalisasikan pengarahan yang pada akhirnya mereka bisa mengarahkan diri sendiri.

b. Interaksi Sosial dan Belajar pada Anak Usia Dini


Dalam hubungannya dengan anak-anak, orang dewasa saling berbagi pengertian
berkaitan dengan objek, kejadian, ataupun pengalaman. Misalnya, Rani menceritakan
pengalamannya dapat mewarnai gajah di sekolah kepada ayahnya. Dalam kaitan ini ayah
dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh anak, warna apa yang digunakan anak, selain gajah
apakah ada gambar lainnya, apakah temannya menggunakan warna yang sama atau tidak.
Sebaliknya anak mendapatkan pengetahuan bahwa ayahnya memperhatikan apa yang
dilakukannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ayahnya. Beberapa
pengertian disampaikan melalui cara yang beragam termasuk melalui bahasa (lisan, tulisan,
dan sebagainya), simbol, matematika, seni, dan teknologi, seperti komputer, kalkulator. Anak
secara bertahap melakukan interpretasi budaya yang ada dengan menginternalisasikan kata-
kata, konsep, simbol, dan bentuk-bentuk representasi lainnya yang digunakan oleh orang-
orang lain disekitar.
Percakapan informal yang terjadi antara Rani dengan ayahnya tersebut memainkan
peranan penting dalam membantu anak menginternalisasikan budayanya. Menurut Vygotsky
hal lain yang tidak kalah penting adalah pendidikan formal, tempat guru secara sistematis
menanamkan ide-ide, konsep, dan istilah-istilah yang digunakan berdasarkan disiplin
akademik yang berbeda (Vygotsky dalam McDevitt & Ormrod, 2002). Meskipun seperti halnya
Piaget, Vygotsky menekankan pentingnya anak menemukan sendiri pengetahuan (informasi)
yang ada di lingkungannya, namun Vygotsky juga melihat pentingnya memiliki orang dewasa
yang bertugas menerangkan penemuan-penemuan yang ada kepada generasi saat ini.
Menurut Vygotsky apa yang dilakukan anak dengan bantuan orang lain dapat memberikan
gambaran yang lebih tepat (akurat) mengenai kemampuannya dibandingkan jika mereka
mengerjakannya seorang diri. Bekerja bersama-sama dengan orang lain memberi anak
kesempatan untuk merespons terhadap contoh-contoh, saran-saran, komentar, pertanyaan,
dan tindakan orang lain.
Anak dapat mengerjakan tugas-tugas yang jauh lebih menantang bila mendapatkan
bantuan dari orang yang lebih terampil dan kompeten. Vygotsky membedakan tingkat
kemampuan seseorang menjadi dua yaitu tingkat kemampuan aktual dan tingkat kemampuan
potensial. Tingkat kemampuan aktual mengacu pada batas kemampuan yang dapat dicapai
oleh seorang anak saat memecahkan masalah secara mandiri, tanpa bantuan orang lain.
Sementara itu, tingkat kemampuan potensial mengacu pada batas kemampuan lebih tinggi
yang dapat dicapai oleh seorang anak saat memecahkan masalah dengan bantuan orang yang
lebih kompeten. Berkenaan dengan kedua jenis tingkat kemampuan tersebut, Vygotsky
menggunakan istilah zone of proximal development (ZPD) untuk menggambarkan suatu jarak
atau ruang antara perkembangan aktual (yang diperlihatkan melalui kemampuannya dalam
memecahkan masalah secara mandiri) dengan tingkat perkembangan potensial lebih tinggi
yang dapat dicapai anak (yang hanya dapat dicapai oleh anak dengan bantuan orang dewasa
atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu).
Dengan demikian, nampak bahwa ZPD, lingkungan atau orang lain diperlukan dalam
rangka membantu anak untuk pindah dari tingkat kemampuan aktual (saat ini) menuju tingkat
kemampuan lebih tinggi yang akan ia capai melalui pertolongan tersebut. Misalnya, Rani yang
baru berumur 5 tahun dan baru belajar membaca akan lebih memahami bacaannya bila
dibimbing oleh ibu atau kakaknya yang sudah kelas 5 SD, dibandingkan bila ia harus membaca
sendiri. Ica akan dapat memainkan biolanya dengan baik bila dibimbing oleh guru yang akan
mengingatkan cara ia meletakkan dagu bila ia melakukan kesalahan daripada ia berlatih
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan hanya akan diperoleh bila anak berinteraksi
dengan lingkungannya. Agar bantuan yang diberikan lingkungan berfungsi optimal terhadap
perkembangan anak, interaksi (hubungan) tersebut harus memiliki makna bagi anak sehingga
dapat terinternalisasi dengan baik. Bila interaksi tidak mencapai tahap internalisasi maka
pemahaman anak hanya akan bersifat aktual.
Guna mendapatkan gambaran yang sesungguhnya tentang perkembangan kognitif anak,
kita hendaknya melakukan penilaian terhadap kemampuan anak baik saat sedang bekerja
sendiri maupun saat bekerja dengan bimbingan. Perhatikan contoh berikut ini.

