Anda di halaman 1dari 6

Apa arti Suhi ni Ampang na Opat dalam

adat Batak?

Dalam budaya Batak ada suatu peralatan yang sangat kental terlihat perananannya
yaitu Ampang atau bakul. Dikatakan kental karena dari segi kegunaannya, alat tersebut sangat
serba bermanfaat untuk menjadi tempat atau wadah. Namun yang sangat menarik karena
mempunyai arti lain sebagai perlambang yang mefokuskan pada arti ke-empat sudut yang ada
pada ampang atau bakul tersebut.

Bakul atau Ampang memang adalah suatu perkakas rumah tangga yang multi guna dan hampir
seluruh rumah tangga memilikinya, hanya pada zaman sekarang telah banyak inovasi modern
yang menggantikan alat tersebut. Alat yang multi guna sedemikian membuat bakul/ampang
menjadi perkakas yang paling berguna untuk membawa sesuatu yang berharga dan cara
mengusungnya bisa dengan cara menggendong atau menjunjung.

Bahwa dalam adat-istiadat Batak senyatanya sudah sejak lama ada didapati bahkan sudahpun
sejak dahulu mengandung nilai-nilai yang luhur dan universal sebagaimana ke-empat nilai
universal diatas . Nilai - nilai itu sudah lama dimiliki oleh komunitas adat batak
seperti halnya yang terdapat pada Suhi ni Ampang Na-opat / empat sudut dari pada bakul atau
diartikan sebagai empat sudut yangsama besar dan yang sama fungsinya serta yang sekaligus
harus ada tidak terpisah. Nilai-nilai yang terkandung dalam pengertianempat sudut
bakul dimaksud adalah nilai-nilai luhur dalam hati manusia.

Nilai-nilai dalam setiap hati manusia yang sudah sejak jauh dan berabad-abad dapat dipedomani


manusia batak. Nilai-nilai itu pula yang terkandung dalam dogma maupun theologi agama dan
karena nilai-nilai itu berlaku universal maka menjadikannya nilai-nilai yang abadi.

Bahwa setiap hati manusia harus mempunyai Kasih, Damai, Harapan dan Sukacita, ke-
empat nilai ini harus sekaligus ada pada setiaphati manusia agar manusia itu bisa menjadi
manusia yang baik. Ke-empat nilai itu tidak boleh berkurang satupun karena dengan demikian
maka manusia itu telah menjadi sesuatu yang tidak baik.

Dalam agama hal ini jelas ada diajarkan khususnya agama Kristen yang mendahulukan kasih
diatas segala-galanya. Dalam adat batak maka setiap ritual perkawinan adat batak maka hal ini
mutlak dijunjung. Pelaksanaannya jelas terlihat saat melakukan acara “marsubuah-buahi “ yaitu
pada saat pihak laki-laki datang ketempat pihak wanita sebelum melaksanakan acara
pemberkatan di Gereja . Pada saat itu dari pihak laki-laki akan datang dengan membawa “
ampang “ atau bakul yang pada hakekatnya berisi dan harus dimaknai sebagai bawaan yang
berisikan :

a. Kasih / Holong
b. Damai / Dame
c. Suka Cita / Lasniroha
d. Harapan / Harapan

Dalam mythos dan keindahan sprituil budaya Batak telah memiliki dan mengartikan ke-empat
nilai universal diatas dalam acara “marsibuah-buahi” tersebut sebagai berikut ;

Kasih yang dilambangkan oleh nasi putih yang hangat dan enak/indahan na las


Damai dilambangkan oleh dedaunan yang terangkai/bulung ni jajabi

Suka Cita dilambangkan pada ulos sebagai hasil karya manusia/ pertenunan

Harapan yang dilambangkan dalam lauk-pauk yang diatur sedemikian rupa

Mungkin masyarakat Batak sekarang lebih melihat Ampang/bakul maupun isinya, hanya
dimaksud sebagai sesuatu fisik saja dan hanya mengutamakan para pemeran dari pada Suhi ni
Ampang atau hanya memikirkan pihak yang menjadi pemeran keempat sudut bakul itu saja
sedangkan hakekat dan nilai-nilai yang termuat dalam ampang/bakul
dimaksud sudah kurang diperhatikan. Memangada juga benarnya yang mengartikan acara
marsibuah-buahi tersebut sekaligus untuk acara serapan pagi bersama sebelum acara
adat/unjuk yang akan seharian akan dilangsungkan.

