Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

STRATEGI PELAYANAN BK RESPONSIF GENDER:


TUJUAN, HUBUNGAN KONSELI-KONSELOR,
SERTA MEDIA, INSTRUMEN, DAN FASILITAS

(Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah


BK Gender)

OLEH:

NUGRAH PRATAMA (1844040005)


A. MUHAMMAD FADHIL G. (1844041020)
ST. NURAMALIYA (1844042030)
UMMU KALSUM HASRI (1844042039)

KELOMPOK 7
KELAS BK B-18

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami berdoa kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan
rahmat, taufik, karunia serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Strategi Pelayanan BK Responsif Gender: Tujuan, Hubungan
Konseli-Konselor, serta Media, Instrumen, dan Fasilitas” ini dengan baik dan tepat
waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai tujuan pelayanan BK responsif gender,
hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif gender, serta media,
instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK responsif gender.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Makassar, 29 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
A. Tujuan Pelayanan BK Responsif Gender ...................................... 3
B. Hubungan Konseli-Konselor dalam Pelayanan BK Responsif
Gender ............................................................................................ 4
C. Media, Instrumen, dan Fasilitas dalam Pelayanan BK Responsif
Gender ............................................................................................ 7
BAB III PENUTUP............................................................................................. 14
A. Simpulan ........................................................................................ 14
B. Saran .............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya
bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan
laki-laki. Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
dalam konteks sosial pada dasarnya tidak dipermasalahkan, namun ketika dicermati
lebih dalam dapat menjadi penyebab munculnya ketidaksetaraan gender, yakni
salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah
ketidakadilan.
Dalam bidang pendidikan khususnya konseling sering kita jumpai adanya
bias gender dalam pelaksanaan bimbingan maupun konseling. Bias gender adalah
keadaan yang menunjukkan sikap berpihak lebih pada laki-laki dari pada wanita
sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan gender.
Dalam segi perundang-undangan UUD 1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan,
termasuk pembangunan di bidang pendidikan Sedangkan pada Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal yang
mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk
memperoleh pendidikan, dalam pasal 48: “wanita berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan”. Namun pelaksanaan pembangunan nasional
khususnya di bidang pendidikan selama ini masih terdapat kesenjangan partisipasi
antara perempuan dan laki-laki.
Dalam lingkup bimbingan dan konseling, hubungan timbal balik antara
konselor dan konseli sering terjadi dalam proses konseling. Khususnya pada
hubungan laki-laki dan perempuan. Menurut Natawidjaja (1987), konseling adalah
sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang (konselor)
berusaha membantu yang lain (konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya

1
2

sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi pada waktu yang
akan datang. Sehingga dalam konseling dibutuhkan kesadaran yang lebih antara
konseli dan konseli.
Dalam proses konseling sering kita ketahui adanya bias gender dalam
pelaksanaannya. Contohnya, konselor laki-laki yang lebih dominan kepada konseli
perempuan, dan sebaliknya. Adapula konseli yang lebih dominan kepada konselor
perempuan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksetaraan antara
perempuan dan laki-laki. Dalam bidang bimbingan dan konseling, bias gender
antara konselor dan konseli masih sering dijumpai sehingga terjadi permasalahan
dalam proses konseling. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pelayanan
bimbingan dan konseling yang responsif gender.
Untuk itu, memandang pentingnya pengetahuan tentang strategi pelayanan
BK responsif gender agar tidak terjadi lagi bias gender antara konselor dan konseli,
maka kami perlu membahasnya lebih rinci dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja tujuan pelayanan BK responsif gender?
2. Bagaimana hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif gender?
3. Apa saja media, instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK responsif gender?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tujuan pelayanan BK responsif gender.
2. Untuk mengetahui hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif
gender.
3. Untuk mengetahui media, instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK
responsif gender.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tujuan Pelayanan BK Responsif Gender


