Anda di halaman 1dari 49

HUBUNGAN PENGGUNAAN MASKER DENGAN

TIMBULNYA MASKNE PADA TENAGA KESEHATAN


DI RS. HAJI MEDAN PADA ERA
PANDEMI COVID-19

SKRIPSI

Oleh :

SILVIA SYARANI PUTRI


71180811102

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

MEDAN

2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Hasil Penelitian dengan judul :

Hubungan Penggunaan Masker dengan Timbulnya Maskne Pada Tenaga


Kesehatan Di RS. Haji Medan Pada Era Pandemi Covid-19

Yang dipersiapkan oleh :

SILVIA SYARANI PUTRI


71180811102

Hasil penelitian ini telah diperiksa dan disetujui

Medan, 2022

Disetujui,

Dosen Pembimbing I

(dr. Bilkes, Sp.KK., FINSDV,FAADV)


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : HUBUNGAN PENGGUNAAN MASKER DENGAN


TIMBULNYA MASKNE PADA TENAGA KESEHATAN DI
RS. HAJI MEDAN PADA ERA PANDEMI COVID-19

Nama Mahasiswa : SILVIA SYARANI PUTRI

Nomor Induk Mahasiswa : 71180811102

Telah Diuji Dinyatakan LULUS Di Depan Tim Penguji Pada Hari

Tim Penguji Skripsi

(dr.Bilkes, Sp.KK., FINSDV,FAADV)

Pembimbing

( ) ( )

Penguji I Penguji II

Diketahui

Dekan

(dr. Indra Janis, MKT)


DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

1.1 LatarBelakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................4
1.3 Hipotesis Penelitian..........................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian..............................................................................4
1.4.1 Tujuan Umum.....................................................................4
1.4.2 Tujuan Khusus....................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................7

2.1 Maskne .............................................................................................7


2.1.1 Definisi Maskne .................................................................7
2.1.2 Epidemiologi .....................................................................7
2.1.3 Faktor resiko ......................................................................8
2.1.4 Etiopatogenesis...................................................................8
2.1.5 Gejala Klinis.......................................................................9
2.1.6 Diagnosis............................................................................9
2.1.7 Diagnosis Banding...........................................................10
2.1.8 Penatalaksanaan................................................................10

2.2 Masker ...........................................................................................13


2.2.1 Definisi Masker ...............................................................13
2.2.2 Jenis Masker ....................................................................14
2.2.3 Prosedur Penggunaan Masker ........................................22
2.2.4 Manfaat Penggunaan Masker ..........................................22

iii
2.3 Akne Vulgaris.................................................................................23
2.4 Pengaruh Masker Terhadap Insiden Akne ....................................25
2.5 Kerangka Teori ..............................................................................27
2.6 Kerangka Konsep ..........................................................................28

BAB III METODE PENELITIAN..............................................................29

3.1 Jenis Penelitian...............................................................................29


3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................29
3.2.1 Lokasi Penelitian .............................................................29
3.2.2 Waktu Penelitian .............................................................29
3.3 Populasi dan Sampel.......................................................................29
3.3.1 Populasi Penelitian ..........................................................29
3.3.2 Sampel Penelitian ............................................................29
3.4 Kriteria Sampel ..............................................................................29
3.4.1 Kriteria Inklusi ................................................................29
3.4.2 Kriteria Eksklusi ..............................................................30
3.5 Besar Sampel .................................................................................30
3.6 Identifikasi Variabel ......................................................................31
3.7 Definisi Operasional.......................................................................31
3.8 Cara Pengolahan dan Analisis Data................................................33
3.7.1 Cara Pengolahan Data .....................................................33
3.7.2 Analisis Data....................................................................34

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................35

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akne Vulgaris adalah penyakit utama pada remaja, 85% remaja


terkena dengan tingkat keparahan tertentu, paling sering muncul pada usia
15-18 tahun, baik pada laki-laki ataupun perempuan, namun terkadang
dapat menetap sampai dekade ketiga atau bahkan pada usia yang lebih
lanjut. Akne Vulgaris merupakan penyakit yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh banyak faktor, yaitu yaitu faktor genetik, lingkungan,
hormonal seperti menstruasi, stres emosi, makanan, trauma, kosmetik, dan
obat-obatan (Ayudianti & Indramaya, 2014).

COVID-19 atau lebih dikenal dengan Coronavirus Disease 2019


masalah kesehatan dunia di awal tahun 2020. Kasus COVID-19 pertama
kali ditemukan di Wuhan, China pada tanggal 31 Desember 2019 dengan
etiologi yang belum diketahui. Kasus COVID-19 meningkat cukup pesat,
dalam waktu kurang dari 1 bulan penyakit ini telah menyebar ke berbagai
Negara. World Health Organization (WHO) menetapkan COVID-19
sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada
tanggal 30 Januari 2020 (WHO, 2020). Indonesia melaporkan 2 kasus
pertama COVID-19 pada 2 Maret 2020. Penyakit COVID-19 ditetapkan
WHO sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020 (Kemenkes, 2020).
Prevalensi COVID-19 (penyakit Corona Virus 2019) terus mengalami
peningkatan di dunia. Baik di negara maju maupun Negara sedang
berkembang. Pada 25 Maret 2020, total 81.846 orang terkonfirmasi
terinfeksi COVID-19 dan terdapat 3.287 orang meninggal akibat penyakit
COVID-19. Dalam skala internasional, dilaporkan kasus yg berasal dari
Wuhan ini telah menyebar ke 193 negara, contoh negara yang berdampak
penyebaran kasus ini adalah ada 69.176 kasus pada tahun 2020 di Italia,
42.058 kasus tahun terjadi di Spanyol, dan terdapat 53.588 kasus di
2

Amerika Serikat. Menurut World Health Organization (WHO) penyakit


corona virus semakin hari semakin meningkat, pada tanggal 16 mei 2020
secara global penyakit ini mencapai 4.425.485 orang terkonfirmasi positif
terinfeksi virus ini, dan mencapai 302.059 orang meninggal dunia,
sedangkan di Indonesia pada tahun 2020 telah tercatat 16.496 orang
terkonfirmasi positif COVID-19, dan 1.076 orang meninggal dunia
(WHO, 2021).
Pencegahan transmisi virus SARS-COV-2 dapat dilakukan dengan
beberapa Langkah salah satunya dengan menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD). WHO telah menyarankan kepada tenaga kesehatan untuk
menggunakan APD berupa masker. Tenaga kesehatan adalah komponen
utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan tujuan
nasional sebgaimana diamanatkan oleh konstitusi. Selaku komponen
utama pemberi pelayanan kesehatan tentunya keberadaanya, peran, dan
tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah penting dalam kegiatan
pembangunan kesehatan (Andhini, 2017).
Masker adalah perlindungan pernafasan yang digunakan sebagai
metode untuk melindungi individu dari menghirup zat-zat bahaya atau
kontaminan yang berada di udara, perlindungan pernafasan atau masker
tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode pilihan yang dapat
menghilangkan penyakit, tetapi digunakan untuk melindungi secara
memadai pemakainya (E. S. Han & goleman, daniel; boyatzis, Richard;
Mckee, 2019). Penggunaan masker merupakan bagian dari rangkaian
komperehensif Langkah pencegahan dan pengendalian yang dapat
membatasi penyebaran penyakit-penyakit virus saluran pernafasan
tertentu, termasuk COVID-19. Penggunaan masker bertujuan untuk
melindungi orang yang sehat (dipakai untuk melindungi diri sendiri saat
berkontak dengan orang yang terinfeksi) atau untuk pengendalian sumber
(dipakai oleh orang terinfeksi untuk mencegah penularan lebih lanjut)
(Permatasari et al., 2021). WHO membagi jenis masker menjadi 3 yaitu
3

masker non-medis (masker kain), masker medis dan masker respirator.


Januari 2021, CDC merekomendasikan penggunaan kombinasi masker
medis dengan masker kain karna mampu mengurangi resiko penyebaran
hingga 96,5% dalam test dan simulasi di laboratorium, paparan terhadap
partikel menular turun hingga sekitar 95% Ketika menggunakan
kombinasi masker medis dan masker kain (WHO, 2020a).
Istilah maskne atau akne yang timbul akibat penggunaan masker mulai
popular dan menjadi istilah baru yang banyak digunakan pada masa
pandemi ini baik oleh penyediaan layanan kesehatan maupun masyarakat
umum. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab seseorang
menggunakan masker adalah tingkat pengetahuan, sikap, kenyamanan,
ketersediaan sarana, akses informasi dan sistem pengawasan yang baik
(Ghiffari & Ridwan, 2020).
Penggunaan masker dapat menimbulkan beberapa efek terhadap kulit
seperti trauma fisik pada kulit, akne, dermatitis kontak, urtikaria dan
memperparah penyakit kulit sebelumnya Kelainan kulit yang paling sering
terjadi adalah eritema, papul, skuama, fisura, erosi, ulkus, vesikel, dan
wheal (Razvigor & Nikolai, 2020). Gejala klinis yang biasanya dirasakan
yaitu kulit kering, mati rasa, gatal, dan rasa terbakar. Bagian kulit yang
paling sering terkena adalah hidung dan pipi (Maliyar et al., 2020).

