Anda di halaman 1dari 28

SUMBER HUKUM MUTTAFAQ DAN

MUKHTALAF

A. Sumber hukum yang Muttafaq


Sumber hukum Muttafaq adalah sumber hukum Islam yang telah disepakati
oleh seluruh umat Islam.
Berikut adalah sumber-sumber hukum yang Muttafaq :

1.     Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad, melalui perantara malaikat Jibril yang sampai kepada kita
secara Mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an
merupakan wahyu yang tampak (Iwahyu azzahir), yaitu pesan Allah kepada
Nabi SAW, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang
sepenuhnya dari Allah.

Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti
sekarang biasa kita lihat dalam bentuk sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara
berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah SAW. Kenapa
demikian ?, Pertama, tasbit al-fuad, memantapkan hati berupa ketenangan dan
kepuasan dalam menerima dan menjalankan isi Al-Qur’an baik bagi Nabi
maupun umatnya. Kedua, tartil, yaitu membaca dengan baik secara keseluruhan
sehingga keasliannya dapat terjamin. Oleh hal itu diturunkan Al-Qur’an secara
sedikit demi sedikit dan bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus,
niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.

Dengan melihat Al-Qur’an kita bisa mengetahui apa yang semestinya kita
lakukan. Kita tau mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan haram, mana
yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Itulah fungsi Al-Qur’an sebagai
pembeda (furqan).

Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi manjadi dua, yaitu
ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
a.       Ayat Muhkamat, artinya ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi
ketika memahaminya. Dan juga terhindar dari kemunculan beberapa pendapat
dalam memaknainya. Contohnya perintah shalat dan puasa.
b.      Ayat Mutasyabbihat, artinya ayat yang tidak pasti arti dan maknanya
sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat Mutasyabihat
sifatnya zanniyah ad=dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti.
Misalnya kata quru’ yang  dapat berarti suci dapat berarti pula haid

Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hukum,


Dalam menetapkan hukum, aturan-aturan yang tercantum dalam Al-Qur’an
selalu sesuaidengan perkembangan jasmani maupun rohani.
Dalam penetapan hukum Al-Qur’an berpedoman pada tiga hal, yaitu :
1.      Tidak memberatkan atau menyulitkan, sebagaimana firman Allah Swt.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.


Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat
(siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya… (Q.S. Al-Baqarah/2:286)

2.      Mengurangi beban ((‫قلةالتكليف‬


3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (‫)التدرج‬

2.     As-Sunnah
Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sedangkan Sunah adalah wahyu
internal wahyu batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW.
Dengan demikian segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa dapat
dikatakan sunah.
A.    Macam – macam As-Sunnah
a.       Sunah Qauliyyah
Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah yang berkaitan dengan perkataan.
Sunah Qauliyah merupakan seluruh perkataan Nabi SAW, perkataan Nabi
tersebut didengar  oleh sahabat dan diteruskan kepada Tabi’in.
b.      Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW, yang dilihat dan diperhatikan
oleh sahabat disebut dengan sunah Fi’liyah.
c.       Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sikap Nabi SAW terhadap suatu kejadian (perbuatan
atau perkataan sahabat) yang dilihatnya.
B.     Fungsi dan Kedudukan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa kedudukan sunah dalam penetapan suatu hukum
adalah sebagai dasar yang kedua setelah Al-Qur’an. Yang demikian itu telah
dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah wafat. Mereka bersepakat bahwa sunnah wajib diikuti. Mereka
tidak membedakan antara katentuan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
ketentuan yang disampaikan dalam sunnah.