Adanya stereotipe terhadap perbedaan gender dan peran dari gender itu
sendiri mengakibatkan ketidakadilan gender yang sampai saat ini masih kita
rasakan. Maka dalam mengantisipasi keberlangsungan stereotipe negatif yang
dibangun dalam memposisikan gender selama ini, mulai dari sekarang harus sudah
dibenahi pola pikirnya agar tidak ada lagi hak asasi manusia yang terdeskriminasi.
Lebih urgent lagi bagi konselor yang tugasnya sebagai penyelamatan terhadap
problematika kehidupan manusia sudah sepantasnya pelayanan konseling yang
dijalankan sudah tidak lagi bercermin pada stereotipe negatif terhadap perbedaan
gender itu.
Adanya ketidakseimbangan peran dan fungsi gender antara laki-laki dan
perempuan, kemudian melahirkan tetapi konseling feminis. Terapi konseling
feminis berkembang dari teori-teori feminisme yang berakar dari gerakan
feminisme. Gerakan feminisme mendasari upaya mengeliminasi bias dan
stereotype gender. Tetapi konseling feminis pun dianggap bias gender karena
sasarannya hanya berfokus pada pemecahan masalah perempuan sehingga tidak
bisa diterapkan dalam mengkonseling laki-laki (Good dkk., dalam Hotifah &
Abidin, 2006).
Karena itu para teoretisi dan praktisi bimbingan dan konseling
mengembangkan sebuah strategi pelayanan bimbingan konseling yang responsif
terdahap gender yaitu gender aware counselling (GAC). Gender aware counselling
berkembang secara evolusi sebagai respon terhadap adanya bias-bias gender dalam
pelaksanaan konseling konvensional. Gender aware counseling adalah inovasi
terapi dengan pemahaman gender sebagai bentuk perubahan paradigma dari proses
konseling berorientasi person ke arah orientasi sosial-person. Gender aware
counseling muncul sebagai usaha memfasilitasi individu secara non-sexist
dibandingkan dengan terapi feminis yag hanya memfasilitasi individu perempuan
dan bias pada individu laki-laki (Zulfa, 2017).

3
4

Gender aware counselling merupakan layanan konseling yang


mengintegrasikan pendekatan konseling berlatar teori belajar sosial dengan prinsip-
prinsip dasar gender. Konseling ini dibangun atas dasar filosofi intersubyektivitas,
yakni hubungan laki-laki dan perempuan (relasi gender) adalah hubungan setara.
Relasi yang berdasar pada pandangan bahwa “aku” dan “kau” adalah hubungan
antar manusia. Artinya “aku” dan “kau” sama-sama manusia meskipun “aku” dan
“kau” beda dalam fisik tetapi dalam kehidupan sosial jangan dibedakan (Hotifah &
Abidin, 2006).
Tujuan pelayanan bimbingan konseling responsif gender dengan
menggunakan gender aware counselling ini adalah memberikan bantuan kepada
konseli (laki-laki dan perempuan) untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan
gender, memperluas wawasan tentang peran gender, dan membantu meningkatkan
keterampilan mengatasi hambatan pengembangan karier dalam latar relasi gender
(Good dkk., dalam Hotifah & Abidin, 2006).
Gender aware counselling mengatur langkah-langkah konseling dalam
mengatasi masalah yang terkait dengan gender. Strategi awal dalam gender aware
counselling adalah membangun pemahaman gender dan intervensi konseling yang
bertujuan membantu individu untuk berubah sesuai dengan konteks sosial. Untuk
mengatasi problematika individu yang sensitif gender maka gender aware
counselling direkomendasikan dipakai untuk memberikan treatmen.

B. Hubungan Konseli-Konselor dalam Pelayanan BK Responsif Gender


Gender aware counselling mengintegrasikan prinsip-prinsip terapi feminis
dengan pemahaman tentang gender untuk melakukan intervensi pada konteks
sosial, terlibat aktif dalam perubahan dan difokuskan pada kerjasama antara
konselor dengan konseli.
Berikut prinsip gender aware counselling:
1. Mengintegrasi konsep gender dalam aspek konseling.
2. Mempertimbangkan problem individu disesuaikan dengan konteks sosial.
3. Aktif membantu untuk mengubah pengalaman individu atas ketimpangan
gender yang dialami.
5

