Anda di halaman 1dari 15

NILAI DAN NORMA

DALAM MENGEMBANGKAN BUDAYA SEKOLAH


STUDI KASUS
DI SMP NEGERI 3 BANGUNTAPAN

Dosen Pengampu: Dr. Supardi, S.Pd., M.Pd.

Oleh:

Mila Aryaningsih NIM 21405251005

Jatu Prahmawati NIM 21405251008

Afifah Nurul Sa’adah NIM 21405251010

Zulaikha Tri Astuti NIM 21405251013

MAGISTER PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat karena


menjadikan sebuah proses bagi setiap individu untuk bergerak ke arah yang lebih
baik dan meningkatkan kualitas hidup seseorang dalam melangsungkan
kehidupannya. Salah satu cara pendidikan formal dalam meningkatkan kualitas
kehidupan dan kepribadian siswa, yakni melalui budaya sekolah. Budaya sekolah
adalah pola asumsi dasar, nilai, keyakinan, norma, simbol dan kebiasaan yang
telah dibentuk dan disepakati dari pemangku kepentingan sekolah baik internal
maupun eksternal yang menjadi pedoman dalam bertindak dan menjadikan
identitas sekolah yang membedakan sekolah dengan sekolah lainnya.

Budaya sekolah menjadi dasar interaksi seluruh warga sekolah, yang meliputi:
(1) nilai-nilai kepercayaan, kejujuran dan transparansi, (2) norma (aturan dan
perilaku yang diterapkan dan disepakati oleh semua anggota sekolah) komunitas
sekolah dan (3) kebiasaan yang memberikan keunikan pada komunitas sekolah)
atau kekhususan sekolah (Rahmat, 2015: 90). Setiap sekolah harus
mengembangkan budaya sekolahnya sendiri sebagai identitas dan kebanggaan
sekolah. Kegiatan tersebut tidak hanya terfokus pada intrakurikuler tetapi juga
kegiatan ekstrakurikuler yang dapat mengembangkan otak kiri dan kanan secara
seimbang untuk menumbuhkan kreativitas, bakat, dan minat siswa (Posangi, 2020:
19). Pengembangan budaya sekolah dalam tujuan untuk kemajuan sekolah yang
lebih baik, menuju jenjang dan mutu yang lebih tinggi, serta diakui oleh masyarakat
luas atas budaya sekolah yang diterapkan.

Budaya sekolah memiliki hubungan dengan masyarakat. Sekolah dan


masyarakat merupakan suatu sarana yang menentukan pertumbuhan dan
perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Sekolah menggunakan masyarakat
sebagai sumber belajar dan menawarkan berbagai kesempatan untuk belajar tentang
kehidupan masyarakat. Sekolah merupakan tempat untuk mensosialisasikan nilai-
nilai budaya yang tidak terbatas hanya pada nilai-nilai keilmuan saja, tetapi kepada
seluruh nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan manusia untuk mewujudkan
manusia yang berbudaya. Hubungan masyarakat dengan budaya sekolah pada
hakikatnya merupakan alat yang berperan sangat penting dalam memajukan dan
mengembangkan pengembangan pribadi peserta didik di sekolah. Selo Soemarjan,
menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan.

Budaya sekolah sebagai salah satu sub sistem kebudayaan masyarakat menjadi
sesuatu yang menarik untuk dikaji dalam proses pengembangan dan penerapannya.
Pengkajian mengenai budaya sekolah, salah satunya dapat kita gali melalui
penerapan model sekolah berbasis budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
yang terdapat di Kabupaten Bantul yaitu SMP Negeri 3 Banguntapan. SMP Negeri
3 Banguntapan menjadi sekolah berbasis budaya yang diresmikan pada tanggal 20
Desember 2014. Tujuan SMP Negeri 3 Banguntapan dalam sekolah berbasis
budaya adalah untuk mengajarkan kepada peserta didik agar dapat mencintai
budaya dan sekaligus nguri-nguri budaya. Menurut Perda DIY Nomor 5 Tahun
2011 menyatakan bahwa Pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang
diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya
dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya
agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi
manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman
budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kaitan


nilai dan norma dalam mengembangkan budaya sekolah studi kasus di SMP Negeri
3 Banguntapan, maka rumusan masalah karya ilmiah ini adalah (1) “Bagaimana
kaitan nilai dan norma masyarakat dalam membangun dan mengembangkan budaya
sekolah?”, (2) “Bagaimana implementasi nilai dan norma dalam mengembangkan
budaya sekolah di SMP N 3 Banguntapan?”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaitan Nilai dan Norma Masyarakat dalam Membangun dan
Mengembangkan Budaya Sekolah