Angka kejadian akne berdasarkan penelitian eksperimental Navarro-


Trivino dan Ruiz-Villaverde di Spanyol menyatakan angka kejadian
penyakit kulit akibat kerja pada tenaga kesehatan sebesar 12.75%. Insiden
kelainan kulit pada wajah sebesar 25,7% dengan kasus terbanyak yaitu
penyakit akne. Penelitian cross-over Hua dkk mengenai hubungan
penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan kelainan kulit pada tenaga
kesehatan di masa pandemi mengatakan 526 tenaga kesehatan dari 542
tenaga kesehatan (97%) mengalami kelainan kulit berupa akne. Penelitian
lainnya mengenai penggunaan masker N95 secara terus menerus
menyatakan reaksi yang sering muncul pada kulit akibat penggunaan
4

masker adalah akne (59,6%), gatal pada wajah (51,4%) dan ruam pada
wajah (35,8%) (Al Badri, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Hayat (2020) di Rumah Sakit Lahore


menyatakan bahwa penggunaan masker yang berkepanjangan oleh para
petugas kesehatan dikaitkan dengan peningkatan frekuensi timbulnya
akne. Hal tersebut dikarenakan pemakaian masker tidak dapat diabaikan
sebagai salah satu tindakan paling penting dalam pencegahan covid-19
(Hayat et al., 2020). Penelitian yang dilakukan oleh Ramesh et al (2021) di
Rumah Sakit Umum Pemerintah Rajiv Gandhi menyatakan bahwa di
antara 400 peserta penelitian dengan penyakit kulit wajah yang diinduksi
masker, akne (Maskne) adalah dermatosis yang paling umum dijumpai di
wajah dan terdeteksi pada 43% peserta, diikuti oleh Seborrhoea (28%),
dermatitis gesekan (18%), dermatitis kontak (16%), eritema non-spesifik,
cheilitis dan kondisi lainnya (Ramesh & Thamizhinian, 2021).

Rumah Sakit Haji Medan merupakan RS tipe “B”, RS Pendidikan


yang memiliki banyak tenaga kesehatan yang bekerja di Instalasi Rawat
Jalan, Instalasi Rawat Inap, serta ruangan isolasi Covid-19. Keluhan
maskne memiliki resiko yang lebih besar pada tenaga kesehatan
dikarnakan penggunaan masker dalam jangka waktu yang lama. Selain itu
penelitian tentang angka kejadian maskne pada tenaga kesehatan di RS.
Haji Medan belum ada dilaporkan. Maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian hubungan penggunaan masker dengan timbulnya maskne pada
tenaga kesehatan di RS. Haji Medan pada era pandemi Covid-19.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti adalah apakah terdapat hubungan antara


penggunaan masker dengan timbulnya maskne pada tenaga kesehatan di
RS. Haji Medan pada era pandemi Covid-19

1.3 Hipotesa Penelitian


5

H0 : Adanya hubungan penggunaan masker dengan timbulnya maskne


pada tenaga kesehatan di RS. Haji Medan pada era pandemi Covid-19

HA : Tidak ada hubungan penggunaan masker dengan timbulnya


maskne pada tenaga kesehatan di RS. Haji Medan pada era pandemi
Covid-19

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara penggunaan masker dengan timbulnya


maskne pada tenaga kesehatan di RS. Haji Medan pada era pandemi
Covid-19

1.4.2 Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui karakteristik teanaga kesehatan di RS. Haji Medan


yang mengalami maskne berdasarkan jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan
dari tenaga kesehatan & lokasi tempat kerja
b) Untuk mengetahui jenis masker, lapisan masker, durasi penggunaan
masker, frekuensi penggantian masker yang digunakan para tenaga
kesehatan di RS. Haji Medan

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti

a) Menambah pengetahuan tentang adanya hubungan penggunaan masker


dengan timbulnya Maskne pada tenaga kesehatan di RS. Haji Medan
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data pada penelitian-
penelitian selanjutnya, khususnya tentang Maskne

2. Manfaat Bagi Pendidikan


6

Peneliti dapat memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan


menambah pengetahuan serta pengalaman dalam membuat penelitian
ilmiah. Menambah pengetahuan peneliti tentang hubungan penggunaan
masker dengan timbulnya Maskne pada tenaga kesehatan di RS. Haji
Medan pada era pandemi Covid-19

3. Manfaat Bagi Masyarakat

Menambah wawasan dan memberi informasi kepada masyarakat


mengenai adanya hubungan penggunaan masker dengan timbulnya
Maskne pada tenaga kesehatan di RS. Haji Medan pada era pandemi
Covid-19.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maskne

2.1.1 Definisi Maskne

Maskne atau mask-acne adalah bagian dari akne mekanika yang di


perberat oleh iritasi kronik akibat oklusi, gesekan, tekanan, gosokan, tarikan
serta kelembapan akibat keringat karna pemakaian masker dimana lesi nya
menyerupai lesi Akne Vulgaris pada umumnya dengan lesi polimorfik, berupa
komedo, papul, pustul, nodul, dan kista di area wajah serta dapat
menyebabkan jaringan parut dan perubahan pigmen pada kulit yang tertutup
masker (Teo, 2021b).

2.1.2 Epidemiologi

Kejadian maskne telah dilaporkan di berbagai publikasi. Pada masa


epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2004, Tan
melaporkan kejadian akne akibat penggunaan masker N95 pada petugas
kesehatan yang menangani pasien SARS. Foo dkk melaporkan bahwa akne
merupakan kelainan kulit yang paling sering ditimbulkan akibat penggunaan
masker. Saat ini, pada masa pandemi Covid-19, Changxu Han melaporkan 24
orang penderita akne akibat penggunaan masker. Dari 24 orang tersebut,
Sebagian besar mempunyai Riwayat akne sebelumnya dan mengalami
eksaserbasi. Sedangkan 5 orang dilaporkan mengalami akne untuk pertama
kalinya. Semua penderita maskne tersebut bekerja di bidang kesehatan.
(Dedianto. Hidajat, 2020).

Penelitian yang dilakukan oleh Hayat (2020) di Rumah Sakit Lahore


Pakistan, menyatakan bahwa penggunaan masker yang berkepanjangan oleh
para petugas kesehatan dikaitkan dengan peningkatan frekuensi jerawat. Hal
tersebut dikarenakan pemakaian masker tidak dapat diabaikan sebagai salah
satu tindakan paling penting dalam pencegahan covid-19 (Hayat et al., 2020).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramesh et al (2021) di Rumah Sakit Umum
Pemerintah Rajiv Gandhi menyatakan bahwa di antara 400 peserta penelitian
8

dengan penyakit kulit wajah yang diinduksi masker, jerawat (Maskne) adalah
yang paling umum dermatosis wajah terdeteksi pada 43% peserta, diikuti oleh
Seborrhoea (28%), dermatitis gesekan (18%), dermatitis kontak (16%),
eritema non-spesifik, cheilitis dan kondisi lainnya (Ramesh & Thamizhinian,
2021).
Penelitian yang dilakukan oleh Salsabila Az-Zahra kepada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Angkatan 2018 tahun 2021
faktor risiko yang berperan dalam timbulnya maskne. Hasil dari 221 sampel,
99 responden (44,8%) mengalami maskne. Berdasarkan analisis bivariat
didapatkan nilai P<0,05 untuk jenis kelamin, durasi pemakaian masker dan
riwayat akne sebelumnya yang artinya terdapat hubungan dengan terjadinya
maskne. Sedangkan untuk jenis masker dan kebiasaan mengganti masker
didapatkan nilai P >0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan dengan
terjadinya maskne. Pada analisis multivariat didapatkan nilai P<0,05 untuk
variable jenis kelamin yang menunjukan bahwa jenis kelamin merupakan
faktor risiko yang paling dominan dalam kejadian maskne(Az-zahra, 2021).

2.1.3 Faktor Resiko


Maskne merupakan salah satu bentuk dari akne mekanika yang terjadi
akibat penggunaan masker dalam jangka lama dan menyebabkan kulit terus
bergesekan dengan masker. Hal ini dapat memicu iritasi dan peradangan pada
kulit. Tenaga kesehatan termasuk rekan-rekan di Rumah Sakit mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terkena akne jenis ini karena penggunaan masker
yang lebih ketat dan lama. Ketika kita berbicara dan menghela nafas, timbul
hawa panas yang kemudian terjebak di dalam masker. Hal ini menyebabkan
kulit wajah menjadi lebih berkeringat dan lembab. Kondisi tersebut
merupakan tempat yang baik bagi bakteri, jamur dan flora lain. Selain itu,
penggunaan masker yang tidak tepat juga dapat menimblkan masalah. Masker
bedah yang dipakai berulang kali atau masker kain yang cara pencucianya
tidak tepat dapat menjadi sumber pertumbuhan bakteri dan jamur(Pekayon,
2019).

Meski faktor utama peyebab maskne adalah gesekan serta kelembapan


berlebih, akne pada dasarnya adalah kondisi multifaktorial. Itu artinya, akne
tidak akan muncul jika tidak didukung oleh faktor lain. Kondisi wajah yang
tertutup oleh masker dan lembab memang bisa memicu pertumbuhan akne.
9

Namun, ada lagi faktor lain yaitu gesekan kain masker yang kita pakai dan
menyentuh kulit terus-menerus sehingga ada gesekan di kulit kita dan
menyebabkan terjadinya jerawat mekanik, jerawat mekanik adalah jerawat
yang timbul karna gesekan .

