Anda di halaman 1dari 120

HUBUNGAN KEBIASAAN MEMBERSIHKAN TELINGA PADA

PENGGUNA COTTON BUD DENGAN KEJADIAN OTOMIKOSIS DI

POLI THT RUMAH SAKIT CAMATHA SAHIDYA KOTA BATAM

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2020

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

PUJA MONITRA TRANSMIKA

61117062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2021
PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Hubungan Kebiasaan Membersihkan Telinga Pada


Pengguna Cotton Bud Dengan Kejadian Otomikosis Di Poli THT Rumah
Sakit Camatha Sahidya Kota Batam Periode Januari-Desember 2020

PUJA MONITRA TRANSMIKA, NPM: 61117062, Tahun: 2021

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi


Fakultas Kedokteran Universitas Batam

Pada Hari Senin, Tanggal 21 Juni 2021

Pembimbing I:
dr. Miralza Diza, Sp. THT-KL
NIDN: 1008046801 .……………
Pembimbing II:
Isramilda, M.Si
NIDN: 1021058202 .……………
Penguji I:
Dr. dr. Ibrahim, S.H.,M.Sc.,M.Pd.Ked.,M.Kn.,Sp.KKLP
NIDN: 1008115701 .……………
Penguji II:
dr. Andi Ipaljri Saputra, M.Kes
NIDN: 1014078606 .……………

Universitas Batam, 21 Juni 2021


Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. dr. Ibrahim, S.H.,M.Sc.,M.Pd.Ked.,M.Kn.,Sp.KKLP


NIDN: 1008115701

ii
iii

PERSETUJUAN VALIDASI HASIL SKRIPSI

Proposal Penelitian dengan Judul:

Hubungan Kebiasaan Membersihkan Telinga Pada Pengguna Cotton Bud


Dengan
Kejadian Otomikosis Di Poli THT Rumah Sakit X Kota Batam
Periode Januari-Desember 2020

Nama : PUJA MONITRA TRANSMIKA


NPM : 61117062

Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Validasi Hasil Skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Batam.

Batam, 16 Juni 2021


Pembimbing I Pembimbing II

dr. Miralza Diza, Sp. THT-KL Isramilda, M. SI

NIDN : 1008046801 NIDN : 1021058202

Menyetujui,
Bagian Skripsi

iii
iv

dr. Kasih Purwati, M.Kes


NIDN : 1018068302
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Puja Monitra Transmika

Npm : 61117062

Program Studi : Program Studi S1 Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Batam

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Batam, 21 Juni 2021


Yang membuat pernyataan

Puja Monitra Transmika


NPM. 61117062

iv
v

BIODATA PENULIS

Nama : Puja Monitra Transmika

NPM : 61117062

Tempat & Tanggal Lahir : Sintang,21 Februari 1998

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Kurnia Djaja Alam, Gelatik 4 no.37, Batam

Nama Orang Tua

Ayah : Fahrudin.

Ibu : Helyanah. S.H.

RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sintang (2003-2009)

SMP : SMP Negeri 1 Sintang (2009-2012)

SMA : SMA Negeri 3 Sintang (2012-2015)

S1 Kedokteran : Universitas Batam (2017- Sekarang)

v
vi

MOTTO

“ What is meant for you,

will reach you even if it is beneath two mountains.

And what isn’t meant for you,

won’t reach you even if it is between your two lips.”

“Apa yang ditakdirkan untukmu,

akan menjangkaumu walaupun itu di antara dua gunung.

Dan apa yang tidak ditakdirkan untukmu,

tidak akan menjangkaumu walaupun itu di antara dua bibirmu. ”

- Imam Ali bin Abi Thalib (as).

vi
vii

ABSTRAK

PUJA MONITRA TRANSMIKA, 61117062, 2021. Hubungan Kebiasaan


Membersihkan Telinga Pada Pengguna Cotton Bud Dengan Kejadian Otomikosis
Di Poli THT Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam Periode Januari-
Desember 2020.

Latar Belakang: Indonesia dengan iklim tropis memiliki tingkat kelembapan


yang tinggi menyebabkan infeksi jamur mudah terjadi di tubuh manusia, seperti
pada liang telinga atau yang disebut otomikosis. Salah satu penyebab terjadinya
otomikosis yaitu kebiasaan self cleaning menggunakan cotton bud. Penelitian ini
bertujuan untuk untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan membersihkan
telinga pada pengguna cotton bud dengan pasien otomikosis dan bukan
otomikosis di Poli THT Rumah Sakit Camatha Sahidya kota Batam periode
Januari-Desember 2020.

Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan pendekatan


kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang pernah
berkunjung ke Poli THT Rumah Sakit Camatha Sahidya periode Januari-
Desember. Sampel berjumlah sebesar 74 dengan perbandingan antara jumlah
kasus dengan kontrol (1:1), sehingga diperoleh besar sampel minimal untuk kasus
dan kontrol sebanyak 148. Uji analisis data menggunakan uji Chi Square dengan
menggunakan program komputer.

Hasil: Hasil analisis hubungan antara kebiasaan membersihkan telinga pada


pengguna cotton bud dengan pasien otomikosis dan bukan otomikosis di poli THT
rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-Desember 2020,
didapatkan variabel yang berhubungan dengan kejadian Otomikosis adalah
frekuensi penggunaan cotton bud OR =2.708 dan P=.003, kedalaman penggunaan
cotton bud OR =2.172 dan P=.021. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan
adalah durasi penggunaan cotton bud OR =.708 dan P=.309.

Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan antara variabel frekuensi dan kedalaman penggunaan cotton bud dengan
kejadian otomikosis pada pasien Poli THT Rumah Sakit Camatha Sahidya periode
Januari-Desember 2020.

Kata Kunci: Otomikosis, Cotton Bud, Otitis Eksterna

vii
viii

ABSTRACT

PUJA MONITRA TRANSMIKA, 61117062, 2021. The Relationship of Ear


Cleaning Habits in Cotton Bud Users with Otomycosis Incidence at the ENT
Department of Camatha Sahidya Hospital Batam City Period January-December
2020.

Background: Indonesia, with a tropical climate, has a high level of humidity,


causing fungal infections to easily occur in the human body, such as in the ear
canal or what is called otomycosis. One of the causes of otomycosis is the habit of
self-cleaning using cotton buds. This study aims to determine the relationship
between the habit of cleaning the ears of cotton bud users with otomycosis and
non-otomycosis patients at the ENT Department of Camatha Sahidya Hospital
Batam for the period January-December 2020.

Methods: This research is an analytic observational study with a case control


approach. The population in this study were all patients who had visited the ENT
Departmen of Camatha Sahidya Hospital in January-December. The sample
amounted to 74 with a ratio between the number of cases and controls (1:1), so
that the minimum sample size for cases and controls was 148. The data analysis
test used the Chi Square test using a computer program.

Results: The results of the analysis of the relationship between the habit of
cleaning the ears of cotton bud users with otomycosis and non-otomycosis
patients at the ENT department of Camatha Sahidya Hospital Batam for the
period January-December 2020, it was found that the variables associated with
the incidence of Otomycosis were the frequency of using cotton buds OR = 2.708
and P = .003, the depth of use of cotton buds OR = 2.172 and P = .021. While the
unrelated variable was the duration of using cotton buds OR = .708 and P = .309.

Conclusion: Based on the results of this study, it can be concluded that there is a
relationship between the frequency and depth of the use of cotton buds with the
incidence of otomycosis in ENT Polyclinic patients at Camatha Sahidya Hospital
for the period January-December 2020.

Keywords: Otomycosis, Cotton Bud, Otitis Externa

viii
ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Hubungan Kebiasaan Membersihkan Telinga Pada
Pengguna Cotton Bud Dengan Kejadian Otomikosis Di Poli THT Rumah
Sakit Camatha Sahidya Kota Batam Periode Januari-Desember 2020“.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas
Batam.
Penyelesaian skripsi ini banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada:

1. H. Rusli Bintang selaku Ketua Yayasan Griya Husada Universitas Batam,


2. Prof. Dr. Ir. Chabullah Wibisono, MM sebagai Rektor Universitas Batam,

3. Dr. dr. Ibrahim, SH, MSc, MKn, MPd. Ked, Sp. KKLP, sebagai Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Batam,

4. dr. Suryanti, M. Kes, sebagai Ketua Program Studi S1 Kedokteran Fakultas


Kedokteran Universitas Batam,

5. dr. Miralza Diza, Sp.THT-KL, selaku dosen pembimbing I atas kesabaran dan
kesediaannya untuk meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran, kritik
dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama pembuatan skripsi ini
sehingga dapat terselesaikan dengan baik,

6. Bu Isramilda, M. Si selaku dosen pembimbing II atas kesabaran dan


kesediaannya untuk meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran, kritik
dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama pembuatan skripsi ini
sehingga dapat terselesaikan dengan baik,

7. Dr. dr. Ibrahim, SH, MSc, MKn, MPd.Ked, Sp. KKLP, selaku dosen penguji I
atas kesabaran dan kesediaannya untuk meluangkan waktu, memberikan

ix
x

bimbingan, saran, kritik dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama


pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik,
8. dr. Andi Ipaljri Saputra, M. Kes, selaku dosen penguji II atas kesabaran dan
kesediaannya untuk meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran, kritik
dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama pembuatan skripsi ini
sehingga dapat terselesaikan dengan baik,
9. Segenap dosen dan staff pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Batam,
10. Kedua orangtua saya Ayahanda Fahrudin dan Ibunda Helyanah serta kedua
kakak saya Fahrullyana Pontyasari beserta suami dan Chintya Toga Ismrury
beserta suami dan juga adik saya Quinne Khadra Merdeka Putri yang telah
memberikan semangat, doa dan dukungan baik dari segi moral maupun
material kepada saya selama menjalani pendidikan dan penelitian.
Terimakasih banyak, semoga Allah memberikan rezeki yang berlimpah
kepada keluarga kita. Amin,

11. Sahabat saya Rizky Nur Hidayah beserta kedua orang tua dan Tiara Cahaya
Islami beserta kedua orangtuanya yang telah memberikan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini,

12. Kakak tingkat saya, M. Hashemy Al-ghozi Hasibuan dan Meilani Debora
Glen Mayora Bako yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam
penyelesaian proposal ini,

13. Sahabat-sahabat angkatan 2017 “OCCIP17ALE” yang telah memberikan


dukungan dan semangat sehingga proposal skripsiini dapat selesai.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik sangat diharapkan. Penulis berharap Tuhan YME
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi
dapat disetujui dan ada manfaatnya dikemudian hari.

Batam, Juni 2021

Puja Monitra Transmika

x
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. ii
LEMBAR VALIDASI…………………………………………………………. Iii
LEMBAR KEASLIAN PENULISAN………………………………………… iv
BIODATA PENULIS………………………………………………………….. v
MOTTO………………………………………………………………………... vi
ABSTRAK……………………………………………………………………... vii
ABSTRACT…………………………………………………………………… viii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………... xvi
DAFTAR LAMPIRAN…..……………………………………………………. xvii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………...…………. 1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………...……… 4
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………..…….. 5
1.3.1. Tujuan Umum………………………………………… 5
1.3.2. Tujuan Khusus…………………………………….... 5
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………….. 6
1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti….…………………………...… 6
1.4.2. Manfaat Bagi Peneliti Lain…………………………... 6
1.4.3. Manfaat Bagi Program Studi…...…..………………… 6
1.4.4. Manfaat Bagi Responden Penelitian………………….. 7

xi
xii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga Bagian Luar………………...... 8
2.1.1. Aurikel atau Pinna...…………………………………... 9
2.1.2. Kanalis Akustikus Eksternus…………………………. 9
2.1.3. Membran Timpani…...……………………………….. 11
2.2. Otitis Externa…………………………………………...……... 12
2.2.1. Definisi………………………………………………... 12
2.2.2. Patofisiologi…………………………………………... 13
2.3. Otomikosis…………………………………………………….. 14
2.3.1. Definisi………………………………………………... 14
2.3.2. Etiologi dan Faktor Resiko…………………………… 15
2.3.3. Manifestasi Klinis…………………………………… 17
2.3.4. Patofisiologi………………………………………....... 18
2.3.5. Penatalaksanaan………………………………………. 21
2.4. Hubugan Kejadian Otomikosis dengan Kebiasaan 24
Membersihkan Telinga Menggunakan Cotton Bud……………..
2.4.1. Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan 25
Kejadian Otomikosis…………………………………..
2.4.2. Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud 26
dengan Kejadian Otomikosis………………………….
2.4.3. Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan 27
Kejadian Otomikosis…………………………………..
2.5. Penelitian Terkait………………………………………………. 28
2.6. Kerangka Teori………………………………………………… 30
2.7. Hipotesis Kerja…………………………………………………. 31

BAB III METODE PENELITIAN


3.1. Kerangka Konsep Penelitian…………………………………… 32
3.2. Hipotesis Penelitian…………………………………………….. 32
3.3. DesainPenelitan……………………………………………….. 33
3.4. Subjek Penelitian....…………………………………………… 34

xii
xiii

3.4.1. Populasi……………………………………………….. 34
3.4.2. Sampel………………………………………………… 35
3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………... 38
3.5.1. Lokasi Penelitian……………………………………… 38
3.5.2. Waktu Penelitian…………….………………………... 38
3.6. Variabel Penelitian……………………………………………... 39
3.6.1. Variabel Independen………………………………….. 39
3.6.2. Variabel Dependen…………………...………………. 39
3.7. Definisi Operasional…………………………………………... 40
3.8. Prosedur Pengumpulan Data…………………………………… 42
3.8.1. Jenis Data……………………………………………... 42
3.8.2. Sumber Data…………………………………………... 42
3.8.3. Instrumen Penelitian………………...………………... 42
3.9. Cara Kerja…………………………………………………... 43
3.10. Pengolahan Data……………………………………………... 43
3.10.1. Editing………………………………………………… 43
3.10.2. Coding………………………………………………… 44
3.10.3. Entry…………………………………………………... 44
3.10.4. Cleaning………………………………………………. 44
3.11. Analisa Data………………………………………………….. 44
3.11.1. Analisis Univariat………...…………………………... 44
3.11.2. Analisis Bivariat………………………………………. 45
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum……………………………………………..... 46
4.2. Analisis Univariat……………………………………………..... 47
4.2.1. Distribusi Frekuensi Kejadian Otomikosis…………… 47
4.2.2. Distribusi Frekuensi Penggunaan Cotton Bud…………. 47

xiii
xiv

4.2.3. Distribusi Frekuensi Kedalaman Penggunaan Cotton 48


Bud…………………………………………………….
4.2.4. Distribusi Frekuensi Durasi Penggunaan Cotton Bud… 49
4.3. Analisis Bivariat…………...……………………………………. 50
4.3.1.
Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan 51
Otomikosis…………………………………………….
4.3.2. Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud 52
dengan Otomikosis…………………………………….
4.3.3. Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan 54
Otomikosis…………………………………………….
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Analisis Univariat…………………………………………..…... 56
5.1.1. Frekuensi Penggunaan Cotton Bud……………..……. 57
5.1.2. Kedalaman Penggunaan Cotton Bud………………….. 59
5.1.3. Durasi Penggunaan Cotton Bud…………………….. 62
5.2. Analisis Bivariat………………………………………………. 64
5.2.1 Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan 64
Kejadian Otomikosis…………………………………..
5.2.2 Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud 66
dengan Kejadian Otomikosis..………………………..
5.2.3 Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan 67
Kejadian Otomikosis…………………………………..
5.3. Keterbatasan Penelitian……………………………….. 69

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesipulan......................................................................………… 70
6.2. Saran…………………………………………………………... 71

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Penelitian Terkait…………………………………………………...... 28

Tabel 3.1: Definisi Operasional………………………………………………...... 40

Tabel 4.1: Kejadian Otomikosis…………………………………………………. 47

Tabel 4.2: Frekuensi Penggunaan Cotton Bud…………………………………... 48

Tabel 4.3: Kedalaman Penggunaan Cotton Bud…………………………………. 49

Tabel 4.4: Durasi Penggunaan Cotton Bud……………………………………… 50

Tabel 4.5: Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan Otomikosis..... 51

Tabel 4.6: Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud dengan Otomikosis... 53

Tabel 4.7: Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan Otomikosis……... 54

xv
xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Anatomi Telinga………………………………………………... 8

Gambar 2.2: Pemeriksaan Otoskop pada Otomikosis………………………… 18

Gambar 2.3: Kerangka Teori…………………………………………………. 30

Gambar 3.1: Kerangka Konsep Penelitian……………………………………. 32

Gambar 3.2: Desain Penelitian………………………………………………... 34

xvi
xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Konsul

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Izin Pengambilan Data

Lampiran 4 Informed Concent

Lampiran 5 Kuesioner Peneltian

Lampiran 6 Tabel Master

Lampiran 7 Hasil Analisis Data Menggunakan Komputerisasi

Lampiran 8 Jadwal Penelitian

Lampiran 9 Dokumentasi

xvii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dengan iklim tropis berpengaruh terhadap iklim, cuaca,

tingkat kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi disertai panas

sepanjang tahun. Tingkat kelembaban yang tinggi ini sangat baik bagi

pertumbuhan jamur. Infeksi jamur pada manusia dapat terjadi dimana saja

salah satunya adalah di liang telinga yang dipengaruhi oleh kelembaban yang

tinggi di daerah tersebut (Efiaty, 2012).

