Kelompok 7 Strategi Pelayanan BK Responsif Gender
Kelompok 7 Strategi Pelayanan BK Responsif Gender
OLEH:
KELOMPOK 7
KELAS BK B-18
Puji syukur kami berdoa kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan
rahmat, taufik, karunia serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Strategi Pelayanan BK Responsif Gender: Tujuan, Hubungan
Konseli-Konselor, serta Media, Instrumen, dan Fasilitas” ini dengan baik dan tepat
waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai tujuan pelayanan BK responsif gender,
hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif gender, serta media,
instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK responsif gender.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya
bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan
laki-laki. Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
dalam konteks sosial pada dasarnya tidak dipermasalahkan, namun ketika dicermati
lebih dalam dapat menjadi penyebab munculnya ketidaksetaraan gender, yakni
salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan mengalami masalah
ketidakadilan.
Dalam bidang pendidikan khususnya konseling sering kita jumpai adanya
bias gender dalam pelaksanaan bimbingan maupun konseling. Bias gender adalah
keadaan yang menunjukkan sikap berpihak lebih pada laki-laki dari pada wanita
sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan gender dan ketidaksetaraan gender.
Dalam segi perundang-undangan UUD 1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan,
termasuk pembangunan di bidang pendidikan Sedangkan pada Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal yang
mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk
memperoleh pendidikan, dalam pasal 48: “wanita berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan”. Namun pelaksanaan pembangunan nasional
khususnya di bidang pendidikan selama ini masih terdapat kesenjangan partisipasi
antara perempuan dan laki-laki.
Dalam lingkup bimbingan dan konseling, hubungan timbal balik antara
konselor dan konseli sering terjadi dalam proses konseling. Khususnya pada
hubungan laki-laki dan perempuan. Menurut Natawidjaja (1987), konseling adalah
sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang (konselor)
berusaha membantu yang lain (konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya
1
2
sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi pada waktu yang
akan datang. Sehingga dalam konseling dibutuhkan kesadaran yang lebih antara
konseli dan konseli.
Dalam proses konseling sering kita ketahui adanya bias gender dalam
pelaksanaannya. Contohnya, konselor laki-laki yang lebih dominan kepada konseli
perempuan, dan sebaliknya. Adapula konseli yang lebih dominan kepada konselor
perempuan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya ketidaksetaraan antara
perempuan dan laki-laki. Dalam bidang bimbingan dan konseling, bias gender
antara konselor dan konseli masih sering dijumpai sehingga terjadi permasalahan
dalam proses konseling. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pelayanan
bimbingan dan konseling yang responsif gender.
Untuk itu, memandang pentingnya pengetahuan tentang strategi pelayanan
BK responsif gender agar tidak terjadi lagi bias gender antara konselor dan konseli,
maka kami perlu membahasnya lebih rinci dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja tujuan pelayanan BK responsif gender?
2. Bagaimana hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif gender?
3. Apa saja media, instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK responsif gender?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tujuan pelayanan BK responsif gender.
2. Untuk mengetahui hubungan konseli-konselor dalam pelayanan BK responsif
gender.
3. Untuk mengetahui media, instrumen, dan fasilitas dalam pelayanan BK
responsif gender.
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
1. Konseptualisasi Problem
Asesmen awal pada pada konseling, proses konseptualisasi sebagai upaya
untuk memahami persepsi individu tentang masalahnya. Konselor
menggunakan gender aware counselling untuk membantu konseli memahami
peran sosial gender yang selama ini dimainkan oleh individu. Konseptualisasi
problem difokuskan pada persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi
terutama berkaitan dengan peran-peran gender yang selama ini diyakini oleh
individu. Pada tahap konseptualisasi masalah, konselor akan memiliki informasi
awal tentang individu khususnya problem berbasis gender.
2. Intervensi Konseling
Rentang intervensi pada gender aware counselling meliputi diskusi
langsung, memberikan motivasi, memberi klarifikasi, melakukan interpretasi,
konfrontasi, memberi informasi, eksperimentasi, modeling, terbuka, bibliotherapy
dan dukungan dari kelompok. Konselor membantu menginternalisasi pemahaman
dan pandangan tentang stereotype gender dalam pandangan laki-laki dan
perempuan. Pengetahuan, pemahaman dan perspektif baru individu tentang gender
akan bermanfaat untuk memberi peluang melatih keterampilan dan sikap dalam
kehidupannya. Setelah individu memiliki pengetahuan, pemahaman dan pandangan
6
baru tentang konsep gender melalui diskusi maka individu didorong untuk
melakukan eksplorasi, bagaimana implikasi perubahan untuk mencegah problem
sosial terkait dengan gender.
3. Terminasi
Konselor bertanggung jawab mengenali perubahan konsep gender
tradisional individu dan membantu untuk belajar dari proses terbangunnya
pengetahuan, pemahaman dan pandaingan baru tentang konsep gender. Proses
terminasi sebagai upaya untuk belajar memahami perasaan, efikasi diri, percaya diri
dan mengarahkan diri.
proses bantuan yang diberikan kepada individu melalui berbagai bentuk layanan
agar individu mampu menunjukkan hubungan antara hasil-hasil belajar, nilai-nilai
aspirasi pendidikan dan kariernya, mampu memahami diri (bakat, minat dan
kemampuan), mampu merencanakan karirnya, mengenal dan memahami dunia
kerja, mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan mampu
mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya sehingga ia memperoleh
perwujudan diri yang bermakna dalam rentang kehidupannya, dan tentunya semua
kegiatan tersebut dapat dilakukan di sekolah dan khususnya diupayakan oleh guru
BK melalui berbagai layanan (Chandra dkk., 2017).
