Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH MATERNITAS

PERUBAHAN ADAPTASI FISIOLOGIS


PADA IBU POST PARTUM

DISUSUN OLEH :
BENNY MARIA LUMBANTORUAN

POLTEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI MEDAN


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
T.A 2022
1
A. Post Partum

Post partum atau masa nifas adalah masa pulih kembali seperti sebelum
hamil, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali
seperti kembali sebelum hamil, lama masa nifas yaitu 6-8 minggu (Mochtar,

R. 1998). Post partum spontan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi
pada kehamilan cukup bulan dengan kekuatan ibu tanpa anjuran ataupun obat
(Prawiroharjo, 2001). Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
Masa nifas kira-kira 6 minggu (Saifudin, 2001).

Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Lebih-lebih bila partus


berlangsung agak lama. Karenanya, harus cukup istirahat, delapan jam post
partum wanita harus tidur terlentang untuk mencegah terjadinya perdarahan
post partum. Setelah delapan jam boleh miring ke kiri atau ke kanan, untuk
mencegah adanya trombosis. Ibu dan bayi dapat ditempatkan dalam satu
kamar bersama disebut rooming in, atau pada kamar yang berpisah. Pada hari
kedua bila perlu telah dapat dilakukan latihan-latihan senam. Umumnya pada
hari ketiga sudah bisa duduk, pada hari keempat berjalan, dan pada hri kelima
dapat dipulangkan.

Ibu postpartum primipara adalah seorang wanita yang pernah hamil satu
kali, dimana wanita tersebut melahirkan satu atau dua anak yang hidup. Ibu
postpartum multipara adalah seorang wanita yang telah hamil dua kali atau
lebih yang menghasilkan janin hidup, tanpa memandang anak itu hidup saat
lahir (Ramali, 1997).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman postpartum (Barbara. S,


2004) :

1. Sifat persalinan dan kelahiran, serta tujuan kelahiran.

2. Persiapan persalinan, kelahiran, dan peran menjadi orang tua.

3. Transisi menjadi orangtua yang mendadak.

2
4. Pengalaman keluarga secara individual atau bersama terhadap
kelahiran anak dan membesarkan anak.

5. Harapan peran anggota keluarga.

6. Kepekaan dan efektivitas asuhan keperawatan dan perawatan


profesional lainnya.

7. faktor-faktor resiko pada komplikasi pascapartum, faktor-faktor


resiko tersebut meliputi :

a. Preeklampsia atau eklampsia

b. Diabetes

c. Masalah jantung

Adapun tujuan perawatan pada postpartum antara lain (Barbara. S, 2004) :

1. Meningkatkan involusi uterus normal dan kembali ke keadaan sebelum


hamil.

2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi postpartum.

3. Meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan pelvik, jaringan


perianal dan perineal.

4. Membantu pemulihan fungsi tubuh normal.

5. Meningkatkan pemahaman terhadap perubahan-perubahan fisiologis


dan psikologis.

6. Memfasilitasi perawatan bayi baru lahir dan perawatan mandiri oleh


ibu baru.

7. Meningkatkan keberhasilan integrasi bayi baru lahir ke dalam unit


keluarga.

8. Menyokong keterampilan peran orangtua dan pelekatan orangtua-bayi.


3
B. Adaptasi Fisiologis ibu setelah persalinan

Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal,


dimana proses-proses pada kehamilan berjalan terbalik. Perubahan fisiologi
yang terjadi antara lain :

1. Sistem reproduksi

a. Uterus

Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah


melahirkan disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta
keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus.

Subinvolusi ialah kegagalan uterus untuk kembali pada keadaan tidak


hamil. Penyebab subinvolusi yang paling sering ialah tertahannya
fragmen plasenta dan infeksi.