1. Nilai dalam Masyarakat

Manusia hidup secara berdampingan dalam masyarakat. Demi menjaga


keharmonisan dalam kehidupan bersama, masyarakat memiliki seperangkat nilai
dan norma yang harus dipatuhi dan dijujung tinggi oleh anggotanya. Nilai
merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem
kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau
mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan (Oktaviyanti, dkk
2016: 114). Melalui nilai, manusia memiliki pengetahuan mengenai hal-hal yang
sebaiknya dilakukan, maupun hal-hal yang seharusnya dihindari. Nilai adalah
prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu atau kelompok
sehingga mengikatnya dan lalu sangat berpengaruh pada perilakunya. Nilai
berkaitan dengan gagasan tentang baik dan buruk, yang dikehendaki dan yang
tak dikehendaki. Nilai membentuk norma,yaitu aturan-aturan baku tentang
perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap anggota suatu unit sosial sehingga ada
sanksi negatif dan positif. Dengan prinsip etika yang dipegang erat oleh anggota
masyarakat yang berbentuk nilai, manusia lantas mewujudkan suatu aturan
bersama yang harus dipatuhi lengkap dengan sanksi yang mengikutinya. Melalui
kehidupan bermasyarakat, nilai dan norma terbentuk, berkembang, dan
terinternalisasi ke dalam diri individu. Nilai merupakan produk budaya sebagai
hasil buah pikiran masyarakat yang hidup secara berdampingan. Untuk
mewujudkan buah pikiran tersebut, masyarakat juga dilengkapi dengan nilai
budaya.
Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam
dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang
mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan
karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan
prilaku dan tanggapanatas apa yg akan terjadi/sedang terjadi. Nilai-nilai budaya
akan tampak pada simbol-simbol, tanda, mutu, visi misi/sesuatu yang nampak
sebagai acuan pokok mutu suatu lingkungan/organisasi. (Siregar, 2017: 4). Salah
satu benuk nilai budaya yang dimiliki masyarakat yakni nilai-nilai kearifan
lokal. Acuan pokok mutu suatu lingkungan yang terwadahi dalam nilai-nilai
budaya seperti kearifan lokal harus dilestarikan dalam suatu wadah yang dapat
mewariskan nilai-nilai tersebut kepada generasi penerus agar generasi penerus
tidak kehilangan jati diri dan mampu mewujudkan cita-cita luhur para
pendahulu. Salah satu wadah yang dapat digunakan untuk mewariskan nilai-nilai
luhur tersebut yaitu melaui pendidikan. Pendidkan perlu menanamkan nilai-nilai
kearifan lokal agar peserta didik tidak tercerabut dari akar budayanya. Menurut
Suyitno, pendidikan perlu menginternalisasikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
di masyarakat selama dalam proses pembelajaran dan pendidikan dengan
mengupayakan lingkungan fisik dan sosial yang bersih dan menarik. Nilai-nilai
yang dimaksudkan di antaranya adalah kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan,
toleransi, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain (2012: 2).
2. Norma dalam Masyarakat

