Anda di halaman 1dari 5

Nama : Asha Handria

NIM : 705200241

Tugas Pertemuan 6
Analisis Film

Temple Grandin
Temple Grandin merupakan sebuah film yang bedasarkan kisah nyata seorang Dr.
Temple Grandin Ph.D yang memiliki Autism Spectrum Disorder (ASD). Film ini
menceritakan tentang kehidupan Temple yang sedang tinggal di rumah tante dan
pamannya di sebuah farm sebelum pergi kuliah. Seperti sebuah biografi, di film ini
diceritakan segala hal mulai dari hambatan, kegagalan hingga kesuksesan Temple.

Film ini berlatar belakang di tahun 50-80an. Menarik untuk dilhat bagaimana stigma
dan penanganan psikologis pada tahun 50-60an terhadap Autism. Pada saat
Temple kecil pun dilihatkan gejala awal dari Autism seperti, kurangnya interaksi dan
ketidakmampuan berbicara. Pada saat itu, Autism masih dikaitkan sebagai variasi
gangguan Schizophrenia. Bahkan saat itu, tidak ada treatment untuk Autism dan
diberi tahu bahwa penyebabnya adalah mistreatment seorang Ibu.

Tidak percaya dengan psikolog, Ibu Temple memutuskan untuk tidak mengikuti
saran psikolog untuk memasukkan Temple ke institute kejiwaan. Sedangkan, Ibu
Temple berusaha mengajar dan melakukan semacam therapy terhadap Temple
sendiri tanpa akses pengetahuan tentang kondisinya seperti yang kita punya
sekarang. Salah satu adegan yang menunjukkan usaha keluarga Temple dalam
mengajarnya adalah adegan dimana Temple dan tantenya sedang mempelajari
ekspresi dan emosi. Diketahui bahwa individu yang mengidap Autism mengalami
kesulitan dalam mengenal social cues. Teknik ini sepertinya tidak terlalu terkenal
pada saat itu, namun dengan berkembangnya pengetahuan atas kondisi ini untuk
mempelajari emosi dan ekspresi dengan gambar sering digunakan.

Di awal film, Ibu Temple saat berbicara dengan tantenya tentang Temple dan
mengatakan bahwa “something is going to set her off”. Ini membicarakan tentang
episode semacam panic attack yang dialami oleh Temple saat ia merasa kewalahan.
Saat ini akhirnya terjadi, ia meminta tantenya untuk dijepit di alat dimana para sapi
“dijepit” untuk menenangkannya. Temple menemukan bahwa saat individu diberikan
tekanan pada tubuhnya, hal tersebut bisa menenangkannya. Namun, saat ia
membuat dan menggunakannya di kampus, alat tersebut disita karena disangka
dipakai untuk kebutuhan seksual. Akhirnya Temple melakukan eksperimen untuk
membuktikan teorinya bahwa alat tersebut efektif untuk menenangkan individu,
memberi efek pada tubuh yang sama seperti sebuah pelukan tanpa sentuhan asli.
Hal ini dibuktikan benar, dan sering dipakai hingga sekarang bahkan tidak untuk
individu autistic namun juga untuk pengidap anxiety, depression, dan lain-lain dalam
berbagai bentuk pula seperti contohnya weighted blanket.

Tentunya, hal yang paling menarik dari Temple adalah salah satu gejalanya yaitu
visual thinking. “translate both spoken and written words into full-color movies,
complete with sound, which run like a VCR tape in my head.” Ujar Temple Grandin
tentang kemampuannya di buku yang ia tulis berjudul, Thinking in Pictures and
Other Reports From my Life with Autism (1995). Gejala ini tidak jarang ditemukan di
individu yang mengidap autism. Sepanjang film pun digunakan berbagai animasi dan
insert shot untuk memperlihatkan cara berpikirnya. Visual thinking ini memperkuat
kemampuan visual dan spasial seseroang. Kemampuan ini pun dibuktikan saat
Temple mereplikasi sebuah optical illusion dengan mainan kuda di sekolah.

“They knew I was different, but not less”

Itulah quote paling berkesan untukku di film ini, perkataan itu memberi kesan yang
sangat mengharukan. Apalagi mengingat saran medis saat itu yang mengatakan
bahwa Temple diprediksi bahkan tidak akan berfungsi di masyarakat dan dianjurkan
masuk sebuah institusi kejiwaan. Walau sekarang pengetahuan tentang autism telah
berkembang, bisa dibayangkan bagaimana kehidupan Temple dan keluarganya
mengatasi kondisinya di masa itu. Sepanjang film sering dilihatkan gambar pintu
saat Temple sedang mengalami transisi. Dalam saat-saat itu, gambar terlihat seperti
ter distorsi seperti menggambarkan susahnya Temple adaptasi di tengah
perbuahan. Sampai di akhir film dimana Temple berani berbicara di depan banyak
orang dan membuka pintu tersebut kepada orang lain. Temple berkata bahwa
menyadari bahwa memang ia berbeda. Namun, menjadi autistic tidak berarti ia
kurang melainkan diberikan bakat untuk melihat dunia dengan perspektif yang
berbeda. Temple ditanyakan bagaimana ia disembuhkan, ia berkata bahwa ia tidak
sembuh. Ia akan selalu autistic, hanya ia telah belajar dan beradaptasi untuk berada
dan hidup di dunia sama seperti orang lain. Temple Grandin sekarang pun dalam
kehidupan asli adalah seorang professor dan juga advocate untuk autism.