Rasyad yang berusia 6 tahun sedang mengerjakan hitungan penjumlahan seorang diri
Rasyad : “Ehm ... jadi 8 ditambah 9. Jadi berapa ya? ... delapan, eh ... sembilan ... terus
ditambah delapan. Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ... enam ... tujuh .... delapan.
Eh tadi berapa? Wah lupa nih”
Kemudian, ibunya membantu
Rasyad : “Terus gimana?”
Ibu : “Sekarang Rasyad hitung dulu jari tangan ibu ya? Coba mulai dari berapa?”
Rasyad : “Mulai delapan dulu ya bu? Coba aku hitung ya bu. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8”
Ibu : “Ya betul. Terus sekarang berapa yang harus dihitung?”
Rasyad : “Sekarang yang sembilan ya bu? Pake jari tanganku ya bu? 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9.
Nah, sekarang baru aku bisa nih. Aku hitung ya bu semuanya. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17. Wah semuanya ada 17 lho bu!”

Berdasarkan contoh kasus tersebut terlihat orang dewasa (seorang ibu) melihat dahulu
kemampuan anak. Ketika anak mengalami kesulitan barulah orang dewasa masuk
memberikan bimbingan sehingga anak dapat menampilkan keterampilan pada tingkat yang
lebih tinggi dibandingkan bila ia harus mengerjakannya seorang diri. Proses membangun dan
memahami pengetahuan baru disebut sebagai membantu meniti (scaffolding). Scaffold adalah
suatu bentuk struktur kogntif dimana anak memanjat secara perlahan-lahan dari satu daerah
(zona) ZPD kearah yang lebih tinggi. Bila penambahan sudah lebih stabil maka bantuan
scaffolding perlahan-lahan dilepas. Keterampilan melakukan scaffolding dapat dilatih oleh
guru dengan cara mempertajam dan meningkatkan kemampuan melakukan observasi anak
didiknya, serta memahami kemampuan belajar anak dan mampu mempertimbangkan hingga
tingkat mana kemampuan yang lebih tinggi akan diberikan pada anak. Tanpa memiliki
pemahaman tentang kemampuan bekajar anak, bantuan kita tidak akan berarti. Misalnya,
akan sia-sia saja bila anak berusia 5 tahun dilatih untuk mengerti rumus persamaan garis.
Selain itu, kegiatan bermain juga dapat meningkatkan kemampuan anak. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran di kelas, guru dapat membantu anak memperoleh berbagai
macam pengetahuan melalui kegiatan bermain. Melalui kegiatan bermain anak memiliki
kesempatan menyalurkan imajinasinya, seperti layaknya dalam kehidupan nyata. Dalam
proses bermain sesungguhnya anak belajar menggunakan pikiran untuk menuntun perilaku
mereka. Begitu anak menggunakan sesuatu sebagai pengganti objek lain (misalnya berpura-
pura bahwa kursi yang dijajarkan kebelakang adalah tempat duduk di kereta), mereka mulai
dapat membedakan antara suatu objek dengan pengertian yang sesungguhnya mereka
maksud serta respons representasi internal (konsep mengenai tempat duduk di kereta) dan
objek eksternal. Meskipun anak bermain, namun perilaku mereka harus sesuai dengan standar
atau harapan tertentu yang berlaku di masyarakat. Misalnya, ketika anak sedang
memperagakan orang yang sedang menyetir atau berperan sebagai guru maka mereka tahu
bagaimana seharusnya beraksi.
Disamping menambah pengetahuan, bermain juga memberi anak kesempatan untuk
menerapkan nilai-nilai praktis yang mereka tiru dari perilaku orang dewasa disekitarnya. Anak
mendapat kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan
dalam kehidupan mereka yang akan datang. Misalnya, dalam bermain, terutama bermain
peran anak dapat menjadi seorang dokter, guru, nenek, kakek tanpa takut merasa salah. Forst,
Shin, & Jacobs (McDevitt & Ormrod, 2002) menyarankan permainan yang sebaiknya ada di
sekolah untuk anak-anak usia 4-6 tahun sebagai berikut.
1) Bagilah ruang kelas ke dalam area kecil-kecil, misalnya ada sudut untuk boneka, bermain
peran, peralatan rumah tangga, sudut seni, dan sebagainya. Dengan demikian, anak
memiliki berbagai alternatif dalam bermain.
2) Gunakan mainan yang ada dalam kehidupan nyata (misalnya boneka, peralatan rumah
tangga, makanan dari plastik, mobil-mobilan, dan sebagainya) sehingga mainan tersebut
dapat menuntun anak untuk melakukan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Selain itu,
mainan yang ada harus dapat mendorong munculnya keterampilan tertentu, seperti lego,
balok kayu, yang dapat memancing kemampuan imajinasi anak.
3) Sediakan mainan dan peralatan dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terjadinya
konflik, namun jangan terlalu banyak sehingga memungkinkan anak untuk saling berbagi
dalam menggunakan mainan.