Pada primipara tonus uterus meningkat sehingga fundus pada


umumnya kencang, relaksasi dan kontraksi yang periodik sering
dialami multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan
sepanjang masa awal puerperium.

b. Serviks

Serviks menjadi lunak segera setelah melahirkan. Delapan belas (18)


jam pascapartum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih
padat dan kembali kebentuk semula. Serviks setinggi segmen bawah
uterus tetap endematosa, tipis dan rapuh selama beberapa hari setelah
ibu melahirkan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada serviks ialah segera


postpartum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Warna

4
serviks sendiri merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah.

c. Vagina

Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam pemisahan


mukosa dalam vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semulanya
sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum
hamil, 6 sampai 8 minggu setelah bayi lahir.

2. Sistem endokrin

a. Hormon plasenta

Selama periode pascapartum, terjadi perubahan hormon yang besar.


Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-
hormon yang diproduksi organ tersebut.

b. Hormon hipofisis dan fungsi ovarium

Waktu dimulainya ovulasi dan menstruasi pada wanita menyusui dan


tidak menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada
wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena
kadar follicle-stimulating hormone (FSH) terbukti sama pada wanita
menyusui dan tidak menyusui, disimpulkan ovarium tidak berespons
terhadap stimulasi FSH ketika prolaktin meningkat (Bowes, 1991).

3. Sistem urinarius

a. Komponen urine

Glikosuria ginjal yang diinduksi oleh kehamilan menghilang.


Laktosuria positif pada ibu menyusui merupakan hal yang normal.
BUN (blood urea nitrogen), yang meningkat selama masa
pascapartum, merupakan akibat otolisis uterus yang berinvolusi.

b. Diuresis pascapartum

Diuresis pascapartum yang disebabkan oleh penurunan kadar estrogen,


hilangnya peningkatan tekanan vena pada tungkai bawah, dan

5
hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, merupakan
mekanisme lain tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan.

c. Uretra dan Kandung kemih

Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama


melahirkan, yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir. Dinding kandung
kemih dapat mengalami hiperemis dan edema, seringkali disertai
daerah-daerah kecil hemoragi. Kombinasi trauma akibat kelahiran,

peningkatan kapasitas kandung kemih setelah bayi lahir, dan efek


konduksi anastesi menyababkan keinginan untuk berkemih menurun.

4. Sistem cerna

a. Nafsu makan, motilitas, dan defekasi

Ibu biasanya lapar segera setelah melahirkan, sehingga ia boleh


mengkonsumsi makanan ringan. Setelah benar-benar pulih dari efek
analgesia, anestesia, dan keletihan ibu merasa sangat lapar.

Secara khas penurunan tonus dan motalitas otot traktus cerna menetap
selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan
anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motalitas ke
keadaan normal.

Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga
hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan karena tonus
otot usus menurun selama proses persalinan dan pada masa awal pasca
partum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang
makan, dan dehidrasi.

b. Payudara

Ibu tidak menyusui

Apabila wanita memilih untuk tidak menyusui dan tidak


menggunakan obat antilaktogenik, kadar prolaktin akan turun dengan
cepat. Sekresi dan ekskresi kolostrum menetap selama beberapa hari
6
pertama setelah wanita melahirkan.

Ibu yang menyusui

Ketika laktasi terbentuk, teraba suatu masa (benjolan), tetapi kantong


susu yang terisi berubah posisi dari hari ke hari. Sebelum laktasi
dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan, yakni
kolostrum, dikeluarkan dari payudara.

5. Sistem kardiovaskuler

a. Volume darah

Penyesuaian pembuluh darah maternal stelah melahirkan berlangsung


dramatis dan cepat. Respon wanita dalam menghadapi kehilangan
darah selama masa pascapartum dini berbeda dari respon wanita tidak
hamil. Tiga perubahan fisiologis pascapartum yang melindungi wanita

1. Hilangnya sirkulasi uteroplasenta yang mengurangi ukuran


pembuluh darah maternal 10% sampai 50%.

2. Hilangnya fungsi endokrin plasenta yang menghilangkan stimulus


vasodilatasi.