2.1.4 Etiopatogenesis
Patogenesis akne bersifat multifaktorial yang melibatkan empat faktor
penting yang di anggap berperan dalam perkembangan lesi akne, yaitu
hiperpoliferasi folikuler epidermal, peningkatan produksi sebum, peningkatan
aktivitas C. Acnes dan inflamasi. Pada maskne, terjadi peningkatan
kelembapan dan suhu pada area wajah yang tertutup masker, sehingga terjadi
oklusi dan iritasi pada duktus polisebasea akibat tekanan lokal oleh masker.
Sebagian besar masker bedah terdiri dari 3 – 4 lapisan bahan disertai dengan
2 lapisan filter, semakin banyak lapisan masker maka oklusi yang terjadi akan
semakin berat. Setiap peningkatan suhu 1° C dapat menyebabkan
peningkatan kadar eskresi sebum sebanyak 10% dan dipostulasikan bahwa
peningkatan kelembapan dapat meningkatkan jumlah squalene di kulit.
Penelitian juga menunjukkan peningkatan kelembapan disertai keringat
berlebih dapat mengakibatkan edema pada epidermal keratinosit sehingga
menyebabkan obstruksi akut dan memperberat akne(Kosasih, 2020).

Terdapat empat patogenesis paling berpengaruh pada timbulnya AV (,


yaitu:

1. Produksi sebum yang meningkat


2. Hiperproloferasi folikel pilosebasea
3. Kolonisasi Propionibacterium acnes (PA)
4. Proses inflamasi

1) Produksi sebum yang meningkat

Pada individu akne, secara umum ukuran folikel sebasea serta jumlah
lobul tiap kelenjar bertambah. Ekskresi sebum ada di bawah kontrol hormon
androgen. Telah diketahui bahwa akibat stimulus hormon androgen kelenjar
sebasea mulai berkembang pada usia individu 7-8 tahun. Horman androgen
berperan pada perubahan sel-sel sebosit demikian pula selsel keratinosit
folikular sehingga menyebabkan terjadinya mikrokomedo dan komedo yang
akan berkembang menjadi lesi inflamasi Sel-sel sebosit dan keratinosit folikel
10

pilosebasea memiliki mekanisme selular yang digunakan untuk mencema


hormon androgen, yaitu enzim-enzim 5-a-reduktase (tipe 1) serta 3~ dan 7~
hidroksisteroid dehidrogenase yang terdapat pada sel sebosit basal yang belum
diferensiasi. Setelah sel-sel sebosit berdiferensiasi kemudian terjadi ruptur
dengan melepaskan sebum ke dalam duktus pilosebasea. Proses diferensiasi
sel-sel sebosit tersebut dipicu oleh hormon androgen yang akan berikatan
dengan reseptomya pada inti sel sebosit, selanjutnya terjadi stimulasi
transkripsi gen dan diferensiasi sebosit. Pada individu akne, secara umum
produksi sebum dikaitkan dengan respons yang berbeda dari unit folikel
pilosebasea masing-masing organ target, atau adanya peningkatan androgen
sirkulasi, atau keduanya. Misalnya, didapatkan produksi sebum berlebih pada
lokasi wajah, dada dan punggung, meskipun didapatkan kadar androgen
sirkulasi tetap. Sebagai kesimpulan, androgen merupakan faktor penyebab
pada akne, meskipun pada umumnya individu dengan AV tidak mengalami
gangguan fungsi endokrin secara bermakna. Pasien AV baik laki-laki maupun
perempuan akan memproduksi sebum lebih banyak dari individu normal,
namun komposisi sebum tidak berbeda dengan orang normal kecuali terdapat
penurunan jumlah asam linoleat yang bermakna. Jumlah sebum yang
diproduksi sangat berhubungan dengan keparahan AV.

2) Hiperproliferasi folikel pilosebasea

Lesi akne dimulai dengan mikrokomedo. lesi mikroskopis yang tidak


terlihat dengan mata telanjang, komedo pertama kali terbentuk dimulai dengan
kesalahan deskuamasise panjang folikel. beberapa laporan menjelaskan
terjadinya deskuamasi abnormal pada pasien akne. Epitel tidak dilepaskan satu
per satu kedalam lumen sebagaimana biasanya. Penelitian imunohistokimiawi
menunjukkan adanya peningkatan proliferasi keratinosit basal dan diferensiasi
abnormal dari sel-sel keratinosit folikular. Hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya kadar asal linoleat sebasea. Lapisan granulosum menjadi
menebal, tonofilamen dan butir-butir keratohialin meningkat, kandungan lipid
bertambah sehingga lama-kelamaan menebal dan membentuk sumbatan pada
orifisiumfolikel. Proses ini pertama kali ditemukan pada pertemuan antara
duktus sebasea dengan epitel folikel. Bahan-bahan keratin mengisi folikel
sehingga menyebabkan folikel melebar. Pada akhimya secara klinis terdapat
lesi noninflamasi (open/closed comedo) atau lesi inflamasi, yaitu bila PA
berproliferasi dan menghasilkan mediator-mediator inflamasi.

3) Kolonisasi P.acnes

PA merupakan mikroorganisme utama yang ditemukan di daerah infra


infundibulum dan PA dapat mencapai permukaan kulit dengan mengikuti
aliran sebum. Pacnes akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya
jumlah trigliserida dalam sebum yang merupakan nutrisi bagi PA.
11

4) Proses inflamasi

Pacnes diduga berperan penting menimbulkan inflamasi pada AV


dengan menghasilkan faktor kemotaktik dan enzim lipase yang akan
mengubah trigliserida menjadi asam lemak bebas, serta dapat menstimulasi
aktivasi jalur klasik dan alternatif komplemen. (FKUI, 2019)

Gambar2.1. Progresivitas Lesi Pada Akne (FKUI,2018)

perubahan pola keratinisasi dalam folikel, peningkatan produksi sebu


m yang menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik, te
rbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya inflamasi dan keken
talan sebum, dan peningkatan jumlah flora folikel yang berperan dalam kemot
aksis inflamasi. Akne berkembang dalam folikel sebaseus. Folikel-folikel ini t
erbuka ke permukaan dengan lubang folikular berdilatasi besar yang dinamak
an pori-pori kulit wajah. Saluran folikular mengandung bahan keratin dan din
ding saluran, sebum dari kelenjar sebaseus, dan bermacam flora mikroba. Se
mua ini berperan dalam patogenesis penyakit. Perubahan awal yang terjadi ad
alah deskuamasi korneum pada folikel sebaseus yang menyebabkan pembent
ukan plak. Terjadi perubahan pola keratinisasi di infra infundibulum. Pada
akhirnya secara klinis terdapat lesi non-inflamasi (open or closed comedo)
dan lesi inflamasi, yaitu bila Propriobacterium acnes berproliferasi dan
menghasilkan mediator-mediator inflamasi (Wasitaatmadja, 2017).

Sel ini berlebihan dan melekat sehingga menghasilkan plak di lubang


folikular. Plak ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan ba
kteri terkumpul di dalam folikel. Konsentrasi yang terkumpul ini menyebabka
n dilatasi folikel rambut atas. Jika muncul dalam waktu yang lama, plak dapat
menjadi komedo (Fleischer et al., 2012).
12

Hiperproliferasi epidermal folikular menghasilkan pembentukan lesi p


rimer, yaitu mikrokomedo. Normalnya, keratinosit di kanal folikular tersusun
jarang. Pada lesi awal yang berupa mikrokomedo, bahan keratin menjadi lebi
h padat. (D Hidajat, 2020). Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa sebu
m berperan dalam patogenesis penyakit ini, yaitu sebum itu komedogenik,
peningkatan sebum meningkatkan terjadinya akne muncul sebagai bagian dari
pubertasi pada saat perkembangan kelenjar sebaseus muncul, dan akne bisa di
kontrol dengan menghambat kelenjar sebaseus. Selanjutnya yang berperan dal
am patogenesis akne adalah proses inflamasi. Pada saat pertumbuhan bakteri
sekunder muncul di komedo, folikular yang ruptur dapat membiarkan bakteri
masuk ke lapisan dermis, menyebabkan perubahan inflamatorik yang lebih pa
rah. Tipe sel predominan dalam 24 jam dari rupturnya komedo adalah li
mfosit. CD4+ limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebaseus dimana sel CD8
+ ditemukan di perivaskular. Satu atau dua hari setelah ruptur komedo, neutro
fil menjadi tipe sel predominan yang mengelilingi mikrokomedo yang pecah.
Propionibacterium acnes juga menyebabkan inflamasi dengan merangsang re
spon hipersensitifitas tipe lambat dan produksi enzim lipase, protease, hialuro
nidase, dan faktor kemotaktik. Selain itu, P.acnes diketahui merangsang upre
gulation dari sitokin dengan berikatan pada Toll-like receptor 2 pada monosit
dan sel-sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebaseus. Setelah beri
katan dengan Toll-like receptor 2, sitokin pro-inflamatorik seperti IL-1, IL-8,
IL-12, dan faktor nekrosis tumor-α dilepaskan. Walaupun stafilokokus, mikro
kokus, dan jamur juga ditemukan di folikel, tidak ada bukti bahwa mereka ber
peran dalam proses terjadinya acne (D Hidajat, 2020)

Akne Vulgaris adalah penyakit utama pada remaja, 85% remaja


terkena dengan tingkat keparahan tertentu, paling sering muncul pada usia 15-
18 tahun, baik pada laki-laki ataupun perempuan, namun terkadang dapat
menetap sampai dekade ketiga atau bahkan pada usia yang lebih lanjut. Akne
Vulgaris merupakan penyakit yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh banyak
faktor, yaitu yaitu faktor genetik, lingkungan, hormonal seperti menstruasi,
stres emosi, makanan, trauma, kosmetik, dan obat-obatan (Ayudianti &
Indramaya, 2014).
13

2.1.5 Gejala Klinis


Secara klinis, maskne dapat menyerupai akne vulgaris namun ada
beberapa perbedaan yang perlu diperhatikan. Lesi pada akne vulgaris terbagi
menjadi dua yaitu: lesi non-inflamasi dan lesi inflamasi. Lesi non-inflamasi pada
akne vulgaris adalah komedo terbuka dan komedo tertutup, sedangkan papul,
eritema, pustul, nodul dan kista tergolong dalam lesi inflamasi(Dedianto. Hidajat,
2020) .