3.     Ijmak

Secara etimologis kata Ijmak merupakan masdar (kata benda verbal) dari


kat ajma’a yang artinya ‘memutuskan dan menyepakati sesuatu’. Ia juga berarti
kesepakatan bulat ( konsesus ).
Ijmak yang dilakukan yang dilakukan para ulama setidaknya memiliki dua
alasan. Pertama, setelah Rasulullah Saw wafat, persoalan hukum islam yang
baru muncul tidak bisa ditemukan jawabannya secara langsung didalam Al-
Qur’an dan Sunnah. Kedua, persoalan terus berkembang dan menuntut adanya
ketentuan hukum, sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan hukum
terkadang masih bersifat global.

a.       Macam dan tingkatan Ijmak

a)      Ijmak Sarih, yaitu ijmak yang menampilkan pendapat setiap ulama secara


jelas dan terbuka, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Ijmak Sarih ini
menempati menempati peringkat paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya
bersifat qat’i sehingga umat wajib mengikutinya. Oleh karena itu para ulama
sepakat untuk menjadikan ijmak sarih ini sebagai Hujjah Syar’iyyah dalam
penetapan hukum syarak.

b)      Ijmak Sukuti, yaitu sebagian mujtahid mengatakan pendapatnya mengenai


hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid
lainnya tidak memberikan tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Ijmak
Sukuti ini bersifat zan dan tidak mengikat.

4.     Qiyas
Dari segi bahasa qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Secara istillah, qiyas menurut Abu Zahra adalah :
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan
perkataan lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan ‘illah”

Dari pengertian diatas muncul pertanyaan, mengapa qiyas harus


dilakuakan ?, ayoo pada bisa jawab gak ?... hehehe..., yaudah deh daripada
bingung nie ane kasih tahu (bukan tempe) jawabannya...

Sebabnya adalah ada persoalan baru yang belum ada hukumnya, tetapi memiliki
kesamaan ‘illah(sebab) dengan permasalahan lamcyang sudah ada hukumnya.
Dengan demikian hukum permasalahan baru itu dapat di-qiyas-kan dengan
hukum permasalahn lama.
Nie ane kasih contohnya :
“kewajiban mengeluarkan zakat padi karena di-qiyas-kan dengan zakat gandum
yang hukumnya sudah ditetapkan oleh Hadist Nabi Saw”.

A.    Rukun Qiyas
Untuk melakukan qiyas ada 4 rukun yang harus dipenuhi... jadi tidak sembarang
yaw ....
a)      Al-Aslu, sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nas.
b)      Al-Far’u, sesuatu yang baru dan tidak ada hukumnya dalam nas.
c)      Hukum Asal, hukum syarak yang ada nasnya sebagai pangkal hukum bagi
cabang.
d)      ‘illah, sifat yang ada pada hukum asal. Contohnya sifat memabukkan yang
ada pada khamr. ‘illah merupakan unsur terpenting dalam qiyas. Dalam ‘illah,
qiyas qiyas pun tidak ada.

B.     Macam-Macam Qiyas
a)      Qiyas Aula, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan aannya hukum.
b)      Qiyas Musawi, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan adanya hukum yang
sama, baik pada hukum yang ada pada al-aslu maupun maupun hukum yang
ada pada al-far’u (cabang).
c)      Qiyas Adna, qiyas dimana hukum al-far’u lebih lemah keterkaitan-nya
dengan hukum al-aslu.

Sekian itulah beberapa hukum yang Muttafaq (disepakati), semoga dapat


menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ada pada diri saudara.
SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF

Sumber hukum islam yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) di kalangan para


ulama selain adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘uruf, madzhab As
Shahâbi, Saduz Dzariah,  syar’u man qablana.
A.     Istihsân
1.    Pengertian
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan
lawan dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf
yaitualif- sin dan ta’, bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu-
istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini
sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah,
yaknimenganggap sesuatu itu buruk. Jadi, dari segi
bahasa istihsân bermaknamemandang baik sesuatu atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti.
a.    Menurut  Abu Zahroh
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/
ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.
b.   Menurut Al Fairuz Abadi
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang
bersifat umum/ menyeluruh.
c.    Menurut Al Jayzani
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa
karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena
pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
d.   Menurut Al Hilwani dan Al Hanafi
Istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih
kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
e.    Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi
Merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang
menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah
yng sama disebabkan alasan yang lebih kukuh.