4. Menekankan kerjasama dalam konseling.


5. Menghormati individu dalam membuat pilihan.
Prinsip gender aware counselling berkaitan erat dengan konselor dan proses
konseling dengan memfokuskan pada keadaan sosial, kebiasaan dan struktur
pengembangan individu pada keseluruhan tahap konseling. Jika pada pendekatan
konseling lain melakukan eksplorasi secara mendalam tentang problem dan
kesulitan individu sebagai komponen penting maka gender aware counselling dapat
melakukan eksplorasi jika keadaannya memungkinkan. Problem yang
direkomendasi diselesaikan dengan teknik gender aware counselling berkaitan
dengan jenis kelamin dan keluarga (laki-laki, perempuan, pasangan dan keluarga).
Berikut tahap-tahap dalam gender aware counselling menurut Good dkk.
(Zulfa, 2017):

1. Konseptualisasi Problem
Asesmen awal pada pada konseling, proses konseptualisasi sebagai upaya
untuk memahami persepsi individu tentang masalahnya. Konselor
menggunakan gender aware counselling untuk membantu konseli memahami
peran sosial gender yang selama ini dimainkan oleh individu. Konseptualisasi
problem difokuskan pada persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi
terutama berkaitan dengan peran-peran gender yang selama ini diyakini oleh
individu. Pada tahap konseptualisasi masalah, konselor akan memiliki informasi
awal tentang individu khususnya problem berbasis gender.

2. Intervensi Konseling
Rentang intervensi pada gender aware counselling meliputi diskusi
langsung, memberikan motivasi, memberi klarifikasi, melakukan interpretasi,
konfrontasi, memberi informasi, eksperimentasi, modeling, terbuka, bibliotherapy
dan dukungan dari kelompok. Konselor membantu menginternalisasi pemahaman
dan pandangan tentang stereotype gender dalam pandangan laki-laki dan
perempuan. Pengetahuan, pemahaman dan perspektif baru individu tentang gender
akan bermanfaat untuk memberi peluang melatih keterampilan dan sikap dalam
kehidupannya. Setelah individu memiliki pengetahuan, pemahaman dan pandangan
6

baru tentang konsep gender melalui diskusi maka individu didorong untuk
melakukan eksplorasi, bagaimana implikasi perubahan untuk mencegah problem
sosial terkait dengan gender.

3. Terminasi
Konselor bertanggung jawab mengenali perubahan konsep gender
tradisional individu dan membantu untuk belajar dari proses terbangunnya
pengetahuan, pemahaman dan pandaingan baru tentang konsep gender. Proses
terminasi sebagai upaya untuk belajar memahami perasaan, efikasi diri, percaya diri
dan mengarahkan diri.

Sebagai seorang konselor harus mampu menerima konseli dengan lapang


dada dan terbuka, tidak mendriskriminasi dan menolak konseli yang datang dan
mengantisipasi keberlangsungan stereotipe negatif yang dibangun dalam
memposisikan gender selama ini, dan dengan dibenahi pola pikirnya agar tidak ada
lagi hak asasi manusia yang terdeskriminasi. Dalam penerapan proses konseling
harus ditandai dengan adanya kerjasama antara konselor dan konseli, karena
keberhasilan proses konseling adalah komunikasi antar konselor dan konseli.
Dalam pelaksanaan konseling, konselor bisa menggunakan gender aware
counselling. Petunjuk efektif untuk melakukan konseling berbasis gender yaitu
sebagai berikut:
1. Konselor harus memahami isu gender.
2. Sikap konselor harus mendorong terhadap proses sosialisasi kesetaraan gender.
Sensitivitas gender dalam konseling tidak hanya ditunjukkan dengan sikap
empatik dan fleksibilitas konselor tetapi membantu konseli untuk membangun
konsep tentang ekosistem gender, dan proses sosialisasi gender.
Selain dengan gender aware counselling, strategi pelayanan bimbingan
konseling responsif gender dapat pula berupa bimbingan karir yang responsif
gender. Dalam upaya mencapai kesuksesan karir yang bebas dari bias gender tentu
perlu adanya bantuan yang diberikan kepada siswa. Guru BK sangat berperan
dalam membantu siswa menentukan dan mencapai cita-cita karir yang sesuai
melalui bimbingan karir. Dapat dipahami bahwa bimbingan karir merupakan suatu
7

