Anda di halaman 1dari 42

PROPOSAL

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA PENDERITA KUSTA DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARU KABUPATEN PAMEKASAN
TAHUN 2021

OLEH :

MINGKI ROSADI
NIM : 18.056

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI MADURA
TAHUN 2021
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA PENDERITA KUSTA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS WARU KABUPATEN PAMEKASAN
TAHUN 2021

PROPOSAL

OLEH :

MINGKI ROSADI
NIM : 18.056

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI MADURA
TAHUN 2021
LEMBAR PERNYATAAN

Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini

Nama : Mingki Rosadi

Nim : 18.056

Tempat Tanggal Lahir : Sumenep, 17 Agustus 1998

Institusi : Politeknik Negri Madura

Saya bersumpah bahwa proposal ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah di
publikasikan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang pendidikan di
perguruan tinggi manapun.

Demikian pernyataan ini peneliti buat dengan sebenar-benarnya dan apabila


penyataan ini tidak benar, peneliti bersedia mendapat sanksi akademi.

Pamekasan, 20 Desember 2020


Yang menyatakan

Mingki Rosadi
Nrp. 33411801056

Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing II

Prastomo Suhendro, SE., MM Ns. Edy Suryadi Amin, M.MKes., M.Kep


NIDN.4110181009 NIDN.3417047801

Ketua
Jurusan Kesehatan

Anggeria Oktavisa Denta, S.Si., M.M., M.Biotech


NIK. 4110182018
LEMBAR PERSETUJUAN

Prposal Oleh : Mingki Rosadi

Judul : Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas
Waru Kabupaten Pamekasan Tahun 2021

Proposal Ini Telah Diperiksa Dan Di Setujui Isi Serta Susunannya Sehingga Dapat
Diajukan Dalam Ujian Sidang Akhir Jurusan Kesehatan Prodi DIII Keperawatan Politeknik
Negeri Madura

Pamekasan, 20 Desember 2020


Yang menyatakan

Mingki Rosadi
Nrp. 33411801056
Mengetahui

Pembimbing I Pembimbing

Prastomo Suhendro, SE., MM Ns. Edy Suryadi Amin, M.MKes., M.Kep


NIDN.4110181009 NIDN.3417047801

Ketua
Jurusan Kesehatan

Anggeria Oktavisa Denta, S.Si., M.M., M.Biotech


NIK. 4110182018
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal Oleh : Mingki Rosadi

Judul : Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Di Wilayah Kerja


Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan Tahun 2020

Proposal Ini Telah Di Pertahankan Di Hadapan Tim Penguji Proposal Pada Tanggal
2021

Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah


Ketua : Ns. Rahayu Yuliana Watiningrum, S.Kep., M.Ke (____________)
NIDN.3426078401

Anggota :
1. Ns.Adi Sutrisni, S.Kep., S.Kep., Mm., M.Kes (____________)
NIDN.3428076001

2. Ns.Kuzzairi, S.Kep., Mh., M.Kes (____________)


NIDN.3402117801

3. Ns. Edy Suryadi Amin, M.MKes., M.Kep (____________)


NIDN. 3417047801

4. Prastomo Suhendro, SE., MM ( )


NIDN.4110181009

Mengesahkan,
Ketua
Jurusan Kesehatan

Anggeria Oktavisa Denta, S.Si., M.M., M.Bioteh


NIK.4110182018
ABSTRAK
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang menyerang
kulit dan jaringan saraf perifer serta mata dan selaput yang melapisi bagian dalam
hidung.WHO mengklasifikasikan kusta ke dalam 2 kelompok pausibasiler dan multibasiler.
Tujuan untuk mengetahui konsep diri pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Waru
Kabupaten Pamekasan tahun 2021.

Metode deskriptif yaitu metode yang sifatnya mengungkapkan peristiwa atau gejala
yang terjadi pada waktu sekarang yang meliputi studi kepustakaan yang mempelajari,
mengumpulkan, membahas data dengan studi pendekatan proses keperawatan dengan
langkah–langkah pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Hasil penelitian data yang di peroleh dari puskesmas waru kabupaten pamekasan
tahun 2021 adalah sebanyak 12 orang, 6 penderita laki-laki dan 6 penderita perempuan dan
penderita anak < 15 tahun 3 penderita.
Melihat hasil penelitian ini, maka perlu ditekankan dan perlu diupayakan lebih lanjut
tentang peningkatan kepatuhan pasien dalam upaya perawatan penyembuhan penyakit kusta,
dengan adanya keterlibatan perawat sebagai salah satu unsur kegiatan asuhan keperawatan
dalam merawat penderita penyakit kusta supaya mengikuti prosedur yang telah di berikan
oleh tenaga medis, dan juga peran keluarga sangat penting , agar selanjutnya dapat diberikan
langkah-langkah yang tepat dalam pemberian obat terhadap penderita penyakit kusta.
Kata kunci : Peran perawat,dalam upaya perawatan penyembuhan pasien penyakit kusta
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul

“Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Waru

Kabupaten Pamekasan” sesuai waktu yang ditentukan.

Karya tulis ilmiah ini peneliti susun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Ahli Madya Keperawatan di Jurusan Kesehatan Program D III Keperawatan Politeknik

Negeri Madura (Poltera).

Dalam penyusunan ini, peneliti mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari

berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini peneliti tidak lupa mengucapkan terima kasih

kepada yang terhormat :

1. Dr. Arman jaya, ST., MT Dirktur Politeknik Negeri Madura yang sudah memberikan

kesempatan dan ijin bagi penulis untuk menyelesaikan proposal ini.

2. Anggeria Oktavisa Denta, S.Si., M.M., M.Bioteh selaku Direktur Ketua Jurusan Program

Studi D III Keperawatan Politeknik Negeri Madura (Poltera).

3. Ns. Mohammad Nur, S.Kep., M.Si selaku Pembimbing I dalam penelitian ini yang telah

banyak memberikan pengarahan, revisi kepada penulis.

4. Ns.Edy Suryadi Amin, M.MKep, M.Kes selaku Pembimbing II dalam penelitian ini yang

telah memberi petunjuk, revisi dan saran hingga terwujudnya proposal ini.