f.     Menurut Jumhur ulama' Usul


Istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy
(pengecualian)
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang mengharuskan
untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum
potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal
seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal.
Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak
memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil
tertentu yang menguatkann
2.   Dasar Hukum
a.   Al Qur’an
“ yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar; 18)
 “ dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al Hajj :78)
b.   Hadis
Hadits  Nabi SAW,
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang
lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-
syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
3.   Kedudukan istihsan sebagai sumber hukum
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam
sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti
Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan
istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama
Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah
kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti
Imam Syafi’i.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
a.    Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi
dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan
Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah
merambah sampai ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara
lain:
1)   Firman Allah QS. Az Zumar : 18,
2)   Sabda Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula
disisi Allah.”
3)   Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum,
tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
b.   Menganggap bukan sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i.
Dalam bukunya  Ar Risalah  beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang
untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Beliau juga berkata ”Barang
siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau
tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali
dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah,
ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas.
Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan
Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan
mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
1)   Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan
RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang
berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan
pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
2)   Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyasapabila
kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam QS.
An Nisa ; 59.
3)   Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan
menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki
yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau
tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga
turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya. Atas dasar inilah, kita wajib
menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
4)   Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau
bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh
musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ilaa ha Illa Allah, karena
kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
5)   Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias
dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnyaqiyas.
Sehingga bisa menimbulkan bias.
4.   Macam-macam istihsan
a.   Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
1)   Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata
qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf
tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat
mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf
kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi
pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/
dikemukannya.Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban
mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya
mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi.
Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari
pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan
manfaatapabila tidak diairi.
2)   Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum
khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong
tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim
paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (QS. Al Maidah:
38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena
Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” (HR.
Ahmad). Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda
Nabi SAW ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran,
timbangan dan watunya” (HR. Bukhori)
3)   Mengalihkan/mengabaikan hukum kulli mengambil
hukum istitsna’ (pengkecualiaan).
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum,
puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun
karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal.
Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia
makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya
itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
b.   Istihsan dilihat dari sanad atau sandaran yang digunakan dalam pengalihan/
atau pengabaian.
1)   Istihsan yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang,
rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu
menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada
kesamaan illatnya yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan.
Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun
makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah
suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang
minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari
dagingnya yang najis/ haram.
2)   Istihsan yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak
orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari
kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya.
Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk
menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
3)   Istihsan yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya
akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan
tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia
dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang
lainyang lebih kuat.
4)   Istihsan yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya
seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat
sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh
seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang
wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara
disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai
illat, at taysir (memudahkan).
5)   Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat
tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali
dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat
dilakukan.
6)   Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian
ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al
Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan
’urf, ikan itu berbeda dengan daging.
5.   Contoh
Hukum Syara' melarang menjual benda yang tidak ada, atau menjalin ikatan
transaksi terhadap benda yang tidak ada, tetapi memberikan kekecualian
berdasarkan istihsan dalam beberapa masalah, seperti salam, ijarah muzara'ah di
mana semua akad ini objeknya belum ada. Dasarnya adalah kebutuhan
masyarakat terhadap akad-akad tersebut, dan disitulah letak kebaikannya.

