Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kekerasan verbal atau biasa disebut dengan emotional child

abuse adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan

konsekuensi emosional yang merugikan. Pengertian lain mengenai

Kekerasan verbal abuse adalah terjadi ketika orang tua atau

pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui sang anak

meminta perhatian, menyuruh anak untuk diam atau jangan

menangis. Dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan, anak

menyaksikan peristiwa ataupun menerima lontaran kata-kata yang

kasar secara terus-menerus maka pada anak-anak akan

menggunakan dan melakukan hal yang sama terhadap orang lain

(Fitriana, Pratiwi, & Sutanto, 2015).

Kekerasan verbal abuse menyebabkan gejala yang tidak

spesifik. Kekerasan akan menyebabkan anak menjadi generasi yang

lemah, seperti agresif, apatis, pemarah, menarik diri, kecemasan

berat, gangguan tidur, ketakutan yang berlebihan, kehilangan harga

diri dan depresi. Bahkan dampak lebih jauh dari kekerasan yang

dilakukan orang tua pada anaknya adalah memperpanjang lingkungan

kekerasan. Anak yang mengalami tindakan kekerasan, selanjutnya


2

akan cenderung menjadi pelaku tindakan kekerasan terhadap orang

lain.

World Health Organization (2018 anak yang mendapatkan

kekerasan akan berdampak pada kesehatan dan kesejateraan anak.

Kekerasan yang dapat membuat luka parah pada anak, disebabkan

pemukulan fisik.kekerasan yang sering didapat dari sejak usia dini

menyebabkan gangguan perkembangan sistem saraf dan otak,anak

akan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, depresi bahkan

berfikiran untuk melakukan bunuh diri selanjutnya dampak dari

kekerasan pada anak dapat mengakibatkan kematian karena

menggunakan alat-alat senjata tajam.

UNICEF (United for Children) pada tahun 2016 mendefinisikan

bahwa tindakan kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk

tindakan baik berupa fisik maupun psikologis, dimana kejadian

tersebut biasanya dilakukan di lingkungan rumah, sekolah,

masyarakat, suatu lembaga, tempat pengasuhan maupun tempat

kerja. Kekerasan dapat melukai psikis anak dan akan berdampak

jangka panjang. Verbal abuse akan terjadi ketika anak melakukan

kesalahan dan ibu akan memberikan perlakuan kasar dalam bentuk

verbal. Semua tindakan verbal abuse terhadap anak-anak direkam di

alam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa.
3

Berdasarkan United Nations Childrens’ Fund (UNICEF, 2014)

melaporkan bahwa kekerasan verbal kawasan Asia-Pasifik

menempati kasus tertinggi dengan jumlah 65%. Dari data tersebut

menunjukkan bahwa tingginya angka kekerasan dengan tindakan

membentak dan memanggil bodoh menjadi suatu permasalahan yang

dapat merugikan anak sebagai generasi penerus bangsa. Tindakan

membentak anak dan memanggil bodoh adalah tindakan kekerasan

verbal.

Hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak

Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa angka kekerasan terhadap anak

di Indonesia dari 2011 sampai 2014 selalu mengalami peningkatan

yang signifikan, tercatat pada 2011 terdapat 2178 kasus, 2012

terdapat 3512 kasus, 2013 terdapat 4311 kasus, dan 2014 terdapat

5066 kasus (KPAI, 2015).

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah

Istimewa Yogyakarta (BPPM DIY) (2015) melaporkan tindak

kekerasan pada anak di Provinsi DIY, khususnya untuk kasus verbal

abuse atau kekerasan verbal pada 2013 tercatat 497 kasus dan 2014

tercatat 403 kasus, meskipun mengalami penurunan akan tetapi

kondisi ini masih perlu diwaspadai. Dari 5 kabupaten di DIY, kasus

tertinggi verbal abuse terjadi di Kota Yogyakarta yaitu dengan

menyumbang 57% dari angka kejadian dan di Kota Yogyakarta verbal


4

abuse pada 2014 menduduki kekerasan tertinggi dibanding kekerasan

fisik dan seksual.

Menurut kepala DP3AMD Kota Ambon Rulien Purmiasa di Balai

kota ambon sepanjang tahun 2018 tercatat 30 kasus kekerasan

terhadap anak.jumlah ini melonjak di tahun 2019 sebanyak 89

khasus.karena anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa,

anak harus memiliki bekal keimanan,kepribadian,kecerdasan

keterampilan untuk itu harus di jaga.Purmiasa kembali mengingatkan,

anak harus terus dijaga dan dilindungi dari berbagai,tindak

kekerasan,baik kekerasan fisik maupun seksual.

