Anda di halaman 1dari 18

Budaya Barat Dan Fashion (Mode):

Surakarta Masa Kolonial

Iklan Pembuatan Pakaian di Surat Kabar Kawan Kita Jang Toeloes (Sumber: Surat Kabar Kawan Kita
Yang Toeloes tahun 1918, Koleksi Bapak Bambang Surakarta)
“Aku Berbicara Lewat Pakaianku” (Dick Hebdige, Sub Culture: The Meaning Of Style, Routledge, 1979)
Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat di Pulau Jawa terjadi suatu perubahan yang mengarah kepada
suatu proses transformasi kebudayaan.[1] Proses perubahan kebudayaan yang menurut Sartono
Kartodirdjo[2] disebut sebagai proses modernisasi dapat terjadi karena diakibatkan oleh faktor-faktor pemicu antara
lain: pesatnya laju pertumbuhan penduduk, perkembangan sekolah Barat, liberalisasi perekonomian yang
meningkatkan arus migrasi penduduk asing dan arus investasi modal asing, pesatnya industrialisasi, pesatnya
pembangunan infrastruktur dan sistem komunikasi modern, pembaharuan sistem administrasi dan birokrasi
pemerintahan kolonial Belanda. Modernisasi kehidupan masyarakat perkotaan serta terjadinya diferensiasi dan
spesialisasi lapangan pekerjaan. Proses modernisasi yang diakibatkan karena terjadinya kontak secara intensif antar
unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh agen-agen perubahan yaitu elit birokrat dan elit ekonomi, serta elit
pribumi yang terdididik secara Barat yang lebih mengarah kepada dominasi kebudayaan Barat atas kebudayaan
agraris tradisional yang oleh Wertheim dimaksudkan sebagai proses Westernisasi.[3]
Dukungan pembuktian terjadinya proses dalam kehidupan masyarakat perkotaan di Surakarta pada masa kolonial
Belanda terekam dalam informasi-informasi yang dimiliki oleh perkembangan mode (fashion) terutama pakaian.
Sebagai salah satu bukti, perkembangan pakaian mempunyai kredibilitas sebagai alat perekam dinamika kehidupan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Fashion (mode) Sebelum Masuknya Kebudayaan Barat
Berpakaian, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis untuk melindungi tubuh dari panas, dingin,
bahkan serangan binatang, akan tetapi terkait dengan adat istiadat, pandangan hidup, peristiwa, kedudukan atau
status dan juga identitas. Pakaian merupakan salah satu penampilan lahiriah yang paling jelas dimana penduduk
dibedakan dengan yang lain dan sebaliknya menyamakan dengan kelompok lainnya.[4]
Sartono Kartodirdjo yang mengutip pernyataan HR van Heekren menyatakan bahwa berdasarkan bukti arkeologis,
di daerah Sulawesi, Kalimantan, Seram, Halmahera, Nias, dan pantai barat Irian Jaya telah ditemukan sisa-sisa
kehidupan zaman pra sejarah yang diantaranya terdapat pakaian dari kulit kayu  yang dinamakan fuya atau tapa.
[5] Pengetahuan suku bangsa di Indonesia tentang tata cara berpakaian atau berbusana semakin berkembang ketika
agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Kenyataan bahwa kebudayaan Hindu dan Budha berpengaruh besar
terhadap model pakaian Indonesia tampak pada relief-relief bangunan candi. Relief-relief di dinding candi
Borobudur misalnya adalah contoh konkrit dan lengkap yang menggambarkan keanekaragaman pakaian dan
perhiasan pada zamannya. Pada relief-relief tersebut jelas ditampilkan busana yang dipakai manusia ketika pada
masa itu dengan latar belakang peristiwa yang tengah berlangsung. Dalam berbagai kegiatan seperti mengolah swah,
membangun rumah, bermain musik atau tari digambarkan dengan pakaian yang berbeda. Perbedaan juga tampak
pada pakaian yang dipakai oleh para pembesar, raja, ratu, tokoh agama serta rakyat kebanyakan. Bersamaan dengan
pakaian tampil pula kelengkapannya atau perhiasan yang dikenakan. Perhiasan yang dikenakan pun sangat
kompleks, meliputi hiasan kepala sebagai lambang kebesaran pemakainya, hiasan telinga, leher, pergelangan kaki
bahkan perhiasan dibagian pinggang dan pangkal lengan. Tradisi berpakaian indah dan mengenakan perhiasan dari
macam-macam benda tidaklah mati karena terus berubah.
Pengaruh Hindu dan Budha dalam hal berpakaian tampak dalam penggunaan kain terusan tanpa dijahit atau yang
biasa disebut sebagai kain panjang yang menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Hal ini berkaitan
dengan ideologi bahwa kain panjang yang tidak dipotong merupakan sebuah hal yang melambangkan kesucian dan
bagi masyarakat Jawa hal tersebut merupakan lambang kesakralan.[6]Masyarakat Jawa lebih menyukai kain yang
diwiru daripada kain yang dijahit.
Tetapi, semenjak kedatangan bangsa Eropa dan mulai berpengaruhnya budaya Eropa di Jawa, pakaian panjang
mulai ditinggalkan terutama bagi kaum pria dan perlahan digantikan dengan pakaian gaya Eropa.