3. Pendekatan Pemanfaatan Otak


Seperti yang telah Anda pelajari sebelumnya, Piaget mengemukakan bahwa perkembangan
kognitif seorang anak terjadi menurut tahapan tertentu seseuai dengan tahapan perkembangan
usianya. Sebagai seorang yang tertarik pada biologi, Piaget percaya bahwa ada faktor
kematangan yang berpengaruh dalam perkembangan seorang anak, disamping anak memiliki
kemampuan untuk mengkonstruk pengetahuan yang ada di lingkungannya. Seorang anak belajar
karena adanya proses adaptasi dan organisasi dari struktur kognitif. Ketika terjadi disekuilibrium
maka terjadi proses adaptasi atau asimilasi dari struktur kognitif untuk mencapai keadaan
ekuilibrium, dan ketika proses menuju ekuilibrium inilah maka belajar terjadi.
Dengan perkataan lain, otak manusia tumbuh sebagai hasil dari proses belajar dan
pengalaman. Proses belajar akan mengubah struktur fisik dan otak. Jika seorang anak berhasil
mempelajari suatu keterampilan atau konsep baru maka terbentuklah suatu hubungan baru pada
saraf (disebut sinap). Otak terdiri dari dua belahan (hemisper) yaitu belahan otak kiri dan belahan
otak kanan. Agar otak anak berkembang secara optimal, anak harus banyak diberikan
kesempatan untuk mengalami hal-hal baru. Contoh kegiatan yang dapat mengembangkan kedua
belahan otak adalah mendengarkan musik, gambar-gambar yang bergerak dan berwarna, dll.