5. Bapak, Ibu dan Saudara tercinta yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam

penyelesaian karya ilmiah ini.

6. Kepala puskesmas waru Abd Syukur Afandi, S.Kep.MM yang telah memberikan izin dan

kesempatan untuk pengambilan data.


7. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Kesehatan Program D III Keperawatan Politeknik

Negeri Madura (Poltera) dan seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penelitian

ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Peneliti berusaha untuk dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, dengan sebaik-

baiknya. Namun demikian peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu demi kesempurnaan, peneliti harapkan adanya kritik dan saran dari

semua pihak, untuk menyempurnakannya.

Pamekasan, 20 Desember 2020


Peneliti

MINGKI ROSADI
Nim : 18.056
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang menyerang

kulit dan jaringan saraf perifer serta mata dan selaput yang melapisi bagian dalam

hidung.WHO mengklasifikasikan kusta ke dalam 2 kelompok pausibasiler dan multibasiler.

Pausibasiler 1-5 lesi, kusta jenis ini menyebabkan rasa baal yang jelas dan menyerang satu

cabang saraf.Multibasiler lesi >5, kusta multibasiler tak seperti pausibasiler, rasa baalnya

tidak jelas, dan menyerang banyak cabang saraf. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis

penyakit menular yang masih merupakan masalah kesehatan yang sangat kompleks di

Indonesia. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi juga masalah sosial,

ekonomi, budaya, serta keamanan dan ketahanan sosial (Widiyono, 2005). Penyakit kusta bila

tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini menjadi

penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi

kebutuhan sosial ekonominya. Penyakit kusta masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk

sebagian petugas kesehatan (Depkes,2007).Pada tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537

penderita kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita, 8,74% penderita

mengalami cacat tingkat II serta 9,09 % di antaranya adalah penderita kusta anak. Menurut

data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5% penderita mengalami reaksi kusta. Di Indonesia

kusta mencapai tahap eliminasi sejak tahun 2000,tapi sampai sekarang kasusnya masih belum

menurun lagi, dan masih dijumpai kasus pada anak (11,3%), angka kecacatan sebesar 10,8 %

serta 81% kasus masih tergolong multibasiler atau banyak bakterinya (Depkes, 2007).

Data yang di peroleh dari puskesmas waru kabupaten pamekasan tahun 2020 adalah

sebanyak 12 orang, 6 penderita laki-laki dan 6 penderita perempuan dan penderita anak < 15
tahun 3 penderita. Indonesia sampai saat ini menduduki peringkat ke 3 di dunia setelah

india dan razil. Sedangkan prevelensi kusta di indonesia di perkirakan 0,696 per 10.000

penduduk,

Semakin meningkatnya angka kejadian penyakit kusta tentu bukan tanpa sebab, banyak

faktor yang mendasarinya. Gejala utama penyakit kusta berupa bercak perubahan warna

(menjadi putih seperti panu) atau lesi pada kulit, berbentuk benjolan, atau benjolan yang tidak

hilang setelah beberapa minggu atau bulan. Yang menjadi gejala khas dari penyakit kusta,

bahwa lesi pada kulit yang disertai dengan kerusakan saraf akan menimbulkan gejala-gejala

sebagai berikut:,

 Mati rasa pada bagian kulit yang terkena misalnya lengan dan kaki.


 Kelemahan Otot.

Biasanya memerlukan waktu sekitar 3 sampai 5 tahun sampai gejala kusta muncul setelah

seseorang kontak dengan bakteri lepra. Walau demikian, ada juga beberapa orang yang tidak

mengalami gejala apapun sampai 20 tahun kemudian. Waktu antara kontak dengan bakteri

sampai munculnya gejala disebut masa inkubasi. Masa inkubasi pada penyakit kusta begitu

panjang sehingga menjadi sangat sulit bagi dokter untuk menentukan kapan dan dari mana

seseorang tertular bakteri lepra.

Penyakit kusta bukanlah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dalam hal ini untuk

menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai

penularan dari pasien kusta terutama tipe yang dapat menular pada orang lain untuk

menurunkan insiden penyakit, Dengan pengobatan yang teratur, kusta dapat disembuhkan

tanpa meninggalkan kecacatan. Kecacatan fisik yang sering ditemukan pada penderita kusta

biasa terjadi karena deteksi dini penyakit kusta yang terlambat, pengobatan yang kurang

teratur serta perawatan diri yang kurang baik. Para penderita kusta yang telah sembuh dari

penyakit tersebut mereka tidak akan pernah lepas dari status penyandang kusta. Mereka akan
selamanya disebut sebagai penyandang kusta yang telah sembuh atau biasa disebut eks

penderita kusta.

Dengan melihat persoalan diatas, maka perlu ditekankan dan perlu diupayakan lebih

lanjut tentang peningkatan kepatuhan pasien dalam upaya perawatan penyembuhan penyakit

kusta, dengan adanya keterlibatan perawat sebagai salah satu unsur kegiatan asuhan

keperawatan dalam merawat penderita penyakit kusta supaya mengikuti prosedur yang telah

di berikan oleh tenaga medis, dan juga peran keluarga sangat penting , agar selanjutnya dapat

diberikan langkah-langkah yang tepat dalam pemberian obat terhadap penderita penyakit

kusta. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “

Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Diwilayah Kerja Puskesmas Waru Kabupaten

Pamekesan Tahun 2021”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaiman Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Diwilayah Kerja Puskesmas

Waru Kabupaten Pamekesan Tahun 2021?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

konsep diri pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi institusi pelayanan

Dapat menambah informasi dan masukan bagi petugas kesehatan khususnya di

puskesmas waru Kabupaten Pamekasan agar dapat meningkatkan preventif bagi penderita

kusta.
1.4.2 Bagi institusi pendidikan

Untuk menambah referensi perpustakaan dan wawasan mahasiswa jurusan

keperawatan tentang Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Diwilayah Kerja

Puskesmas Waru Kabupaten Pamekesan Bagi peneliti keperawatan

Memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan aplikasi riset tentang Gambaran

Konsep Diri Pada Penderita Kusta Diwilayah Kerja Puskesmas Waru Kabupaten Pamekesan.