Berkembangnya budaya dalam masyarakat kita saat ini bahwa

orang tua dengan mudah berbicara kasar, memarahi, memaki, dan

membentak anak-anak mereka dengan kata-kata yang tidak pantas

dan bersifat mengancam. Hal ini sering terjadi bila orang tua sedang

marah. Bila sedang emosi kadangkala katakata kasar yang belum

pernah terucap oleh orang tua akan meluncur begitu saja tanpa

disadari. Perilaku-perilaku yang dilakukan orang tua ini biasanya

disebabkan karena anak sering bandel, susah menurut dan susah

diatur, sehingga seringkali kekerasan dalam bentuk verbal terjadi

pada anak. Namun kenyataannya, sebagian besar orang tua tidak

mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan termasuk dalam


5

kekerasan verbal yang sangat berdampak pada perkembangan

psikologis anak.

Dalam penelitian ini peneliti mengambil area penelitian RT003

di Desa Passo karena berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan

oleh peneliti menunjukan bahwa 5 dari 10 anak di daerah ini setiap

harinya mendapatkan kata-kata yang tidak pantas dari orang tua

mereka maupun kalimat yang bersifat mengancam dari orang tua.

Orang tua menganggap hal yang biasa memarahi anak-anaknya

dengan kata-kata yang tidak pantas.

Selain alasan tersebut, peneliti juga mempertimbangkan

keadaan masyarakat di daerah tersebut dimana orang tua terutama

ibu mayoritas memiliki latar belakang pendidikan yang masih rendah

yaitu tamat Sekolah Dasar 31,4%. Dan lebih dari setengahnya yaitu

55,25% sebagai ibu rumah tangga . Hal ini menyebabkan orang tua

mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan, dan

ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya, yaitu anak mereka.

Tidak mengetahui atau mengetahui sedikit informasi mengenai

perkembangan anak karena pendidikan yang rendah juga

meningkatkan kejadian kekerasan pada anak.


6

B. RUMUSAN MASALAH

Berkembang budaya dalam masyarakat kita saat ini bahwa

orang tua dengan mudah berbicara kasar, memarahi, memaki, dan

membentak anak-anak mereka dengan kata-kata yang tidak pantas

dan bersifat mengacam.Adapun rumusan masalah yang dikemukakan

dalam penelitian ini adalah: faktor-faktor yang berhubungan

dengan perilaku orang tua dalam melakukan verbal abuse

terhadap anak usia pra-sekolah.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan

perilaku orang tua dalam melakukan verbal abuse terhadap anak

usi pra-sekolah.

2. Tujuan khusus

Mendeskripsikan faktor pengetahuan, faktor pengalaman, terhadap

perilaku orang tua melakukan verbal abuse.

a. Menganalisis hubungan pengetahuan dengan perilaku orang

tua dalam melakukan kekerasan verbal pada anak usia

prasekolah.

b. Menganalisis hubungan pengalaman dengan perilaku orang tua

dalam melakukan kekerasan verbal pada anak usia prasekolah


7

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Menambah informasi dan referensi bagi penelitian berikutnya,

serta menambah dan memberikan pengetahuan kepada orang tua

dalam melakukan kekerasan verbal pada anak.

2. Manfaat Aplikatif

1. Bagi Masyarakat

Memberikan wacana dan informasi kepada para orang tua

dalam berbicara dan mendidik anak.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan tambahan pengetahuan dibidang keperawatan

anak terutama mengenai verbal abuse.

3. Bagi Peneliti

Memperoleh wacana dan menambah pengetahuan baru di

bidang keperawatan anak mengenai verbal abuse.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan umum tentang Verbal Abuse

1. Pengertian verbal Abuse

Verbal abuse atau biasa disebut emotional child abuse adalah

tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi

emosional yang merugikan. Verbal abuse terjadi ketika orang tua

menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika anak mulai

bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti

“kamu bodoh”. “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan

mengingat itu semua kekerasan verbal jika semua kekerasan

verbal itu berlangsung dalam satu periode (Fitriana, Pratiwi, &

Sutanto, 2015).