Senyatanya setiap ada perkawinan, sudah lebih cenderung membicarakan tugas dan peranan
masing-masing institusi/pranata suhi ni ampang/bakul dimaksud tanpa lagi mengingat muatan /
hakekatnya. Secara umum masyarakat mengetahui bahwa bakul/ampang adalah sesuatu alat
/perkakas untuk membawa sesuatu yang pada umumnya berguna dan baik bagi manusia itu.
Karena itulah maka benda itu dipilih sebagai tempat untuk membawakan kasih, damai, suka cita
dan harapan dimaksud.

Ampang / bakul tersebut harus pula dijujung oleh pihak kerabat boru atau garis dari kaum
perempuannya atau “ namboru ” .Pemilihan demikian bukan tidak ada artinya justru sangatlah
tinggi, arti kenapa garis namboru tersebut yang mutlak sebagai penjunjung bakul tersebut . Hal
ini jelas melambangkan pihak laki-laki yang akan dikawinkan tersebut masih
memiliki unsure kasih, damai, sukacita dan harapan yang masih utuh.

Untuk seorang pria Batak mendapatkan kharisma maupun harga diri yang baik ditengah-tengah
komunitasnya hanyalah karena dukungan dari kaum borunya. Sementara itu hanya kaum
borunya itulah yang membuatnya bisa berharga secara kacamata adat . Jika
pihak borunya/namborunya tadi yang ditugasi menjunjung ampang /bakul dimaksud , hal itu
untuk memberi arti atau pertanda bahwa pihak laki-laki yang akan dikawinkan ini masih
mempunyai nilai-nilai adat yang luhur dan masih baik serta tidak cacat adat.Sehingga masih
pantas sipihak namboru menjunjung itu/ menjunjung kehormatan tersebut untuk dibawa dan
dipertunjukkan kepada pihak perempuan yang akan dikawini.

Suhi ni ampang na opat/ empat sudut bakul yang sama, dengan tegas ada diatur dan berada
pada pihak siwanita / hula-hula sebagai pranata sekaligus saksi perkawinan adat yang
diselenggarakan. Para saksi atau pranata tersebut atau lembaga adat yang bertindak sebagai
pihak yang menyerahkan per-empuan atau pihak pemberi berkat atau disebut sebagai tutup ni
ampang dan dikenal denganistilah ;

a. Sijalo Bara yaitu saksi perkawinan yang sekaligus juga berhak menerima upah saksi dan


hal itu diperankan oleh abang atau adik dari Ayah pengantin perempuan.
b. Simolohon yaitu saksi perkawinan yang berhak menerima upah saksi dan
diperankan oleh saudara laki-laki pengantin perempuan yang sudah berkeluarga.
c. Pariban yaitu saksi perkawinan yang juga berhak atas upah saksi dan diperankan oleh
kakak dari penganten perempuan yang sudah berkeluarga .
d. Tulang yaitu saksi perkawinan yang berhak atas upah saksi dan diperankan
oleh saudara laki-laki dari Ibu penganten perempuan.
Sementara itu didalam pihak laki-laki yang akan dinikahkan tersebut terdapat pula suhi ni
ampang na opat / empat sudut bakul yang sama sebagaimana pranata yang merupakan
saksi-saksi perkawinan atau pranata atau
lembaga adat yang bertindak sebagai pihakpenerima per-empuan sekaligus pihak
penerima berkat dan disebut sebagai berikut ;

a. Pansamot yaitu orang tua pihak laki-laki dan berhak untuk menerima atas ulos


pansamot.
b. Pamarai yaitu abang atau adik dari ayah silaki-laki yang menikah dan berhak untuk
menerima atas ulos pamarai.
c. Simandokkon yaitu abang dari laki-laki yang dinikahkan dan berhak
untuk menerima atas ulos simandokkon.
d. Si-hutti Ampang ( dialap jual) atau istilah Ulos ni Ibotona (taruhon jual) yaitu kakak
perempuan atau “ito” ataupun “namboru” dari silaki-laki
yang menikah dan berhak menerima ulos si- Hutti Ampang .

