Anda di halaman 1dari 107

SKRIPSI

EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE


DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019

DISUSUN OLEH:

Thoriq Fajar Batuah

11171010000095

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443/2022
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

DISUSUN OLEH:

Thoriq Fajar Batuah

11171010000095

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443/2022
FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi

Thoriq Fajar Batuah, 11171010000095

Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten

Tahun 2015-2019

72 halaman + 8 tabel + 11 gambar + 5 grafik

ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia bahkan dunia. DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
berat dan ditularkan melalui nyamuk endemik dengan ditandai meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah, hypovolemia dan gangguan mekanisme
penggumpalan darah. Salah satu cara untuk menggambarkan masalah penyakit
berbasis lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan epidemiologi spasial.
Epidemiologi spasial merupakan deskripsi dan analisis geografis dalam penyakit
yang berkaitan dengan faktor risiko demografis, lingkungan, perilaku, sosial
ekonomi, dan juga genetik dengan berfokus pada pemetaan penyakit di suatu
wilayah, studi korelasi geografis, dan kluster penyakit. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain ecological study
menggunakan permodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis pada
data sekunder dan melalui pendekatan spasial dengan unit analisis tingkat
kabupaten/kota. Penelitian ini menunjukan bahwa pada tahun 2015 yang
memasuki kategori tingkat kerawanan sedang tahun 2015 adalah Kota Tangerang,
Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan
Kabupaten Lebak. Tahun 2016 pada kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan
memiliki tingkat kerawanan tinggi. Tahun 2017-2018 terdapat konsistensi tingkat
kerawanan pada kabupaten/kota di Provinsi Banten. Sementara, tahun 2019
terdapat satu kabupaten/kota yang mengalami perubahan tingkat kerawanan dari
sedang ke rendah yaitu Kabupaten Lebak. Hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan untuk mempersiapkan program pengendalian dan pencegahan penyakit
DBD di Provinsi Banten.
Kata Kunci: Spasial, DBD, Kerawanan
Daftar Bacaan: 61 (1976-2021)
FACULTY OF HEALTH SCIENCE

DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF EPIDEMIOLOGY

Under graduate thesis

Thoriq Fajar Batuah, 11171010000095

Spatial Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever in Banten Province

2015-2019

72 pages + 8 tables + 11 pictures + 5 charts

ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still a public health problem in Indonesia
and even the world. DHF is a disease caused by a heavy virus and transmitted
through endemic mosquitoes characterized by increased vascular permeability,
hypovolemia and impaired blood clotting mechanisms. One way to describe
environmental-based disease problems is to use a spatial epidemiological
approach. Spatial epidemiology is a geographic description and analysis of
disease related to demographic, environmental, behavioral, socio-economic, and
genetic risk factors with a focus on disease mapping in an area, geographic
correlation studies, and disease clusters. This research is a descriptive
epidemiological research with an ecological study design using a Geographic
Information System (GIS) modeling based on secondary data and through a
spatial approach with a unit of analysis at the district/city level. This study shows
that in 2015 the category of moderate vulnerability level in 2015 was Tangerang
City, Cilegon City, Serang City, Tangerang Regency, South Tangerang City, and
Lebak Regency. In 2016 the city of Tangerang and the city of South Tangerang
had a high level of vulnerability. In 2017-2018 there is a consistent level of
vulnerability in districts/cities in Banten Province. Meanwhile, in 2019 there was
one district/city that experienced a change in the level of vulnerability from
medium to low, namely Lebak Regency. The results of this study can be used as
input to prepare a program to control and prevent dengue in Banten Province.
Keywords: Spatial, DHF, Vulnerability
Reading List: 61 (1976-2021)
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperolah gelar strata satu (S1) di Fakultas Ilmu

Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan

(FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang, 6 Januari 2022

Thoriq Fajar Batuah


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai Civitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Thoriq Fajar Batuah

NIM : 11171010000095

Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Fakultas : Ilmu Kesehatan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta hak untuk

menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelola, mendistribusikan, dan

mempublikasikan melalui internet atau media lain bagi kepentingan akademis

skripsi saya yang berjudul “Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah

Dengue di Provinsi Banten Tahun 2015-2019” selama tetap mencantumkan nama

saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Tangerang, 6 Januari 2022

Thoriq Fajar Batuah


PERNYATAAN PERSETUJUAN

EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE


DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019

Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Januari 2022

disusun oleh
THORIQ FAJAR BATUAH
NIM: 11171010000095

Menyetujui, Mengetahui,
Pembimbing Skripsi Ketua Program Studi

Dr. Minsarnawati, S.K.M, M.Kes Catur Rosidati, M.K.M


NIP. 19750215 200901 2003 NIP. 19750210 200801 2018

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H/2022 M
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019

Disusun Oleh:
THORIQ FAJAR BATUAH

NIM: 11171010000095
Telah diujikan
Pada Tanggal 13 Januari 2022

Ketua Sidang Skripsi

Meliana Sari, M.K.M


NIP: 19880928 201801 2002

Penguji 1 Penguji 2

Prof. Dr. H. Arif Sumantri, MKes Dr. Sodikin, S.Pd, M.Si


NIP. 19650808 198803 1002 NIDN. 2022028704
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Thoriq Fajar Batuah


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Palangkaraya, 9 Agustus 1999
Kewarganegaraan : Indonesia
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Jalan Cilik Riwut Km. 7 No B 12 RT 003/007 Kel.
Bukit Tunggal, Kec. Jekan Raya, Kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah 73112
Nomor Telepon : 089606307599
E-mail : tuanmudathoriq@gmail.com

Riwayat Pendidikan

2017-2022 : S1 – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu


Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Peminatan Epidemiologi
2014-2017 : Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Palangkaraya
2011-2014 : Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Negeri 2 Palangkaraya
2006-2011 : Sekolah Dasar Negeri (SDN) 6 Palangka Kota
Palangkaraya

Riwayat Organisasi

2021 : Ketua Bidang Kesehatan Dewan Eksekutif Mahasiswa


(DEMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2019 : Anggota Departemen Seni dan Olahraga Himpunan
Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan
Masyarakat FIKES UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2018-2021 : Anggota Korps Sukarela (KSR) Unit Kota Tangerang
Selatan
2018 : Anggota Departemen Kewirausahaan Himpunan
Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan
Masyarakat FIKES UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2016-2017 : Wakil Ketua Divisi Kesehatan OSIS MAN Model
Palangkaraya
2015-2016 : Sekretaris Kader Kesehatan Remaja (KKR) MAN
Model Kota Palangkaraya
2015-2016 : Anggota Divisi Kesehatan OSIS MAN Model Kota
Palangkaraya
2014-2016 : Anggota Palang Merah Remaja (PMR) MAN Model
Kota Palangkaraya
2011-2014 : Palang Merah Remaja (PMR) MTsN 2 Kota
Palangkaraya

ii
KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala

puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan nikmat dan

rahmat-Nya, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir

skripsi yang berjudul “Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue

di Provinsi Banten Tahun 2015-2019”. Selanjutnya, shalawat beserta salam tidak

lupa Peneliti hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita

dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang dengan ilmu

pengetahuan seperti saat ini. Penyusunan tugas akhir skripsi ini tentunya tidak

terlepas dari berbagai hambatan dan kendala. Meskipun begitu, hal tersebut tidak

mengurungkan semangat Peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini, karena

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Peneliti ingin

mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak berikut yang telah

memberi bantuan, arahan, dan dukungan sejak awal proses penyusunan proposal

hingga selesainya tugas akhir skripsi ini.

1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang berlimpah berupa

kesehatan, pengetahuan, keselamatan, dan perlindungan kepada Penulis.

2. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua dan adik-adik yang selalu

menyertai penulis dengan doa dan kasih sayang.

3. Ibu Dr. Zilhadia, M.Si., Apt., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

iii
4. Ibu Catur Rosidati, M.KM, selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, S.KM, M.Kes, selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasi selama

penyusunan tugas akhir skripsi penulis.

6. Ibu Meliana Sari, M.K.M. dan Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes

selaku penguji proposal hingga skripsi yang telah memberi saran dan

masukan untuk penyusunan skripsi penulis.

7. Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku dosen peminatan Epidemiologi yang telah

memberikan ilmunya selama perkuliahan di kelas Epidemiologi.

8. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis.

9. Teman-teman Grup 10 Epidemiologi bimbingan Ibu Wati, yang menjadi

teman belajar dan berbagi sehingga penulis bisa menyelesaikan

penyusunan skripsi.

10. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Palangkaraya (IKMAPA) dan teman-

teman USFOP yang telah membersamai penulis dari awal menjalani

perkuliahan hingga di tahap ini.

11. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat yang

juga telah membersamai penulis dari awal berproses hingga saat ini.

12. Teman-teman satu tempat tinggal, Arif Saiful Pramudita, Eki Nizar, dan

Panglima Madani yang juga telah membersamai penulis dari awal

penulisan hingga selesai.

iv
13. Pihak lainnya yang telah membantu, mendukung, dan menemani Peneliti,

yang namanya belum dapat Peneliti sebutkan satu persatu

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan

dalam tugas akhir skripsi ini. Penulis berharap hasil penelitian dalam tugas akhir

skripsi ini dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.

Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

perbaikan di masa mendatang. Demikian pengantar tugas akhir ini, terima kasih

atas segala perhatian dan kesempatan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tangerang Selatan, 2022

Thoriq Fajar Batuah

v
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN....................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xii

1 BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................... 6

1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................... 6


1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................... 6

1.4.1 Manfaat untuk Peneliti ...................................................................... 6


1.4.2 Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat ...................... 7
1.4.3 Manfaat untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten ............................. 7
1.4.4 Manfaat untuk Masyarakat ................................................................ 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 7

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ............................................................... 9

2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue ................................................... 9


2.1.2 Etiologi DBD .................................................................................... 9
2.1.3 Rantai Penularan DBD .................................................................... 10
2.1.4 Gejala DBD ..................................................................................... 10

vi
2.1.5 Epidemiologi DBD ......................................................................... 11
2.1.6 Diagnosis DBD ............................................................................... 12
2.2 Epidemiologi Deskriptif ............................................................................ 13

2.2.1 Orang ............................................................................................... 13


2.2.2 Tempat............................................................................................. 13
2.2.3 Waktu .............................................................................................. 13
2.3 Segitiga Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) ........................ 14

2.3.1 Host (Pejamu) ................................................................................. 14


2.3.2 Agent ............................................................................................... 15
2.3.3 Environment .................................................................................... 16
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ............................................................. 18

2.4.1 Definisi SIG .................................................................................... 18


2.4.2 Komponen SIG ............................................................................... 19
2.4.3 Sumber Data .................................................................................... 20
2.5 Analisis Spasial ......................................................................................... 21

2.5.1 Data Spasial ..................................................................................... 21


2.6 Kerangka Teori .......................................................................................... 22

3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..... 24

3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 24

3.2 Definisi Operasional .................................................................................. 27

4 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 29

4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 29

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................... 29

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 30

4.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 31

4.4.1 Pengumpulan Data dan Sumber Data ............................................. 31


4.4.2 Instrumen Penelitian........................................................................ 32
4.5 Manajemen Data ....................................................................................... 32

vii
4.5.1 Pemeriksaan Data ............................................................................ 33
4.5.2 Pemberian Kode .............................................................................. 33
4.5.3 Pemasukan Data .............................................................................. 33
4.5.4 Pembersihan Data............................................................................ 33
4.6 Analisis Data ............................................................................................. 33

4.6.1 Analisis Univariat............................................................................ 34


4.6.2 Analisis Spasial ............................................................................... 34
5 BAB V HASIL .............................................................................................. 36

5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian....................................................... 36

5.1.1 Kondisi Geografis ........................................................................... 36


5.1.2 Kependudukan................................................................................. 37
5.2 Hasil Analisis ............................................................................................ 38

5.2.1 Gambaran Distribusi Spasial Penyakit DBD di Banten 2015-2019 38


5.2.2 Gambaran Distribusi Spasial Kepadatan Penduduk di Banten 2015-
2019 41
5.2.3 Gambaran Distribusi Spasial Variabilitas Iklim di Banten 2015-2019
43
5.2.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019 ..................................... 53
6 BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................ 60

6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 60

6.2 Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................... 60

6.2.1 Gambaran Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Banten


2015-2019 ...................................................................................................... 60
6.2.2 Gambaran Distribusi Kepadatan Penduduk di Banten 2015-2019 . 62
6.2.3 Gambaran Distribusi Variabilitas Iklim di Banten 2015-2019 ....... 65
6.2.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019 ..................................... 72
6.2.5 Kajian Keislaman pada Penyakit DBD ........................................... 74
7 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 78

7.1 Simpulan.................................................................................................... 78

7.2 Saran .......................................................................................................... 78

viii
7.2.1 Saran untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten ............................... 78
7.2.2 Saran untuk Masyarakat .................................................................. 79
7.2.3 Saran untuk Peneliti Selanjutnya .................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................... 27

Tabel 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten........................................ 30

Tabel 5.1 Skoring ............................................................................................... 53

Tabel 5.2 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2015 .................................................................................................... 55

Tabel 5.3 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2016 .................................................................................................... 55

Tabel 5.4 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2017 .................................................................................................... 56

Tabel 5.5 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2018 .................................................................................................... 56

Tabel 5.6 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2019 .................................................................................................... 57

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Prosedur SIG .................................................................................... 20

Gambar 2.2 Teori Segitiga Epidemiologi ............................................................ 23

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 26

Gambar 5.1 Peta Administrasi Provinsi Banten .................................................. 36

Gambar 5.2 Peta Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Banten 2015-
2019 .................................................. Error! Bookmark not defined.

Gambar 5.3 Peta Distibusi Kepadatan Penduduk di Provinsi Banten 2015-2019 42

Gambar 5.4 Peta Distibusi Curah Hujan di Banten 2015-2019 ........................... 44

Gambar 5.5 Peta Kecepatan Angin Berdasarkan Stasiun BMKG di Banten 2015-
2019 ................................................................................................. 48

Gambar 5.6 Peta Distibusi Kelembaban Udara di Banten 2015-2019 ................ 50

Gambar 5.7 Peta Distibusi Suhu di Banten 2015-2019 ....................................... 52

Gambar 5.8 Peta Kerawanan Penyakit DBD di Banten 2015-2019 .................... 58

xi
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Frekuensi Kasus DBD Berdasarkan Kabupaten/Kota dan Insidence


Rate (IR) per 100.000 Penduduk di Banten 2015-2019 ..................... 39

Grafik 5.2 Perbandingan Curah Hujan dan Kasus DBD di Banten 2015-2019... 43

Grafik 5.3 Perbandingan Rata-Rata Kecepatan Angin dan Kasus DBD di Banten
Tahun 2015-2019 ............................................................................... 46

Grafik 5.4 Perbandingan Rata-Rata Kelembaban Udara dan Kasus DBD di


Banten 2015-2019 .............................................................................. 49

Grafik 5.5 Perbandingan Rata-Rata Suhu dan Kasus DBD di Banten 2015-2019
............................................................................................................ 51

xii
1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) sampai detik ini tergolong sebagai

momok bagi permasalahan kesehatan masyarakat Indonesia bahkan dunia.

DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus berat yang tertular dari

nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit ini cukup rentan menyerang masyarakat di

negara seperti wilayah Asia Tenggara dan Selatan, Pasifik, maupun Amerika

Latin dengan tanda peningkatan permeabilitas pembuluh darah, hypovolemia,

maupun gangguan mekanisme penggumpalan darah (Kunoli, 2013). DBD

salah satu jenis penyakit arbovirus, yakni virus yang tertular dari gigitan

arthropoda seperti nyamuk.

Jenis virus yang mengakibatkan DBD, seperti tipe Den-1, Den-2, Den-

3, dan Den-4 dari kelompok Arthropod-Borne viruses. Vektor utama pada

DBD, yaitu nyamuk aedes aegypti pada wilayah kota dan nyamuk aedes

albopictus wilayah desa (Kunoli, 2013). DBD masuk ke dalam kategori

Vector Borne Disease atau Penyakit yang disebabkan oleh vektor. Diagosis

DBD kerap kali mengalami kesalahan, dan kerap dikaitkan dengan penyakit

lainnya, seperti flu dan tifus. Perihal ini diakibatkan oleh virus Dengue yang

sifatnya asimtomatik atau bergejala tidak jelas (Frida N, 2008).

Penderita DBD kerap mengalami gejala batuk, pilek, mual, muntah,

dan diare. Virus Dengue dapat terjadi bersamaan dengan infeksi penyakit

tifus dan flu, sehingga perlu memahami alur penyakit infeksi dan pengamatan

klinis virus Dengue (Frida N, 2008). Masa inkubasi DBD berlangsung 14

1
hari. Orang yang mengalami DBD akan menunjukkan gejala seperti, demam

tinggi selama 2-7 hari, nyeri otot, sakit kepala, mual hingga muntah, perut

terasa kembung, pembesaran hati, tinja berwarna hitam, terdapat bintik-bintik

merah akibat manifestasi perdarahan, dan trombositopenia (penurunan jumlah

trombosit). Gejala klinis yang dijelaskan menjadi landasan untuk menemukan

kasus DBD dengan melakukan pengamatan klinis (Kementerian Kesehatan

RI, 2016; Sardjana & Nisa, 2007).

Jumlah penderitanya memiliki potensi untuk meningkat setiap tahun

dan penyebarannya juga semakin meluas, karena masih banyak wilayah

endemik. Wabah DBD telah terjadi di seratus negara wilayah cakupan WHO

(World Health Organization), seperti kawasan Asia Tenggara, Mediterania

Timur, Afrika, Amerika, maupun Pasifik Barat. Amerika, Pasifik Barat, dan

Asia Tenggara merupakan bagian terparah yang terpapar oleh penyakit ini

dengan Asia mewakili kurang lebih 70% dari jumlah kasus DBD yang ada di

dunia (WHO, 2020).

WHO melaporkan bila jumlah kejadian DBD di dunia mengalami

peningkatan lebih dari delapan tingkat selama dua puluh tahun terakhir dari

505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2,4 juta pada tahun 2010,

dan kembali meningkat pada tahun 2019 sebanyak 4,2 juta kasus, sedangkan

kasus kematian yang disebabkan oleh DBD rentang tahun 2000 hingga 2015

mengalami peningkatan dari 960 menjadi 4.032 kasus (WHO, 2020). Jumlah

kasus DBD di Asia pada medio 2019 tertinggi berada di negara Bangladesh

(101.000), Malaysia (131.000), Filipina (420.000), dan Vietnam (320.000)

(WHO, 2020).

2
DBD di Indonesia memiliki incidence rate (IR) sejumlah 24,75 per

100.000 penduduk pada 2018, lalu menunjukkan peningkatan pada tahun

2019 dengan rata-rata kejadian sejumlah 51,48 per 100.000 penduduk

(Kementerian Kesehatan RI, 2019). Jumlah kasus DBD di Provinsi Banten

pada tahun 2019 sejumlah 2.918 kasus, Kabupaten Tangerang sebagai

wilayah yang mencapai angka kasus tertinggi di antara kabupaten atau kota

lainnya, yaitu 610 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2019). Perubahan

iklim yang dapat memengaruhi DBD di antaranya perubahan suhu,

kelembapan, kecepatan angin, dan curah hujan pada suatu wilayah (Ridha,

Indriyati, Tomia, & Juhairiyah, 2019a).

Penelitian yang dilakukan Ratna Maya Paramita (2017) membuktikan

curah hujan berhubungan spasial dengan kejadian DBD (Paramita &

Mukono, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulia Iriani pada tahun

2012 di Kota Palembang juga menunjukkan terdapat hubungan spasial antara

variabel curah hujan dan meningkatnya jumlah kejadian DBD sebab curah

hujan bisa memicu tempat kembang biak vektor meningkat (Iriani, 2012).

Penelitian lain pun membuktikan suhu dan kejadian demam berdarah

dengue berhubungan secara spasial. Suhu merupakan parameter lingkungan

yang sangat penting terhadap meningkatnya perkembangbiakan vektor dan

tingkat gigitan (Fitriana & Yudhastuti, 2018). Suhu yang cocok untuk

perpindahan DBD berkisar 21,6 hingga 32,9 °C (Ridha dkk., 2019a). Hasil

penelitian oleh Daswito (2019) membuktiakn kecepatan angin mempunyai

hubungan spasial dengan kejadian DBD. Artinya, kecepatan angin sebagai

satu dari beberapa faktor berisiko yang mengakibatkan kejadian DBD. Perihal

3
ini diperjelas bila kecematan angin cenderung menghalangi terbang dan

memengaruhi penempatan telur ke habitat yang sesuai. Kecepatan yang

meningkat sejumlah 1-4 m/s dapat menghalangi nyamuk terbang di

lingkungan (Daswito, Lazuardi, & Nirwati, 2019a).

Selain suhu, curah hujan, dan kecepatan angin, kelembapan udara pun

berperan sebagai faktor risiko kejadian DBD. Kelembapan udara di suatu

wilayah menjadi faktor yang memengaruhi keberlangsungan hidup nyamuk,

semakin rendah tingkat kelembapan pada suatu wilayah dapat memperpendek

usia nyamuk. Udara yang lembap menyebabkan air menguap dari dalam

nyamuk, sehingga nyamuk mengalami kekeringan cairan (Lahdji & Putra,

2017). Selain variabilitas iklim, terdapat faktor kepadatan penduduk sebagai

penyebab kejadian DBD.

Faktor kepadatan penduduk dibuktikan pada penelitian yang

menunjukkan kepadatan penduduk berhubungan bermakna dengan kejadian

DBD (Safitri, 2016). Salah satu cara untuk menggambarkan masalah penyakit

berbasis lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan epidemiologi

spasial (Sunaryo, 2015).

Epidemiologi spasial merupakan deskripsi dan analisis geografis

dalam penyakit yang berkaitan dengan faktor risiko demografis, lingkungan,

perilaku, sosial ekonomi, dan juga genetik dengan berfokus pada pemetaan

penyakit di suatu wilayah, studi korelasi geografis, dan kluster penyakit

(Elliott & Wartenberg, 2004). Pendekatan epidemiologi spasial bermanfaat

untuk dilakukan karena dapat membuat deskripsi pola penyakit, identifikasi

cluster penyakit, dan memprediksi faktor risiko kejadian penyakit dengan

4
menggunakan pemetaan masalah kesehatan dan guna menunjang penentuan

keputusan surveilans dan upaya menanggulangi penyakit, hal ini penting

dilakukan untuk membantu mengambil keputusan masalah DBD (Sunaryo,

2015; Pfeiffer dkk., 2008).

Sesuai pemaparan tersebut, peneliti memiliki ketertarikan guna

melaksanakan kajian terkait Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah

Provinsi Banten Tahun 2015-2019. Pemilihan Provinsi Banten sebagai

wilayah penelitian dikarenakan masih ditemukan masalah pada penyakit

DBD di provinsi Banten tahun 2015-2019. Pendekatan epidemiologi spasial

diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran spasial

berdasarkan variabilitas iklim dan kepadatan penduduk terhadap kejadian

DBD sehingga dapat meningkatkan efektivitas dalam penanggulangan

permasalahan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana distribusi spasial kejadian demam berdarah dengue di

Provinsi Banten tahun 2015-2019?

2. Bagaimana distribusi spasial kepadatan penduduk dan variabilitas iklim

(suhu, kelembapan udara, curah hujan, maupun kecepatan angin) di

Provinsi Banten tahun 2015-2019?

3. Bagaimana tingkat kerawanan kejadian Demam Berdarah Dengue

berdasarkan pemetaan kepadatan penduduk dan variablitas iklim (suhu,

kelembapan udara, curah hujan, kecepatan angin) di Provinsi Banten

tahun 2015-2019?

5
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat kerawanan kejadian DBD berdasarkan

pemetaan variabilitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan,

maupun kecepatan angin) dan kepadatan penduduk menggunakan

pendekatan spasial di Provinsi Banten tahun 2015-2019

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi spasial kejadian DBD di Provinsi Banten

tahun 2015-2019.

2. Mengetahui distribusi spasial kepadatan penduduk dan

variabilitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan, maupun

kecepatan angin) di Provinsi Banten tahun 2015-2019.

3. Mengetahui peta tingkat kerawanan kejadian DBD berdasarkan

pemetaan kepadatan penduduk dan variabilitas iklim (suhu, curah

hujan, kecepatan angin, maupun kelembapan) di Provinsi Banten

tahun 2015-2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat untuk Peneliti

Penelitian ini bisa menginformasikan kejadian DBD di Provinsi

Banten, serta dapat mengimplementasikan keilmuan yang pernah

diperoleh dalam perkuliahan dalam meneliti masalah DBD.

6
1.4.2 Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini bisa bermanfaat guna referensi baru pada

perkuliahan dan menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya

mempergunakan teknik yang lebih baik.

1.4.3 Manfaat untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Penelitian ini bisa berguna untuk pihak Dinas Kesehatan

Provinsi Banten dalam membuat atau mengevaluasi program

penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD dengan tersedianya

hasil analisis berdasarkan pemetaan wilayah.

1.4.4 Manfaat untuk Masyarakat

Penelitiani ini bisa memberikan informasi terkait masalah DBD

yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga memiliki

wawasan terkait pencegahan dan penanggulangan DBD.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian terkait epidemiologi spasial penyakit Demam Berdarah

Dengue di Provinsi Banten tahun 2015-2019. Penelitian ini terlaksana oleh

mahasiswa peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Ilmu Kesehatan pada bulan Mei 2021 dengan pendekatan

epidemiologi spasial menggunakan desain Ecological studies. Penelitian ini

bermaksud agar bisa mengetahui tingkat kerawanan kejadian DBD

berdasarkan gambaran variabilitas iklim maupun kepadatan penduduk di

Provinsi Banten, meliputi 8 kabupaten/kota yaitu Kota Tangerang, Kota

Tangerang Selatan, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang,

Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.

7
Pengumpulan data terlaksana dengan menganalisis data variabilitas iklim

(suhu, kelembapan, kecepatan angin, maupun curah hujan), dan kepadatan

penduduk di Provinsi Banten.

8
2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue

DBD merupakan penyakit endemis yang ditularkan oleh virus dengue

melalui gigitan Athropoda, yaitu nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.

Penyakit ini menjadi satu dari sekian banyak permasalahan kesehatan di Indonesia.

Penderita dan luas daerah penyebaran makin bertambah mengingat peningkatan

ruang gerak maupun tingkat kepadatan penduduk (B.Halstead, 2008; Safitri, 2016).

2.1.2 Etiologi DBD

Virus yang menyebabkan DBD, yaitu virus dengue. Virus dengue tergolong

sebagai genus Flavivirus, dan famili Flaviridae. Virus dengue meliputi

nukleokapsid dengan simetri kubik tertutup dalam amplop lipoprotein. Ukuran

virus dengue sangat kecil yaitu 50 nm dan mengandung single-strand RNA sebagai

genom (WHO, 2011).

Genom dari virus dengue memiliki panjang 11.644 nukleotida, dan meliputi

tiga gen protein struktural yang mengkode nukleokapsid atau protein inti (C),

protein terkait membran (M), protein amplop (E), dan tujuh protein nonstruktural.

protein (NS). Sementara itu, protein non-struktural, yaitu amplop glikoprotein, dan

NS1, memiliki kepentingan diagnostik maupun patologis. Ukuran dari protein

tersebut sebesar 45 kDa dan berkaitan dengan hemaglutinasi virus dan kegiatan

netralisasi (WHO, 2011).

Virus dengue terbagi menjadi empat serotipe virus, seperti DEN-1, DEN-2,

DEN-3 dan DEN-4. Apabila seseorang terkontaminasi oleh salah satu serotipe,

maka ia akan mempunyai kekebalan sepanjang hidup terhadap serotipe virus itu.

9
Infeksi sekunder berserotipe lain atau infeksi multipel berserotipe berbeda

mengakibatkan bentuk dengue lebih parah (WHO, 2011).

Beberapa sub tipe dari keempat serotipe virus dengue di dunia saat ini telah

ditemukan. Sejumlah tiga sub tipe telah teridentifikasi untuk DEN-1, enam bagi

DEN-2 (salah satunya terdapat di primata nonmanusia), empat bagi DEN-3 dan

empat bagi DEN-4, serta DEN-4 lainnya yang eksklusif pada primata nonmanusia

(WHO, 2011).

2.1.3 Rantai Penularan DBD

Ada tiga faktor yang turut menularkan virus dengue, yakni manusia, virus,

dan vektor. Virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD ditularkan ke manusia

melalui gigitan nyamuk berjenis Aedes Albopictus yang terdapat di pedesaan dan

Aedes Aegypti yang ada pada lingkungan perkotaan. (Kementerian Kesehatan RI,

2016). Nyamuk yang terkandung virus dengue kemudian menggigit manusia yang

mempunyai kandungan virus yang sama atau biasa disebut Viremia. Virus tersebut

berada pada kelenjar liur dan berkembang biak selama 8-19 hari sebelum bisa

tertularkan lagi ke manusia. Di dalam tubuh manusia, virus membutuhkan waktu

masa tunas empat hingga enam hari sebelum munculnya penyakit (Asep, 2014).

2.1.4 Gejala DBD

Penderita DBD ditandai dengan adanya gejala, yaitu: (CDC, 2020; Sardjana

& Nisa, 2007)

1. Mual dan muntah

2. Ruam

3. Demam tinggi selama 2-7 hari

4. Sakit kepala

5. Pembesaran hati

10
6. Terdapat bitnik-bintik merah oleh manifestasi pendarahan

7. Sakit dan nyeri (Sakit mata, biasanya terdapat di belakang mata, otot, sendi,

atau nyeri tulang)

8. Trombositopenia

2.1.5 Epidemiologi DBD

DBD sebagai penyakit menular yang bertingkat risiko/bahaya cukup tinggi

dan bisa mengakibatkan kematian dalam waktu singkat. Penemuan pertama kali

DBD pada tahun 1953 di Manila, Filipina yang kemudian tersebar ke bermacam

negara. Pertama kali dilaporkan adanya DBD di Indonesia pada tahun 1968,

tepatnya di Surabaya. Setelah adanya kasus pertama kali di Indonesia, DBD

menyebar ke seluruh provinsi pada tahun 1980 terkecuali Timor-Timur (Asep,

2014).

