Anda di halaman 1dari 11

STATUS MEDIS

HOLISTIK KOMPREHENSIF
INFEKSI : “PNEUMONIA”

Oleh :
Novita Lesiela Wali’ulhaq Payapo
202020401011141

Pembimbing :
dr. Rubayat Indradi, M. OH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
I. Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan

konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan

histologis terdapat pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan

eksudat yang ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu

yang bervariasi.1,2 Pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan

melalui udara, dengan sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan

kuman dalam bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin.3 Secara klinis

pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh

mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).4

Pada proses pathogenesis pneumonia dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan

mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru.

Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat

berkembang biak dan menimbulkan penyakit.4 Pada pneumonia mikroorganisme biasanya

masuk secara inhalasi (udara yang dihirup) atau percikan droplet yang dikeluarkan oleh

penderita saat batuk, bersin, dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar

penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran

pernapasan penderita. 3

Pada saat mikroorganisme masuk melalui proses inhalasi, mikroorganisme dapat

melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan

jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan sehingga terjadilah edema dan pelepasan sel-sel PMN yang dinamakan zona
kongesti. Setelah terjadinya zona kongesti, maka PMN yang tersekresi beserta eritrosit

akan mendesak bakteri menuju permukaan alveolus yang dinamakan zona hepatisasi

merah. Saat itu akan terjadi fagositosis aktif bakteri yang dilakukan oleh PMN dan

makrofag alveolus yang dinamakan zona hepatisasi kelabu. Hasil fagosit aktif ini berupa

cairan eksudat inflamatori, bakteri yang mati, dan leukosit.5

II. Epidemiologi

Infeksi M. Pnemonia dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik.

Prevalensi kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal

musim gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Menurut WHO terdapat

hingga 1 juta kematian disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae adalah sebuah

penyakit infeksius yang sangat berhubungan dengan tingginya tingkat kesakitan, kematian,

dan biaya kesehatan di dunia., dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-

negara berkembang.6 Menurut laporan dari ILO (International Labour Organization) pada

tahun 2013 diperkirakan 2,02 juta meninggal dari berbagai penyakit yang berhubungan

dengan pekerjaan yang terkena paparan gas, uap dan debu.7

Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah

kardiovaskuler dan TBC Kasus pneumonia ditemukan paling banyak meyerang anak balita.

Menurut laporan WHO, sekitar 800.000 hingga 1 juta anak meninggal dunia tiap tahun

akibat pneumonia.3 Pengklasifikasian pneumonia berdasarkan epidemiologinya pneumonia

dibagi menjadi 2 yaitu community-associated pneumonia (CAP) dan hospital-associated

pneumonia (HAP) termasuk diantaranya health care-associated pneumonia (HCAP) dan

ventilator-associated pneumonia (VAP).2 Community-acquired pneumonia (CAP)

merupakan pneumonia pada masyarakat, yang terjadi melalui inhalasi atau aspirasi
mikroba influenza ke paru-paru. Penyebabnya 85% disebabkan oleh Streptococcus

pneumonia, Haemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Insiden pneumonia

komunitas tertinggi pada pasien anak-anak dan lansia, tetapi mortalitas jauh lebih tinggi

pada pasien yang lebih tua dari usia diatas 65 tahun. 8 Di Amerika Serikat telah

diperkirakan, terdapat 915.900 kasus pneumonia komuniti terjadi pada orang dewasa

berusia 65 tahun.9 Penelitian Cilloniz, 2018, memperkirakan pneumonia komunitas

memiliki kejadian 24,8 episode per 10.000 orang dewasa, dengan insiden tertinggi pada

mereka yang berusia 65-79 tahun (63 kasus per 10.000 orang dewasa) dan ≥80 tahun

(164,3 kasus per 10.000 orang dewasa).10 Berdasarkan data Riskesdas 2018 prevalensi

pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah sekitar 2,0%.11 Sedangkan

menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 digambarkan bahwa period

prevalens dan prevalensi dari pneumonia tahun 2013 adalah 1,8% dan 4,5%.12

HAP merupakan pneumonia yang muncul setelah 48 jam dirawat di rumah sakit atau

fasilitas perawatan kesehatan lainnya, dengan tanpa adanya infeksi saat masuk rumah sakit.

HAP merupakan penyebab infeksi kedua yang paling umum terjadi pada pasien di rumah

sakit dan sebagai penyebab utama kematian karena infeksi (mortalitas rate sekitar 30-