Reid mengutip dari Crawfurd, menyebutkan bahwa orang Jawa kalaupun mereka telah berpakaian tetapi masih
dianggap nyaris telanjang.[7] Ketika Islam datang, model pakaian di Jawa mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Pakaian yang pada awalnya terbuka pada bagian dada, kemudian disempurnakan sesuai norma-norma
keislaman. Sarung atau kain panjang yang tadinya dililitkan disekitar pinggang kemudian diangkat lebih tinggi
untuk menutupi dada. Selain dengan cara di atas, kaum perempuan Jawa juga menambahkan satu pakaian lagi yang
dililitkan secara ketat di sekitar dada.[8] Satu keunikan tersendiri bahwa kerajaan-kerajaan Jawa dimana pengaruh
budaya Islam telah masuk seperti pada upacara adat, pandangan hidup, seni bangunan, namun ternyata dalam etika
berpakaian tidaklah banyak membawa perubahan. Dari beragam komposisi pakaian, perhiasan sampai kepada
makna simbolik yang ingin ditampilkan pengaruh Hindu masih memegang dominasi yang kuat dalam lingkungan
istana.[9]
Di Indonesia kontak dengan bagian dunia Islam lebih tua dibandingkan dengan benua Eropa. Kontak dengan Islam
mulai tampil sebelum Belanda dan orang-orang Eropa lainnya muncul di wilayah ini. Karenanya pilihan antara
pemakaian busana didasarkan pada bidang Islam atau pribumi sudah sangat lama ini dilukiskan dalam satu
gambaran Barat tentang Indonesia.

Susuhunan Pakubuwana IX berpakaian Haji sebagai pengaruh Islam dengan turban di kepala tahun
1866. (Sumber:  http://www.kitlv.nl.).
Gambar di atas menunjukkan bagaimana pengaruh Islam berpengaruh hingga dalam berbusana. Pakaian Raja-Raja
Jawa terutama Surakarta mengadopsi pakaian Islam dengan memakai celana panjang, pakaian dan turban gaya
Turki. Tidak hanya Raja tetapi masyarakat umum juga memakai gaya berpakaian Islam dengan sarung dan kain
yang dililitkan dikepala (turban) yang biasanya berwarna putih. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Masyarakat menggunakan pakaian gaya Islam di sebuah kapal ketika akan berangkat ke tanah suci
Mekah tahun 1940 (Sumber: Majalah Pawartos Surakarta tahun 1940).
Pembakuan dalam pakaian merupakan tanda lahir dari perubahan dalam berbagai bidang. Menurut
Taylor[10] perubahan penting dalam pakaian untuk semua kelompok laki-laki dan perempuan Jawa adalah
mencakup betis ke atas. Kecenderungan menutup tubuh bagian atas pertama tampak di kota-kota pelabuhan Jawa
pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian menjadi penanda bagi golongan non-muslim, orang
miskin, budak dan anak-anak. Dengan kedatangan bangsa Eropa, perkembangan “mode” menjadi lebih beragam.
Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah
asing. Pada awalnya Belanda ingin mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang
Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah yang dikendalikan oleh VOC adalah
penganut Kristiani.[11] Meskipun ada aturan ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara berpakaian berbagai
bangsa, peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.
VOC bisa menerapkan aturannya di Batavia dan kota-kota lain tempat mereka memiliki kontrol ketat, namun di luar
daerah ini jauh lebih sulit, khususnya menyangkut elit Indonesia yang sering bekerjasama dengan para pejabat VOC.
Salah satu orang pertama yang memakai pakaian Eropa adalah Amangkurat II (1677-1703).[12] Pada pertengahan
abad XVII ketika Rickloff van Goens, sebagai wakil VOC, mengunjungi istana Mataram, menyaksikan salah satu
penampilan publik biasa raja Mataram, Susuhunan Mangkurat I (1646-1677). Van Goens mendeskripsikan
bagaimana “sekitar empat, lima, enam, tujuh, sampai 800 bangsawan berkuda berkumpul di alun-alun” dan “dengan
sangat tekun” mengamati dandanan kepala sang raja, apakah memakai tutup kepala Jawa atau turban gaya Turki.
Jika raja mengenakan turban, semua orang menanggalkan tutup kepala mereka dan mengambil tutup kepala yang
lain dari pelayan mereka agar sama dengan sang raja.[13] Hal ini menunjukan bahwa pengaruh Islam sangat besar
terhadap kerajaan dan penggunaan tutup kepala Jawa menunjukkan perjuangan bagi hegemoni kultural yang dimulai
sejak kedatangan Islam dan restorasi nilai-nilai Jawa di dalam latar Islam.
Mengenai deskripsi awal bangsa Eropa tentang kostum-kostum di Jawa, sering didapati bahwa para pria berdada
terbuka. Akan tetapi, tidak semua orang orang Jawa selalu membiarkan dada mereka tidak tertutup. Dalam puisi
lama Siwaratrikalpa (abad kelima belas) terdapat suatu deskripsi tentang seorang pemburu yang berburu
mengenakan jas pemburu berwarna biru tua. Namun demikian, kaum bangsawan setidaknya membiarkan sebagian
dari dada mereka terbuka. Menurut tata cara berpakaian di istana biasanya seorang pangeran mengenakan dua
macam benda dalam berpakaian yaitu wastra atau kampuh, dodot dan sbuah sabuk. Wastra dililitkan disekeliling
bagian bawah tubuh, sementara sabuk adalah sebuah selempang yang dikenakan di sekeliling pinggang. Dalam
lingkaran kerajaan, tradisi tidak menutup dada bagi pria memiliki fungsi spesifik yaitu cara untuk memperlihatkan
penghormatan dan kepatuhan.[14]
 
Dua orang pemuda dengan bertelanjang dada serta berpakaian dodot dan sabuk serta memakai tutup
kepala dan aksesoris berupa senjata keris (sumber: http://www.kitlv.nl.)
Peran Barat sebelum tahun 1850 diungkapkan dengan mengimpor ke Jawa bahan kain dari India dan menampilkan
tubuh yang berbaju sebagai simbol penguasa. Sejak pertengahan abad XIX, peran Barat dalam perubahan kostum di
Jawa ditunjukkan dalam penerimaan unsur-unsur khusus dari pakaian Barat bagi pria. Beberapa tahun kemudian
kaum perempuan mulai menerima pengaruh Barat pada gaya pakaian yang mereka kenakan. Perubahan-perubahan
dari penerimaan pengaruh tersebut adalah nulai dikenakannya celana panjang, jas, dan sepatu bagi pria sedangkan
pakaian perempuan adalah penerimaan batik sebagai bahan pakaian bagi semua orang.