DBD merupakan penyakit yang menginfeksi dan diakibatkan oleh virus

dengue sehingga adanya spektrum manifestasi klinis yang bermacam sehingga

ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang terjangkit virus

setelah menggigit manusia yang mengalami Viremia. Host alami yaitu manusia dan

agennya ialah virus Dengue yang tergolong sebagai keluarga Flaviridae dan genus

Flavivirus yang meliputi 4 serotipe, yakni Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4

(Candra, 2010).

Demam Berdarah Dengue mempunyai pola epidemiologis yang berbeda

namun saling berkaitan dengan empat serotipe virus. Perihal ini bisa tersebar

secara bersamaan di suatu wilayah/negara, serta memang ada banyak negara yang

hiper-endemik untuk empat serotipe tersebut. Dengue berdampak cukup berisiko

terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global maupun nasional. Virus dengue

11
saat vektor berpotensi ada di daerah baru, terdapat potensi untuk transmisi lokal

yang hendak didirikan (WHO, 2020).

Kasus DBD yang dilaporkan oleh WHO meningkat selama dua puluh tahun

terakhir, dari angka 505.430 pada tahun 2000, menjadi 2,4 juta kasus pada tahun

2010, serta meningkat 4,2 juta pada 2019. Adanya laporan dari WHO terkait

jumlah DBD di dunia, menjadikan Asia berada di urutan pertama terkait jumlah

penderita DBD pada tiap tahunnya. Pada tahun 2019 tertinggi berada di negara

Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000), Filipina (420.000), serta disusul oleh

Vietnam (320.000) (WHO, 2020).

Indonesia menjadi negara dengan angka kasus DBD yang tinggi dan masih

menghadapi masalah DBD karena kasus yang masih tinggi. Pada tahun 2019

menurut Profil Kesehatan Indonesia bahwa kasus DBD sebesar 138.127 kasus.

Jumlah kasus DBD di Provinsi Banten pada tahun 2019 menyentuh angka 2.915

dengan Kota Tangerang Selatan sebagai wilayah dengan kasus paling tinggi di

antara kabupaten atau kota lainnya, yaitu 484 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi

Banten, 2019).

2.1.6 Diagnosis DBD

Diagnosis DBD terlaksana dengan mencermati gejala klinis dan hasil

pemeriksaan laboratorium dari pasien. Diagnosis DBD dapat ditegakkan, apabila

terdapat dua gambaran atau gejala klinis ditambah satu dari kriteria atau hasil

pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pada DBD dilakukan dengan cara melihat

gejala klinis dan juga hasil laboratorium, yakni isolasi virus, deteksi antibody,

maupun deteksi antigen atau RNA virus (Kemenkes RI, 2010a).

12
2.2 Epidemiologi Deskriptif

Studi guna menetapkan frekuensi atau jumlah dan pendistribusian penyakit di

suatu wilayah berdasarkan waktu, tempat, dan orang. Perihal itu terlaksana bila

informasi yang didapat cukup sedikit terkait kejadian, riwayat, dan faktor yang terkait

dengan penyakit (PAEI, 2016).

2.2.1 Orang

Variabel orang bisa berperan sebagai upaya mencari tahu kriteria populasi

yang berisiko di suatu wilayah. Variabel bagian orang, yaitu pendidikan, mata

pencarian, jenis kelamin, dan lain-lain (Umaya, Faisya, & Sunarsih, 2013).

Epidemiologi deskriptif bagian orang dengan variabel usia pada penyakit DBD

bahwa usia berpengaruh pada kejadian DBD karena usia yang lebih muda

mempunyai imunitas yang belum sempurna dibanding usia dewasa, maka usia

muda lebih tinggi berisiko terpapar penyakit akibat virus (Pertiwi & Anwar, 2018).

2.2.2 Tempat

Variabel tempat bisa dipergunakan untuk mengetahui pembagian wilayah

dari suatu penyakit sehingga bisa diberlakukan perencanaan oleh pelayanan

kesehatan, serta bisa mengetahui faktor yang menyebabkan penyakit. Variabel

bagian tempat, yaitu kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, maupun negara (Pertiwi

& Anwar, 2018)

Hal ini tempat pada penyakit DBD bisa tersebar ke semua tempat,

terkecuali tempat yang berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut sebab

adanya perbedaan suhu di daerah yang rendah dan tinggi (Pertiwi & Anwar, 2018).

2.2.3 Waktu

Epidemiologi deskriptif bagian waktu dilihat untuk mengetahui panjang

waktu terjadinya suatu kejadian dan perubahan secara siklus terjadinya perubahan

13
angka kesakitan seperti hari, musiman atau bulanan, tahunan. Indonesia

mempunyai dua musim: kemarau dan penghujan. Penyebaran penyakit DBD tidak

mengenal waktu setiap bulannya, akan tetapi penyebaran tertinggi DBD ada pada

musim hujan. Penderita DBD dapat meningkat dengan berdasarkan musiman.

Perihal ini dapat terjadi sebab rendahnya suhu udara mengakibatkan peningkatan

kelembapan, dan akibat tidak menentunya curah hujan pada musim hujan sehingga

adanya genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk yang menjadi

cepat (Giarno, Dupe, & Mustofa, 2012; Pertiwi & Anwar, 2018).

2.3 Segitiga Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Segitiga epidemiologi yang disampaikan Gordon dan La Richt pada tahun 1950

mengatakan bila muncul atau tidaknya sebuah penyakit pada manusia terpengaruh oleh

tiga faktor, yaitu host (pejamu), agent, dan environment (lingkungan). Terdapat tiga

pendapat sesuai penjelasan Gordon: (Rajab, 2009), meliputi:

1. Kemunculan penyakit akibat tidak seimbangnya host (pejamu) dan agent.

2. Keseimbangan ditentukan oleh sifat alami dan kriteria agent dan pejamu.

3. Kriteria agent dan pejamu hendak berinteraksi dan berhubungan langsung dengan

keadaan alami dari lingkungan

2.3.1 Host (Pejamu)

Faktor pejamu sebagai semua karakteristik yang ada di manusia sehingga

memberi pengaruh kemunculan suatu penyakit. Karakteristik tersebut di antaranya

usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.

1. Usia

Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang semua kalangan

usia. Akan tetapi, usia yang lebih muda memiliki risiko DBD yang lebih tinggi

karena faktor daya tahan tubuh yang belum sempurna dibanding usia dewasa

14
(Pertiwi & Anwar, 2018). Penelitian oleh Ernyasih (2020) membuktikan jika

variabel usia menjadi faktor yang memengaruhi kejadian DBD. Hal tersebut

dijelaskan bahwa usia <15 tahun lebih berisiko tertular DBD karena memiliki

daya tahan tubuh yang rentan (Ernyasih, Zulfa, Andriyani, & Fauziah, 2020a).

2. Jenis Kelamin

Permatasari (2015) menemukan keterkaitan yang bermakna antara jenis

kelamin dengan kejadian DBD. Jenis kelamin perempuan berpeluang 3,3 kali

lebih besar mengalami DBD dibanding jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut

dikarenakan perempuan berkecenderungan mempunyai berat badan yang kurang

dan ketahanan tubuhnya rendah sehingga cukup rentan terhadap penyakit

(Permatasari, Ramaningrum, & Novitasari, 2015).

2.3.2 Agent

Penyakit menular pun bisa berasal dari binatang (reservoir), yaitu binatang

tempat perkembangbiakan agen penyakit. Sumber penyakit binatang lainnya

seperti nyamuk yang terinfeksi virus dengue yang menggigit manusia (Amalia,

2016). DBD diakibatkan jenis virus, yaitu tipe Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4

dari kelompok Arthropod-Borne viruses. Vektor utama pada penyakit DBD yaitu

nyamuk Aedes Aegypti pada daerah kota sedangkan namuk Aedes Albopictus di

wilayah desa (Kunoli, 2013).

Angka Bebas Jentik (ABJ) menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan

dalam hal kepadatan jentik di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan Kurniawati

(2016) bahwa ABJ menjadi faktor terjadinya DBD dengan hubungan yang lemah

dan arah hubungan yang positif (r=0,078). Menurut Kemenkes RI bahwa ABJ

≥95% maka harus dikurangi sehingga penularan DBD di wilayah itu bisa

berkurang (Kemenkes RI, 2010a).

15
2.3.3 Environment

Kejadian suatu penyakit ialah adanya interaksi antara manusia dengan

perilaku maupun lingkungan yang berpotensi menyebabkan penyakit. Variabel

pada perilaku penduduk yaitu pendidikan, kepadatan penduduk, budaya dan lain-

lain, oleh karena itu kejadian penyakit dapat timbul sebab adanya pengaruh

variabel perilaku dan variabel lingkungan seperti variabilitas iklim (Achmadi,

2009).

1. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk ialah jumlah penduduk per satuan unit wilayah

(km2). Menurut Badan Standarisasi Nasional bahwa kepadatan penduduk

dikategorikan berdasarkan jumlah penduduk di suatu wilayah, yaitu <150

jiwa/ha, 151-200 jiwa/ha, 200-400 jiwa/ha, dan >400 jiwa/ha (Badan

Standardisasi Nasional, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2016) memperlihatkan

kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Penelitian ini pun sama

seperti Penelitian yang dilakukan oleh Apriyandika (2015) menunjukan bila

kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Hal ini dikarenakan

faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan atau memindahkan

penyakit dari masing-masing orang tanpa ada usaha mencegah. Makin

padatnya penduduk, maka mengakibatkan makin kondusifnya

perkembangbiakan virus sehingga bisa memicu kasus (Achmadi, 2009;

Apriyandika, Yulianto, & Feriandi, 2015; Kusuma & Sukendra, 2016a).

2. Curah Hujan

Curah hujan merupakan tingkat rata-rata hujan pada waktu tertentu

sehingga menjadi faktor kejadian DBD. Hal ini diperjelas oleh Wirayoga

16
(2013) yang membuktikan bila curah hujan berhubungan bagi kejadian DBD.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian milik Ridha (2019) bila

curah hujan tidak terbukti memengaruhi kejadian DBD. Curah hujan menjadi

faktor kejadian DBD dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi selama

musim penghujan sebagai media perkembangbiakan nyamuk yang cukup

potensial (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).

3. Kelembapan Udara

Kelembapan udara merupakan tingkat kelembapan udara pada suatu

wilayah pada waktu tertentu. Wirayoga (2013) membuktikan hubungan antara

kelembapan dengan kejadian DBD. Penelitian ini sama seperti penelitian milik

Ridha (2019), membuktikan hubungan antara kelembapan udara dengan

kejadian DBD. Kelembapan udara bisa memengaruhi kejadian DBD karena

kelembapan yang rendah dapat menyebabkan penguapan air dalam tubuh

sehingga cairan yang ada dalam tubuh mengering. Kelembapan juga

memengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak,

kebiasaan menggigit, dan lainnya (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).

4. Suhu

Tingkat suhu udara di suatu wilayah menjadi hal yang perlu

diperhatikan terhadap penularan DBD. Penelitian yang dilakukan oleh

Komaling (2020) membuktikan suhu udara tidak berhubungan terhadap

kejadian DBD. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha (2019)

bahwa suhu relatif memiliki pengaruh dan berhubungan dengan kejadian

DBD. Suhu udara menjadi faktor kejadian DBD karena ketika pergantian

musim penghujan ke musim kemarau kondisi suhu berada dikisaran 23 hingga

17
31°C, yaitu kisaran suhu optimum untuk nyamuk berkembang biak

(Komaling, Sumampouw, & Sondakh, 2020a; Ridha dkk., 2019a).

5. Ketinggian

Virus memerlukan tempat berkondisi yang sesuai supaya bisa bertahan

hidup. Virus dengue bisa berkembang dengan baik berdasar wilayah kecuali

wilayah yang berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut sebab adanya

ketinggian sehingga suhu pada wilayah tersebut rendah dan perkembangbiakan

nyamuk tidak sempurna. Hal ini dibuktikan penelitian yang dilakukan oleh

Tamengkel (2020) bila ketinggian wilayah berhubungan dengan kejadian DBD

(Tamengkel, Sumampouw, & Pinontoan, 2020).

6. Kecepatan Angin

Kecepatan angin pada suatu wilayah menjadi faktor terjadinya DBD.

Semakin tinggi kecepatan angin maka semakin berkurang kejadian DBD. Hal

ini dijelaskan karena kecepatan angin cenderung menghambat terbang nyamuk

dan memengaruhi oviposisi nyamuk. Kecepatan angin dengan 1-4 m/s

membuat nyamuk terhambat saat terbang. Hal tersebut dibuktikan pada

penelitian yang dilakukan oleh Daswito (2019) bahwa kecepatan angin

berhubungan dengan kejadian DBD (Daswito dkk., 2019a; Lu dkk., 2009a).

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.4.1 Definisi SIG

Sistem Informasi Geografis yang biasa disebut SIG sebagai sistem

informasi berbasis perangkat komputer guna melakukan pengolahan dan

penyimpanan data geografis. Umumnya, SIG merupakan komponen yang meliputi

perangkat keras maupun lunak, data geogratif, serta sumber daya manusia yang

menjalin kerja sama secara efektif guna memasukan, penyimpanan, perbaikan,

18
pembaruan, pengelolaan, memanipulasi, mengaitkan, menganalisis, serta

memperlihatkan menampilkan data di suatu informasi berbasis geografis (Marjuki,

2014).

2.4.2 Komponen SIG

Sistem informasi geografis memiliki komponen yang berkaitan, yaitu:

(Tricahyono & Dahlia, 2017)

1. Data

Berupa data grafis atau spasial dan data atribut. Data grafis merepresentasikan

permukaan bumi yang bereferensi koordinat, seperti peta, foto udara, citra

satelit. Data Atribut yaitu data hasil pengukuran lapangan seperti data sensus

penduduk, catatan survei, data kasus penyakit, dan lain-lain.

2. Perangkat Lunak

Sebagai penyedia tools untuk melakukan penyimpanan, penganalisisan, dan

penyajian hasil. Perangkat lunak yang dipergunakan, secara umum seperti Arc-

Gis, Map Info, ILWIS, Quantum GIS, Envi, IDRISI, maupun GRASS.

3. Perangkat Keras

Seperti komputer digunakan untuk membantu dalam pengelolaan SIG

4. Sumber Daya Manusia

5. Prosedur

SIG bisa teroperasikan dengan baik bila ada perencanaan untuk

menerapkan, yang terancang dengan baik.

19
Gambar 2.1 Prosedur SIG

2.4.3 Sumber Data

Sistem informasi geografis memerlukan data yang sifatnya spasial maupun

deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara lain, yaitu: (Irwansyah, 2013)

1. Peta Analog

Peta berbentuk cetakan yang dibuat dengan teknik kartografi sehingga

bereferensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin, dan lainnya.

2. Data dari Sistem Penginderaan Jauh

Data ini sangat penting bagi SIG karena ketersediaannya secara

berskala. Adanya satelit di ruang angkasa dengan spesifikasi masing-masing,

SIG dapat menerima berbagai jenis citra satelit untuk pemakaian yang

beragam

3. Data hasil pengukuran lapangan

Data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas

hak penggunaan hutan yang dihasilkan berdasarkan perhitungan sendiri

4. Data GPS

GPS memberikan hal yang penting dalam menyediakan informasi atau

data bagi SIG. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor.

20
2.5 Analisis Spasial

Sistem Informasi Geografi terdapat istilah yang biasa disebut analisis spasial.