70%).14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSCM pada bulan Juni 2006 hingga

bulan desember 2012 didapatkan angka kejadian HAP sebanyak 53,4% terjadi pada pria

dengan angka kematian mencapai 44,1%.2 Hal tersebut sesuai dengan data Profil

Kesehatan Indonesia 2005 bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian ke 6 di rumah

sakit.13

Diagnosis pneumonia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang. Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil,


suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 derajat celcius, batuk dengan dahak mukoid atau

purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.15 Diagnosis klinis

pneumonia komunitas yang disertai penyakit penyerta sulit dilakukan. Penemuan kuman

etiologi pneumonia merupakan hal yang sulit dan membutuhkan waktu lebih lama.16

III. Faktor Risiko 17,18,19

a. Proses produksi

Pada video tersebut tampak sesekali pekerja menghirup daun teh yang akan

dimasukkan kedalam mesin dengan jarak sangat dekat, hal tersebut memungkinkan

organisme yang ada pada daun teh masuk ke rongga hidung. Selain itu di bagian

pengolahan daun teh yang sudah dikeringkan, dapat memperberat kondisi para pekerja

yang terkena pneumonia. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan proses penggilingan

daun teh kering akan ada banyak debu maupun serpihan dari daun teh tersebut yang

berterbangan. Banyaknya debu partikel kecil tersebut membuat sangat mudah terhirup ke

saluran nafas pekerja, terlebih apabila para pekerja tersebut tidak menggunakan APD

terutama masker saat melakukan pekerjaanya.

b. Lingkungan Kerja

Pada video tersebut menunjukkan banyak pekerja yang berada dalam suatu ruangan atau

unit dan kondisi ruangan tertutup, yang dapat meningkatkan resiko penularan pneumonia.

Selain itu kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya penggunaan APD terutama

masker, menyebabkan resiko penularan pneumonia semakin bertambah. Peningkatan

resiko dari penularan pneumonia ini dapat diminimalkan apabila para pekerja melakukan

pekerjaanya dengan jaga jarak dan menggunakan APD masker. Pemakaian APD terbukti

dapat mengurangi resiko paparan penularan penyakit kepada tenaga kerja. Selain itu faktor
resiko yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang menderita pneumonia adalah

keadaan lingkungan yang terlampau padat, serta pencemaran udara dalak ruang akibat

pengolahan daun teh.

c. Pekerja

Kurangnya edukasi serta Kesadaran yang buruk dan peraturan yang berlaku akan

pentingnya penggunaan APD menjadi faktor terpenting dalam peningkatan faktor resiko

penularan pneumonia. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya kesadaran pekerja

pentingnya dalam memakai APD. Selain itu kerentanan fisik, jam kerja, kecukupan gizi,

daya tahan tubuh, gaya hidup berupa mengkonsumsi alkohol dan merokok serta kondisi

lingkungan tempat tinggal dan sosial ikut mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap

patogen penyebab pneumonia itu sendiri.

IV. Rencana Penatalaksanaan 5,13,20,21

a. Promotif

- Penyuluhan mengenai kesehatan dan keselamatan kerja (K3) termasuk

penggunaan alat pelindung pada pekerja sehingga dapat memastikan pekerja

tahu bagaimana cara menggunakan APD dengan benar dan efektif, pekerja

tidak melepas APD selama aktivitas kerja baik ketika berbicara atau bernapas,

selain itu pekerja juga harus menerima pelatihan tentang perawatan, dan

pemeliharaan APD, termasuk pembersihan, dan penyimpanan

- Memberikan edukasi kepada penderita penyakit menular, bahwa penyakit yang

dialaminya berpotensi menularkan pada rekan kerjanya, sehingga diwajibkan

untuk selalu menggunakan masker.


b. Preventif

- Menggunakan Masker pada pekerja yang bertugas di unit pengolahan daun teh

bermesin, serta diwajibkan menggunakan APD terutama masker ketika sedang

sakit.

- Bagi pekerja yang tidak memakai APD terutama masker dapat diberikan sangsi

untuk memberikan efek jera dan tidak mengulanginya lagi.

- Cuci tangan baik sesudah dan sebelum makan atau memegang sesuatu

- Penyediaan alat pelindung diri dan fasilitas pada lingkungan kerja seperti tempat

cuci tangan dan ventilasi udara

- Perusahaan membuat kebijakan untuk membatasi perkumpulan para pekerja

terutama ketika jam istirahat untuk meminimalisir penyebaran penyakit menular

terutama yang dapat ditularkan melalui inhalasi.

- Perusahaan melakukan skrining kesehatan (medical check up) secara berkala

- Vaksinasi preventive dengan menggunakan polysacharide conjugae vaccine

(PVC 13)

c. Kuratif

Tata laksana umum:5

- Rawat Inap

- Oksigen Nasal 2L  dipertahankan hingga saturasi >95%

- Infus RL 1500cc/24 jam

- Pasien dengan saturasi oksigen <92% dapat diberikan bantuan oksigen nasal

canule, masker, atau ventilator jika didapatkan gagal nafas.


- Nebulasi B2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki

mucociliary clearance. Dapat diberikan Salbutamol/Ipratropium bromide 2 x 1

- Bila suhu >39 derajat celcius dapat diberikan antipiretik seperti paracetamol.

- Drainage cairan efusi pleura jika sudah terjadi empiema menggunakan chest

tube atau dengan pembedahan.

Rujuk Spesialis Paru

- Tata laksana Causatif (umumnya pemberian antibiotic dengan jangka waktu

10-14 hari).