Ihsan juga mengemukakan bahwa kekerasan verbal adalah

penganiayaan emosi mapun perilaku menyakiti emosional anak

yang dilakukan secara terus menerus hingga menyebabkan

pengaruh buruk terhadap perkembangan anak (Armiyanti, Aini, &

Apriana, 2018). Contoh kekerasan verbal yang sering terjadi

diantaranya penggunaan bahasa yang mengandung arti bahwa

anak tidak disayang, tidak memiliki kecakapan hingga pada


9

perilaku pengabaian dan penelantaran terhadap kebutuhan dasar

anak.

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Gunarsa bahwa

kekerasan verbal adalah kekerasan dari perkataan yang

menyebabkan rasa sakit pada perasaan maupun pada psikis

(Mamesah, Rompas, & Katuuk, 2018). Mengucapkan kata-kata

yang kasar tanpa menyentuh fisik, seperti mengancam,

memfitnah, menghina merupakan contoh-contoh kekerasan verbal.

Jika ini berlangsung secara terus menerus, maka akan

menyebabkan terganggunya perkembangan pada anak.

Verbal abuse dapat berdampak buruk dan membuat anak

menderita, seperti menganggap dirinya buruk dan tidak berguna.

Hal itu disebabkan banyaknya persepsi buruk yang mengubah

pola pikirnya. Selain itu, stres dan depresi yang dialami oleh anak

dapat membuatnya mencoba untuk melukai dirinya sendiri, bahkan

bunuh diri. Verbal abuse juga dapat mengubah perilaku seorang

anak menjadi antisosial dan berperilaku kasar terhadap

sesamanya. Bahkan menurut Words Can Be Weapons, sebuah

organisasi anti verbal abuse di China, verbal abuse dapat

mempengaruhi kepribadian seorang anak di masa depan, yang

memungkinkannya menjadi seorang kriminal.


10

Kekerasan verbal biasanya terjadi ketika ibu sedang sibuk dan

anaknya meminta perhatian namun sang ibu malah menyuruh

anaknya untuk “diam” atau “jangan menangis” bahkan dapat

mengeluarkan kata kata “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu

kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, atau yang lainnya. Kata-kata

seperti itulah yang dapat diingat oleh sang anak, bila dilakukan

secara berlangsung oleh ibu (Rakhmat, 2007). Tidak hanya

seorang ibu yang bisa melakukan kekerasan verbal, seorang ayah

pun bisa melakukan kekerasan verbal ketika ia merasa kesal.

“Anak jadah, pakai kupingmu untuk mendengar nasihat orang tua,

Muak aku melihat perangai mu itu….” adalah contoh kekerasan

verbal ketika seorang ayang merasa kesal karena nasihatnya tidak

didengarkan oleh anaknya (Sutikno,2010).

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Verbal

Menurut Martha (2008), bentuk-bentuk dari verbal abuse adalah:

a. Tidak sayang dan dingin

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya :

menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada

anak (seperti pelukan), kata-kata sayang.

b. Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak, menjerit,

mengancam anak, dan mengertak anak.


11

c. Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat

berupa seperti : merendahkan anak, mencela nama, membuat

perbedaan negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak

baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari

kesalahan.

d. Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti : mengatakan

bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

e. Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa:

tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli

dengan anak.

f. Hukuman ekstrim

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa : mengurung anak

dalam kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat

anak di kursi untuk waktu lama dan meneror.

3. Akibat Verbal Abuse

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik

maupun psikologis (Soetjiningsih, 2007). Namun , verbal abuse

biasanya tidak berdampak secara fisik kepada anak, tetapi dapat

merusak anak beberapa tahun kedepan. Verbal abuse yang


12

dilakukan orang tua menimbulkan luka lebih dalam pada

kehidupan dan perasaan anak melibihi perkosaan (Elli).Berikut

dampak, 2006-dampak psikologis akibat kekerasan verbal pada

anak (Ria, 2008; Widyastuti, 2006) :

a. Anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain

Anak yang mendaatkan perlakuan kekerasan emosional secara

terus menerus akan tumbuh menjadi anak yang tidak peka

terhadap perasaan orang lain. Sehingga kata

katanya cenderung kasar (walaupun maksudnya bercanda).

b. Mengganggu Perkembangan

Anak yang mendapat perlakuan kekerasan verbal terus-

menerus akan memiliki citra diri yang negatif. Hal ini yang

mengakibatkan anak tidak mampu tumbuh sebagai individu

yang penih percaya diri.

c. Anak menjadi agresif

Komunikasi yang negatif mempengaruhi perkembangan otak

anak. Anak akan selalu dalam keadaan terancam dan menjadi

sulit berpikir panjang. Anak menjadi kesulitan dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Ini berkaitan

dengan bagian otak yang bernama koteks, pusat logika.