Ocean Heaven
Ocean Heaven merupakan sebuah film yang menceritakan tentang Wang Xincheng,
seorang ayah yang mengidap penyakit kronis. Mengetahui ia hanya punya beberapa
bulan untuk hidup, ia mendedikasi waktunya untuk mempersiapkan anak lelakinya
bernama Dafu yang mengidap Autism Spectrum Disorder (ASD) agar bisa bertahan
di dunia tanpanya. Awalnya diperlihatkan seperti sang Ayah tidak percaya Dafu bisa
bertahan tanpanya dan kita melihat mereka mencoba mengakhiri kehidupan dengan
tenggelam di tengah laut. Namun, saat hal tersebut tidak berhasil akhirnya sang
ayah berkata “Even the Grim Reaper can’t get him. So I think there’s some place on
earth for him to live.” Disitulah perjalanan mempersiapkan Dafu dimulai.

Di film, terlihat Dafu memiliki gejala dejala yang sering ditemukan di autism. Seperti
penggunaan kata yang berulang dan ketidakmampuan untuk mengurus diri sendiri
(seperti harus di bantu ganti baju). Hal yang saya lihat menarik adalah jaket dafu,
yang dituliskan namanya dan pernyataan bahwa ia memiliki penyakit autism. Hal
kecil tapi sangat berarti. Sang Ayah mulai berpikir langkah apa yang tepat dalam
proses mempersiapkan Dafu agar lebih mandiri. Akhirnya, sang Ayah memutuskan
untuk menempatkan Dafu di sebuah institusi untuk para disabilitas mental. Namun,
seperti yang kita tahu seseorang dengan autism tidak gampang beradaptasi di
tengah perubahan. Melihat semua yang berbeda di matanya, tak heran Dafu
kewalahan dan mengalami panic attack di malam pertama tanpa sang ayah.
Akhirnya, sang ayah memutuskan untuk tinggal disana bersamanya.

Dafu nantinya akan berteman dengan seorang perempuan bernama Ling yang
bekerja sebagai badut di carnival yang sedang berada di kota mereka. Tentunya
carnival tersebut bersama Ling, akan pergi suatu saat. Disitu kita pun melihat
adegan dimana Dafu berusaha mempelajari cara menggunakan telepon namun tidak
berhasil. Kepergian carnival bersama Ling pun membuatnya Dafu melarikan diri
sampai sang Ayah menemukannya duduk di sebelah badut McDonald seperti
mencari sosok yang mirip dengan temannya yang sudah pergi.
Sejauh sini, film hanya mempertegas kekhawatiran sang Ayah tentang bagaimana
Dafu akan bertahan tanpanya. Selama film, diperlihatkan bahwa salah satu hobi
Dafu adalah berenang di akuarium. Sang ayah pun menggunakan hobinya itu dan
meyakinkan kepada Dafu bahwa saat ia sudah tidak ada, ia akan kembali menjadi
seekor kura-kura dan akan selalu ada bersama Dafu saat ia berenang di laut. Ini
adalah cara ayah memberi tahu kepada Dafu bahwa walau ia sudah meninggal ia
akan selalu ada untuknya. Hal ini sepertinya dipahami cukup cepat oleh Dafu karena
bantuan visual oleh sang ayah dalam penyampaian pesan. Dimana ia berenang
bersamanya menggunakan kostum kura-kura. Hal bantuan visual seperti ini
sepetinya teknik yang sering digunakan untuk anak autistic

Tak lama setelah adegan itu, sang ayah pun meninggal. Mirip dengan Temple
Grandin, kita melihat bahwa meskipun kekhawatiran sang ayah pada akhirnya Dafu
pun mampu bertahan tanpanya. Dengan autism dan segala kekurangan dan
kelebihannya, kita melihat setelah sang ayah meninggal Dafu pun lebih pintar dalam
berinteraksi, mengurus diri, dan menjadi mandiri. Ia dapat berpakaian sendiri, dan
mengigat semua hal-hal kecil yang diajarkan ayahnya sepanjang film. Dengan
bantuan orang-orang sekitarnya, ia pun bisa tambah mandiri. Bahkan bisa
membekali makanan untuk dirinya sendiri. Walau dia masih tidak bisa menggunakan
telepon, tetap perkembangan Dafu terlihat sangat signifikan di akhir-akhir film.

Pada akhir film kita pun melihat Dafu berenang di laut dan bertemu dengan seekor
kura-kura yang menyimbolkan sang ayah. Ia menghampirinya dan berenang di
punggugnya, seperti yang biasa Dafu lakukan dengan ayahnya. Akhir film yang
sangat indah, dimana Dafu mengenang sang ayah dan para penonton diingatkan
kerja keras dan kasih saying sang ayah dalam memperjuangkan anaknya agar bisa
berfungsi di dunia. Pesan ini pun terpampang jelas di akhiran film, “This film is
dedicated to noble and loving parents.” Jadi, perlu diketahui bahwa memang anak
yang mengidapi autism butuh kesabaran, perhatian, kasih sayang, dan treatment
yang bisa dibilang lebih atau berbeda. Namun, dengan itu perlu juga diketahui
siapapun dengan autism bisa mandiri dan menjalani hidup seperti orang lain.

Anda mungkin juga menyukai