3. Terjadinya mobilisasi air ekstravaskuler yang disimpan selama


wanita hamil.

b. Curah jantung

Denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat


sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini
akan meningkat bahkan lebih tinggi selama 30 sampai 60 menit karena
darah yang biasanya melintasi sirkuit uteroplasenta tiba-tiba kembali
ke sirkulasi umum.

6. Sistem neurologi
7
Perubahan neurologi selama puerperium merupakan kebalikan adaptasi
neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebabkan trauma yang
dialam wanita saat bersalin dan melahirkan. Rasa tidak nyaman neurologis
yang diinduksi kehamilan akan menghilang setelah wanita melahirkan.

7. Sistem muskuloskeletal

Adaptasi sistem muskuloskeletal ibu yang terjadi selama masa hamil


berlangsung secara terbalik pada masa pascapartum. Adaptasi ini
mencakup hal-hal yang membantu relaksasi dan hipermobilitas sendi dan
perubahan pusat berat ibu akibat pembesaran rahim.

8. Sistem integumen

Klaosma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat


kehamilan berakhir. Hiperpigmentasi di aerola dan linea nigra tidak
menghilang seluruhnya setelah bayi lahir. Pada beberapa wanita,
pigmentasi pada daerah tersebut akan menetap. Kulit yang meregang pada
payudara, abdomen, paha dan panggul mungkin memudar, tetapi tidak
hilang seluruhnya.

C. Adaptasi Psikososial ibu setelah persalinan

1. Adaptasi psikologis

Adaptasi adalah suatu proses yang konstan dan berkelanjutan yang


membutuhkan perubahan dalam hal struktur, fungsi dan perilaku sehingga
seseorang lebih sesuai dengan suatu lingkungan tertentu. Proses ini
melibatkan interaksi individu dan lingkungan. Hasil akhirnya tergantung

pada tingkat kesesuaian antara keterampilan dan kapasitas seseorang dan


sumber dukungan sosialnya di satu sisi dan jenis tantangan atau stresor
yang dihadapi disisi lain. Maka, adaptasi adalah suatu proses individual
8
dimana masing-masing individu mempunyai kemampuan untuk mengatasi
masalah atau berespon dengan tingkat yang berbeda-beda (Smeltzer S. C,
2001).

Hubungan episode kehamilan dengan reaksi psikologi yang terjadi :

a. Trimester I : sering terjadi fluktuasi lebar emosional sehingga periode


ini mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya pertengkaran atau rasa
tidak nyaman.

b. Trimester II : Fluktuasi emosional sudah mulai mereda dan perhatian


wanita hamil lebih terfokus pada berbagai perubahan tubuh yang
terjadi selama kehamilan, kehidupan seksual keluarga dan hubungan
batiniah dengan bayi yang dikandungnya.

c. Trimester III : Berkaitan dengan bayangan risiko kehamilan dan proses


persalinan sehingga wanita hamil sangat emosional dalam upaya
mempersiapkan atau mewaspadai segala sesuatu yang mungkin akan
dihadapi.

Model konsep adaptasi pertama kali dikembangkan oleh sister


Calista Roy (1991) konsepnya dikembangkan dari konsep individu dan
proses adaptasi seperti di uraikan dibawah ini, asumsi dasar model
adapatasi roy adalah :

a. Input

(Roy, 1991) mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus,


merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga
tingkatan yaitu stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus
residual. Kondisi kesehatan pada usia dewasa merupakan contoh dari
stimulus fokal, kontekstual maupun residual.

1). Stimulus fokal adalah stimulus yang langsung berhadapan dengan


seseorang, efeknya segera. Sebagai contoh seseorang bisa berpaling

9
dengan cepat ketika suatu suara gaduh yang sangat nyaring.

2). Stimulus kontekstual adalah semua stimulus lain yang dialami


seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi
dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan.
Rangsangan ini muncul bersamaan dimana dapat menimbulkan respon
negatif pada stimulus fokal. Sebagai contoh adanya faktor negatif dan
positif pada stimuli yang timbul.