Bagian ini hanya bisa dijalankan kalau emosi anak dalam

keadaan tenang. Bila anak tertekan, maka input hanya sampai


13

ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya

berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu.

Akibatnya anak berperilaku agresif.

d. Gangguan emosi

Pada anak yang sering mendapatkan perlakuan yang negatif

dari orang tuanya akan berakibat gangguan emosi pada

perkembangan konsep diri yang positif, dalam mengatasi sifat

agresif. Perkembangan hubungan sosial dengan orang lain.

Selain itu juga, beberapa anak menjadi lebih agresif atau

bermusuhan dengan orang dewasa.

e. Hubungan sosial terganggu

Pada anak-anak ini menjadi susah bergaul dengan teman-

temannya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai

teman sedikit, dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya

dengan melempari batu, atau perbuatan kriminal lainnya.

f. Kepribadian sociopath atau antisocial personality disosde

Penyebab terjadinya kepribadian ini adalah verbal abuse.

Kalau ini dibiarkan anak akan menjadi orang yang eksentrik,

sering membolos, mencuri, bohong, bergaul dengan anak-anak

nakal, kejam pada binatang, dan prestasi yang buruk di

sekolah.

g. Menciptakan lingkaran setan dalam keluarga


14

Anak akan mendidik anaknya lagi dengan satu-satunya cara

yang dia ketahui yaitu verbal abuse. Karena anak merupakan

peniru yang ulung. Akibatnya lingkaran setan ini akan terus

berlanjut dan kekerasan ini menjadi budaya di masyarakat.

h. Bunuh diri

Anak yang mendapatkan perkataan yang bernada negatif

secara terus menerus maka akan mengakibatkan anak

menjadi lemah mentalnya, karena merasa tidak ada orang di

dunia ini yang sanggup mencintainya apa adanya. Dan hal ini

berakibat fatal, anak memutuskan untuk mengakhiri hidupnya

sendiri.

4. Karakteristik Kekerasan Verbal

Anderson (2011) membagi karakteristik kekerasan verbal

menjadi tujuh. Ketujuh karakteristik tersebut yaitu:

a) sangat menyakitkan dan selalu mencela sifat dan kemampuan

b) Mungkin bersifat terbuka (Hal ini bisa melalui luapan

kemarahan dan melalui nama panggilan) atau tertutup

(melibatkan komentar yang sangat tajam).

c) Merupakan manipulasi dan mengontrol Komentar yang

merendahkan mungkin terdengar sangat jujur dan mengenai

sasaran. Tetapi tujuannya adalah untuk memanipulasi dan

mengontrol.
15

d) Merupakan melakukan kejahatan secara diam-diam.

Kekerasan verbal menyusutkan rasa percaya diri seorang.

e) Tidak dapat diprediksikan Pada kenyataannya, tidak dapat

diprediksikan merupakan satu dari beberapa karakteristik

kekerasan verbal yang sangat signifikan. Hal ini dapat melalui

mencaci maki, merendahkan, dan komentar yang menyakitkan

f) Mengekspresikan pesan ganda. Tidak ada kesesuaian antara

tujuan dari ucapan kasar dan bagaimana perasaannya.

Sebagai contoh, mungkin terdengar sangat jujur dan baik

ketika mengucapkan apa yang salah dengan seseorang.

g) Selalu meningkat sedikit demi sedikit.Dalam hal ini meningkat

dalam intensitasnya, frekuensi, dan jenisnya. kekerasan verbal

mungkin dimulai dengan merendahkan dengan tersmbunyi

seperti bercanda.

B. Tinjuan umum tentang Orang Tua

1. Pengertian orang tua

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah

dan ibu dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang

sah yang dapat membentuk sebuah keluarga (Habibi, 2008). Ayah

dan Ibu ditambah dengan anak akan membentuk sebuah unit


16

terkecil dalam masyarakat yang disebut dengan keluarga

(Soetjiningsih, 1995).

Orang tua harus lebih memahami perkembangan anak dengan

mencurahkan perhatian dan kasih sayang sebagaimana mestinya.

Hal itu dilakukan demi memberikan rasa aman kepada anak.