proses bantuan yang diberikan kepada individu melalui berbagai bentuk layanan
agar individu mampu menunjukkan hubungan antara hasil-hasil belajar, nilai-nilai
aspirasi pendidikan dan kariernya, mampu memahami diri (bakat, minat dan
kemampuan), mampu merencanakan karirnya, mengenal dan memahami dunia
kerja, mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan mampu
mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya sehingga ia memperoleh
perwujudan diri yang bermakna dalam rentang kehidupannya, dan tentunya semua
kegiatan tersebut dapat dilakukan di sekolah dan khususnya diupayakan oleh guru
BK melalui berbagai layanan (Chandra dkk., 2017).
Upaya pengentasan permasalahan terkait stereotype gender dapat
dilaksanakan melalui berbagai layanan yang ada. Dalam pelaksanaannya konselor
harus tidak berpihak pada salah satu jenis kelamin, dan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan untuk membantu konseli perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan yang bebas dari budaya tertekan (oppressive) dan pribadi yang bebas
dari informasi yang bias gender atau stereotype gender. Hal ini dikemukakan karena
klien yang ditangani konselor yang memahami kesetaraan gender lebih
memperoleh rasa aman dalam proses konseling daripada klien yang ditangani
konselor yang diskriminatif gender (Mintz & O’Neil, dalam Chandra dkk., 2017).
Konselor sekolah dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling perlu
menyeimbangkan antara penyampaian pesan, sikap, dan harapan peran gender, dan
lebih menyosialisasikan pengambilan keputusan karier berdasar potensi diri dan
peluang kerja yang dihadapi daripada pengambilan keputusan karier semata-mata
berdasar keadaan diri selaku perempuan atau laki-laki (Chandra dkk., 2017).

C. Media, Instrumen, dan Fasilitas dalam Pelayanan BK Responsif Gender


1. Media dalam Pelayanan BK Responsif Gender
Konselor seringkali kesulitan dalam mentransfer pesan yang diberikan
kepada siswa melalui layanan bimbingan. Hal tersebut terlihat ketika konselor
memberikan bimbingan dan terlihat antusiasme siswa yang rendah dalam mengikuti
bimbingan. Jadi, berdasarkan uraian tersebut, maka salah satu komponen yang
mampu memudahkan konselor dalam melakukan bimbingan kepada siswa yaitu
8

dengan menggunakan media. Media memberikan kemudahan dalam ketercapaian


pelaksanaan pemberian layanan oleh konselor.
Media pembelajaran juga harus menjadi hal yang diperhatikan oleh guru
BK. Menurut Khotimah (Youarti dkk., 2019), jika ingin siswa memiliki kesadaran
gender, maka bahan ajar serta media yang digunakan oleh guru juga harus sarat
akan nilai-nilai gender itu sendiri. Guru Bimbingan dan Konseling juga dapat
melakukan berbagai macam inovasi yang sekiranya menjadikan proses
pembelajaran tentang kesadaran gender dapat direspon dengan baik oleh siswa
sebagai konten yang menarik.
Gagne (Sadiman dkk., 2002) menyatakan bahwa media adalah berbagai
jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.
Kemudian Briggs (Sadiman dkk., 2002) menyatakan bahwa media adalah segala
alat fisik yang dapat menyajikan peran serta merangsang siswa untuk belajar. Dari
pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa media adalah alat yang dapat
menyalurkan sebuah pesan kepada seseorang yang membutuhkan pesan tersebut,
dalam hal ini adalah siswa. Media yang menarik akan menumbuhkan minat dan
motivasi bagi siswa untuk belajar mengenai hal-hal yang penting dalam mencapai
perkembangannya.
Nurviyanti (2016) menyatakan bahwa ada beberapa jenis media dalam
program BK yaitu 1. media untuk menyampaikan informasi, 2. media sebagai alat
(pengumpul data dan penyimpan data), 3. media sebagai alat bantu dalam
memberikan group information, 4. media sebagai biblioterapi, dan 5. media sebagai
alat menyampaikan laporan.
Berikut beberapa contoh media diantaranya adalah:
a. Media untuk menyampaikan informasi; contohnya, selebaran perangkat,
booklet, dan papan bimbingan.
b. Media sebagai alat pengumpul data seperti: angket, pedoman wawancara,
dan lembar observasi. Sedangkan jika media sebagai alat penyimpan data
seperti: kartu pribadi, buku pribadi, map, lemari, dll.
c. Media sebagai alat bantu dalam memberikan group information seperti
melalui: media visual, media auditif, dan media audio visual.
9

d. Media sebagai biblioterapi seperti: buku-buku, majalah, dan komik.