Ke-empat pihak diatas baik yang ada dipihak perempuan maupun yang ada dipihak laki-laki
yang akan menikah tersebut , jelas-jelas menjadi saksi perkawinan dan bertanggung-jawab
secara moriil kepada perkawinan yang dipersaksikannya. Dalam perkawinan itu mau tidak mau ,
telah membuat mereka turut untuk menjaga keutuhannya serta menjadi bagian yang harus turut
campur lebih dahulu jika perkawinan itu kelak mendapat permasalahan.

Dalam arti yang benar “marsibuah-buahi” adalah suatu lembaga pranikah dalam perkawinan
adat batak. Lembaga pranikah yang mana harus dijalankan sebagai sarana saling mengenal
secara berhadapan-hadapan antara pihak laki dan kerbatnya maupun pihak perempuan
bersama kerabatnya.

Jika dalam pranikah tersebut masih ada yang kurang maka acara adat selanjutnya yaitu pesta
unjuk belum bisa dilanjutkan.Pemaksaan untuk melanjutkan acara selanjutnya tentu akan
berakibat fatal sebab dalam acara pesta unjuk yang akan berperan adalah lembaga bius/pranata
social dari seluruh masyarakat adat yang ada dan kekurangan tadi akan dikontrol oleh lembaga
bius dimaksud dan dapat berujung pada hukuman atau dipermalukan oleh lembaga bius
tersebut.

Sangatlah tepat jika seorang pria dengan seorang wanita yang akan menikah
secara budaya adat batak, terlebih dahulu diperkenalkan kepada pranata yang diatur oleh suhi ni
ampang naopat . Dengan demikian mereka yang akan menikah tersebut sudah mengenal
dengan baik/familiar terhadap saksi-saksi perkawinannya dan mempunyai relasi komunikasi
maupun emosional yang sudah terbina.Sayang perkawinan dikalangan orang batak saat ini
menjadi terfokus hanya untuk mengikuti syarat protokoler dan formil praktis saja atau hanya
mengurusi pemeran pranata suhi ni ampang saja tidak lagi hakekat yang terkandung dalam suhi
ni ampang tersebut.

Suatu perkawinan dikalangan masyarakat Batak harus sekaligus meliputi perkawinan menurut
hukum agama, hukum positif danhukum adat dan untuk memenuhi ketiga unsur hukum tersebut
sudah terasa bertele-tele,apalagi dilakukan dalam kurun waktu sehari penuh pada hari
pelaksanaannya. Dahulu tentu hanya perkawinan adat saja yang dijalankan
namun dalam kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini mau tidak mau
perkawinan tersebut harus sekaligus disahkan oleh agama , pemerintah dan adat.

Akibat adanya hubungan perkawinan adat maka menimbulkan hubungan pranata-pranata yang
baru yaitu ;

Hula-hula sebagai sebutan bagi pranata yang menyerahkan siperempuan.


Boru sebagai sebutan bagi penerima siperempuan.

Dongan Sabutuha sebutan bagi pranata yang semarga/marga yang sama .

Didalam perkembangan rumah tangga dari pria dan perempuan yang baru menikah tersebut
selanjutnya dan terutama setelah mempunyai keturunan/anak akan muncul sebutan baru dari
anaknya yaitu ;

Oppung artinya orang agung, yakni sebutan cucu kepada kakek neneknya.

Tulang sebutan untuk paman artinya pihak yang telah menyerahkan tulang rusuk bagi pria yang
menikah karena si pria yang menikah telah mendapatkan
pengganti tulang rusuknya yaitu istri yang dinikahinya tersebut.

Amangboru/Namboru artinya sebutan dari garis perempuan pada kaumnya yang sudah cukup
mampu untuk dituakan, semisalnya telah menikah ataupun cukup dewasa.

Problema - problema social yang ada pada masyarakat batak modern sekarang , yang seakan-
akan tidak lagi bersesuaian dengan adat istiadat tidaklah pula mutlak benar. Dalam hukum
agama jelas telah mengatur dan meliputi hubungan manusia dengan Tuhannya danhubungan
sesama manusia maupun lingkungan alam dan sekitarnya. Namun harus mampu membedakan
dalam hubungan apa, ada terjadi kontradiktif tersebut dan seakan terlihat berseberangan
dengan agama.