1.4.4 Bagi responden

Bagi masyarakat digunakan sebagai sumbangan pengetahuan dan wawasan akan

keberadaan pasien penderita kusta. Dan mengetahui cara pemberian obat secara teratur bagi

pasien penderita kusta khususnya di Puskesmas Waru.

.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit kusta

2.1.1 Pengertian kusta

Penyakit kusta didefinisikan sebagai penyakit menular kronik disebabkan oleh

kuman Mycobacterium leprae (M.Leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf

tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas,

mata, otot, tulang dan testis (Tamba R.S, 2011 dikutip dari Amirudin M.D, 2000).

Penyakit kusta juga disebut Morbus Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari

bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara

umum (Suwardi, 2012).

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat kronik.

Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler

obligat dan terjadi pada kulit dan saraf tepi. Kuman Mycobacterium leprae pertama

kali menyerang pada syaraf perifer, yang kemudian mengenai kulit dan mukosa

mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotel penderita, mata, otot, tulang

dan testis.Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis,

tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.(12)

Istilah kusta berasal dari bahasa sangsekerta, yakni kushtha yang berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga morbus

hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu dr. Gerhard armauwer

hansen pada tahun 1874, sehingga penyakit ini disebut morbus hansen (zulkifli,

2003).
Kusta, juga dikenal sebagai penyakit Hansen adalah penyakit infeksi

kronis akibat Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat,

M. leprae terutama menginfeksi sel Schwann pada saraf perifer yang mengarah pada

kerusakan saraf dan berkembang menjadi cacat. Penyakit ini ditandai dengan satu atau

lebih dari tiga cardinal sign yaitu hipopigmentasi atau erythematous skin patches

dengan kehilangan sensasi rasa, penebalan saraf perifer, dan ditemukan basil tahan

asam dari hapusan kulit atau bahan biopsy(Bhat dan Prakash, 2012).

Penyakit kusta bersifat menahun, hal ini dikarenakan bakteri kusta

memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya

memiliki rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan

permanen akibat dari keterlambatan penanganan, dan keadaan ini menjadi

penghalang bagi penderita dalam menjalani kehidupan bermasyarakat (Widoyono,

2011).

Kusta adalah penyakit kronis, disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan

menyebabkan cacat jika tidak dilakukan perawatan diri. Kusta merupakan penyakit

infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat

intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai aktivitas afinitas pertama, lalu kulit dan

mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian ke organ lain. (Djuanda, 2011)

2.1.2Jenis – jenis kusta

Penyakit kusta digolongkan menjadi 3 yaitu:

1.Tuberkuloid

2. Lepromatosa

3. Borderline
1. Tuberkuloid

Jenis kusta satu ini merupakan salah satu jenis penyakit kusta yang ringan.

Penderita biasanya hanya memiliki satu atau beberapa bercak putih dan datar pada

kulitnya. Area kulit yang terkena mungkin mengalami mati rasa karena kematian saraf

di bagian bawahnya. Kusta jenis tuberkuloid ini tidak terlalu menular bila

dibandingkan dengan jenis kusta lainnya. Gejala lainnya berupa:

 Otot tangan dan kaki melemah.

 Kulit menjadi kaku dan kering.

 Gangguan penglihatan hingga kebutaan.

 Pembesaran saraf di daerah siku (saraf ulnaris) dan lutut (saraf peroneal).

 Cacat pada jari tangan dan kaki jika tidak segera diobati.

2. Lepromatosa

Lepromatosa merupakan jenis penyakit kusta yang lebih berat. Penderitanya

biasanya memiliki banyak bercak kulit yang agak menonjol dan menyebar ke seluruh

tubuh, kulit yang terkena biasanya mengalami mati rasa, dan penderita juga dapat

mengalami kelemahan otot. Selain mengenai kulit, kusta juga dapat mengenai hidung,

ginjal, dan organ reproduksi pria. Kusta jenis ini lebih mudah menular dibandingkan

dengan kusta jenis tuberkuloid. Gejala kusta lepromatosa lain yang perlu diwaspadai

adalah:

 Penipisan alis dan bulu mata

 Hidung tersumbat

 Laringitis

 Pembengkakan kelenjar getah bening di selangkangan dan ketiak

 Adanya jaringan parut di testis yang mengarah ke infertilitas

 Pembesaran payudara pada laki-laki


3. Borderline

Orang yang disebut mengalami kusta tipe borderline adalah seseorang yang

memiliki kedua gejala tipe kusta di atas, yaitu gejala tuberkuloid dan lepromatosa.

Pengidap kusta borderline memiliki gejala gabungan dari kusta tuberkuloid dan

lepromatosa. Apabila kusta terdeteksi lebih awal, gejalanya bisa diatasi segera.

Banyak kasus kusta borderline yang bisa dicegah karena telah melakukan

pengobatan lebih dini. Beberapa pengidap kusta dengan tipe tuberkuloid bahkan

dapat sembuh tanpa perlu melakukan pengobatan.

Pengidap kusta rentan mengalami kecacatan. Risiko ini dapat dicegah dengan

menghindari cedera dan infeksi yang berpotensi memperparah kondisi kusta. Itu

sebabnya pengidap kusta perlu mendapatkan penanganan medis segera

2.1.3Gejala penyakit kusta

Gejala kusta pada awalnya tidak tampak jelas. Bahkan, pada beberapa kasus

gejala kusta baru bisa terlihat setelah bakteri kusta berkembang biak dalam tubuh

penderita selama 20–30 tahun. Beberapa gejala kusta yang dapat dirasakan

penderitanya adalah:

 Mati rasa di kulit, termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan,

tekanan, atau rasa sakit

 Muncul lesi pucat, berwarna lebih terang, dan menebal di kulit

 Muncul luka tapi tidak terasa sakit

 Pembesaran saraf yang biasanya terjadi di siku dan lutut

 Otot melemah, terutama otot kaki dan tangan

 Kehilangan alis dan bulu mata

 Mata menjadi kering dan jarang mengedip


 Mimisan, hidung tersumbat, atau kehilangan tulang hidung.