3). Stimulus residual adalah ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan
dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi, yang meliputi
kepercayaan, sikap, sifat individu berkembang sesuai dengan
penglaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi.
Sebagai contoh seseorang yang ditakutkan pada suatu masalah yang
telah melupakan sesuatu yang hilang dimana itu adalah sebagai anak.

b. Mekanisme koping

Mekanisme koping seseorang untuk beradaptasi atau berespon


terhadap stimulus di gunakan sebagai mekanisme kontrol ini dibagi
atas regulator dan kognator yang merupakan subsistensi.

1). Subsistensi regulator

Subsistensi regulator mempunyai komponen-komponen : input-


proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal.
Transimeter regulator sistem adalah kimia, neural atau endrokrin.
Refleks otonom adalah respon neural dan brain system dan spinal cord
yang diteruskan sebagai perilaku output dari regolator sistem. Proses
fisiologis dapat dinilai sebagai perilaku regolator subsistem.

2). Subsistem kognitor

Stimulus untuk subsistem kognitor dapat eksternal maupun


internal.perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi
10
stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol
proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,
penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan
dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat,
reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam).
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses
internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisis. Emosi
adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunkan
penilaian dan kasih sayang (Roy, 1991).

c. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur
atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun
dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem.

Roy (1991) mengkategorikan output sistem sebagai respon adaptif atau


respon yang tidak efektif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang. Roy (1991) telah menggunakan bentuk
mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang
sebagai adaptif sistem. Contih adaptasi perilaku pada model Roy
adalah sebagai berikut :

1) Self-concept mode

Adalah salah satu dari mode psikososial dan memusat secara rinci
pada aspek rohani dan psikologis yang ada pada diri. Kebutuhan
dasar mendasari self-concept mode telah dikenali seperti integritas
mempunyai kekuatan batin adalah kebutuhan untuk mengetahui
siapa yang menjadi satu bahwa seseorang dapat ada dengan suatu
kesatuan perasaan. Integritas mempunyai kekuatan batin adalah
dasar permasalahan adaptasi dan kesehatan dalam area ini boleh
bertentangan dengan kemampuan orang untuk menyembuhkan atau

11
yang di kerjakan apa yang penting untuk memelihara lain aspek
kesehatan. Adalah penting bagi perawat untuk mempunyai
pengetahuan tentang self-concept mode untuk mampu menilai
perilaku dan stimuli mempengaruhi self-concept orang.

2) Model peran fungsi

Adalah salah satu dari dua mode sosial dan fokus pada peran
seseorang dalam masyarakat. Suatu peran sebagai unit masyarakat
yang berfungsi adalah sebagai satuan harapan tentang bagaimana
seseorang menduduki satu posisi bertindak ke arah seseorang
menduduki posisi yang lain. Model fungsi peran telah dikenali
seperti intergritas sosial yang harus mengetahui seseorang dalam
hubungan dengan orang yang lain sedemikian sehingga seseorang
dapat bertindak.

Suatu penggolongan peran sebagai primer, sekunder, dan tersier


telah sesuai menggunakan dalam Model Adaptasi Roy,
Berhubungan dengan peran masing-masing adalah perilaku sebagai
penolong dan perilaku ekspresif, penilaian di mana menyediakan
suatu indikasi adaptasi sosial sehubungan dengan peran berfungsi.
Masing-Masing jenis perilaku dapat digambarkan dengan peran
ibu. Mengawasi kebutuhan fisik bayi melibatkan perilaku sebagai
penolong, memegang dan memeluk bayi adalah perilaku ekspresif.
Cara di mana orang memenuhi pengharapan peranan ini adalah
suatu indikasi peran berfungsi.

3) Interdependen Mode

Adalah suatu adaptasi yang berfokus pada inetraksi yang


berhubungan dengan memberi atau menerima rasa hormat dan

12
nilai. Kebutuhan dasar dalam interdependen mode sangat
terkecukupan dalam rasa aman untuk pemeliharaan hubungan.