Analisis spasial dapat menjelaskan kumpulan teknik maupun model analisis yang akan

digunakan untuk melakukan analisis nilai maupun objek yang telah ditentukan. Analisis

spasial sendiri memiliki beberapa komponen utama yaitu permodelan kartografi dan

permodelan matematika. Permodelan Kartografi mengumpulkan setiap data dan

direpresentasikan sebagai peta atau operasi berbasis peta untuk menghasilkan peta baru,

sementara Permodelan matematika terdapat interaksi spasial antara objek dengan

hubungan spasial. (Haining, 2004).

2.5.1 Data Spasial

Data spasial yang terdapat pada SIG merupakan data yang berorientasi

geografis yang memiliki koordinat tertentu sebagai dasar referensi dan memiliki

dua hal yang membuat data spasial berbeda dengan data yang lain yaitu

informasi lokasi dan informasi deskriptif (Marjuki, 2014).

a. Informasi Lokasi

Hal ini berhubungan dengan koordinat geografi seperti Lintang dan

Bujur maupun koordinat XYZ.

b. Informasi Deskriptif

Informasi ini non spasial yaitu suatu lokasi yang memiliki fungsi

untuk menampilkan keterangan pada data grafis seperti jumlah populasi,

luas wilayah, dan sebagainya.

2.5.2 Analisis Data Vektor

Data Vektor merupakan data yang bisa merepresentasikan bentuk bumi

dalam kumpulan garis, area, titik, dan nodes. Data vektor sendiri merupakan

data yang sangat ringan dalam konteks file dan presisi dalam lokasi, tetapi

21
sangat sulit untuk digunakan dalam komputasi matematik. (Irwansyah, 2013;

Marjuki, 2014).

2.5.3 Analisis Data Raster

Data raster atau sel grid merupakan data yang dihasilkan dari jarak jauh.

Data raster direpresentasikan sebagai struktus sel grid yang biasa disebut

dengan pixel. Data raster merupakan data yang sangat baik untuk

merepresentasikan batas-batas yang berubah seperti tanah, kelembapan tanah,

vegetasi, dan suhu tanah. Keterbatasan dari data raster terdapat pada ukuran file

yang dihasilkan, semakin tinggi resolusi grid maka semakin besar ukuran file.

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini berdasarkan segitiga epidemiologi yaitu

konsep timbulnya penyakit dengan adanya interaksi tiga komponen penyebab penyakit,

yaitu Host, Agent, dan Environment (Irwan, 2017). Pada penelitian ini Demam Berdarah

Dengue (DBD) dapat terjadi antara interaksi faktor host (Usia dan Jenis Kelamin), faktor

Agent (Angka Bebas Jentik), dan faktor Environment (Suhu, Kelembapan, Curah Hujan,

Kecepatan Angin, dan Ketinggian).

22
Gambar 2.2 Teori Segitiga Epidemiologi

23
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa ada beberapa

faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).

Peneliti ingin mengetahui gambaran dari variabilitas iklim pada wilayah

provinsi banten berdasarkan titik sampel atau stasiun dari BMKG yang

tersebar di Provinsi Banten dan kepadatan penduduk untuk mengetahui

kategori kepadatan penduduk pada masing-masing kabupaten/kota sehingga

hasil akhir pada penelitian ini yaitu peta kerawanan kejadian DBD di Provinsi

Banten tahun 2015-2019. Hal tersebut membuat peneliti memilih kejadian

DBD, variablitas iklim (curah hujan, kecepatan angin, suhu, dan

kelembapan), kepadatan penduduk, serta kerawanan DBD sebagai variabel

yang akan diteliti. Peneliti juga mempertimbangkan terhadap ketersediaan

dan kelengkapan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Berikut uraian

variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Kepadatan Penduduk

Penelitian ini terdapat variabel kepadatan penduduk karena

menjadi salah satu sumber masalah kesehatan lingkungan sehingga

potensi penyakit yang muncul di tengah kepadatan penduduk yaitu

penyakit DBD. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk

memengaruhi proses penularan atau pemindahan penyakit dari satu

orang ke orang lain. Semakin padat penduduk maka semakin kondusif

virus dapat berkembangbiak.

24
2. Suhu

Suhu merupakan variabel yang dapat memengaruhi kejadian

DBD sehingga dimasukkan ke dalam penelitian ini. Suhu menjadi

faktor risiko karena dapat menjadikan nyamuk berada pada kondisi

optimum dalam perkembangbiakan.

3. Kelembapan Udara

Kelembapan udara menjadi variabel penelitian karena

kelembapan udara dapat memengaruhi kejadian DBD dengan adanya

tingkat kelembapan yang rendah. Hal tersebut karena dapat

memengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, dan berkembangbiak.

4. Kecepatan Angin

Kecepatan angin dimasukkan ke dalam penelitian ini karena

variabel tersebut memengaruhi kejadian DBD. Hal ini karena semakin

tinggi kecepatan angin maka akan mengurangi kejadian DBD.

Kecepatan angin cenderung menghambat terbang nyamuk.

5. Curah Hujan

Penelitian ini melibatkan variabel curah hujan karena

merupakan bagian variabilitas iklim yang dapat memengaruhi

kejadian DBD. Hal ini karena curah hujan dapat menjadikan sarana

perkembangbiakan nyamuk.

Variabel-variabel tersebut akan dianalisis secara spasial untuk

mengetahui distribusi dengan menghasilkan peta pada masing-masing

variabel. Adanya pemetaan tersebut berfungsi untuk melihat distribusi spasial

variabel di Provinsi Banten berdasarkan kabupaten/kota tahun 2015-2019.

25
Oleh karena itu, kerangka konsep yang akan dipakai dalam penelitian ini

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

26
3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Kejadian Demam Berdarah Penyakit yang disebabkan Telaah dokumen Angka Insidens rate per 100.000 Ordinal
Dengue (DBD) oleh virus dengue melalui penduduk
gigitan nyamuk Aedes 1. Rendah (IR<20)
Aegypti dan Aedes 2. Sedang (IR 20-55)
Albopictus 3. Tinggi (IR≥55)
Sumber : (Kemenkes RI, 2010b)

2. Suhu Rata-rata suhu di provinsi Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam derajat Ordinal
Banten yang tercatat dalam Celcius (°C)
laporan BMKG selama 1. Dingin (<11˚C)
2015-2019. 2. Sedang (11-22 ˚C)
3. Panas (>22 ˚C)
(Winarsih, 2019)

3. Kecepatan Angin Rata-rata kecepatan angin di Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam knot. Ordinal
provinsi banten yang 1. Calm (<1 knot)
tercatat dalam laporan 2. Light Air (1-6 knot)
BMKG selama 2015-2019. 3. Gentle Breeze (7-10 knot)
Sumber : (Sari & Maulidany, 2020)

4. Kelembapan Rata-rata kelembapan di Telaah dokumen Rata-rata pertahun dalam persentase Ordinal

27
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
provinsi Banten yang (%)
tercatat dalam laporan 1. Rendah (<40%)
BMKG selama 2015-2019. 2. Sedang (40-70%)
3. Tinggi (>70%)
Sumber : (BMKG, 2021)
5. Curah Hujan Tingkat hujan di provinsi Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam mm. Ordinal
Banten yang tercatat dalam 1. Rendah (<2000 mm)
laporan BMKG selama 2. Menengah (2000-3000 mm)
tahun 2015-2019. 3. Tinggi (>3000 mm)
Sumber : (Prasetiyo, Irwandi, &
Pusparini, 2018)
6. Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk total Telaah dokumen Rata-rata dalam jiwa/km2 Ordinal
dengan luas wilayah di 1. <2000 Jiwa/km2
provinsi banten. 2. 2000-4000 Jiwa/km2
3. >4000 Jiwa/km2
Sumber : (Kusuma & Sukendra,
2016b)
7. Kerawanan DBD kemungkinan potensi Telaah Dokumen Berdasarkan hasil analisis dan Ordinal
kerugian yang ditimbulkan menggunakan kategori
oleh kejadian DBD di suatu 1. Rendah
wilayah dalam kurun waktu 2. Sedang
tertentu. 3. Tinggi
Sumber : (Achmad, 2010)

28
4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Kajian ini berjenis kajian epidemiologi deskriptif dengan desain

ecological study mempergunakan permodelan Sistem Informasi Geografis

(SIG) yang berbasis pada data sekunder dan melalui pendekatan spasial.

Studi ekologi merupakan penelitian epidemiologi dengan unit analisis

berupa populasi dan mengunakan data agregat. Pendekatan epidemiologi

spasial digunakan untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian

Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten tahun 2015-2019 dengan

menggunakan variabel yang diteliti yaitu dari faktor lingkungan

diantaranya: curah hujan, kelembapan, suhu, kecepatan angin, dan

kepadatan penduduk sehingga dapat mengetahui tingkat kerawanan kejadian

DBD di Provinsi Banten pada tahun 2015-2019 berdasarkan variabel

tersebut.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kajian ini terlaksana di wilayah Provinsi Banten, meliputi 8

kabupaten/kota yakni: Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, Kota

Tangerang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang,

Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak. Kajian ini terlaksana sejak bulan

Mei sampai Juli 2021.

29
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dan sampel yang ada di kajian ini ialah semua wilayah

kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten,

yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten


No. Kabupaten/Kota
1. Kota Tangerang Selatan
2. Kota Tangerang
3. Kota Serang
4. Kota Cilegon
5. Kabupaten Tangerang
6. Kabupaten Pandeglang
7. Kabupaten Serang
8. Kabupaten Lebak

30
4.4 Metode Pengumpulan Data

4.4.1 Pengumpulan Data dan Sumber Data

Pengumpulan data kajian ini dilakukan dengan observasi data

sekunder dari instansi terkait. Observasi data sekunder dari Dinas

Kesehatan Provinsi Banten untuk memperoleh informasi terkait

kejadian DBD, sementara nilai Insidence Rate (IR) didapatkan dengan

adanya penghitungan menggunakan rumus IR. Observasi data sekunder

yang didapat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

(BMKG) di wilayah banten yang bersumber di Balai Besar Meterologi,

Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah 2 untuk memperoleh

informasi terkait variabilitas iklim (curah hujan, suhu, kecepatan angin,

dan kelembapan). Sementara, observasi data sekunder yang didapat dari

Badan Pusat Statistik Provinsi Banten untuk memperoleh informasi

terkait kepadatan penduduk.

Peta administrasi Provinsi Banten diperoleh dari mengunduh

peta wilayah berbentuk file Shapefile (shp). Terlampir data yang

terkumpilkan pada kajian ini.

Tabel 4.2 Sumber Data Penelitian


Data Sumber Data Tahun Metode
Kasus Demam Dinas 2015-2019 Laporan Ditjen P2P
Berdarah Kesehatan Dinas Kesehatan
Dengue Provinsi Provinsi Banten
(DBD) per Banten
kabupaten/kota

31
Tabel 4.2 Sumber Data Penelitian (Lanjutan)
Data Sumber Data Tahun Metode
Variabilitas Badan 2015-2019 Pengamantan unsur-
Iklim (Curah Meterologi, unsur cuaca yang
hujan, suhu,
Klimatologi, dilaksanakan oleh
kelembapan, dan Geofisika BMKG
dan kecepatan(BMKG)
angin) Serang
Kepadatan Badan Pusat 2015-2019 Laporan BPS Provinsi
Penduduk per Statistik (BPS) Banten dalam Angka
kabupaten/kota
Provinsi
Banten
Peta wilayah Situs Ina- 2021 Hasil interpretasi foto
administrasi Geoportal yang dilakukan oleh
Provinsi Badan Informasi
Banten Geospasial Republik
Indonesia

4.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen pada kajian ini ialah lembar checklist dan dummy

table untuk memeriksa ketersediaan dan kelengkapan data.

4.5 Manajemen Data

Data diolah menggunakan Microsoft Office Excel dan Software

Quantum GIS versi 3.12.0. untuk mengetahui peta tingkat kerawanan DBD di

Provinsi Banten. Software Microsoft Excel digunakan untuk membuat

dummy table terkait tabel yang dibutuhkan dalam penelitian. Software

Quantum GIS versi 3.12.0 digunakan untuk menyatukan layer vektor peta

wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dan membuat peta gambaran

spasial variabel insiden Demam Berdarah Dengue (DBD), Kepadatan

penduduk, Variabilitas Iklim (Curah hujan, suhu, kelembapan, dan kecepatan

angin). Tahapan pengolahan data pada kajian ini, yaitu:

32
4.5.1 Pemeriksaan Data

Data yang didapat akan disajikan ke bentuk dummy tabel, lalu

memeriksa data terkait kelengkapan dan konsistensinya selama 5 tahun

sehingga dapat dianalisis.

4.5.2 Pemberian Kode

Pemberian kode bertujuan untuk mempermudah dalam proses

analisis. Data yang telah lengkap diberikan kode berdasarkan tujuan

dari tiap variabel dan disesuaikan dengan variabel, seperti data kasus

DBD diberi kode DBD, Kepadatan Penduduk diberi kode kppdkn, dan

untuk variabilitas iklim diberikan kode sesuai dengan variabel yang

sudah ada dari data.

4.5.3 Pemasukan Data

Penginputan data dilakukan menggunakan komputer. Data yang

sudah dikumpulkan akan dipilih sesuai variabel yang akan dianalisis,

lalu memberikan dan menyocokan nama kelurahan sesuai dengan yang

melekat pada peta dengan Ms.Excel dilakukan dengan membuka atribut

tabel pada software QGIS versi 3.12.0.

4.5.4 Pembersihan Data

Tahap ini data yang dimasukan ke dalam software diperiksa

ulang untuk memastikan bila data itu tidak ada missing atau kesalahan.

Setelah melakukan pembersihan, selanjutnya data siap untuk dianalisis.

4.6 Analisis Data

Analisis data dalam kajian ini terdiri dari analisis univariat dan

analisis spasial.

33
4.6.1 Analisis Univariat

Data yang sudah melalui tahap pengolahan data dilakukan analisis

univariat mempergunakan software Ms. Excel untuk melihat distribusi

frekuensi kejadian DBD dan kepadatan penduduk.

4.6.2 Analisis Spasial

Data kepadatan penduduk dan kasu DBD yang telah dianalisis

berdasarkan kategori yang ditentukan, lalu melakukan analisis spasial

untuk membuat peta gambaran spasial dengan teknik Simbologi warna

menggunakan aplikasi Quantum GIS versi 3.12.0, sedangkan pada data

variabilitas iklim menggunakan teknik Interpolasi metode Thiessen

dengan membuat peta berdasarkan titik pada setiap stasiun. Data

variabilitas iklim (curah hujan, suhu, kecepatan angin, dan

kelembapan), dan kepadatan penduduk sehingga menghasilkan peta

tingkat kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten.

Pembuatan peta dalam penelitian ini akan diberikan simbologi

warna berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Peta pada bagian

variabilitas iklim (suhu, curah hujan, kelembapan udara, dan kecepatan

angin) setelah melakukan teknik Interpolasi dengan metode Thiessen

akan diberikan warna merah terang untuk klasifikasi risiko tinggi,

warna merah muda untuk klasifikasi risiko sedang, warna putih untuk

klasifikasi Rendah.

34
Pada data kasus DBD dan akan mendapat warna dan batas

warna berbeda. Peta bagian kasus DBD dikategorikan berdasarkan yang

telah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan RI, yaitu IR<20 per

100.000 penduduk akan diberi warna putih untuk klasifikasi kejadian

rendah, IR 20-55 per 100.000 penduduk akan diberikan warna merah

muda untuk klasifikasi kejadian sedang, dan IR≥55 per 100.000

penduduk akan diberi warna merah untuk klasifikasi kejadian tinggi.