 Manifestasi Klinis ;
a. Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda tanda utama atau Cardinal

b. Sign penyakit Kusta, Yaitu :

1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/ lesi dapat berbentuk bercak

keputih - putihan (hypopigmentasi) atau kemerah merahan (erithematous) yang

mati rasa (anesthesi)

2) Penebalan Saraf Tepi

Biasnya disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini

merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan

fungsi saraf ini bisa berupa :

 Gangguan fungsi sensori : mati rasa

 Gangguan fungsi motoris : kelemaha otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

 Gangguan fungsi Otonom : Kulit kering dan retak – retak

 Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA

Positif)

3) Tanda-tanda tersangka Kusta (suspek)

 Tanda - tanda pada kulit Bercak/ kelainan kulit yang merah atau putih di

bagian tubuh. Bercak yang tidak gatal dan kulit mengkilap. Adanya bagian tubuh

yang tidak berkeringat atau tidak berambut.

 Lepuh tidak nyeri

 Tanda-tanda pada saraf Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota

badan atau muka

 Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Lewis (2011) berpendapat bahwa masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai

40 tahun lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10

tahun untuk kusta lepromatosa. Chin (2006) mengatakan bahwa masa inkubasi kusta

berkisar 9 sampai 20 tahun. M. Leprae memiliki masa inkubasi penyakit yang sangat

lambat yaitu sekitar lima tahun, dan gejala yang ditimbulkan baru mulai muncul

setelah 20 tahun kemudian. Gejala kusta dapat ditemukan adanya lesi tunggal atau

ganda, biasanya kurang berpigmen dari kulit sekitarnya. Lesi yang ditimbulkan

bervariasi, tetapi umumnya berupa makula (datar), papula (timbul) ataupun nodul.

Warna lesi terkadang kemerahan atau kuning kecoklatan. Gejala khas dari kusta

adalah hilangnya sensasi sentuhan akibat rusaknya saraf pada area yang sakit dan juga

sering terjadi kelemahan otot (WHO, 2011).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kusta adalah suatu

penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobakterium leprae leprae yang

pertama kali menyerang syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, membran

mukosa, saluran pernafasan bagian atas, mata, dan jaringan tubuh lainnya kecuali

susunan saraf pusat.

2.1.4Penyebab penyakit kusta

Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium Leprae yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya

berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam

(BTA). Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-

21 hari untuk membela diri dan masa rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat

ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernapasan dan kontak kulit.

Mycobakterium leprae merupakan basil tahan asam, obligat intraseluler yang

dapat bereproduksi secara maksimal pada suhu 27-30 ℃. Mikroba ini berkembang
biar dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti kulit, saraf perifer, saluran

pernafasan atas dan testis. Jalur transmisinya masih belum jelas, diperkirakan

transmisi terjadi melalui droplet, vektor serangga, atau kontak dengan tanah dengan

mikroba yang bersangkutan

2.1.5Komplikasi

Kecacatan merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik

akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta

(Arif Mansjoer, 2009). Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika kusta

terlambat diobati adalah :

a. Mati rasa.

b. Kebutaan atau glaukoma.

c. Gagal ginjal.

d. Disfungsi ereksi dan kemandulan pada pria.

e. Perubahan bentuk wajah.

f. Kerusakan permanen pada bagian dalam hidung.

g. Kerusakan saraf permanen di luar otak dan saraf tulang belakang, termasuk

pada lengan, tungkai kaki, dan telapak kaki.

2.1.6 Cara Penularan Kusta

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas,

penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama

tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta. Cara-cara penularan penyakit

kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.Yang diketahui hanya pintu keluar

kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang

mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:


a. Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita

yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15

tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan

adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

2.1.7 Dampak kusta

1. Bagi penderita kusta

Penyakit kusta akan berdampak kepada penderita kusta dari berbagai aspek dan juga

berakibat pada kualitas hidup yang semakin menurun (Rao &Joseph, 2007) :

a. Fisik

Aspek fisik penyakit kusta akan berdampak pada lesi di kulit dan

kecacatan tubuh penderita (Suryanda, 2007 dalam Susanto, 2010). Mycobacterium

leprae sebagai bakteri penyebab penyakit kusta dapat mengakibatkan kerusakan

saraf sensori, otonom, dan motorik. Pada saraf sensori akan terjadi akan terjadi

luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan

kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi

sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas

sendi pada penderita kusta (wisnu dan Hadilukito, 2003 dalam Susanto, 2006).

b. Psikologis

Paradigma masyarakat beranggapan bahwa penyakit kusta adalah penyakit

keturunan, penyakit yang bisa menular lewat apapun, dan tidak bisa disembuhkan.

Stigma masyarakat yang seperti itu akan membuat penderita kusta mengalami

depresi dan bahkan ada keinginan untuk bunuh diri (Bakrie,2010). Penelitian

Tsutsumi (2003) mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara stigma yang

dirasakan oleh penderita kusta dengan depresi pada penderita kusta.


c. Ekonomi

Kemiskinan adalah salah satu dampak dari penyakit kusta yang begitu

besar. Perilaku penderita kusta cenderung negatif, diantaranya penderita kusta

banyak yang manjadi pengemis dan pengangguran. Pengemis adalah pekerjaan

utama mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penelitian juga

menunjukkan bahwa penderita kusta yang menjadi pengemis akan berpotensi

sebagai reservoir penularan infeksi penyakit kusta (Kaur & Van Brakel, 2002 ).

d. Sosial

Penelitian di China yang memfokuskan pada masalah sosial menunjukkan

bahwa penderita kusta sering terisolasi dari masyarakat, hidup sendiri, dan

memiliki kesulitan dalam melakukan perawatan diri, aktivitas sehari-hari,

penurunan produktivitas dan partisipasi sosial (Brouwers dkk. , 2011). Masalah

sosial muncul di Indonesia akibat ketakutan yang dialami penderita kusta di

masayarakat (leprophobia), rendahnya pengetahuan, kurang bersosialisasi di

masyarakat, dan stigma buruk di masyarakat.