Infeksi jamur pada saluran pendengaran eksternal, telinga tengah dan

rongga mastoid terbuka disebut dengan fungal otitis externa atau otomikosis.

Aspergillus dan Candida adalah jenis jamur yang paling sering ditemukan

dalam diagnosa otomikosis. Jamur ini terdapat di tanah atau pasir dan

mengandung bahan nabati yang telah membusuk. Bahan nabati ini cepat

kering di bawah sinar matahari pada iklim tropis dan tertiup di udara oleh

angin sebagai partikel debu kecil. Spora jamur yang ada di udara terbawa

bersamaan dengan uap air (Itor, 2020). Hal tersebutlah yang membuat spora

jamur dapat masuk ke liang telinga dan kelembaban yang tinggi di liang

telinga dapat menyebabkan jamur tumbuh dengan baik.

Kasus otomikosis tersebar diseluruh belahan dunia. Sekitar 5-25%

total kasus otitis eksterna merupakan kasus otomikosis (Humaira, 2012).

Prevalensi otomikosis terkait dengan wilayah geografis dengan angka yang

lebih tinggi di daerah beriklim tropis dan subtropis (Barati, 2011).

1
2

Diperkirakan sebanyak 25% dari kasus infeksi telinga disebabkan oleh jamur

sedangkan di Inggris, diagnosis otitis eksterna yang disebabkan oleh jamur

ini sering ditegakkan pada saat berakhirnya musim panas (Humaira, 2012;

Itor, 2020). didapatkan jamur positif pada 91 kasus (6,54%). Data prevalensi

otomikosis yang didapatkan dari Poliklinik Otologi THT-KL Rumah Sakit

Hasan Sadikin Bandung selama periode bulan Januari 2012 sampai dengan

bulan Desember 2012 tercatat 7,45% dari seluruh total pasien. Sedangkan

angka kejadian otomikosis di Poliklinik THT RS Dustira Cimahi Periode

Desember 2017-Januari 2018 yaitu sebanyak 24 orang dari 929 orang pasien

yang menderitapenyakit telinga (2,58%) (Tambora, 2018).

Gejala spesifik otomikosis adalah gatal, nyeri telinga, keluarnya

cairan dari telinga, gangguan pendengaran, perasaan telinga penuh atau aural

fullnes, dan tinitus. Otomikosis terlihat lebih sering pada pasien

immunocompromised dibandingkan dengan orang imunokompeten.

Otomikosis banyak terihat pada pasien immunocompromised dikarenakan

respon imunnya menurun dan memudahkan infeksi jamur untuk berkembang.

Faktor predisposisi terjadinya otomikos meliputi penggunaan obat tetes

antibiotik, berenang, penggunaan cairan tidak steril pada liang telinga, dan

trauma dikarenakan penggunaan benda asing untuk membersihkan telinga

salah satunya cotton bud (Satish, 2013).

Sebagian besar masyarakat Indonesia membersihkan telinga

menggunakan cotton bud. Penggunaan cotton bud tersebut berlawanan

dengan mekanisme alami pembersihan telinga (Oladeji, 2015). Menurut


3

penelitian yang dilakukan oleh Money (2018), sebanyak 29 responden (42%)

sampel menggunakan cotton bud >1x/minggu dan 40 responden (58%)

sampel menggunakan cotton bud ≤1x/minggu. Sedangkan untuk durasi

pemakaian didapatkan sebanyak 52 responden (75.4%) telah menggunakan

cotton bud >10 tahun dan 17 responden (24.6%) telah menggunakan cotton

bud <10 tahun. Hal ini membuktikan bahwa frekuensi penggunaan cotton

bud masih tinggi di kalangan masyarakat.

Kotoran telinga yang dimaksud sebenarnya adalah serumen. Serumen

dikeluarkan dari telinga dengan mekanisme alami pembersihan telinga

berupa migrasi epithelial dari umbo membran timpani ke arah lateral.

Gerakan rahang ketika mengunyah membantu proses pengeluaran serumen

dari kanalis auditori eksternus (Olaosun, 2014). Pada kondisi normal,

serumen telinga berperan sebagai proteksi terhadap bakteri maupun jamur.

Kebiasaan menggunakan cotton bud ini terjadi karena kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang mekanisme self cleaning dan bahaya

penggunaan cotton bud. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gadanya

et al (2016) didapatkan bahwa sebanyak 76.3% dari total keseluruhan

responden mengetahui bahaya penggunaan cotton bud tetapi masih sering

melakukan kebiasaan membersihkan telinga menggunakan cotton bud.

Saluran telinga memiliki dua bagian; sepertiga bagian luar merupakan

tulang rawan dan sepertiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang

ditutupi oleh lapisan tipis periosteum dan kulit serta merupakan bagian

telinga yang paling sensitif terhadap AFB. Temuan klinis pasien yang paling
4

umum setelah pengangkatan benda asing adalah abrasi kulit saluran telinga

luar. Abrasi ini merupakan faktor predisposisi otitis eksternal (Al-juboori,

2013; Friedman, 2016). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Money (2018), didapatkan sebanyak 28 responden (20.4%) menggunakan

cotton bud hingga 2/3 dalam kanalis auditori eksternus dan 41 responden

(59.4%) menggunakan cotton bud pada 1/3 luar kanalis auditori eksternus.

Setelah dilakukan survey pendahuluan pada beberapa rumah sakit di

Kota Batam, didapatkan jumlah pasien yang mengunjungi poli THT rumah

sakit Camatha Sahidya periode Januari-Desember 2020 sebanyak 1.221 orang

dan jumlah kasus otomikosis yang mencukupi untuk penelitian ini berada di

rumah sakit tersebut. Berdasarkan teori yang menyebutkan bahwa salah satu

faktor terjadinya otomikosis adalah penggunaan cotton bud dan ditambah lagi

masih banyak masyarakat Indonesia yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud serta masih kurangnya penelitian yang menjelaskan

mengenai hubungan penggunaan cotton bud dengan kejadian otomikosis di

kota Batam menjadi alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang Hubungan Kebiasaan Membersihkan Telinga Menggunakan Cotton

Bud dengan Kejadian Otomikosis di Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota

Batam periode Januari-Desember 2020.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada

penelitian ini yaitu: Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan

membersihkan telinga pada pengguna cotton bud dengan pasien otomikosis


5

di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-Desember

2020?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahui hubungan

antara kebiasaan membersihkan telinga pada pengguna cotton bud

dengan pasien otomikosis dan bukan otomikosis di poli THT rumah

sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-Desember 2020.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Diketahui distribusi frekuensi penggunaan cotton bud pada

pasien otomikosis dan bukan otomikosis di poli THT rumah

sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-Desember

2020.

1.3.2.2. Diketahui distribusi frekuensi kedalaman penggunaan cotton

bud pada pasien otomikosis dan bukan otomikosis di poli THT

rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-

Desember 2020.

1.3.2.3. Diketahui distribusi frekuensi durasi penggunaan cotton bud

pada pasien otomikosis dan bukan otomikosis di poli THT

rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode Januari-

Desember 2020.

1.3.2.4. Diketahui hubungan antara frekuensi penggunaan cotton bud

dengan dengan pasien otomikosis dan bukan otomikosis di


6

poli THT rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020.

1.3.2.5. Diketahui hubungan antara kedalaman penggunaan cotton bud

dengan dengan pasien otomikosis dan bukan otomikosis di

poli THT rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020.

1.3.2.6. Diketahui hubungan antara durasi penggunaan cotton bud

dengan dengan pasien otomikosis dan bukan otomikosis di

poli THT rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan tentang penyakit otomikosis serta

menerapkan konsep-konsep penelitian pada mata kuliah metodologi

dan penelitian.

1.4.2. Manfaat Bagi Peneliti Lain

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

mengenai hubungan kejadian Otomikosis dengan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud. Sehingga dapat

dijadikan acuan atau rujukan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.3. Manfaat Bagi Program Studi

Dapat menjadi bahan informasi tentang perbedaan pengaruh

penggunaan cotton bud pada pasien otomikosis dan tidak otomikosis.


7

1.4.4. Manfaat Bagi Responden Penelitian

Dapat menambah pengetahuan tentang resiko penggunaan

cotton bud dan menambah pengetahuan tentang penyakit otomikosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga Bagian Luar

Anatomi telinga dibagi menjadi tiga wilayah utama: telinga luar, yang

mengumpulkan gelombang suara dan mengalirkannya ke dalam; telinga

tengah, yang menyampaikan getaran suara ke jendela oval; dan telinga bagian

dalam, yang menampung reseptor untuk pendengaran dan keseimbangan.

Telinga dipersarafi oleh saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius

(Dhingra, 2018).

Sumber (Dhingra, 2018)

Gambar 2.1: Anatomi Telinga

Telinga bagian luar terdiri dari aurikel atau pinna, kanal akustik

eksternal, dan membrane timpani.

8
9

2.1.1. Aurikel atau Pinna

Seluruh pinna kecuali lobulusnya dan bagian luar saluran

akustik eksternal terdiri dari satu bagian tulang rawan elastis kuning

yang dilapisi dengan kulit. Bagian ujungnya melekat erat pada

perikondrium di permukaan lateral sementara sedikit longgar di

permukaan medial (tengkorak) (Dhingra, 2018).

Tidak ada tulang rawan antara tragus dan crus helix, dan area

ini disebut incisura terminalis. Sayatan yang dibuat pada area ini tidak

akan memotong tulang rawan dan digunakan untuk pendekatan

endaural dalam pembedahan kanal auditorius ekserternal atau mastoid.

Pinna juga merupakan sumber beberapa bahan cangkok untuk ahli

bedah. Tulang rawan dari tragus, perikondrium dari tragus atau concha

dan lemak dari lobulus sering digunakan untuk operasi rekonstruksi

telinga tengah. Tulang rawan conchal juga telah digunakan untuk

memperbaiki nasal bridge yang tertekan sementara cangkok komposit

tulang rawan kulit dari pinna kadang-kadang digunakan untuk

memperbaiki cacat pada hidung (Dhingra, 2018).

2.1.2. Kanalis Akustikus Eksternus

Kanal akustik eksternal memanjang dari bagian bawah concha

ke membran timpani dan berukuran sekitar 24 mm di sepanjang

dinding posteriornya. Kanal ini tidak berbentuk lurus: bagian luarnya

diarahkan ke atas, ke belakang, ke depan dan ke tengah. Oleh karena

itu, untuk melihat membran timpani, pinna harus ditarik ke atas, ke


10

belakang dan ke samping sehingga kedua bagian tersebut sejajar

(Dhingra, 2018).

Menurut Dhingra yang ditulis dalam bukunya berjudul

Diesease of Ear, Nose and Throat;Head and Neck Surgey kanal

akustik terdiri dari dua bagian, yaitu:

2.1.2.1. Bagian Tulang Rawan. Bagian ini membentuk sepertiga

bagian luar (8mm) dari kanal. Tulang rawan merupakan

kelanjutan dari tulang rawan yang membentuk kerangka

pinna. Bagian ini memiliki dua celah bernama "fissures of

Santorini" dan melalui fisura tersebut infeksi mastoid parotid

atau superfisial dapat muncul di kanal atau sebaliknya. Kulit

yang menutupi saluran tulang rawan tebal dan mengandung

kelenjar ceruminous dan pilosebasea yang mengeluarkan lilin

(wax). Rambut hanya terbatas pada saluran luar dan oleh

karena itu furunkel (infeksi stafilokokus pada folikel rambut)

hanya terlihat di sepertiga bagian luar saluran.

2.1.2.2. Bagian Tulang. Bagian ini membentuk dua pertiga bagian

dalam (16 mm). Lapisan kulit yang membungkus bagian ini

tipis dan berlanjut hingga membran timpani. Bagian ini tidak

mmiliki rambut dan kelenjar ceruminous. Sekitar 6 mm di

lateral membran timpani, tulang tulang menyempit dan bagian

tersebut disebut isthmus. Benda asing, bersarang di

menyangkut di bagian medial hingga isthmus, terkena


11

benturan, dan sulit dikeluarkan. Bagian anteroinferior dari

meatus profunda, di luar isthmus, terdapat anterior recess,

yang bertindak sebagai tangki septik untuk keluarnya cairan

dan debris pada kasus infeksi telinga luar dan tengah. Bagian

anteroinferior dari kanal tulang dapat menunjukkan defisiensi

(foramen dari huschke) pada anak-anak sampai usia empat

tahun atau kadang-kadang bahkan pada orang dewasa, yang

memungkinkan terjadinya infeksi ke parotid dan dari parotid.

2.1.3. Membran Timpani

Bagian ini membentuk sekat antara saluran akustik eksternal

dan telinga tengah. Sekat ini terletak miring dan mengakibatkan bagian

posterosuperiornya lebih lateral daripada bagian anteroinferiornya.

Tingginya 9-10 mm, lebar 8-9 mm, dan tebal 0,1 mm. Membran

timpani dapat dibagi menjadi dua bagian (Dhingra, 2018):

2.1.3.1. Pars Tensa. Bagian ini membentuk sebagian besar membran

timpani. Pinggirannya menebal untuk membentuk cincin

fibrocartilaginous yang disebut annulus tympanicus, yang

cocok dengan sulkus timpani. Bagian tengah pars tensa

melengung ke dalam setinggi ujung maleus dan disebut umbo.

2.1.3.2. Pars Flaccida (Membran Shrapnell). Bagian ini terletak di atas

proses lateral malleus antara takik Rivinus dan lipatan mallea

anterior dan posterior (sebelumnya disebut lipatan malleolar).