Ditinjau dari segi etimologi, kata “norma” berasal dari bahasa Latin
sedangkan kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab. Menurut Maria (2007),
norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit
maknanya menjadi norma hukum. Norma sesuatu yang fundamental bagi suatu
kelompok sosial baik yang bersifat mekanik maupun organik (Durkheim) atau
tradisional maupun rasional (Weber). Dalam tinjauan sosiologi, norma yaitu
'rules' yang diharapkan dilaksanakan oleh masyarakat. Norma-norma ini pada
umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit seperti dalam kitab undang-undang.
Norma, biasanya diteruskan melalui proses sosialisasi tentang bagaimana orang
harus berperilaku secara wajar (tradisi lisan) .
Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika
dan norma hukum. Norma etika meliputi norma susila, norma agama, dan norma
kesopanan. Ketiga norma atau kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain dapat
dikatakan bahwa norma agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk
kesucian hidup pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan
akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan bertujuan untuk mencapai
kesedapan hidup bersama antar pribadi. Ada tiga elemen yang terkandung dalam
setiap norma yakni nilai (value), penghargaan (rewards) dan sanksi
(punishment). Nilai pada dasarnya bersifat abstrak tentang idea-idea yang relatif
disukai, disenangi dan dicapai oleh masyarakat. Oleh karena itu, nilai memuat
ide-ide yang penting dari, untuk dan oleh masyarakat. Sedangkan reward dan
punishment atau Sanction relatif konkrit karena langsung menentukan perilaku
manusia (Maria: 2007). Norma sendiri ada berbagai tingkatan, yaitu: (1) adat
istiadat (folkways), misalnya cara makan dan cara berpakaian; (2) mores, yaitu
sistem aturan tidak tertulis; dan (3) hukum (law) yakni sistem atura tertulis dan
perlanggarnya bisa dipenjarakan. (Aw, 2015: 68).
3. Kaitan Nilai dan Norma dalam Membangun dan Mengembangkan
Budaya Sekolah