Peta bagian kepadatan penduduk akan diberikan warna berdasar

kategori yang ditentukan, yaitu <2000 jiwa/km2 diberi warna putih

untuk klasifikasi rendah, 2000-4000 jiwa/km2 diberi warna merah muda

untuk klasifikasi sedang, dan >4000 jiwa/km2 diberi warna merah untuk

klasifikasi tinggi. Setelah melakukan pemetaan pada data variabilitas

iklim dan kepadatan penduduk, selanjutnya dilakukan pembuatan peta

tingkat kerawanan kejadian DBD dengan menggunakan simbologi

warna yaitu warna putih untuk tingkat kerawanan rendah, warna merah

muda untuk tingkat kerawanan sedang, dan warna merah untuk tingkat

kerawanan tinggi.

35
BAB V
HASIL

4.7 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

4.7.1 Kondisi Geografis

Provinsi Banten merupakan bagian dari Negara Indonesia yang

berada pada ujung Pulau Jawa. Berdasarkan posisi geografis, Provinsi

Banten memiliki perbatasan Utara-Laut Jawa, Selatan-Samudera

Hindia, Barat-Selat Sunda, Timur-Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi

Jawa Barat. Letak geografis provinsi Banten pada batas astronomi yaitu

105˚1’11’’ - 106 ˚7’12’’ Bujur Timur dan 5˚7’50’’ - 7˚1’1’’ Lintang

Selatan. Peta administrasi Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar

5.1 berikut (BPS, 2019).

Gambar 0.1 Peta Administrasi Provinsi Banten

36
Gambar 5.1 di atas menunjukkan terdapat delapan

kabupaten/kota yang terdiri dari empat kabupaten dan empat kota,

yaitu:

1. Kabupaten Pandeglang

2. Kabupaten Lebak

3. Kabupaten Tangerang

4. Kabupaten Serang

5. Kota Tangerang

6. Kota Cilegon

7. Kota Serang

8. Kota Tangerang Selatan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun 2019

menjelaskan luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu

Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2), Kabupaten Lebak (3.426,56

km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2), Kabupaten Tangerang

(1.011,86 km2), Kota Tangerang (153,93 km2), Kota Cilegon (175,50

km2), Kota Serang (266,71 km2), dan Kota Tangerang Selatan (147,19

km2). Provinsi Banten memiliki luas 9.662,92 km2 dengan Kabupaten

Lebak menjadi kabupaten/kota luas terbesar dan Kota Tangerang

Selatan menjadi kabupaten/kota luas terkecil (BPS, 2019).

4.7.2 Kependudukan

Laporan Banten Dalam Angka tahun 2019 menjelaskan bahwa

jumlah penduduk di Provinsi Banten tahun 2019 sebanyak 12.927.316

jiwa yang terdiri dari 6.583.895 jiwa laki-laki dan 6.343.421 jiwa

37
perempuan. Provinsi Banten memiliki kepadatan penduduk sebesar

1.388 jiwa/km2 pada tahun 2019 dengan Kota Tangerang menjadi

kabupaten/kota yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu sebesar 14.486

jiwa/km2, sedangkan Kabupaten Lebak menjadi kabupaten/kota yang

memiliki kepadatan terendah yaitu sebesar 380 jiwa/km2.

Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Banten dari 2010

hingga 2019 sebesar 2,14% dengan kota Tangerang Selatan menjadi

kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan penduduk terbesar yaitu

sebesar 3,36% dan kabupaten Pandeglang menjadi kabupaten/kota yang

memiliki pertumbuhan terkecil sebesar 0,54% (BPS, 2019)

4.8 Hasil Analisis

4.8.1 Gambaran Distribusi Spasial Penyakit DBD di Banten 2015-2019

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Banten

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang harus diperhatikan.

Hal ini dapat dilihat pada kasus DBD yang selalu mengalami fluktuasi.

Jumlah kejadian DBD diperoleh berdasarkan laporan pencatatan kasus

dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Berikut jumlah kejadian DBD di

Provinsi Banten tahun 2015-2019.

38
Grafik 0.1 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD (Insidence Rate)
Berdasarkan Kabupaten/Kota Penduduk di Provinsi Banten Tahun
2015-2019
160
140
120
100
80
60
40
20
0

2015 2016 2017 2018 2019

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Grafik di atas menjelaskan bahwa kejadian DBD berdasarkan

kabupaten/kota di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengalami

fluktuasi setiap tahunnya. Namun, terdapat kabupaten/kota yang selalu

tinggi kejadian DBD yaitu Kota Cilegon (IR 144,14 per 100.000

penduduk) pada tahun 2015. Sedangkan, kejadian DBD yang paling

rendah yaitu Kabupaten Lebak (IR 1,16 per 100.000 penduduk) pada

tahun 2017.

39
Gambar 5.2 Peta Distribusi Kejadian DBD (Insidence Rate) Berdasarkan
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

40
Gambar 5.2 menjelaskan peta distribusi penyakit DBD

berdasarkan derajat masalah di Provinsi Banten periode 2015-2019.

Pada tahun 2015, diketahui terdapat kabupaten/kota yang memiliki

klasifikasi IR tinggi yaitu Kota Cilegon. Terdapat kabupaten/kota yang

memiliki klasifikasi IR tinggi pada tahun 2016 di provinsi Banten yaitu

Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten

Lebak.

Tahun 2017 hanya dua kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi

IR sedang yaitu Kabupaten Serang dan Kota Cilegon. Kabupaten/kota

di provinsi Banten pada tahun 2018 hanya Kota Cilegon yang memiliki

klasifikasi IR sedang. Pada tahun 2019 terdapat kabupaten/kota yang

memiliki klasifikasi IR tinggi yaitu kota Cilegon. Pada peta distribusi

kejadian DBD berdasarkan IR di Provinsi Banten dapat menunjukkan

bahwa tahun 2016 kejadian DBD di Provinsi Banten memiliki kejadian

paling tinggi. Hal tersebut membuat Kota Cilegon memiliki konsistensi

di klasifikasi IR sedang dan tinggi dalam periode 2015-2019.

4.8.2 Gambaran Distribusi Spasial Kepadatan Penduduk di Banten


2015-2019

Kepadatan penduduk di Provinsi Banten dalam periode 2015-

2019 dapat dilihat pada hasil analisis berupa peta distribusi spasial

sebagai berikut.

41
Gambar 0.2 Peta Distibusi Kepadatan Penduduk di Provinsi
Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder


Gambar 5.3 di atas merupakan peta distribusi spasial kepadatan

penduduk berdasarkan klasifikasi di Provinsi Banten periode 2015-

2019. Periode 2015-2019 terdapat konsistensi dimana dua

kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi padat, yaitu Kota Tangerang

dan Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, kabupaten/kota yang memiliki

42
klasifikasi kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kabupaten Lebak,

Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang.

4.8.3 Gambaran Distribusi Spasial Variabilitas Iklim di Banten 2015-


2019

1. Curah Hujan

Grafik 0.2 Perbandingan Curah Hujan dan Kejadian DBD di


Banten 2015-2019
18000
15780,8
16000 14377,6
14000

12000
9089,2 9457,5
10000 8246,8
8000

6000

4000

2000
29,05 49,15 10,92 8,06 22,57
0
2015 2016 2017 2018 2019

Curah Hujan Kasus DBD

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.3 menjelaskan curah hujan di Provinsi Banten

periode 2015-2019. Curah hujan mengalami penurunan setiap

tahunnya dan adanya penurunan tersebut diikuti oleh kejadian DBD

dari tahun 2016-2018, akan tetapi kejadian DBD kembali mengalami

kenaikan di tahun berikutnya. Total curah hujan tertinggi terdapat di

tahun 2015 sebesar 15.780,8 mm dan curah hujan paling rendah

terdapat di tahun 2019 sebesar 8246,8 mm.

Peta distribusi curah hujan di Provinsi Banten disajikan pada

Gambar 5.3 berikut.

43
Gambar 0.3 Peta Distibusi Curah Hujan di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar tersebut menunjukkan seluruh stasiun BMKG yang

tersebar di Provinsi Banten pada tahun 2015 dan 2019

44
mengumpulkan angka curah hujan di seluruh wilayah Provinsi

Banten sehingga berada dalam klasifikasi curah hujan rendah (<2000

mm). Tahun 2016 seluruh stasiun BMKG yang mengumpulkan

angka curah hujan sehingga hampir seluruh wilayah stasiun BMKG

berada dalam klasifikasi sedang (2000-3000 mm). Namun, terdapat

satu stasiun yang berada dalam klasifikasi tinggi (>3000 mm) yaitu

Balai Besar MKG Wilayah II yang mencakup sebagian Kota

Tangerang Selatan.

Selanjutnya tahun 2017, diketahui angka curah hujan di

stasiun Meteorologi Curug yang mencakup wilayah Kabupaten

Lebak dan sebagian Kabupaten Tangerang berada dalam klasifikasi

tinggi (>3000 mm). Sedangkan, pada tahun 2018 terdapat perubahan

klasifikasi dari tinggi ke sedang yaitu stasiun Meteorologi Curug dan

perubahan dari klasifikasi sedang ke rendah yaitu stasiun Balai Besar

MKG Wilayah II yang mencakup sebagian Kota Tangerang Selatan

dan Meteorologi Pondok Betung mencakup sebagian wilayah Kota

Tangerang Selatan dan Kota Tangerang.

2. Kecepatan Angin

Grafik 5.3 menampilkan perbandingan rata-rata kecepatan

angin dan kejadian DBD di Provinsi Banten periode 2015-2019.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa kecepatan angin di Provinsi

Banten mengalami fluktuasi pada tahun 2015-2016 dan mulai

menurun berturut-turut pada tahun 2017-2019, lalu terdapat

penurunan kejadian DBD berdasarkan IR pada tahun 2016-2018.

45
Nilai kecepatan angin tertinggi terdapat pada tahun 2017 sebesar

4,58 knot dan nilai terendah terdapat pada tahun 2016 sebesar 3,66

knot.

Grafik 0.3 Perbandingan Rata-Rata Kecepatan Angin dan


Kasus DBD di Banten Tahun 2015-2019
60
49,15

50

40
29,05

30 22,57

20 10,92
8,06

10 4,58 4,33 4,18


3,75 3,66

0
2015 2016 2017 2018 2019

Kecepatan Angin Kasus DBD

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Seluruh stasiun BMKG yang tersebar di Provinsi Banten

periode 2015-2019 mengumpulkan angka kecepatan angin di seluruh

wilayah Provinsi Banten. Namun, tahun 2015 dan 2016 seluruh

wilayah stasiun BMKG masing-masing memiliki kategori kecepatan

angin Light Air (1-6 knot).

Terdapat dua stasiun BMKG dengan kategori Gentle Breeze

pada 2017 dan 2018 yaitu Geofisika Tangerang yang mencakup

wilayah sebagian Kota Tangerang dan sebagian Kabupaten

Tangerang dan Klimatologi Pondok Betung yang mencakup wilayah

sebagian kota Tangerang Selatan dan sebagian Kota Tangerang.

Kemudian, hanya terdapat satu wilayah stasiun dengan kategori

46
kecepatan angin Gentle Breeze (7-10 knot) pada 2019 yaitu

Klimatologi Pondok Betung. Peta distribusi kecepatan angin di

Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut.

47
Gambar 0.4 Peta Kecepatan Angin Berdasarkan Stasiun BMKG di Banten
2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

48
3. Kelembapan Udara

Grafik 0.4 Perbandingan Rata-Rata Kelembapan Udara dan


Kasus DBD di Banten 2015-2019
140 49,15

120 29,05
22,57
100 10,92 8,06
82 80 79
77 77
80

60

40

20

0
2015 2016 2017 2018 2019

Kelembaban Udara Kasus DBD

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.5 menjelaskan bahwa angka kelembapan udara di

Provinsi Banten tertinggi pada tahun 2016 sebesar 82% dan rendah

pada tahun 2015 dan 2019 sebesar 77%. Adanya pola naik-turun dari

kelembapan udara juga diikuti oleh kasus DBD dari tahun 2015-

2018. Distribusi spasial kelembapan udara di Banten tahun 2015-

2019 disajikan pada Gambar 5.6.

49
Gambar 0.6 Peta Distribusi Kelembapan Udara di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar 5.6 menunjukkan seluruh stasiun BMKG yang

tersebar di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengumpulkan

50
persentase kelembapan udara memiliki klasifikasi hampir seluruh

wilayah Provinsi Banten berada dalam klasifikasi kelembapan udara

tinggi (>70%). Namun, pada tahun 2015 terdapat stasiun BBMKG

wilayah II mencakup wilayah sebagian Kota Tangerang Selatan

mengumpulkan persentase kelembapan udara mendapatkan

klasifikasi kelembapan udara berada dalam klasifikasi sedang (40-

70%).

4. Suhu

Grafik 0.5 Perbandingan Rata-Rata Suhu dan Kasus DBD di


Banten 2015-2019
60
49,15
50

40
29,05
27,58 28,01 27,57 27,71 27,92
30
22,57

20
10,92
8,06
10

0
2015 2016 2017 2018 2019

Suhu Kasus DBD

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.5 menunjukkan rata-rata suhu di Provinsi Banten

tertinggi pada tahun 2016 sebesar 28,01˚C dan rendah pada tahun

2015 dan 2017 sebesar 27,57˚C. Adanya pola naik-turun dari suhu

juga diikuti oleh kasus DBD dari tahun 2015-2017. Peta distribusi

suhu di Provinsi Banten disajikan pada Gambar 5.7 berikut.

51
Gambar 0.6 Peta Distibusi Suhu di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

52
Gambar 5.6 menunjukkan bahwa seluruh stasiun BMKG yang

tersebar di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengumpulkan angka

suhu yang ada dan menghasilkan seluruh wilayah Provinsi Banten

berada dalam suhu tinggi (>22˚C). Namun, jika melihat rata-rata suhu

setiap wilayah stasiun BMKG di Provinsi Banten diketahui wilayah

BBMKG II dengan rata-rata suhu tertinggi sebesar 29,9˚C pada tahun

2016 dan rata-rata suhu terendah terdapat pada stasiun BMKG yaitu

Meterologi Curug yang mencakup wilayah sebagian Kabupaten Lebak,

sebagian Kabupaten Serang, dan sebagian Kabupaten Tangerang

dengan rata-rata suhu sebesar 26,7˚C pada tahun 2015.

4.8.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019

Peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten periode 2015-

2019 ditentukan oleh pengelompokan dan pemberian skor pada setiap

variabel yang tersedia. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.