B.     Maslahah Mursalah
1.    Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Katamaslahah berasal dari kata bahasa arab    ‫صلَ َح‬ َ
‫يَصْ لُ ُح‬ –   menjadi  ‫ص ُْلحًا‬  atau ً‫ َمصْ لَ َحة‬ yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  ‫ ُمرْ َس‬ -ً‫اِرْ َساال‬ – ‫يُرْ ِس ُل‬ – ‫اَرْ َس َل‬
‫ ٌل‬ menjadi ‫ ُمرْ َسل‬  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam,
juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah
menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada
ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan
syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian
umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah
syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-
nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara
kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu
masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan
oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat
umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang
bersifat umum pula.
2.   Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih
mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
diantaranya:
a.    Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1)   Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’
meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2)   Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’,
3)   Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a)   Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b)   Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh
serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
b.   Dari segi Kandungan Maslahah
1)      Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua
kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas
ummat/kelompok.
2)      Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan
yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang
harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam
mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
c.    Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
1)   Maslahah al Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2)   Maslahah al Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al Syalabi, dimaksudkan untuk
memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
3.   Tingkatan Maslahah Mursalah
a.    Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan
dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
b.   Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok)
manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat
serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka
kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak
sampai punah.
c.    Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap)
dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini
tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat,
kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang
bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting
terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang
dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriyyang
hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak 
berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih
tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan.
Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai
pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan
lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnyadharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah
adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua
sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang
mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya
dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-
lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang 
mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya
bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu
jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat
terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalahhajiyyah, maka
syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan
kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas
adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur
teori maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu
dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih
didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah
4.   Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah
sebagai sumber hukum.
a.    Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1)   Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperhatikan   kemaslahatan   umat   manusia.   Tak   ada   satupun
kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui
petunjuknya.
2)   Pembinaan   hukum   Islam   yang   semata-mata   didasarkan   kepada
maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b.   Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun
menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila
sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat
kedua ini berdasarkan:
1)   Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-
habisnya.   Jika  pembinaan   hukum  dibatasi  hanya  pada  maslahat-maslahat    
yang  ada  petunjuknya dari  syari'  (Allah), tentu  banyak kemaslahatan    yang
tidak ada status hukumnya  pada  masa dan tempat yang berbeda-beda.
2)   Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum
untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya
membuat penjara,  mencetak uang,  mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat
Al Qur'an dan sebagainya.
5.   Contoh
Para sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah
mursalahdalam menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan
dasar hukumnya, Misalnya langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan
mushaf Al Qur'an atas saran Umar bin Khatab. Begitu pula penyeragaman
tulisan Al Qur'an oleh Utsman bin Affan. Dalam pernikahan juga disyaratkan
adanya Surat atau Akta Nikah untuk keperluan gugatan cerai, pembagian harta
pusaka dan sebagainya. Meskipun semua itu tidak ada dasar hukum Syara'nya,
namun sangat bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi umat.

C.     Istishâb
1.    Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak
melepaskan sesuatu. Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu
yang lalu dan menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya.
Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber
hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Menurut Al Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya
atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya
suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Menurut Al Qarafy (w. 486H) mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan
bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa
ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah membiarkan berlangsungnya
suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan
ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah
penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa
kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah
atau mobil ini, entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama
kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan
tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah
atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata
lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya
hingga ke masa kini atau nanti.
2.   Macam-macam Istishab
a.    Istishab Aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama
sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah
(tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan muamalah (tidak sepenuhnya
sama dengan fiqih muamalah).
b.   Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang tegak karena perintah Allah dan
Rasulullah serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Contohnya
adalah wudu dan jumlah rakaat salat.
3.   Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki
ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang
mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’ atau
qiyas. Al Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang
mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-
Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya
dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab
al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses
penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
a.   Istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah
hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah,
mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
1)      Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika
adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS. Al
An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya
mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini
ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku
tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada
ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2)      Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)
lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka
(jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan
suara atau mencium bau.”(HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap
memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu
dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa
wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan
shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu
mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3)      Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih
yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah
bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah
ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi
seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini
berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus
ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan
kesucian itu belum batal
4)   Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
a)   Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya
faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum
tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah
dugaan kuat (al-zhann al-rajih)adalah hujjah, maka dengan
demikian istishhab adalah hujjah pula.
b)   Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya
atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas
keyakinan, berdasarkan kaidahal-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
b.   Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.
Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.baik dalam menetapkan
hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1)   Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan
dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu
berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2)   Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan
apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika
seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain
pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas
dasar istishhab pula.
c.   Istishhab adalah hujjah pada saat membantah.
 Hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan
hukum yang lalu (bara’ah al dzimmah) dan tidak dapat sebagai hujjah untuk
menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama
Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah
karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu
tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa
selanjutnya.