Nilai adalah prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu
atau kelompok sehingga bersifat mengikat dan sangat berpengaruh pada perilaku
individu. Nilai berkaitan dengan gagasan tentang baik dan buruk, yang
dikehendaki dan yang tak dikehendaki. Sehingga nilai turut membentuk
norma,yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap
anggota suatu unit sosial sehingga ada sanksi negatif dan positif. Nilai daan
norma merupakan sesuatu yang berkembang dari kebudayaan masyarakat.
Sekolah sebagai salah satu unit dalam masyarakat, juga memiliki dan
membangunn budayanya sendiri dan termasuk ke dalam subsistem kebudayaan
masyarakat. Hal ini diperkuat dengan definisi budaya sekolah menurut
Oktaviani, dimana budaya sekolah merupakan ciri khas sekolah, dan sistem nilai
sekolah yang terdiri dari seperangkat norma, nilai, sikap dan kebiasaan dapat
menjadi sarana yang tepat untuk meningkatkan kinerja guru (2015: 615).
Senada dengan hal tersebut Hede (2021:690) menjelaskan budaya sekolah
merupakan nilai penting yang diyakini sebagai sistem yang dibangun dalam
jangka waktu yang lama dan dipercaya oleh lingkungan sekolah. Budaya sekolah
menjadi dasar interaksi seluruh warga sekolah, yang meliputi: (1) nilai-nilai
kepercayaan, kejujuran dan transparansi, (2) norma (aturan dan perilaku yang
diterapkan dan disepakati oleh semua anggota sekolah) komunitas sekolah dan
(3) kebiasaan yang memberikan keunikan pada komunitas sekolah) atau
kekhususan sekolah (Rahmat, 2015: 90). Sistem yang dibangun sebagai budaya
dalam kegiata persekolahan mengandung sesuatu yang dipandaang luhur dan
dijunjung tinggi, dipraaktekkan, serta menjadi jati diri sekolah. Menurut Novita
(2019: 148), budaya sekolah merupakan seperangkat nilai yang mendasari
perilaku, tradisi, dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan oleh kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.
Melalui berbagai kegiatan dan kebiasaan yang baik, berdampak besar pada
karakter siswa. Budaya sekolah dapat dicirikan sebagai bentuk kepribadian
sekolah yang membedakan sekolah satu sama lain dalam hal peran dalam
menjalankan perannya dalam kaitannya dengan nilai, kepercayaan, dan norma
budaya sekolah (Setiawan, 2017).
Membangun dan mengembangkan budaya sekolah merupakan bagian
penting dalam menghasilkan siswa yang hebat. Untuk membangun sekolah yang
positif, tiga prasyarat harus dipenuhi: (1) Sekolah memiliki ukuran keberhasilan
dan area untuk meningkatkan nilai ujian, (2) Guru harus memiliki pemahaman
menyeluruh tentang budaya sekolah. Jika masih ada pemahaman yang kurang di
sekolah tentang pentingnya budaya sekolah, maka perlu dilakukan diskusi
bersama tentang apa itu budaya sekolah. (3) Sekolah membutuhkan fasilitas
untuk pengembangan dan evaluasi budaya sekolah dan harus dilakukan untuk
budaya sekolah mereka (Sudrajat, 2014: 22-26). Kepala sekolah memiliki peran
kunci dalam mengembangkan budaya sekolah yang positif. Pengembangan ini
dilakukan bekerjasama dengan para guru dan warga sekolah, memberikan
contoh nilai dan perilaku positif sehingga terbangun budaya mutu di sekolah.
Konstruksi budaya mutu di sekolah yang harus dikembangkan terkait dengan
visi dan misi yang telah ditetapkan dan efektif dicapai apabila disertai dengan
keyakinan dan nilai-nilai yang dianut dan diterapkan oleh warga sekolah. Selain
itu, nilai dan keyakinan tersebut harus mampu meningkatkan keterlibatan warga
sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat. Keyakinan dan nilai tersebut
harus dapat mendorong dan meningkatkan partisipasi kerja untuk menghindari
dan mengantisipasi masalah yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
sekolah (Rahmat, 2015: 90). Dalam membangun budaya sekolah, pemimpin
sekolah, bersama dengan guru, harus memusatkan perhatian mereka pada
perubahan organisasi secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan, pertama,
dengan mendefinisikan peran yang akan dimainkan oleh kepala sekolah, guru,
dan komunitas sekolah, melalui komunikasi terbuka dan kegiatan akademik
yang lebih memenuhi harapan dan kebutuhan komunitas sekolah (siswa)
tertentu. Kedua, mengembangkan mekanisme komunikasi yang efektif, seperti
pertemuan rutin. Ketiga, melakukan studi bersama untuk mencapai keberhasilan
sekolah. Keempat, memvisualisasikan visi dan misi sekolah, keyakinan, nilai,
norma, dan kebiasaan yang diharapkan dari sekolah. Kelima, memberikan
pelatihan atau kesempatan kepada seluruh komponen sekolah untuk turut serta
mewujudkan budaya sekolah yang diharapkan (Sudrajat, 2014: 9-10). Disisi
lain, upaya pengembangan budaya sekolah harus didasarkan pada beberapa
prinsip, yaitu fokus pada visi, misi dan tujuan sekolah, menciptakan komunikasi
formal dan informal, inovatif dan berani mengambil risiko, memiliki strategi
berbasis kinerja yang jelas, evaluasi yang jelas. sistem, komitmen yang kuat,
pengambilan keputusan berdasarkan konsensus, sistem penghargaan yang jelas
dan evaluasi diri (Lestari, 2020: 126-129).
B. Implementasi Nilai dan Norma dalam Mengembangkan Budaya
Sekolah di SMP Negeri 3 Banguntapan