Kriteria klinis yang diusulkan untuk maskne: onset of jerawat dalam waktu
6 minggu sejak dimulainya masker wajah biasa memakai atau eksaserbasi jerawat
di atas area penggunaan masker, pola yang berbeda, disebut sebagai O-zone, dan
pengecualian diagnosis banding, termasuk dermatitis perioral, seboroik,
dermatitis, pityrosporum folikulitis, dan jerawat rosacea.

Gambar 2.3 . Pola jerawat yang berbeda terlihat di zona T jerawat fisiologis, zona
U dari jerawat dewasa, dan O zona masker (Teo, 2021)

Pertimbangan khusus untuk perawatan kulit harus mencakup formulasi


pembersih dan pelembab lembut antibakteri sebagai emolien, yang membantu
14

menjaga penghalang kulit / mikrobioma yang sehat. Pengobatan jerawat dengan


benzoil peroksida, asam salisilat, sufur, -hydroxy acids,, dan retinoid merupakan
faktor predisposisi untuk dermatitis kontak iritan (Teo, 2021a).

Penelitian Changxu Han (2020) melaporkan gambaran klinis maskne yang


paling sering tampak adalah adanya komedo dan papul di pipi dan hidung
dibandingkan nodul dan kista pada dahi, submaksila dan leher. Derajat keparahan
akne yang dilaporkan antara ringan sampai sedang(C. Han et al., 2020).
Tempat awal predileksi akne adalah wajah, leher, lalu ke punggung, dada,
dan bahu. Lesi inflamatorik pada akne bervariasi mulai dari papul dengan areola i
nflamatorik pustul, hingga nodul yang besar, sakit, dan bernanah. Gradasi yang m
enunjukkan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan penatalaksanaan. Ad
a berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne vulgaris yang dikemukakan
(Wasitaatmadja, 2017).

Gambar 2.4. Lesi Akne Vulgaris (Sankar, 2020)


15

Tabel 2.1 Klasifikasi akne menururt Lehman Grading System


Derajat Lesi
Akne Ringan Jumlah komedo < 20, atau Jumlah lesi
inflamsi (papul, nodul, pustul) < 15,
atau Jumlah total lesi (jumlah komedo
dan lesi inflamasi) < 30
Akne Sedang Jumlah komedo 20-100, atau Jumlah
lesi inflamasi (papul, nodul, pustul)
15-50, atau Jumlah total lesi (jumlah
komedo dan lesi inflamasi) 30-125

Akne Berat Jumlah kista > 5 atau jumlah komedo


> 100, atau Jumlah lesi inflamasi
(papul, nodul, pustul) > 50, atau
Jumlah total lesi (jumlah komedo dan
lesi inflamasi) > 125

Tabel 2.2 Klasifikasi Global Acne Grading System (GAGS)

Lokasi Faktor X Derajat (0-4) = Scor Local


1. Dahi 2
2. Pipi Kanan 2
3. Pipi Kiri 2
4. Hidung 1
5. Dagu 1
6. Dada dan Punggung Atas 3
Skor Global :
0 : Tidak Ada
1-18 : Ringan
19-30 : Sedang
31-38 : Berat
>39 : Sangat Berat
16

0,tidak ada lesi; 1, ≥ satu komedo; 2, ≥ satu papul; 3, ≥ satu pustul; 4, ≥


nodul (Plaf, 2021)

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis maskne ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis,
serta distribusi akne. Riwayat perjalanan penyakit harus ditanyakan secara
jelas, terutama Riwayat mengenai pemakaian produk atau beban yang dapat
mengoklusi atau menyebabkan trauma mekanik pada kulit. Kriteria klinis
maskne berupa pemakaian masker wajah selama 6 – 8 jam per hari selama 6
minggu dapat menimbulkan reaksi pada kulit, terutama akne pada zona O.
lesi pada maskne umumnya ditemukan pada area wajah yang tertutupi
masker(Jusuf et al., 2021)

2.1.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada kasus maskne antara lain: dermatitis perioral dan
rosasea. Dermatitis perioral merupakan erupsi akneiformis yang sering terjadi
pada masa anak- anak, remaja dan dewasa muda. Gambaran klinis yang biasa
dijumpai adalah adanya lesi komedo inflamasi berupa papul dan pustule
dengan batas tegas di sekitar mulut, namun bebas lesi pada tepi bibir, dapat
dijumpai xerosis dan skuamasi. Selain area sekitar mulut, area hidung, mata
dan selangkangan dapat terkena. Faktor pencetus dermatitis perioral biasanya
adalah penggunaan kortikosteroid terfluorinasi topikal atau inhalasi dan zat
fluoride pada pasta gigi (Zaenglein et al., 2019).
Rosasea merupakan kelainan kulit inflamasi kronik yang terutama
mengenai area tengah wajah. Secara klinis, rosasea ditandai dengan adanya
eritema atau flushing yang berkepanjangan baik transien ataupun persisten,
teleangiektasis, papul, pustul dan perubahan fimatosa simetris pada wajah
disertai gejala terbakar, tersengat atau nyeri menyerupai migrain (Steinhoff et
al., 2019)
17

2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan topikal dan sistemik maskne sampai saat ini sesuai dengan
derajat keparahan dan gambaran klinis akne yang ditemukan. Penelitian
Changxu Han melaporkan derajat keparahan akne terkait masker ini adalah
derajat ringan sampai sedang. Tujuan pengobatan akne adalah untuk
mengurangi lesi non-inflamasi dan lesi inflamasi, mencegah terbentuknya
skar dan meningkatkan kualitas hidup (C. Han et al., 2020)

Penggunaan formulasi yang berasal tumbuhan aktif dengan anti-inflamasi,


antioksidan, regulasi sebum, dan antimikroba juga banyak disukai. Pembawa
formulasi hydrogel kombinasi retinoid/antibiotic topikal dapat meminimalkan
iritasi lokal dengan memastikan toleransi dan efikasi obat yang lebih baik.
Selain itu penggunaan ultraviolet protection factor (UPF) 50+ , masker kain
harus menggantikan pemakaian tabir surya (menghilangkan konstan
reapplication) sebagai fotoprotektif praktis ukur untuk bagian bawah wajah,
untuk meningkatkan kepatuhan terhadap perlindungan matahari dan
menggunakan masker (Teo, 2021a)

1. Penatalaksanaan Non-farmakologik
Dalam penatalaksanaan nonfarmakologik terhadap maskne lebih
menitikberatkan kepada upaya pencegahan terhadap terjadinya maskne.
Untuk setiap jenis masker, penggunaan dan pembuangan yang tepat sangat
penting untuk memastikan efektivitas maksimal dan untuk menghindari
peningkatan Covid-19 serta diharapkan juga dapat mencegah terjadinya
maskne.
WHO secara resmi telah mengeluarkan panduan penggunaan masker yang
tepat untuk mencegah terjadinya maskne (World Health Organization, 2020).
 Membersihkan tangan sebelum menggunakan masker
 Memposisikan masker dengan hati-hati dan pastikan masker menutupi
mulut dan hidung, sesuaikan dengan batang hidung dan tali dengan
erat untuk meminimalisasi jarak bukaan antara wajah dan masker
18

 Tidak menyentuh wajah dan masker saat mengenakan masker


 Melepas masker dengan teknik yang sesuai yaitu jangan menyentuh
bagian depan masker melainkan lepas ikatan masker dari belakang
 Setelah melepas masker atau setelah masker bekas tidak sengaja
tersentuh, bersihkan tangan dengan cairan antiseptic berbahan dasar
alkohol atau sabun dan air
 Mengganti masker segera setelah masker menjadi lembap dengan
masker baru yang bersih dan kering, biasanya penggguna masker
harus memperhatikan lamanya waktu penggunaan masker, masker
sebaiknya diganti setiap 4 jam.
 Tidak menggunakan kembali masker sekali pakai
 Buang masker sekali pakai setelah digunakan dan segera buang
masker setelah masker dilepas, sedangkan untuk masker kain maupun
masker N95 setelah digunakan harus disimpan dalam plastik khusus
yang tertutup
 Penggunaan masker sebaiknya menaruh 2 lapis kasa di dalam masker
untuk mengurangi evaporasi uap air yang keluar melalui mulut dan
pernafasan
 Pengguna masker dengan tipe kulit berminyak dapat membersihkan
wajah dengan menggunakan tisu basah yang mengandung pelembab
secara teratur setelah melepas dan sebelum menggunakan masker
yang baru
 Selain itu, direkomendasikan juga menggunakan produk pembersih
wajah dan pelembap yang mengandung bahan yang dapat mengontrol
kadar sebum
 Mencuci wajah 2 kali sehari dengan air bersih dan sabun wajah yang
lembut dan tidak bersifat basa
 Menghindari penggunaan kosmetik dekoratif yang berlebihan
 Apabila timbul maskne, maka membutuhkan penatalaksanaan
farmakologik
19