Bukankah sudah jelas dalam setiap agama ada aturan yang mengatur urusan manusia dengan
Tuhan dan aturan manusia dengan manusia. Aturan agama yang menyangkut urusan manusia
dengan Tuhannya harus mutlak berlaku bagi penganut agama tersebut. Misalkan saja yang
terdapat dalam agama Kristen yaitu Hukum Taurat dan Injil atau juga dalam agama Islam
terdapat Rukun Iman dan Rukun Islam. Hubungan manusia dengan Tuhan mutlak
mengutamakan hukum agamanya dan hukum hubungan manusia dengan penciptanya yang
terdapat dalam budaya atau adat istiadat batak kuno harus
mengikuti pencerahan dari agamanya masing-masing.

Persoalan yang pelik adalah hubungan sesama manusia dalam interaksi social yang mana
senyatanya memang budaya batak kuno tersebut terasa tertinggal oleh kemajuan atas
perkembangan manusia tersebut dalam peradaban modern sekarang. Perbedaan demikian
wajib dicari solusi oleh setiap lembaga adat atau lembaga bius tersebut dan tentu tidak akan
selalu sama pendekatan social yang dilakukan tergantung pada setiap permasalahan dan basis-
basis laten yang ada dalam nilai-nilai adat batak.

Lembaga social/bius tersebut yang berwenang memutuskan setiap penyelesaian masalah


tersebut. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan
alam lingkungannya tentu mempunyai warna dimasing-masing komunitas masyarakat. Warna
yang menjadi suatu kekayaan kebudayaan atau adat istiadat yang tentu beraneka ragam sesuai
dengan tempat dan lingkungan yang ada.

Dengan adanya masuk pencerahan agama maka kebudayaan atau adat istiadat
yang ada tersebut harus membukakan mata dan menerima pencerahan agama sebagai hakekat
tujuan hidup manusia. Disatu sisi pencerahan agama tidak serta merta mengklaim bahwa
kebudayaan dan adat istiadat adalah sesuatu yang telah menyimpang. Manusia menyadari
kebudayaan atau adat istiadat timbul dari nilai yang baik dan rasa serta pemikiran yang terbaik
pada masyarakat dan oleh karena hal itulah bisa terpelihara baik ditengah masyarakat.

Dalam keadaan zaman sekarang terkadang oleh karena adat istiadat itu sangat kental dengan
manusia batak maka manusia batak yang tergolong telah melanggar nilai-nilai adat istiadat batak
lebih cenderung memilih untuk mendiamkan dan menyimpan permasalahannya , baik karena
rasa malu dan selanjutnya ditampung dengan penyelesaian oleh pranata pada masyarakat
lainnya.

Secara manusiawi tidak ada pula agama yang boleh mengklaim agamanya lebih baik dari
agama yang lain. Harus bisa dijadikan bahwa agama telah menjadi pencerahan bagi setiap
budaya, sedangkan budaya dibuat manusia untuk mengatur sesama manusia. Budaya – budaya
yang memang buruk bagi manusia haruslah mengalami pencerahan dari agama.

Seperti halnya adat batak yang menggaris utamakan anak laki-laki maka


dalam perkembangan peradaban sekarang ini dan adanyakesetaraan antara laki-laki dan wanita,
ternyata haruslah berhati- hati dalam setiap kepentingannya. Adat batak tidak bisa kaku harus
maju kedepan sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang ada disetiap
masyarakat .

Pemikiran yang menganggap pelanggaran terhadap adat batak harus dibuang jauh-jauh atau


tidak lagi diurusi oleh lembaga adatnya, tidak selalu lagi bisa dipertahankan. Dalam masyarakat
batak diakui dan selalu dijalankan budaya berupa falsafah ; lain lubuk lain
ikannya atau sidapot sulup do na ro atau adanya lembaga Tonggo Raja . Lembaga Tonggo Raja
maupun Ria Raja adalah instrument demokrasi yang sudah lama ada. Hal ini dapat dijadikan
sebagai lembaga yang menangani permasalahan-permasalahan yang belum diakomodir atau
yang bertentangan dengan adat batak kuno sebagaimana timbulnya perkembangan ditengah
masyarakat batakagamais sekarang.