- Inj. Iv. Ceftriaxone 2 x 1 gram

d. Rehabilitatif

- Istirahat yang cukup (8 jam sehari )

- Menjaga pola makan dengan teratur (makan 3x sehari dengan gizi seimbang)

- Meminum obat secara teratur

- Menggunakan masker terutama saat di lingkungan kerja

- Pada pekerja yang sakit diberikan kebijakan untuk cuti sehingga dapat melakukan

isolasi mandiri dan diberikan sampai pengobatannya tuntas

V. Referensi

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia balita. 2010 Sep (cited 2021 Oct

20). Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-

kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2010.pdf

2. Tang.J et al. 2019. Diversity of UPPER Respiratory Tract Infection aand Prevalence of

Streptococcus Pneumoniae Colonitation Among Patients with Fever And Flu-Like


Symptoms. BMC Infectious Disease. Available from:

https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12879-018-3662-z

3. Aasen.T.,B. 2016. Occupational Exposure and Respiratory Tract Infections - At Risk

Workers in the International Context. Current Respiratory Medicine Reviews, 2016, Vol.

12, No. 1. Available from:

https://www.researchgate.net/publication/284206890_Occupational_Exposure_and_Resp

iratory_Tract_Infections_-At_Risk_Workers_in_the_International_Context

4. Amin Z, Halim S. Profil klinis pasien hospital acquired pneumonia di ruang rawat

penyakit dalam. 2014 [cited 2021 Oct 20];20(1):19-28. Available from:

https://journal.untar.ac.id/index.php/ebers_papyrus/article/view/626

5. Profil Kesehatan Indonesia. 2014 (diakses tanggal 20 Oktober 2021). Tersedia di:

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-

kesehatan-indonesia-2014.pdf

6. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis. 2020 [cited 2021 Oct

20]. Tersedia dari:

https://drive.google.com/file/d/1i2MU3bQOkVfNmQ7HwUVItVTqS8-mie3v/view

7. Jain S, Self WH, Wunderink RG, Fakhran S, Balk R, Bramley AM, et al. Community-

acquired pneumonia requiring hospitalization among U.S. Adults. New England Journal

of Medicine [Internet]. 2015 July [cited 2021 Oct 20];373(5):415-27. Available from:

https://doi.org/10.1056/NEJMoa1500245

8. Fentiana N, Putri R. Kedisipinan penggunaan APD, kebiasaan merokok, dan

pengaruhnya dengan gangguan pernafasan pada polantas. 2018 [cited 2021 Oct
20];11(2):107-114. Tersedia dari:

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/kesehatan/article/view/6332

9. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Indonesia. Pneumonia bronkopneumonia.

2014;1:262-8.

10. Reyes LF, Anzueto A, Restrepo MI. Complication of community-acquired pneumonia

(including cardiac complications). 2016 Dec [cited 2021 Oct 20]; 37(06): 897-904.

Tersedia dari: https://doi.org/10.1055/s-0036-1593754

11. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al.

Infectious diseases society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines

on the management of community-acquired pneumonia in adults. 2007 Mar [cited 2021

Oct 20];44(2):S27-S72. Available from: : https://doi.org/10.1086/511159

12. Cillóniz C, Cardozo C, García-Vidal C. Epidemiology, pathophysiology, and

microbiology of community-acquired pneumonia. 2018 Jan [cited 2021 Oct 20];2(1).

Available from: http://arh.amegroups.com/article/view/3921/4658

13. Dahlan Z. Pneumonia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Jakarta:

Interna Publishing; 2017. p. 196-200

14. Warganegara E. Pneumonia nosocomial (hospital-acquired, ventilator-associated dan

health care-associated pneumonia). 2017 [cited 2021 Oct 20];1(3):612-8. Available from:

http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/view/1729

15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Press Release Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

World Pneumonia Day 18. 2018 [cited 2021 Oct 20]. Tersedia dari:

https://www.klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=8704
16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia dalam Profil Kesehatan

Indonesia tahun 2017. 2017 [cited 2021 Oct 20]: p.170. Tersedia dari:

https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/

Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf

17. Nelson ilmu kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Singapura: Singapura; 2014. h. 527-34

18. Irawan R, Reviono, Harsini. Korelasi kadar copeptin dan skor PSI dengan waktu terapi

sulih antibiotik intravena ke oral dan lama rawat pneumonia komunitas. 2019 [cited 2021

Oct 20];39(1). Tersedia dari:

https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/viewFile/40/25

19. Azhari MK. Penerapan hand hygienis dan penggunaan alat pelindung diri dalam

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di ruang isolasi RSU Labuang Baji

Makassar [Skripsi]. Makassar : Fakultas Imu Kesehatan Universitas Alaudin Makassar;

2017.

20. Junawanto I, Goutama IL, Sylvani. Diagnosis dan penanganan terkini bronkiolitis pada

anak. 2016 [cited 2021 Oct 20]; 43(6): 427-30. Available from:

http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/70

21. Almirall J, Serra-Prat M, Bolibar I. Balasso V. Risk factors for community-acquired

pneumonia in adults. 2017 [cited 2021 Oct 20]; 94(3):299-311. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28738364/

Anda mungkin juga menyukai