2. Penatalaksanaan Farmakologik
Pengobatan akne biasanya berlangsung minimal selama 8 minggu (Titus &
Hodge, 2012). Terapi topikal merupakan standar pengobatan untuk akne derajat
ringan sampai sedang. Terapi topikal akne ini antara lain golongan retinoid,
golongan antimikroba seperti benzoil peroksida, klindamisin, eritromisin dan
masih banyak lagi. Apabila terapi topikal tidak memadai terutama untuk akne
derajat sedang sampai berat, maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi
sistemik. Terapi sistemik untuk akne antara lain antibiotik sistemik, terapi hormon
dan isotretinoin oral (C. Han et al., 2020).
Golongan tetrasiklin dan eritromisin merupakan golongan antibiotik yang
diteliti paling banyak untuk terapi sistemik akne. Doksisiklin dan minosiklin
merupakan dua jenis antibiotik yang direkomendasikan. Oleh karena potensi
terjadinya resistensi antibiotik, maka sebaiknya antibiotik sistemik diberikan
bersamaan dengan terapi topikal yaitu benzoil peroksida. Bila hasil terapi sudah
tercapai, maka antibiotik sistemik dapat dihentikan, dilanjutkan dengan retinoid
topikal untuk terapi rumatan (D Hidajat, 2020; Titus & Hodge, 2012).
Penggunaan kosmetik perawatan wajah dalam membantu pengobatan akne
telah banyak diteliti. Membersihkan wajah 2 kali sehari dengan menggunakan
sabun yang lembut degan pH 5,5 dianjurkan untuk merawat kulit wajah yang
menderita akne (Hastuti et al., 2019). Salah satu patogenesis terjadinya akne
maskne adalah adanya trauma mekanis berulang dan peningkatan kelembapan dan
keringat yang dapat menyebabkan gangguan fungsi sawar kulit (C. Han et al.,
2020).

TATA LAKSANA AKNE (FKUI 2019)

Tujuan:

- Mempercepat penyembuhan
- Mencegah pembentukan akne baru
- mencegah jaringan parut yang permanen

Tata laksana AV secara garis besar dibagi atas:


20

A. Prinsip Umum

B. Menentukan gradasi dan diagnosis klinis

C. Penatalaksanaan Umum

D. Penatalaksanaan Medikamentosa

E. Tindakan

A. Prinsip Umum

1. Diperlukan kerjasama antara dokter dan pasien

2. Harus berdasarkan :

- penyebab/faktor-faktor pencetus

- pathogenesis

- keadaan klinis, gradasi akne

- aspek psikologis

B. Diagnosis klinis dan gradasi

Aspek psikologis: Sebagian pasien AV memiliki rasa malu yang berlebihan, rendah diri,
perasaan cemas dan menyendiri, sehingga memerlukan terapi lebih efektif.

C. Tata laksana Umum mencuci wajah minimal 2 kali sehari

D. Tata laksana Medikamentosa berdasarkan gradasi (berat-ringan) akne diikuti dengan


terapi pemeliharaan/ pencegahan (lihat tabel E.)

E. Tindakan Kortikosteroid intralesi (KIL), ekstraksi komedo, laser (misalnya laser V-


beam), electrosurgery, krioterapi, terapi ultraviolet, blue light (405-420 nm), red light
(660 nm), chemical peeling dan lain-lain.
21

Gambar 2.5. Algoritme Tata Laksana Akne (FKUI, 2018)

2.2 Masker

2.2.1 Definisi masker


Masker adalah perlindungan sistem pernafasan untuk menghindari
transmisi virus atau terhirupnya partikel yang berbahaya. Penggunaan masker
adalah bentuk tindakan dan pengendalian untuk membatasi penyebaran penyakit,
termasuk yang di sebabkan oleh virus seperti COVID-19. Namun penggunaan
masker saja tidak cukup dalam tindakan pencegahan. Tetap harus di perhatikan
tentang kebersihan tangan, jaga jarak 1 m, serta pencegahan pengendalian infeksi
lainnya (Kementrian Kesehatan RI, 2020).
Masker dapat digunakan baik untuk melindungi orang yang sehat (dipakai
untuk melindungi diri sendiri saat berkontak dengan orang yang terinfeksi) atau
untuk mengendalikan sumber (dipakai oleh orang yang terinfeksi untuk mencegah
penularan lebih lanjut). penggunaan masker dalam jangka waktu yang lama
ternyata dapat menimbulkan beberapa masalah pada kulit seperti acne, dermatitis,
kemerahan dan pigmentasi pada wajah. Kejadian acne merupakan masalah yang
paling sering terjadi yaitu adalah Maskne ( masker acne ). (Hidajat,2020)

2.2.2 Jenis Masker


22

Masker pernapasan adalah alat pelindung yang menutupi sebagian wajah.


Mereka dirancang untuk melindungi orang yang memakainya dan lingkungan
terdekat dari polutan yang dapat bernapas (racun pernapasan atau organisme
patogen bakteri / virus). Masker yang berbeda dapat diklasifikasikan sebagai I)
masker penuh (dinormalkan mengikuti EN 136) dan II) masker setengah dan
seperempat (EN 140). Sementara masker lengkap menutupi seluruh wajah,
masker setengah pas dari bawah dagu hingga di atas hidung, masker seperempat
pas dari atas hidung ke atas dagu (Matuschek et al., 2020)

Gambar 2.6 Masker FFP (filtering face piece) tanpa katup, dikutip dari
(Matuschek et al., 2020)

EN 149 adalah standar Eropa untuk pengujian dan persyaratan


penandaan untuk penyaringan setengah masker. Masker semacam itu
menutupi hidung, mulut dan dagu dan mungkin memiliki katup pernafasan
dan atau pernafasan. EN 149 mendefinisikan tiga kelas masker setengah
partikel tersebut, yang disebut FFP1, FFP2 dan FFP3, (FFP = Filtering
Face Piece) menurut efisiensi penyaringannya. Ini juga mengklasifikasikan
masker menjadi "hanya penggunaan satu shift" (tidak dapat digunakan
kembali, bertanda NR) atau "dapat digunakan kembali (lebih dari satu
shift)" (bertanda R), dan tanda huruf D tambahan menunjukkan bahwa
23

masker telah melewati uji penyumbatan opsional menggunakan debu


dolomit. Respirator filter mekanis semacam itu melindungi dari
penghirupan partikulat seperti partikel debu, tetesan, dan aerosol
(Kementrian Kesehatan RI, 2020).
Tes yang hampir identik (tetapi dengan tanda yang berbeda)
digunakan di Australia, Selandia Baru, Korea, dan Brasil. Standar serupa
digunakan di Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Misalnya, masker EN
149 FFP2 memiliki persyaratan kinerja yang serupa dengan masker N95 di
Amerika Serikat dan filter KN95 di Cina, dan masker EN 149 FFP3
memiliki persyaratan kinerja yang serupa dengan masker N99 di Amerika
Serikat. Namun persyaratan uji EN 149 agak berbeda dari standar A.S,
Cina dan Jepang: EN 149 memerlukan uji aerosol minyak parafin
tambahan dan uji ini menguji berbagai laju aliran yang berbeda dan
menentukan beberapa tingkat penurunan tekanan yang terkait dan
diizinkan (Wang et al., 2020).

Gambar 2.7 Masker FFP (filtering face piece) dengan katup, dikutip
dari
(Matuschek et al., 2020)

Respirator FFP harus sekali pakai dan, pada kenyataannya, mayoritas


di pasaran dijual sebagai barang sekali pakai. Beberapa memiliki huruf NR
dan D ditampilkan di bagian depan respirator, yang menunjukkan bahwa
24

mereka tidak dapat digunakan kembali dan sekali pakai. Tidak aman
menggunakan kembali respirator tanpa pemrosesan ulang atau
dekontaminasi yang tepat, dan saat ini Organisasi Kesehatan Dunia telah
menyatakan bahwa masker medis dan respirator tidak kompatibel dengan
metode dekontaminasi yang ada saat ini, karena tidak dapat dibersihkan
tanpa kehilangan propertinya. Tidak ada metode atau protokol standar
untuk memastikan keefektifan atau integritas respirator setelah pemrosesan
ulang. Respirator memang membuat pernapasan menjadi lebih sulit,
sehingga penggunaan masker tambahan hanya akan semakin menurunkan
kemampuan bernapas secara efektif. Ada juga kemungkinan masker
penutup bisa tergelincir selama prosedur, memungkinkan respirator
terbuka danrenanya terkontaminasi. Mayoritas alat pernafasan dirancang
untuk sekali pakai untuk melindungi pengguna dan pasien. Ini harus
diperlakukan sebagai sekali pakai (Rafelt. J, 2020).