Sejarah pakaian yang sekarang dikenal sebagai pakaian daerah Surakarta baik laki-laki maupun perempuan
berkaiatan dengan keberadaan budaya keraton Surakarta. Keraton sebagai pusat institusi dan tata pemerintahan,
mempunyai aturan-aturan khusus yang berkaitan dengan pakaian. Apabila dilihat secara seksama pakaian atau gaya
busana Surakarta dapat dibedakan menurut kebutuhan, tingkat umur, dan status pemakainya. Perbedaan keturunan
ikut memainkan peran untuk terciptanya ketegasan batasan penggunaan pakaian, baik untuk kegiatan sehari-hari
atau dalam kegiatan yang bersifat resmi. Model dan jenis pakaian yang dikenakan oleh mereka yang tinggal di
keraton atau yang mempunyai kaitan tugas dengan keraton antara satu orang dengan lainnya berbeda, sesuai dengan
tugas, waktu pakai dan jabatan.

Pergeseran makna simbolis yang terjadi pada pemakaian busana di Jawa khususnya di Surakarta terjadi semenjak
kedatangan VOC yang menerapkan larangan-larangan pemakaian busana yang sama bagi setiap penduduk dengan
maksud sebagai bentuk kontrol sosial VOC terhadap masyarakat jajahan. Kostum Jawa sendiri pada masa VOC
berupa kain persegi panjang tidak dipotong yang menutupi tubuh bagian bawah, beragam kain lilit penutup dada dan
pinggul, serta kain penutup bahu. Kostum itu dipakai oleh pria dan perempuan, dan pada dasarnya sama untuk
semua kelas. Status seseorang ditunjukkan melalui kualitas kain yang dipakai, desain-desain dan perhiasan. Selop
digunakan oleh anggota-anggota istana. Selama masa VOC, para pria dan perempuan istana mulai memakai kain
batik sebagai bahan untuk pakaian. Lebih jauh, batik kini dikenakan para pria ningrat dalam dua mode baru yaitu
kain dodot dan celana yang terbuat dari sutra yang dibordir atau dihias dengan jalinan pita di bagian pergelangan
kaki, sedangkan wanita hanya memiliki mode dodot dan pemakaian baju kebaya.[15] Desain-desain batik khusus
digunakan oleh kaum ningrat beserta badi dalem mereka, dan pemakaiannya ditentukan oleh aturan-aturan khusus.
Pemakaian kain panjang dalam model dodot oleh wanita Jawa dengan menutupi tubuh tetapi dengan
bahu terbuka (Sumber: P.H. Van Moerkerken J.R dan R. Noordhoof, Atalas Gambar-Gambar Akan
Dipakai Oentoek Pengadjaran Ilmoe Boemi, Amsterdam-S.L. van Looy: Balai Pustaka, 1922)
Peraturan-peraturan tentang pemakaian busana telah diatur semenjak Susuhunan Pakubuwana IV tahun 1788-1820.
[16] Peraturan ini berupa larangan pemakaian busana tertentu bagi para keluarga raja, pejabat kerajaan dan rakyat
kecil di wilayah keraton Kesunanan Surakarta. Larangan-larangan tersebut berupa:
1. Larangan pemakaian kain

Larangan pemakaian kain yang dibuat oleh Pakubuwanan IV pada tahun 1788-1820 adalah kain batik batik
sawat, parang rusak, cemukiran yang memakai talacap modang, udan riris, dan tumpal. Adapaun yang disebut
batik tumpal, di tengah putih pinggir batik, kain kakembangan bercorak udaraga (coraknya bermacam-macam)
merah di tengah, pinggirnya bercorak hijau kuning, bangun tulak di tengah hitam pinggir putih, lenga teleng di
tengah putih pinggir hitam, dara getem merah di tengah pinggir kiri kanan ungu, batik cemukiran yang ber-
talacap lulungan atau bermotif bunga yang diperkenankan memakai adalah patih, keluarga raja, dan wadana.
Sedangkan batik sawat katandhan sembagen ber-elar (sayap) semua abdi dalem boleh memakainya.
2. Larangan pemakaian keris

Keris (dhuwung) merupakan aksesoris dalam berpakaian bagi para priyayi dan abdi dalem raja maupun rakyat
Surakarta pada umumnya. Larangan pemakaian keris yang dikeluarkan oleh Pakubuwana IV antara lain adalah keris
dengan gagang tunggak semi, pendhok parijatha, pendhok tatahan sawat, kemalon abang, warangka pupulasan
dhasar kayu, sedangkan keris dengan gagang tunggak semi itu, yang boleh memakai hanya abdi dalem mantri dan
abdi dalem tamtama.
Keris dengan gagang kawandasa yang diperkenankan memakai hanya lurah dan bekel, sedangkan panekethanya
diperuntukkan bagi abdi dalem Gedhong Kapedhak. Keris dengan gagang tunggak semi yang bubunton, semua abdi
dalem baik mantri dan lainnya tidak diperbolehkan memakainya.
3. Larangan memakai payung

Payung merupakan aksesoris dalam berbusana yang menunjukkan sebuah status sosial seseorang. Larangan yang
dikeluarkan oleh Paku Buwana IV dalam hal pemakaian payung hanya melarang penggunaan payung di sekitar
wilayah kraton. Larangan tersebut berupa tidak bolehnya seseorang yang berpayung besar atau sejenisnya membuka
payung di kraton. Kecuali keluarga raja yang bergelar pangeran boleh membuka payung di utara ringin kurung.
Masyarakat lainnya hanya sampai pada galedhegan alun-alun.
 
