Periode awal kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan
kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah pada 17 agustus 1945, Bagaimanapun juga telah
membawa bangsa ini menuju suatu era yang baru di mana Indonesia resmi menjadi sebuah negara.
Sebagai sebuah negara yang baru tentu saja Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain bahwa
negara Indonesia sudah berdiri dan siap untuk menjadi anggota dari komunitas internasional. Selain itu
juga pada pasca kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya Perang Dunia II, konstelasi politik dunia terbagi
menjadi kekuatan besar antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Soviet). Banyak negara-negara di dunia
ini pun tak lepas dari arus konstelasi tersebut, mereka berlomba untuk menjadi aliansi Blok Barat maupun
Blok Timur. Posisi ini cukup membuat Indonesia mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi, Indonesia
masih disibukkan menghadapi kembalinya penjajah Belanda dan di sisi lain posisi Indonesia menjadi
rebutan dua kekuatan besar antara AS dan Soviet sebagai aliansinya.
Sebagai negara yang pada saat itu masih menghadapi agresi Belanda yang ingin kembali menjajah
pasca kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit dan dilematis. Kelompok kiri ingin
bangsa ini bergabung dengan blok Komunis yang sangat anti Barat, untuk memperkuat perjuangan
melawan Belanda yang merupakan anggota dari blok Barat. Sementara para pemimpin nasionalis seperti
Hatta dan Syahrir, tidak ingin Indonesia dikuasai komunis. Inilah alasan kenapa akhirnya pemerintah
mengambil jalan tengah, yakni tidak memihak kepada blok manapun.
Dalam situasi politik seperti di atas, Bung Hatta mencoba merumuskan arah politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif, sebagaimana terkenal dalam buku tulisan Beliau yang berjudul “Mendayung
Diantara Dua Karang”. Makna politik luar negeri seperti yang pernah diutarakan Bung Hatta pada pidato
pertamanya sebagai Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948 adalah sebagai berikut:
“……Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun sedangkan
aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa…”(Bung Hatta, 1948)
Dalam hal ini, Indonesia bebas memilih jalan dalam perpolitikan dunia saat. Tidak ada tekanan baik
dalam maupun luar. Indonesia tidak kemudian jatuh ke tangan Blok Barat maupun Blok Timur. Indonesia
mencoba untuk berdiri di tengah-tengah (di antara dua karang) dengan tidak memihak AS maupun Soviet.
Karena jika memihak salah satunya akan melunturkan semangat dan makna dari ‘bebas’ itu sendiri. Ini
tampak bahwa Indonesia memprakarsai pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB). Dalam kondisi tekanan
perpolitikan dunia, lahir dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari
tekanan dua negara super power tersebut. Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari Asia serta
Afrika merasakan polarisasi yang terjadi pada masa tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan
kolonialisme dalam bentuk yang lain.
Pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu
membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang
kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia
Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya
Gerakan Non Blok. Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, GNB dibentuk pada tahun 1961
dengan tujuan utama mempersatukan negara-negara yang tidak ingin beraliansi dengan negara-negara
adidaya peserta Perang Dingin yaitu AS dan Uni Soviet.
Sedang aktif dalam hal ini berarti bahwa Indonesia menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan
segala bangsa.Indonesia pun secara aktif terus mendorong perdamaian dunia seperti yang termaktub di
dalam pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini, pada waktu itu Indonesia berusaha untuk terus
mendapatkan pengakuan dari dunia internasional dengan cara soft politics ketimbang menggunakan hard
politics. Ini terlihat dari perjuangan diplomasi Bung Hatta, dkk untuk mendapat pengakuan dunia
internasional. Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja perundingan ini menjadi
titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa ini, kekuatan
diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kapabilitas militer dan ekonomi yang
kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan memperoleh kemerdekaannya dengan
diplomasi. Selain itu, Bung Karno juga sempat menyatakan penolakan atas ketelibatan AS dalam Perang
Vietnam yang dinilai semakin memperkeruh permasalah. Inilah yang menurut penulis makna aktif pada
masa itu di mana Indonesia lebih menggunakan jalur diplomasi dan menolak segala bentuk invasi untuk
mewujudkan perdamaian dunia.
Beralih kepada permasalahan yang kedua, yaitu pada periode manakah (Orla, Orba atau pasca Orba)
penerapan politik luar negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif secara tepat? Penulis, memiliki
pandangan pada masa awal kemerdekaan Indonesia (hanya pada saat Bung Hatta masih menjabat sebagai
PM dan Wakil Presiden, yaitu antara tahun 1945-1950an) dan di era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Pasca Bung Hatta mundur menjadi PM dan Wakil Presiden, serta semenjak MPRS
menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup hingga periode pasca Orba (Habibie sampai
Megawati), politik luar negeri Indonesia tampak kehilangan orientasi dari makna awalnya. Namun di era
SBY ada politik luar negeri Indonesia mulai tampak terimplementasikan kembali dengan mengalamai
peredefinisian makna dengan tidak menyimpang dari substansi awalnya. Untuk lebih memperjelas,
penulis membuat sebuah tabel periodisasi implementasi politik luar negeri Indonesia.
Dari tabel perbandingan di atas penulis hanya melihat dua periode yang mengimplementasikan politik
luar negeri bebas aktif secara tepat, yaitu pada periode awal kemerdekaan dan periode Presiden SBY.
Pada era awal kemerdekaan di mana Bung Hatta masih menjabat sebagai PM dan Wapres. Prinsip bebas
aktif masih benar-benar diterapkan, namun di saat Bung Hatta mengundurkan diri menjadi PM, prinsip
tersebut semakin kehilangan arah. Peran dominan Soekarno membawa kita kepada politik konfrontasi
yang jauh dari makna aktif (turut berperan dalam perdamaian dunia) dan lebih condong ke negara-negara
komunis, seperti Uni Soviet dan China (sudah tidak independen atau bebas lagi). Di masa orde baru,
Indonesia malah condong ke Barat.
Pasca orde baru penulis ingin lebih memfokuskan kepada era pemerintahan SBY. Karena periode
sebelumnya (Habibie hingga Megawati) waktunya cukup singkat sehingga penulis kurang bisa
mengeksplor lebih dalam lagi implementasi politik luar negeri bebas aktif.
Di era SBY ini penulis melihat politik luar negeri bebas aktif mulai diaplikasikan kembali dengan sedikit
redefinisi untuk menjawab dinamika konstelasi politik internasional saat ini yang semakin kompleks dari
segi aktor maupun bentuk hubungannya. Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif
tidak berarti menjadikan Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia berjuang sebagai
pelopor membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam penjajahan dan aktif mendorong mewujudkan
tata dunia baru yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Semisal kunjungan SBY
menghadiri pemakaman Arafat menunjukkan komitmen politik luar negeri kita pada perjuangan
Palestina. Dari pertemuan APEC terekam upaya SBY melakukan 12 pembicaraan bilateral dengan target
menarik investasi 1-2 miliar dolar AS per pertemuan. Pembicaraan dengan George W. Bush dimaksudkan
SBY untuk melobi Amerika dalam menjalin kerja sama militer yang selama beberapa tahun terputus,
termasuk embargo yang diterapkan ke Indonesia.Indonesia saat ini memprakarsai rencana aksi nyata
GNB mendukung proses perdamaian dan terwujudnya Palestina merdeka dan berdaulat penuh.Langkah
ini diambil untuk menunjukkan bahwa GNB masih ada dan tetap eksis hingga saat ini.