2. Bagi keluarga

Depkes RI (2006) menyatakan bahwa penyakit kusta akan berdampak pada

kelangsungan hidup keluarga. Dampak yang muncul dalam keluarga diantaranya

keluarga panik saat salah satu anggota keluarga mendapat diagnosa kusta, berusaha

untuk mencari pertolongan ke dukun, keluarga takut akan tertular penyakit kusta

sehingga tidak jarang penderita kusta diusir dari rumah, keluarga takut diasingkan

oleh masyarakat dan jika anggota keluarga yang menderita kusta adalah kepala

keluarga, akan berdampak pada sosial ekonomi keluarga tersebut. Dampak yang

dirasakan oleh keluarga akan mempengaruhi keluarga dalam memberikan perawatan

kepada penderita kusta.


3. Bagi masyarakat

Depkes RI (2006) menyatakan bahwa selain berdampak pada keluarga, kusta

juga akan berdampak pada lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal penderita

kusta. Dampak yang muncul yaitu masyarakat merasa jijik dan takut terhadap penderita

kusta, masyarakat menjauhi penderita kusta dan keluarganya, dan masyarakat merasa

terganggu dengan adanya penderita kusta sehingga berusaha untuk menyingkirkan dan

mengisolasi penderita kusta.

2.1.8Pemeriksaan Penunjang

a. pemeriksaan bakterioskopik

pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit

atau asupan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap

basil tahan asam, antara lain dengan ziehl-neelsen. Bakterioskopik negatif pada

seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. Leprae.

b. Pemeriksaan Histopatologik

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel

glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah

melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. Leprae) masuk, akibatnya akan

bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) orang itu. Apabila SISnya tingga,

makrofag akan mampu memfagosit M.leprae.

c. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara

lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman

M.Tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta

yang meragukan, karena tanda klinik bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat

membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada

narakontak serumah (Kosasih, dkk. 2007).Macam-macam pemeriksaan serologik

kusta ialah :

1) Uji MLPA (Mycobakterium Leprae Particle Aglutination)

2) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay)

3) ML dipstick (Mycobakterium Leprae dipstick)

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta

dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien

kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden

penyakit.Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,

klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi

resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,

menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam

jaringan.

Ketidakpatuhan berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan

pengobatan menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan upaya penanggulan

penanggulan penyakit kusta (Panigoro, 2007). Menurut Saranani (2005) pengobatan

yang adekuat dan teratur minum obat akan mengurangi infeksiusitas penderita yang

menular, dan ketidakpatuhan minum obat pada penderita kusta akan berakibat sangat

4 buruk bagi penderita karena akan menimbulkan resistensi obat -obatan anti kusta.
Bila Penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat

menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala –gejala baru pada kulit syaraf yang

dapat memperburuk keadaan, disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan

teratur (Depkes RI, 2008). Pengobatan kusta yang memerlukan jarak lama antara 6 -

12 bulan, biasanya memiliki resiko tinggi dalam ketidakteraturan berobat dan minum

obat.

Pencegahan dan pengendalian penyakit menular merupakan program

pelayanan kesehatan puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular

penyakit menular/infeksi. Tujuan dari program P2M ini yaitu untuk menurunkan

angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit menular. Prioritas penyakit

menular yang akan di tanggulangi adalah penyakit malaria, DBD, filiaria, kusta,

pneumonia dan penyakit yang dapat di cegah melaui P2M. Melalui program P2M,

maka salah satu cara yang digunakan untuk mencegah dan memberantas penyakit

menular yakni melalui imunisasi. Mendapat imunisasi berarti sesorang diberikan

kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.

2.1.9Pencegahan Penyakit Kusta

Pencegahan penyakit khusus kusta belum ada. Pada zaman dahulu penderita

kusta diisolasi. Cara ini selain tidak manusiawi, juga menyebabkan leprofobi terus

menerus. Untuk saat ini penanganan tanpa metode isolasi dapat ditangani dengan

promosi kesehatan pada masyarakat bahwa penyakit kusta bukan penyakit kutukan

atau keturunan, serta menganjurkan untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan

sebagai pencegahan dini.

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Faktor pengobatan

adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat

dicegah.Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara


pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-

48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca

diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati.

Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan

terjadinya tempat-tempat yang lembab.

Salah satu upaya dalam pemberantasan penyakit menular ini adalah melalui

vaksinasi. Para ahli telah lama berusaha untuk mendapatkan upaya pencegahan

penyakit kusta melalui vaksinisasi

Menurut Amiruddin (2012), dalam upaya pengembangan vaksin kusta ada 2

pendekatan yaitu :

1. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang

sehat yang mempunyai resiko untuk tertular kusta (prophylactit vaccine).

2. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaiki system imunitas seluler pada penderita

kusta leprometosa didaerah endemic kusta yang tinggi (therapeutic vaccine).

Pada penyakit kusta sebenarnya ada 3 tipe vaksin yang potensial untuk penyakit

kusta, (1) yang berasal dari M. Leprae mati yang dirangsang untuk imunoprofilaksis,

(2) yang berasal dari M. Leprae mati lain yang memberikan reaksi silang dari M.

Leprae, (3) Campuran M. Leprae mati dengan BCG (Imunisasi Bacillus Calmette

Guerin). Imunisasi ini diyakini dapat membantu mencegah dan mengurangi

kemungkinan tertular penyakit kusta.

2.1.10 Dukungan Keluarga

dukungan keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap

penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai system pendukung bagi

anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung,

selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan.


Dukungan keluarga adalah suatu bentuk melayani yang dilakukan oleh keluarga

baik dalam bentuk dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan

penghargaan dan dukungan informasi yang dapat diberikan bagi penderita kusta.

a. Dukungan Emosional

Dukungan emosional yaitu dukungan yang melibatkan ekspresi dari empati,

kepedulian, dan perhatian kepada orang lain. Dukungan ini dapat memberikan perasaan

aman dan nyaman, perasaaan dimiliki dan dicintai dalam situasi-situasi stres

(Wandasari, 2004).