B. PERKEMBANGAN DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN YANG MENUNJANG ASPEK KOGNITIF ANAK


USIA DINI
1. Tahap Perkembangan Kognitif Anak usia 4-6 Tahun
Pada usia 4-6 tahun biasanya anak sudah masuk taman kanak-kanak dan beberapa sudah
masuk sekolah dasar. Perkembangan kognitif anak usia 4-6 tahun masuk ke dalam tahap
praoperasional (preoperational period). Apa yang sebelumnya telah diperoleh anak
dikembangkan kembali dalam bentuk representasi mental (mental representation). Anak
menstransfer gagasan tentang objek, hubungan, sebab-akibat, ruangan dan waktu ke dalam
perantara baru (representasi mental) dan struktur terorganisasi yang lebih tinggi. Kemampuan
untuk mempresentasikan objek dan kejadian secara mental (misal berpikir simbolis)
memungkinkan anak yang berada pada tahap praoperasional melakukan “cara pandang” yang
luas dibandingkan dengan yang telah mereka miliki sebelumnya (tahap sensorimotor). Pada taha
praoperasional untuk dapat mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah lewat, memimpikan
masa depan dan juga merangkai pengalaman-pengalaman yang telah dilalui untuk
menumbuhkan pengertian yang lebih kompleks mengenai dunia.
Kemampuan anak untuk melakukan representasi mental dapat terjadi karena anak sudah
dapat melakukan fungsi semiotik (semiotic function), yaitu kemampuan untuk menggunakan
suatu objek atau kejadian untuk menggantikan objek lain. Objek atau kejadian yang
menggantikan objek lain disebut juga sebagai signifier. Sebagai contoh, Nala yang berusia 4 tahun
menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah untuk menggambarkan pesawat, atau
menggunakan kata pesawat untuk menunjuk pesawat atau membayangkan bentuk pesawat
ketika akan menggambar pesawat atau menggunakan mainan pesawat untuk menggantikan
pesawat yang sesungguhnya.
Ada dua jenis signifier, yaitu simbol (symbol) dan sign. Simbol memiliki beberapa persamaan
dengan objek atau kejadian yang digantikannya. Selain itu, simbol juga memiliki kemiripan
dengan objek atau kejadian yang ditiru. Simbol biasanya muncul dalam bermain simbolik.
Misalnya menggunakan kasur yang sedang dijemur sebagai tenda, kursi yang dijajarkan
memanjang sebagai barisan kursi pesawat, bermain peran sebagai guru dan murid, dan
sebagainya.
Namun tidak demikian dengan sign secara kebetulan berhubungan dengan kejadian atau
objek tertentu. Sebenarnya tidak ada hubungan antara kata “lemari” dengan kotak besar yang
berisi baju dan memiliki kaki empat buah, kecuali bahasa yang kita gunakanlah yang
menunjukkan hubungan antara kedua hal tersebut. Gagasan bahwa kata atau sign yang lain
secara kebetulan menunjukkan atau berhubungan dengan sesuatu bukanlah suatu hal yang
mudah untuk dimengerti oleh anak. Anak kecil berpikir bahwa nama objek sama melekatnya
seperti yang nampak pada warna atau bentuk. Jika ditanya kenapa durian disebut durian maka
anak kecil akan menjawab bahwa karena kelihatan seperti durian, harum seperti durian dan
rasanya seperti durian, jadi kita sebut durian.
Berpikir representasional memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan pada tahap
sensorimotor, yaitu lebih cepat dan fleksibel. Dengan berpikir representasional kita dapat
menghadapi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang dalam waktu yang cepat. Selain itu, kita
juga dapat mengkombinasikan bagian-bagian untuk menciptakan ide-ide yang sebenarnya tidak
ada dalam kenyataan. Misalnya, merekonstruksi manusia luar angkasa, dinosaurus.
Berkenaan dengan kemampuan representasional, Piaget tidak sependapat dengan
pandangan umum yang menyatakan bahwa sumber dari berpikir representasional adalah
kemampuan untuk menggunakan kata-kata. Piaget berpendapat sebaliknya. Perkembangan
berpikir representasional memungkinkan penggunaan kata-kata atau signifier lainnya. Dengan
demikian, menurut Piaget berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas daripada bahasa. Bahasa
terutama adalah cara untuk mengekspresikan pikiran. Misalnya, saat ingin mengajarkan
penggunaan kata “lebih banyak” maka ibu tidak menerangkan konsep-konsep dasar kuantitatif
apa yang melatarbelakangi penggunaan kata tersebut, tetapi langsung pada penggunaan
praktisnya.
Meskipun berpikir menggunakan simbol dan sign adalah suatu cara yang lebih canggih
dibandingkan dengan berpikir secara sensorimotor, namun masih terdapat beberapa
keterbatasan. Berikut ini beberapa karakteristik yang juga merupakan keterbatasan. Berikut ini
beberapa karakteristik yang juga merupakan keterbatasan anak pada tahap praoperasional, yaitu:
a. Egosentrisme (egocentrism)
Tidak sama dengan egois. Istilah ini merujuk pada ketidakmampuan anak untuk melihat
sesuatu dari sudut pandang orang lain. Mereka masih cenderung merasa, memahami, dan
menginterpretasi dunia berdasarkan diri sendiri. Hal ini mengakibatkan anak tidak dapat
mengambil sudut pandang (perspektif) orang lain. Misalnya, pulang dari sekolah Ica yang
berusia 5 tahun bercerita pada ibunya. “Dia dipukul pake itu lho!”. Tanpa menghiraukan apa
yang dimaksud dengan “dia” atau “itu” padahal ibunya tidak mengerti karena tidak berada
ditempat yang sama.
b. Rasa bingung antara kejadian-kejadian fisik dan psikologis (semilogical reasoning)
Anak mencoba menerangkan kejadian-kejadian alam dengan perilaku manusia. Mereka
berpikir bahwa pikiran memiliki realitas fisik dan objek di sekeliling mereka itu memiliki
kemampuan berpikir, serta juga memiliki perasaan. Anak pada tahap ini berpikir bahwa
matahari dan bulan, seperti juga manusia, hidup dan memiliki kegiatan. Misalnya, matahari
terbit karena manusia juga memulai kegiatannya.
c. Ketidakmampuan melakukan konservasi (lack of conservation)
Anak-anak percaya bahwa perubahan dalam jumlah terjadi saat bentuk dari benda
diubah atau diatur kembali penempatannya, meskipun tidak ada yang ditambahkan atau
diambil.