Model payung yang digunakan oleh keluarga dan bangsawan Kraton Surakarta
(sumber: http://www.kitlv.nl)
Peraturan-pertauran ini berlangsung hingga Surakarta memasuki dunia modern, tetapi masyarakat yang berkembang
telah banyak merubah gaya dan penampilan mereka dalam hal berpakaian yaitu mengikuti mode barat yang terlihat
lebih necis dan terlihat mengikuti perkembangan budaya baru dan pemikiran baru.

Perubahan Fashion (mode) Setelah Masuknya Kebudayaan Barat


Perubahan dalam hal berpakaian bagi masyarakat Jawa terutama di Surakarta tidak terlepas dari perkembangan
industrialisasi yang telah menggejala pada akhir abad ke-19. Industri pakaian tidak lagi menjadi industri rumah
tangga seperti pada masa-masa sebelumnya. Industri rumah tangga berupa pembuatan pakaian di Surakarta memang
telah menjadi pekerjaan perempuan di Jawa. Pekerjaan tersebut meliputi kegiatan menenun dan menghias kain yang
lebih terkenal dengan bahasa membatik.

Perempuan-perempuan di Surakarta sedang mengerjakan aktivitas membatik di sebuah halaman


rumah tahun 1901-1902 (Sumber:  http://www.kitlv.nl)
Produksi batik pada awal-awal akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 telah menunjukkan diri sebagai industri
yang cukup besar baik secara kualitas produksi maupun penyerapan tenaga kerja dengan munculnya pusat industri
batik di daerah Laweyan dan memunculkan saudagar-saudagar batik yang terkenal.[17] Di bawah ini tabel yang
menunjukkan produktifitas perusahaan besar batik di Laweyan tahun 1930.
Tabel 5. Produktifitas Perusahaan Besar di Laweyan Tahun 1930[18]
Keadaan Produktifitas Jumlah Tukang Cap Produk Tiap hari Jumlah Produk Prosentase

3 bulan Keadaan ramai 8 360 potong 32400 potong 54%


8 200 potong 18000 potong 30%
7 bulan keadaan biasa
8 120 potong 10000 potong 16%
2 bulan keadaan sepi
Masuknya alat bantu berupa mesin jahit sebagai bagian modernisasi industri pakaian massal tidak serta merta
mengubah cara pembuatan pakaian dari yang semula dikerjakan dengan tangan menjadi mempergunakan mesin.
Pada beberapa bagian di industri pakaian pengerjaan dengan tangan masih terus dilakukan berdampingan dengan
metode industri.[19]

 
Aktivitas industri pakaian jadi dengan menggunakan mesin jahit sebagai bagian dari modernisasi
(Sumber: Majalah Pawartos Surakarta tahun 1940).

Menurut Ash dan Wright[20] terdapat beberapa komponen utama yang membentuk mode, yaitu produksi, komoditi,
pemasaran, strata sosial dan pencitraan oleh media. Produksi pakaian di Surakarta sendiri telah berkembang dengan
adanya industri batik dengan komoditas berupa kain batik dengan pemasaran yang cukup luas meliputi pulau Jawa
diluar pulau Jawa. Penggunaan kain batik sebagai bahan pakaian dilakukan oleh berbagai golongan masyarakat dari
tingkat strata sosial yang terendah hingga golongan raja dan bangsawan, yang membedakan hanya kualitas kain dan
corak yang telah diatur oleh penguasa local Surakarta. Bahkan pada awal abad ke-20 masyarakat Belanda yang
tinggal di Surakarta juga telah ikut menggunakan kain batik dan kebaya sebagai pakaian sehari-hari dan biasanya
yang banyak menggunakan adalah kaum perempuan. Hal ini nampak pada gambar di bawah ini:

 
Miss A. Johan seorang guru Belanda bersama dengan putri Susuhunan Pakubuwana X di Kraton
Surakarta menggunakan pakaian kebaya dan kain batik tahun 1926-1927 (Sumber: http://www.kitlv.nl)
Pencitraan mode pada masa awal abad ke-20 dilakukan melalui media massa yang terbit pada waktu itu. Pencitraan
ini terutama dilakukan kepada mode pakaian barat yang menampilkan bentuk modernisasi yang sesuai dengan
perubahan jaman. Pencitraan mode pakaian ini dilakukan melalui iklan-iklan tidak hanya iklan pakaian tetapi iklan-
iklan lainnya menampilkan gambar-gambar seseorang dengan pakaian barat.[21]Hal ini terlihat pada iklan rokok
dibawah ini yang termuat dalam surat kabar Kawan Kita Jang Toeloesterbitan Surabaya dan beredar di Surakarta
tahun 1918.