12

Ini tidak terlalu kencang dan mungkin tampak agak merah

muda.

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan:

2.1.3.1.Lapisan luar epitel yang bersambung dengan lapisan kulit

meatus.

2.1.3.2.Lapisan mukosa bagian dalam, yang bersambung dengan

mukosa telinga tengah.

2.1.3.3.Lapisan fibrosa tengah, yang membungkus gagang maleus dan

memiliki tiga jenis serat; radial, sirkuler, dan parabola.

Lapisan berserat pada pars flaccida tipis dan tidak tersusun

menjadi berbagai serabut seperti pada pars tensa.

2.2. Otitis Externa

2.2.1. Definisi

Otitis eksterna atau Radang pada telinga luar adalah radang

pada kulit atau kartilago aurikula, liang telinga atau lapisan epitel

membran timpani yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus.

Radang dapat dikategorikan berdasarkan penyebab dan lokasi, serta

diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadi sebagai akut, subakut dan

kronis (Imanto, 2015).

Faktor yang mempermudah terjadinya radang pada telinga luar

adalah perubahan pH di liang telinga, yang biasanya normal atau asam.

Bila pH menjadi basa, proteksi terhadap infeksi menurun. Pada

keadaan udara yang hangat dan lembab, bakteri dan jamur mudah
13

tumbuh. Predisposisi radang pada telinga luar yang lain adalah trauma

ringan saat mengorek telinga (Imanto, 2015).

2.2.2. Patofisiologi

Saluran pendengaran eksternal ditutupi oleh folikel rambut

dan kelenjar penghasil serumen. Serumen berfungsi sebagai pelindung

dan menjaga pH di dalam liang telinga agar tetap asam yang

menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur (Wipperman, 2014).

Respon inflamasi pada otitis eksterna diyakini disebabkan oleh

gangguan pada pH normal dan faktor pelindung di dalam saluran

pendengaran. Ini termasuk proses kerusakan epitel berurutan,

hilangnya lilin pelindung, dan akumulasi kelembapan yang mengarah

ke pH yang lebih tinggi dan pertumbuhan bakteri (Hajioff, 2015).

Sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan

dan dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. (Oghalai,

JS.,2013). Serumen yang berlebihan atau telalu kental dapat

menyebabkan penyumbatan, retensi air dan kotoran, serta infeksi

(Murtaza, et.al,2015).

Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada liang telinga

merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan jamur.

Adanya faktor predisposisi otitis eksterna dapat menyebabkan

berkurangnya lapisan protektif yang menimbulkan edema epitel

skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma lokal yang memudahkan

bakteri masuk melalui kulit, terjadi inflamasi dan cairan eksudat. Rasa
14

gatal memicu terjadinya iritasi, setelah timbul infeksi dan terjadi

pembengkakan yang akhirnya menimbulkan rasa nyeri pada telinga.

Proses infeksi menyebabkan peningkatan suhu kemudian

menimbulkan perubahan rasa tidak nyaman dalam telinga. Selain itu,

proses infeksi akan mengeluarkan cairan/nanah yang bisa menumpuk

dalam liang telinga (meatus akustikus eksterna) sehingga hantaran

suara akan terhalang dan terjadilah penurunan pendengaran (Oghalai,

JS.,2013).

2.3. Otomikosis

2.3.1. Definisi

Otomikosis adalah infeksi jamur pada saluran pendengaran

eksternal dan komplikasinya terkadang melibatkan telinga tengah.

Jamur menyebabkan 10% dari semua kasus otitis eksterna. Ini terjadi

karena lipid / asam asam pelindung telinga hilang. Dalam beberapa

tahun terakhir, infeksi jamur oppurtunistik telah bertambah besar

pentingnya dalam pengobatan manusia, mungkin karena meningkatnya

jumlah pasien yang mengalami gangguan sistem imun. Namun, jamur

tersebut juga dapat menghasilkan infeksi pada inang imunokompeten.

Pada pasien immunocompromised, pengobatan otomikosis harus kuat

untuk mencegah komplikasi seperti gangguan pendengaran dan infeksi

tulang temporal. Andrall dan Gaverret adalah orang pertama yang

menggambarkan infeksi jamur pada telinga; meskipun spektrum jamur


15

luas terlibat, Aspergillus dan Candida adalah spesies yang paling

umum ditemui (Satish, 2013).

2.3.2. Etiologi dan Faktor Resiko

Beberapa jamur dapat menyebabkan reaksi radang liang

telinga. Dua jenis jamur yang yang sering ditemukan adalah

Pityrosporum dan Aspergillus A. Niger, A.Flavus) (Humaira,2012).

Spesies yang paling sering adalah Aspergillus flavus (42,4%), A. niger

(35,9%), A. fumigatus (12,5%), A. candidus (7,1%), A. terreus (1,6%),

dan Paecilomyces variotii (0,5%) (Mahmoudabadi, 2010).

Otomikosis dapat dijumpai diberbagai wilayah di dunia,

umumnya prevalensi otomikosis terkait dengan wilayah demografis

dengan tingkat kelembaban yang tinggi di daerah tropis dan subtropis.

Negara tropis dan subtropis mempunyai derajat kelembaban yang

tinggi sekitar 70-80% dengan suhu udara sekitar 15-300C (Barati,

2011).

Faktor resiko penyakit ini disebabkan oleh perubahan

kelembaban, suhu yang tinggi,maserasi kulit liang telinga yag terpapar

lama oleh kelembaban, trauma lokal serta masuknya bakteri sebagai

keadaan yang sering berkaitan dengan penyakit ini. Menurunya sistem

imun (immunocompromised), penggunaan steroid, penyakit

dermatologi, ketiadaan serumen, penggunaan alat bantu dengar dan

pengguaan antibiotik spektrum luas juga merupakan faktor resiko

timbulnya otomikosis. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh


16

Pandey (2019) salah satu faktor resiko terjadinya otomikosis adalah

self cleaning ataupun kebiasaan membersihkan telinga sendiri

mnggunakan benda asing salah satunya adalah cotton bud. Sedangkan

pada penelitian yang dilakukan oleh Satish (2013), 60% dari pasien

memberikan riwayat manipulasi / trauma pada Kanalis Akustikus

Eksternus (KAE) dengan tongkat, bulu, pemetik logam, pin, cotton

bud dll, 48% dari pasien memiliki riwayat penggunaan obat tetes

telinga antibiotik atau penggunaan minyak nonsteril ke telinga. Juga,

30% dari pasien memiliki penyakit sistemik terkait, 27% terkait

OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis) dan OE (Otitis Eksterna), 8%

di antaranya memiliki rongga mastoid dan 15% tidak memiliki faktor

predisposisi.

Pada dasar nya, telinga bisa membersihkan dirinya sendiri

dengan membuang sel-sl kulit mati dari gendang telinga melalui

saluran telinga. Mekanisme ini bisa terganggu karena kebiasaan

membersihkan saluran telinga dengan cotton bud. Serumen dan sel-sel

kulit mati terdorong ke garah gendang telinga sehingga kotoran

menumpuk disana dan akan menyebabkan penimbuan air yang masuk

ke dalam saluran telinga ketika mandi atau berenang. Kulit yag basah

dan lembab ini dapat memudahkan tumbuhnya jamur (Humaira, 2012).

Kulit yang normal mengandung lapisan lemak yang tipis pada

permukaannya yang mempunyai kerja antibakteri dan fungistatik.

Trauma oleh benda asing pada saluran telinga dapat menyebabkan


17

lapisan lemak dari tulang rawan liang telinga terbuang. Pada umunya,

lapisan ini berganti dengan sendiri, namun apabila dicuci berkali-kali

maka lapisan lemak tersebut akan menghilang dan organisme pathogen

yag tertanam dapat berkembang (Dhingra, 2012).

Olahraga air misalnya berenang dan berselancar sering

dihubungkan dengan otomikosis oleh arena paparan ulang dengan air

sehingga kanal menjadi lembab da dapat mempermudah pertumbuhan

jamur (Humaira, 2012).

2.3.3. Manifestasi Klinis

Otomikosis hadir dengan gejala nonspesifik seperti pruritis,

kemampuan mendengar menurun, diikuti dengan otalgia, otore dan

tinnitus. Penampakan lokal dalam otomikosis adalah penumpukan

fibrosa yang tebal dari puing-puing kulit yang mati terlihat seperti

kapas atau kertas basah, area kecil berbatas tegas dari jaringan

granulasi didalam saluran pendengaran eksternal atau disekitar

membrane timpani diserti keluarnya cairan encer (Manjunath, 2020).

Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan umum pada

tahap awal dan sering mengawali terjadinya rasa nyeri. Rasa sakit pada

telinga bisa bervariasi mulai dari hanya berupa perasaan tidak enak

pada telinga, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti terbakar

hingga berdenyut diikuti nyeri yang hebat (Humaira, 2012).


18

Sumber (Manjunath, 2020)

Gambar 2.2: Pemeriksaan otoskop pada otomikosis

Menurut Bansal pada tahun 2013, gejala pada penderita

otomikosis adalah:

2.3.3.1. Gatal-gatal hebat, rasa tidak nyaman, atau sakit telinga.

2.3.3.2. Discharge dengan bau apek dan penyumbatan telinga.

2.3.3.3. Kulit yang sodden (lembap), merah, dan edematosa.

Sedangkan menurut penelitan Itor, et al dari 250 pasien

didapatkan 100 orang (40%) mengalami gatal-gatal, 50 orang (20%)

mengalami otalgia, 30 orang (12%) mengalami otorrhea, 1 orang

(6.8%) mengalami tinnitus, 20 orang (8%) mengalami inflamasi, dan

33 orang (13.2%) mengalami kesulitan mendengar.

2.3.4. Patofisiologi

Otomikosis terhubung dengan histologi dan fisiologi saluran

pendengaran eksternal. Kanal silinder dengan panjang 2,5 cm dan

lebar 7-9 mm ini dilapisi dengan epitel skuamosa berkeratin bertingkat

yang berlanjut di sepanjang sisi luar membran timpani. Pada reses


19

timpani interior, medial ke isthmus cenderung menumpuk sisa-sisa

keratin dan serumen dan daerah itu sulit dibersihkan (Edward dan

Irfandy, 2012).

Serumen memiliki sifat antimikotik dan bakteriostatik serta

merupakan pengusir serangga. Serumen terdiri dari lipid (46 hingga

73%), protein, asam amino bebas dan ion mineral, ia juga mengandung

lisozim, imunoglobulin, dan asam lemak tak jenuh ganda. Asam lemak

rantai panjang yang ada di kulit tidak rusak mungkin menghambat

pertumbuhan bakteri. Karena komposisinya yang bersifat hidrofobik,

serumen mampu menahan air, membuat permukaan saluran menjadi

kedap air dan menghindari maserasi dan kerusakan epitel (Edward dan

Irfandy, 2012). Serumen berfungsi sebagai pelindung dan menjaga pH

di dalam liang telinga agar tetap asam yang menghambat pertumbuhan

bakteri dan jamur (Wipperman, 2014). Respon inflamasi pada otitis

eksterna diyakini disebabkan oleh gangguan pada pH normal dan

faktor pelindung di dalam saluran pendengaran (Hajioff, 2015).

Mekanisme alami pembersihan telinga berupa migrasi

ephitelial dari umbo membrane timpani kearah lateral mengeluarkan

serumen dari dalam telinga. Selain itu, gerakan mengunyah juga dapat

membantu proses pengeluaran serumen tersebut (Olausun, 2014).

Penggunaan cotton bud dapat mengganggu mekanisme self claning

dan dapat mendorong sel-sel kulit mati beserta serumen kearah

gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana. Masalah ini juga


20

diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa lekukan pada liang

telinga (Oghalai, 2013).

Kadar keasaman pada serumen berkisar antara 4-5 yang

berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur (Marlinda et al,

2016). Perubahan kadar keasaman KAE yang bisa disebabkan kadar

kelembaban yang tinggi, sering membersihkan telinga, atau berenang,

dapat memungkinkan risiko terjadinya otomikosis (Sudarajad et al,

2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satish, Vishwantha

dan Manjuladevi 60% dari pasien memberikan riwayat trauma pada

KAE dengan tongkat/batang , bulu, alat pembersih telinga logam,

peniti, cotton bud, dll. 48% pasien memiliki riwayat penggunaan obat

tetes telinga antibiotik, steroid antibiotic telinga tetes, atau

menggunakan minyak nonsteril ke telinga. Juga, 30% dari pasien kami

memiliki penyakit sistemik terkait, 27% terkait OMSK, 8% di

antaranya memiliki rongga mastoid dan 15% tidak memiliki faktor

predisposisi.

Mikroorganisme normal yang ditemukan di saluran

pendengaran eksternal seperti Staphylococcus epidermidis,

Corrynebacterium sp, Bacillus sp, Gram-positive cocci

(Staphylococcus aureus, Sterptococcus sp, non-pathogenic

micrococci), Gram-negative bacilli (Pseudomonas aeruginosa,

Escherichia coli, Haemophilella influenza, dll) dan jamur miselia dari


21

Genus Aspergillus dan Candida sp. Mikroorganisme komensal ini

bukanlah patogen kecuali masih ada keseimbangan antara bakteri dan

jamur (Edward dan Irfandy, 2012).

2.3.5. Penatalaksanaan

Perawatan terdiri dari ear toilet menyeluruh untuk

menghilangkan semua kotoran dan puing-puing epitel yang konduktif

untuk pertumbuhan jamur. Antijamur khusus dapat diterapkan.

Nystatin (100.000 unit/mL profililen glikol) efektif melawan Candida.

Agen antijamur spektrum luas lainnya termasuk klotrimazol dan

povidon Iodin. Asam salisilat dua persen dalam alkohol juga efektif.

Ini adalah agen keratokitik yang menghilangkan lapisan superfisial

epidermis, dan bersama dengan topi, miselium jamur tumbuh ke

dalamnya. Perawatan antijamur harus dilanjutkan selama seminggu

bahkan setelah penyembuhan nyata untuk menghindari kekambuhan.

Telinga harus tetap kering. Infeksi bakteri sering dikaitkan dengan

sediaan antibiotik / steroid membantu mengurangi peradangan dan

edema dan dengan demikian persiapan awal yang lebih baik dari agen

antijamur (Dhingra, 2018).

Sediaan antijamur dapat dibedakan menjadi jenis non spesifik

dan spesifik. Anti jamur non spesifik termasuk larutan asam dan

dehidrasi seperti:

2.3.5.1. Asam borat merupakan asam sedang dan sering digunakan

sebagai antiseptik dan insektisida. Asam borat dapat


22

digunakan untuk mengobati jamur dan infeksi jamur penyebab

Candida albicans.

2.3.5.2. Gentian violet dibuat sebagai larutan konsentrat rendah (mis.

1%) dalam air. Telah digunakan untuk mengobati otomikosis

karena merupakan pewarna anilin dengan aktivitas antiseptik,

antiinflamasi, antibakteri dan antijamur. Ini masih digunakan

di beberapa negara dan disetujui FDA. Studi melaporkan

kemanjuran hingga 80%.

2.3.5.3. Cat Castellani (aseton, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol).

2.3.5.4. Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propylene glycol,

asam borat dan alkohol) .