Hal yang menarik dan menjadi tantangan saat ini oleh kemajuan dan kesibukan akan terdapat
juga nantinya rumah tangga - rumah tangga yang mengalami perceraian. Dalam masyarakat
batak secara umum seorang wanita yang telah diterima menikah dengan seorang pria dan
sudah menjalankan adat maka siwanita tersebut menjadi keluarga si pria.

Segala tindak tanduknya harus membawakan nama dan kepentingan dari pihak si pria suaminya
tersebut , terlihat sebagai konsekwensi dari system patrineal yang dianut. Padahal zaman sudah
menuntut kesetaraan manusia dan menghapus perbedaan jender/gender/jenis kelamin bahkan
sudah terjadi paradoks yang ada dalam adat istiadat karena tidak jarang saat ini ditemukan
banyak wanita yang lebih sukses dari suaminya. Akibat zaman yang maju saat ini dan membuat
persoalan perceraian rumah tangga dimaksud maka yang ada banyak keluarga-keluarga
demikian terpaksa terpinggirkan oleh pelayanan adat istiadat. Satu sisi hal itu dianggap untuk
menegakkan dan melestarikan adat batak (setelah beragama) yang menganut keyakinan satu
kali menikah sampai beranak dan bercucu dan hanya bercerai oleh kematian.

Kenyataan tidak semua rumah tangga bisa selamat sampai sedemikian rupa karena zaman telah
membentuk keadaan lain dan keegoisan antara suami dan istri dapat saja memporak
porandakan keluarganya. Secara umum hal itu akan tersisih dari komunitas adat istiadat pada
kaum adatnya, padahal agama telahpun membuat dan mendahulukan bentuk pencerahan-
pencerahan lain.

Sebaiknya hal-hal sedemikian harus terpisah, bukankah agama menjadi pribadi yang
bertanggung jawab kepada Tuhannya, sedangkan adat bertanggung jawab kepada sesama
manusia dalam lingkup komunitas adat tersebut. Jelas ada fase dan celah yang tidak
tersambung dengan baik bahkan akan cenderung menjadi pembiaran namun itulah
keunikannya, adat tidak otomatis menjadi urusan agama namun nilai agamanya harus masuk
seluruhnya dalam budayanya.

Para tetua adat khususnya dalam budaya batak, pelaksanaan adat tidak pernah bisa dilakukan
oleh kerabat-kerabat dalam saja , melainkan total menjadi urusan masyarakatnya melalui
lembaga Bius. Para tetua adat yang tercakup dalam lembaga Bius yang nota bene adalah para
tetua dalam masyarakat besar mewakili seluruh warga dan marga serta lembaga
pemerintahan maka berkewajibanmenampung perkembangan zaman .

Ungkapan yang mengatakan “ adat do ugari, sini-hathon ni Mulajadi, siradoton manipat ari,
siulaon di siulubalang ari “ merupakan suatu pernyataan yang diterima dan diakui oleh seluruh
masyarakat Batak. Artinya adat adalah hukum dan aturan yang harus dipelihara sepanjang
hari dan dilaksanakan sepanjang hidup. Adat diterima sebagai suatu kewajiban agar perjalanan
hidup pribadi, keluarga serta masyarakat berjalan dengan tenteram, tertib dan sejahtera.

Penghargaan demikian tinggi atas nilai-nilai yang baik dalam adat


istiadat Batak membuat manusia Batak takut melanggarnya, takut tidak menjadi bagian manusia
yang baik, takut dicap sebagai manusia tidak beradat. Sesuatu yang harus diartikan dalam
konteks peradaban modern sekarang yang telah mengenal berbagai agama , namun tetap
mempunyai penghargaan yang tinggi selaku manusia yang beradat, karena nilai-
nilai yang terkandung dalam adat istiadat batak senyatanya banyak yang
sejalan dan bernilai sama denganyang diatur oleh nilai-nilai agama

Anda mungkin juga menyukai