Apakah gelas A dan C memiliki jumlah air yang sama setelah air dari gelas B dituangkan ke dalam
gelas C?

d. Ketidakmampuan membalikkan kejadian (irreversibility)


Anak tidak mampu membalikkan secara mental serangkaian kejadian, transformasi, atau
langkah-langkah penalaran. Misalnya, Rani sebenarnya ia melihat proses perubahan bentuk
dari bulat menjadi panjang, namun ia tidak mampu melihat proses perubahan tersebut.
e. Lebih mempercayai persepsi dibandingkan logika
Anak lebih melihat pada apa yang nampak atau tergambar saat mengambil suatu
kesimpulan. Misalnya, Kiki yang berusia 4 tahun melihat gambar dalam buku cerita seorang
anak sedang tersenyum memegang boneka hadiah ulang tahun dari kakeknya. Dalam cerita
dinyatakan bahwa anak tersebut merasa sedih karena mendapatkan hadiah yang tidak sesuai
dengan keinginannya. Oleh karena ingin menghormati kakeknya, anak tersebut tersenyum
seperti yang nampak dalam gambar. Saat melihat anak dalam gambar yang sedang tersenyum,
Kiki tidak dapat menangkap inti dari keseluruhan cerita dikaitkan dengan gambar yang
nampak.
f. Centration
Jika ada dua atau lebih ciri dari dimensi fisik suatu benda muncul maka anak hanya
mampu memusatkan pada satu ciri dimensi saja. Misalnya, saat air dituangkan dari dalam
gelas yang berukuran tinggi dan kurus ke dalam gelas pendek dan lebar, anak mengatakan
bahwa jumlah air sekarang lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya. anak Hanya
berfokus pada jumlah air yang nampak lebih sedikit (pendek) pada gelas kedua, tanpa melihat
bentuk gelas kedua juga lebih pendek dan lebar.
g. Klasifikasi tunggal (single classification)
Anak hanya dapat menggolongkan (melakukan klasifikasi) objek berdasarkan satu sudut
pandang yang ada saat ini saja. Misalnya, seorang anak menolak bahwa ibunya dapat menjadi
seorang dokter.
h. Berpikir transduktif (transductive reasoning)
Yaitu penalaran yang melibatkan kombinasi fakta-fakta yang saling tidak berhubungan.
Misalnya, menyimpulkan terjadinya hubungan sebab-akibat secara sangat sederhana, yaitu
hanya didasarkan pada kenyataan bahwa dua kejadian muncul saling berdekatan bersama-
sama. Contohnya, seorang anak melihat bahwa ibunya baru saja memberikan uang pada
pengemis yang datang ke rumah dan setelah itu ia melihat ibunya diare. Ia kemudian
berkesimpulan bahwa ibunya diare karena memberikan uang kepada pengemis.

Keterbatasan tersebut mempengaruhi hubungan anak dengan lingkungan sosial dan


kejadian-kejadian disekitarnya. Penilaian mengenai apa yang baik dan buruk atau pertimbangan
moral dalam kehidupan sehari-hari juga dibatasi oleh keterbatasan perkembangan kognisinya.
Anak pada tahap praoperasional memandang benar-salah hanya berdasarkan fakta yang nampak
di luar (eksternal) dan tidak mampu melihat fakta yang sifatnya lebih internal, seperti motivasi.
Tahap perkembangan moral anak yang seperti ini disebut sebagai tahap morality of constraint.
Dalam pandangan anak pada tahap praoperasional memecahkan 5 piring ketika mencoba
membantu ibu membereskan piring dinilai lebih bersalah daripada memecahkan 1 piring ketika
mencoba mencuri kue di meja.
Dengan mengetahui ciri-ciri tersebut, diharapkan kita dapat lebih memahami mengapa
seorang anak yang berusia 4-6 tahun memiliki cara berpikir yang tidak sama dengan anak yang
lebih besar. Lebih jauh lagi, kita juga dapat mencari cara yang lebih tepat dalam mengajarkan
satu hal.