2. Fase perubahan adaptasi psikososial

Menurut Rubin (cit. Bryar, 1995) terdapat tiga fase perubahan


adaptasi psikososial ibu postpartum yaitu :

a. Fase Taking In : periode tingkah laku bergantung. Fase taking in


adalah waktu refleksi bagi ibu, yang terjadi pada hari pertama sampai
hari kedua gejalanya :

1). Ibu berfokus pada dirinya sendiri dan tergantung pada orang lain.
Ketergantungan ini sebagian karena ketidaknyamanan fisik
(kemungkinan karena jahitan di perineum, after pains, hemorhoid),
karena ketidakpastiannya merawat bayi, dan karena kelelahan yang
sangat setelah persalinan. Ibu biasanya menginginkan untuk
membicarakan tentang kehamilannya, khususnya tentang
persalinan dan kelahiran secara emosional, ia berusaha untuk
mengintegrasikan proses persalinan dan kelahiran kedalam
pengalaman hidupnya.

2). Seorang ibu akan mengenang kejadian kelahiran secara berulang


mencari detailnya dan membandingkan penampilannya dengan hal
yang diharapkannya, pengalaman kelahiran sebelumnya, atau dari
orang lain.

3). Energi yang ada pada ibu postpartum ini lebih dipusatkan pada
kesehatan dan kesejahteraannya sendiri, bukan kepada bayinya.

4). Tingkah laku ibu dapat bersifat pasif dan tergantung. Kebutuhan
untuk istirahat, makan dan membuat keputusan mungkin
diverbalisasikan dan bantuan dari pemberi perawatan kesehatan
akan dengan senang hati dihargai.

5). Ibu akan siap menerima bantuan untuk memenuhi kebutuhan fisik

13
dan emosinya.

6). Ibu membutuhkan waktu untuk beristirahat dan memperoleh


kembali kekuatan fisik dan untuk menyenangkan, menahan
pikiran-pikiran yang beragam. Ibu dapat menunjukkan sedikit
ketertarikan untuk merawat bayinya.

Pada gambaran awal yang disampaikan Rubin, fase ini


berlangsung selama 1-2 hari. Sekarang tingkah laku ini dapat
diobservasi pada jam-jam pertama kehamilan.

b. Taking Hold adalah pergerakkan dari tergantung menuju tingkah laku


mandiri.

1). Fase ini terjadi pada hari ke 2-4 postpartum.

2). Secara bertahap, tingkat energi ibu bertambah dan akan merasa
lebih nyaman serta mampu lebih berfokus pada bayinya
dibandingkan pada dirinya sendiri.

3). Seorang ibu mulai berinisiatif untuk melakukan tindakan


(melakukan mobilisasi), melakukan aktivitas perawatan diri dan
sering mengungkapkan perhatian-perhatian tentang fungsi tubuh.
Biasanya ibu mengungkapkan bahwa ia ingin kondisi atau

keadaanya segera pulih seperti keadaan sebelum melahirkan.


Meskipun demikian ibumasih sering merasa kelelahan karena
pengaruh perubahan hormonal, proses penyembuhan dari uterus
dan perineum.

4). Ibu memperoleh kontrol terhadap tubuhnya, dia menjadi lebih


mampu untuk bertanggung jawab untuk merawat bayi yang baru
dilahirkannya. Ibu yang melahirkan tanpa bantuan anastesi
mungkin mencapai fase kedua ini dalam waktu beberapa jam
setelah persalinan. Meskipun tindakan ibu menunjukkan
kemandirian yang kuat dalam waktu ini, seorang ibu postpartum

14
masih sering merasa tidak aman tentang kemampuannya merawat
bayinya.

5). Menginterprestasikan kompetensi perawat sebagai refleksi dari


ketidakmampuannya dan memandang bahwa dirinya gagal, dalam
hal ini butuh pujian tentang segala sesuatu yang sudah di
lakukannya dengan baik untuk memberikan rasa percaya diri,
misalnya dukungan pada bayi, mulai menyusui, dan
menyendawakan bayi yang benar. Pujian yang positif ini dimulai
ketika ibu masih berada di tempat perawatan dan berlanjut setelah
pulang kerumah, maupun ketika kontrol kembali. Oleh karena itu
fase ini ideal untuk mengajarkan tentang perawatan bayi dan
perawatan diri, termasuk pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi.