Identifikasi keluarga yang beresiko tinggi dapat dijadikan sebagai

langkah awal pencegahan kekerasan. Selanjutnya, dapat

dilakukan pengawasan, pendampingan dan bimbingan oleh pihak

yang berkompeten terhadap masalah kekerasan pada anak, baik

perorangan maupun kelembagaan untuk mengetahui kapan anak

mendapatkan perlakuan verbal abuse atau kekerasan lain dan

alternatif pemecahannya. Memperhatikan nada bicara dan

menggunakan kosa kata yang tepat juga merupakan cara untuk

menghindari terjadinya kekerasan verbal.

a. Peran orang tua

Peran orang tua dalam keluarga yang ideal maka ada 2

individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah

dan ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah :

1. Peran ibu adalah :

a. Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik.

b. Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, penuh

kasih sayang dan konsisten.


17

c. Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak.

d. Menjadi contoh yang teladan bagi anak.

2. Peran ayah adalah :

a. Ayah sebagai pencari nafkah.

b. Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan

pemberi rasa aman.

c. Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak.

d. Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas,

bijaksana dan mengasihi.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Orang Tua Melakukan

verbal Abuse

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua

melakukan verbal abuse, diantaranya (Soetjiningsih, 2002) :

a) Faktor pengetahuan orang tua

Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau

mengenal informas mengenai kebutuhan perkembangan anak,

misalnya anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu

tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak dipaksa

melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua

menjadi marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang


18

mempunyai harapan-harapan yang tidak realistik terhadap

perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada

anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang

pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua

melatarbelakangi kekerasan pada anak.

b) Faktor pengalaman orang tua

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan

salah merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada

anak. Semua tindakan kepada anak akan direkam dalam alam

bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa

dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya

akan menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan

berlaku kejam pada anaknya. Orang tua yang agresif akan

melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan

menjadi orang dewasa yang agresif pula. Gangguan mental

(mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk

yang diterima manusia ketika dia masih kecil.

c) Faktor ekonomi

Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor

kemiskinan, dan tekanan hidup atau ekonomi. Pengangguran,

PHK, dan beban hidup lain kian memperparah kondisi itu.

Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu meningkat,


19

disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan

karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi

menyebabkan orang tua mudah sekali melimpahkan emosi

kepada orang sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah, rentan,

dan dianggap sepenuhnya milik orang tua, sehingga

menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam

meluapkan kemarahannya. Kemiskinan sangat berhubungan

dengan penyebab kekerasan pada anak karena bertambahnya

jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka

mempunyai jalan yang terbatas dalam mencari sumber

ekonomi.

d) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga mempengaruhi tindakan kekerasan

pada anak. Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban

perawatan pada anak. Dan juga munculnya masalah

lingkungan yang mendadak juga turut berperan untuk timbulnya

kekerasan verbal. Telivisi sebagai suatu media yang paling

efektif dalam menyampaikan berbagai pesan-pesan pada

masyarakat luas yang merupakan berpotensial paling tinggi

untuk mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua pada anak.


20

C. Tinjuan Umum Tentang Anak Usia Preasekolah

1. Pengertian

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

perubahan perkembangna yang dimulai dari bayi hingga remaja

(Hidayat, 2005). Masa prasekolah yaitu antara usia 3 - 6 tahun,

dimana pertumbuhan fisik khususnya berat badan mengalami

kenaikan rata-rata 2kg pertahunnya dan tinggi badan bertambah

sekitar 6,75 - 7,5 cm tiap tahunnya (Supartini, 2004).

Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 pasal 1 tentang

Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Anak mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan

yang berbeda-beda berdasarkan tahap perkembangannya. Dalam

penelitian ini, peneliti mengambil salah satu tahap perkembangan

anak yaitu anak dengan fase prasekolah.

Periode prasekolah mendekati tahun antara 3 dan 6 tahun.

Anak-anak menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh mereka.

Perkembangan fisik pada anak usia prasekolah berlangsung

menjadi lambat, dimana perkembangan kognitif dan psikososial

terjadi cepat (Kozier,2010).

Menurut Wong (2008) anak usia prasekolah mempunyai usia 3-

5 tahun.Pencapaian perkembangan anak usia prasekolah yaitu


21

biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial. keberhasilan

pencapaiaan tingkat pertumbuhan dan perkembangan sebelumnya

sangat penting bagi anak prasekolah untuk memperluas tugas-

tugas yang telah mereka kuasai selama masa toddler.