2.3.5.5. Merchurochrome, antiseptik topikal yang terkenal, antijamur.

Dengan merthiolate (thimerosal), merchurochrome tidak lagi

disetujui oleh FDA karena mengandung merkuri. Tisner

(1995) melaporkan kemanjuran 93,4% dalam menggunakan

thimerosal untuk otomycosis. Merchurochrome telah

digunakan secara khusus untuk kasus di lingkungan lembab

dengan efektivitas antara 95,8% dan 100%.

Terapi antijamur spesifik terdiri dari:

2.3.5.1. Nistatin adalah antibiotik makrolida poliena yang

menghambat sintesis sterol dalam membran sitoplasma.

Banyak jamur dan ragi yang sensitif terhadap nistatin

termasuk spesies Candida. Keuntungan utama dari nistatin


23

adalah tidak terserap di kulit utuh. Nistatin tidak tersedia

sebagai larutan ottic untuk pengobatan otomycosis. Nistatin

bisa diresepkan sebagai krim, salep atau bedak. Dengan

tingkat efektivitas hingga 50-80% .

2.3.5.2. Azoles adalah agen sintetik yang menurunkan konsentrasi

ergosterol dan sterol esensial dalam membran sitoplasma

normal.

2.3.5.3. Klotrimazol paling banyak digunakan sebagai azol topikal.

Tampaknya menjadi salah satu agen yang paling efektif untuk

manajemen otomikosis dengan tingkat efektif 95-100%.

Klotrimazol memiliki efek bakteri dan ini adalah keuntungan

ketika dokter mengobati infeksi jamur dan bakteri campuran.

Klotrimazol tidak memiliki efek ototoksik dan tersedia dalam

bentuk bubuk, losion, dan larutan.

2.3.5.4. Ketokonazol dan flukonazol memiliki aktivitas spektrum yang

luas. Khasiat ketokonazole dilaporkan 95-100% terhadap

spesies Aspergillus dan Candida albicans. Dapat ditemukan

dalam bentuk krim 2%. Flukonazol topikal telah dilaporkan

efektif pada 90% kasus.

2.3.5.5. Krim mikonazol 2% juga telah ditunjukkan pada tingkat

kemanjuran hingga 90% .

2.3.5.6. Bifonazole adalah agen antijamur dan umum digunakan di

tahun 80-an. Potensi larutan 1% mirip dengan klotrimazol dan


24

mikonazol. Bifonazol dan turunannya menghambat

pertumbuhan jamur hingga 100% .

2.3.5.7. Itrakonazol juga memiliki efek invitro dan in vivo terhadap

spesies Aspergillus.

2.4. Hubungan Kejadian Otomikosis dengan Kebiasaan Membersihkan

Telinga Menggunakan Cotton Bud

Mekanisme alami pembersihan telinga berupa migrasi ephitelial dari

umbo membrane timpani ke arah lateral mengeluarkan serumen dari dalam

telinga. Selain itu, gerakan mengunyah juga dapat membantu proses

pengeluaran serumen tersebut (Olausun, 2014). Penggunaan cotton bud dapat

mengganggu mekanisme self claning dan dapat mendorong sel-sel kulit

matibeserta serumen ke arah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk

disana. Masalah ini juga diperberat oleh adanya susunan anatomis berupa

lekukan pada liang telinga (Oghalai, 2013).

Kadar keasaman pada serumen berkisar antara 4-5 yang berfungsi

menekan pertumbuhan bakteri dan jamur (Marlinda et al, 2016). Perubahan

kadar keasaman KAE yang bisa disebabkan kadar kelembaban yang tinggi

atau sering membersihkan telinga, atau berenang, dapat memungkinkan

risiko terjadinya otomikosis (Sudarajad et al, 2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satish, Vishwantha

danManjuladevi 60% dari pasien memberikan riwayat trauma pada KAE

dengan tongkat/batang , bulu, alat pembersih telinga logam, peniti, cotton

bud, dll. 48% pasien memiliki riwayat penggunaan obat tetes telinga
25

antibiotik, steroid antibiotic telinga tetes, atau menggunakan minyak nonsteril

ke telinga. Juga, 30% dari pasien kami memiliki penyakit sistemik terkait,

27% terkait OMSK, 8% di antaranya memiliki rongga mastoid dan 15% tidak

memiliki faktor predisposisi.

2.4.1. Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara

membuang sel-sel kulit mati dari gendang telinga melalui saluran

telinga. Menurut Bailey (2006) dalam Humaira (2012), membersihkan

saluran telinga dengan cotton bud dapat mengganggu mekanisme

pembersihan ini dan dapat mendorong sel-sel kulit yang mati beserta

serumen kea rah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2011),

responden yang membersihkan telinga dengan frekuensi sering

beresiko untuk terkena otitis eksterna 4,9 kali dibanding yang

membersihkan telinga dengan frekuensi jarang. Dari hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa semakin sering seseorang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud maka akan semakin rentan terhadap trauma

benda asing dan penupukan sel-sel kulit mati dan serume. Trauma dan

penumpukan ini dapat menyebabkan kelembaban diliang telinga

meningkat sehingga memudahkan pertumbuhan jamur (Mustofa,

2011).
26

2.4.2. Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Anatomi telinga dibagi menjadi tiga wilayah utama: telinga

luar, yang mengumpulkan gelombang suara dan mengalirkannya ke

dalam; telinga tengah, yang menyampaikan getaran suara ke jendela

oval; dan telinga bagian dalam, yang menampung reseptor untuk

pendengaran dan keseimbangan (Gail, 2013).

Otomikososis merupakan infeksi jamur pada saluran

pendengaran eksternal atau kanalis auditorius eksternus eksternus.

Kanalis auditorius eksternus memanjang dari bagian bawah concha ke

membran timpani dan berukuran sekitar 24 mm di sepanjang dinding

posteriornya. Kanal ini tidak berbentuk lurus: bagian luarnya

diarahkan ke atas, ke belakang, ke depan dan ke tengah (Dhingra,

2018).

Kanalis akustikus eksternus terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian

tulang rawan (1/3 luar kanalis akustikus eksternus) dan bagian tulang

keras (2/3 dalam kanalis akustikus eksternus) (Dhingra, 2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Money (2018), didapatkan

hasil yang signifikan antara kedalaman penggunaan cotton bud dengan

serumen obsturan baik pada telinga kiri maupun pada telinga kanan.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dalam penggunaan

cotton bud maka akan semakin besar kemungkinan sel-sel kulit mati

serta kotoran atau serumen untuk berkumpul pada gendang telinga


27

sehingga keadaan liang telinga menjadi lembab dan memudahkan

pertumbuhan jamur.

2.4.3. Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Serumen memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi

menekan pertumbuhan bakteri dan jamur. Olahraga air misalnya

berenang dan berselancar sering dihubungkan dengan keadaan

otomikosis oleh karena paparan ulang dengan air sehingga kanal

menjadi lembab dan dapat mempermudah jamur tumbuh (Knott,

2012). Hal ini diperparah jika ditambah dengan kebiasaan self cleaning

mengunakan cotton bud. Kebiasaan membersihkan telinga

menggunakan cotton bud ini dapat menyebabkan terganggunya

mekanisme pembersihan telinga secara alami. Kotoran, serumen dan

sel-sel kulit mati dapat terdorong kearah gendang telinga sehingga

menyumbat air yang masuk saat melakukan aktivitas air dan mandi.

Hal ini menyebabkan keadaan liang telinga menjadi lembab dan

mempermudah pertumbuhan jamur (Humaira, 2012).

Menurut Mustofa (2011) dan Gadanya (2016) semakin lama

penggunaan cotton bud kemungkinan akumulasi sel-sel kulit mati dan

serumen serta trauma liang telinga lebih besar, namun hal ini juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam penggunaan cotton bud

tersebut.
2.5. Penelitian Terkait

Tabel 2.1: Penelitian Terkait

No. Peneliti/ Judul Desain Hasil


Jurnal Penelitian Penelitian Penelitian
1. Mustofa Variabel Observasional Hasil uji bivariat penelitian yang memiliki hubungan yang signifikan
, Aila Determinan analitik – case ialah frekuensi penggunaan cotton bud (p=0.001), intensitas
(2012) Penggunaan Cotton control penggunaan cotton bud (p=0.000), durasi penggunaan cotton bud
Bud Terhadap Objek (p=0.191), dan teknik (p=0,012). Hasil uji bivariat yang tidak
Insidensi Otitis Penelitian: memiliki hubungan yang signifikan ialah bahan cotton bud
Eksterna Pasien yang (p=1.000), dan kondisi penggunaan cotton bud (p=0.703). Hasil uji
berkunjung ke hipotesis Spearman berdasaran kekuatan korelasi menunjukkan
Poli THT bahwa terdapat korelasi positif antara frekuensi penggunaan cotton
RSUD bud (r=0.346/korelasi lemah), intesitas penggunaan cotton bud
dr.Moewardi (r=0.415/korelasi sedang), teknik penggunaan cotton bud
Surakarta (r=0.265/korelasi lemah) dengan otitis eksterna
Periode: 2012

2. Tambor Angka Kejadian Deskriptif – Prevalensi otomikosis di Poliklinik THT RS Dustira Cimahi periode
a, Dio Dan Fakotr Risiko cross sectional Desember 2017-Januari 2018 yaitu sebanyak 24 orang dari 929 orang
Ferdiana Penderita Objek (2,58%). Rerata usia pasien adalah 46,79 tahun, dengan simpangan
(2018) Otomikosis di Penelitian: baku 21,07 tahun, median 47tahun, usia paling muda adalah 4 tahun
Poliklinik THT Rs Pasien dan usia paling tua adalah 81 tahun, distribusi terbanyak pasien
Dustira Cimahi Otomikosis d otomikosis adalah pada kelompok usia >60 tahun yaitu sebanyak 6
Periode Desember Poli THT RS orang (25,0%). Sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan
2017 –Januari 2018 Dustira dibanding laki-laki yaitu sebanyak 16 orang dari 24 orang (66,7%).
Periode: Sebagian besar pasien memiliki kebiasaan mengorek telinga (Cotton

28
Desember Buds) yaitu sebanyak 15 orang (62,5%). Sebagian besar pasien
2017-Januari menggunakan penutup kepala (hijab/ kerudung, helm, topi kupluk)
2018 yaitu sebanyak 19 orang (79,2%). Pasien dengan aktivitas di air
(renang) sebanyak 3 orang (12,5%). Sebagian besar pasien
menggunakan antibiotik secara tidak tepat (tanpa resep dokter) yaitu
sebanyak 14orang (58,3%).

3. Money, Hubungan Antara Observasional, Hasil uji bivariat penelitian yang memiliki hubungan yang signifikan
Pivi Penggunaan Cotton cross-sectional ialah kedalaman penggunaan cotton bud pada telinga kiri sampai
(2018) Bud dengan Objek >1/3 luar kanalis auditori eksternus (p=0.037), kedalaman
Serumen Obsturan Penelitian: penggunaan cotton bud pada telinga kanan (p=0.014), dan frekuensi
Mahasiswa FK penggunaan cotton bud pada telinga kanan (p=0.008) . Hasil uji
Universitas bivariate yang tidak signifikan ialah frekuensi penggunaan cotton bud
Diponegoro pada telinga kiri yang sering (p=0.230), dan durasi penggunaan
pengguna cotton bud lebih dari sepuluh tahun pada telinga kiri (p=0.324).
cotton bud
Periode: 2018

29
30

2.6. Kerangka Teori

Swimmers Self Cleaning Penggunaan Alat


ear Bantu Dengar

Pengguna Cotton bud


- Frekuensi
- Kedalaman
- Durasi

Mendorong Trauma Kanalis


serumen ke dalam Akustikus
telinga Eksternus

Akumulasi Otitis Eksterna,


Serumen Otitis Media
Supuratif Kronis
Kelembaban ↑

Perkembangan
jamur ↑
Immunodefisiensi, Penggunaan
Steroid, Penyakit Antibiotik tetes
dermatologi Telinga

Penurunan sistem Penurunan jumlah


imun floral normal

Otomikosis

Gambar 2.3: Kerangka Teori

: Diteliti

: Tidak Diteliti
31

2.7. Hipotesis kerja

Berdasarkan latar belakang dan landasan teori dalam penelitian ini,

maka hipotesis dalam penelitia ini dirumuskan sebagai berikut:

“ Jika Sering Membersihkan Telinga Menggunakan Cotton bud, maka

Risiko Terjadinya Otomikosis Meningkat.”


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi

hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau

antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya yang diambil dari

masalah yang ingin diketahui dan diteliti (Notoadmodjo, 2012).

Variabel Independent Variabel Dependent

Frekuensi, Kedalaman dan Kejadian Otomikosis


durasi penggunaan cotton
bud

Gambar 3.1 : Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis Penelitian

3.2.1. Hipotesa Alternatif (Ha)

Hipotesis alternatif adalah hipotesis yang menyatakan ada

hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain atau hipotesis

yang menyatakan ada perbedaan suatu kejadian antara kedua

kelompok (Riyanto, 2011).

Ha: Ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan

membersihkan telinga pada pengguna cotton bud dengan kejadian

otomikosis.

32
33

3.2.2. Hipotesa Nol (Ho)

Hipotesa nol merupakan hipotesis yang menyatakan tidak ada

hubungan antara variabel dengan variabel yang lain atau hipotesis

yang menyatakan tidak ada perbedaan sesuatu kejadian antara kedua

kelompok (Riyanto, 2011).

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan

membersihkan telinga pada pengguna cotton bud dengan kejadian

otomikosis.

3.3. Desain Penelitian

Rancangan/Desain Penelitian yang dilakukan pada penelitian ini

adalah observasional analitik, dengan desain kasus kontrol (case control).

Observasional analitik yaitu suatu penelitian dengan cara mengukur pola

kebiasaan membersihkan telinga pada pengguna cotton bud dengan penderita

otomikosis dan bukan penderita otomikosis untuk mencari perbedaan antara

variabel sehingga dapat diketahui bagaimana perbedaan hubungan

penggunaan cotton bud untuk membersihkan telinga pada penderita

otomikosis dan bukan penderita otomikosis. Dan penelitian ini menggunakan

data kuantitatif yang berupa angka.

Case Control adalah penelitian yang dilakukan dengan

membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol.

Studi kasus kontrol dilakukan dengan mengindentifikasi kelompok kasus dan

kelompok kontrol, kemudian secara retrospektif (penelusuran ke belakang)

diteliti faktor risiko yang mungkin dapat menerangkan apakah kasus dan
34

kontrol terkena paparan atau tidak. Studi kasus pada penelitian ini adalah

penderita otomikosis dan studi kontrol dalam penelitian ini adalah bukan

penderita otomikosis.

Faktor Resiko (+)


 Frekuensi penggunaan cotton bud
 Kedalaman penggunaan cotton
bud
 Durasi penggunaan cotton bud
Otomikosis
Faktor Resiko (-)
 Frekuensi penggunaan cotton bud
 Kedalaman penggunaan cotton
bud
 Durasi penggunaan cotton bud

Faktor Resiko (+)


 Frekuensi penggunaan cotton bud
 Kedalaman penggunaan cotton
bud
 Durasi penggunaan cotton bud
Tidak Otomikosis
Faktor Resiko (-)
 Frekuensi penggunaan cotton bud
 Kedalaman penggunaan cotton
bud Ditelusuri Retrospektif
 Durasi penggunaan cotton bud

Gambar 3.2 : Desain Penelitian

3.4. Subjek Penelitian

3.4.1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas

objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu


35

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian diambil

kesimpulan (Sugiyono, 2018). Populasi pada penelitian ini adalah

seluruh pasien yang pernah melakukan pemeriksaan telinga di Rumah

Sakit Camatha Sahidya dari bulan Januari 2020 hingga Desember

2020. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 1221 orang.