Andarmayo (2012) mengungkapkan bahwa seseorang yang memperoleh

dukungan emosional dapat merasakan aman, damai, dan tentram yang ditunjukkan

dengan sikap tenang dan bahagia.

b. Dukungan Penilaian

Dukungan penilaian merupakan bentuk penghargaan positif yang diberikan

keluarga kepada klien kusta. Bentuk penilaian yang diberikan klien kusta berupa

pemberian pujian atas menjaga keberhasilan diri atau pada saat klien kusta mencoba

melakukan interaksi diluar rumah (Arwani dan Purwono, 2013).

c. Dukungan Instrumental (Tangible Assitance)

Dukungan instrumental yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan

secara langsung seperti bantuan uang atau materi lainnya (Wandasari, 2004). Bentuk

dukungan ini antara lain adalah penyediaan materi seperti pinjaman uang, pemberian

barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena

individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.

Dukungan instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan

lebih mudah (Andarmayo, 2012).

d. Dukungan Informasional
Dukungan informasional yaitu dukungan yang terdiri dari pemberian nasihat,

arahan, saran, atau umpan balik mengenai apa yang dilakukan oleh orang lain

(Wandasari). Friedman (2010) menyatakan bahwa keluarga dapat menyediakan

informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan

tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi ini

keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

2.1.11 Kualitas Hidup

Kualitas hidup merupakan persepsi individu dalam hidup ditinjau dari konteks

budaya dan sistem nilai individu tersebut berada, dan berhubungan dengan standar

hidup, harapan, kesenangan dan perhatian. Hal ini merupakan konsep tingkatan yang

terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis,

tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan individu kepada karakteristik

lingkungan (WHO, 1997). Kualitas hidup mempunyai makna yaitu derajat sesorang

untuk menikmati kemungkinan dalam hidupnya.Kenikmatan tersebut memiliki dua

komponen, yaitu pengalaman, kepuasan dan kepemilikan atau pencapaian beberapa

karakteristik dan kemungkina-kemungkinan tersebut merupakan hasil dari

kesempatan dan keterbatasan setiap orang dalam hidupnya dan merefleksikan

interaksi faktor personal dengan lingkungan (Chang & Weissman, 2008). Tujuan dari

meningkatkan kualitas hidup adalah untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan

dan juga meningkakan pentingnya promosi kesehatan.

WHO (1997) mengembangkan domain untuk mengukur kualitas hidup

menjadi 6 bidang, yaitu kesehatan fisik, keshatan psikologik, keleluasan aktivitas,

hubungan sosial dan lingkungan, serta spriritualitas /agama / kepercayaan seseorang.

Secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah :


1. Kesehatan fisik (physical health) : kesehatan umum, nyeri energi dan

vitalitas, tidur , dan istirahat ;

2. Kesehatan psikologis (psychological health) : cara berpikir, belajar, memori

dan konsentrasi :

3. Tingkat aktivitas (level of independence) : mobilitas, aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada bahan obat atau tenaga kesehatan, kemampuan kerja ;

4. Hubungan sosial (social relationship) : hubungan sosial, dukungan sosial,

aktivitas seksual.

5. Lingkungan (environtment) : keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja,

transportasi, partisipasi dalam kegiatan rekreasi ;

6. Spititual / agama / kepercayaan (spirituality / religion / personal beliefs).

7. Berdoa bersama keluarga, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan dalam

beragama.

Kualitas hidup diakui sebagai kriteria penting dalam penilaian

hasil medis dari pengobatan penyakit kronis seperti pada penyakit kusta.

Persepsi individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan dan

keterbatasannya menjadi penting sebagai evaluasi akhir terhadap pengobatan.

WHOQOL dapat dipergunakan dalam berbagai kepentingan

diantaranya dalam praktik kedokteran, meningkatkan hubungan antara pasien

dengan dokter, mengevaluasi pelayanan kesehatan dalam penelitian maupun

pembuatan kebijakan.

2.1.12 Penelitian terkait

Penelitian Preedy & Watson (2010), menjelaskan bahwa kusta merupakan

penyakit yang dapat menyebabkan kecacatan, deformitas, dan rasa takut. Penderita

kusta juga tersiksa karena kemampuan fisik yang dimiliki berkurang, diskriminasi
oleh masyarakat sekitar, dan juga stigma. Riset yang dilakukan oleh Tsutsumi (2007)

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas hidup penderita

kusta adalah adanya stigma yang dialami penderita kusta . Stigma yang dialami

penderita kusta memberikan pengaruh terbesar terhadap kualitas hidup. Dalam riset

tersebut juga dijelaskan bahwa pria dengan penyakit kusta memiliki kualitas hidup

lebih buruk daripada wanita yang menderita kusta.

Dari hasil penelitian Sri Winarsih dan Tony Suharsono 2017. Dari penelitian

ini diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden tentang kusta adalah dalam

katagori tinggi yaitu 29 orang (70,7%). Kepatuhan responden terhadap minum

sebagian besar adalah dalam katagori patuh yaitu 23 responden (56,1%). Terdapat

hubungan yang bermakna (p = 0,025; p < 0,05) antara tingkat pengetahuan tentang

kusta dengan kepatuhan minum obat pada pasien kusta.

2.2 Pengertian konsep diri

Konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri.

Pandangan diri terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi

diri.  Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan-kekuatan individual, tetapi juga

kelemahan bahkan juga kegagalan dirinya. Konsep diri merupakan inti dari

kepribadian individu. Inti kepribadian berperan penting untuk menentukan dan

mengarahkan perkembangan kepribadian serta perilaku positif individu.

Konsep diri adalah gambaran yang ada pada diri individu yang berisi tentang

bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut dengan

pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian

atas dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan dirinya sendiri sebagai

manusia yang diharapkan.