e. Media sebagai alat menyampaikan laporan; berupa laporan kegiatan BK.
Arofah (2016) mengungkapkan salah satu media yang dapat digunakan
konselor dalam memberikan layanan informasi melalui penyadaran gender adalah
komik. Komik yang digunakan sebagai media informasi dibuat dengan berbagai
gambar dan cerita yang sederhana, tentunya dengan menggunakan Bahasa yang
mudah dipahami siswa, dan yang membuat siswa lebih senang membacanya.
Dengan digunakannya komik sebagai media dalam pelayanan bimbingan untuk
memberikan pengetahuan terkait gender kepada siswa, komik mampu membuat
suasana bimbingan menjadi lebih menyenangkan dan efektif.
Isi dari sebuah media juga memuat tentang informasi pembagian tugas dan
peran antara laki-laki dan perempuan, dan dengan mudah dipahami oleh siswa
tentang penyadaran gender. Selain itu Arofah (2016) mengatakan isi komik
penyadaran gender juga merujuk Al-Qur’an Surat An-Nisa: 34 yang mana pada
surat tersebut terdapat penjelasan mengenai pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Dengan media komik siswa akan lebih mudah dalam menerima pesan dan
informasi di dalamnya. Komik juga banyak digremari oleh remaja maupun orang
dewasa, sehingga apabila disisipi sebuah pesan atau nilai edukatif yang ringan,
mudah dipahami, serta dengan didukung tampilan secara maksimal akan lebih
mudah menjangkau semua kalangan untuk membacanya. Hal tersebut sejalan
dengan ungkapan Sudjana dan Rivai (Arofah, 2016), bahwa komik memiliki nilai
edukatif yang tidak diragukan, pemakaian yang luas dengan ilustrasi yang
berwarna, alur cerita ringkas, dengan perwatakan orang yang realistis menarik
semua anak dari berbagai tingkat usia, sehingga melalui media komik siswa akan
lebih terpacu dalam belajar.
Contoh media lainnya yang bisa digunakan dalam penyampaian informasi
tentang penyadaran gender kepada siswa yaitu papan bimbingan. Dengan
menggunakan papan bimbingan ini, guru BK bisa menyampaian informasi dengan
memasang hal-hal yang berkaitan dengan penyadaran gender dan pemberian
informasi antara peran laki-laki dan peran perempuan.
10

2. Instrumen dalam Pelayanan BK Responsif Gender


Pemberian pelayanan akan lebih efektif jika didasarkan pada data yang
akurat. Oleh karena itu, agar mamu memberikan layanan yang lebih efektif maka
diperlukan yang namanya instrumen. Instrumen merupakan suatu alat yang berguna
untuk mengumpulkan data.
Dalam pelayanan BK responsif gender, instrumen ini berguna untuk
mengumpulkan data terkait dengan kebutuhan antara siswa laki-laki dan
perempuan. Dengan memperhatikan kebutuhan antara siswa laki-laki dan
perempuan, maka guru bimbingan dan konseling dapat melaksanakan pelayanan
BK responsive gender sesuai dengan kebutuhan siswa.
Menurut Nurviyanti (2016), data yang diperlukan dalam penyelenggaraan
bimbingan dan konseling terbagi menjadi 4 bagian yaitu, data pribadi, data
kelompok, data umum (tentang lingkungan), dan data khusus (keterangan
intelegensi, bakat, kebiasaan belajar, minat, dan hubungan social). Terkait dengan
metode yang digunakan untuk pengumpulan data untuk bimbingan dan konseling,
dapat mengumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi kasus. Setelah
dilakukannya pengumpulan data, maka dapat diketahui apa kebutuhan siswa.
Adapun instrumen yang dapat digunakan dalam pelayanan BK responsif
gender antara lain: need assesmen konseling, assesmen psikologi teknik tes, dan
assesmen psikologi teknik non tes.