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3-6

tahun dengan ciri perkembangan fisik yang lambat dan

perkembangan kognitif dan psikososial yang cepat. pertumbuhan

dan perkembangan anak prasekolah sangat ditentukan dari

keberhasilannya dalam pencapaian pertumbuhan dan

perkembangan selama masa toddler.

Tahap perkembangan anak usia prasekolah dapat dilihat dari

berbagai aspek teori. Wong (2000) dalam bukunya wong’s essential

of pediatric nursing memaparkan teori-teori perkembangan usia

prasekolah sebagai berikut :

a. Teori psikoseksual

Teori psikoseksual pertama kali dikemukakan oleh Sigmund

Freud (1939), yang merupakan proses dalam perkembangan

anak dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta

kejiwaan yang dapat menimbulkan dorongan untuk mencari

rangsangan dan kesenangan secara umum untuk menjadikan

diri anak menjadi orang dewasa. Perkembangan psikoseksual


22

yang terjadi pada usia prasekolah adalah tahap oedipal atau

phalik. Pada tahap ini kepuasan pada anak terletak pada

rangsangan autoerotic yaitu meraba-raba, merasakan

kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, serta suka pada

lawan jenis. Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya dari

pada ayahnya demikian juga sebaliknya, anak perempuan suka

pada ayahnya.

b. Teori psikososial

Perkembangan ini dikemukakan oleh Erikson (1963) bahwa

anak dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh

lingkungan social. Pada usia prasekolah perkembangan yang

terjadi adalah tahap inisiatif dan rasa bersalah. Pada tahap ini

anak akan memulai inisiatif dalam belajar mencari pengalaman

baru secara aktif dalam melakukan aktivitasnya, dan apabila

tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan tambah

perasaan bersalah pada diri anak.

c. Teori perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif pada anak menurut Pieget (1952)

membagi dengan empat tahap, diantaranya tahap sensori

motor, tahap praoperasional, tahap konkret dan tahap formal

operasional. Anak usia prasekolah menurut teori ini berada

pada tahap praoperasional. Anak belum mampu


23

mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan

dalam pikiran anak, perkembangan anak masih bersifat

transduktif menganggap semuanya sama, seperti seorang pria

di keluarga adalah ayah maka semua pria adalah ayah. Pikiran

yang kedua adalah pikiran animisme selalu mempertahankan

adanya benda mati,, seperti apabila anak terbentur benda mati

maka anak akan memukul kearah benda tersebut.

d. Teori perkembangan psikomoral

Perkembangan psikomoral ini dikemukakan oleh Kohlberg

(1968) dalam memandang tumbuh kembang anak yang ditinjau

dari segi moralitas anak dalam menghadapi kehidupan. Pada

usia prasekolah anak berada pada tahap premoral. Tahap ini

memiliki cirri-ciri terdapat sedikit kewaspadan mengenai apa

yang dimaksud dengan perilaku moral yang bias diterima

secara social. Control didapatkan dari luar dirinya. Anak

menyerah kepada kekuatan dan kepemilikanh, hidup dinilai

untuk jumlah dan kekuatan dari kepemilikan.

D. Tinjauan Teori Perilaku

1. Pengertian

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas

manusia, baik yang diamati secara langsung maupun yang tidak


24

dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku terdiri dari (perception),

respon terpimpin (guided respon), mekanisme (mechanisme),

adopsi (adoption) (Notoatmojo, 2003).

2. Bentuk perilaku

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka

perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmojo, 2003) :

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk

terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat

diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan

nyata atau terbuka. Respona terhadap stimulus tersebut sudah

jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang

dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku

adalah konsep dari Lawrence Green (1980). Yang dikutip oleh


25

Notoatmojo (2000) Lawrence Green mengatakan bahwa perilaku

dipengaruhi tiga faktor.

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai

yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

ekonomi dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana

atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Faktor ini pada

hakekatnya mendukung akan memungkinkan terwujud perilaku

kesehatan.

c. Faktor-faktor penguat (reenforcing factors)

Faktor-faktor penguat ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh

masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas

kesehatan.
26

BAB lll

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini di buat untuk mengetahui faktor- faktor yang

berhubungan dengan perilaku orang tua dalam melakukan kekerasan

verbal terhadap anak usia prasekolah.

variabel independen variabel dependen

Pengetahuan

Perilaku orang tua


dalam melakukan
Pengalaman
kekerasan verbal

Lingkungan

Ekonomi

Keterangan

Diteliti

Tidak di teliti
27

B. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Hipotesis Null (H0)

a. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan perilaku orang tua

dalam melakukan kekerasan verbal pada anak usia

prasekolah

b. Tidak ada hubungan pengalaman dengan perilaku orang tua

dalam melakukan kekerasan verbal pada anak usia prasekolah

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku orang tua dalam

melakukan kekerasan verbal pada anak usia prasekolah

b. Ada hubungan pengalaman dengan perilaku orang tua dalam

melakukan kekerasan verbal pada anak usia prasekolah.