Konsep diri tidak hanya mempengaruhi individu dalam karakter tetapi juga

tingkat kepuasan yang diperoleh dalam hidupnya. Setiap individu pasti memiliki

konsep diri dan dapat berkembang menjadi konsep diri positif maupun negatif, namun

demikian kita pada umumnya tidak tahu apakah konsep diri yang dimiliki itu negatif

atau positif. Individu yang memiliki konsep diri positif akan memiliki dorongan untuk

mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini individu dapat menerima

dirinya secara apa adanya dan akan mampu menginstropeksi diri atau lebih mengenal

dirinya melalui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, Sedangkan individu yang

memiliki konsep diri negatif, ia tidak memiliki kestabilan perasaan dan keutuhan diri,

juga tidak mampu mengenal diri sendiri baik kelebihan maupun kelemahan serta

potensi yang dimiliki. Individu yang memiliki konsep diri negatif adalah individu

yang pesimis, merasa dirinya tidak berharga, dan tidak tahan dengan kritikan yang

diberikan kepadanya.

Konsep diri memiliki tiga komponen utama, yaitu komponen perseptual

yaitu image seseorang mengenai penampilan fisiknya dan kesan yang ditampilkan

pada orang lain, komponen ini sering disebut physical self-concept. Kedua, komponen

konseptual yaitu konsepsi seseorang mengenai karakteristik khusus yang dimiliki,

baik kemampuan dan ketidakmampuannya, latar belakang serta masa depannya.

Komponen ini sering disebut psycological self-concept, yang tersusun daribeberapa

kualitas penyesuaian diri, seperti   pendirian yang teguh dan kebalikannya dari sifat-

sifat tersebut. Ketiga, komponen sikap yaitu perasaan seseorang tentang diri sendiri,

sikap terhadap statusnya sekarang dan prospeknya di masa depan, sikap terhadap

harga diri dan pandangan diri yang dimilikinya.


BAB 3

Kerangka Konsep

Gejala penyakit kusta: Kusta Jenis-jenis kusta:


1. Mati rasa di kulit 1. Tuberkuloid
2. Lepromatosa
2. Muncul lesi pucat 3. Borderline
3. Muncul luka tapi tidak terasa
sakit
4. Otot melemah
5. Kehilangan alis dan bulu mata

6. Mimisan, hidung tersumbat

Konsep diri pada penderita kusta:

1. Pandangan individu terhadap diri sendiri


2. kepribadian berperan penting untuk
menentukan dan mengarahkan
perkembangan dalam penyembuhan
penyakit kusta.

3. Sikap dan kedisiplinan individu, yang meliputi :

- motivasi untuk sembuh dari penyakit kusta


- keteraturan minum obat
- tingkat kepuasan yang diperoleh dalam proses
penyembuhan.

4. konsepsi seseorang mengenai


karakteristik Kemampuan dan
KetidakmampuanNya.
5. sikap terhadap statusnya sekarang dan
prospeknya di masa depan.
Keterangan :

Di Teliti Variabel yang di teliti

Tidak Di Teliti Variabel yang tidak diteliti

Arah Hubungan Arah hubungan variabel

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Di
Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan.
BAB 4

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan

atau pemecahan suatu masalah, pada dasarnya menggunakan metode ilmiah (Notoatmodjo,

2010:19).Pada bab ini akan disajikan metode penelitian yang meliputi: desain penelitian,

kerangka kerja, populasi, sampel, sampling, identitas variabel, definisi operasional,

pengumpulan dan analisa data, etika penelitian dan katerbatasan.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan

prosedur penelitian (Nursalam 2013) .Berdasarkan tujuan penelitian, maka desain penelitian

survey deskriptif juga dapat didefinisikan suatu penelitian yang dilakukan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi didalam masyarakat

(Notoatmodjo, 2010:37).
3.2 KerangkaKerja

Pupulasi
Semua pasien yang menderita kusta di Puskesmas Waru jumlah
populasi : 12 orang

Sampel
Semua pasien yang menderita kusta di Puskesmas Waru jumlah
sampel: 12 orang

Sampling
Non probability Total sampling

Desain penelitian
Deskriptif

Pengumpulan data
Kuensioner closedended question tipe dichotomy quesition

Pengelolaan dan Analisa data


Editing, cording,scroding ,tabulating

Penyajian data
Gambar dan tabel

Kesimpulan dan desiminasi

Gambaran 3.1 Kerangka kerja tentang Gambaran Konsep Diri Terhadap Penderita Kusta Di
Wilayah Kerja Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan.
3.3 Populasi, Sampel, BesaranSampel, danTeknikSampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah merupakan seluruh objek atau subjek dengan karakteristik tertentu

yang akan diteliti (Nursalam 2017). Populasi dalam penelitian ini adalah 12 orang pasien di

Puskesmas Waru kabupaten pamekasan.

3.3.2 Sampel dan Besar Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Nursalam 2017).

Besar sampel adalah banyaknya 12 orang yang dijadikan sampel. Sampel yang

digunakan adalah semua masyarakat di Puskesmas Waru sebesar 12 sampel.

3.3.3 Total Sampling

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel (Nursalam

2017).Penelitian ini menggunakan sampling jenuh. Pada sampling ini dipilih dari semua

masyarakat yang berada di Puskesmas Waru Dengan jumlah 12 responden. Cara ini

dilakukan bila populasinya kecil, seperti bila sampelnya kurang dari tiga puluh maka anggota

populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian (Nursalam 2017).

3.4 Identifikasi Variabel

Variabel adalah objek peneliti atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian

(Nursalam 2017). Variabel pada penelitian ini yaitu Gambaran Konsep Diri Pada Penderita

Kusta Di Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan.


3.5 Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari suatu

yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati (diukur) itulah merupakan

kunci definesi operasional.Dapat diamati artinya memungkinkan peneliti melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian

dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam 2013).