a. Assesmen Psikologi Teknik Tes


Assesmen psikologi Teknik tes ialah usaha untuk memperoleh dasar-
dasar pertimbangan berkenaan dengan berbagai masalah pada individu yang di
tes, seperti masalah penyesuaian dengan lingkungan, masalah prestasi atau hasil
belajar, masalah penempatan dan penyaluran (Nursalim, 2020). Menurut
Siregar (2016), adapun jenis-jenis dari assesmen psikologi teknik tes yaitu
sebagai berikut:
1) Tes intelegensi/prestasi. Tes intelegensi adalah ukuran tingkat perolehan
atau pembelajaran seseorang dalam suatu subjek atau tugas.
11

2) Tes bakat. Tes bakat didefinisikan sebagai sifat yang mencirikan


kemampuan individu melakukan performa diwilayah tertentu atau
mencapai pembelajaran yang dibutuhkan bagi performa diwilayah tertentu.
3) Tes minat. Tes minat merupakan tes yang mengukur kegiatan/kesibukan
yang paling disukai konseli.
4) Tes kepribadian. Tes kepribadian adalah instrument untuk mengukur
karakteristik emosi, motivasi, hubungan antar pribadi, dan sikap.

b. Assesmen Psikologi Teknik Non Tes


Assesmen teknik non tes paling banyak digunakan konselor atau guru
BK. Menurut Widoyoko (2009), assesmen psikologis teknik non tes adalah
penilaian dengan tidak menggunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya untuk
menilai kepribadian anak secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat,
sikap sosial dan lain-lain. Menurut Siregar (2016), adapun jenis-jenis assesmen
psikologi teknik non tes yaitu sebagai berikut:
1) Daftar cek masalah (DCM). Daftar cek masalah (DCM) merupakan daftar
cek yang khusus dirancang untuk merangsang atau memancing pengutaraan
masalah-masalah atau problem-problem yang pernah dialami seorang
individu.
2) Alat ungkap masalah umum (AUM-U). AUM umum merupakan alat yang
digunakan konselor untuk mengungkap masalah-masalah umum yang
dialami oleh konseli.
3) Alat ungkap masalah belajar (AUM PTSDL). AUM PTSDL sebagai alat
ungkap masalah sederhana dan mudah digunakan untuk
mengkomunikasikan mutu dan masalah konseli kepada personil yang
membantu (Konselor).
4) Wawancara (interview). Wawancara merupakan suatu teknik memahami
individu dengan cara melakukan komunikasi langsung (face to face) untuk
memperoleh keterangan atau informasi tentang individu.
5) Sosiometri. Sosiometri merupakan suatu metode atau teknik untuk
memahami individu terutama untuk memperoleh data tentang jaringan
12

hubungan social antar individu dalam suatu kelompok, berdasarkan


preferensi pribadi antara anggota-anggota kelompok.
6) Observasi. Observasi merupakan kegiatan pengamatan (secara indrawi)
yang direncanakan, sistematis, dan hasilnya dicatat serta dimaknai
(diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh pemahaman tentang subjek
yang diamati.
7) Angket (kuesioner). Angket merupakan salah satu alat pengumpul data yang
berupa serangkaian pertanyaan atau pernyataan yang diajukan pada
responden.
8) Inventori tugas perkembangan (ITP). Inventori tugas perkembangan
merupakan instrument yang digunakan untuk memahami tingkat
perkembangan individu.
Dengan menggunakan instrumen yang ada, maka konselor bisa
mengetahui apa yang dibutuhkan oleh siswa/konseli terkait dengan pemahaman
gender serta guru BK dapat melaksanakan pelayanan BK yang responsif gender.
Misalnya dengan menggunakan need assesmen/analisis kebutuhan diawal
semester, guru BK dapat melihat bagaimana kebutuhan siswa terkait dengan
pemahaman gender. Sehingga kedepannya guru BK dapat membuat strategi
pelayanan dan program bimbingan dan konseling yang responsif gender, atau
kedepannya gender dimasukkan menjadi salah satu materi didalam bimbingan
klasikal. Selain itu, ketika guru BK melakukan bimbingan karier, guru BK dapat
memberikan alternatif pilihan penjurusan sekolah lanjutan dengan baik
berdasarkan hasil tes yang telah dilakukan sebelumnya dan bias gender dalam
pelayanan BK tidak akan terjadi lagi.