Gambar 2.8 Masker wajah buatan sendiri untuk pemakaian sehari-


hari, dikutip dari (Matuschek et al., 2020)
Masker wajah kain banyak digunakan di seluruh dunia oleh para
profesional medis, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
Namun, ketika mencoba menentukan apakah masker kain wajah efektif
mencegah infeksi, penelitian terbaru melaporkan kurangnya bukti. Sebuah
tinjauan tahun 2013 menunjukkan bahwa ada kesenjangan besar dalam hal
25

masker kain sebagai ukuran untuk mengurangi risiko infeksi saluran


pernapasan, terutama karena tidak ada uji coba secara acak dalam
menggunakan masker kain. Chung et al menyatakan banyak studi yang
diidentifikasi karena mereka bukan uji coba acak dan secara keliru
menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa
masker kain buatan sendiri lebih baik daripada tidak sama sekali
(Forouzandeh et al., 2021).
Adapun pembuatan masker kain sendiri terdiri dari struktur tiga lapis
(berdasarkan kain yang sering digunakan) disarankan dengan setiap
lapisan meyediakan fungsi yaitu lapisan terdalam dari bahan hidrofilik
yang menyerap air (seperti katun atau campuran katun), lapisan tengah
terbuat dari bahan hidrofobik yang terbuat dari bahan tanpa tenun sintesis
(seperti polipropilena atau lapisan katun yang dapat meningkatkan filtrasi
atau menahan droplet) dan lapisan terluar terbuat dari bahan hidrofobik
yang dimana tidak mudah menyerap air (misalnya polypropylene, poliester
atau campuran dari bahan keduanya) yang dapat membatasi terkontaminasi
dari luar yang menembus kedalam hidung dan mulut pemakai ( WHO,
2020).
Cara mencuci dan merawat masker kain antara lain:
1. Cuci masker kain dengan sabun dan air panas (setidaknya 60 derajat)
setidaknya sekali dalam satu hari.
2. Jangan berbagi masker anda dengan orang lain jika telah digunakan.
3. Ganti masker anda jika kotor atau basah. Jika anda perlu
menggunakannya kembali, simpan di dalam kantong yang bersih, atau
kantong plastik yang dapat ditutup kembali (WHO, 2020b).
Membuat atau memilih membeli masker kain yang dapat melindungi
diri dari paparan infeksi Covid-19 haruslah benar. Beberapa hal yang
harus dilakukan antara lain:
1. Jangan gunakan masker kain yang hanya memiliki satu lapisan.
2. WHO menyarankan tentang komposisi kain masker harus memiliki 3
lapisan (lapisan dalam dari bahan penyerap seperti kapas, lapisan
26

tengah dari bahan bukan tenunan seperti polypropylene, dan lapisan


luar dari bahan non-penyerap, seperti campuran poliester atau
poliester) (WHO, 2020b)

Gambar 2.9 Surgical Mask, dikutip dari (Matuschek et al., 2020).

Masker bedah, juga dikenal sebagai masker wajah medis, adalah


peralatan pelindung pribadi yang dikenakan oleh profesional kesehatan
selama prosedur medis untuk mencegah penularan infeksi melalui udara
antara pasien dan atau personel yang merawat, dengan memblokir
penularan patogen (terutama bakteri dan virus) menetes di tetesan
pernapasan dan aerosol dari mulut dan hidung pemakainya. Mereka
bertindak sebagai penghalang tambahan untuk jalan napas dan biasanya
tidak dirancang (kecuali dengan peringkat N95) untuk sepenuhnya
mencegah pemakainya menghirup patogen udara yang lebih kecil, tetapi
masih bisa melindungi dengan menyaring dan menjebak sebagian besar
tetesan yang membawanya. Ada banyak bukti bahwa masker bedah
melindungi pemakainya (dengan menyaring udara yang dihirup) dan
pengamat (dengan memblokir pernafasan yang kuat dari pemakainya yang
dapat menyebarkan patogen jauh) (Kementrian Kesehatan RI, 2020).
Masker bedah awalnya dirancang untuk melindungi personel medis
dari tidak sengaja bernapas atau menelan percikan atau semprotan cairan
tubuh, tetapi efektivitas masker bedah terhadap infeksi mirip influenza
belum dikonfirmasi oleh uji coba terkontrol acak berkualitas tinggi.
27

Masker bedah yang biasa terlihat sangat bervariasi menurut kualitas dan
tingkat perlindungan. Terlepas dari namanya, tidak semua masker bedah
cocok digunakan selama operasi. Masker bedah dapat diberi label sebagai
masker bedah, isolasi, gigi, atau prosedur medis. Pejabat kesehatan
Tiongkok membedakan antara masker medis (non-bedah) dan masker
bedah (ANHMRC, 2020).
Masker bedah terbuat dari kain bukan tenunan yang dibuat
menggunakan proses peniupan leleh. Masker ini mulai digunakan pada
tahun 1960-an dan sebagian besar menggantikan masker kain di negara
maju. Sisi biru tua (atau hijau) dari masker (lapisan penolak cairan) harus
dipakai ke luar, dengan lapisan putih (penyerap) di bagian dalam.
Sehubungan dengan beberapa infeksi seperti masker bedah influenza bisa
sama efektif (atau tidak efektif) seperti respirator, seperti masker N95 atau
FFP meskipun yang terakhir memberikan perlindungan yang lebih baik
dalam eksperimen laboratorium karena bahannya, bentuk dan segel yang
rapat (Wang et al., 2020).

Gambar 2.10. N95 Mask, dikutip dari (Matuschek et al., 2020)

Respirator N95 adalah alat pelindung pernapasan yang dirancang


untuk mencapai kesesuaian wajah yang sangat dekat dan penyaringan
partikel di udara yang sangat efisien. Perhatikan bahwa tepi alat bantu
pernapasan dirancang untuk membentuk segel di sekitar hidung dan mulut.
Respirator N95 bedah biasanya digunakan dalam pengaturan perawatan
28

kesehatan dan merupakan bagian dari N95 Filtering Facepiece


Respirators (FFRs), sering disebut sebagai N95. Persamaan antara masker
bedah dan N95 bedah adalah:
1. Mereka diuji untuk ketahanan fluida, efisiensi filtrasi (efisiensi
filtrasi partikulat dan efisiensi filtrasi bakteri), mudah terbakar
dan biokompatibilitas.
2. Mereka tidak boleh dibagikan atau digunakan kembali.
Filter masker N95 ditemukan oleh Taiwan-Amerika Peter Tsai dan
timnya, dan menerima paten A.S. pada tahun 1995. Respirator N95
dianggap serupa dengan respirator lain yang diatur di bawah yurisdiksi
non-AS, tetapi kriteria yang sedikit berbeda digunakan untuk
mengesahkan kinerjanya, seperti efisiensi filter, zat penguji dan laju aliran,
serta penurunan tekanan yang diizinkan. Misalnya, respirator FFP2 dari
Uni Eropa diharuskan memenuhi setidaknya 94% filtrasi, dan respirator
KN95 dari China diharapkan memenuhi setidaknya 95% filtrasi. Namun,
NIOSH menemukan bahwa beberapa produk berlabel "KN95" gagal
memenuhi standar ini, beberapa di antaranya hanya menyaring satu persen.
Baik Badan Pengawas Obat dan Makanan AS dan Kanada Kesehatan
mewajibkan produk KN95 yang gagal memenuhi standar filtrasi untuk
diberi label ulang sebagai "masker wajah" bukan "respirator", saat dijual di
AS dan Kanada (Radonovich et al., 2019).
Respirator N95 telah digunakan untuk melindungi pemakainya dari
aerosol dan tetesan virus tersebut. Mereka memiliki setidaknya 95%
efisiensi filtrasi untuk partikel NaCl berukuran 0,1–0,3 μm dengan
efisiensi filtrasi yang lebih tinggi pada ukuran partikel yang lebih tinggi
(sekitar 99,5% atau lebih tinggi untuk partikel 0,75 μm). Oleh karena itu,
respirator N95 menawarkan perlindungan yang sangat baik saat disegel
dengan rapat di atas wajah. Kain filter terbuat dari nilon, kapas, poliester
(PE), dan polipropilen (PP). Filter nilon memiliki ketahanan yang baik
terhadap gesekan, dan filter kapas ramah lingkungan. Filter PE
menawarkan ketahanan asam yang baik dan daya tahan yang sangat baik
29

terhadap suhu tinggi hingga 150 ° C. Filter PP adalah yang paling ringan di
antara kain sintetis dan memiliki ketahanan yang baik terhadap asam dan
basa. Kain PP bukan tenunan terdiri dari jaring berserat acak di mana serat
individu terikat bersama dalam pengaturan acak dengan demikian, partikel
yang dihirup berinteraksi dengan serat dan melekat secara efisien (Barycka
et al., 2020).

Gambar 2.11. KN95 Mask, dikutip dari (Matuschek et al., 2020)

KN95 biasanya diatur oleh pemerintah Cina, sedangkan N95 diatur


oleh Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja di AS.
KN95 yang disetujui akan bekerja hampir sama dengan N95, mereka
memiliki laju filtrasi yang hampir sama dan oleh karena itu sama amannya
jika disertifikasi dengan benar. KN95 mungkin memiliki loop telinga,
kebanyakan N95 hanya dipasang melalui head straps. Dan KN95 mungkin
lebih siap untuk dibeli karena permintaan untuk N95 terus meningkat (Yim
et al., 2020)
Pada tahap awal pandemi COVID-19, tidak jelas apakah rantai
pasokan global akan mampu merespons permintaan APD yang melonjak
secara memadai. Kurangnya pasokan ini memotivasi studi tentang
penggunaan kembali APD ini. Dalam studi, telah diselidiki tiga respirator
N95, empat respirator KN95, dan masker komersial yang umum tersedia
termasuk dampak perlakuan berbasis panas. Peneliti membandingkan fitur
30

dasar serta sifat filtrasi fisiknya setelah desinfeksi melalui metode panas
kering. Efisiensi filtrasi dari respirator N95 dan KN95 tetap relatif konstan
setelah perlakuan panas 70°C. Setelah pemanasan lebih lanjut hingga
150°C, ketidakstabilan struktural seperti rekahan, peleburan, dan perluasan
serat berbentuk balon ditemukan di lapisan luar, kapas, dan dalam. Tidak
ada deformasi serat pada lapisan filter. Ini menunjukkan bahwa 70 ° C
adalah suhu yang sesuai untuk metode panas-kering; lapisan filter
memiliki ketahanan termal yang kuat (Yim et al., 2020).