Setelah fase ini sistem pendukung menjadi sangat bernilai bagi ibu
muda yang membutuhkan sumber informasi dan penyembuhan fisik,
sehingga ia dapat istirahat dengan baik. Mekanisme pertahanan diri pasien
merupakan sumber penting dalam fase ini, karena postpartum blues bisa
terjadi. Layanan kunjungan rumah (home visite) sangat dianjurkan
terutama pada ibu muda.

c. Fase Letting Go. Pada fase ketiga disebut letting go (mendefinisikan


sebagai peran barunya), oleh Rubin fase ini dimulai pada akhir minggu
pertama postpartum yang saat ini ibu akan menuju fase letting go
dengan peran barunya.

1). Menghilangkan fantasi tentang bayinya dan menerima keadaan


bayinya yang nyata.

2). Penyesuaian diri kembali menyangkut hubungan dengan pasangan,


yang mirip dengan apa yang terjadi selama masa kehamilan. Hal
ini meluas dan terus berlangsung selama masa pertumbuhan anak.

3). Timbul masa depresi ringan pada periode postpartum awal oleh
karena adanya proses berduka dan bereorganisasi keluarga.

15
4). Mengakui bahwa mereka merasa tertinggal (abandonment) dan
kurang penting setelah kelahiran anaknya.

5). Bingung dengan perasaan yang sangat dekat dengan kecemburuan


oleh karena setiap orang hanya menanyakan tentang keadaan bayi
hari ini dan bukan tentang diri ibu. Setiap orang menanyakan
kesehatan dan kesejahteraan dirinya sesaat setelah kelahiran bayi

yang menjadi perhatian utama, seperti setiap orang menanyakan


bayinya, kado-kado semua untuk bayi. Bagaimana bisa seorang ibu
yang baik dapat cemburu dengan bayinya sendiri?. Dalam hal ini
perawat dapat membantu ibu untuk mengungkapkan tentang
”banyak hal yang berubah”. Betapa aneh dan bahkan tidak nyaman,
yang harus ibu rasakan, ini adalah kata-kata untuk mengetahui
sensasi yang dialami oleh ibu, sementara ibu merasa tetap nyaman
merupakan hal yang normal.

6). Kekecewaan terhadap bayi. Selama kehamilan, ibu mungkin


membayangkan bayi yang gemuk, rambut keriting atau yang suka
tersenyum. Ibu mengabaikan anak yang kurus, tanpa rambut dan
selalu menangis.

Merupakan hal yang sulit bagi orang tua untuk merasa positif terhadap
bayinya, yang tidak memenuhi harapan mereka. Jika jenis kelamin anak
tidak sesuai yang diinginkan, ibu dapat merasa gagal meskipun ibu
memahami bahwa hal ini adalah sesuatu yang berada diluar kontrolnya.

Kegagalan dalam adaptasi psikososial postpartum dapat


mengakibatkan gangguan psikologi berupa postpartum blues. Pospartum
blues merupakan bentuk depresi pospartm yang paling ringan. Gangguan
psikologis yang lebih berat lagi berupa depresi postpartum dan psikosis
postpartum (Reeder et all, 1997).

Steele dan pollack (1968) menyatakan bahwa menjadi orangtua


merupakan suatu proses yang terdiri dari dua komponen. Komponen

pertama, bersifat praktis atau mekanis, melibatkan keterampilan kognitif

16
dan motorik; komponen kedua, bersifat emosional, melibatkan
keterampilan afektif dan kognitif. Kedua komponen ini penting untuk
perkembangan dan keberadaan bayi.