C. Definisi Operasional

Secara rinci definisi operasional pada penelitian ini dijelaskan

pada tabel 3.1


28

Tabel 3.1

definisi operasaonal

No Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

1. Pengetahuan Kemampuan orang Kuesioner 1.Pengetahuan baik Ordinal


jika skor≥ 7
tua dalam menjawab
orang tua
pertanyaan dengan 2. Pengethuan cukup
Jika skor ¿7
benar tentang hal-hal
yang berkaitan
dengan perilaku orang
tua dalam melakukan
kekerasan verbal.
2. Pengalaman pengalaman orang tua Kuesioner 1.Pengalaman Nominal
mendapat
pernah mendapatkan
orang tua perilaku kekerasan
perlakuan salah dari jika=20-40
Skor= >20
orang tua maupun
lingkungan sekitar 2.Pengalaman tidak
mendapat kekerasan
sewaktu masih Jika =1-20
anakanak. Skor= ≤20

3. Perilaku segala perbuatan Kuesioner 1.perilaku kekerasan Ordinal


yang dilakukan oleh verbal tinggi
kekerasan
orang tua berupa kata- Jika = 20-30
verbal
kata dan kalimat yang Skor = > 20
bersifat mengancam, 2.perilaku kekerasan
memaki, dan Verbal rendah
memarahi dengan Jika = 1-5
kata tidak pantas, Skor = < 5
pada anak
29

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dimana data

penelitian yang disajikan berupa angka-angka dan dianalisis

menggunakan statistik. Desain penelitian dalam penelitian ini adalah

korelasi yaitu tindakan pengumpulan data guna menentukan kejadian

apakah ada hubungan antar variabel, yang berarti apakah ada

hubungan karakteristik orang tua dengan kejadian verbal abuse pada

anak usia pra sekolah di Desa Passo RT 003 (Sukardi, 2011).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2010) pendekatan

cross sectional yaitu pedekatan untuk mempelajari dinamika korelasi

antara faktor–faktor resiko yang dalam penelitian ini berupa

karakteristik orang tua berupa umur, pendidikan, pekerjaan, dan

jumlah anak yang dimiliki dengan kejadian verbal abuse pada anak pra

sekolah sebagai efek yang keseluruhannya diteliti pada satu kondisi

(point time approach).


30

B. Waktu dan lokasi penelitian

1. Waktu penelitian :

peneliti ini akan di laksanakan pada bulan agustus 2020 sampai

selesai.

2. Lokasi penelitian :

penelitian ini akan di lakukan di Desa Passo RT003

C. Populasi

Populasi adalah wilayah tertentu yang terdiri dari obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas maupun kuantitas serta karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik

kesimpulan (Sugiyono, 2015). Populasi yang di gunakan dalam

penelitian ini adalah seluruh orang tua yang memiliki anak usia

prasekolah yaitu anak usia 3-6 tahun di Desa Passo RT 003 sebanyak

87 keluarga.

D. Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Sampel

Menurut arikunto (2006) sampel adalah sebagian atau wakil

populasi yang di teliti. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah orang tua yang memiliki anak usia prasekolah ( anak usia 3-6
31

tahun). Sampel adalah sebagian dari populasi yang ingin diteliti

karakteristiknya. Sampel dalam penelitian ini berjulah 87 keluarga.

Teknik yang digunakan adalah total sampling.total sampling

adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama

dengan jumlah populasi.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan

memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi yaitu :

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

1. Orang tua yang tinggal di Desa Passo RT003

2. Orang tua yang memiliki anak usia prasekolah yaitu anak

dengan usia 3 sampai 6 tahun

3. Orang tua yang bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

1. orang tua yang tidak ada pada saat pengambilan data

E. lnstrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen penelitian dapat berupa kuesioner

dengan beberapa pertanyaan kepada responden.