Menurut Setiawan, program budaya sekolah merupakan bentuk tindakan


sekolah yang secara konseptual direncanakan dan dilaksanakan melalui
program-program yang dibangun di atas budaya sekolah yang ada. Adapun
program-program yang merupakan tindakan nyata dari budaya sekolah yang
ada terdiri dari visi, misi, nilai, norma, dan lain-lain, yang dilaksanakan oleh
seluruh warga sekolah khususnya siswa. Program budaya sekolah bertujuan
untuk memelihara dan menerapkan budaya sekolah yang sebenarnya. Program-
program yang ada disusun secara cermat dan memiliki tujuan yang spesifik bagi
seluruh warga, termasuk dalam melaksanakan visi dan misi sekolah (2017).
Dengan demikian, nilai daan norma merupakan sesuatu yang
diimplementasikan dalam program budaya sekolah. Masing-masing sekolah
memiliki dan membangun budayanya sendiri secara khas dan sistematis sesuai
visi dan misi sekolah yang sudah ditetapkan.
Berdasarkan visi dan misinya, SMP Negeri 3 Banguntapan merupakan
sekolah berbasis budaya yang menerapkan kegiatan sekolah baik di kelas
maupun di luar kelas dengan berorientasi pada pengembangan nilai-nilai
budaya. Nilai–nilai budaya yang diimplementasikan dalam kegiatan sekolah
oleh SMP Negeri 3 Banguntapan ialah nilai-nilai kearifan lokal. Menurut
Wijayanti & Sudrajat (2018: 29), kegiatan tersebut setidaknya digambarkan
melalui: 1) Dalam proses pembelajaran, semua mata pelajara diintegrasikan
dengan nilai-nilai budaya lokal; 2) Dalam kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan
diarahkan pada pembinaan potensi siswa khususnya dalam pengembangan
budaya melalui seni tari, musik gamelan, macapat, pidato bahasa jawa dan lain
sebagainya. Akan tetapi, kegiatan ekstrakulikuler berbasis budaya yang rutin
dilaksanakan, yakni karawitan, batik, dan tari (Puryanti & Marzuki, 2020: 91).
Hal ini sesuai dengan Prasogi (2020: 19), dimana setiap sekolah harus
mengembangkan budaya sekolahnya sendiri sebagai identitas dan kebanggaan
sekolah. Kegiatan tersebut tidak hanya terfokus pada intrakurikuler tetapi juga
kegiatan ekstrakurikuler yang dapat mengembangkan otak kiri dan kanan secara
seimbang untuk menumbuhkan kreativitas, bakat, dan minat siswa.
Penerapan nilai-nlai kearifan lokal sebagai wujud nyata sekolah berbasis
budaya oleh SMP Negeri 3 Banguntapan dilakukan melalui strategi penamaan
“PETRUK” yang merupakan akronim dari P untuk Pemodelan, E untuk
Empowering, T untuk Teaching, R untuk Reinforching, U untuk Unik dan K
untuk Komprehensif. Strategi penamaan “PETRUK” dapat dijabarkan sebagai
berikut (Wijayanti & Sudrajat, 2018: 30-33):
1) Pemodelan (P). Pemodelan terkait dengan metode keteladanan atau
memberikan contoh, dimana kepala sekolah harus menjadi model bagi para
guru serta guru juga menjadi model bagi para siswa. Kepala sekolah
menerapkan kepemimpinan berdasarkan nilai budaya dan gaya
kepemimpinan seperti filosofi Ki hadjar Dewantara yaitu, ing ngarso sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
2) Empowering atau pemberdayaan (E), pemberdayaan terkait dengan usaha
sekolah budaya, dimana guru, siswa, sampai orang tua murid ikut dalam
proses penanaman nilai budaya/kearifan lokal.
3) Teaching atau disebut pembelajaran (T). Penanaman dalam pembelajaran
yang dilakukan SMPN 3 Banguntapan melalui tiga bentuk yaitu: a)
Monolitik; Penanaman nilai kearifan lokal masuk dalam mata pelajaran
tersendiri, yakni mapel Bahasa Jawa yang juga termasuk dalam muatan