 
Iklan rokok dengan seseorang berpakaian Eropa (Sumber: Surat Kabar Kawan Kita Jang Toeloes tahun
1918, Koleksi Bapak Bambang Surakarta)

Surat Kabar Pawartos Surakarta tahun 1940 menampilkan iklan seseorang Jawa dengan pakaian jas Eropa lengkap
dengan dasi tetapi menggunakan tutup kepala gaya Surakarta. Perpaduan ini menunjukkan sebuah kombinasi gaya
berpakaian antara gaya modern dan tradisional yang tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Hal ini dapat
terlihat dalam gambar berikut:

Iklan tembakau Van Nelle, perhatikan pakaian yang digunakan oleh masyarakat dalam gambar iklan
tersebut (Sumber: Majalah Pawartos Surakarta tahun 1940).
Perkembangan fashion (mode) pada awal abad ke-20 yang didukung oleh modernisasi dalam industri pakaian
membawa perubahan-perubahan dalam hal jenis pakaian yang akan dipakai baik dalam dimensi tempat maupun
waktu. Pengaruh ini dibawa oleh bangsa barat dengan memasukkan unsur-unsur pemakaian pakaian dengan mode
dan waktu tertentu. Setiap waktu dan acara-acara resmi, masyarakat Surakarta mulai mengganti mode pakaian
disesuaikan dengan aturan-aturan barat. Dari berbagai sumber terutama rekaman foto, pakaian yang dikenakan oleh
masyarakat di Surakarta pada awal abad ke-20 tampil dalam dua model yaitu jenis pakaian tradisional dan pakaian
modern. Pakaian modern adalah pakaian yang mengacu pada gaya pakaian Barat yang dianggap lebih maju dari segi
teknologi. Pakaian jenis ini mempunyai ciri-ciri dan syarat-syarat pakaian untuk berbagai kesempatan, yakni pakaian
rumah atau harian,  pakaian kerja (termasuk pakaian sekolah), dan pakaian resmi atau pesta.. Berikut ini akan
dipaparkan macam-macam pakaian modern yang dipakai masyarakat di Surakarta.
Pakaian Harian
Pengertian pakaian harian atau pakaian rumah disini adaloah seperangkat pakaian yang dikenakan di rumah. Pakaian
harian yang lazim digunakan oleh para perempuan Jawa pada awal abad ke-20 terdiri atas baju yang berbentuk
kebaya,[22] kain panjang,[23] setagen,[24], alas kaki, dan kelengkapan atas berupa hiasan rambut yang
berbentuk konde atau sanggul. Gaya pakaian tersebut dibuat dari kain lurik ataupun batik. Pakaian harian bias tampil
dalam gaya yang utuh atau lengkap, namun seringkali tampil dalam gaya yang tidak lengkap. Sedangkan pakaian
laki-laki menggunakan celana yang terbuat dari kain atau menggunakan kain sarung dan baju tanpa kancing di
bagian depan dan terkadang menggunakan baju lurik. Golongan terpelajar biasa menggunakan celana sebatas lutut
dan pakaian dengan kancing didepan dan terkadang menggunakan topi.
Gambar di bawah ini menunjukkan pakaian harian perempuan Jawa di Surakarta dengan menggunakan pakaian
kebaya serta kain panjang dengan berbagai motif. Sedangkan gambar satunya menunjukkan para pria dan
perempuan dengan pakaian sehari-hari. Pakaian laki-laki dengan gaya Eropa biasanya berwarna putih.

 
Para perempuan Jawa di Surakarta menggunakan pakaian sehari-hari berupa kain kebaya dan kain
panjang pada awal abad XX

Pakaian harian di Surakarta berupa setelan berupa kain kebaya. Selain itu, pakaian harian yang juga telah lazim
dipakai adalah rok Barat. Jenis pakaian itu dipakai oleh anak perempuan usia sekolah dan biasanya dari golongan
bangsawan atau golongan orang-orang kaya dengan pendidikan barat. Kelengkapan yang dikenakan berupa alas kaki
(sandal). Potongan rambut biasanya panjang ataupun pendek dengan hiasan berupa pita ataupun penjepit rambut.
Model baju dengan potongan gaya modern berbahan tekstil buatan pabrik. Perhatikan gambar di bawah ini.
 
Para perempuan Jawa di Surakarta dengan pakaian gaya Eropa berupa rok dan baju berbahan tekstil
pabrik (Sumber: Majalah Pawartos Surakarta tahun 1940).

Penggunaan pakaian sehari-hari gaya Barat pada anak-anak juga telah diterapkan terutama oleh golongan
bangsawan dan priyayi-priyayi yang memiliki anak dan memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya. Foto di
bawah ini menunjukkan pakaian Goesti Raden Adjeng Noeroel Kamaril Asjarati Koesoemawardani putri
Mangkunegara VII telah menggunakan pakaian gaya Eropa berupa baju terusan berenda berlengan pendek dengan
gaya rambut yang dipotong pendek. Sedangkan kedua orangtuanya Mangkunegara VII dan istrinya Ratoe Timoer
menggunakan pakaian tradisional model Mangkunegaran. Hal lain yang terlihat adalah pakaian Mangkunegaran VII
merupakan perpaduan gaya Barat dan tradisional dengan baju sikepan ageng, kain panjang yang diwiru serta dasi
kupu-kupu sebagai aksesoris.

 
Goesti Raden Adjeng Noeroel bersama Ayah dan Ibunya, Mangkunegara VII dan Ratoe Timoer tahun
1924 (Sumber: http://www.kitlv.nl).
Gambar di bawah ini juga menunjukkan bagaimana remaja putri telah menggunkan rok dan baju berlengan pendek
dengan rambut panjang yang diikat kelabang serta menggunakan alas kaki berupa sepatu, dan pria disampingnya
menggunakan pakaian berlengan pendek dan bercelana pendek dengan gaya potongan rambut pendek serta memakai
alas sepatu.

Goesti Raden Adjeng Siti Noeroel Koesoemowardini dan saudara laki-lakinya Raden Mas Saroso
Notosoeparto (Mangkoe Nagoro VIII) di Soerakarta tahun 1935 (Sumber:  http://www.kitlv.nl).
Selain itu pemakaian kain panjang pada tahun-tahun 1920-an dipakai hingga ke dada dengan dilengkapi
oleh kemben (kain penutup dada), baik dengan baju atas atau tanpa baju atas merupakan hal yang biasa dipakai para
perempuan terutama perempuan yang telah tergolong tua. Perhatikan gambar dibawah ini, yang melukiskan
penggunaan kain hingga dada yang dilengkapi kemben.