Tabel 0.1 Skoring


Variabel Pengelompokan Skoring
1. <2000 Jiwa/km2 1
Kepadatan Penduduk 2. 2000-4000 Jiwa/km2 2
3. >4000 Jiwa/km2 3
1. Rendah (<2000 mm) 1
Curah Hujan 2. Menengah (2000-3000 mm) 2
3. Tinggi (>3000 mm) 3
1. Calm (<1 knot) 3
Kecepatan Angin 2. Light Air (1-6 knot) 2
3. Gentle Breeze (7-10 knot) 1
1. Rendah (<40%) 1
Kelembapan Udara 2. Sedang (40-70%) 2
3. Tinggi (>70%) 3
1. Dingin (<11˚C) 1
Suhu 2. Sedang (11-22 ˚C) 2
3. Panas (>22 ˚C) 3
Tabel 5.1 menjelaskan penggunaan skoring dan akan

dilanjutkan dengan penjumlahan skor pada masing-masing variabel

53
tersebut untuk menghasilkan peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi

Banten tahun 2015-2019. Hasil penjumlahan skor pada setiap variabel

tersebut kemudian didapatkan hasil skor akhir berdasarkan

kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hasil skor dibagi menjadi tiga

kategori yaitu nilai kurang dari 11 (tingkat kerawanan rendah), nilai 11

sampai dengan 12 (tingkat kerawanan sedang), dan nilai lebih dari 12

(tingkat kerawanan tinggi). Pemberian kelas tersebut dapat

menghasilkan peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten tahun

2015-2019. Hasil penjumlahan skor disajikan pada Tabel 5.2, 5.3, 5.4,

5.5, dan 5.6, serta peta kerawanan disajikan pada Gambar 5.8 di

halaman berikut.

54
Tabel 0.2 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2015
Variabel
Kabupaten/Kota Kepadatan Kecepatan Kelembapan Skor
Curah Hujan Suhu
Penduduk Angin Udara
Kota Tangerang Selatan 3 1 2 2 3 11
Kota Tangerang 3 1 2 3 3 12
Kota Cilegon 2 1 2 3 3 12
Kota Serang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Tangerang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Lebak 1 1 2 3 3 10
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 0.3 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2016
Variabel
Kabupaten/Kota Kepadatan Kecepatan Kelembapan Skor
Curah Hujan Suhu
Penduduk Angin Udara
Kota Tangerang Selatan 3 3 2 3 3 14
Kota Tangerang 3 2 2 3 3 13
Kota Cilegon 2 2 2 3 3 12
Kota Serang 2 2 2 3 3 12
Kabupaten Pandeglang 1 2 2 3 3 11
Kabupaten Serang 1 2 2 3 3 11
Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12
Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

55
Tabel 0.4 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2017
Variabel
Kabupaten/Kota Kepadatan Kecepatan Kelembapan Skoring
Curah Hujan Suhu
Penduduk Angin Udara
Kota Tangerang Selatan 3 2 1 3 3 12
Kota Tangerang 3 1 1 3 3 11
Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11
Kota Serang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12
Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 0.5 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2018
Variabel
Kabupaten/Kota Kepadatan Kecepatan Kelembapan Skoring
Curah Hujan Suhu
Penduduk Angin Udara
Kota Tangerang Selatan 3 1 1 3 3 11
Kota Tangerang 3 1 1 3 3 11
Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11
Kota Serang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12
Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

56
Tabel 0.6 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2019
Variabel
Kabupaten/Kota Kepadatan Kecepatan Kelembapan Skoring
Curah Hujan Suhu
Penduduk Angin Udara
Kota Tangerang Selatan 3 1 1 3 3 11
Kota Tangerang 3 1 2 3 3 12
Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11
Kota Serang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10
Kabupaten Tangerang 2 1 2 3 3 11
Kabupaten Lebak 1 1 2 3 3 10
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 5.7 Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Provinsi Banten Tahun 2015-2019
No. Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019
1. Kota Tangerang Selatan Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang
2. Kota Tangerang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang
3. Kota Cilegon Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
4. Kota Serang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
5. Kabupaten Pandeglang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah
6. Kabupaten Serang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah
7. Kabupaten Tangerang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
8. Kabupaten Lebak Rendah Sedang Sedang Sedang Rendah

57
Gambar 0.7 Peta Kerawanan Penyakit DBD di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar 5.7 menunjukkan kabupaten/kota di Provinsi Banten

yang memasuki klasifikasi tingkat kerawanan sedang tahun 2015 adalah

Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang,

58
Kota Tangerang Selatan. Akan tetapi, pada tahun 2016 terdapat

perubahan klasifikasi dari tingkat kerawanan sedang ke tingkat

kerawanan tinggi di Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang,

kemudian terdapat kabupaten/kota mengalami perubahan dari tingkat

rendah ke tingkat sedang yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten

Pandeglang, dan Kabupaten Serang. Tahun 2017 hingga 2018, terdapat

konsistensi pada tingkat kerawanan sedang, yaitu Kota Cilegon, Kota

Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang

Selatan, dan Kabupaten Lebak. Sementara, tahun 2019 terdapat satu

kabupaten/kota yang mengalami perubahan tingkat kerawanan dari

sedang ke rendah yaitu Kabupaten Lebak.

59
5 BAB VI

PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam kajian ini, yaitu:

1. Ada potensi bias informasi karena referensi rujukan untuk penentuan

klasifikasi masing-masing variabel dari sumber yang berbeda.

2. Angka Insidence Rate (IR) DBD yang digunakan tidak bersumber sama

dengan data kejadian DBD.

3. Penggunaan Interpolasi metode Thiessen memiliki kekurangan yaitu

penempatan stasiun pengamatan yang dapat memengaruhi hasil.

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

5.2.1 Gambaran Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di


Banten 2015-2019

Kejadian DBD di Provinsi Banten dalam penelitian ini ialah

kejadian DBD yang diperoleh dari laporan setiap Dinas Kesehatan

kabupaten/kota di Provinsi Banten. Data kejadian DBD yang diperoleh

merupakan laporan kasus per orang sehingga harus dikonversikan ke

Insidence Rate (IR) per 100.000 penduduk untuk mengetahui nilai

ambang batas kejadian DBD di Provinsi Banten. Klasifikasi IR DBD

per 100.000 penduduk tiap kabupaten/kota mengacu kepada

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010

yang terbagi menjadi 3 klasifikasi yaitu rendah (IR <20), sedang (IR

20-55), dan tinggi (IR ≥55) (Kemenkes RI, 2010b).

Hasil penelitian ini menunjukkan Kota Cilegon merupakan

kabupaten/kota dengan kejadian DBD tertinggi selama periode 2015-

60
2019. Meskipun mengalami penurunan pada 2016, Kota Cilegon masih

memiliki kejadian DBD yang termasuk klasifikasi tinggi pada tahun

tersebut. Kemudian, kota tersebut terus mengalami penurunan kejadian

DBD pada tahun 2017 dan 2018, dan termasuk ke dalam klasifikasi

sedang, namun kejadian DBD Kota Cilegon kembali mengalami

peningkat1an yang tajam dan termasuk ke klasifikasi tinggi pada 2019.

Kota Cilegon memiliki kejadian DBD yang cenderung tinggi

karena kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi. Hal tersebut

karena kepadatan penduduk yang terus bertambah semakin rawan

dengan penularan penyakit DBD jika tidak diiringi dengan upaya

pencegahan nyamuk Aedes Aegypti (Chandra, 2019). Kota Cilegon

secara geografis terletak di ujung pulau Jawa dan menjadi pintu utama

yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu,

sangat memungkinkan adanya masyarakat yang melintasi Kota Cilegon

membawa agent penyebab DBD. Selain itu, tingginya kejadian DBD di

Kota Cilegon juga dapat dipengaruhi oleh pelaksanaan Program

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Program PSN yang dilaksanakan oleh Provinsi Banten antara

lain yaitu 3M plus dengan melalui gerakan 1 rumah 1 jumantik (Dinas

Kesehatan Provinsi Banten, 2019). Pengadaan upaya tersebut dapat

memberikan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku perorangan

maupun masyarakat dalam mengatasi masalah agar dapat mencegah

terjadinya DBD (Wurisastuti, Sitorus, & Surakhmi Oktavia, 2017).

Kurang efektifnya program penyakit DBD, dan kurangnya edukasi

61
masyarakat tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sehingga

Kota Cilegon menjadi salah satu kota endemis di Provinsi Banten

(Dinas Kesehatan, 2019). Oleh karena itu, Dinas Kesehatan perlu

melakukan sosialisasi terhadap masyarakat untuk meningkatkan

efektifitas program dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap

upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

5.2.2 Gambaran Distribusi Kepadatan Penduduk di Banten 2015-2019

Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk keseluruhan

dengan luas wilayah di suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk

memengaruhi proses penularan dan pemindahan penyakit dari orang ke

orang lainnya. Semakin padat penduduk di suatu wilayah, maka makin

kondusif perkembangbiakan virus sehingga mengakibatkan peningkatan

kasus. Kepadatan penduduk di Provinsi Banten tidak merata sehingga

terdapat kabupaten/kota yang memiliki tingkat kepadatan tinggi, sedang

dan rendah.

Klasifikasi kepadatan penduduk dalam penelitian ini diadaptasi

dari penelitian Agcrista Permata dan Dyah Mahendrasari tahun 2016

yaitu kepadatan rendah (<2000 Jiwa/km2), sedang (2000-4000

Jiwa/km2), dan tinggi (<4000 Jiwa/km2) (Kusuma & Sukendra, 2016b).

Wilayah kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi kepadatan penduduk

tinggi di Provinsi Banten tahun 2015-2019 berdasarkan hasil penelitian

ini yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Sementara itu,

kabupaten/kota yang memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu

Kabupaten Lebak.

62
Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan berada dalam

klasifikasi kepadatan penduduk yang tinggi. Kedua kota tersebut

memiliki lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI

Jakarta. Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1979 tentang

Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi),

Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu

daerah pendukung DKI Jakarta dan dikembangkan agar menjadi tempat

yang menarik sehingga menjadi pusat pertumbuhan baru (Presiden RI,

1976). Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Kabupaten Lebak yang

memiliki kepadatan penduduk terendah (Pemerintah Kabupaten Lebak,

2021).

Kabupaten Lebak merupakan kabupaten/kota dengan wilayah

paling luas di Provinsi Banten. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan

Kabupaten Lebak memiliki kepadatan yang terendah dibandingkan

kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak memiliki

luas wilayah administrasi sekitar 3.305 km2 dan sebagian besar

wilayahnya adalah pedesaan yang diketahui memiliki laju pertumbuhan

penduduk lebih lambat dibandingkan dengan perkotaan.

Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa kejadian DBD

memiliki hubungan spasial dengan kepadatan penduduk (Chandra,

2019; Ernyasih, Zulfa, Andriyani, & Fauziah, 2020b; Masrizal & Sari,

2016). Hubungan spasial antara sebaran DBD dengan kepadatan

penduduk ini berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mendukung

keberadaan breeding place nyamuk Aedes Aegypti. Hal tersebut terjadi

63
jika perilaku pencegahan dari masyarakat sangat kurang sehingga

membuat lingkungan sekitar menjadi munculnya breeding place seperti

banyaknya potensi genangan air. Kepadatan penduduk sangat perlu

diperhatikan untuk menjaga kestabilan lingkungan. Rata-rata nyamuk

memiliki waktu hidup 8-15 hari dengan rata-rata nyamuk terbang 30-50

meter, sehingga nyamuk dapat berpindah 240-750 meter selama hidup

nyamuk (Kusuma & Sukendra, 2016b). Kepadatan penduduk

memerlukan perhatian karena berhubungan dengan kelayakan hidup

terutama adanya urbanisasi yang tidak terkendali.

Provinsi Banten secara geografis berbatasan dengan DKI

Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan RI dan pintu gerbang

transportasi antar Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Oleh karena itu,

dinamika kependudukan Provinsi Banten cenderung dipengaruhi oleh

dinamika kependudukan DKI Jakarta dan mobilitas penduduk yang

tinggi antar dua pulau tersebut. Kondisi ini memengaruhi tingkat

kepadatan penduduk Provinsi Banten (BKKBN Provinsi Banten, 2020).

Masalah kepadatan penduduk tersebut dapat dikendalikan

dengan adanya program dari Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Banten yaitu Program

Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana

(Bangga Kencana) yang mampu menekan laju pertumbuhan penduduk.

Program Bangga Kencana terdapat dalam rencana strategi (Renstra)

BKKBN Provinsi Banten Tahun 2020-2024 yaitu bertujuan untuk

menurunkan Total Fertility Rate (FTR) hingga 2,09 di tahun 2024. Hal

64
tersebut akan berdampak pada pertumbuhan penduduk di Provinsi

Banten. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama lintas sektor antara

Dinas Kesehatan dan bidang pengendalian penduduk BKKBN dalam

menekan laju pertumbuhan agar padatnya penduduk di Provinsi Banten

dapat seimbang dengan pembangunan ekonomi yang ada (BKKBN

Provinsi Banten, 2020).

5.2.3 Gambaran Distribusi Variabilitas Iklim di Banten 2015-2019

Gambaran distribusi variabilitas iklim di Provinsi Banten tahun

2015-2019 dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengumpulan data

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang terdiri

enam stasiun yaitu Balai Besar MKG Wilayah II, Geofisika Tangerang,

Klimatologi Pondok Betung, Meteorologi Cengkareng, Meteorologi

Curug, dan Meteorologi Serang. Variabilitas iklim merupakan salah

satu faktor risiko yang bersifat lokal dan potensial dalam peningkatan

kejadian DBD.

1. Curah Hujan

Klasifikasi curah hujan dalam penelitian ini

menggunakan klasifikasi tahunan pada penelitian yang

dilakukan oleh Budi Prasetyo pada tahun 2018 bahwa

klasifikasi terbagi menjadi tiga yaitu rendah (<2000 mm),

sedang (2000-3000 mm), dan tinggi (>3000 mm). Curah

hujan merupakan salah satu unsur variabilitas iklim yang

dapat berkaitan dengan kejadian DBD. Hal tersebut

dibuktikan dengan adanya penelitian terdahulu bahwa

65
terdapat hubungan yang bermakna antara Curah hujan dengan

kejadian DBD (Wirayoga, 2013b; Zubaidah, Ratodi, &

Marlinae, 2016).

Hasil penelitian ini menunjukkan angka curah hujan

yang diperoleh stasiun Balai Besar MKG Wilayah II

mencapai 3070,1 mm pada 2016, di mana nilai tersebut

merupakan nilai tertinggi dalam rentang tahun 2015-2019.

Sementara itu, angka curah hujan pada tahun yang sama yang

diperoleh stasiun Meteorologi Cengkareng mencapai 1144,9

mm dan menjadikan nilai tersebut terendah dalam rentang

tahun 2015-2019. Tingginya curah hujan pada 2016

merupakan dampak dari La Nina yang memengaruhi

tingginya curah hujan.

La Nina merupakan fenomena alam yang

menyebabkan curah hujan menjadi lebih tinggi. Adanya

fenomena La Nina pada tahun 2016 menyebabkan musim

hujan yang sedikit lebih lama seperti biasanya daripada

musim kemarau, sehingga menyebabkan bencana banjir di

beberapa daerah di Indonesia. Kejadian La Nina menjadi

suatu fenomena yang membuat kejadian DBD di Indonesia

menjadi meningkat dengan tajam (Nabilah, Prasetya, &

Sukmono, 2017; Pascawati, Satoto, Wibawa, Frutos, &

Maguin, 2019).

66
Peningkatan curah hujan menyebabkan munculnya

lebih banyak genangan air, terutama pada pada barang-

barang bekas yang dibuang pada tempat terbuka. Tempat-

tempat tersebut merupakan lokasi berkembang biak yang

cocok bagi para nyamuk yang membawa virus dengue

(Daswito, Lazuardi, & Nirwati, 2019b). Sejalan dengan itu,

curah hujan dapat berpengaruh pada aktivitas dan

metabolisme nyamuk. Curah hujan lebih dari 500 mm per

tahun akan memengaruhi keberlangsungan kembang biak

nyamuk (Jacob, Pijoh, & Wahongan, 2014).