Upaya pengentasan permasalahan terkait stereotype gender dapat
dilaksanakan melalui berbagai layanan yang ada. Dalam pelaksanaannya konselor
harus tidak berpihak pada salah satu jenis kelamin, dan memiliki pengetahuan,
sikap, dan keterampilan untuk membantu konseli perempuan dan laki-laki dalam
kehidupan yang bebas dari budaya tertekan (oppressive) dan pribadi yang bebas
dari informasi yang bias gender atau stereotype gender. Hal ini dikemukakan karena
klien yang ditangani konselor yang memahami kesetaraan gender lebih
memperoleh rasa aman dalam proses konseling daripada klien yang ditangani
konselor yang diskriminatif gender (Mintz & O’Neil, dalam Chandra dkk., 2017).
Konselor sekolah dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling perlu
menyeimbangkan antara penyampaian pesan, sikap, dan harapan peran gender, dan
lebih menyosialisasikan pengambilan keputusan karier berdasar potensi diri dan
peluang kerja yang dihadapi daripada pengambilan keputusan karier semata-mata
berdasar keadaan diri selaku perempuan atau laki-laki (Chandra dkk., 2017).
A. Simpulan
Adanya ketidakseimbangan peran dan fungsi gender antara laki-laki dan
perempuan, kemudian melahirkan tetapi konseling feminis. Tetapi konseling
feminis pun dianggap bias gender karena sasarannya hanya berfokus pada
pemecahan masalah perempuan sehingga tidak bisa diterapkan dalam
mengkonseling laki-laki. Karena itu para teoretisi dan praktisi bimbingan dan
konseling mengembangkan sebuah strategi pelayanan bimbingan konseling yang
responsif terdahap gender yaitu gender aware counselling (GAC).
Tujuan pelayanan bimbingan konseling responsif gender dengan
menggunakan gender aware counselling ini adalah memberikan bantuan kepada
konseli (laki-laki dan perempuan) untuk meningkatkan kesadaran dan kepekaan
gender, memperluas wawasan tentang peran gender, dan membantu meningkatkan
keterampilan mengatasi hambatan pengembangan karier dalam latar relasi gender.
Tahap-tahap dalam gender aware counselling yaitu konseptualisasi problem,
intervensi konseling, dan terminasi.
Sebagai seorang konselor harus mampu menerima konseli dengan lapang
dada dan terbuka, tidak mendriskriminasi dan menolak konseli yang datang dan
mengantisipasi keberlangsungan stereotipe negatif yang dibangun dalam
memposisikan gender selama ini, dan dengan dibenahi pola pikirnya agar tidak ada
lagi hak asasi manusia yang terdeskriminasi.
Salah satu media yang dapat digunakan konselor dalam memberikan
layanan informasi melalui penyadaran gender adalah komik. Dengan digunakannya
komik sebagai media dalam pelayanan bimbingan untuk memberikan pengetahuan
terkait gender kepada siswa, komik mampu membuat suasana bimbingan menjadi
lebih menyenangkan dan efektif.
Dengan menggunakan instrumen yang ada, maka konselor bisa mengetahui
apa yang dibutuhkan oleh siswa/konseli terkait dengan pemahaman gender serta
guru BK dapat melaksanakan pelayanan BK yang responsif gender.
14
15
B. Saran
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka saran-saran yang dapat
penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Guru BK perlu memperhatikan prinsip gender aware counselling agar
pelayanan BK responsif gender dapat dilakukan dengan baik.
2. Guru BK harus memanfaatkan segala media, instrumen, dan fasilitas yang
dimiliki untuk memaksimalkan pelayanan BK responsif gender.
Dari penulisan makalah ini, penulis berharap kepada pembaca untuk
menyimak dengan seksama ketika membacanya. Dengan harapan bahwa supaya
tidak ada kesalahan penafsiran di dalamnya. Selain itu, penulis memohon kalau di
dalam makalah ini terdapat kekeliruan, untuk diberikan masukan yang positif untuk
perbaikan ke depannya, yang tentunya bermanfaat untuk khalayak.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sadiman, A., dkk. 2002. Media Pembelajaran dan Proses Belajar Mengajar,
Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Siregar, S.W. 2016. Assesment dalam Bimbingan dan Konseling. Hikmah. (online).
10 (2): 1-18. (http://194.31.53.129/index.php/Hik/article/viewFile/696/
611). diakses 29 Maret 2020.
Susilowati, A. 2014. Kepuasan Siswa terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling
di SMKN 1 Badegan Ponorogo. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan
Dakwah Islam. (online). 11 (1): 145-161. (http://ejournal.uin-
suka.ac.id/dakwah/hisbah/article/viewFile/157/151). diakses 29 Maret
2020.
Widoyoko, E.P. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Didik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Youarti, I.E., dkk. 2019. Modul Panduan Pelatihan Kesadaran Kesetaraan Gender
bagi Siswa SMP Sebagai Upaya Mempromosikan Pendidikan Damai.
(online). Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan. 4 (10):
1402-1407. (http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/download/
12888/5926). diakses 29 Maret 2020.
Zulfa, N. 2017. Teknik Konseling Individual Berwawasan Gender. Jurnal
Muwazah: Jurnal Kajian Gender. (online). 9 (2): 162-177. (http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/1127/1
205). diakses 29 Maret 2020.