3.4.2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini purposive

sampling. Purposive sampling merupakan pengambilan sampel yang

berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat

populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoadmojo, 2011).

Sesuai dengan rancangan penelitian ini (casecontrol), besar

sampel dihitung dengan rumus Lemeshow:

Diketahui:

P2 = Proposi pajanan pada kelompok kontrol 0,5

(estimasimaksimal)

Q2 = 1 – P2
= 1 – 0.5
= 0.5
P1-P2 = Selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap
36

bermakna, ditetapkan sebesar 0.15

P1 = P2 + 0.15
= 0.5 + 0.15
= 0.65
Q1 = 1 – P1
= 1 – 0.65
= 0.35
P =

= 0.575
Q = 1–P
= 1 – 0.575
= 0.425

Sehingga

N = 73.49 (dibulatkan 74)

Keterangan symbol sesuai penelitian ini:

N1 dan N2 : Jumlah sampel untuk masing-masing kelopok

Z : Nilai Z untuk = 0.05, Z = 1.96 (95%)


37

Z : Nilai Z untuk = 0.2, Z = 0.84 (80%)

P1 : Proporsi penggunaan cotton bud pada kelompok kasus

P2 : Proporsi penggunaan cotton bud pada kelompok kontrol

Berdasarkan perhitungan besar sampel di atas dibutuhkan

untuk masing-masing kelompok minimal 74 orang.

3.4.2.1. Sampel Kasus

Sampel kasus pada penelitian ini adalah penderita

otomikosis yang pernah mengunjungi poli THT-KL Rumah

Sakit Camatha Sahidya di Kota Batam.

3.4.2.1.1. Kriteria inklusi kelompok kasus:

3.4.2.1.1.1. Pasien yang pernah berobat di Poli THT-KL

Rumah Sakit Camatha Sahidya selama

Januari 2020 – Desember 2020.

3.4.2.1.1.2. Pasien yang menderita Otomikosis.

3.4.2.1.1.3. Pasien yang bersedia menjadi responden.

3.4.2.1.2. Kriteria eksklusi kelompok kasus:

3.4.2.1.2.1. Pasien yang menggunakan antibiotik tetes

tellinga.

3.4.2.1.2.2. Pasien dengan immunodefisiensi,

penggunaan steroid dan penyakit

dermatologi
38

3.4.2.2. Sampel Kontrol

Sampel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini

adalah bukan penderita otomikosis yang pernah mengunjungi

poli THT-KL Rumah Sakit Camatha Sahidya di Kota Batam.

3.4.2.2.1. Kriteria inklusi kelompok kasus:

3.4.2.2.1.1. Pasien yang pernah berobat di Poli THT-KL

Rumah Sakit Camatha Sahidya selama

Januari 2020 – Desember 2020.

3.4.2.2.1.2. Pasien yang tidak menderita Otomikosis.

3.4.2.2.1.3. Pasien yang bersedia menjadi responden.

3.4.2.2.2. Kriteria eksklusi kelompok kasus:

3.4.2.2.2.1. Pasien yang menggunakan antibiotik tetes

telinga.

3.4.2.2.2.2. Pasien dengan immunodefisiensi,

penggunaan steroid dan penyakit

dermatologi

3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.5.1. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian akan di laksanakan di Rumah Sakit Camatha

Sahidya Kota Batam.

3.5.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan di laksanakan pada bulan April 2021.


39

3.6. Variabel Penelitian

3.6.1. Variabel Independent

Variabel Independen atau variabel bebas merupakan variabel

yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependent,

sehingga variabel independent disebut juga variabel yang

mempengaruhi (Notoatmodjo, 2011). Variabel Independent dalam

penelitian ini adalah frekuensi, kedalaman dan durasi pengunaan

cotton bud.

3.6.2. Variabel Dependent

Variabel dependent atau variabel terikat adalah variabel yang

dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel independent

(Notoatmodjo, 2011). Variabel Dependent dalam penelitian ini adalah

kejadian otomikosis.
3.7. Definisi Operasional

Tabel 3.1: Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
Independen
1. Frekuensi Jumlah pemakaian cotton Angket Hasil 1. Sering: >1x/minggu Nominal
penggunaan bud. (Money, 2018). Pengisisan 2. Jarang: ≤1x/minggu
cotton bud Angket (Money, 2018).

2. Kedalaman Kedalaman memasukan Angket Hasil 1. 1/3 luar kanalis Nominal


penggunaan cotton bud ke kanalis auditori Pengisian auditori eksternus :
cotton bud eksternus. (Taheri A, Angket pars cartilaginosa
Mehmendari SN, Shahidi 2. 2/3 dalam kanalis
M,et al., 2017) auditori eksternus :
pars osseus, bagian
yang sensitive
melewati isthmus
kanalis auditori
eksternus
(Money, 2018).

3. Durasi Lama penggunaan cotton bud Angket Hasil 1. ≥ 10 tahun Nominal


penggunaan (Gadanya M, Abubakar S, Pengisian 2. <10 tahun
cotton bud Ahmed A,et al., 2016) Angket (Money, 2018).

40
Dependen
4. Kejadian Otomikosis merupakan Rekam Hasil 1. Otomikosis Nominal
Otomikosis infeksi jamur pada saluran Medik Rekam 2. Tidak
pendengaran eksternal yang Medik Otomikosis
menyebabkan penderita
mengalami gatal-gatal pada
telinga, otalgia, ottorhea,
tinnitus, inflamasi dan
kesulitan mendengar (Satish,
2013).

41
42

3.8. Prosedur Pengumpulan Data

3.8.1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

Primer dan Sekunder. Data sekunder diperoleh dari pihak Rumah Sakit

Kota Batam , sedangkan data primer adalah data yang diperoleh

langsung dari sampel penelitian (responden) melalui pengisian

kuesioner.

3.8.2. Sumber Data

3.8.2.1. Data Primer

Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan cara

peneliti memberikan kuesioner kepada responden. Kuesioner

ini akan diisi oleh setiap responden yang telah

menandatangani formulir persetujuan bersedia untuk menjadi

responden.

3.8.2.2. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari

pengambilan data di Rumah Sakit Camatha Sahidya kota

Batam yaitu data yang berkaitan dengan angka prevalensi

otomikosis dan melihat rekam medik setiap responden untuk

melihat diagnosis pasien.

3.9. Instrumen Penelitan

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

umum untuk karakteristik responden menggunakan angket identitas dan


43

kuesioner untuk menilai responden membersihkan telinga menggunakan

cotton bud atau tidak dan menilai kejadian penyakit otomikosis melalui

rekam medik yang di berikan oleh Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota

Batam kemudian mengisi kuesioner yang peneliti berikan langsung kepada

pasien.

3.10. Cara Kerja

3.10.1. Mengajukan izin pada Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam.

3.10.2. Mendata pasien yang akan menjadi responden.

3.10.3. Menjelaskan penelitian yang akan dilakukan kepada responden.

3.10.4. Meminta persetujuan kepada responden.

3.10.5. Membagikan kuesioner kepada responden serta mendampingi

pengisian responden.

3.10.6. Mengumpulkan semua kuesioner yang telah diisi oleh responden.

3.11. Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan pengolahan data akan dilakukan dengan

bantuan computer. Pengolahan data dilakukan dengan melalui beberapa

tahap, yaitu:

3.11.1. Editing

Setelah lembar kuisioner diisi kemudian dikumpulkan langsung

oleh peneliti dan selanjutnya diperiksa kejelasan dan kelengkapan data.

Jika ada data yang belum lengkap, peneliti akan melengkapinya saat

itu juga bersama responden.


44

3.11.2. Coding

Untuk mempermudah dalam mengumpulkan data, peneliti

memberi kode pada data.

3.11.3. Entry

Setelah data dikumpulkan kemudian data dimasukkan ke dalam

master table atau data base computer untuk selanjutnya diolah ke

dalam analisa data.

3.11.4. Cleaning

Data yang sudah dikumpulkan diperiksa kembali

kelengkapannya, apakah ada kesalahan data, sehingga data siap untuk

dianalisa.

3.12. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis data dapat digunakan beberapa teknik,

yakni :

3.12.1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Setiap

variabel bebas dan variable terikat dianalisis dengan statistik deskripsi

yaitu untuk menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2011).
45

3.12.2. Analisis Bivariat

Pada analisis bivariat ini dilakukan tes kemaknaan yakni

dengan menggunakan tes chi square. Tes ini bertujuan untuk menguji

hubungan antara variabel dependen dan independen yang ada di dalam

kerangka konsep penelitian dengan uji statistik ini apakah hasil yang

diperoleh bermakna secara statistik atau tidak. Tingkat kemaknaan

yang diapakai adalah α = 0,05. Hubungan dikatakan signifikan jika

nilai p ≤ 0,05 (Sastroasmoro, 2014).


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum

Penelitian ini dilakukan di Poli THT Rumah Sakit Camatha Sahidya

Kota Batam. Penelitian ini untuk mengetahui apakah terdapat hubungan

antara kebiasaan membersihkan telinga pada pengguna cotton bud dengan

pasien otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 148

orang sampel dengan pembagian 74 pasien otomikosis dan 74 pasien tidak

otomikosis.

Hal pertama yang dilakukan adalah peneliti mengajukan izin pada

Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam, lalu mendata pasien yang

bersedia menjadi responden dan membagi responden menjadi 2 kelompok,

yaitu kelompok kasus (otomikosis) dan kelompok kontrol (tidak otomikosis).

Selanjutnya peneliti menjelaskan penelitian yang akan dilakukan dan

meminta persetujuan kepada responden. Setelah mendapat persetujuan,

peneliti akan memberikan kuesioner kepada responden serta mendampingi

pengisian kuesioner. Adapun pendampingan dilakukan dengan dua cara,

yaitu secara langsung bersamaan dengan responden dan via telepon.

Pendampingan melalui media sosial dilakukan bagi responden yang tempat

tinggalnya sulit untuk dijangkau oleh peneliti.

46
47

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel penelitian dengan distribusi frekuensi dan persentase

masing-masing kelompok.

4.2.1. Distribusi Frekuensi Kejadian Otomikosis

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020, didapatkan distribusi frekuensi kejadian

otomikosis sebagai berikut:

Tabel 4.1 Kejadian Otomikosis


f %
Kasus 74 50
Kontrol 74 50
Total 148 100

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa frekuensi

kelompok kasus pada kejadian otomikosis sebanyak 74 responden

(50%) dan frekuensi kelompok kontrol sebanyak 74 responden (50%).

4.2.2. Distribusi Frekuensi Penggunaan Cotton Bud

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode


48

Januari-Desember 2020, didapatkan distribusi frekuensi penggunaan

cotton bud sebagai berikut:

Tabel 4.2 Frekuensi penggunaan Cotton Bud


Kasus Kontrol Total
f % f % f %
Sering : >1x/minggu 48 61,5 30 38,5 78 100
Jarang : ≤1x/minggu 26 37,1 44 62,9 70 100
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan frekuensi

>1x/minggu lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Pada kelompok kasus terdapat 48 responden

(61,5%) yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan

frekuensi >1x/minggu, dan kelompok kontrol terdapat 30 responden

(38,5%) yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan

frekuensi >1x/minggu. Sedangkan responden yang membersihkan

telinga menggunakan cotton bud dengan frekuensi ≤1x/minggu lebih

tinggi pada kelompok kontrol yaitu 44 responden (62,9%)

dibandingkan dengan kelompok kasus yaitu 26 responden (37,1%).

4.2.3. Distribusi Frekuensi Kedalaman Peggunaan Cotton Bud

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode


49

Januari-Desember 2020, didapatkan distribusi frekuensi kedalaman

penggunaan cotton bud sebagai berikut:

Tabel 4.3 Kedalaman penggunaan Cotton Bud


Kasus Kontrol Total
f % f % f %
2/3 dalam KAE 48 58,5 34 41,5 82 100
1/3 luar KAE 26 39,4 40 60,6 66 100
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kedalaman 2/3

dalam kanalis auditorius eksternus lebih tinggi pada kelompok kasus

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok kasus

terdapat 48 responden (58,5%) yang membersihkan telinga dengan

kedalaman 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus, dan kelompok

kontrol terdapat 34 responden (41,5%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis

auditorius eksternus. Sedangkan responden yang membersihkan

telinga menggunakan cotton bud dengan kedalaman 1/3 luar kanalis

auditorius eksternus lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu 40

responden (60,6%) dibandingkan dengan kelompok kasus yaitu 26

responden (39,4%).

4.2.4. Distribusi Frekuensi Durasi Penggunaan Cotton Bud

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian


50

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020, didapatkan distribusi frekuensi durasi

penggunaan cotton bud sebagai berikut:

Tabel 4.4 Durasi Penggunaan Cotton Bud


Kasus Kontrol Total
f % f % f %
≥ 10 tahun 43 46,7 49 53,3 92 100
< 10 tahun 31 55,4 25 44,6 56 100
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud ≥ 10 tahun lebih tinggi

pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Pada

kelompok kontrol terdapat 49 responden (53,3%) yang membersihkan

telinga menggunakan cotton bud ≥10 tahun, dan kelompok kasus

terdapat 43 responden (46,7%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud >10 tahun. Sedangkan responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud <10 tahun lebih tinggi

pada kelompok kasus yaitu 31 responden (55,4%) dibandingkan

dengan kelompok kontrol yaitu 25 responden (44,6%).

4.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan penggunaan

cotton bud dengan kejadian otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota

Batam perioden Januari-Desember 2020. Dalam analisis bivariat peneliti


51

melakukan uji analisis data menggunakan uji Chi Square dengan

menggunakan program komputer.

4.3.1. Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020, didapatkan hubungan frekuensi penggunaan

cotton bud dengan kejadian otomikosis sebagai berikut:

Tabel 4.5 Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian


Otomikosis
Total Interval
Kasus Kontrol P OR Kepercayaan
Value 95%
n % n % n % Batas Batas
Bawah Atas
Sering : 48 61,5 30 38,5 78 100
>1x/minggu
0,003 2,708 1,392 5,269
Jarang : 26 37,1 44 62,9 70 100
≤1x/minggu
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas dapat dijelaskan bahwa dari total

148 pasien Poli THT pada bulan Januari-Desember tahun 2020 di

Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam didapatkan dari total 78

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan frekuensi >1x/minggu sebanyak 48 responden (61,5%)

mengalami otomikosis (kasus) dan sebanyak 30 responden (38,5%)


52

tidak mengalami otomikosis (kontrol). Sedangkan dari total 70

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan frekuensi ≤1x/minggu sebanyak 26 responden (37,1%)

mengalami otomikosis (kasus) dan sebanyak 44 responden (62,9%)

tidak mengalami otomikosis (kontrol).

Berdasarkan uji Chi Square didapat nilai p value = 0,003 (p <

0,05) yang artinya bahwa H0 ditolak, dimana terdapat hubungan yang

bermakna antara frekuensi penggunaan Cotton Bud dengan

Otomikosis.

Berdasarkan Odd Ratio, responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan frekuensi >1x/minggu memiliki

resiko 2,708 kali untuk terkena penyakit otomikosis dibandingkan

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan frekuensi ≤1x/minggu.