2. Kecepatan Angin

Variabilitas iklim lainnya yaitu kecepatan angin yang

menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan

kejadian DBD. Kecepatan angin merupakan jarak tempuh

angin per satuan waktu. Adanya kecepatan angin cenderung

akan menghambat terbang serta memengaruhi penempatan

telur pada habitat yang cocok. Hasil ukur klasifikasi

kecepatan angin dalam penelitian ini menggunakan skala

Beaufort dengan 3 pembagian yaitu Calm (<1 knot), Light

Air (1-6 knot), dan Gentle Breeze (7-10 knot).

Kecepatan angin pada hasil analisis menjelaskan

bahwa dalam rentang 2015 hingga 2016 rata-rata kecepatan

angin di setiap titik stasiun BMKG Provinsi Banten berada

dalam klasifikasi Light Air (1-6 knot). Tahun 2017 hingga

67
2018, terdapat perubahan dari klasifikasi Light Air (1-6 knot)

ke Gentle Breeze (7-10 knot) yaitu Stasiun Geofisika

Tangerang dan Meteorologi Pondok Betung. Namun, pada

tahun 2019 terjadi perubahan kembali dari klasifikasi Gentle

Breeze ke Light Air. Sementara, Stasiun Meteorologi Pondok

Bentung mengalami konsistensi yang berada dalam

klasifikasi Gentle Breeze pada rentang tahun 2017 hingga

2019.

Kecepatan angin merupakan salah satu variabel yang

berhubungan dengan kejadian DBD, hal tersebut dibuktikan

dengan penelitian yang dilakukan bahwa kecepatan angin

memiliki hubungan yang bermakna dengan peningkatan

kejadian DBD (Daswito dkk., 2019b; Lu dkk., 2009b).

Peningkatan kecepatan angin menyebabkan perpindahan

nyamuk mengalami penurunan.

Kecepatan angin yang dapat menghambat nyamuk

yaitu berkisar 1-4 m/s atau 2-8 knot (Lu dkk., 2009b). Hasil

penelitian menunjukkan kecepatan angin tidak memiliki

kecenderungan kejadian yang sama pada penyakit DBD. Hal

tersebut kemungkinan terdapat salah satu faktor yang

memengaruhi kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak

terbang nyamuk sangat ditentukan oleh kecepatan angin

karena dapat memperpendek atau memperpanjang jarak

terbang nyamuk berdasarkan arah angin (Wirayoga, 2013b).

68
3. Kelembapan Udara

Kelembapan udara menjadi salah satu faktor yang

memengaruhi kejadian DBD, hal ini disebabkan adanya

tingkat kelembapan rendah dapat mengakibatkan penguapan

air dari dalam tubuh sehingga keringnya cairan yang ada

dalam tubuh. Kelembapan merupakan hal yang memengaruhi

umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak,

kebiasaan menggigit, dan lainnya (Ridha dkk., 2019a;

Wirayoga, 2013a). Klasifikasi kelembapan udara dalam

penelitian ini menggunakan klasifikasi dari Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang

membagi menjadi tiga klasifikasi yaitu rendah (<40%),

sedang (40-70%), dan tinggi (>70%).

Tahun 2015 hingga 2019, diketahui sebagian besar

wilayah Provinsi Banten termasuk dalam klasifikasi

kelembapan yang tinggi (>70%). Namun, terdapat satu

stasiun yang berada dalam klasifikasi kelembapan udara yang

sedang (40-70%) yaitu Balai Besar MKG Wilayah II.

Kelembapan udara menjadi faktor risiko peningkatan

kejadian DBD, hal ini dibuktikan dengan penelitian lain yang

menunjukan bahwa kelembapan udara memiliki hubungan

yang bermakna terhadap peningkatan kejadian DBD

(Daswito dkk., 2019b; Ridha, Indriyati, Tomia, & Juhairiyah,

2019b).

69
Kelembapan udara yang tinggi dapat memicu nyamuk

memilih pada tempat yang lembap dan basah untuk dijadikan

sarana beristirahat untuk sementara. Tingkat kelembapan

udara yang optimum untuk perkembangbiakan nyamuk yaitu

>60%, namun saat kadar kelembapan udara <60% dapat

menyebabkan singkatnya hidup nyamuk (Tumey, Kaunang,

& Asfiruddin, 2020).

4. Suhu

Variabilitas iklim lainnya yaitu suhu udara menjadi

faktor kejadian DBD karena saat pergantian musim

penghujan ke musim kemarau kondisi suhu berkisar antara

23-31°C yaitu kisaran suhu optimum untuk

perkembangbiakan nyamuk. (Komaling dkk., 2020a; Ridha

dkk., 2019a). Klasifikasi suhu dalam penelitian ini terbagi

menjadi tiga yaitu dingin (<11°C), sedang (11-22°C), dan

panas (>22°C) (Winarsih, 2019).

Provinsi Banten memiliki rata-rata suhu tahunan

berkisar 27,76°C. Oleh karena itu, seluruh titik stasiun

BMKG di Provinsi Banten berada dalam klasifikasi suhu

panas (>22°C). Rata-rata suhu tertinggi yaitu 29,9°C pada

tahun 2016, sedangkan rata-rata suhu terendah yaitu 26,7°C

pada tahun 2015.

Suhu menjadi salah satu faktor risiko terhadap

kejadian DBD. Hal tersebut sejalan dengan adanya penelitian

70
yang menunjukan bahwa suhu memiliki hubungan yang

signifikan dengan kejadian DBD (Ridha dkk., 2019b).

Semakin turun suhu (kondisi dingin) dapat memengaruhi

ketahanan hidup, pola makan, reproduksi nyamuk, dan

meningkatkan populasi nyamuk (Komaling, Sumampouw, &

Sondakh, 2020b; Ridha dkk., 2019b).

Cara efektif untuk mengurangi kejadian DBD yang disebabkan

oleh variabilitas iklim dapat diatasi dengan melibatkan masyarakat

dalam membasmi jentik maupun nyamuk. Salah satunya dengan cara

melaksanakan Program yang sudah ada yaitu Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN).

Program tersebut bertujuan untuk membina masyarakat untuk

berperan dalam pemberantasan kejadian DBD. Program ini diharapkan

dapat menjaga kebersihan lingkungan di sekitar rumah dengan cara

menguras, menutup penampungan air, menaburkan abatisasi, dan

menyingkirkan barang-barang bekas yang sangat memungkinkan air

tergenang (Hasyim, 2013). Hal tersebut Dinas Kesehatan Provinsi

Banten perlu melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan di masing-

masing kabupaten/kota untuk meningkatkan dan mengingatkan kepada

masyarakat terkait langkah-langkah untuk menjaga lingkungan dan

kesehatan diri sendiri, yaitu dengan menerapkan program PSN dan juga

PHBS.

71
5.2.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019

Kerawanan merupakan kondisi suatu daerah yang rentan terkena

bencana. Penelitian ini membuktikan kabupaten/kota di Provinsi Banten

memiliki tingkat kerawanan kejadian DBD yang berbeda. Tingkat

kerawanan Kabupaten/kota yang memiliki tingkat kerawanan sedang

pada tahun 2015 adalah Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang,

Kabupaten Tangerang, Kota Serang, dan Kota Cilegon.

Wilayah kabupaten/kota pada tahun 2016 yang memiliki tingkat

kerawanan tinggi adalah Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Tahun 2017 dan 2018 yang termasuk kabupaten/kota dengan tingkat

kerawanan sedang adalah Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten

Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten

Lebak.

Kabupaten/kota di Provinsi Banten terdapat 2 kabupaten kota

yang memiliki tingkat kerawanan tinggi pada tahun 2016 yaitu Kota

Tangerang Selatan dan Kota Tangerang. Hal tersebut kedua kota

tersebut berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan menjadi salah

satu pusat kota atau target pertumbuhan populasi sehingga kepadatan

penduduk berada dalam tingkat tinggi. Tahun 2016 terdapat fenomena

La Nina yang memengaruhi angka curah hujan, sehingga meningkatkan

angka curah hujan di wilayah tersebut.

Sementara, tahun 2019 yang termasuk kabupaten/kota di dengan

tingkat kerawanan sedang adalah Kota Cilegon, Kota Serang,

Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang

72
Selatan.Variabel yang digunakan pada penelitian ini merupakan faktor

risiko yang berperan dalam kejadian penyakit DBD.

Penyakit DBD disebabkan oleh faktor kepadatan penduduk,

curah hujan, suhu, kelembapan udara, dan kecepatan angin. Tahun 2015

hingga 2019 terdapat konsistensi di tingkat kerawanan sedang, yaitu

Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang. Hal tersebut

dikarenakan Kota Cilegon memiliki kepadatan penduduk tingkat sedang

ditambah dengan posisi Kota Cilegon yang berada pada ujung pulau

Jawa dan menjadi gerbang penghubung pulau Sumatera sehingga

memungkinkan untuk masyarakat keluar-masuk dan membawa

penyakit DBD, curah hujan yang memiliki tingkat sedang, kecepatan

angin memiliki tingkat sedang dan memiliki tingkat kelembapan udara

beserta suhu tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kasus DBD,

hanya Kota Cilegon yang memiliki konsistensi kasus DBD diantara

kabupaten/kota lainnya.

Kota Serang berbatasan dengan Kota Cilegon sehingga terdapat

kesamaan untuk variabilitas iklim dan terdapat perbedaan yang tidak

berbeda jauh pada kepadatan penduduk di tahun 2015 hingga 2019.

Sedangkan, pada Kabupaten Tangerang berada dalam tingkat

kerawanan sedang dikarenakan adanya mobilitas penduduk yang tinggi

dan juga terhadap variabilitas iklim terdapat kesamaan dengan wilayah

kabupaten/kota lainnya.

Secara garis besar, permasalahan yang menyebabkan tingkat

kerawanan kejadian DBD di Kota Cilegon, Kota Serang, Kota

73
Tangerang, Kota Tengerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang lebih

tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten yaitu

kepadatan penduduk. Hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan

kerjasama lintas sektor yaitu BKKBN Provinsi Banten bidang

kependudukan yang dapat melakukan pengendalian pertumbuhan

penduduk dalam Program Bangga Kencana. Akan tetapi, upaya tersebut

tidak dapat maksimal jika tidak disertai upaya pencegahan dan

pengendalian DBD.

Dinas Kesehatan Provinsi Banten dapat melaksanakan

Komunikasi, Informasi, dan Edukasi kepada masyarakat sehingga

program upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD menjadi

efektif. Sementara, variabilitas iklim antar kabupaten/kota cenderung

sama. Oleh karena itu selain upaya pencegahan dan pengendalian DBD

melalui Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), perlu adanya

dilakukan KIE tentang perubahan iklim dan kaitannya dengan kejadian

DBD oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten sehingga masyarakat

Banten memiliki pengetahuan dan dapat menerapkan gaya hidup yang

ramah lingkungan untuk menghindari perubahan iklim yang berdampak

pada kejadian DBD.

5.3 Kajian Keislaman pada Penyakit DBD

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling

sempurna dari sekian banyak makhluk ciptaannya, serta dijadikan khalifah di

muka bumi dan diberi berbagai kenikmatan. Kenikmatan yang paling besar

setelah iman dan islam yaitu kesehatan. Hal tersebut harus disyukuri oleh

74
segenap manusia dalam hidupnya. Upaya islam dalam mencakup kesehatan

itu sendiri terdiri dari 3 jenis kegiatan yaitu memelihara kesehatan, menjaga

diri, dan menghilangkan hal-hal yang menyebabkan penyakit.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sehat baik jasmani

maupun rohani. Oleh karena itu, islam menekankan untuk melaksanakan

upaya memelihara kesehatan hingga mencegah untuk terhindarnya dari

penyakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada penyakit yang timbul

tanpa adanya perantara. Penyakit bisa disebabkan oleh lingkungan maupun

perilaku manusia yang kurang memperhatikan lingkungan. Hal tersebut

dijelaskan dalam Hadist Shahih Muslim Nomor 4120 yaitu:


َ ُّ َ َ َّ َ َ َّ َ َ َ َ َّ
‫و َحدث ِن َع ْبد اّلل ْبن هاشم ْبن َح َّيان َحدثنا َب ْهز َحدثنا َيزيد َوه َو الت ْست ُّي‬

َ ‫اّلل َع َل ْيه َو َس َل َم َل َع ْد َوى َو َل غ‬


‫ول‬
َ َ َ َ
‫ال َرسول اّلل صّل‬ ُّ ‫َح َّد َث َنا َأبو‬
َ ‫الز َب ْت َع ْن َجابر َق َال َق‬

َ َ
‫َول َصف َر‬

Artinya: Dan telah menceritakan kepadaku [Abdullah bin Hasyim bin

Hayyan]; Telah menceritakan kepada kami [Bahza]; telah menceritakan

kepada kami [Yazid] yaitu At Tustari; Telah menceritakan kepada kami [Abu

Az Zubair] dari [Jabir] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian tanpa izin Allah, tidak

ada hantu bergentayangan dan tidak ada shafar (penyakit perut) yang terjadi

dengan sendirinya”[HR. Muslim Nomor 4120].

Hadist tersebut menjelaskan bahwa tidak ada penyakit yang timbul

tanpa adanya perantara, salah satu penyakit yang dimaksud ialah Demam

Berdarah Dengue. Penyakit DBD tidak akan menular apabila tidak terdapat

75
perantara. Perantara yang membuat timbulnya penyakit DBD ialah vektor

nyamuk.

Islam telah mengajarkan bahwa untuk terhindar dari penyakit salah

satunya dengan cara menjaga kebersihan. Hal tersebut dijelaskan dalam H.R

Tirmidzi:

‫ب‬ َّ ‫طيِب ي ِهحب ا‬


َ ‫لط ِي‬ َ َ‫سلَّ َم ا َِّن للا‬ َ ‫صلَّى للاه‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ِ ‫ع ِن النَّبِي‬ َ ‫سعدِب ِن اَبِى َوقَّاص‬
َ ‫عن اَبِي ِه‬ َ ‫عن‬
َ

‫ظافَةَ ك َِريم ي ِهحب الك ََر َم َج َوادي ِهحب ال َج َوادَفَن َِظفهوااَفنَيتَ هكم‬
َ َّ‫ن َِظيف ي ِهحب الن‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan,

bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus

(dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”

[HR. At- Tirmidzi].

Oleh karena itu, agar mencegah kejadian DBD manusia sangat

dianjurkan untuk memelihara kesehatan dan juga lingkungan. Lingkungan

yang kurang dijaga kebersihannya sangat memungkinkan timbulnya penyakit

yaitu salah satunya kejadian DBD. Manusia sangat dianjurkan untuk

memelihara lingkungannya agar terhindar segala penyakit. Oleh karena itu.