 
Para perempuan tengah menjajakan dagangannya dengan pakaian berupa kain yang dipakai hingga ke
dada di Surakarta tahun 1928 (Sumber: http://www.kitlv.nl)
Pakaian Kerja
Surakarta pada paruh pertama abad XX telah muncul menjadi kota yang penuh dengan pusat perkantoran dan
pendidikan. Terutama administrasi pemerintah kolonial Belanda, Kerajaan Surakarta serta Mangkunegaran dan
administrasi perkebunan. Banyak foto-foto yang merekam gaya pakaian seragam kerja serta pakaian siswa-siswa
sekolah yang ada di kota Surakarta. Lembaga pemerintahan serta pendidikan merupakan lembaga yang memiliki
peraturan-peraturan yang ketat dalam setiap aktivitasnya, oleh karena itu peraturan-peraturan mengenai model
pakaian dalam lembaga pemerintahan baik kolonial maupun tradisional serta sekolah dapat memberikan gambaran
bagaimana pakaian dapat membedakanstatus seseorang di Surakarta.

Perbedaan pakaian kerja dapat ditemukan pada sebuah iklan yang dikeluarkan oleh toko pakaian Sidho Madjoe.
Iklan pakaian dalam bentuk bulletin yang dikeluarkan oleh toko Sidho Madjoe ini menggambarkan bentuk pakaian
dan harga pakaian serta aksesoris yang digunakan sebagai pelengkap pakaian tersebut. Pakaian yang ditawarkan
oleh toko Sidho Madjoe merupakan pakaian yang diperuntukkan bagi priyayi-priyayi (Groot-Ambtscostuums)
buat Inlandsche Ambtenaren tanah Jawa dan Madura.[25] Pakaian-pakaian tersebut terdiri dari jas, pantalon dengan
warna putih dan hitam, dengan harga yang berbeda-beda sesuai dengan pangkat dan kedudukan dalam
pemerintahan. Gambar berikut menunjukkan perbedaan pakaian dari pangkat yang tinggi hingga terendah bagi
pejabat Hindia Belanda.

Merupakan pakaian dinas bagi pemerintah kolonial Belanda dari kanan ke kiri Pakaian Gubernur,
Residen atau Asisten Residen van Billiton, Asisten Residen, Gewestelijk Secretaris, dan Controleur B.B.
(Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah).
Gambar di atas dapat diketahui perbedaan pakaian seragam dinas yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pakaian Gubernur dengan jas putih bergaris hitam dibagian kancing jas depan dan memiliki hiasan berupa bunga di
ujung lengannya serta memakai pantalon putih bergaris hitam di bagian sisinya dilengkapi aksesoris pedang.
Pakaian Residen atau Asisten van Billiton hampir sama dengan pakaian Gubernur hanya tidak menggunakan
aksesoris pedang. Pakaian Asisten Residen hingga controleur B.B. hanya dibedakan oleh jas yang tidak memiliki
garis hitam di bagian kancing serta ujung lengan yang motifnya semakin sedikit.
Pakaian yang diperuntukkan bagi Inl. Gouv. Ambtenaren juga memiliki perbedaan sesuai dengan tinggi rendahnya
pangkat. Seseorang yang menjabat sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda harus memakai seragam dinas sesuai
dengan pangkatnya begitu pula dengan aksesoris yang menyertainya. Perbedaan yang nyata dari pakaian dinas
ambtenar Hindia Belanda adalah pada bagian jas kancing depan yang bermotif, bagian pundak belakang, ujung
lengan baju, dan bagian bawah jas. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin banyak hiasan yang menyelimuti
pakaian tersebut. Kancing pakaian juga memiliki perbedaan baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan, semua
hal tersebut disesuaikan dengan hirarki kepangkatan dalam tubuh pemerintahan Hindia Belanda.[26] Berikut ini
adalah gambar pakaian bagi Inl. Gouv. Ambtenaren di tanah Jawa dan Madura.

 
Dari atas kanan ke kiri bawah merupakan pakaian bagi Boepati-Pangeran, Boepati-Adipati GS,
Boepati-Adipati, dan Boepati-Toemenggoeng (Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho
Madjoe Solo Jawa Tengah).

       Perbedaan pakaian-pakaian tersebut juga diikuti dengan perbedaan harga secara kualitas bahan yang digunakan.
Di bawah merupakan tabel harga pakaian-pakaian dari para ambtenar Hindia Belanda di Jawa dan Madura.
Tabel 6. Daftar Harga Pakaian Groot-Ambtscostuums oentoek Inl. Gouv. Ambtenaren di Tanah Jawa dan
Madoera.[27]
Compleet terpasang knoopen, boord, DIENTS-PET
HARGA-CREDIET manchetten dan pasment asli Compleet
Boeat pangkat: Jas Pantalon Stel Item Putih
172,- 44,- 216,- 20,- 10,50,-

160,- 40,- 200,- 18,- 10,50,-

144,- 40,- 184,- 18,- 10,50,-

136,- 40,- 176,- 18,- 10,50,-

92,- 34,- 126,- 14,- 8,50,-

80,- 32,- 112,- 13,- 8,50,-

48,- 24,- 72,- 11,- 7,75,-

36,- 22,- 58,- 10,- 7,75,-

80,- 32,- 112,- 13,- 8,50,-


1. Boepati-Pangeran
2. Boepati-Adipati GS. 48,- 24,- 72,- 11,- 7,75,-
3. Boepati-Adipati
4. Boepati-Toemenggoeng
5. Patih 36,- 22,- 58,- 10,- 7,75,-
6. Wedana
7. Assitent-Wedana 80,- 32,- 112,- 13,- 8,50,-
8. Mantri Politie
9. Reg. Secretaris klas I
10. Reg. Secretaris klas II 60,- 24,- 84,- 12,- 8,50,-
11. Mantri Kaboepaten
12. Hoofd-Djaksa
48,- 24,- 72,- 12,- 8,50,-
13. Djaksa (Adj. Hfd. Djaksa)
14. Adjunt-Djaksa
Boeat Pangkat: Jas Model djobah Songsong
80,- 92,- 20,-