4.3.2. Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020, didapatkan hubungan kedalaman penggunaan

cotton bud dengan kejadian otomikosis sebagai berikut:


53

Tabel 4.6 Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian


Otomikosis
Total Interval
Kasus Kontrol P OR Kepercayaan
Value 95%
n % n % n % Batas Batas
Bawah Atas
2/3 dalam 48 58,5 34 41,5 82 100
KAE
0,021 2,172 1,122 4,206
1/3luar 26 39,4 40 60,6 66 100
KAE
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas dapat dijelaskan bahwa dari total

148 pasien Poli THT pada bulan Januari-Desember tahun 2020 di

Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam didapatkan dari total 82

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus sebanyak 48

responden (58,5%) mengalami otomikosis (kasus) dan sebanyak 34

responden (41,5%) tidak mengalami otomikosis (kontrol). Sedangkan

dari total 66 responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud dengan kedalaman 1/3 luar kanalis auditorius eksternus

sebanyak 26 responden (39,4%) mengalami otomikosis (kasus) dan

sebanyak 40 responden (60,6%) tidak mengalami otomikosis (kontrol).

Berdasarkan uji Chi Square didapat nilai p value = 0,021 (p <

0,05) yang artinya bahwa H0 ditolak, dimana terdapat hubungan yang

bermakna antara kedalaman penggunaan Cotton Bud dengan

Otomikosis.
54

Berdasarkan Odd Ratio, responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis

auditorius eksternus memiliki resiko 2,172 kali untuk terkena penyakit

otomikosis dibandingkan responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan kedalaman 1/3 luar kanalis auditorius

eksternus.

4.3.3. Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kejadian

otomikosis di rumah sakit Camatha Sahidya kota Batam periode

Januari-Desember 2020, didapatkan hubungan durasi penggunaan

cotton bud dengan kejadian otomikosis sebagai berikut:

Tabel 4.7 Hubungan Durasi penggunaan Cotto Bud dengan Otomikosis


Total Interval
Kasus Kontrol P OR Kepercayaan
Value 95%
n % n % n % Batas Batas
Bawah Atas
≥10 tahun 43 46,7 49 53,3 92 100
0,309 0,708 0,363 1,379
<10 tahun 31 55,4 25 44,6 56 100
Total 74 74 148

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas dapat dijelaskan bahwa dari total

148 pasien Poli THT pada bulan Januari-Desember tahun 2020 di

Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota Batam didapatkan dari total 92


55

pasien yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan

durasi ≥10 tahun sebanyak 43 responden (46,7%) mengalami

otomikosis (kasus) dan sebanyak 49 responden (53,3%) tidak

mengalami otomikosis (kontrol). Sedangkan dari total 56 responden

yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan durasi

<10 tahun sebanyak 31 responden (55,4%) mengalami otomikosis

(kasus) dan sebanyak 25 responden (44,6%) tidak mengalami

otomikosis (kontrol).

Berdasarkan uji Chi Square didapat nilai p value = 0,309 (p >

0,05) yang artinya bahwa H0 diterima, dimana tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara durasi penggunaan Cotton Bud

dengan Otomikosis.

Berdasarkan Odd Ratio, responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi ≥10 tahun memiliki resiko

0,708 kali untuk terkena penyakit otomikosis dibandingkan responden

yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan durasi

<10 tahun. Dimana jika odd rasio < 1 berarti tidak berpengaruh.
BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Analisis Univariat

Otomikosis adalah infeksi jamur pada saluran pendengaran eksternal

dan komplikasinya terkadang melibatkan telinga tengah. Jamur menyebabkan

10% dari semua kasus otitis eksterna. Ini terjadi karena lipid / asam asam

pelindung telinga hilang (Satish, 2013). Faktor resiko penyakit ini disebabkan

oleh perubahan kelembaban, suhu yang tinggi, maserasi kulit liang telinga

yang terpapar lama oleh kelembaban dan trauma lokal. Trauma lokal ini

dapat disebabkan oleh berbagai macam hal salah satunya adalah kebiasaan

membersihkan telinga menggunakan benda asing, seperti cotton bud

(Pandey, 2019). Penggunaan cotton bud ini dapat mengganggu mekanisme

self cleaning dan mendorong sel-sel kulit mati beserta serumen kearah

gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana dan menyebabkan air

tersumbat pada saat mandi ataupun saat melakukan aktivitas di air. Sumbatan

air tersebut menyebabkan kelembaban diliang telinga meningkat sehingga

memudahkan pertumbuhan jamur.

Penelitian ini menggambarkan variabel-variabel yang mempengaruhi

kejadian otomikosis pada pasien di Rumah Sakit Camatha Sahidya yang

meliputi frekuensi, kedalaman dan durasi penggunaan cotton bud. Jumlah

sampel yang digunakan sebanyak 74 kelompok kasus dan 74 kelompok

kontrol, maka seluruhnya didapakan sebanyak 148 (100%).

56
57

5.1.1. Frekuensi Penggunaan Cotton Bud

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kepada 148 pasien

yang telah mengunjungi poli THT-KL rumah sakit Camatha Sahidya

kota Batam didapatkan hasil distribusi pada Tabel 4.2 dapat diketahui

bahwa proporsi responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud dengan frekuensi >1x/minggu lebih tinggi pada kelompok

kasus dibandingkan kelompok kontrol. Pada kelompok kasus terdapat

53 responden (65,4%) yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud >1x/minggu dan pada kelompok kontrol terdapat 28

responden (34,6%) membersihkan telinga menggunakan cotton bud

>1x/minggu.

Sedangkan proporsi responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan frekuensi ≤1x/minggu lebih tinggi

pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok kasus. Pada

kelompok kontrol terdapat 46 responden (68,7%) membersihkan

telinga menggunakan cotton bud ≤1x/minggu dan pada kelompok

kasus terdapat 28 responden (31,3%) membersihkan telinga

menggunakan cotton bud ≤1x/minggu. Hasil penelitian ini

menyebutkan bahwa lebih dari setengah responden dengan persentase

65,4% membersihkan telinga menggunakan cotton bud >1x/minggu

merupakan pasien otomikosis. Sedangkan lebih dari setengah

responden dengan persentase 68,7% responden yang membersihkan


58

telinga menggunakan cotton bud ≤1x/minggu tidak mengalami

otomikosis.

Semakin sering seseorang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud maka akan semakin rentan terhadap trauma benda asing dan

penupukan sel-sel kulit mati dan serume. Trauma dan penumpukan ini

dapat menyebabkan kelembaban diliang telinga meningkat sehingga

memudahkan pertumbuhan jamur (Mustofa, 2011). Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 4.2 yang menyebutkan bahwa sebagian besar

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

>1x/minggu terdapat pada kempok kasus, yaitu sebanyak 48 responden

atau 61,5%.

Otomikosis adalah infeksi jamur pada saluran pendengaran

eksternal dan komplikasinya terkadang melibatkan telinga tengah.

Jamur menyebabkan 10% dari semua kasus otitis eksterna (Satish,

2013). Beberapa jamur dapat menyebabkan reaksi radang liang

telinga. Dua jenis jamur yang yang sering ditemukan adalah

Pityrosporum dan Aspergillus A. Niger, A.Flavus (Humaira,2012).

Spesies yang paling sering adalah Aspergillus flavus (42,4%), A. niger

(35,9%), A. fumigatus (12,5%), A. candidus (7,1%), A. terreus (1,6%),

dan Paecilomyces variotii (0,5%) (Mahmoudabadi, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satish, Vishwantha dan

Manjuladevi 60% dari pasien memberikan riwayat trauma pada KAE


59

dengan tongkat/batang , bulu, alat pembersih telinga logam, peniti,

cotton bud, dll.

5.1.2. Kedalaman Penggunaan Cotton Bud

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kepada 148 pasien

yang telah mengunjungi poli THT-KL rumah sakit Camatha Sahidya

kota Batam didapatkan hasil distribusi pada Tabel 4.3 dapat diketahui

bahwa proporsi responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud pada kedalaman 2/3 dalam kanalis aurikulus eksternus lebih

tinggi pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. Pada

kelompok kasus terdapat 48 responden (58,5%) yang membersihkan

telinga menggunakan cotton bud pada kedalaman 2/3 dalam kanalis

aurikulus eksternus dan pada kelompok kontrol terdapat 34 responden

(41,5%) yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud pada

kedalaman 2/3 dalam kanalis aurikulus eksternus.

Sedangkan proporsi responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud pada kedalaman 1/3 dluar kanalis aurikulus

eksternus lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan pada

kelompok kasus. Pada kelompok kontrol terdapat 40 responden

(60,6%) yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud pada

kedalaman 1/3 dluar kanalis aurikulus eksternus dan pada kelompok

kasus terdapat 26 responden (39,4%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud pada kedalaman 1/3 dluar kanalis aurikulus


60

eksternus. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa lebih dari setengah

responden dengan persentase 58,5% responden yang membersihkan

telinga menggunakan cotton bud dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis

auditorius eksternus merupakan pasien otomikosis. Sedangkan lebih

dari setengah responden dengan persentase 60,6% responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud dengan kedalam 1/3

luar kanalis auditorius eksternus tidak mengalami otomikosis.

Kanal akustik eksternal memanjang dari bagian bawah concha

ke membran timpani dan berukuran sekitar 24 mm di sepanjang

dinding posteriornya. Kanal ini tidak berbentuk lurus: bagian luarnya

diarahkan ke atas, ke belakang, ke depan dan ke tengah. Oleh karena

itu, untuk melihat membran timpani, pinna harus ditarik ke atas, ke

belakang dan ke samping sehingga kedua bagian tersebut sejajar

(Dhingra, 2018).

Menurut Dhingra yang ditulis dalam bukunya berjudul

Diesease of Ear, Nose and Throat; Head and Neck Surgey kanal

akustik terdiri dari dua bagian, yaitu 1/3 luar kanalis auditorius

eksternus dan 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus. Bagian 1/3 luar

kanalis auditorius eksternus terdiri dari tulang rawan yang merupakan

kelanjutan dari kerangka pinna sepanjang 8 mm. Saluran tulang rawan

ini ditutupi oleh kulit yang tebal dan mengandung kelenjar ceruminous

dan pilosebasea yang mengeluarkan wax. Rambut pada saluran telinga

hanya terdapat di bagian luar, oleh karena itu furunkel (infeksi


61

stafilokokus pada folikel rambut) hanya terlihat di sepertiga bagian

luar saluran. Bagian 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus sepanjang

16 mm terdiri dari tulang keras yang dilapisi kulit tipis dan berlanjut

hingga membran timpani. Bagian ini tidak memiiki rambut dan kelejar

ceruminous. Jika benda asing masuk sampai ke bagian ini, maka dapat

tersangkut di bagian medial hingga isthmus, menyebabkan trauma dan

sulit untuk mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kedalaman penggunaan cotton bud ini dapat dibedakan

berdasarkan sensasi yang dirasakan saat menggunakan cotton bud. Jika

didapatkan sensasi nyeri atau nikmat serta timbul reflek batuk, maka

cotton bud sudah memasuki bagian 2/3 dalam kanalis auditorius

eksternus (Money, 2018; Taheri 2017). Semakin dalam penggunaan

cotton bud maka akan semakin besar kemungkinan sel-sel kulit mati

serta kotoran atau serumen untuk berkumpul pada gendang telinga

sehingga keadaan liang telinga menjadi lembab dan memudahkan

pertumbuhan jamur (Humaira, 2012). Hal ini dapat dilihat pada Tabel

4.3 yang menyebutkan bahwa sebagian besar responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud pada kedalaman 2/3

dalam kanalis auditorius eksternus terdapat pada kempok kasus, yaitu

sebanyak 48 responden atau 58,5%.


62

5.1.3. Durasi Penggunaan Cotton Bud

Berdasarkan hasil distribusi pada Tabel 4.4 dapat diketahui

bahwa proporsi responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud dengan durasi ≥10 tahun lebih tinggi pada kelompok

kontrol dibandingkan kelompok kasus. Pada kelompok kontrol

terdapat 49 responden (53,3%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi ≥10 tahun dan pada kelompok

kasus terdapat 43 responden (46,7%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi ≥10 tahun.

Sedangkan proporsi responden yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi <10 tahun lebih tinggi pada

kelompok kasus dibandingkan pada kelompok kontrol. Pada kelompok

kasus terdapat 31 responden (55,4%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi <10 tahun dan pada kelompok

kontrol terdapat 25 responden (44,6%) yang membersihkan telinga

menggunakan cotton bud dengan durasi <10 tahun. Hasil penelitian ini

menyebutkan bahwa lebih dari setengah responden dengan persentase

53,3% responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton

bud dengan dengan durasi ≥10 tahun merupakan tidak mengalami

otomikosis. Sedangkan lebih dari setengah responden dengan

persentase 55,4% responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud dengan dengan durasi <10 tahun mengalami otomikosis.


63

Saluran pendengaran eksternal ditutupi oleh folikel rambut dan

kelenjar penghasil serumen. Serumen berfungsi sebagai pelindung dan

menjaga pH di dalam liang telinga agar tetap asam yang menghambat

pertumbuhan bakteri dan jamur (Wipperman, 2014). Pertumbuhan

jamur pada otomikosis diyakini disebabkan oleh gangguan pada pH

normal dan faktor pelindung di dalam saluran pendengaran. Ini

termasuk proses kerusakan epitel berurutan, hilangnya lilin pelindung,

dan akumulasi kelembapan yang mengarah ke pH yang lebih tinggi

dan pertumbuhan bakteri (Hajioff, 2015).

Kulit yang basah, lembab, hangat, dan gelap pada liang

telinga merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan bakteri dan

jamur. Sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan

dan dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. (Oghalai,

JS.,2013). Serumen yang berlebihan atau telalu kental dapat

menyebabkan penyumbatan, retensi air dan kotoran, serta infeksi

(Murtaza, et.al,2015).

Durasi penggunaan cotton bud dibedakan menjadi ≥10 tahun

dan <10 tahun. Menurut Mustofa (2011) dan Gadanya (2016) semakin

lama penggunaan cotton bud kemungkinan akumulasi sel-sel kulit mati

dan serumen serta trauma liang telinga lebih besar, namun hal ini juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam penggunaan cotton bud

tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4 yang menyatakan bahwa

sebagian besar responden yang membersihkan telinga menggunakan


64

cotton bud ≥10 tahun terdapat pada kempok kontrol, yaitu sebanyak

49 responden atau 53,3%. Hal ini dapat terjadi karena jamur penyebab

otomikosis seperti Aspergillus sp dapat berkembang dalam 3-5 hari

setelah memasuki liang telinga yang didukung dengan lingkungan

bersuhu tinggi (Mizana, 2016). Sedangkan menurut Sabunga (2009)

menyebutkan bahwa siklus hidup jamur yang ditemukan di liang

telinga adalah sekitar 2 minggu. Berenang dan kelembaban liang

telinga juga merupakan faktor utama terjadinya otomikosis.

5.2. Analisis Bivariat

5.2.1. Hubungan Frekuensi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan frekuensi penggunaan

cotton bud dengan nilai p value=0,003 lebih kecil dari 0,05 maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel frekuensi

penggunaan cotton bud dengan kejadian Otomikosis dengan tingkat

2,7 kali lebih berisiko (Crude OR =2,708) pada pengguna cotton bud

dengan frekuensi >1x/minggu.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang diakukan oleh

Humaira (2012) yang menyatakan bahwa frekuensi penggunaan cotton

bud tidak berhubungan dengan kejadian otomikosis. Perbedaan ini

diduga dikarenakan perbedaan hasil ukur dan sampel yang digunakan

tidak memiliki keluhan ataupun belum didiagnosis dengan otomikosis.