4.   Contoh
Seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengambil air wudlu atau
belum. Dalam hal ini, ia harus berpegang pada keyakinan dirinya belum
mengambil air wudu, sebab itu yang asal (tidak berwudlu), dan orang yang salat
tanpa wudlu tidak sah. Akan tetapi, jika ia yakin bahwa dirinya telah berwudlu
dan tidak batal, maka ia harus berpegang kepada keyakinannya, yaitu belum
batal dari wudlu. Keraguan harus dihilangkan oleh keyakinan, bila yakin sudah
berwudu dan belum batal, maka tidak perlu mengambil air wudu kembali. Akan
tetapi, jika yakin wudunya telah batal atau belum berwudlu, maka segeralah
berwudlu.

D.    Uruf
1.    Pengertian

Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu
yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat.
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau
meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang
yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
2.   Macam-macam Uruf
Pembagian ‘uruf ada dua diantaranya:
a.    ‘Uruf shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1)   ‘Uruf shohih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun
dan kapanpun mereka berada. Dan ‘urf ‘am ini termasuk kategori ijma’ bahkan
mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma’. Seperti sesuatu yang
diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan
pakain adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2)   ‘Uruf shohih khos
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi
ataupun sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau
bercocok taman dan lain sebagainya. Dan ‘uruf yang seperti ini ketika dijadikan
landasan dari sebuah hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya
berlaku di tempat dan pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena
‘uruf khos ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .
b.   ‘Uruf fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan
hukum, karena bertentangan dengan nash-nash qot’i
3.   Kedudukan sebagai sumber hukum
‘Uruf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila
sudah tidak memenukan hukum dalam Al Qur’an. Dengan berlandaskan sebuah
hadist yang artinya : Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam,
juga dinilai baik disisi Allah.
Bahkan imam jalaluddin As-Sayuti dalam kitab asybah wa an
nadloir mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘uruf termasuk dalam
kategori ketetapan berdasaekan dalil syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada
satu kaidah yang masyhur dikalangan ulama’ yang artinya : Apa yang terkenal
sebagai ‘uruf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat, dan sesuatu yang
tetap karena ‘uruf sama dengan yang tetap karena nash.

Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat
dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
syara’
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat
pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan.
Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karean bertentangan
dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
4.   Syarat-syarat Uruf
a.    Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat.
b.   ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya.
Artinya ‘urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c.    ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi
Jika terjadi pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ di tengah-tengah masyarakat,
maka pertentangan tersebut adalah:
a.    Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf
tidak dapat diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan
anak yang diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus
ditinggalkan.
b.   Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus, maka ‘urf harus
dibedakan antara ‘urf al-lafzidengan ‘urf al-amali, jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi,
maka dapat diterima, dengan alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak
dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-
amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyyah jika ‘urf al-amali bersifat
umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
c.    ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan
‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi
maupun amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara’.
Seperti kerelaan anak perawan ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai
dengan perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat
sekarang anak perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap
perkataan orang tuanya.
5.   Contoh Uruf
'Urf perbuatan, misalnya dalam melakukan transaksi jual beli, jarang ada orang
yang melakukan ijab kabul ketika mereka saling menyerahkan barang (bagi
pedagang) dan uang (bagi pembeli), dengan mengucapkan “Saya terima
barangnya dan ini uangnya.“ Hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada
umumnya, sehingga jual beli dianggap sah meskipun tidak melalui ijab kabul.
Sedangkan ‘Urf ucapan, misalnya kebiasaan orang Arab mengucapkan kata
walad, bisa berarti anak laki-laki bisa juga anak perempuan. Contoh 'Urfyang
ditinggalkan ialah kebiasaan bangsa Arab mengartikan kata Samak dengan
daging ikan, padahal ada kata "Lahmun" yang mempunyai arti daging, tanpa
membedakan daging ikan atau daging binatang sembelihan.
E.     Saddudz Dzarî’ah
1.    Pengertian
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara
yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan,
sedang dzarî’ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau
menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan
tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan
tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan
menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan
menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada
pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus
dikerjakan sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang
baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa
belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa
belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu
dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini
ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu
sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara
langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara
langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang
secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar,
berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.
Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka
pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian
pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan
zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan
perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2.   Dasar Hukum
a.   Al Qur’an
Ÿ   
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al
An’am ; 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum
muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup
pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara
melampaui batas
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan…” (QS. An Nur ; 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang
kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-
Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula
sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
b.   Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan)
keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu,
ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah
kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus
mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari
perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3.   Kedudukan Saddudz Dzarî’ah
a.    Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber
hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : "Sesunggunya apa-
apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat)
adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari'ah
tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak
pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara
yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita
kepada perbuatan maksiat.
b.   Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah
tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum
asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits
Nabi saw. dikatakan :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia
akan melanggar larangan tersebut".
4.   Contoh
Sudah merupakan adat dan kebiasaan bagi sebagian masyarakat kita, jika
mereka mengadakan walimah anaknya, atau walimah khitan putranya selalu
mengadakan pertunjukan, seperti pertunjukan wayang golek, layar tancap, orkes
dangdut, dan sebagainya.
Sebenarnya, mengadakan pertunjukan hiburan tidak apa-apa (boleh), hanya saja
peristiwa tersebut sering dijadikan ajang keributan antarpemuda, mabuk-
mabukan, tawuran antarkampung, porno aksi dengan busana artis yang seronok
dandanannya, dan hal-hal lainnya. Oleh sebab itu, agar hal-hal negatif tersebut
tidak terjadi, maka hendaknya jalan yang menuju ke arah itu, yakni pertunjukan
hiburan hendaknya ditiadakan, dan menggantinya dengan kegiatan yang positif,
seperti pengajian atau siraman rohani lainnya. Tindakan yang demikian itu,
disebut Syaduz zarai'.