60,- 72,- 20,-

1. Hoofd-Pengoeloe
48,- 60,- 16,-
2. Pengoeloe (Landraad)
3. Adj. Pengoeloe (Naib)
Pakaian kerja bagi abdi dalem kerajaan Surakarta dan Mangkunegara juga memiliki perbedaan sesuai dengan tingkat
kebangsawanannya, tetapi biasanya para abdi dalem kerajaan Surakarta dan Mangkunegara memakai pakaian
tradisional berupa beskap dan kain panjang serta memakai tutup kepala berupa kuluk atau blangkon. Para abdi dalem
wanita biasanya memakai kebaya dan kain panjang serta ada pula yang memakai kemben. Gambar di bawah ini
menunjukkan pakaian abdi dalem Kraton Kasunanan Surakarta.
 
Para abdi dalem perempuan kraton Surakarta dengan pakaian kerja berupa pakaian lurik dan jarit
(Sumber: Majalah Pawartos Surakarta tahun 1940).

Pakaian kerja yang berubah adalah pakaian seragam militer yang terdapat di kerajaan Surakarta dan
Mangkunegaran. Pakaian seragam militer di keraton Surakarta dan Mangkunegaran telah mengadopsi pakaian
militer modern dengan baju seragam ala Barat. Seragam militer Kraton Surakarta memadukan unsur pakaian
seragam militer Barat dengan baju dan celana pendek ditambah unsur tradisional dengan kain batik yang dililitkan
dipinggang menjuntai dibagian depan celana serta aksesoris berupa topi. Selain itu juga masih digunakannya
pakaian tradisional bagi prajurit kraton Surakarta dengan bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek serta
kain dengan aksesoris sebuah topi. Sedangkan pakaian seragam militer Mangkunegaran (legiun Mangkunegaran)
secara total menyerap pakaian seragam militer barat, dengan baju dan pantalon. Perhatikan gambar di bawah ini.

Prajurit legiun Mangkunegaran dengan pakaian seragam militer Barat lengkap dengan jas, pantalon,
topi dan sepatu tahun 1900 (Sumber:  http://www.kitlv.nl).
Prajurit Kraton Surakarta dengan pakaian seragam militer perpaduan antara pakaian model Barat
dan Tradisional tahun 1900 (Sumber:  http://www.kitlv.nl).
Pakaian kerja yang digunakan oleh masyarakat umum biasanya terdiri dari pakaian harian berupa kebaya dan kain
bagi perempuan dan baju serta celana pendek bagi pria. Masyarakat umum tidak terikat dengan seragam dalam
bekerja dikarenakan sebagian besar adalah petani, pedagang yang tidak terikat dengan peraturan pemakaian pakaian
seperti pekerja di kantor pemerintahan kolonial, maupun abdi dalem kerajaan. Hal ini ditunjukkan oleh gambar
berikut.

Masyarakat sedang bekerja membatik di sebuah desa di Surakarta tahun 1901-1902


(Sumber:  http://www.kitlv.nl)
Pakaian Sekolah
Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kemajuan dan perkembangan kota Surakarta pada masa kolonial.
Munculnya sekolah-sekolah bagi masyarakat juga diikuti dengan aturan-aturan yang menyertainya, terutama dalam
hal berpakaian. Pakaian sekolah memiliki aturan yang berbeda-beda sesuai dengan kepemilikan sekolah tersebut.
Pakaian sekolah bagi anak-anak bangsawan berbeda dengan anak-anak masyarakat umum lainnya. Anak-anak
bangsawan atau priyayi biasanya bersekolah di sekolah milik pemerintah kolonial Belanda, sehingga aturan
berpakaian akan mengikuti aturan di sana.

Pakaian sekolah pada masa kolonial Belanda memang terbagi menjadi dua yaitu pakaian sekolah rakyat kebanyakan
dan pakaian sekolah Eropa. Pakaian sekolah rakyat kebayakan biasanya murid-murid perempuan menggunakan
kebaya dan jarik, sedangkan pria memakai baju dan jarik. Perhatikan gambar dibawah ini.
Pakaian sekolah masayarakat umum dengan kebaya dan jarik untuk perempuan, baju lurik dan jarik
bagi pria (Sumber: Koleksi Pribadi).
Pakaian sekolah bagi anak-anak priyayi yang bersekolah di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial biasanya
memakai pakaian gaya Eropa, rok dan blouse bagi perempuan serta kemeja dan celana pendek atau panjang bagi
pria. Pakaian guru-guru di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial kebanyakan menggunakan pakaian Eropa
dengan kemeja dan celana panjang bersepatu. Gambar di bawah ini menunjukkan pakaian guru-guru di sekolah
Christelijke Hollands-Inlandse Kweekschool Surakarta.