Tabel 3.1 Definisi operasional tentang Gambaran Konsep Diri Pada Penderita Kusta Di
Wilayah Kerja Puskesmas Waru Kabupaten Pamekasan Tahun 2021

Vareabel Definisi Indikator Skala Alat ukur Skor/kreteria


operasional
Gambaran kepribadian - Definisi Ordinal Kuesioner Paeryataan
Konsep berperan penyakit kusta closedended positif diberi
Diri Pada penting untuk - Jenis – jenis questioner nilai:
Penderita menentukan kusta tipe Ya : 1
Kusta Di dan - Gejala penyakit dichotomy Tidak : 0
Wilayah mengarahkan kusta question
Kerja perkembanga - Penyebab Peryataan
Puskesmas n dalam penyakit kusta negatif
Waru penyembuha - Cara Penularan dibrei nilai :
Kabupaten n penyakit Kusta Ya : 0
Pamekasan kusta - Dampak Tidak : 1
penyakit kusta
- Pencegahan Kategori:
Penyakit Kusta Baik=≥75-
100%
Cukup=50-
74% Kurang
=≤50%
3.6 Pengumpulan dan Analisa Data

3.6.1 pengumpulan data

Proses pengumpulan Data

Pengumpulan data ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari Direktur

poltera, kemudian peneliti juga mendapatkan persetujuan dari instansi atau lembaga tempat

yang akan diteliti serta melakukan pendekatan pada calon responden untuk sudi dan bersedia

menjadi responden dalam penelitian ini.

1. Insrtumen Pengumpulan Data

Pada penelitian ini yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian

ini berupa kuesioner skala likert yang di sebarkan kepada responden.Kuesioner

merupakan daftar pernyataan yang disususun secara tertulis dalam rangka

pengumpulan data pada penelitian (Nursalam 2013).Kuesioner yang disebarkan

terdapat 5 soal data umum (pertanyaan umum )dan 7 soal data khusus.

3.6.2 Analisa Data

Langkah-langkah analisa data dibagi sebagai berikut:

a. Editing

Setelah jawaban responden terkumpul, segera memeriksa kembali data yang telah

terkumpul, untuk mengecek kembali apakah semua skala sudah diisi sesuai petunjuk,

kemudian memisahkan subyek penelitian yang tidak sesuai dengan kriteria intruksi.

b. Coding

Memberikan kode-kode tertentu pada setiap jawaban semua dengan kategori:

1. Kode untuk Jenis Kelamin

Kode1: Laki-laki, kode 2: Perempuan

2. Kode untuk Pendidikan


Kode 1: Tidak sekolah, Kode 2: Sekolah dasar (SD), Kode 3: Sekolah menengah

pertama (SMP), Kode 4: Sekolah menengah atas (SMA) Sederajat, Kode 5:

Perguruan tinggi (D1-S3)

3. Kode untuk Pekerjaan

Kode1: Petani, Kode 2: Wiraswasta ,Kode 3: Ibu rumah tangga , Kode 4: PNS

4. Kode untuk Usia

Kode 1: 21-30 tahun, Kode 2: 31-40 tahun, Kode 3: 41-50 tahun, Kode 4: 51

tahun keatas

5. Kode untuk Informasi kusta

Kode 1: Pernah, Kode 2: Tidak pernah

c. Scoring

Scoring adalah member skor terhadap item-item yang perlu diberi skor. Nilai

tertinggi dari semua pertanyaan adalah 100% dan nilai terendah adalah 0%.Untuk

penilaian kriteria:

Paeryataan positif diberi nilai:

Ya : 1

Tidak : 0

Peryataan

negatif

dibrei nilai :

Ya : 0

Tidak : 1
d. Tabulating

Tabulating adalah mentabulasi hasil data yang diperoleh sesuai dengan item

pertanyaan. Data umum \dan data khusus dilakukan tabulasi untuk mengetahui jumlah

responden berdasarkan karakteristik data umum dan khusus. Dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Kemudian hasilnya diinterpretasikan dengan menggunakan skala pengukuran

penelitian sebagai berikut:

100% = Seluruhnya

76% - 99% = Hampirseluruh

51% - 75% = Sebagianbesar

50% = Setengahnya

25% - 49% = Hampirsetengahnya

1% - 24% = Sebagiankecil

0% = Tidaksatupun

3.7 EtikaPenelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penelitian mendapatkan rekomendasi dari

Poltera Keperawatan Pamekasan dan permintaan ijin kepada kepala puskesmas waru.

Setelah mendapat persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan

masalah etika yang meliputi:

3.7.1 Informed Consent (Lembaran persetujuan menjadi responden)

Lembar persetujuan diberikan kepada subyek yang akan diteliti.Peneliti menjelaskan

maksud dan tujuan riset yang dilakukan serta dampak yang mungkin terjadi selama

dan sesudah pengumpulan data. Jika penderita bersedia diteliti, maka harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika penderita menolak untuk diteliti

maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.


3.7.2 Anonimity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan penderita, peneliti tidak mencantumkan namanya

pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberikan nomor kode pada masing-

masing lembar tersebut.

3.7.3 Confidentiallity (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi keluarga dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset (Nursalam 2013).
Daftar Pustaka

Alimun,A.(2011).Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Medika Selemba.

Sehgal A. Leprosy. Philadelphia: Chelsea House Publishers; 200

Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit


Kusta.Jakarta: kementerian kesehatan RI; 2012.

Nothern Teritory Government. Leprosy (Hansen’s Disease). 2013. [cited 2016 April 22].
Available from : www.nt.gov.au/health

Ramos-e-Silva M, Rebello PF. Leprosy. Am J Clin Dermatol.

Harimusti.(2012). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Nursalam.(2017). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:


Selemba Medika

.(2013). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:


Selemba Medika.

Sustrani, lany.(2010).Asam Urat.Gramedia Pustaka utama.jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo.(2010).Promo kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta : Penerbit Rineka


Cipta

Afifah, N. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian drop out pengobatan
penderita kusta tipe MB. Unnes Journal of Public Health, 3(2), 1–11.

Aisyah, I., & Agusni, I. (2018). Penelitian retrospektif : gambaran pasien baru kusta. Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 30(1), 40–47.

Astuti, Y. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita kusta untuk
datang berobat teratur di wilayah Jakarta Selatan tahun 2014. Jurnal Ilmiah
Widya, 4(2), 262–267.

Wasil.(2012). Pedoman Riset Praktis Utuk Profesi Perawat.jakarta: ECG

Sucipto.(2010). Peta Penyakit di Indonesia. Jakarta www//http : redeagle.com.

Anda mungkin juga menyukai