lokal. b) Penanaman dengan integrasi dalam pembelajaran, dimana mata
pelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti
Karawitan yang terintegrasi dalam mata pelajaran Seni Budaya,
Keterampilan yang di integrasikan dengan materi Batik. Penanaman juga
dilakukan dengan megintegrasikan dalam materi seperti pada mata
pelajaran bahasa Indonesia dengan menyisipkan materi cerita rakyat Roro
Jonggrang. Mata pelajaran Penjasorkes dengan materi Jemparingan. Guru
menyampaikan nilai-nilai dalam pembelajaran dalam bentuk salam bahasa
Jawa serta nilai-nilai, nasehat, dan motivasi dengan menyisipkan dalam
materi yang sesuai, terintegrasi dengan materi dan RPP. c) Pendidik dan
karyawan sebelum menanamkan nilai kearifan lokal terlebih dahulu diberi
pembekalan dan sosialisasi. Sosialisasi terkait butir nilai kearifan lokal
dilakukan dengan workshop silabus dan rpp berbasis budaya, yang
melaksanakan dari Dinas Pendidikan dan tim budaya, juga urusan
kurikulum. Outputnya hasil karya guru dan sertifikat. d) Program
Ekstrakurikuler dalam Upaya Penanaman Nilai Kearifan Lokal yang
diadakan di SMPN 3 Banguntapan, yakni pedhalangan (namun macet dan
tidak terlaksana), karawitan, tari tradisional, lalu ada panambromo, ada
jemparingan gaya Yogyakarta, yaitu memanah dengan bersila dan terakhir
ada batik. Ekstrakulikuler tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk
menumbuhkan sikap cinta budaya, karena standar komepetensinya dari
mengenal, mengapresiasi, mencintai dan mengaktualisasi (melestarikan).
4) Reinforching atau penguatan (R), penguatan yang dimaksud adalah
penguatan lingkungan fisik yang berupa sarana dan prasarana, serta
penguatan non fisik. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah
diantaranya ada museum budaya yang bertujuan untuk mengumpulkan
artefak-artefak budaya misalnya alat-alat tradisional, sarana olahraga
jemparingan, alat gamelan slendro, alat pedhalangan, depan kelas sudah
terdapat slogan-slogan, dan petuah Jawa, bel sekolah dengan istrumen
gamelan, ruang untuk membatik. Penguatan lingkungan non fisik berupa
penanaman melalui kultur sekolah (budaya sekolah) di SMPN 3
Banguntapan bentuknya, berupa 3 S yaitu Senyum, Salam, dan Sapa
ditambah Sopan dan Santun. Membiasakan menyapa dengan bahasa Jawa
dan guru membetulkan jika siswa kurang tepat dalam berbahasa Jawa, lalu
unggah-ungguh dan siswa dibiasakan mengucap matur nuwun ketika selesai
kegiatan pembelajaran. Selain itu Penguatan dilakukan dengan pemasangan
slogan-slogan sekolah dalam bahasa jawa, tulisan nama ruangan dilengkapi
huruf jawa, dinding di cat mural batik dan wayang, setiap ruangan terpasang
wayang kulit. Selain itu terdapat lomba-lomba untuk memperkuat nilai-nilai
budaya, yakni kegiatan deprestasi sekolah budaya seperti lomba geguritan
kaligrafi huruf jawa, pemilihan dimas diajeng budaya dan mocopat. Karya
siswa yang mengikuti ekstrakurikuler batik dan karawitan yang di tempel di
depan kelas, seperangkat gamelan, dan seperangkat alat untuk membatik
(Puryanti & Marzuki, 2020: 91).
5) Unik (U), Keunikan SMP Negeri 3 Banguntapan Bantul tercermin melalui
pembinaan seni ketoprak di sekolah yang menggunakan gending jawa
pemutaran lagu dolanan anak setiap jam istirahat, kepemilikan museum
budaya, dan adanya ekstrakurikuler karawitan. Ekstrakurikuler karawitan
mempraktekkan lagu dolanan dengan gamelan. Ekstrakurikuler
menciptakan gerakan baru dalam tari, dan ekstrakurikuler batik
menciptakan karya model batik yang unik (Puryanti & Marzuki, 2020: 91).