1. Keterampilan Kognitif-Motorik

Komponen pertama dalam proses menjadi orangtua melibatkan


aktivitas perawatan anak, seperti memberi makan, menggendong,
mengenakan pakaian, dan membersihkan bayi, menjaga dari bahaya,
dan memungkinkannya untuk bisa bergerak. Kemampuan orangtua
dalam hal ini dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dan budayanya.
Banyak orangtua harus belajar untuk melakukan tugas ini dan proses
belajar ini mungkin sukar bagi mereka. Akan tetapi, hampir semua
orangtua yang memiliki keinginan untuk belajar dan dibantu dukungan
orang lain menjadi terbiasa dengan aktivitas merawat anak.

2. Keterampilan Kognitif-Afektif

Komponen psikologis dalam menjadi orangtua, sifat keibuan


tampaknya berakar dari pengalaman orangtua di masa kecil saat
mengalami dan menerima kasih sayang dari ibunya. Dalam hal ini
orangtua bisa dikatakan mewarisi kemampuan untuk menunjukkan
perhatian dan kelembutan serta menyalurkan kemampuan inike
generasi berikutnya dengan meniru hubungan orangtua-anak yang
pernah dialaminya. Keterampilan kognitif-afektif menjadi orangtua ini
meliputi sikap yang lembut, waspada dan memberi perhatian terhadap

kebutuhan dan keinginan anak. Komponen menjadi orangtua ini


memiliki efek yang mendasar pada cara perawatan anak yang
dilakukan dengan praktis dan pada respon emosional anak terhadap
asuhan yang diterimanya.

Cara orang tua berespon terhadap kelahiran anaknya dipengaruhi


oleh beberapa faktor :
17
a. Usia

Usia ibu sangat mempengaruhi hasil akhir kehamilan. Ibu dan bayi
dianggap berisiko tinggi jika ibu berusia remaja ataupun berusia lebih
dari 35 tahun. Penelitian menunjukkan beberapa faktor tertentu yang
mempengaruhi respon orang tua pada kelompok berusia tua. Keletihan
dan kebutuhan untuk lebih banyak istirahat tampaknya lebih menjadi
masalah utama pada orang tua yang sudah berusia.

b. Jaringan sosial

Jaringan sosial memberikan sistem dukungan, dimana orangtua dapat


meminta bantuan. Hubungan cinta dan emosi yang positif, tampaknya
sangat penting untuk memperkaya kemampuan menjadi orangtua dan
mengasuh anak. Jaringan sosial meningkatkan potensi pertumbuhan
anak dan mencegah kekeliruan dalam memperlakukan anak.

c. Budaya

Kepercayaan dan praktik budaya menjadi determinan penting dalam


perilaku orangtua. Kedua hal tersebut mempengaruhi interaksi

orangtua dengan bayi, demikian juga dengan orangtua atau keluarga


yang mengasuh bayi.

d. Sosioekonomi

Kondisi sosioekonomi seringkali menjadi jalan untuk mendapatkan


bantuan. Keluarga yang mampu membayar pengeluaran tambahan
dengan hadirnya bayi baru ini mungkin hampir tidak merasakan beban
keuangan. Keluarga yang menemukan kelahiran seorang bayi suatu

18
beban finansial dapat mengalami peningkatan stress.

e. Aspirasi personal

Bagi beberapa wanita, menjadi orangtua mengganggu kebebasan


pribadi atau kemajuan karir mereka. Kekecewaan yang timbul akibat
tidak mencapai kenaikan jabatan, misalnya mungkin tidak
terselesaikan pada masa prenatal. Apabila rasa kecewa ini tidak
terselesaikan, hal ini akan berdampak pada cara mereka merawat dan
mengasuh bayinya dan bahkan mereka bisa menelantarkan bayinya.
Atau sebaliknya, hal tersebut bisa membuat mereka menunjukkan rasa
khawatir yang berlebihan atau menetapkan standar yang sangat tinggi
terhadap diri mereka dalam memberi perawatan dan juga pada
kemampuan perkembangan bayi mereka.

19

Anda mungkin juga menyukai