2. Aspek Perkembangan Kognitif Anak Usia 4-6 Tahun


Menurut Piaget, pada usia 3-6 tahun anak berada pada masa praoperasional. Pada masa ini
anak sudah dapat berpikir dalam simbol, namun belum dapat menggunakan logika. Pada masa ini
anak juga sudah dapat berpikir mengenai sebuah benda, orang atau kejadian walaupun tidak
sedang berada atau terjadi di depan mereka.
Berpikir dengan simbol berarti anak sudah dapat menggambarkan berbagai hal dalam
pikirannya tanpa kehadiran benda tersebut. Misalnya, seorang anak menginginkan es krim. Tanpa
harus melihar es krim, ia sudah dapat menggambarkan bentuk es krim sampai pada rasanya.
Menurut Piaget, simbol yang terpenting adalah kata-kata, yang kita ucapkan, kemudian kita
tuliskan. Pengetahuan akan simbol ini membuat kita dapat mengingat bentuk, kualitas, dan
bahkan membicarakannya dengan orang lain disekitar kita. Oleh karena itu, kemampuan berpikir
simbolis ini merupakan kemajuan besar setelah anak melalui tahap sensorimotor.
Pada fungsi, anak sudah mengerti bahwa satu tindakan akan mengakibatkan hal yang lain
walaupun ia belum mengerti hukum sebab akibat secara jelas. Maksudnya adalah anak dapat
mengerti bahwa ia perlu menekan saklar bila ingin menyalakan lampu. Ia belum dapat mengerti
bahwa saklar mempunyai aliran listrik menuju lampu yang membuatnya menyala, tetapi ia sudah
dapat melihat ada hubungan diantara keduanya.
Tahapan praoperasional menurut Piaget memiliki beberapa kelemahan. Hal ini menunjukkan
beberapa ketidakmatangan yang dimiliki anak usia 4-6 tahun apabila dibandingkan dengan
tahapan sesudahnya. Namun beberapa penelitian terbaru tampak melihat kekurangan-
kekurangan ini dari sisi yang berbeda. Kelemahannya adalah centration, irreversibility, dan
keterbatasan ketiga adalah anak pada masa ini terpaku pada keadaan daripada perubahan,
transductive reasoning, egosentrism. Kelemahan-kelemahan ini sudah dijelaskan lebih rinci pada
kegiatan belajar di atas.