3. Fasilitas dalam Pelayanan BK Responsif Gender


Layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan suatu program
pelayanan yang diperuntukkan bagi siswa baik yang bermasalah maupun yang tidak
bermasalah, sebagai upaya membantu siswa dapat mengembangkan dirinya secara
optimal melalui berbagai macam pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan (Fatchurahman, 2018). Untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
13

konseling, maka diperlukan fasilitas-fasilitas sebagai penunjang terlaksana proses


Bimbingan dan Konseling agar sehingga diri klien atau siswa akan merasa nyaman,
senang, dan terbuka. Demikian pula konselor sebagai seorang fasilitator yang
membantu klien menyadari diri dan kondisi masalah yang dialami siswa atau klien,
dapat memilih alternatif teknik pemecahan masalahnya, dan merasa nyaman dalam
proses konseling.
Susilowati (2014) membagi fasilitas sarana pendukung BK menjadi dua,
yaitu fasilitas teknis dan fasilitas fisik.
a. Fasilitas teknis yaitu, tes, daftar cek, inventori, angket, format, dan sebagainya.
b. Fasilitas fisik yaitu, ruang konselor, konseling, ruang tunggu, pertemuan, dan
ruang administrasi BK, penyimpanan data.
Perlengkapan pendukung BK antara lain, meja kursi filling cabinet, files,
lemari, rak, papan media bimbingan, mesin ketik, alat perekaman, dan lain
sebagainya.
Adapun salah satu fasilitas sarana pendukung BK yang bersifat responsif
gender yaitu ruang BK yang tersedia secara terpisah untuk siswa laki-laki dan
perempuan atau meskipun masih menggunakan ruang yang sama tetapi ada sekat
yang membedakan ruang laki-laki dan perempuan (Roza & Lutfi, 2016). Hal ini
bertujuan agar konseli merasa nyaman ketika diberikan layanan bimbingan dan
konseling. Fasilitas dalam pelayanan BK responsif gender lainnya yaitu ruang
khusus konseling individu yang terpisah dengan ruang lainnya. Ini diperlukan selain
untuk menjaga kerahasiaan konseli, juga ketika ada konseli yang mengiginkan
konselor dengan gender yang sama dan tidak ingin pembicaraannya didengar oleh
konselor lain apalagi yang berbeda gender dengan dia di ruang BK tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Adanya ketidakseimbangan peran dan fungsi gender antara laki-laki dan
perempuan, kemudian melahirkan tetapi konseling feminis. Tetapi konseling
feminis pun dianggap bias gender karena sasarannya hanya berfokus pada
pemecahan masalah perempuan sehingga tidak bisa diterapkan dalam
mengkonseling laki-laki. Karena itu para teoretisi dan praktisi bimbingan dan
konseling mengembangkan sebuah strategi pelayanan bimbingan konseling yang
responsif terdahap gender yaitu gender aware counselling (GAC).
Tujuan pelayanan bimbingan konseling responsif gender dengan
menggunakan gender aware counselling ini adalah memberikan bantuan kepada
konseli (laki-laki dan perempuan) untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan
gender, memperluas wawasan tentang peran gender, dan membantu meningkatkan
keterampilan mengatasi hambatan pengembangan karier dalam latar relasi gender.
Tahap-tahap dalam gender aware counselling yaitu konseptualisasi problem,
intervensi konseling, dan terminasi.
Sebagai seorang konselor harus mampu menerima konseli dengan lapang
dada dan terbuka, tidak mendriskriminasi dan menolak konseli yang datang dan
mengantisipasi keberlangsungan stereotipe negatif yang dibangun dalam
memposisikan gender selama ini, dan dengan dibenahi pola pikirnya agar tidak ada
lagi hak asasi manusia yang terdeskriminasi.
Salah satu media yang dapat digunakan konselor dalam memberikan
layanan informasi melalui penyadaran gender adalah komik. Dengan digunakannya
komik sebagai media dalam pelayanan bimbingan untuk memberikan pengetahuan
terkait gender kepada siswa, komik mampu membuat suasana bimbingan menjadi
lebih menyenangkan dan efektif.
Dengan menggunakan instrumen yang ada, maka konselor bisa mengetahui
apa yang dibutuhkan oleh siswa/konseli terkait dengan pemahaman gender serta
guru BK dapat melaksanakan pelayanan BK yang responsif gender.

14
15

Salah satu fasilitas sarana pendukung BK yang bersifat responsif gender


yaitu ruang BK yang tersedia secara terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan
atau meskipun masih menggunakan ruang yang sama tetapi ada sekat yang
membedakan ruang laki-laki dan perempuan.