Hal tersebut juga dijelaskan dalam QS. Ar-Rum ayat 41 bahwa manusia

dianjurkan untuk memelihara lingkungan yang ada di sekitar, yaitu:

۟ ‫ع ِمله‬
‫وا لَعَلَّ ههم‬ َ ‫ض ٱلَّذِى‬ ِ َّ‫سبَت أَيدِى ٱلن‬
َ ‫اس ِليهذِيقَ ههم بَع‬ َ ‫ساده فِى ٱلبَ ِر َوٱلبَح ِر بِ َما َك‬ َ
َ َ‫ظ َه َر ٱلف‬

َ‫يَر ِجعهون‬

Artinya: “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka

76
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan

yang benar) [QS. Ar-Rum:41]

Kitab tafsir Al-Mukhtashar menjelaskan bahwa terlihatnya kerusakan

di daratan hingga lautan dalam kehidupan manusia dengan timbulnya

berbagai penyakit yang disebabkan oleh kemaksiatan mereka yang telah

dilakukan. Hal tersebut timbul agar Allah SWT memberikan balasan dari

perbuatan mereka di dunia dengan tujuan agar mereka kembali ke pada jalan-

Nya yang benar.

Adapun anjuran untuk memelihara lingkungan agar terhindar dari

penyakit yang timbul seperti penyakit DBD, salah satu caranya seperti

membersihkan lingkungan sekitar rumah, membuang barang-barang bekas,

dan juga menghilangkan genangan air yang berpotensi adanya jentik-jentik

saat iklim mendukung untuk nyamuk berkembangbiak. Cara pencegahan

tersebut dapat dilakukan dengan melakukan seperti melakukan Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN) dan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

77
6 BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Kesimpulan pada kajian ini, yaitu:

1. Kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memiliki IR DBD tertinggi

pada periode 2015-2019 yaitu Kota Cilegon (IR 144,41 per 100.000

penduduk) dan IR DBD terendah yaitu Kabupaten Lebak (IR 1,16 per

100.000 penduduk).

2. Kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memiliki tingkat kepadatan

penduduk tinggi pada periode 2015-2019 yaitu Kota Tangerang dan

Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, tingkat kepadatan penduduk

rendah yaitu Kota Lebak.

3. Variabilitas iklim di Provinsi Banten berdasarkan stasiun pengamatan

memiliki nilai yang sama karena adanya persamaan karakteristik dalam

suhu, kelembapan udara, dan kecepatan angin. Sedangkan curah hujan

memiliki perbedaan nilai antar titik stasiun pengamatan.

4. Kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memiliki konsistensi tingkat

kerawanan sedang pada periode 2015-2019 yaitu Kota Cilegon, Kota

Serang, dan Kabupaten Tangerang. Sedangkan, tingkat kerawanan

tinggi yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

6.2 Saran

6.2.1 Saran untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten

1. Meningkatkan kualitas program surveilans dan manajemen data

surveilans untuk kelengkapan data laporan kasus kejadian DBD di

78
Provinsi Banten dengan memantau kejadian DBD di setiap Dinas

Kesehatan kabupaten/kota.

2. Meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD

dengan pengadaan kerja sama lintas sektor serta bekerjasama

dengan program kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan program

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Pola Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) di Provinsi Banten dengan melakukan edukasi

berupa sosialisasi.

6.2.2 Saran untuk Masyarakat

1. Berpartisipasi aktif dalam program PSN dan PHBS di lingkungan

rumah masing-masing.

2. Mendorong, mengusulkan, dan mengikuti kegiatan gotong royong

yang telah dilaksanakan, baik tingkat Rukun Tetangga (RT)

maupun Rukun Warga (RW).

3. Aktif menyampaikan kritik dan saran dalam kegiatan musyawarah

masyarakat dalam hal upaya pencegahan DBD.

4. Saling mengingatkan untuk selalu menjaga kebersihan dan

melaporkan kejadian DBD yang terjadi di pemukiman.

6.2.3 Saran untuk Peneliti Selanjutnya

1. Melakukan penelitian dalam ruang lingkup lebih kecil seperti

kabupaten/kota tertentu sehingga dapat mengetahui kondisi lebih

spesifik dalam melaksanakan penelitian tentang DBD.

79
2. Menggunakan analisis regresi spasial untuk mengetahui keterkaitan

antar faktor risiko.

3. Melakukan penelitian tentang DBD dengan melakukan

pengumpulan data periode lebih dari 5 tahun agar dapat

mengetahui pola penyakit DBD berdasarkan variabilitas iklim.

4. Menambahkan variabel faktor risiko penyakit DBD lainnya yang


dapat memengaruhi kejadian DBD secara spasial.

80
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, F. A. (2010). Analisis Spasial Penyakit Tuberkulosis Paru BTA Positif

di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009 (Universitas

Indonesia). Universitas Indonesia, Depok. Diambil dari

https://library.ui.ac.id/detail.jsp?id=20253016

Achmadi, U. F. (2009). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional, 3(4).

Amalia, R. (2016). Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Tangserang Selatan.

Apriyandika, D., Yulianto, F. A., & Feriandi, Y. (2015). Hubungan Kepadatan

Penduduk dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung

Tahun 2013. Prosiding Pendidikan Dokter, 1(2).

Asep, S. (2014). Demam Berdarah Dengue (DBD). Medula, 2(2), 1–15.

Badan Standardisasi Nasional. (2004). Tata Cara Perencanaan Lingkungan

Perumahan di Perkotaan.

B.Halstead, S. (2008). Dengue (Vol. 5). Imperial College Press.

BKKBN Provinsi Banten. (2020). Rencana Strategi Perwakilan BKKBN Provinsi

Banten 2020-2024. Serang: BKKBN Provinsi Banten.

BMKG. (2021). Peringatan Dini Demam Berdarah Dengue di DKI Jakarta.

Diambil dari http://dbd.bmkg.go.id/

BPS. (2019). Provinsi Banten Dalam Angka 2019. Banten: Badan Pusat Statistik

Provinsi Banten.

81
Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidmiologi, Patogenesis, dan

Faktor Risiko Penularan. Aspirator, 2(2), 110–119.

CDC. (2020). Symptoms and Treatment. Diambil dari Dengue website:

https://www.cdc.gov/dengue/symptoms/index.html

Chandra, E. (2019). Pengaruh Faktor Iklim, Kepadatan Penduduk, dan Angka

Bebas Jentik (ABJ) Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)

di Kota Jambi. Jurnal Pembangunan Berkelanjutan, 1(1), 2622–2302.

Daswito, R., Lazuardi, L., & Nirwati, H. (2019a). Analisis Hubungan Variabel

Cuaca dengan Kejadian DBD di Kota Yogyakarta. Jurnal Kesehatan

Terpadu, 10(1), 1–7. https://doi.org/10.32695/jkt.v10i1.24

Dinas Kesehatan. (2019). Profil Dinas Kesehatan Kota Cilegon Tahun 2019.

Cilegon: Dinas Kesehatan Kota Cilegon. Diambil dari Dinas Kesehatan

Kota Cilegon website:

https://www.mediafire.com/file/wffrkov1anvr2c2/PROFIL_2019.pdf/file

Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2019). Profil Kesehatan Provinsi Banten

Tahun 2019. Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Diambil dari

Dinas Kesehatan Provinsi Banten website:

https://dinkes.bantenprov.go.id/upload/article_doc/Profil_Kesehatan_Provi

nsi_Banten_2019.rar

Elliott, P., & Wartenberg, D. (2004). Spatial Epidemiology: Current Approaches

and Future Challenges. Enviromental Health Perspectives, 112(0), 998–

1006.

Ernyasih, Zulfa, R., Andriyani, & Fauziah, M. (2020a). Analisis Spasial Kejadian

Demam Berdarah Dengue di Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2019.

82
An-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat,

01(01), 74–98.

Fitriana, B. R., & Yudhastuti, R. (2018). Hubungan Faktor Suhu dengan Kasus

Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Sawahan Surabaya. The

Indonesian Journal of Public Health, 13(1), 83–94.

Frida N. (2008). Mengenal Demam Berdarah Dengue1. Semarang: ALPRIN.

Giarno, Dupe, Z. L., & Mustofa, M. A. (2012). Kajian Awal Musim Hujan dan

Awal Musim Kemarau di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,

13(1), 1–8.

Haining, R. (2004). Spatial Data Analysis Theory and Practice (1 ed.). United

Kingdom: Cambridge University Press.

Hasyim, D. M. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD).

Jurnal Kesehatan, 4(2), 364–370.

Iriani, Y. (2012). Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam

Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Sari Pediatriq, 13(6).

Irwan. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular (1 ed.). Yogyakarta: Absolute

Media.

Irwansyah, E. (2013). Sistem Informasi Geografis: Prinsip Dasar dan

Pengembangan Aplikasi (1 ed.). Yogyakarta: Digibooks.

Jacob, A., Pijoh, V. D., & Wahongan, G. J. P. (2014). Ketahanan Hidup dan

Pertumbuhan Nyamuk Aedes sp Pada berbagai Jenis Air Perindukan.

Jurnal e-Biomedik, 2(3).

Kemenkes RI. (2010a). Buletin Jendela Epidemiologi. 2.

83
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Demam Berdarah Dengue (DBD). Diambil

dari Demam Berdarah Dengue (DBD) website:

https://promkes.kemkes.go.id/?p=7443

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019.

Indonesia: Kementerian Kesehatan RI.

Komaling, D., Sumampouw, O. J., & Sondakh, R. C. (2020). Determinan

Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Minahasa Selatan Tahun

2016-2018. Indonesian Journal of Public Health and Community

Medicine, 1(1).

Kunoli, F. J. (2013). Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. DKI Jakarta:

Trans Info Media.

Kusuma, A. P., & Sukendra, D. M. (2016a). Analisis Spasial Kejadian Demam

Berdarah Dengue Berdasarkan Kepadatan Penduduk. Unnes Journal of

Public Health, 5(1).

Lahdji, A., & Putra, B. B. (2017). Hubungan Curah Hujan, Suhu, Kelembaban

dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Semarang. Syifa’

Medika, 8(1).

Lu, L., Lin, H., Tian, L., Yang, W., Sun, J., & Liu, Q. (2009a). Time Series

Analysis of Dengue Fever and Weather in Guangzhou, China. BMC Public

Health, 9(395).

Marjuki, B. (2014). Sistem Informasi Geografi Menggunakan Quantum GIS 2.0.1

Durfour. Indonesia.

84
Masrizal, & Sari, N. P. (2016). Analisis Kasis DBD Berdasarkan Unsur Iklim dan

Kepadatan Penduduk Melalui Pendekatan GIS di Tanah Datar. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(2), 166–171.

Nabilah, F., Prasetya, Y., & Sukmono, A. (2017). Analisis Pengaruh Fenomena El

Nino dan La Nina Terhadap Curah Hujan Tahun 1998-2016 Menggunakan

Indikator ONI (Oceanic Nino Index). Jurnal Geodesi Undip, 6(4).

PAEI. (2016). Epidemiologi Deskriptif. Diambil dari Epidemiologi Deskriptif

website: https://www.paei.or.id/epidemiologi-deskriptif/

Paramita, R. M., & Mukono, J. (2017). Hubungan Kelembaban Udara dan Curah

Hujan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Gubung

Anyar 2010-2016. The Indonesian Journal of Public Health, 12(2), 202–

212.

Pascawati, N. A., Satoto, T. B. T., Wibawa, T., Frutos, R., & Maguin, S. (2019).

Dampak Potensial Perubahan Iklim Terhadap Dinamuka Penularan

Penyakit DBD di Kota Mataram. BALABA, 15(1), 49–60.

Pemerintah Kabupaten Lebak. (2021). Profil Kabupaten Lebak. Diambil dari

Profil Kabupaten Lebak website: https://lebakkab.go.id/profil-kabupaten-

lebak/

Permatasari, D. Y., Ramaningrum, G., & Novitasari, A. (2015). Hubungan Status

Gizi, Umur, dan Jenis Kelamin, dengan Derajat Infeksi Dengue pada

Anak. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, 2(1).

Pertiwi, P. I., & Anwar, C. (2018). Gambaran Epidemiologi Kejadian Penyakit

Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Buah Batu Kota Bandung Tahun

2012-2016. Keslingmas, 37(3), 240–404.

85
Prasetiyo, B., Irwandi, H., & Pusparini, N. (2018). Karakteristik Curah Hujan

Berdasarkan Ragam Topografi di Sumatera Utara. Jurnal Sains dan

Teknologi Modifikasi Cuaca, 19(1), 11–20.

Presiden RI. Instruksi Presiden Nomor 13. , Pub. L. No. 13 (1976).

Rajab, W. (2009). Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta:

Buku Kedokteran EGC.

Ridha, M. R., Indriyati, L., Tomia, A., & Juhairiyah. (2019a). Pengaruh Iklim

Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Ternate.

SPIRAKEL, 11(2), 53–62.

Safitri, W. R. (2016). Analisis Korelasi Pearson dalam Menentukan Hubungan

Antara Kejadian Demam Berdarah Dengue dengan Kepadatan Penduduk

di Kota Surabaya pada tahun 2012-2014. Jurnal Ilmu Keperawatan, 2(2),

21–29.

Sardjana, & Nisa, H. (2007). Epidemiologi Penyakit Menular (1 ed.). Tangerang

Selatan: UIN Jakarta Press.

Sari, V., & Maulidany, D. A. (2020). Prediksi Kecepatan Angin Dalam

Mendeteksi Gelombang Air Laut Terhadap Skala Beaufort Dengan

Metode Hybrid Arima-Ann. Statistika, 8(1).

Sunaryo. (2015). Analisis Spasial untuk Penyakit Berbasis Linkungan.

Tamengkel, H. V., Sumampouw, O. J., & Pinontoan, O. R. (2020). Ketinggian

Tempat dan Kejadian Demam Berdarah Dengue. Indonesian Journal of

Public Health and Community Medicine, 1(1).

Tricahyono, & Dahlia, S. (2017). Buku Ajar Sistem Informasi Geografis Dasar.

Jakarta: FKIP UHAMKA.

86
Tumey, A., Kaunang, W. P. J., & Asfiruddin, A. (2020). Hubungan Variabilitas

Iklim Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kabupaten

Kepulauan Talaud Tahun 2018-Juni 2020. Jurnal KESMAS, 9(7), 16–27.

Umaya, R., Faisya, A. F., & Sunarsih, E. (2013). Hubungan Karakteristik Pejamu,

Lingkungan Fisik, dan Pelayanan Kesehatan dengan Kejadian Demam

Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Talang Ubi

Pendopo Tahun 2012. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 4(3).

WHO (Ed.). (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of

dengue and dengue haemorrhagic fever (Rev. and expanded. ed). New

Delhi, India: World Health Organization Regional Office for South-East

Asia.

WHO. (2020). Dengue and Severe Dengue. Diambil dari Dengue and severe

dengue website: https://www.who.int/news-room/fact-

sheets/detail/dengue-and-severe-dengue

Winarsih, S. (2019). Seri Sains Iklim (1 ed.). Semarang: ALPRIN.

Wirayoga, M. A. (2013a). Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue dengan

Iklim di Kota Semarang Tahun 2003-2011. Unnes Journal of Public

Health, 2(4).

Wurisastuti, T., Sitorus, H., & Surakhmi Oktavia. (2017). Hubungan Perilaku

Masyarakat Dengan Kasus Demam Berdarah di Kota Palembang Sumatera

Selatan. SPIRAKEL, 9(1), 34–40.

Zubaidah, T., Ratodi, M., & Marlinae, L. (2016). Pemanfaatan Informasi Iklim

Sebagai Sinyal Peringatan Dini Kasus DBD di Banjarbaru, Kalimantan

Selatan. Vektora, 8(2), 99–106.

87

Anda mungkin juga menyukai