6) Komprehensif (K). Hal ini dimaksudkan bahwa penanaman nilai kearifan
lokal melibatkan semua elemen di sekolah, stakeholder, dan masyarakat.
Sekolah juga bekerjasama dengan lembaga lain, contohnya UNY, ISI, dan
Dinas terkait, stasiun radio, TVRI, alumni dan dari wali murid sebagai
penyumbang daba, serta SMKI dan SMSR karena kedua sekolah tersebut
fokus pada seni dan budaya.
Nilai-nilai budaya yang ditanamkan pada siswa SMP Negeri 3
Banguntapan, yakni nilai-nilai kearifan lokal yang berupa nilai kejujuran, nilai
kesusilaan, nilai kesabaran, nilai kerendahan hati, nilai tanggung jawab, nilai
pengendalian diri, nilai kepemimpinan, nilai ketelitian, dan nilai kerjasama
(Wijayanti & Sudrajat, 2018: 36-40). Dalam mengimplementasikan nilai-nilai
kearifan lokal tersebut, menurut Puryanti & Marzuki (2020: 85-86) SMPN 3
Banguntapan menggunakan strategi “PETRUK” yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
1) Dalam kegiatan ekstrakulikuler. Pemodelan (P), guru sebagai model
menjadi teladan bagi siswa, contohnya datang tepat waktu pada
pembelajaran; Pemberdayaan (E) di ekstrakurikuler karawitan ini siswa
diberdayakan agar bisa mempraktekkan seperangkat gamelan;
Pembelajaran (T), pembelajaran ekstrakurikuler karawitan merupakan
program pendukung sekolah berbasis budaya dimana diselipkan unsur
budaya dalam pembelajaran kegiatan ekstrakurikuler; Penguatan (R),
dimana melalui ekstrakurikuler guru diharapkan mampu menguatkan
karakter siswa; Unik (U), yakni karya yang diciptakan oleh SMPN 3 ini
berbeda dengan sekolah lain; Komprehensif (K), dimana seluruh siswa
kelas 7 dan 8 wajib mengikuti ekstrakurikuler berbasis budaya sesuai
dengan minat dan bakatnya.
2) Dalam kegiatan pembelajaran. Pemodelan (P), yang menjadi model untuk
siswa adalah guru; Pemberdayaan (E), berorientasi untuk menghasilkan
produk dan melatih keterampilan siswa; Pembelajaran (T), dalam
pembelajaran di kegiatan ekstrakurikuler memang di fokuskan dalam
bidang budaya; Penguatan (R), penguatan dalam karakter siswa agar tidak
terpengaruh oleh budaya luar; Unik (U), unik yang artinya berbeda dengan
yang lain, punya ciri khas tersendiri; Komprehensif (K), salah satunya yakni
menyeluruh dalam pemerataan dalam pembiasaan kultur sekolah.
Nilai-nilai kearifan lokal yang diinternalisasikan dalam kegiatan
ekstrakurikuler di SMPN 3 Banguntapan mengacu pada landasan yuridis
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No. 68 Tahun 2012 tentang
penerapan nilai-nilai luhur budaya dalam pengelolaan dan penyelenggraaan
pendidikan yang diantaranya meliputi (dalam Puryanti & Marzuki, 2020: 86):
1) Kegiatan ekstrakurikuler karawitan menginternalisasikan nilai-nilai kearifan
lokal yang berupa kedisiplinan, kesabaran, kesusilaan, tanggung jawab, percaya
diri, pengendalian diri, intergritas, kerja keras, ketelitihan, kesopanan,
kerjasama, toleransi, keadilan, kepedulian, dan kepemimpinan; 2) Kegiatan
ekstrakurikuler batik menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal, yakni
kedisiplinan, kesabaran, kejujuran, tanggung jawab, percaya diri, kerja keras,
ketelitian, kerjasama, toleransi, dan kepedulian; 3) Kegiatan ekstrakurikuler tari
menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal berupa kedisiplinan, kerendahan
hati, kesabaran, tanggung jawab, percaya diri, pengendalian diri, kerja keras,
ketelitian, ketangguan, kerjasama, toleransi, dan kepemimpinan.
BAB III
KESIMPULAN