65

Mekanisme yang mendasari penggunaan cotton bud terhadap

kejadian otomikosis dapat dijelaskan oleh beberapa teori. Normalnya,

kanalis austikus memiliki mekanisme pembersihan secara alami. Pada

saat mengunyah, gerakan rahang membantu proses pengeluaran

serumen dari kanalis auditori eksternus (Olaosun, 2014). Menurut

Bailey (2006) dalam Humaira (2012) penggunaan cotton bud dapat

menyebabkan terganggunya mekanisme pembersihan telinga secara

alami. Sel-sel kulit mati dan serumen atau kotoran telinga yang

dimaksud dapat terdorong ke arah gendang telinga dan menumpuk

disana. Penimbunan ini akan menyebabkan penimbunan air yang

masuk kedalam saluran ketika mandi atau berenang sehingga

menyebabkan kondisi liang telinga menjadi lembab dan memudahkan

pertumbuhan bakteri atau jamur.

Frekuensi penggunaan cotton bud dibedakan menjadi sering

(>1x/minggu) dan jarang (≤1x/minggu). Semakin sering seseorang

menggunakan cotton bud maka akan semakin rentan terhadap trauma

oleh benda asing dan penumpukan kotoran beserta sel-sel kulit mati

pada liang telinga sehingga keadaan liang telinga menjadi lembab dan

memudahkan pertumbuhan jamur. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji

analisis yang telah dilakukan, yaitu didapatkan nilai p value=0,003

(p<0,05) yang dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara

variabel frekuensi penggunaan cotton bud dengan kejadian otomikosis


66

dengan tingkat 2,7 kali lebih beresiko pada pengguna cotton bud

dengan frekuensi >1x/minggu.

5.2.2. Hubungan Kedalaman Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Menurut Table 4.6 didapatkan kedalaman penggunaan cotton

bud dengan nilai p value=0,021 lebih kecil dari 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel kedalaman

penggunaan cotton bud dengan kejadian Otomikosis dengan tingkat

2,2 kali lebih berisiko (Crude OR =2,172) pada pengguna cotton bud

dengan kedalaman 2/3 kanalis auditorius eksternus.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

menyebutkan bahwa serumen obsturan lebih banyak ditemukan pada

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus daripada

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud pada

kedalaman 1/3 luar kanalis auditorius eksternus (Money, 2018).

Keberadaan serumen obsturan ini dapat menyebabkan keadaan di liang

telinga menjadi lembab dan menyebabkan jamur mudah untuk

berkembang.

Selain mengganggu mekanisme pembersihan telinga secara

alami, penggunaan cotton bud juga dapat menimbulkan trauma

mekanik yang berupa trauma lokal dan ringan pada epitel liang telinga
67

luar (Oghalai, 2013).. Saat memasukkan benda asing kedalam telinga,

benda asing tersebut dapat tersangkut di bagian medial hingga isthmus,

menyebabkan trauma dan sulit untuk mengeluarkan benda asing

tersebut (Dhingra, 2018). Keadaan trauma lokal dapat mengakibatkan

keadaan liang telinga menjadi lembab dan memudahkan pertumbuhan

bakteri dan jamur (Oghalai, 2013).

Kedalaman penggunaan cotton bud dibedakan berdasarkan

anatomi kanalis auditorius eksternus, yaitu 1/3 luar kanalis auditorius

eksternus dan 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus. Kedalaman

penggunaan ini dapat dibedakan dengan sensasi yang dirasakan saat

menggunakan cotton bud. Jika didapatkan sensasi nyeri atau nikmat

serta timbul reflek batuk, maka cotton bud sudah memasuki bagian 2/3

dalam kanalis auditorius eksternus (Money, 2918; Taheri, 2017).

Semakin dalam penggunaan cotton bud maka akan semakin besar

kemungkinan sel-sel kulit mati serta kotoran atau serumen untuk

berkumpul pada gendang telinga sehingga keadaan liang telinga

menjadi lembab dan memudahkan pertumbuhan jamur.

5.2.3. Hubungan Durasi Penggunaan Cotton Bud dengan Kejadian

Otomikosis

Menurut Table 4.7 didapatkan durasi penggunaan cotton bud

dengan nilai p value=0,309 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel durasi


68

penggunaan cotton bud dengan kejadian Otomikosis dengan Crude OR

sebesar 0,708 dimana jika OR<1 berarti tidak berpengaruh.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

menyebutkan bahwa serumen obsturan tidak ditemukan pada

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan durasi ≥10 tahun (Money, 2018). Begitu pula dengan penelitan

di Nigeria yang menyebutkan bahwa durasi penggunaan cotton bud

>15 tahun tidak berhubungan degan penyakit di kanalis auditorius

eksternus (Olaosun, 2014). Tidak ditemukan adanya hubungan antara

durasi penggunaan cotton bud dengan kejadian otomikosis

dikarenakan jamur penyebab Otomikosis dapat berkembang dalam 3-5

hari setelah memasuki liang telinga yang didukung dengan lingkungan

bersuhu tinggi (Mizana, 2016).

Durasi penggunaan cotton bud dibedakan menjadi ≥10 tahun

dan <10 tahun. Menurut Mustofa (2011) dan Gadanya (2016) semakin

lama penggunaan cotton bud kemungkinan akumulasi sel-sel kulit mati

dan serumen serta trauma liang telinga lebih besar, namun hal ini juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dalam penggunaan cotton bud

tersebut. Seperti penjelasan sebelumnya, jamur penyebab otomikosis

seperti Aspergillus sp dapat berkembang dalam 3-5 hari setelah

memasuki liang telinga yang didukung dengan lingkungan bersuhu

tinggi (Mizana, 2016). Sedangkan menurut Sabunga (2009)

menyebutkan bahwa siklus hidup jamur yang ditemukan di liang


69

telinga adalah sekitar 2 minggu. Berenang dan kelembaban liang

telinga juga merupakan faktor utama terjadinya otomikosis.

5.3. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dihadapi

oleh peneliti, yaitu:

5.3.1. Sulit mencari jumlah sampel untuk kelompok kasus yang mencukupi

dalam penelitian ini dikarenakan rendahnya angka kejadian otomikosis

yang terdata di rumah sakit. Selain itu, kurangnya pengetahuan

mengenai kelainan pada telinga bagian luar menjadi penyebab lain

rendahnya angka tersebut.

5.3.2. Sulit mencari responden untuk kelompok kasus maupun kontrol yang

bersedia dimintai bantuan untuk ikut serta dalam penelitian ini,

mengingat penelitian ini dilaksanakan pada saat pandemi COVID-19

masih berlangsung.

5.3.3. Daya ingat responden dapat menyebabkan recall bias, dikarenakan

penelitian ini bersifat retrospektif dimana responden penelitian harus

mengingat kembali faktor risiko yang terjadi.

5.3.4. Keterbatasan dari peneliti sendiri dapat terjadi dalam hal dana, waktu,

tenaga dan pengetahuan.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian, variabel yang

mempengaruhi kejadian Otomikosis di Rumah Sakit Camatha Sahidya Kota

Batam periode Januari-Desember 2020 dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

6.1.1. Sebagian besar responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud >1x/minggu terdapat pada kelompok kasus, yaitu sebanyak

48 respon atau 61,5%. Sedangkan sebagian besar responden yang

membersihkan telinga menggunakan cotton bud ≤1x/minggu terdapat

pada kelompok kontrol, yaitu sebanyak 44 responden atau 62,9%.

6.1.2. Sebagian besar responden yang menggunakan cotton bud pada

kedalaman 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus terdapat pada

kelompok kasus, yaitu sebanyak 48 respon atau 58,5%. Sedangkan

sebagian besar responden yang menggunakan cotton bud pada

kedalaman 1/3 luar kanalis auditorius eksternus terdapat pada

kelompok kontrol, yaitu sebanyak 40 responden atau 60,6%.

6.1.3. Sebagian besar responden yang membersihkan telinga menggunakan

cotton bud dengan durasi ≥10 tahun terdapat pada kelompok kontrol,

yaitu sebanyak 49 respon atau 53,3%. Sedangkan sebagian besar

70
71

responden yang membersihkan telinga menggunakan cotton bud

dengan durasi <10 tahun terdapat pada kelompok kasus, yaitu

sebanyak 31 responden atau 55,4%

6.1.4. Frekuensi penggunaan cotton bud mempunyai hubungan yang

bermakna dengan kejadian Otomikosis, dimana pengguna cotton bud

dengan frekuensi >1x/minggu memiliki resiko 2,7 kali untuk terkena

otomikosis dibandingkan yang menggunakan cotton bud ≤1x/minggu.

6.1.5. Kedalaman penggunaan cotton bud mempunyai hubungan yang

bermakna dengan kejadian Otomikosis, dimana pengguna cotton bud

dengan kedalaman 2/3 dalam kanalis auditorius eksternus memiliki

resiko 2,2 kali untuk terkena otomikosis dibandingkan yang

menggunakan cotton bud dengan kedalaman 1/3 luar kanalis auditorius

eksternus.

6.1.6. Durasi penggunaan cotton bud mempunyai hubungan yang tidak

bermakna dengan kejadian Otomikosis

6.2. Saran

6.2.1. Bagi Peneliti

Dapat dijadikan sebagai pengalaman penelitian serta

mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang perbedaan pengaruh

penggunaan cotton bud pada pasien otomikosis dan tidak otomikosis.

6.2.2. Bagi Peneliti Selanjutnya


72

Untuk penelitian selanjutnya hendaknya melanjutkan kepada

tahap analisis multivariate mengingat data yang didapat sangat banyak

dan juga untuk mengetahui variabel manakah yang paling kuat dalam

mempengaruhi otomikosis. Selain itu untuk peneliti selanjutnya

hendaknya menambah ragam variabel penggunaan cotton bud agar

daoat diketahui variabel apa saja yang mempengaruhi kejadian

otomikosis.

6.2.3. Bagi Program Studi

Diharapkan institusi dapat menyediakan informasi tentang

perbedaan pengaruh penggunaan cotton bud pada pasien otomikosis

dan tidak otomikosis.

6.2.4. Bagi Responden Penelitian

Dengan mengetahui hasil penelitian ini diharapkan pasien

otomikosis dan tidak otomikosis dapat menambah wawasan mengenai

bahaya membersihkan telinga menggunakan cotton bud dan

mengetahui resiko penggunaan cotton bud dalam jangka panjang.


DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, M. (2013). Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. In S. S. Ervianty


E, Dermatomikosis superfisialis (2nd ed., pp. 1-8). Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran.

Al-juboori, A. (2013). Aural Foreign Bodies: Descriptive Study of 224 Patients in


Al-Fallujah General Hospital. Iraq: Int J Otolaryngol.

Amutta, S., Yanusa, M., & Iseh, K. (2013). Sociodemographic Characteristics and
Prevalence of Self Ear Cleaning in Sokoto Metropolis. Int J Otolaryngol-
Head Neck Surg, 276-279.

Bansal, M. (2013). Diseases of Ear, Nose and Throat Head and Neck Surgery.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

Barati, B., Okhovvat, S., Goljanian, A., & Omrani, M. (2011). Otomycosis in
Central Iran: a clinical and mycological study. Iranian Red Crescent Med
J, 13, 873-76.

Dhingra, P. D. (2012). Diesseade of Ear, Nose, and Throat (5th ed.). India:
Elsevier.

Dhingra, P., & Dhingra, S. (2018). Disease of Ear, Nose and Throat & Head Neck
Surgery. New Delhi: Elsevier.

Edward, Y., & Irfandy, D. (2012). Otomycosis. Padang: Jurnal Kesehatan


Andalas.

Efiaty, A. S., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2012). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Firdose, S., & Jayita, D. (2015). Aural Health : Knowledge, Attitude and Practice.
Int J Scien Report, 36-38.

Friedman, E. (2016). Removal of Foreign Bodies from the Ear and Nose. N Engl J
Med, 374.

Gadanya, M., Abubakar, S., Ahmed, A., & Maje, A. Z. (2016, Jul-Dec).
Prevalance and Attitude of Self-ear Cleaning with Cotton Bud among
Doctors at Aminu Kano Teaching Hospital, Northwestern Nigeria.
Nigerian Journal of Surgical Research, 16(2), 43-47.

Hajioff D, M. S. (2015). Otitis Externa. BMJ Clin Evid, 50-62.


Humaira, C. F. (2012). Pravelensi Otomikosis pada Mahasiswi PSPD FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta:
FKIK UIN Syarif Hidayatullah.

Imanto, M. (2015). Radang Telinga Luar. 202 Jurnal Kesehatan, Volume VI,
Nomor 2, Oktober 2015, 6, 201-210.

Itor, E. A., Noubom, M., Nangwat, C., Ngueguim, D. A., Kountchou, C. L.,
Thierry, N. K., et al. (2020). Clinical and Microbiological Epidemiology
of Otomycosis in the Centre Region of Cameroon. European Journal of
Clinical and Biomedical Sciences, 6, 78-83.

K, M., Singh, A., & Rao S. V., M. (2020). Otomycosis, Frequency; Clinical
Features; Predisposing Factors and Treatment Implications. International
Journal of Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 6(4), 664-
668.

Kumar, R., Kumar, C., & Kumar, S. (2017). Clinical and microbial study of
Otomycosis. International Journal of Medical and Health Research, 3,
118-119.

Mahmoudabadi, A., Masoomi, S., & Mohammadi, H. (2010). Clinical and


mycological studies of otomycosis. Pak J Med Sci, 26, 187-190.

Mahmoudabadi, A., Masoomi, S., & Mohammadi, H. (2010). Clinical and


Mycological studies of Otomycosis. Pak J Med Sci., 187-190.

Manjunath, K., Singh, A., & Rao S.V, M. (2020). Otomycosis, Frequency,
Clinical Features, Predisposing Factors and Treatment Implications. Int.
Journal of Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 664-668.

Marlinda, L., Sapto, H., Aprilia, E., & Shara, Y. (2016). Otomikosis Auris
Dekstra pada Perenang. J Medula Unila, 6, 67-71.

Mizana, D. K., Suharti, N., & Amir, A. (2016). Identifikasi Pertumbuhan jamur
Aspergillus Sp pada Roti Tawar yang Dijual di Kota Padang Berdasarkan
Suhu dan Lama Penyimpanan. Jurnal FK Unand, 355-360.

Money, P., Naftali, Z., & Marliyawati, D. (2018). Hubungan Antara Penggunaan
Cotton Bud dengan Serumen Obsturan. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 7,
892-905.
MS, A. (2013). Epidemiologi dermatomikosis di. In S. S. Ervianty E,
Dermatomikosis superfisialis (2nd ed., pp. 1-8). Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran.

Murtaza, M., Patawai, P., & Sien, M. (2015). Acute Otitis Externa :
Pathophysiology, Clinical Presentation, And Treatment. IOSR-JDMS, 14,
73-78.

Mustofa, A. (2011). Variabel Determinan Penggunaan Cotton Bud Terhadap


Insidensi Otitis Eksterna. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Oladeji, S., & Babatunde, O. (2015). Knowledge of Cerumen and Effect of Ear
Self-Cleaning among Health Workers in a Tertiary Hospital. J West Afr
Coll Surg, 117–133.

Olaosun, A. (2014). Does Self Ear Cleaning Increase the Risk of Ear Disease? Int
J Recent Scientific Research, 1087-1090.