B. Saran
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka saran-saran yang dapat
penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Guru BK perlu memperhatikan prinsip gender aware counselling agar
pelayanan BK responsif gender dapat dilakukan dengan baik.
2. Guru BK harus memanfaatkan segala media, instrumen, dan fasilitas yang
dimiliki untuk memaksimalkan pelayanan BK responsif gender.
Dari penulisan makalah ini, penulis berharap kepada pembaca untuk
menyimak dengan seksama ketika membacanya. Dengan harapan bahwa supaya
tidak ada kesalahan penafsiran di dalamnya. Selain itu, penulis memohon kalau di
dalam makalah ini terdapat kekeliruan, untuk diberikan masukan yang positif untuk
perbaikan ke depannya, yang tentunya bermanfaat untuk khalayak.
16

DAFTAR PUSTAKA

Arofah, L. 2016. Penyadaran Gender Siswa MA Melalui Layanan Informasi


Dengan Media Komik Dalam Perspektif Islam. Nusantara Of Research.
(online). 3 (1): 75-83. (http://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/efektor/article/
view/315/239). diakses 29 Maret 2020.
Chandra, Y., dkk. 2017. Stereotype Gender dan Tingkat Aspirasi Karir Siswa
Berjenis Kelamin Perempuan serta Upaya Penanganan dalam Perspektif
Konseling. Proceeding IAIN Batusangkar. (online). 1 (2): 467-474.
(http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/proceedings/article/do
wnload/902/824). diakses 29 Maret 2020.
Fatchurahman, M. 2018. Problematik Pelaksanaan Konseling Individual. Jurnal
Bimbingan dan Konseling Ar-Rahman. (online). 3 (2): 25-30.
(http://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/BKA/article/viewFile/1160/979).
diakses 29 Maret 2020.
Hotifah, Y., & Abidin, Z. 2006. Paradigma Konseling Berperspektif Gender.
Egalita: Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender. (online). 1 (2): 1-18.
(http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/viewFile/1922/
pdf_1). diakses 29 Maret 2020.
Natawidjaja, R. 1987. Konseling untuk Memecahkan Masalah. Bandung: Mandar
Maju.
Nursalim. 2020. Layanan Bimbingan dan Konseling. Surabaya: Unesa University
Pers.
Nurviyanti, N. 2016. Instrumen dan Media dalam Layanan Bimbingan dan
Konseling. Al-Tazkiah: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam. (online). 5
(1): 47-61. (https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/altazkiah/article/
download/1326/677). diakses 29 Maret 2020.
Roza, Y., & Lutfi, R.B.N. 2016. Pelaksanaan Program Sekolah Berwawasan
Gender di Propinsi Riau. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender.
(online). 15 (2): 173-188. (http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/
marwah/article/viewFile/2646/1666). diakses 29 Maret 2020.
17

Sadiman, A., dkk. 2002. Media Pembelajaran dan Proses Belajar Mengajar,
Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Siregar, S.W. 2016. Assesment dalam Bimbingan dan Konseling. Hikmah. (online).
10 (2): 1-18. (http://194.31.53.129/index.php/Hik/article/viewFile/696/
611). diakses 29 Maret 2020.
Susilowati, A. 2014. Kepuasan Siswa terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling
di SMKN 1 Badegan Ponorogo. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan
Dakwah Islam. (online). 11 (1): 145-161. (http://ejournal.uin-
suka.ac.id/dakwah/hisbah/article/viewFile/157/151). diakses 29 Maret
2020.
Widoyoko, E.P. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Didik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Youarti, I.E., dkk. 2019. Modul Panduan Pelatihan Kesadaran Kesetaraan Gender
bagi Siswa SMP Sebagai Upaya Mempromosikan Pendidikan Damai.
(online). Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan. 4 (10):
1402-1407. (http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/download/
12888/5926). diakses 29 Maret 2020.
Zulfa, N. 2017. Teknik Konseling Individual Berwawasan Gender. Jurnal
Muwazah: Jurnal Kajian Gender. (online). 9 (2): 162-177. (http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/1127/1
205). diakses 29 Maret 2020.

Anda mungkin juga menyukai