3. Kegiatan yang Mengembangkan Kemampuan Berhitung


Anak usia 4-6 tahun biasanya sudah mulai masuk sekolah atau mengikuti kegiatan
pengembangan anak usia dini. Mereka mulai dikenalkan dengan berbagai konsep dasar untuk
berhitung. Konsep-konsep yang diajarkan pada usia ini merupakan konsep dasar angka dan
berhitung, mereka belum dikenalkan pada operasi hitung yang lebih kompleks. Berdasarkan teori
tersebut, ada 4 prinsip dasar yang dapat dikembangkan untuk mengenalkan anak kepada konsep
berhitung. Keempat prinsip dasar tersebut adalah:
a. The One-One Principle
Dalam mengembangkan kemampuan berhitung pada anak, angka yang akan diajarkan
hendaknya disebutkan semua satu per satu, tanpa pengulangan, pengurangan, atau
perhentian. Misalnya menghitung dari satu sampai lima maka sebutkan semua angka ; satu,
dua, tiga, empat, lima. Semua angka ini harus disebutkan tanpa ada yang diulang agar anak
dapat mengingat urutannya dengan tepat. Mulailah dari angka yang kecil, semakin lama
semakin besar.
b. The Stable-Order Principle
Berdasarkan prinsip ini maka bila kita hendak mengajarkan anak menghitung jumlah
maka urutan satu, dua, tiga dan seterusnya harus diucapkan dengan benar sesuai dengan
urutannya. Apabila hal ini dilakukan terus-menerus maka anak secara otomatis akan
mengingat urutan angka yang benar dalam menghitung jumlah. Jangan sekali-sekali
mengganti menjadi tiga, dua, satu, atau mengacaknya.
c. The Cardinal Principle
Guru harus ingat untuk selalu mengulang angka terakhir atau jumlah benda yang
dihitung. Misalnya, menghitung 3 apel maka berdasarkan prinsip stable-order, harus disebut
satu per satu yaitu satu, dua, tiga dan guru harus menekankan pada angka 3, terakhir menjadi
satu, dua, tiga … tiga apel.
Penelitian menemukan bahwa bila guru selalu melakukan hal ini, anak akan belajar untuk
mengerti jumlah dengan lebih cepat. Anak yang terbiasa dengan metode seperti ini akan
jarang sekalu berkata “satu … dua … tiga… lima”. Ia pun akan bisa cepat menangkap kesalahan
guru apabila guru salah mengucapkan angka.
d. The Order-Irrelevance Principle
Penting juga bagi anak untuk mengerti bahwa benda mana yang dihitung terlebih dahulu
tidaklah menjadi masalah sehingga anak tidak terpaku pada bendanya, melainkan terbiasa
dengan angka 1. Misalnya, menghitung buah apel, jeruk, mangga. Anak bisa mulai dari apel,
kemudian jeruk, kemudian mangga atau urutan yang lain.

4. Kegiatan yang Mengembangkan Kemampuan Konsep


Essa (1996) menambahkan ada beberapa hal yang sebaiknya dikembangkan dalam
pendidikan anak usia 4-6 tahun, yaitu kemampuan konsep yang terdiri dari klasifikasi, seri,
konsep waktu, dan konsep spasial.
a. Klasifikasi
Klasifikasi adalah kemampuan untuk memilih dan mengelompokkan benda berdasarkan
kesamaan yang dimiliki. Untuk dapat melakukan klasifikasi, anak harus mempunyai
kemampuan dalam melihat persamaan dan perbedaan benda. Klasifikasi ini melibatkan dua
kegiatan yaitu memilih benda dan mengelompokkan benda ke dalam kelompok yang sesuai.
Kemampuan klasifikasi ini amat berguna bagi anak untuk mengembangkan
kemampuannya dalam menyatukan beberapa informasi yang berbeda yang ia dapatkan dari
lingkungan atau yang ia punyai di kepalanya. Kemampuan ini membuat kita mempunyai
kebiasaan untuk menghadapi lingkungan secara ekonomis sehingga kita tidak selalu harus
melalui tahap penyesuaian diri setiap kita menemukan kejadian atau benda baru.
Hal-hal yang dapat dijadikan materi untuk klasifikasi adalah sebagai berikut :
1) Mengelompokkan daun-daun yang ada disekitar kita berdasarkan bentuknya atau
warnanya. Misalnya kumpulkan daun yang bentuknya menyerupai tangan, atau
daun yang berwana merah, dll.
2) Pelajaran seni seperti bermain drama.
3) Mengelompokkan berbagai macam batu.
b. Seri
Kemampuan mengembangkan serial adalah kemampuan anak untuk menaruh benda
atau kejadian sesuai dengan urutan yang benar. Membuat serial ini bisa dari benda yang
terpendek hingga terpanjang, rasa paling manis sampai paling asam, atau benda-benda lain
yang ada disekitar hidup anak.

c. Konsep Waktu
Walaupun pada usia ini anak sudah dapat membedakan waktu, seperti kemarin atau hari
ini, namun konsep mereka masih amat terbatas pada hal-hal yang bersifat konkret. Oleh
karena itu, akan amat sia-sia bila kita mengajarkan konsep waktu pada anak dengan jam atau
dengan berkata “kita akan istirahat setengah jam lagi” atau “besok kita pergi ke kebun
binatang”. Yang dapat kita lakukan adalah dengan berkata “setelah membaca buku ini, kita
cuci tangan dan makan siang” atau “kamu pulang sekolah, bermain, makan malam, tidur lalu
bangun besok pagi, pergi ke sekolah. Nah, kita berangkat ke kebun binatang”. Setelah usia 7
atau 8 tahun, barulah anak dapat mengerti konsep waktu secara abstrak.
Pada usia ini, anak sudah harus diperkenalkan pada keteraturan, maksudnya adalah
waktu konsisten atau jadwal yang dipergunakan di sekolah. Misalnya, waktu belajar di
kelompok besar, waktu bermain di luar, waktu makan, dan seterusnya. Apabila waktu itu
dijalankan secara konsisten tiap hari maka akan timbul perasaan waktu pada anak.
Anak juga perlu diperkenalkan pada kata-kata yang sering digunakan dalam waktu,
seperti sebelum, setelah, mulai, berhenti, pertama, kedua, terakhir, lebih dulu. Anak juga
dapat diperkenalkan dengan waktu sebelumnya, misalnya dengan menjelaskan apa saja yang
dilakukan sebelum ia berangkat sekolah atau malam sebelumnya.