2.2.3 Prosedur Penggunaan Masker


Beberapa tata cara dalam penggunaan masker yaitu (WHO, 2020)
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan masker.
2. Posisikan masker menutupi mulut dan hidung, sesuaikan dengan batang
hidung dan tali masker untuk meminimalisasi jarak bukaan antara wajah
dan masker.
3. Hindari untuk menyentuh masker.
4. Ganti masker segera apabila masker basah atau lembap dengan masker
baru yang bersih dan kering.
5. Lepas masker dari belakang atau melalui tali elastik masker.
6. Jangan gunakan kembali masker sekali pakai

2.2.4 Manfaat Penggunaan Masker


Manfaat paling penting dari penggunaan masker secara terus menerus
adalah memberi perlindungan dan mencegah sebaran virus dari penderita
asimptomatik, bergejala ringan dan pra-pembawa gejala (Atmojo et al., 2020).
Masker merupakan alat pelindung diri yang digunakan untuk mencegah
penyebaran infeksi saluran nafas dari patogen yang ditularkan melalui udara
(airborne), droplet, dan cairan tubuh (Hu et al., 2020). Masker yang
direkomendasikan terdiri dari tiga jenis masker yaitu masker medis, masker kain
dan masker N95 (MacIntyre et al., 2015). Masker N95 direkomendasikan untuk
tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 di tempat yang terpapar
31

aerosol dengan konsentrasi tinggi seperti di unit perawatan intensif dan semi
intensif COVID-19. Penggunaan masker medis diwajibkan untuk semua tenaga
kesehatan dan setiap orang yang memasuki fasilitas pelayanan kesehatan (WHO,
2020b).
Penggunaan masker dapat berpengaruh terhadap kulit contohnya seperti
Akne Vulgaris. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kelainan kulit adalah
kulit kering, ukuran masker yang tidak sesuai, kebiasaan buruk menggaruk wajah
saat menggunakan masker(Mailiani, 2020). Tekanan akibat penggunaan masker
yang lebih dari 4 jam menyebabkan timbulnya trauma pada kulit ditambah saat
menggunakan masker N95. Pada bagian sisi atas masker N95 terdapat strip logam
di sisi dalam masker dan pita dekompresi di sisi luar masker (Yin, 2020) .

2.3 Kerangka Teori

Peningkatan Faktor Pandemi Covid-19


Risiko
Jenis masker
-Penggunaan masker Penggunaan masker Durasi masker
Frekuensi masker
pada nakes
-skincare Lapisan masker

Peningkatan IL-I Terciptanya lingkungan


Gesekan masker
mikro yang hangat lembab,
dan tertutup

Perubahan pola Peningkatan produksi Terbentuknya fraksi Peningkatan jumlah


keratinisasi dalam sebum yang asam lemakbebas flora folikel yang
folikel meingkatkan berperan dalam
komedogenik kemotaksis inflamasi

Maskne
32

2.4 Kerangka Konsep

Penggunaan Masker
Maskne
Pada Tenaga
Kesehatan

Variabel Independen Variabel Dependen


33

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain
Cross Sectional ( Potong Lintang)

3.2 Lokasi dan waktu penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Subjek penelitian dilakukan pada tenaga kesehatan yang bertugas di RS.
Haji Medan

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2021 – Maret 2022.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan yang bertugas
di RS. Haji Medan
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau : populasi terjangkau pada penelitian ini adalah
seluruh tenaga kesehatan di RS. Haji medan yang menggunakan masker dan
sedang bertugas selama waktu penelitian.
3.3.3 Sampel Penelitian
Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Consecutive
sampling adalah teknik penentuan sampling dimana subyek yang datang dan
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah
subyek yang diperlukan terpenuhi. Besar sampel dapat ditentukan
menggunakan rumus Slovin (Sujarwaeni, 2017)
34

N
n= 2
1+( N x e )

648
¿ 2
1+(648 x 0,10 )

648
¿
1+ 6,48

¿ 86,6

Dari 648 orang diperoleh sampel sebanyak 87 orang.


Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Populasi
E = Presentasi kelonggaran ketidakterikatan karena kesalahan pengambilan
sampel yang masih diinginkan.
3.4 Kriteria Sampel
3.4.1 Kriteria Inklusi
 Tenaga kesehatan berusia >18 tahun
 Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed
consent
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah
1. Memiliki penyakit kulit selain Akne Vulgaris pada daerah wajah seperti
dermatitis, rosasea.
2. Tenaga kesehatan dalam keadaan sakit & menunjukkan sejarah Covid-19
35

3.5.2 Identifikasi Variabel

Variabel bebas : Penggunaan masker pada tenaga kesehatan

Variabel terikat : maskne

3.6 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasio
nal
Maskne akne yang Observasi Cara 1.maskne Nominal
disebabka anamnesis 2.tidak
n oleh + maskne (N)
pengguna pemeriksaa
an masker n wajah

Tenaga Petugas Observasi Anamnesis 1.Dokter Nominal


Kesehatan yang spesialis
bekerja di 2.Dokter
fasilitas umum
kesehatan 3.Petugas
Laboratoriu
m
4.Perawat
5.Bidan
6.Fisioterap
is
7.Apoteker
8.Asisten
Apoteker

Masker Alat lembar anamnesis / 1.masker Nominal


pelindung status google kain,
diri yang penelitian form 2.masker
digunaan medis,
untk 3.masker
menutup N95 dan
hidung 4.KN95
yang
digunaka
n sebagai
pencegah
an
36

penularan
Covid-19
oleh
WHO.
Lokasi lokasi Anamnesis Pemeriksaa 1.poliklinik Nominal
tempat tempat google n fisik (rawat
kerja nya nakes form jalan)
di RS. Haji kerja di 2.ruang
Medan RS. Haji rawat inap,
Medan 3. Igd
4.Icu
5.Ruang
isolasi
covid-19,
6.Lab
rehabilitas
medik
7.Farmasi
8.Radiologi
Durasi Lama Lembar anamnesis 1.4-6 jam Ordinal
Penggunaa pengguna google (lembar 2. 6-8 jam,
n Masker an masker form google 3.> 8 jam
setiap form)
harinya
yang
diukur
dengan
satuan
jam
perhari
Frekuensi Pengguna Lembar anamnesis 1. 1 kali Ordinal
Penggunaa an masker google ( lembar 2.2 kali
n masker dalam form google 3.>3 kali
kegiatan form)
aktivitas
sehari-
hari
Lapisan cara lembar Google 1.1lapis Ordinal
Penggunaa menggun status form 2.2 lapis
n Masker akan penelitian
masker (google
sesuai form)
rekomend
asi WHO,
CDC
dengan 1
37

lapis atau
2 lapis

3.7 Alat, Bahan dan Cara Kerja Penelitian


3.7.1 Alat
Alat dan bahan yang digunakan adalah :

1. Lembar kuesioner yang akan di isi responden berdasarkan data


karakteristik responden, anamnesis, pemeriksaan fisik dan status
dermatologik terhadap subjek penelitian
2. Kamera telephone cellular merk Iphone 11, spesifikasi kamera belakang
12 MP ultra wide
3. Laptop
4. Alat tulis

3.7.2 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data
yang didapat langsung dari responden dengan menggunakan instrument
kuesioner dalam bentuk Google Form.

1. Pencatatan tata dasar oleh peneliti di lokasi tempat kerja nakes di rs haji
medan meliputi identitas diri berdasarkan data yang diberikan oleh Rumah
Sakit .
2. Kuesioner akan disebar ke seluruh tenaga kesehatan yang berkerja di RS.
Haji Medan yang termasuk dalam kriteria inklusi

3. Lembar pertama kuesioner berisikan penjelasan peneliti mengenai tujuan


dan manfaat dari penelitian kepada responden. Responden dipersilahkan
untuk menandatangani lembar persetujuan apabila bersedia menjadi
responden dalam penelitian
4. Lakukan anamnesis dengan teliti tentang riwayat penggunaan masker
seperti jenis masker yang digunakan, durasi penggunaan masker, frekuensi
penggantian masker dan beberapa lapis masker yang digunakan
38

5. Melakukan pemeriksaan fisik dan gambaran tentang dermatologis dengan


foto wajah pasien dari 3 posisi
6. Melakukan diagnosis maskner di tegakkan oleh peneliti bersama dokter
pembimbing
7. Peneliti mencatat dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan
8. Hasil pencatatan kemudian dilakukan analisis statistik

3.9 Cara Pengolahan dan Analisis Data


3.9.1 Cara Pengolahan Data
Data yang telah didapat dari kuesioner Google Form akan diperiksa dan
dikelompokkan sesuai dengan variabel penelitian yang telah ditentukan
sebelumnya. Kemudian data tersebut akan diolah dengan menggunakan
program statistik SPSS 26. Selanjutnya data dianalisis dan hasil penelitian
disajikan dalam bentuk table dan grafik yang dijelaskan dengan narasi.

3.9.2 Analisis Data


1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari
variabel yang diteliti. Analisis ini juga dilakukan untuk mendeskripsikan
setiap variable penelitian.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel, yaitu variabel dependen (kelainan kulit) dan variabel independen
(penggunaan masker) yang dilakukan dengan uji Chi Square.

DAFTAR PUSTAKA
39

Al Badri, F. M. (2017). Surgical mask contact dermatitis and epidemiology of


contact dermatitis in healthcare workers. Current Allergy and Clinical
Immunology, 30(3), 183–188.