 
Para guru di sebuah sekolah milik pemerintah kolonial Belanda (Sumber: http://www.kitlv.nl).
Pakaian Resmi
Pada masa kolonial Belanda untuk acara-acara resmi seperti perjamuan makan, pernikahan, maupun penyambutan
pejabat pemerintah kolonial pakaian yang digunakan biasanya pakaian yang telah ditetapkan oleh aturan-aturan yang
jelas. Kaum perempuan biasanya menggunakan kebaya bagi perempuan pribumi dan gaun terusan ataupun baju dan
rok dengan mode yang modern digunakan oleh perempuan Eropa. Pakaian pria biasanya menggunakan seragam
sesuai dengan pangkat dan jabatannya, sedangkan pria-pria Eropa menggunakan jas dan celana panjang serta dasi
yang beraneka ragam. Gambar di bawah menunjukkan penampilan seseorang dalam perjamuan makan bagi pejabat
kolonial Belanda.
Perjamuan makan malam bagi Gubernur Jendral K.J.A. Orie di Istana Mangkunegaran tahun 1941
(Sumber:  http://www.kitlv.nl)
Pakaian resmi lain dalam perhelatan pesta-pesta pernikahan bagi masyarakat Surakarta masa kolonial biasanya kaum
perempuan menggunakan kain kebaya dengan bahan berkualitas baik dengan kain yang di wiru, selendang, dan
aksesoris perhiasan. Sedangkan kum laki-laki menggunakan pakain Jawa lengkap (jas beskap, kain yang
di wiru, blankon) dan juga terkadang memakai pakaian gaya Eropa yaitu jas, celana panjang, serta dasi.

Keluarga K.P.H. Tjokrokoesoemo dalam sebuah pesta perkawinan tahun 1940 (Sumber: Majalah
Pawartos Surakarta tahun 1940).
Perkembangan fashion (mode) pakaian dan pengaruh kebudayaan asing di Surakarta masa kolonial telah membawa
sebuah implikasi-implikasi yang tidak sedikit. Implikasi-implikasi ini tertanam dalam sebuah bentuk perilaku yang
harus dilakukan sesuai dengan apa yang dipakai. Perkembangan fashion (mode) pakaian di Surakarta masa kolonial
juga mempengaruhi sebuah debat-debat mengenai perkembangan pakaian dan pengaruh asing terhadap etika
berpakaian di Surakarta. Selain itu juga munculnya budaya politik dengan bentuk diskriminasi maupun simbolisasi
perlawanan melalui pakaian yang dilakukan oleh penguasa kolonial maupun penguasa lokal di Surakarta.
 

[1] Umar Kayam, “Tranformasi Budaya Kita, dalam Kedaulatan Rakyat, Senin 22 Mei 1989.
[2] Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hal.
166.
[3] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), hal. 236.
[4] Jennifer Craik, The Face of Fashion: Cultural Studies in Fashion, (London/New York: Routledge, 1994), hal. 5.
[5] Sartono Kartodirdjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hal. 276.
[6] Menurut Leslie (1991), Joshi (1991) dan Bayly (1986) mencatat perbedaan ideologis penting antara pakaian
yang dijahit dan yang tidak dijahit bagi kaum Hindu. Pakaian yang tidak dijahit dianggap lebih suci. Para pria tidak
diperbolehkan memasuki bagian dalam kuil memakai celana; dhuti dan sari merupakan pakaian yang disyaratkan
untuk ritus-ritus seremonial seperti pernikahan dan ziarah keagamaan, dalam Jean German Taylor, “Kostum dan
Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend,
Identitas, Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 131.
[7] Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: YOI,
1992), hal. 99.
[8] Ibid., hal. 100.
[9] Dwi ratna Nurhajarini, “Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa Di Kota Yogyakarta Pada Awal Sampai
Pertengahan Abad XX”, Tesis S-2, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 2003), hal. 73.
[10] Jean German Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt
(ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 121.
[11] Kees van Dijk, “Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”, dalam
Henk Schulte Nordholt (ed.), Ibid., hal. 66.
[12] Ibid., hal.
[13] Ibid., hal. 65.
[14] Ibid., hal. 73.
[15] Jean German Taylor, op. cit. hal. 133.
[16] Naskah No. 7 mengenai undang-undang tentang larangan pemakaian busana tertentu bagi keluarga raja, pejabat
kerajaan dan rakyat kecil di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta. Undang-undang ini dikeluarkan oleh Susuhunan
Pakubuwana IV (1788-1820), dalam S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1788-1880, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hal. 289-292.
[17] Menurut Soedarmono bahwa industri batik di laweyan memproduksi batik cap yang terdiri dari batik kasar,
menengah (dagel), batikan cap atau tulis halus. Produksi batik-batik ini lebih diutamakan pada pelayanan kebutuhan
batik sandang bagi rakyat daripada batik jenis tulis halus, Soedarmono, “Munculnya Kelompok Pengusaha Batik Di
Laweyan Pada Awal Abad XX”, Tesis, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana UGM, 1987), hal. 16-46.
[18] P. De Kat Angelino, Batikrapport II, (Weltrevreden: Landsdrukkeerij, 1930), hal. 133. Koleksi Perpustakaan
Sanapustaka Kraton Surakarta.
[19] Herman Jusuf, “Industri Mode: Sinergi Desain, Manufaktur, dan Pencitraan” dalam Kompas, 20 Maret 2005.
[20] Ibid.
[21] Lihat Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915),
Yogyakarta: Tarawang, 2000, untuk pembahasan mengenai pencitraan sebuah produk melalui iklan.
[22] Kebaya adalah model pakaian perempuan dengan bukaan baju di sebelah depan.
[23] Kain panjang adalah sehelai kain yang berukuran lebih kurang 2,25 X 1 meter, terbuat dari kain mori, sutera
atau kain katun dan kain jenis lainnya. Kain tersebut umumnya berupa kain batik atau lurik.
[24] Stagen adalah sepotong kain yang panjang, terbuat dari katun yang kuat. Panjang kain untuk stagenmencapai
12 meter dengan lebar kira-kira 12,5 centimeter. Fungsinya sebagai pengikat kain atau sarung pada pinggang.
[25] Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah, hal. 1.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
Iklan
Report this ad

Report this ad

Anda mungkin juga menyukai