F.     Syar’u Man Qablana.


1.    Pengertian
Definisi syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan
Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan
para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Syar’u man Qablana merupakan syari’at para nabi terdahulu sebelum adanya
syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Telah diketahui bahwasyar’u
man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat(penggalian)
hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang
mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat teks-teks
keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum,
namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal
tersebut, para ahli usul al-fiqh menggunakan syar’u man qablana untuk
membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi
seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian,
tampaknya para ahli usul al-fiqh memiliki perspektif yang berbeda dalam
memandang syar’u man qablana. Perbedaan tersebut tampak ketika mereka
membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi dan pengikutnya
terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas ada suatu kesepakatan para ahli usul al-
fiqh bahwa tidak semua syari’at sebelum Islam di-naskh (diganti) oleh Islam,
bahkan di antara syari’at-syari’at tersebut ada yang masih diakui dan mengikat
umat Islam secara keseluruhan. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka syar’u
man qablana dapat dianggap sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan
kemelut syari’at yang dihadapi dan selanjutnya bernaung dalam sebuah
metodologi yang disebut usul al-fiqh (metodologi hukum Islam). Namun
demikian, posisi syar’u man qablana tampaknya tidak sejelas ketika ia
diperkenalkan untuk pertama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan
metodologi usul al-fiqh lainnya (seperti qiyas, istihsan, istislah,istishab), ia
sudah tidak lagi populer bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini
hanyalah sebagai sebuah pajangan atau simbol yang merupakan warisan dari
perjalanan intelektual para ahli usul al-fiqh.
2.   Kedudukan syar’u man qablana sebagai Sumber Hukum
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan
sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis)
sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man
qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah
mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam memperoleh
kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang
dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Al Qur’an yang secara
tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali
oleh para ahli usul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man
qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat
146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak
dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau
yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah
Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami
adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat Yahudi,
namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam
Alqur’an yang membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah
Q.S. Al An’am ayat 145 yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi (karena
sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Contoh lain bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas
kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang,
syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya Q.S.
Huud : 3,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus
dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki
konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan
dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa
perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang
dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu
pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis.
Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi
Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. Al Mudatsir: 4
“ Dan pakaianmu bersihkanlah”.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat
menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah
tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat
Alqur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang
tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam
membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi
Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan
oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. Al
Baqarah : 183 , “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah
berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim.
Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan
pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:“Berkurbanlah karena
yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan
metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut
dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya
penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui
ayat-ayat Al Qur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti
bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-
fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan
menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh,
terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi
Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat
terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan
tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada
dalil lain. Misalnya Q.S. Al maidah :32, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi.”
Begitu juga pada Q.S. Al Maidah : 45 “Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-
nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang zalim.”
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya
kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak
menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak.
Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di
kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk
umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an
yang nota benemerupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at
terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam
adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang
mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang
anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena
ia dituliskan kembali dalam Al Qur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at
Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa
bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak
perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin
berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat
yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali
adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at
Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan
syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi, menjelaskan bahwa dalam persoalan
tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam
dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian
ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak
ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam.
Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf, yang mengatakan bahwa syari’at
Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at
tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat
ditemukan dalam Zuhaili, dengan menambahkan bahwa sebagian ahli usul al-
fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya
terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Abdul Wahab Khallaf, juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul
al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i,
berpendapat bahwa syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam
syari’at Islam serta kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan
mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak adanya dalil normatif yang
secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at
yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah
disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam
perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah
untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat
sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada
ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu, berarti ia diakui di
dalam syari’at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli usul al-fiqh di atas, maka sebagai
pemeluk Islam yang hidup di zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di
antara dua pilihan sebagai salah satu langkah ittiba’ atau memiliki pemikiran
lain yang juga tidak terlepas dari dua macam pemikiran di atas. Namun apabila
dihadapkan pada pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas dan diharuskan
untuk memilih, penulis lebih cenderung mengikuti pemikiran para ahli usul al-
fiqh yang pertama, yakni tidak menerima syari’at-syari’at terdahulu, khususnya
yang berkaitan dengan tidak adanya penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini
penulis juga lebih cenderung melihat syari’at Islam terdahulu yang disebutkan
dalam Alqur’an (sebagaimana yang dicontohkan pada Q.S. Al Maidah : 32 dan
45 di atas) hanyalah sekedar menceritakan kondisi hukum pada zaman itu. Hal
ini juga sekaligus menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai dengan
karakteristik, adat, sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu.
Oleh karena itulah, penulis lebih cenderung penggunaan metode syar’u man
qablana hanya dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi hukum-hukum yang
sesuai dengan karakteristik masyarakat yang berkembang sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan sebagai individu yang memiliki hak hidup.
Dengan demikian ada dua bagian penting dalam masalah syar’u man
qablana, yakni :
a.    Apa yang disyari'atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat
Nabi Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti
puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
b.   Apa yang disyari'atkan kepada mereka tidak disyari'atkan kepada kita.
Misalnya yang disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti "Dosa orang jahat itu
tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri" dan "pakaian yang
terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotdng bagian yang terkena najis
tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk
ditinggalkan, karena syari'at islam telah menghapusnya.

G.    Mazdhab Shahaby
1.    Pengertian Mazdhab Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat
tentang sesuatu hukum Syara', sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika
Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah atau peristiwa yang pemecahan
hukumnya tidak terdapat dalam nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara
langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan
oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di bidang hukum Islam, lama
menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al Qur'an dengan
baik. Artinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh para sahabat yang mempunyai
keahlian berijtihad.
2.   Kedudukan Hukum Mazdhab Shahaby
a.    Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta
ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
b.   Mazhab   sahabat  yang   berdasarkan   hasil   ijtihad   tetapi  telah   mereka
sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di
samping  dekat dengan  rasul,  mereka  mengetahui  rahasia-rahasia tasyri' dan
mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sring terjadi. Contoh
mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian
harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
c.    Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak
wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : "Tidak melihat
seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah",
sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepadara'yu dan di antara sahabat
sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan.
3.   Contoh Madzhab Sahaby
Pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak
akan lebih dari dua tahun. Beliau mengatakan sebagai berikut:
"Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun,
berdasarkan ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun".

Anda mungkin juga menyukai