Pemahaman tentang nilai yang semula sifatnya abstrak, berubah menjadi


kenyataan dalam perbuatan. Perbuatan yang mencerminkan nilai itu secara tidak
langsung terungkap melalui norma. Dengan demikian nilai diaktualisasikan di
dalam perbuatan melalui norma. Pada hakikatnya merupakan perwujudan nilai
oleh individu di dalam hubugan antar (interaksi) menuju terwujudnya
kepentingan dan keteraturan. Kedua aspek formal tersebut dapat terwujud di
dalam solidaritas dan subsidiaritas. Perwujudan nilai ke dalam norma dalam
kehidupan bersama mengantarkan komunitas kearah yang lebih baik dalam arti
memberikan kesempatan kepada individu untuk lebih mengaktualisasikan nilai-
nilai.
Penanaman nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan di sekolah SMP
Negeri 3 Banguntapan yaitu melalui strategi “PETRUK” (1) huruf P artinya
pemodelan, (2) huruf E artinya emprovering (pemberdayaan), (3) huruf T artinya
teaching (pembelajaran), (4) R artinya Reinforcing (penguatan), (5) huruf U
artinya unik, (6) huruf K artinya komprehensif (menyeluruh). Faktor pendukung
penerapan “PETRUK” dalam sekolah berbasis budaya sebagai upaya
internalisasi nilai-nilai kearifan lokal diantaranya mendapat dukungan dari orang
tua, pemerintah dan masyarakat sekitar SMP Negeri 3 Banguntapan Bantul.
Nilai-nilai budaya yang ditanamkan pada siswa SMP Negeri 3 Banguntapan,
yakni nilai-nilai kearifan lokal yang berupa nilai kejujuran, nilai kesusilaan, nilai
kesabaran, nilai kerendahan hati, nilai tanggung jawab, nilai pengendalian diri,
nilai kepemimpinan, nilai ketelitian, dan nilai kerjasama
DAFTAR PUSTAKA
Aw, S. (2015). Implementasi teori komunikasi sosial budaya dalam pembangunan
integrasi bangsa. Informasi, 45(1), 65-72.
Hede, M. B. (2021). Pengaruh budaya sekolah dan sarana pendukung terhadap
motivasi belajar siswa dampaknya pada mutu pendidikan di lingkungan smk
triguna 1956. Humanis (Humanities, Management and Science
Proceedings), 1(2).
Lestari, S. (2020). Pengembangan karakter berbasis budaya sekolah. Semarang:
CV Pilar Nusantara.
Maria Farida Indrati S. (2017). Ilmu perundang-undangan (1). Kanisius:
Yogyakarta 2007.
Novita, A. (2019). Peran budaya sekolah alam banyu belik dalam pembentukan
karakter siswa sekolah dasar. In prosiding seminar internasional kolokium
2019.
Oktaviani, C. (2015). Peran budaya sekolah dalam peningkatan kinerja
guru. Manajer pendidikan, 9(4).
Oktaviyanti, I., Sutarto, J., & Atmaja, H. T. (2016). Implementasi nilai-nilai sosial
dalam membentuk perilaku sosial siswa sd. Journal of Primary Education,
5(2), 113-119.
Posangi, S. S. (2020). Strategi pengembangan budaya sekolah di SMP Negeri 10
Kota Gorontalo. Al-Muzakki, 2(2), 16-30.
Puryanti, YAT & Marzuki. 2020. Penerepan PETRUK dalam kegiatan
ekstrakurikuler berbasis budaya sebagai upaya internalisasi nilai-nilai
kearifan lokal. MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 35, Nomor 1, Februari
2020, 83 – 93.
Rahmat, A. (2015). Sosiologi pendidikan. Gorontalo: Ideas Publishing.
Setiawan, K. (2017). Program budaya sekolah dalam pembentukan perilaku disiplin
siswa di SMA N 1 Ngemplak. Sosialitas; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant, 8(1).
Siregar, F. R. (2017). Nilai-nilai budaya sekolah dalam pembinaan aktivitas
keagamaan siswa SD IT Bunayya Padangsidimpuan. Jurnal Kajian Gender
dan Anak, 1(1).
Sudrajat. A. (2014). Budaya sekolah & pendidikan karakter. Yogyakarta: Intan
Media.
Sukadari, S. (2020). Peranan budaya sekolah dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Exponential (Education for Exceptional Children) Jurnal
Pendidikan Luar Biasa, 1(1), 75-86.
Suyitno, I. (2012). Pengembangan pendidikan karakter dan budaya bangsa
berwawasan kearifan lokal. Jurnal pendidikan karakter, (1).
Umyati, U., Sumardi, S., & Suhardi, E. (2019). Hubungan antara budaya sekolah
dan kompetensi pedagogik dengan kreativitas guru. Jurnal Manajemen
Pendidikan, 7(2), 816-824.
Wijayanti, AT & Sudrajat. 2018. Penanaman nilai-nilai kearifan lokal untuk
pembentukan kecerdasan emosional siswa di SMP Negeri 3 Banguntapan
Bantul Yogyakarta. Jipsindo No. 1, Volume 5, Maret 2018, 21-43.

Anda mungkin juga menyukai