Kuesioner terdiri dari 4 bagian yaitu:

1. Data sosiodemografi
32

Untuk mengetahui jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir,

pekerjaan, dan pendapatan tiap bulan. Pada bagian ini terdapat

6 pertanyaan yang harus dijawab.

2. Faktor pengetahuan

Semua item pertanyaan dalam bentuk multiple choice.

Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah

diberi skor nol. Pada faktor pengetahuan terdapat 10 item

pertanyaan.

3. Faktor pengalaman

Pada bagian ini terdapat 8 item pertanyaan dengan pilihan

jawaban Ya dan Tidak. Dalam penelitian ini menggunakan skala

Gutman,jika responden menjawab Ya diberi skor 1, dan jika

responden menjawab Tidak diberi skor 0.

4. Perilaku orang tua melakukan verbal abuse.

Pada bagian ini terdapat 12 item pernyataan.). Pernyataan

dalam bentuk skala likert. Terdapat 4 pilihan yaitu Sering (S),

Jarang (J), Kadang (K), dan Tidak Pernah (TP). Pernyataan

yang dijawab oleh responden Sering (S) diberi skor 4, Kadang

(K) diberi skor 3, Jarang diberi skor 2, dan Tidak Pernah (TP)

diberi skor 1.
33

F. Pengumpulan Data

1. Editing

Editing dilakukan dengan maksud untuk mencek, apakah setiap

kuesioner telah diisi sesuai dengan petunjuk sebelumnya, jika

terdapat beberapa kuesioner yang masih belum diisi, atau

pengisian yang tidak sesuai dengan petunjuk dan tidak

relevannya jawaban dengan pertanyaan.

2. Coding

Coding adalah memberi tanda kode terhadap pertanyaan-

pertanyaan yang telah diajukan, hal ini dimaksudkan untuk

mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa.

Coding dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing

jawaban dengan kode berupa angka. Kode-kode tersebut

selanjutnya dimasukkan dalam tabel kerja untuk mempermudah

pembacaan.

3. Tabulating

Tabulating adalah kegiatan memasukkan data-data hasil

penelitian ke dalam tabel sesuai kriteria. Peneliti memasukkan

skor jawaban responden dari tiap pertanyaan kedalam tabel.


34

G.Analisa data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan untuk

menganalisa variabel yang ada secara deskriptif. Analisa yang

digunakan untuk mendeskripsikan faktor pengetahuan, faktor

pengalaman, dan variabel perilaku verbal abuse.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa data yang dilakukan

terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi

(Notoatmodjo, 2005). Analisa ini dilakukan untuk mengetahui

faktor pengetahuan,pengalaman pada orang tua dalam

melakukan kekerasan verbal pada anak usia prasekolah yakni

dengan menggunakan uji Chi-Square adalah salah satu uji

statistic non parametik yang cukup sering digunakan dalam

penelitian. Uji chi-Square ini biasa diterapkan untuk pengujian

kenormalan data, pengujian data yang berlevel nominal atau

untuk menguji perbedaan dua atau lebih proposi sampling.

Harga perhitungan Chi Square kemudian dibandingkan dengan

tabel. Apabila harga Chi Square hitung lebih kecil dari tabel,

maka hipotesa nol diterima, dan apabila lebih besar atau sama

dengan harga tabel maka hipotesa nol ditolak dan hipotesa

alternatif gagal untuk ditolak.


35

H. Etika Penelitian

Penelitian yang dilakukan harus sesuai dengan etika penelitian

yang meliputi:

1. Informed concent

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan menggunakan lembar persetujuan (informed

concent). Tujuan informed concent adalah agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika

subjek yang bersedia kemudian harus menandatangani lembar

persetujuan dan jika responden tidak bersedia maka peneliti

harus menghormati hak responden.

2. Anonimty (tanpa nama)

Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak

memberikan nama responden pada lembar alat ukur hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

3. Confidentiality (kerahasian)

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasian dari

hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

akan dilaporkan pada hasil riset.


36

I. Alur penelitian

Populasi: semua orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah di D esa

Passo RT003

Sampel: semua orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah di Desa
Passo RT003 yang memiliki kriteria inklusi

Pengumpulan data dan kuesioner

Variabel independent:
Variabel dependen:
Pengetahuan
Fakator-faktor Perilaku
Pengalaman verbal abuse

Analisa data

Univariat

Bivariat

Penyajian data

Gambar 4.1 alur penelitian

Anda mungkin juga menyukai