Andhini, N. F. (2017). Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. Journal of Chemical


Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

ANHMRC. (2020). Clinical Educators Guide : Australian Gudilines for the


Preventions and Control of Infection in Healthcare.

Atmojo, joko tri, Iswahyuni, S., Rejo, & Setyorini, C. (2020). Penggunaan
Masker Dalam Pencegahan Dan Penanganan Covid-19. Penggunaan Masker
Dalam Pencegahan Dan Penanganan Covid-19: Rasionalitas, Efektivitas,
Dan Isu Terkini, 3(2), 84–95.

Ayudianti, P., & Indramaya, D. M. (2014). Studi Retrospektif : Faktor Pencetus


Akne Vulgaris ( Retrospective Study : Factors Aggravating Acne Vulgaris ).
Faktor Pencetus Akne Vulgaris, 26/No. 1, 41–47.

Az-zahra, S. (2021). Analisis faktor risiko terjadinya maskne pada masa pandemi
covid-19 skripsi.

Barycka, K., Szarpak, L., & Filipiak, K. (2020). Comparative Effectiveness of


N95 Respirators and Surgical Masks in Preventing Airbone Infections in The
Era SARS-Cov2 Pandemic : A Meta analysis of Randomized Trials.

Fleischer, A., Feldman, S., Katz, A., & Clayton, B. (2012). Acne Vulgaris. In; 20
Common Problems in Dermatology. Imago.

Forouzandeh, P., O’Dowd, K., & Pilai, S. (2021). Face Masks and Respirators in
the Fight Against the COVID-19 Pandemic; An Overview of the Standards
and Testing Methods,. Saf sci.
40

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2018). Ilmu Penyakit Kulit Dan


Kelamin edisi ketujuh. Akne Vulgaris, 288-292.

Ghiffari, A., & Ridwan, H. (2020). Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Ketidakpatuhan Masyarakat Menggunakan Masker pada Saat Pandemi
Covid-19 di Palembang. Syedza Saintika, 450–458.

Han, C., Shi, J., Chen, Y., & Zhang, Z. (2020). Increased flare of acne caused by
long-time mask wearing during COVID-19 pandemic among general
population. Dermatologic Therapy, 33(4). https://doi.org/10.1111/dth.13704

Han, E. S., & goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Bahaya Gas
Sulfur Dan Akibat Terhadap Manusia. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.

Hastuti, R., Mustifah, E. F., Alya, I., Risman, M., & Mawardi, P. (2019). The
effect of face washing frequency on acne vulgaris patients. Journal of
General-Procedural Dermatology and Venereology Indonesia, 3(2), 35–40.
https://doi.org/10.19100/jdvi.v3i2.105

Hayat, W., Malik, L. M., Mukhtar, R., Khan, M. Q., Saeed, A., & Rashid, T.
(2020). ‘ Maskne ’ ( Mask Induced Acne ) in Health Care Professionals of
Tertiary Care Hospitals of Lahore During Covid-19 Pandemic. Pakistan
Postgraduate Medical Journal, 31(2), 61–65.

Hidajat, D. (2020). Maskne : Akne Akibat Masker. Jurnal Kedokteran, 9(2), 202–
214.

Hidajat, Dedianto. (2020). Maskne: Akne Akibat Masker. Jurnal Kedokteran,


9(2), 202-205.

Hu, K., Fan, J., Li, X., Gou, X., Li, X., & Zhou, X. (2020). The adverse skin
reactions of health care workers using personal protective equipment for
41

COVID-19. Medicine, 99(24), e20603.


https://doi.org/10.1097/MD.0000000000020603

Jusuf, N. K., Penyaji, F., & Donytasari, F. M. (2021). Mask acne. 0–10.

Kemenkes. (2020). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease


(COVID-19). Germas, 0–115.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/REV-
04_Pedoman_P2_COVID-19__27_Maret2020_TTD1.pdf [Diakses 11 Juni
2021].

Kementrian Kesehatan RI. (2020). Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit : Pedoman dan Pencegahan Pengendalian Coronavirus Disease
(COVID-19).

Kosasih, L. P. (2020). MASKNE: Mask-Induced Acne Flare During Coronavirus


Disease-19. What is it and How to Manage it? Open Access Maced J Med
Sci, 8, 411–415. https://www.id-press.eu/mjms/article/view/5388

MacIntyre, C. R., Seale, H., Dung, T. C., Hien, N. T., Nga, P. T., Chughtai, A. A.,
Rahman, B., Dwyer, D. E., & Wang, Q. (2015). A cluster randomised trial of
cloth masks compared with medical masks in healthcare workers. BMJ Open,
5(4), 1–10. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2014-006577

Mailiani, S. R. (2020). Hubungan Antara Penggunaan Masker Dengan Kelainan


Kulit Pada Tenaga Kesehatan di Era Pandemi COVID-19. Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Maliyar, K., Sachdeva, M., Mufti, A., & Yeung, J. (2020). Reply to: “Skin
damage among health care workers managing coronavirus disease 2019.”
Journal of the American Academy of Dermatology, 83(2), e169–e170.
https://doi.org/10.1016/j.jaad.2020.05.037
42

Matuschek, C., Moll, F., & Fangerau, H. (2020). Face Masks: benefits and risk
during the COVID-19 crisis. Eur J Med Res, 25(32).

Pasricha, J. (2017). Disease of The Appendages : In Treatment of Skin Disease.


Oxford & IBH Publishing.

Pekayon, R. S. O. (n.d.). Mengenal Maskne , Jerawat yang Timbul.

Permatasari, Dwi, D., Nisa, E. C., Putra, F. I., & Pratama, W. (2021). Peran
Penting Masker Terhadap Masyarakat Tangkil Sebagai Upaya Menyegah
Penyebaran Covid-19. Pegabdian Masyarakat, 53(1), 1–7.
http://dx.doi.org/10.1016/j.encep.2012.03.001

Plaf. (2021). Tingkat keparahan acne vulgaris. 6.

Radonovich, L., Simberkoff, M., & Bessesen, M. (2019). N95 Respirator vs


Medical Masks for Preventing Influenza Among Health Care Personnel. A
Randomized Clinical Trial. JAMA - Journal of the American Medical
Association, 322(9), 824–833.

Rafelt. J. (2020). Surgical Masks and Filtering Facepiece (FFP) Respirators - a


Guide 2020. Dental Update, 47(7).

Ramesh, A., & Thamizhinian, K. (2021). A clinico-epidemiological study of mask


induced facial dermatoses due to increased mask usage in general public
during COVID-19 pandemic. International Journal of Research in
Dermatology, 7(2), 232. https://doi.org/10.18203/issn.2455-
4529.intjresdermatol20210574

Razvigor, D., & Nikolai, T. (2020). COVID-19 pandemic and the skin: what
should dermatologists know? Clinics in Dermatology, 38(January), 785–787.

Sankar, R. (2020). Acne-causes and amazing remedial measures for acne. April.
43

Steinhoff, M., Buddenkotte, I, J. R., & S, N. (2019). Fitzpatrick’s dermatology in


general medicine (: Kang, M. D. Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, & et al
editors. McMichael AJ (ed.); 9th ed., hal. 1419–1447).

Teo, W. L. (2021a). Diagnostic and management considerations for “maskne” in


the era of COVID-19. Journal of the American Academy of Dermatology,
84(2), 520–521. https://doi.org/10.1016/j.jaad.2020.09.063

Teo, W. L. (2021b). The “Maskne” microbiome – pathophysiology and


therapeutics. International Journal of Dermatology, 60(7), 799–809.
https://doi.org/10.1111/ijd.15425

Titus, S., & Hodge, J. (2012). Diagnosis and Treatment of Acne. Am Fam
Physician., 86(8), 734–740.

Wang, Y., Wang, Y., Chen, Y., & Qin, Q. (2020). Unique epidemiological and
clinical features of the emerging 2019 novel coronavirus pneumonia
(COVID‐19) implicate special control measures. Journal of Medical
Virology. https://doi.org/10.1002/jmv.25748

Wasitaatmadja, S. (2017). Akne, Erupsi akneiformis, Rosea, Rinofima. In Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin (7 ed.). Balai Penerbit FK UI.

WHO. (2020a). Anjuran mengenai penggunaan masker dalam konteks COVID-


19. World Health Organization, Juni, 1–17.
https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/anjuran-
mengenai-penggunaan-masker-dalam-konteks-covid-19-june-20.pdf?
sfvrsn=d1327a85_2

WHO. (2020b). Mask use in the context of COVID-19. Who, December, 1–10.

WHO. (2021). COVID-19 Weekly Epidemiological Update 35. World Health


Organization, December, 1–3.
44

World Health Organization, W. (2020). Anjuran mengenai penggunaan masker


dalam konteks COVID-19. World Health Organization, April, 1–17.
https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/anjuran-
mengenai-penggunaan-masker-dalam-konteks-covid-19-june-20.pdf?
sfvrsn=d1327a85_2

Yim, W., Cheng, D., Patel, S., & Kou, R. (2020). KN95 and N95 Respirators
Retain Filtration Efficiency Despite a Loss of Dipole Charge During
Decontamination. ACS Appl Mater Interface, 12(49).

Zaenglein, A., Graber, E., & Thiboutot, D. (2019). Acne Variants and Acneiform
Eruptions. ( et al editors. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ (ed.)). Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine, 9th ed. New York: McGraw-Hill;

Anda mungkin juga menyukai