d. Konsep Spasial
Konsep spasial menghubungkan antara orang dan benda, saat mereka bergerak dan
menggunakan ruangan yang ada disekitarnya. Guru dapat mengajarkan anak konsep ini
dengan menggunakan sebanyak mungkin benda disekeliling anak. Misalnya, berlari menuju
guru, berdiri di depan meja, berlari mengelilingi karpet.

5. Kegiatan yang Mengembangkan Kemampuan Bahasa


Mulai usia 3 tahun, bahasa anak sudah mulai berkembang menuju kemampuan berbahasa
orang dewasa. Mereka sudah dapat membedakan masa lalu dan masa yang akan datang dalam
berbahasa (Papalia, 1993). Penggunaan kata-kata juga semakin tepat, misalnya penggunaan kata
benda, sifat, bentuk tunggal, dan bentuk jamak. Pada usia 4-5 tahun, anak akan dapat
menggunakan 4 atau 5 kata dalam kalimatnya. Mereka juga sudah dapat menggunakan kata
sambung seperti: dan, untuk, bagi, dan yang sejenisnya. Memasuki usia 6-7 tahun, kalimat ini
akan semakin kompleks dan gramatikalnya juga semakin kompleks. Beberapa contoh kegiatan
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Daftarku – Daftarmu
Beri anak kertas bergaris dan pensil, dan katakan bahwa Anda ingin minta tolong anak
untuk mencatat barang-barang yang akan dibeli. Minta anak mencatat “daftar belanja” dari
barang-barang yang akan dibeli. Anak tidak perlu membuat tulisan yang sesungguhnya. Jika
anak membuat coretan-coretan yang tidak berarti atau membuat benang kusut itu sudah
cukup. Lihat hasil “tulisan” anak dan tunjuklah salah satu coretan, serta katakan: “waah kamu
sudah bisa buat huruf o ya”. Anak akan merasa bangga dan biasanya akan mengulangi coretan
tersebut. Ajak anak membuat berbagai daftar lain seperti nama sepatu, nama saudara sepupu,
dll.
b. Satu Kata – Setiap Kali
Ajak anak menamai benda-benda yang ada disekelilingnya, bisa mulai dari yang ada di
kamar tidurnya. Buat satu kata dari benda yang ada disekitar anak, misalnya buku. Tulis kata
tersebut pada selembar kertas dengan huruf yang besar. Tempel tulisan tersebut pada benda
yang dimaksud. Keesokan hari atau bila anak sudah mulai tertarik (perlu kesabaran untuk
membuat anak menjadi tertarik), minta ia meniru tulisan yang ditempel tersebut pada kertas
kosong. Jika anak belum dapat menulis sendiri, buat tulisan dari garis-garis (putus-putus) yang
membentuk kata tersebut, sehingga anak tinggal menyambungkan, misalnya: ......... buat
contoh kata buku dengan garis putus-putus. Minta anak menyelesaikan tulisan tersebut. Beri
nama benda yang lain dan lakukan hal yang sama seperti di atas. Demikian lakukan setiap hari,
seterusnya satu benda satu hari.
Contoh kegiatan yang dilakukan di atas dapat memancing beberapa kemampuan, seperti:
memperbanyak perbendaharaan kata anak, mengembangkan keterampilan menerapkan kata-
kata baru, mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih kompleks, mempersiapkan
keinginan gemar dan mampu membaca. Contoh kegiatan di atas dapat dikembangkan dengan
kreativitas sendiri. Ini hanyalah beberapa contoh yang dapat digunakan sebagai inspirasi.

Anda mungkin juga menyukai