Pandey, B. R., Singh, M. M., & Bajracharya, K. (2019). Otomycosis and its
Predisposing Factors in Out-Patient of Otorhinolaryngology in a Tertiary
Care Center. J. Lumbini.Med. Coll., 7, 1-5.

Riyanto, A. (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2014). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis


Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.

Satish, H., Viswanatha.B, & Manjuladevi.M. (2013). A Clinical Study of


Otomycosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS),
5, 57-62.

Sudarajad, H., Hendradewi, S., & Sinaga, Y. (2018). Efektivitas asam asetat 2%
dalam alkohol 70% dibanding ketokonazol 2% topikal pada terapi
otomikosis. ORLI, 48, 26-33.

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Taheri, A., Mehmendari, S., Shahidi, M., & al, e. (2017). Popularity and Harms of
Aural Foreign Body : A Descriptive Study of Patients in Baqiyatallah
University Hospital, Taheran, Iran. Int, Tinnitus J, 103-106.

Tambora, D. F., Nurrokhmawati, Y., & Waluyo, A. (2018). Angka Kejadian dan
Faktor Risiko Penderita Otomikosis di Poliklinik THT RS Dustira Cimahi
Periode Desember 2017-Januari 2018. Program Studi Pendidikan DOkter
Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Rumah Sakit Dustira Fakultas
Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani, 1-15.

Wipperman, J. (2014). Otitis Externa. Prim Care, 1-9.


LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 3
LAMPIRAN 4

INFORMED CONCENT

Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden Penelitian

HUBUNGAN KEBIASAAN MEMBERSIHKAN TELINGA PADA

PENGGUNA COTTON BUD DENGAN KEJADIAN OTOMIKOSIS DI POLI-

THT RUMAH SAKIT “X” KOTA BATAM

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2020

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur/tanggal lahir :

Alamat :

Menyatakan bersedia dan mau berpartisipasi menjadi responden penelitian

yang akan dilakukan oleh Puja Monitra Transmika, mahasiwa Program Studi

Kedokteran Universitas Batam.

Demikian pernyataan ini saya tanda tangan untuk dapat dipergunakan

seperlunya.

Batam,………………2021

Responden
LAMPIRAN 5

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN KEBIASAAN MEMBERSIHKAN TELINGA PADA

PENGGUNA COTTON BUD DENGAN KEJADIAN OTOMIKOSIS DI

POLI-THT RUMAH SAKIT “X” KOTA BATAM

PERIODE JANUARI-DESEMBER 2020

KUESIONER PENGGUNAAN COTTON BUD

1. Apakah Anda membersihkan Ya Tidak


telinga menggunakan cotton
bud?

2. Pernah periksa THT Belum Pernah

3. Ukuran cotton bud yang Cotton bud Cotton bud


digunakan untuk bayi untuk dewasa

4. Frekuensi penggunaan cotton >1 kali/minggu ≤1 kali/minggu


bud

5. Kedalaman penggunaan 1/3 luar KAE 2/3 dalam


cotton bud KAE

6. Durasi penggunaan cotton <10 tahun ≥10 tahun


bud

Sumber : Money, 2018

Keterangan:

Pada pertanyaan kedalaman penggunaan cotton bud, Jika anda merasakan nyeri,
rasa nikmat dan timbul batuk pada saat membersihkan telinga menggunakan
cotton bud silahkan beri tanda X pada kolom “2/3dalam KAE”. Jika anda tidak
merasakan sensasi apapun pada saat membersihkan telinga menggunakan cotton
bud silahkan beri tanda X pada kolom “1/3 luar KAE”.
LAMPIRAN 6

TABEL MASTER

Frekuensi (Y1) Kedalaman (Y2) Durasi (Y3)


No. Nama JK Usia Responden (X)
Tingkat Frekuensi Kode Tingkat Kedalaman Kode Tingkat Durasi Kode
1 MA P 28 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
2 AA P 28 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
3 MA P 25 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
4 GH P 32 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
5 AA L 40 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
6 DR L 44 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
7 SB P 37 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
8 JJ P 40 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
9 SR P 23 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
10 RS P 34 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
11 EJ P 33 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
12 LH P 36 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
13 LB P 26 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
14 YW P 35 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
15 RS P 44 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
16 RS P 27 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
17 JR P 25 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
18 MA P 26 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
19 ME P 31 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

20 MM P 25 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1


21 AS P 30 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
22 EL P 26 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
23 HE L 21 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
24 AR L 30 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
25 OK L 37 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
26 MF P 26 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
27 RI P 47 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
28 JK P 50 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
29 YT L 43 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
30 AI P 23 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
31 YY P 45 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
32 JT P 46 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
33 DA P 32 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
34 YA P 33 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
35 YU P 41 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
36 AM P 41 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
37 CC P 45 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
38 IM P 48 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
39 AT L 34 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
40 LI P 35 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
41 JT P 32 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
42 MY P 22 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
43 YD P 34 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
LAMPIRAN 6

44 RT L 25 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2


45 AS L 46 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
46 UL P 34 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
47 DD P 46 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
48 ER P 54 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
49 SA P 23 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
50 RN P 42 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
51 TC P 21 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
52 AC P 23 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
53 TS P 51 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
54 MR P 57 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
55 AN P 37 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
56 RC P 35 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
57 MA L 27 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
58 SH P 39 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
59 FD P 21 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
60 AT L 34 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
61 AR L 45 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 1
62 LS L 57 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
63 DE P 56 Otomikosis Jarang 2 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
64 IP P 47 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
65 OA P 48 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
66 SR P 32 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
67 LA P 35 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

68 MH P 46 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1


69 EG P 39 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
70 CB P 34 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
71 HF L 33 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
72 DR P 27 Otomikosis Jarang 2 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
73 FP P 22 Otomikosis Sering 1 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
74 AH P 45 Otomikosis Sering 1 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
1
75 MH L 47 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
76 MM L 34 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
77 JP P 36 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
78 ML L 23 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
79 RA P 22 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
80 NK P 32 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
81 GM P 22 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
82 JR L 57 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
83 RI L 70 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
84 SS P 35 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
LAMPIRAN 6

Tidak
1
85 KK P 21 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
86 IG L 48 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
87 MR L 43 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
88 GA P 22 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
89 FA L 23 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
90 YG L 22 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
1
91 NH P 25 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
1
92 FF P 25 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
93 KF L 50 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
94 EA P 21 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
95 MM L 28 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
1
96 SA L 27 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
97 SR P 24 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
98 PE P 22 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

Tidak
2
99 KV P 21 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
100 RB P 34 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
101 MH L 28 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
102 YG P 26 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
103 WW P 31 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
104 PP L 31 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
105 FH P 23 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
106 YY L 33 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
107 KA P 31 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
108 RE L 34 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
109 JF L 23 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
110 AD L 56 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
111 HF P 43 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
112 SB P 36 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

Tidak
1
113 OV P 32 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
114 ZR L 27 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
115 MS P 24 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
116 SP P 39 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
117 YA L 21 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
118 MN P 23 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
119 AD P 39 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
120 AP P 34 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
121 JS P 56 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
122 ED P 60 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
123 SM P 43 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
124 IA P 23 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
2
125 LS P 22 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
1
126 BR L 34 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

Tidak
1
127 SS P 37 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
128 MV P 35 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
129 BN L 28 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
130 LK P 25 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
131 RS L 27 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 < 10 tahun 2
Tidak
1
132 HH P 38 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
133 FR P 45 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
134 NZ P 43 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
135 SH P 46 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
136 MR P 48 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
137 SA L 24 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
138 IA L 23 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
1
139 PA P 45 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
140 RA P 56 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 6

Tidak
2
141 AF L 48 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
142 KA L 47 Otomikosis Jarang 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
1
143 PI P 35 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
Tidak
2
144 EF P 33 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
2
145 IN L 25 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
1
146 GA L 21 Otomikosis Sering 1/3 luar KAE 2 < 10 tahun 2
Tidak
2
147 AH P 28 Otomikosis Jarang 1/3 luar KAE 2 > 10 tahun 1
Tidak
1
148 CT P 34 Otomikosis Sering 2/3 dalam KAE 1 > 10 tahun 1
LAMPIRAN 7

HASIL ANALISIS DATA MENGGUNAKAN KOMPUTERISASI

Frequencies
Statistics

Frekuensi Kedalaman Durasi


Kejadian penggunaan peggunaan Cotton penggunaan
Otomikosis Cotton Bud Bud Cotton Bud

N Valid 148 148 148 148

Missing 0 0 0 0

Frequency Table
Kejadian Otomikosis

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kasus 74 50,0 50,0 50,0

Kontrol 74 50,0 50,0 100,0

Total 148 100,0 100,0

Frekuensi penggunaan Cotton Bud

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Sering : >1x/minggu 78 52,7 52,7 52,7

Jarang : ≤1x/minggu 70 47,3 47,3 100,0

Total 148 100,0 100,0

Kedalaman peggunaan Cotton Bud

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 2/3 dalam kanalis 82 55,4 55,4 55,4

1/3 luar kanalis 66 44,6 44,6 100,0

Total 148 100,0 100,0


LAMPIRAN 7

Durasi penggunaan Cotton Bud

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid > 10 tahun 92 62,2 62,2 62,2

< 10 tahun 56 37,8 37,8 100,0

Total 148 100,0 100,0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Frekuensi penggunaan 148 100,0% 0 0,0% 148 100,0%


Cotton Bud * Kejadian
Otomikosis

Kedalaman peggunaan 148 100,0% 0 0,0% 148 100,0%


Cotton Bud * Kejadian
Otomikosis

Durasi penggunaan Cotton 148 100,0% 0 0,0% 148 100,0%


Bud * Kejadian Otomikosis
LAMPIRAN 7

Frekuensi penggunaan Cotton Bud * Kejadian Otomikosis


Crosstab

Kejadian Otomikosis

Kasus Kontrol

Frekuensi penggunaan Sering : >1x/minggu Count 48 30


Cotton Bud
Expected Count 39,0 39,0

% within Frekuensi 61,5% 38,5%


penggunaan Cotton Bud

Jarang : ≤1x/minggu Count 26 44

Expected Count 35,0 35,0

% within Frekuensi 37,1% 62,9%


penggunaan Cotton Bud

Total Count 74 74

Expected Count 74,0 74,0

% within Frekuensi 50,0% 50,0%


penggunaan Cotton Bud

Crosstab

Total

Frekuensi penggunaan Cotton Sering : >1x/minggu Count 78


Bud
Expected Count 78,0

% within Frekuensi 100,0%


penggunaan Cotton Bud

Jarang : ≤1x/minggu Count 70

Expected Count 70,0

% within Frekuensi 100,0%


penggunaan Cotton Bud

Total Count 148

Expected Count 148,0


LAMPIRAN 7

% within Frekuensi 100,0%


penggunaan Cotton Bud

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 8,782a 1 ,003

Continuity Correctionb 7,834 1 ,005

Likelihood Ratio 8,873 1 ,003

Fisher's Exact Test ,005 ,002

Linear-by-Linear 8,723 1 ,003


Association

N of Valid Cases 148

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 35,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Frekuensi 2,708 1,392 5,269


penggunaan Cotton Bud
(Sering : >1x/minggu / Jarang :
≤1x/minggu)

For cohort Kejadian 1,657 1,166 2,355


Otomikosis = Kasus

For cohort Kejadian ,612 ,438 ,854


Otomikosis = Kontrol

N of Valid Cases 148


LAMPIRAN 7

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate 2,708

ln(Estimate) ,996

Standard Error of ln(Estimate) ,340

Asymptotic Significance (2-sided) ,003

Asymptotic 95% Confidence Common Odds Ratio Lower Bound 1,392


Interval
Upper Bound 5,269

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound ,330

Upper Bound 1,662

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the
common odds ratio of 1,000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Kedalaman peggunaan Cotton Bud * Kejadian Otomikosis

Crosstab

Kejadian Otomikosis

Kasus Kontrol

Kedalaman peggunaan 2/3 dalam kanalis Count 48 34


Cotton Bud
Expected Count 41,0 41,0

% within Kedalaman 58,5% 41,5%


peggunaan Cotton Bud

1/3 luar kanalis Count 26 40

Expected Count 33,0 33,0

% within Kedalaman 39,4% 60,6%


peggunaan Cotton Bud

Total Count 74 74

Expected Count 74,0 74,0

% within Kedalaman 50,0% 50,0%


peggunaan Cotton Bud
LAMPIRAN 7

Crosstab

Total

Kedalaman peggunaan Cotton 2/3 dalam kanalis Count 82


Bud
Expected Count 82,0

% within Kedalaman peggunaan 100,0%


Cotton Bud

1/3 luar kanalis Count 66

Expected Count 66,0

% within Kedalaman peggunaan 100,0%


Cotton Bud

Total Count 148

Expected Count 148,0

% within Kedalaman peggunaan 100,0%


Cotton Bud

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 5,360a 1 ,021

Continuity Correctionb 4,622 1 ,032

Likelihood Ratio 5,394 1 ,020

Fisher's Exact Test ,031 ,016

Linear-by-Linear 5,324 1 ,021


Association

N of Valid Cases 148

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33,00.

b. Computed only for a 2x2 table


LAMPIRAN 7

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate 2,172

ln(Estimate) ,776

Standard Error of ln(Estimate) ,337

Asymptotic Significance (2-sided) ,021

Asymptotic 95% Confidence Common Odds Ratio Lower Bound 1,122


Interval
Upper Bound 4,206

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound ,115

Upper Bound 1,437

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the
common odds ratio of 1,000 assumption. So is the natural log of the estimate.

Durasi penggunaan Cotton Bud * Kejadian Otomikosis

Crosstab

Kejadian Otomikosis

Kasus Kontrol Total

Durasi penggunaan Cotton > 10 tahun Count 43 49 92


Bud
Expected Count 46,0 46,0 92,0

% within Durasi 46,7% 53,3% 100,0%


penggunaan Cotton Bud

< 10 tahun Count 31 25 56

Expected Count 28,0 28,0 56,0

% within Durasi 55,4% 44,6% 100,0%


penggunaan Cotton Bud

Total Count 74 74 148

Expected Count 74,0 74,0 148,0

% within Durasi 50,0% 50,0% 100,0%


penggunaan Cotton Bud
LAMPIRAN 7

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1,034a 1 ,309

Continuity Correctionb ,718 1 ,397

Likelihood Ratio 1,036 1 ,309

Fisher's Exact Test ,397 ,198

Linear-by-Linear 1,027 1 ,311


Association

N of Valid Cases 148

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate ,708

ln(Estimate) -,346

Standard Error of ln(Estimate) ,340

Asymptotic Significance (2-sided) ,310

Asymptotic 95% Confidence Common Odds Ratio Lower Bound ,363


Interval
Upper Bound 1,379

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound -1,013

Upper Bound ,322

The Mantel-Haenszel common odds ratio estimate is asymptotically normally distributed under the
common odds ratio of 1,000 assumption. So is the natural log of the estimate.
LAMPIRAN 8

JADWAL PENELITIAN

Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni


No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Acc Judul
Pengumpulan
2
Data
Penyusunan
3
BAB I
Penyusunan
4
BAB II
Penyusunan
5
BAB III
Sidang
6
Proposal
Pengumpulan
7
Data
Analisis dan
8 Pengolahan
Data
Penyusunan
9 BAB IV, V,
dan VI
Sidang
10
Skripsi
LAMPIRAN 9

DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai