MUKHTALAF
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad, melalui perantara malaikat Jibril yang sampai kepada kita
secara Mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an
merupakan wahyu yang tampak (Iwahyu azzahir), yaitu pesan Allah kepada
Nabi SAW, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang
sepenuhnya dari Allah.
Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti
sekarang biasa kita lihat dalam bentuk sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara
berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah SAW. Kenapa
demikian ?, Pertama, tasbit al-fuad, memantapkan hati berupa ketenangan dan
kepuasan dalam menerima dan menjalankan isi Al-Qur’an baik bagi Nabi
maupun umatnya. Kedua, tartil, yaitu membaca dengan baik secara keseluruhan
sehingga keasliannya dapat terjamin. Oleh hal itu diturunkan Al-Qur’an secara
sedikit demi sedikit dan bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus,
niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.
Dengan melihat Al-Qur’an kita bisa mengetahui apa yang semestinya kita
lakukan. Kita tau mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan haram, mana
yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Itulah fungsi Al-Qur’an sebagai
pembeda (furqan).
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi manjadi dua, yaitu
ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
a. Ayat Muhkamat, artinya ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi
ketika memahaminya. Dan juga terhindar dari kemunculan beberapa pendapat
dalam memaknainya. Contohnya perintah shalat dan puasa.
b. Ayat Mutasyabbihat, artinya ayat yang tidak pasti arti dan maknanya
sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat Mutasyabihat
sifatnya zanniyah ad=dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti.
Misalnya kata quru’ yang dapat berarti suci dapat berarti pula haid
2. As-Sunnah
Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sedangkan Sunah adalah wahyu
internal wahyu batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW.
Dengan demikian segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa dapat
dikatakan sunah.
A. Macam – macam As-Sunnah
a. Sunah Qauliyyah
Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah yang berkaitan dengan perkataan.
Sunah Qauliyah merupakan seluruh perkataan Nabi SAW, perkataan Nabi
tersebut didengar oleh sahabat dan diteruskan kepada Tabi’in.
b. Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW, yang dilihat dan diperhatikan
oleh sahabat disebut dengan sunah Fi’liyah.
c. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sikap Nabi SAW terhadap suatu kejadian (perbuatan
atau perkataan sahabat) yang dilihatnya.
B. Fungsi dan Kedudukan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa kedudukan sunah dalam penetapan suatu hukum
adalah sebagai dasar yang kedua setelah Al-Qur’an. Yang demikian itu telah
dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah wafat. Mereka bersepakat bahwa sunnah wajib diikuti. Mereka
tidak membedakan antara katentuan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
ketentuan yang disampaikan dalam sunnah.
3. Ijmak
4. Qiyas
Dari segi bahasa qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Secara istillah, qiyas menurut Abu Zahra adalah :
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan
perkataan lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan ‘illah”
Sebabnya adalah ada persoalan baru yang belum ada hukumnya, tetapi memiliki
kesamaan ‘illah(sebab) dengan permasalahan lamcyang sudah ada hukumnya.
Dengan demikian hukum permasalahan baru itu dapat di-qiyas-kan dengan
hukum permasalahn lama.
Nie ane kasih contohnya :
“kewajiban mengeluarkan zakat padi karena di-qiyas-kan dengan zakat gandum
yang hukumnya sudah ditetapkan oleh Hadist Nabi Saw”.
A. Rukun Qiyas
Untuk melakukan qiyas ada 4 rukun yang harus dipenuhi... jadi tidak sembarang
yaw ....
a) Al-Aslu, sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nas.
b) Al-Far’u, sesuatu yang baru dan tidak ada hukumnya dalam nas.
c) Hukum Asal, hukum syarak yang ada nasnya sebagai pangkal hukum bagi
cabang.
d) ‘illah, sifat yang ada pada hukum asal. Contohnya sifat memabukkan yang
ada pada khamr. ‘illah merupakan unsur terpenting dalam qiyas. Dalam ‘illah,
qiyas qiyas pun tidak ada.
B. Macam-Macam Qiyas
a) Qiyas Aula, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan aannya hukum.
b) Qiyas Musawi, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan adanya hukum yang
sama, baik pada hukum yang ada pada al-aslu maupun maupun hukum yang
ada pada al-far’u (cabang).
c) Qiyas Adna, qiyas dimana hukum al-far’u lebih lemah keterkaitan-nya
dengan hukum al-aslu.
B. Maslahah Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Katamaslahah berasal dari kata bahasa arab صلَ َح َ
يَصْ لُ ُح – menjadi ص ُْلحًا atau ً َمصْ لَ َحة yang berarti sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: ُمرْ َس -ًاِرْ َساال – يُرْ ِس ُل – اَرْ َس َل
ٌل menjadi ُمرْ َسل yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam,
juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah
menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada
ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan
syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian
umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah
syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-
nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara
kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu
masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan
oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat
umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang
bersifat umum pula.
2. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih
mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
diantaranya:
a. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’
meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2) Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’,
3) Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a) Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan
yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b) Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh
serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
b. Dari segi Kandungan Maslahah
1) Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua
kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas
ummat/kelompok.
2) Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan
yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang
harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam
mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
c. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
1) Maslahah al Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Maslahah al Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al Syalabi, dimaksudkan untuk
memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
3. Tingkatan Maslahah Mursalah
a. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan
dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi.
b. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok)
manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat
serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka
kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak
sampai punah.
c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap)
dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini
tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat,
kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang
bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting
terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang
dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriyyang
hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak
berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang sifat dharuriy-nya lebih
tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan.
Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai
pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan
lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnyadharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah
adalah wajib secara dharuriyah, karena hal ini pada posisi terpenting kedua
sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang
mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya
dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-
lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang
mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya
bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan terselenggaranya suatu
jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat
terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalahhajiyyah, maka
syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan
kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas
adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur
teori maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu
dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih
didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah
4. Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah
sebagai sumber hukum.
a. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1) Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun
kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui
petunjuknya.
2) Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada
maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun
menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila
sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat
kedua ini berdasarkan:
1) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-
habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat
yang ada petunjuknya dari syari' (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang
tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum
untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya
membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat
Al Qur'an dan sebagainya.
5. Contoh
Para sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah
mursalahdalam menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan
dasar hukumnya, Misalnya langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan
mushaf Al Qur'an atas saran Umar bin Khatab. Begitu pula penyeragaman
tulisan Al Qur'an oleh Utsman bin Affan. Dalam pernikahan juga disyaratkan
adanya Surat atau Akta Nikah untuk keperluan gugatan cerai, pembagian harta
pusaka dan sebagainya. Meskipun semua itu tidak ada dasar hukum Syara'nya,
namun sangat bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi umat.
C. Istishâb
1. Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak
melepaskan sesuatu. Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu
yang lalu dan menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya.
Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah
ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber
hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Menurut Al Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya
atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya
suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Menurut Al Qarafy (w. 486H) mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan
bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa
ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah membiarkan berlangsungnya
suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan
ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah
penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa
kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah
atau mobil ini, entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama
kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan
tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah
atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata
lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya
hingga ke masa kini atau nanti.
2. Macam-macam Istishab
a. Istishab Aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama
sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah
(tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan muamalah (tidak sepenuhnya
sama dengan fiqih muamalah).
b. Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang tegak karena perintah Allah dan
Rasulullah serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Contohnya
adalah wudu dan jumlah rakaat salat.
3. Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki
ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang
mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’ atau
qiyas. Al Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang
mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-
Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya
dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab
al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya
adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses
penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
a. Istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah
hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah,
mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
1) Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika
adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS. Al
An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya
mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini
ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku
tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada
ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2) Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)
lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka
(jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan
suara atau mencium bau.”(HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap
memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu
dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa
wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan
shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu
mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3) Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih
yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah
bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah
ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi
seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini
berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus
ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan
kesucian itu belum batal
4) Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
a) Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya
faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum
tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah
dugaan kuat (al-zhann al-rajih)adalah hujjah, maka dengan
demikian istishhab adalah hujjah pula.
b) Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya
atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas
keyakinan, berdasarkan kaidahal-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
b. Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.
Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.baik dalam menetapkan
hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1) Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan
dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu
berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2) Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan
apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika
seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain
pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas
dasar istishhab pula.
c. Istishhab adalah hujjah pada saat membantah.
Hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan
hukum yang lalu (bara’ah al dzimmah) dan tidak dapat sebagai hujjah untuk
menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama
Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah
karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu
tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa
selanjutnya.
4. Contoh
Seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengambil air wudlu atau
belum. Dalam hal ini, ia harus berpegang pada keyakinan dirinya belum
mengambil air wudu, sebab itu yang asal (tidak berwudlu), dan orang yang salat
tanpa wudlu tidak sah. Akan tetapi, jika ia yakin bahwa dirinya telah berwudlu
dan tidak batal, maka ia harus berpegang kepada keyakinannya, yaitu belum
batal dari wudlu. Keraguan harus dihilangkan oleh keyakinan, bila yakin sudah
berwudu dan belum batal, maka tidak perlu mengambil air wudu kembali. Akan
tetapi, jika yakin wudunya telah batal atau belum berwudlu, maka segeralah
berwudlu.
D. Uruf
1. Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu
yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat.
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau
meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang
yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
2. Macam-macam Uruf
Pembagian ‘uruf ada dua diantaranya:
a. ‘Uruf shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1) ‘Uruf shohih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun
dan kapanpun mereka berada. Dan ‘urf ‘am ini termasuk kategori ijma’ bahkan
mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma’. Seperti sesuatu yang
diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan
pakain adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2) ‘Uruf shohih khos
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi
ataupun sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau
bercocok taman dan lain sebagainya. Dan ‘uruf yang seperti ini ketika dijadikan
landasan dari sebuah hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya
berlaku di tempat dan pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena
‘uruf khos ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .
b. ‘Uruf fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan
hukum, karena bertentangan dengan nash-nash qot’i
3. Kedudukan sebagai sumber hukum
‘Uruf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila
sudah tidak memenukan hukum dalam Al Qur’an. Dengan berlandaskan sebuah
hadist yang artinya : Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam,
juga dinilai baik disisi Allah.
Bahkan imam jalaluddin As-Sayuti dalam kitab asybah wa an
nadloir mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘uruf termasuk dalam
kategori ketetapan berdasaekan dalil syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada
satu kaidah yang masyhur dikalangan ulama’ yang artinya : Apa yang terkenal
sebagai ‘uruf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat, dan sesuatu yang
tetap karena ‘uruf sama dengan yang tetap karena nash.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat
dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan
syara’
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat
pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan.
Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karean bertentangan
dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
4. Syarat-syarat Uruf
a. Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat.
b. ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya.
Artinya ‘urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi
Jika terjadi pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ di tengah-tengah masyarakat,
maka pertentangan tersebut adalah:
a. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf
tidak dapat diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan
anak yang diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus
ditinggalkan.
b. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus, maka ‘urf harus
dibedakan antara ‘urf al-lafzidengan ‘urf al-amali, jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi,
maka dapat diterima, dengan alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak
dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-
amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyyah jika ‘urf al-amali bersifat
umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
c. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan
‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi
maupun amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara’.
Seperti kerelaan anak perawan ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai
dengan perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat
sekarang anak perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap
perkataan orang tuanya.
5. Contoh Uruf
'Urf perbuatan, misalnya dalam melakukan transaksi jual beli, jarang ada orang
yang melakukan ijab kabul ketika mereka saling menyerahkan barang (bagi
pedagang) dan uang (bagi pembeli), dengan mengucapkan “Saya terima
barangnya dan ini uangnya.“ Hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada
umumnya, sehingga jual beli dianggap sah meskipun tidak melalui ijab kabul.
Sedangkan ‘Urf ucapan, misalnya kebiasaan orang Arab mengucapkan kata
walad, bisa berarti anak laki-laki bisa juga anak perempuan. Contoh 'Urfyang
ditinggalkan ialah kebiasaan bangsa Arab mengartikan kata Samak dengan
daging ikan, padahal ada kata "Lahmun" yang mempunyai arti daging, tanpa
membedakan daging ikan atau daging binatang sembelihan.
E. Saddudz Dzarî’ah
1. Pengertian
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara
yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan,
sedang dzarî’ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau
menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan
tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau
terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan
tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan
menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan
perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan
menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada
pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus
dikerjakan sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang
baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa
belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa
belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu
dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini
ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu
sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara
langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara
langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang
secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar,
berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.
Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka
pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian
pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan
zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan
perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2. Dasar Hukum
a. Al Qur’an
Ÿ
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al
An’am ; 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum
muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup
pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara
melampaui batas
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan…” (QS. An Nur ; 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang
kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-
Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula
sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
b. Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan)
keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu,
ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah
kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus
mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari
perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Kedudukan Saddudz Dzarî’ah
a. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber
hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : "Sesunggunya apa-
apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat)
adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari'ah
tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak
pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara
yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita
kepada perbuatan maksiat.
b. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah
tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum
asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits
Nabi saw. dikatakan :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia
akan melanggar larangan tersebut".
4. Contoh
Sudah merupakan adat dan kebiasaan bagi sebagian masyarakat kita, jika
mereka mengadakan walimah anaknya, atau walimah khitan putranya selalu
mengadakan pertunjukan, seperti pertunjukan wayang golek, layar tancap, orkes
dangdut, dan sebagainya.
Sebenarnya, mengadakan pertunjukan hiburan tidak apa-apa (boleh), hanya saja
peristiwa tersebut sering dijadikan ajang keributan antarpemuda, mabuk-
mabukan, tawuran antarkampung, porno aksi dengan busana artis yang seronok
dandanannya, dan hal-hal lainnya. Oleh sebab itu, agar hal-hal negatif tersebut
tidak terjadi, maka hendaknya jalan yang menuju ke arah itu, yakni pertunjukan
hiburan hendaknya ditiadakan, dan menggantinya dengan kegiatan yang positif,
seperti pengajian atau siraman rohani lainnya. Tindakan yang demikian itu,
disebut Syaduz zarai'.
G. Mazdhab Shahaby
1. Pengertian Mazdhab Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat
tentang sesuatu hukum Syara', sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika
Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah atau peristiwa yang pemecahan
hukumnya tidak terdapat dalam nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara
langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan
oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di bidang hukum Islam, lama
menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al Qur'an dengan
baik. Artinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh para sahabat yang mempunyai
keahlian berijtihad.
2. Kedudukan Hukum Mazdhab Shahaby
a. Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta
ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
b. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di
samping dekat dengan rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri' dan
mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sring terjadi. Contoh
mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian
harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
c. Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak
wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : "Tidak melihat
seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah",
sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepadara'yu dan di antara sahabat
sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan.
3. Contoh Madzhab Sahaby
Pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak
akan lebih dari dua tahun. Beliau mengatakan sebagai berikut:
"Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun,
berdasarkan ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun".