Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

2021

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Laporan Pendahuluan SLE

1. Pengertian
Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra
(2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus
Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau
serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan.
Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan
untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis
yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis
(Krishnamurthy, 2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun (Albar, 2013).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat.
Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini,
system imun terutama menyerang inti sel ( Matt, 2013).
2. Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor yang terlibat
seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi
SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibody
secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam
fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama
aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE

a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi
mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi
dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil
mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus.
Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil
mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti.
Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut
interferon-alpha.

b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T.

Institute of Health Sciences Banyuwangi


2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan auto
antibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit
T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh
dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

1) Infeksi virus dan bakteri


Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi.
Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.Musai
(2010)
3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas
a. System pertahanan tubuh atau sistem kekebalan tubuh
Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk menangkal
pengaruh faktor atau zat yang berasal dari lingkungan, yang asing bagi tubuh kita.

b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

Gambar 2.1Organ imunitas

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh meliputi organ-organ
penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organ-organ tersebut adalah sumsum tulang, kelenjar
timus, limpa, dan tonsil.

1) Sumsum tulang
Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di dalam
sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam pertahanan tubuh.
Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan dalam produksi sel-sel
fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah, dan sebagian lagi berperan
dalam penguraian senyawa.
2) Kelenjar timus
Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru. Dalam
system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting, terutama pada bayi
yang baru lahir karena organ tersebut mengatur perkembangan limpa dan nodus
limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan mengecil, tetapi tetap merupakan organ
kekebalan yang penting. Menurut pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti
organ biasa tanpa suatu fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus
sebenarnya memiliki fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit
T di bentuk dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi.
Informasi ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini,
limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram untuk
membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit yang
bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian, ketika
limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel yang identitasnya telah
dikenali, tetapi hanya menyerang dan membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.
3) Limpa
Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri bagian
atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa terdapat
pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah menghancurkan
sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda asing dalam darah, serta
menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang telah dibuat limpa akan
mengikuti aliran darah.
Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ). Makrofag
menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah lainnya yang rusak dan
tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di dalam limpa, makrofag
mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel darah merah yang ditelannya menjadi
bilirubin ( pigmen empedu ).
4) Tonsil

Gambar 2.2
Tonsil
Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar lidah, di
bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di rongga hidung
( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi ( sebagai
penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung, mulut dan tenggorok. Tonsil
dapat meradang jika sedang “ bertempur “ melawan bibit penyakit.
c. Mekanisme system pertahanan tubuh
System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system pertahanan tubuh
nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik
1) Pertahanan tubuh nonspesifik
Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal masuknya segala
macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan kerusakan
tubuh ( penyakit ) tanpa membedakan jenis zat atau bahan asing tersebut. Contoh zat-
zat asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Yang
termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput
lendir ), kimiawi ( enzim dan keasaman lambung ), mekanis ( gerakan usus dan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


rambut getar selaput lendir ), fagositosis ( penelanan kuman atau zat asing oleh sel
darah putih ), serta zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan
kuman atau zat asing.
Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan eksternal dan pertahanan
internal. Pertahanan eksternal merupakan pertahanan tubuh sebelum mikroorganisme
atau zat asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan internal merupakan pertahanan
tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh setelah mikroorganisme atau zat asing
masuk ke dalam tubuh.
a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal
Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan lapisan mukosa
berbagai organ
(1) Kulit

Gambar 2.3
Pertahanan tubuh terhadap infeksi ketika suatu bagian kulit terluka dan dua
kapiler pecah
Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat banteng pertahanan
yang kuat dalam peperangan. Di samping berfungsi melindungi tubuh dari
panas, dingin, dan sinar matahari, kulit juga memiliki kemampuan untuk
melindungi tubuh dari mikroorganisme yang merugikan. Fungsi perlindungan
utama kulit diwujudkan lewat lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar
kulit. Setiap sel baru yang dihasilkan oleh pembelahan sel bergerak dari
bagian dalam kulit menuju ke permukaan luar.
Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan suatu protein kuat
yang disebut keratin. Senyawa keratin mempunyai struktur yang sangat kuat
dan keras sehingga kulit didekomposisi oleh berbagai mikroorganisme
pathogen. Keratin tersebut terdapat pada sel-sel mati yang selalu lepas dari
permukaan kulit dan digantikan oleh sel-sel berkeratin yang baru. Sel-sel
baru yang berasal dari bawah menggantikan sel-sel yang sudah using
sehingga membentuk penghalang yang tidak dapat tembus.
Di samping memberikan perlindungan secara fisik, kulit juga member
perlindungan secara kimia. Kulit menghasilkan keringat dan minyak yang
memberikan suasana asam pada kulit. Hal itu dapat mencegah tumbuhnya
mikroorganisme pathogen pada kulit. Keringat menyediakan zat makanan
bagi bakteri dan jamur tertentu yang hidup sebagai mikroflora normal pada
kulit dan menghasilkan bahan-bahan sisa bersifat asam, seperti asam laktat,
yang membantu menurunkan tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat
asam di permukaan kulit ini menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat
bagi mikroorganisme berbahaya.
Kulit yang terluka merupakan salah satu jalan masuknya mikroba asing
ke dalam tubuh. Meskipun demikian, kulit juga memiliki respon untuk segera
memperbaiki jaringan kulit yang terluka secara cepat. Ketika terjadi luka, sel-
sel pertahanan tubuh akan segera bergerak ke daerah luka untuk menerangi
mikroba asing serta membuang sisa-sisa jaringan yang sudah rusak.
Kemudian, sejumlah sel pertahanan lainnya akan memproduksi benang-
benang fibrin, yaitu suatu protein yang berfungsi untuk menutup kembali
luka.
(2) Membran Mukosa
Semua saluran tubuh yang memiliki kontak langsung dengan lingkungan
luar, seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran ekresi, ataupun
saluran reproduksi selalu memiliki organ-organ yang dilapisi oleh lapisan
mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada berbagai saluran tadi memiliki
fungsi penting dalam mencegah masuknya berbagai mikroba asing yang
berbahaya. Berikut ini adalah beberapa contoh pertahanan yang dilakukan
lapisan mukosa.

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu gerbang masuknya
berbagai mikroba asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh
bersama dengan makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk bersama
makanan dan sampai di lambung akan mendapat “kejutan” yang berupa asam
klorida (HCI) atau asam lambung yang di hasilkan oleh lapisan mukosa
lambung. Asam lambung menyebabkan sebagian besar mikroba asing yang
masuk ke lambung tidak dapat bertahan hidup. Sebagian mikroba asing
tersebut mungkin berhasil selamat dari pengaruh asam lambung karena
mereka tidak terpapar langsung oleh asam lambung atau karena mereka
mempunyai daya tahan terhadap asam lambung. Meskipun begitu, mikroba
yang lolos itu akan segera menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus
halus.

Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi, misalnya trakea,


juga merupakan pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan mukosa pada
trakea menghasilkan mucus yang berupa cairan kental yang berguna untuk
menjerat mikroba asing ataupun partikel asing lainnya yang masuk bersama
udara pernafasan. Di samping itu, pada lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel
epitel bersilia yang dapat bergerak untuk mengeluarkan mukus yang sudah
membawa mikroba agar tidak menuju paru-paru.

Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang banyak mengandung
enzim lisozim. Enzim ini dapat merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri
tidak dapat masuk menginfeksi mata.

Di samping menyediakan pertahanan fisik dan kimiawi, pada kulit dan


lapisan mukosa juga terdapat mikroorganisme yang secara alami menempati
bagian tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal dengan istilah
mikroflora normal. Mereka tidak membahayakan tubuh kita, justru secara
tidak langsung menguntungkan karena turut membantu sistem pertahanan
tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain yang tidak merugikan yang hidup
dalam tubuh manusia.

Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan bagi system pertahanan


tubuh dengan cara mencegah mikroba asing berdiam dan berkembang biak di
dalam tubuh karena masuknya mikroba asing tersebut merupakan ancaman
bagi mikroflora normal tubuh.

b) Pertahanan Nonspesifik Internal

tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan oleh kulit
ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam tubuh.
Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan pertahanan tubuh
nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi fagositosis, respon peradangan, sel
natural killer (NK), dan senyawa anti mikroba.

(1) Fagosistosis
Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing, terutama
mikroba, oleh sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih. Berbagai sel
yang dapat melakukan fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag,
dan eosinofil.
(2) Respon Peradangan
Pernahkah salah satu bagian tubuh anda terluka dan pada bagian yang
terluka tersebut terjadi pembengkakan yang berwarna kemerahan? Itulah
yang di sebut dengan peradangan (inflamasi). Peradangan adalah tanggapan
atau respon cepat setempat terhadap krusakan jaringan yang di sebabkan
oleh teriris, tergigih, tersengat, ataupun infeksi mikroorganisme. Tanda-
tanda suatu bagian tubuh mengalami peradangan, antara lain berwarna
kemerahan, terasa nyeri, panas, dan membengkak. Mengapa respons
peradangan juga merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh dan
bagaimanakah terjadinya peristiwa peradangan tersebut?
Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba akan menyebabkan
pembuluh darah arteriola prakapiler mengalami dilatasi (pelebaran serta
peningkatan permeabilitas)dan pembuluh venula pascakapiler menyempit.
Hal itu akan meningkatkan aliran darah pada pada daerah yang terluka
sehingga bagian tersebut meningkat suhunya dan berwarna kemerahan.
Sementara itu, pembekakan (edema) pada bagian yang meradang
disebabkan oleh meningkatnya cairan yang keluar dari jaringan akibat

Institute of Health Sciences Banyuwangi


peningkatan permeabilitas kapiler darah. Pelebaran dan peningkatan
pemeabilitas pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia histamin.
Sumber utama histamin adalah sel-sel mast (sel-sel besar pada jaringan ikat)
dan basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama dengan keping-keping
darah melekat pada pembuluh darah yang rusak.
Pelebaran diameter dan permeabilitas pembuluh darah akan
meningkatkan laju aliran darah dan unsure-unsur pembekuan darah
( keping-keping darah) ke darah yang mengalami luka atau infeksi.
Pembekuan darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba penginfeksi
agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Kerusakan jaringan juga
mengirimkan senyawa kimia kemokin yang berfungsi memanggil sel-sel
fagosis untuk segera dating ke daerah yang terluka tersebut.
Pada respons peradangan, fagosis yang pertama kali berperan
adalah neutrofil dan diikuti monosit yang berubah menjadi makrofag.
Neurofil akan memangsa mikroba pathogen. Neurofil dapat mendeteksi
kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin. Opsosin adalah anti
bodi lain yang di bentuk dalam aliran darah atau protein komplemen khusus
yang di aktifkan oleh kehadiran mikroba. Begitu opsonin melekat pada
mikroba, mikroba tersebut di telan dan di cerna oleh neurofil. Sementara
itu, disamping memangsa mikroba pathogen, makrofag juga berfungsi
membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan sisa-sisa neurofil yang
mati.
(3) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami)
Sel natural killer (Sel NK) adalah suatu limfosit granular yang berespons
terhadap mikroba intra seluler dengan dengan cara membunuh sel yang
terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk memgaktivasi makrofag. Sel NK
menyerang sel-sel parasit dengan cara mengeluarka senyawa penghancur
yang disebut profin. Sel NK dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker
serta virus sebelum kekebalan adaptis diaktifkan.
(4) Senyawa Antimikroba
Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan menghasilkan senyawa,
khususnya protein yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh nonspesifik.
Cara kerja protein antimikroba ini terutama adalah untuk menghancurkan
sel-sel mikroba yang masuk atau atau untuk menghambat agar mikroba
asing tersebut tidak dapat berproduksi. Protein antimikroba yang berperan
dalam pertahanan non spesifik ini adalah protein komplemen dan interferon.
(5) Protein Komplemen
Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang terdiri atas sekitar
20 protein serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati dan beredar di
dalam pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya infeksi mikroba
akan mengaktifkan protein pertama dan selanjutnya akan mengaktifkan
protein kedua, demikian seterusnya, melalui serangkaian reaksi yang
berurutan. Protein komplemen yang telah aktif akan bekerja secara
sistematis untuk melisiskan berbagai mikroba penginfeksi.
(6) Interferon
Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh makrofag
sebagai respon adanya erangan virus yang masuk ke dalam tubuh.
Interferon merupakan senyawa antivirus yang bekerja menghancurkan virus
dengan cara menghambat perbanyakan virus dalam sel-sel tubuh.

Gambar 2.4
Mekanisme interferon melawan virus
2) Pertahanan tubuh spesifik
Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan tubuh nonspesifik akan
berhadapan dengan pertahanan tubuh yang lebih canggih, yaitu pertahanan tubuh
spesifik. Pada pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan dapat merespon

Institute of Health Sciences Banyuwangi


keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang abnormal dengan cara yang
spesifik. Pertahanan tubuh spesifik dikenal juga dengan nama sistem kekebalan.
Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan tubuh spesifik,
disebut antibodi, yang dilakukan oleh limfosit. Limfosit merupakan sel utama dalam
system kekebalan. Limfosit dapat ditemukan di dalam sumsum tulang., pusat
limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian. Limfosit memiliki peran
sangat penting untuk melawan penyakit-penyakit menular yang utama, seperti AIDS,
kanker, rabies, dan TBC. Bahkan, pilek tidak lain adalah perang yang dikobarkan
limfosit untuk mengusir virus flu dari tubuh.
Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan antibody yang dihasilkan
oleh limfosit. Ada dua macam limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T, keduanya
mengalami pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi kehadiran antigen spesifik,
tetapi fungsi keduanya berbeda ( walaupun saling bergantung )
Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells ) di dalam sumsum tulang.
Limfosit B dinamakan juga sel-sel B ( berasal dari kata Bone Marrow / sumsum
tulang ) jika diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “ pabrik senjata “ di
dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang nantinya akan digunakan untuk
menyerang musuh. Jumlah limfosit B atau sel B adalah 25% dari jumlah total limfosit
tubuh.
Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit bermigrasi ke kelenjar
timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit tersebut akan membelah diri dan mengalami
pematangan. Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini dinamakan limfosit T
( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya mencapai 70% dari seluruh
jumlah limfosit tubuh. Sel T berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan
kekebalan.
Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh
antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan oleh antigen, sel T dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu
a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell )
sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki antigen asing, misalnya
sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.
b) Sel T penolong ( helper T cell )
sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan antibody untuk
melawan antigen, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan yang
sesuai, serta mengaktifkan makrofag.
c) Sel T penekan ( suppressor T cell )
sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T sitotoksik serta
sel T penolong untuk mengakhiri reaksi kekebalan ( Pujiyanto, 2014).
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin
dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Institute of Health Sciences Banyuwangi


5. Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangan biasanya
disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat
badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai
menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa
arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal,
peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris,
tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul
rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling
sering terkena ialah kaput femoris.

b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan
livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosis SLE adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash )
berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan
yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar
matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .

Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis, dan


atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis,
suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang
jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami
remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak
nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud
pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan
pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.

c. Kardiovaskuler

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)

d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya
telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous


dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di

Institute of Health Sciences Banyuwangi


dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat
penyakit menahun.
6. Pathway
Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Perikarditis Penumpukan Inflamasi


Pembengkakan sendi Lesi akut pd Jumlah
cairan pd pd arterior
kulit trombosit
pleura terminalis
Penumpukan berkurang
Nyeri tekan, Pasien merasa cairan efusi
rasa nyeri malu dg Efusi Lesi
pada Anemia
ketika kondisinya pleura popular di
perikardium
bergerak ekstremitas

Penebalan Ketidakefekti
Gangguan Ekspansi
perikardium fan perfusi
Nyeri akut citra tubuh dada tidak
Kerusakan jaringan
adekuat
integritas perifer
Kontraksi kulit
jantung Ketidake
Resiko
infeksi fektifan
pola
Penurunan nafas
curah jantung

7. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan
kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium
megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin
tetapi tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah
pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan
ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin

Institute of Health Sciences Banyuwangi


b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif :   < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ
pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA). Ada
dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-
DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang
sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja
tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya
inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana, 2002 ).

c. Antinuklear antibodies ( ANA )


Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup
sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE
tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan
kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka
penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya
dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana, 2002 ).
8. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia
(2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE
dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh
pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan
diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,
antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,
kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara
yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan mediator anti-
inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya 
kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan
dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung,
berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus
erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati
karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan
jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi
dhuha, 2012 : 5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang tepat
merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu
rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan
oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan
penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-
obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi
digunakan untuk pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko
kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama
kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah
penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama
dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat
imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes
dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan
risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika
digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada
lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau
metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat
kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas
penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang
tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena
risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan
baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka
panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-
platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta
cukup aman pada kehamilan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
c) Butterfly rash
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid, isoniazid, kontrasepsi
oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d)  sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,
pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidakberdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada

Institute of Health Sciences Banyuwangi


m) ancaman pada konsep diri, citra diri
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a)  Keterbatasan rentang gerak
b)  Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a)  Pembengkakan sendi
b)  Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit

3)  Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4)  Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan gangguan aliran arteri
atau vena.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
f. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi.
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
1) Tujuan : pola nafas kembali efektif
2) KH : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal, Tidak
menggunakan otot-otot bantu pernapasan, Tanda Tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100
x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
3) Intervensi

Intervensi rasional
Monitor kecepatan, ritme, Untuk mengetahui keadekuatan
kedalaman,dan usaha pasien saat pernapasan
bernafas
Monitor suara nafas seperti snoring
Mengetahui adanya sumbatan pada
jalan nafas
Posisikan pasien semi fowler Untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
Berikan HE tentang pengobatan : Informasi ini dapat membantu pasien
indikasi , dosis, frekuensi , dan dalam mengonsumsi obat dengan
kemungkinan efek samping. aman dan benar
Kolaborasi dalam pemberian terapi Meningkatkan ventilasi dan asupan
oksigen oksigen

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran arteri


atau vena
1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif
2) KH : Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol dan diastol dalam
rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik
3) Intervensi

Intervensi rasional
Kaji secara komprehensif sirkulasi Sirkulasi perifer dapat menunjukkan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


perifer tingkat keparahan penyakit
Monitor laboratorium ( Hb, hmt ) Milai laboratorium dapat
menunjukkan komposisi darah
evaluasi nadi perifer dan edema Pulsasi yang lemah menimbulkan
penurunan kardiak output
Ubah posisi pasien setiap 2 jam Mencegah komplikasi dekubitus
Dorong latihan ROM sebelum bedrest Menggerakkan otot dan sendi agar
tidak kaku
Kolaborasi pemberian anti platelet Meminimalkan adanya bekuan dalam
atau anti perdarahan darah

c. Penurunan curah jantung berhubungan kontraktilitas jantung


1) Tujuan : curah jantung mengalami peningkatan
2) KH : Menunjukkan curah jantung yang memuaskan dibuktikan oleh
efektifitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan, dan status TTV,
Tidak ada edema paru, perifer, dan asites.
3) Intervensi

Intervensi Rasional
Kaji suara nafas dan suara jantung Data dasar dalam menentukan
intervensi lebih lanjut
Ukur CVP pasien Mengetahui kelebihan atau
kekurangan cairan tubuh
Monitor aktivitas pasien Mengurangi kebutuhan oksigen
Monitor saturasi oksigen Mengetahui manifestasi penurunan
curah jantung
Kolaborasi pemberian laksatif Mengejan dapat memperparah
penurunan curah jantung

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang
2) KH : Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan ketegangan, klien tidak
gelisah,klien dapat beristirahat, klien tidak mengalami kesulitan dalam
berkonsentrasi.
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Lakukan pengkajian nyeri komprehensif Untuk mengetahui tingkat nyeri
yang meliputi lokasi,karakteristik,onset pasien
atau durasi,frekuensi,kualitas,intensitas
atau beratnya nyeri dan factor pencetus.
Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk mengetahui tingkat ketidak
secara nonverbal nyamanan yang diirasakan oleh
pasien
Ajarkan cara penggunaan terapi non Agar klien mampu menggunakan
farmakologi ( distraksi, relaksasi) teknik nonfarmakologi dalam
memanajemen nyeri yang dirasakan
Berikan informasi tentang nyeri Pemberian HE dapat mengurangi
termasuk penyebab nyeri,berapa lama tingkat kecemasan dan membantu
nyeri akan hilang, antisipasi terhadap klien dalam membentuk
ketidaknyamanan dari prosedur mekanisme koping terhadap rasa
nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian analgetik dapat
mengurangi rasa nyeri pasien

e. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit


1) Tujuan : pasien dapat terhindar dari resiko infeksi
2) KH : integritas kulit klien normal, temperature kulit klien normal,
tidak ada lesi pada kulit
3) Intervensi

Intervensi Rasional
Monitor karakteristik, warna, Untuk mengetahui keadaan luka dan
ukuran, cairan, dan bau luka perkembangannya
Bersihkan luka dengan normal salin Normal salin merupakan cairan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


isotonis yang sesuai dengan cairan
dalam tubuh
Ajarkan klien dan keluarga untuk Memandirikan keluarga dan pasien
melakukan perawatan luka
Rawat luka dengan konssep steril Agar tidak terjadi infeksi dan
terpapar oleh kuman atau bakteri
Gunakan sabun anti mikroba untuk Mengurangi mikroba bakteri yang
cuci tangan dapat menyebabkan infeksi
Berikan penjelasan kepada klien Agar keluarga pasien mengetahui
dan keluarga mengenai tanda dan tanda dan gejala dari infeksi
gejala dari infeksi
Kolaborasi pemberian antibiotic Pemberian antibiotic untuk
mencegah timbulnya infeksi
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan didalamnya
2) KH : Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya kelainan pada
persendian
3) Intervensi

Intervensi rasional
Monitor kulit yang memerah dan Dengan memonitoring area kulit yang
terjadi kerusakan merah dan terjadi kerusakan untuk
mengurangi resiko dekubitus
Mobilisasi klien setiap 2 jam Dengan memobilisasi klien dapat
mengurangi penekanan
Lakukan perawatan kulit secara Untuk meningkatkan proses
aseptic 2 kali sehari penyembuhan lesi kulit serta
mencegah terjadinys infeksi sekunder
Berikan pendidikan kesehatan kepada Meningkatkan pengetahuan pasien
klien dan keluarganya tentang dan keluarganya mengenai pentingnya
pentingnya menjaga kebersihan kulit menjaga kebersihan kulit serta supaya
sekitar luka guna mempercepat pasien lebih kooperatif
penyembuhan dan ajarkan teknik
perawatannya
Kolaborasi pemberian NSAID dan Mempercepat penyembuhan
kortikosteroid.

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh ( kehamilan ),


perubahan persepsi diri
1) Tujuan : gangguan citra tubuh klien teratasi
2) KH : Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara faktual perubahan
fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi social

3) Intervensi

Intervensi Rasional
Monitor frekuensi kalimat Untuk mengetahui seberapa
yang mengkritik diri sendiribesar klien mampu menerima
keadaan dirinya
Bantu klien untuk mengenali Untuk meningkatkan percaya
tindakan yang akan diri klien
meningkatkan penampilannya
Anjurkan kontak mata dalam Agar klien lebih percaya diri
berkomunikasi dengan orang
lain
Gunakan gambaran mengenai Mekanisme evaluasi dari
gambaran diri persepsi citra diri

Institute of Health Sciences Banyuwangi


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC

Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC

Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8.
Volume 3. Jakarta : EGC.

Tiffany Putri Alamanda, A. Taruna, Yusuf Aulia Rahman | Anak Perempuan Berusia 14 Tahun dengan
Lupus Eritematosus Sistemik dengan Nefritis dan Hipertensi Grade I Majority | Volume 7 | Nomor
3 | Desember 2018|

Institute of Health Sciences Banyuwangi


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
(INSTITUTE OF HEALTH SCIENCES)
BANYUWANGI
Kampus 1 : Jl. Letkol Istiqlah 40 Telp. (0333) 421610 Banyuwangi
Kampus 2 : Jl. Letkol Istiqlah 109 Telp. (0333) 425270 Banyuwangi

Website : www.stikesbanyuwangi.ac.id

FORMAT PENGKAJIAN
( KEPERAWATAN ANAK )

A. PENGKAJIAN
1. Biodata
a. Nama : An. PA
b. Umur : 14 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
f. Alamat : Dsn Krajan 4/2 Parijatah Banyuwangi
g. Pekerjaan : Pelajar
h. Nomor Register : 144000
i. Tanggal MRS : 18 Agustus 2021 Jam 16.52 WIB
j. Tanggal Pengkajian : 18 Agustus 2021 Jam 17.00 WIB
k. Diagnosa Medis : SLE
Biodata Penanggungjawab

a. Nama : Ny. A
b. Umur : 29 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Pendidikan : S1
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
i. Alamat : Dsn Krajan 4/2 Parijatah Banyuwangi

2. Keluhan Utama/ Alasan Masuk Rumah Sakit


a. Keluhan saat MRS
pasien mengeluhkan kulit wajah melepuh, gatal, dan panas setelah menggunakan bedak racikan
kecantikan yang diberikan oleh tetangganya.

b. Keluhan saat Pengkajian

Nyeri pada seluruh badan nyeri bertambah ketika dibuat aktifitas. Nyeri hilang timbul dan
berkurang bila dibuat istirahat tapi terjadang juga tidak hilang seluruhnya. Skala nyeri bila pasien
kita minta untuk memilih skor adalah 5.

3. Riwayat Penyakit Sekarang (PQRST)


Pasien datang dengan keluhanan wajah melepuh dan bengkak pada seluruh tubuh, demam, nyeri
sendi 5 bulan SMRS pasien mengeluhkan kulit wajah melepuh, gatal, dan panas setelah
menggunakan bedak racikan kecantikan yang diberikan oleh tetangganya. Kulit wajah menjadi

Institute of Health Sciences Banyuwangi


kemerahan diikuti dengan munculnya vesikel dan bula terutama di bagian pipi dan leher.
Bengkak hilang timbul dan berpindahpindah dari satu bagian tubuh kebagian tubuh lain, dimulai
dari kaki sebelah kanan. Pasien juga mengeluhkan demam naik turun bersamaan dengan kulit
wajah yang melepuh.

4. Riwayat Penyakit Masa Lalu


Pasien datang dengan keluhan utama wajah melepuh disertai dengan rambut rontok, bengkak
pada seluruh tubuh, demam, nyeri sendi, dan sariawan. 5 bulan SMRS pasien mengeluhkan kulit
wajah melepuh, gatal, dan panas setelah menggunakan bedak racikan kecantikan yang diberikan
oleh tetangganya. Kulit wajah menjadi kemerahan diikuti dengan munculnya vesikel dan bula
terutama di bagian pipi dan leher. Pasien juga mengeluhkan rambut rontok diikuti dengan
bengkak seluruh bagian tubuh. Bengkak hilang timbul dan berpindahpindah dari satu bagian
tubuh kebagian tubuh lain, dimulai dari kaki sebelah kanan. Pasien juga mengeluhkan demam
naik turun bersamaan dengan kulit wajah yang melepuh. 4 bulan SMRS pasien mengalami
sariawan selama 2 bulan dan juga flu. Pasien dibawa ke puskesmas dan dirawat selama 1 bulan
kemudian dirujuk ke RSUD Genteng dan dirawat selama 1 minggu, kemudian pasien dirujuk
kembali ke RSUD Blambangan dan dirawat selama 1 minggu. Kemudian pasien dirujuk ke
RSUD Soetomo dan dirawat selama 1 bulan dan didiagnosis menderita Lupus Eritematosus
Sistemik. 4 bulan SMRS setelah pertama dirawat, pasien tidak pernah datang bulan. Pasien
pertama kali datang bulan pada usia 13 tahun dan selalu datang teratur setiap bulannya.

5. Genogram

6. Riwayat Imunisasi Dasar


Hb : Ya/tidak

BCG : Ya/tidak

Polio 1 : Ya/tidak DPT-HB-Hib 1: Ya/tidak IPV : Ya/tidak

Polio 2 : Ya/tidak DPT-HB-Hib 2: Ya/tidak Campak : Ya/tidak

Polio 3 : Ya/tidak DPT-HB-Hib 3: Ya/tidak

Polio 4 : Ya/tidak Imunisasi tambahan : tidak ada Boster : tidak ada

7. Riwayat Kesehatan keluarga


Keluarga klien mengatakan ibu pasien memiliki penyakit imunitas yaitu ITP sudah sekitar 15
tahun.

8. Riwayat Perkembangan
a. Motorik Kasar
Saat ini anak dapat jalan naik tangga sendiri tapi kadang masih berpegangan dan anak dapat
bermain dengan menggunakan sendal kecil. Lari menghindari hambatan dan tantangan.
Berjalan diatas diatas garis. Berdiri diatas satu kaki untuk 5-10 detik. Melonjat diatas satu
kaki. Belum dapat mengendarai sepeda roda tiga. Dapat melompat diatas benda setinggi
15cm mendarat dengan kedua kaki bersama. Melempar bola diatas kepala. Tetapi masih
belum dapat menangkap bola yang dilempar kepadanya.
b. Motorik Halus

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Klien sudah dapat mencoret-coret pensil pada kertas. melihat gambar dan dapat menyebut
dengan benar nama 2 benda atau lebih. Membantu memungut mainannya sendiri atau
membantu mengangkat piring jika diminta. Makan nasi sendiri tetapi masih banyak tumpah
dan anak masih belum dapat melepas pakiannya sendiri.
c. Bahasa / Komunikasi
Klien dapat berbicara tetapi tidak begitu jelas dan tetapi dapat menyebutkan minimal dua
kata. Dan tidak ada hambatan dalam berkomunikasi untuk aktivitas sehari-hari. Klien juga
dapat mengungkapkan perasaan, keinginan dan pendapat melalui pengucapan kata-kata, dan
mengerti dengan instruksi dari orang lain. Dapat menunjuk 1atau lebih bagian tubuhnya
ketika diminta.
d. Adaptasi Sosial
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar
terutama interaksi dengan teman-teman bermain. Dan tidak malu untuk berkumpul dan
bermain dengan teman sebayanya. Dan tidak ada masalah interaksi dengan keluarga. Tetapi
saat pengkajian tampak pasien takut dengan kehadiran perawat dan menangis terus menerus.
Skor KPSP : Nilai KPSP adalah 7 (Perkembangan meragukan)

9. Riwayat Psikososial dan Status Spiritual


a. Status Psikologis anak (Batasan usia anak 18 tahun)
Anak memiliki kehendak dan control terhadap dirinya sendiri. Seperti saat akan dilakukan
pengecekan suhu dan pemeriksaan fisik saat pengkajian, klien dapat menuruti perintah
perawat dengan baik meskpiun dengan menangis. Dan selama ini anak diasuh oleh kedua
orang tua dan lebih sering dengan neneknya.

b. Status Psikologis Orang tua


Orang tua klien mengungkapkan kecemasan dengan kondisi anaknya yang sering kambuh
karena kejang. Dan berharap agar penyakit anaknya segera sembuh dan dapat beraktivitas
kembali seperti sedia kala.
c. Status Sosial
Walaupun sudah berulang kalo MRS Anak masih takut dengan dengan lingkungan RS akan
tetapi masih kooperatif dengan tindakan perawat.
d. Aspek Spiritual/ Sistem Nilai Kepercayaan
Klien saat ini masih belum diajarkan mengaji dan juga masih belum bisa untuk hafalan untuk
doa-doa pendek.

10. Pola Kebiasaan Sehari – hari


a. Pola Nutrisi
Pola Nutrisi Sebelum Sakit Saat Sakit
Frekuensi 1-2 kali sehari dan lebih Belum dapat dikaji
sering hanya 1 kali sehari
dengan banyak makanan
snack
Porsi 1 porsi habis
Komposisi Karbo, prohewani, sayur dan
kadang-kadang buah
Jumlah Intake Cairan ± 1-1,5 liter perhari
Alergi Tidak ada riwayat alergi
Jenis Intake Nasi, sayur dan daging. Masih Rencana diet Nasi TKTP
minum susu dengan dengan intake cairan teh
menggunakan dot. hangat dan susu sesuai
dengan kebutuhan kalori
klien.
Keluhan An. M sulit makan dan lebih Sehari ini hanya minum
sering jajan. Tidak ada susu dan tidak mau
pantangan makan. makan.
b. Pola Eliminasi
Pola Eliminasi BAB Sebelum Sakit Saat Sakit
Frekuensi 1X/hari Dalam sehari ini pasien belum
Warna Kuning BAB
kecoklatan
Konsistensi Lembek

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Pampers Tidak
Keluhan Tidak ada
Pola Eliminasi BAK Sebelum Sakit Saat Sakit
Frekuensi 4-5 kali perhari
Dalam sehari ini klien kencing
Warna Kuning kurang lebih 2-3 kali dengan
Pampers Tidak warna kuning dan tidak ada
Keluhan Tidak ada keluhan terkait dengan
kencing.
Balance Cairan = Inpute – Output (Belum bisa dikaji)

c. Pola Kebersihan diri


1) Sebelum Sakit
Mandi : Ya/tidak 1-2 kali/hari
Gosok gigi : Ya/tidak 1-2 kali/hari (atau bahkan kadang-kadang)
Keramas : Ya/tidak 2-3 kali/minggu
Ganti baju : Ya/tidak 2-3 kali/hari
Kuku : bersih/kotor
2) Saat Sakit
Pasien tampak kotor dan bau pesing. Kuku tampak kotor. Ibu klien mengatakan bahwa
selama sehari ini klien belum diseka. Hanya dicuci muka saja.

d. Pola Aktivitas, Latihan dan Bermain


1) Sebelum Sakit
Sebelum sakit setiap harinya klien melakukan kegiatan aktivitas bermain. Dengan durasi
bermain kurang lebih 5 jam selama sehari.
2) Saat Sakit
Belum dapat dikaji

e. Pola Istirahat dan Tidur


1) Sebelum Sakit
Sebelum sakit klien tidur dengan durasi ± 12/24 jam. Dan memiliki kebiasaan tidur siang ± 2
jam. Dan tidur malam ±10 jam. Waktu memulai tidur antara ± jam 20.00 sd 21.00 WIB. Dan
anak memiliki kebiasaan sebelum tidur seperti minum susu dan tidak ada keluhan terkait pola
tidur.
2) Saat Sakit
Belum dapat dikaji

11. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum

a. Keadaan Sakit
KU lemah, composmentis dan pasien terbaring ditempat tidur.

b. Tanda – tanda Vital


Tensi : Tidak dikaji Nadi : 120X/menit, teraba lemah
RR : 32x/menit Suhu : 38,90C
SpO2 : 99%
BB sebelum sakit : 11 kg BB saat sakit : 11
PB/TB : 87 cm LL : Tidak dikaji
Interpretrasi status gizi :
(Lampirkan table status gizi)

c. Pemeriksaan Cepalo Caudal


1) Kepala dan Rambut
Bentuk normocephal, tidak ada kerontokan rambut, rambut tampak tidak rapi sedikit berbau,
tidak ada nyeri tekan, terdapat hematom minimal akibat terbentur, tidak ada massa dan sebaran
rambut merata. Klien tidak terdapat keluhan pada area kepala, tidak terdapat perdarahan atupun
luka.
2) Hidung

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Lubang hidung berbentuk simetris dan tidak terdapat perdarahan, terdapat sekret, posisi Septum
nasi berada di tengah dan tidak terdapat perforasi septum maupun pembengkakan. Pada inspeksi
juga tidak tampak polip dan pernafasan cuping hidung.
3) Telinga
Pada inspeksi telinga luar tampak normal, bersih dan warna sama dengan kulit sekitar, tidak
tampak tumpukan serumen, posisi telinga dari epikantus lebih rendah. Tampak peradangan pada
lubang telingan dan sedikit ada cairanberwarna coklat dan berbau. Pada palpasi terdapat sedikit
nyeri saat ditekan. Tidak terdapat perforasi membran tympani maupun perdarahan.
4) Mata
Jarak interkantus ± 2 cm dan posisi mata simetris. Mata cowong. Konjungtiva merah muda dan
tidak terdapat oedema pada palpebral. Reaksi pupil isokor kanan dan kiri, Sclera : putih, dan tidak
dilakukan pengkajian buta warna. Tidak terdapat nistagmus dan strabismus. Tidak terdapat
pemakaian alat bantu penglihatan.
5) Mulut, Gigi, Lidah, Tonsil dan Pharing
Warna lidah merah muda, gusi normal tidak terdapat oedema ataupun perdarahan, Kelembapan
baik, lidah bersih dan tidak terdapat hiperemi. Bentuk bibir simetris dan masing-masing labia
utuh dan tampak mukosa bibir kering. Tidak terdapat sianosis. Jumlah gigi dan terdapat caries
gigi pada geraham bawah, tidak terdapat pembesaran tonsil (T0), pharing normal tidak terdapat
hyperemia maupun oedema..
6) Leher dan Tenggorokan
a. I : Posisi trakea berada ditengah, tidak terdapat Retraksi Sternocleidomastoid, tidak
terdapat pembesaran JVP
b. P :Tyroid tidak teraba
Keluhan lain: tidak ada.

7) Dada/ Thorak
a) Pemeriksaan Paru
(1) Inspeksi
Bentuk normal chest , tidak terdapat kelainan bentuk tulang belakang , tidak terdapat batuk,
pengambangan dada simetris, tidak terdapat sianosis, tidak terdapat retraksi intercostal
maupun retraksi suprasternal, Pola nafas normal.
(2) Palpasi
Taktil fremitus teraba sama antara kedua lapang baru.
(3) Perkusi
Sonor
(4) Auskultasi
Auskultasi aliran udara pada area vesikuler, area bronchial, dan area bronkovesikuler bersih,
dan tidak terdapat suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, rales, dan pleural friction
rub
b) Pemeriksaan Jantung
(1) Inspeksi
Tampak ictus cordis dan tidak mengalami pelebaran.
(2) Palpasi
Pulsasi ictus cordis teraba kuat di ICS 4
(3) Perkusi
Batas atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra

Batas bawah : SIC IV Linea Para Sternalis Dextra

Batas kanan: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra

Batas kiri : SIC IV Linea Media Clavicularis Sinistra

(4) Auskultasi
BPJ I dan II tunggal tidak ada suara jantung tambahan seperti murmur dan gallop.

8) Payudara
a) Inspeksi
Payudara simetris dan warna kulit sama dengan warna kulit sekitar, areola berwarna coklat.
b) Palpasi
Tidak teraba massa maupun nyeri tekan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


9) Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
Bentuk abdomen datar, tidak tampak massa dipermukaan abdomen, bentuk simetris, dan tidak
tampak Bayangan PD vena, tidak tampak ascites.
b) Auskultasi
Bising usus 10x/menit
c) Palpasi
Hepar tidak teraba dan tidak terdapat nyeri tekan. Pada palpasi lien tidak terdapat nyeri tekan
dan tidak terdapat nyeri tekan pada titik Mc.Burney, tidak terdapat nyeri lepas maupun nyeri
kontralateral. Pada palpasi ginjal tidak terdapat nyeri tekan/tidak maupun pembesaran.
d) Perkusi
Perkusi abdomen Tympani, tidak terdapat shiffing dullness maupun undulasi

10) Ekstrimitas, Kuku dan Kekuatan Otot


a) Inspeksi: Tidak terdapat deformitas, ptekie, eritema dan clubbing finger. Warna kulit kuning
langsat.
b) Palpasi: CRT < 2dtk, turgor kulit normal, tidak terdapat pitting oedema, tidak terdapat
akrasianosis, warna kuku merah muda, dan terdapat kotoran pada kuku, akral panas, kulit
hiperemia
Kekuatan otot 5 5

5 5
Atrofi :
Tdk ada Tdk ada

Tdk ada Tdk ada

11) Genetalia dan Anus


Tidak tampak peradangan pada labia mayora. Dan tidak ada keluhan nyeri saat kencing.
12) Pemeriksaan Neurologi
GCS 456, tidak terdapat kelainan pada otot Bisep, tricep maupun archiles. Pada pemeriksaan 12
Nervus Kranialis didapatkan hasil normal tidak terdapat gangguan. Kesadaran kualitatif :
Composmentis.

12. Skrining Risiko Malnutrisi: (Berdasarkan adaptasi STRONG-Kids)

No. Parameter Skor Nilai

1. Apakah pasien tampak kurus

a. Tidak 0 0
b. Ya
1

2. Apakah terdapat penurunan berat badan selama satu bulan


terakhir? (berdasarkan penilaian objektif data berat badan bila
ada/penilaian subjektif dari orang tua pasien ATAU untuk
bayi<1 tahun: berat badan naik selama 3 bulan terakhir). 0
a. Tidak 0
b. Ya
1

3. Apakah terdapat salah satu dari kondisi berikut?

● Diare > 5 kali/hari dan atau muntah > 3 kali/hari dalam 0


seminggu terakhir
● Asupan makanan berkurang selama 1 minggu terakhir
a. Tidak

Institute of Health Sciences Banyuwangi


b. Ya 0

4. Apakah terdapat penyakit atau keadaan yang mengakibatkan


pasien berisiko mengalami malnutrisi (lihat keterangan
dibawah).
0
a. Tidak 0
b. Ya
2

0
Total Skor :

Tabel 1 : Daftar penyakit/keadaan yang berisiko mengakibatkan malnutrisi

● Diare kronik (lebih dari 2 minggu). ● Keadaan anatomi daerah mulut yang
● (Tersangka) penyakit jantung bawaan. menyebabkan kesulitan makan
● (Tersangka) infeksi human (misal: bibir sumbing).
immunodeficiency virus (HIV). ● Trauma
● (Tersangka) kanker. ● Kelainan metabolik bawaan (inborn
● Penyakit hati kronik. error metabolism)
● Penyakit ginjal kronik. ● Reterdasi mental
● TB paru ● Keterlambatan perkembangan
● Luka bakar luas ● Rencana/pasca operasi mayor
● Lain – lain ( Berdasarkan (misal: laparatomi, torakotomi).
pertimbangan ● Terpasang stoma.
Dokter) ..............................................
Intepretasi skor: Klien mengalami risiko rendah dengan total skor 0

0 : Risiko rendah 1 – 3 : Risiko sedang 4 – 5 : Risiko berat

13. Risiko Cedera / Jatuh ( untuk anak usia ≥ 12-18 tahun)


Lampirkan dan isi formulir pemantauan risiko jatuh pasien anak (berdasarkan Skala Humpty
Dumpty)

Parameter Kriteria Nilai Skor

Usia <3 tahun 4

3-7 tahun 3
4
7-13 tahun 2

≥13 tahun 1

Jenis kelamis Laki-laki 2


1
Perempuan 1

Diagnosis Diagnosis neurologi 4

Perubahan oksigenasi (diagnosis 3


respiratorik, dehidrasi, anemia,anoreksi,
sinkop, pusing, dll 4

Gangguan perilaku/psikiatri 2

Diagnosis lainnya 1

Gangguan kognitif Tidak menyadari keterbatasan lainnya 3 1

Lupa akan adanya keterbatasan 2

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Orientasi baik terhadap diri sendiri 1

Faktor lingkungan Riwayat jatuh/bayi diletakkan di tempat 4


tidur dewasa

Pasien menggunakan alat bantu/bayi 3


diletakkan dalam tempat tidur bayi/perabot 1
rumah

Pasien diletakkan pada tempat tidur 2

Area diluar rumah sakit 1

Pembedahan/sedasi/ Dalam 24 jam 3


anastesi
Dalam 48 jam 2
1
>48 jam atau tidak menjalani 1
pembedahan/sedasi/anastesi

Penggunaan Penggunaan multiple : sedative. Obat 3


medikamentosa hypnosis, barbiturate, fenotiazi,
antidepresan,, pencahar, diuretic, narkose
3
Penggunaan salah satu obat di atas 2

Penggunaan medikasi lainnya/tidak ada 1


medikasi

JUMLAH SKOR HUMPTY DUMPTY 15

Kesimpulan: Risiko Tinggi Jatuh

14. Pemeriksaan Penunjang


Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, HIV, HbSag Rapid
Anibody Covid-19, Swab Antigen Covid-19, pemeriksaan NLR dan CRP. Untuk pemeriksaan
radiologi pasien dilakukan foto thoraks. Dengan keseluruhan hasil terlampir.

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Metode


Darah Lengkap
HB Anak-anak 10,8 10 - 16 G/DL
Eritrosit 4,45 L: 4,6 - 6,2 Juta/CMM, P: 4,2 -
5,4
Juta/CMM
MCV 70,4 82 - 92
MCHC 34,4 32 - 37%
MCH 24,2 27 - 31 pg
- Leukosit 19.220 4500 - 11000/CMM
- Trombosit 318.000 150000 - 450000
- Hematokrit 31,3 L: 40 - 54% ; P: 35 - 47%
Hitung Jenis -/-/88/6/6 1-4/01/2-5/36-66/22-40/2-8 Slide
RDW-CV dewasa 15,6 11,5% - 14,5%
Hbs Ag NON REAKTIF Negatif Imunokromatograf
HIV A1. NON NEGATIF
REAKTIF
Rapid Antigen NON REAKTIF NON REAKTIF
Rapid Antibody NON REAKTIF NON REAKTIF
Bacaan Foto Thoraks AP:

Cor. Besar dan bentuk kesan normal


Pulmo. Tak tampak infiltrat
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
Tulang tulang baik

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Kesan.
Cor dan pulmo kesan tak tampak kelainan

15. Penatalaksanaan
Terapi medis yang diberikan adalah:

1. Infus Infus Asering 10 TPM per 24 jam


2. Inj. Santagesik (Metamizole Natrium) 3X2 ml
3. Inj. Siklofosfamid 70 mg/ 12 jam IV,
4. Inj Metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari IV
5. Furosemid 3x25mg
6. Spironolakton 2x25mg
7. Amlodipin 1x10mg
8. Prednison 3x10mg
9. Captopril 2x25 mg

16. Harapan Klien/ Keluarga sehubungan dengan Penyakitnya


Orang tua klien mengungkapkan cemas dengan kondisi anaknya dan keluarga berharap klien
dapat segera sembuh dan beraktivitas kembali seperti biasanya. Dan ibu klien tidak tahu kenapa
anaknya sering kejang.

Banyuwangi, 18 Agustus 2021

Mahasiswa

Lailina Ulfa S.Kep

Institute of Health Sciences Banyuwangi


ANALISIS DATA

Hari/
Tgl/ DATA ETIOLOGI MASALAH
Jam
Rabu 18 DS: Auto imun menyerang(lesi Penurunan perfusi
Agustus pasien mengeluhan, bengkak jaringan) jaringan perifer
2021 pada seluruh tubuh, demam,
Jam nyeri sendi Bengkak hilang
16.00 timbul dan berpindahpindah dari pembentukan lupus
WIB satu bagian tubuh kebagian tubuh
lain, dimulai dari kaki sebelah produksi antibody terus
kanan. Pasien juga mengeluhkan menerus
demam naik turun.
pencetus inflamasi multi
DO: organ
 KU tampak lemah
 nadi 96 x/menit isi dan otak
tegangan cukup
 pernafasan 25 x/menit,
 suhu 36,2 ºC. suplai O2 menurun
 Tekanan darah 120/ 90
mmHG, penurunan kadar Hb
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+) penurunan perfusi jaringan
perifer
 penurunan kadar Hb 6 gr/dl
 penurunan jumlah leukosit
2000 mcl
 penurunan jumlah eritrosit
2.5juta/µl
 penurunan kadar hematokrit
30%
 penurunan trombosit 20.000
per mikroliter darah
 hematuri (30 eritrosit/ LPB),

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Rabu 18 DS : Auto imun menyerang(lesi
Agustus pasien mengeluhan, bengkak jaringan) Infeksi
2021 pada seluruh tubuh, demam,
Jam nyeri sendi Bengkak hilang
16.00 timbul dan berpindah pindah dari pembentukan lupus
WIB satu bagian tubuh kebagian tubuh
lain, dimulai dari kaki sebelah produksi antibody terus
kanan. Pasien juga mengeluhkan menerus
demam naik turun. Kulit wajah
menjadi kemerahan diikuti pencetus inflamasi multi
dengan munculnya vesikel dan organ
bula terutama di bagian pipi dan
leher Darah

DO:
 KU tampak lemah Hb turun
 nadi 96 x/menit isi dan
tegangan cukup
 pernafasan 25 x/menit, Anemia, leokopenia,
 suhu 36,2 ºC. trombositopenia
 Tekanan darah 120/ 90
mmHG, Infeksi
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+)
 penurunan kadar Hb 6 gr/dl
 penurunan jumlah leukosit
2000 mcl
 penurunan jumlah eritrosit
2.5juta/µl
 penurunan kadar hematokrit
30%
 penurunan trombosit 20.000
per mikroliter darah
 hematuri (30 eritrosit/ LPB)
 penurunan neotrofil pada
batang, neotrofil pada hitung
jenis sebesar 950 per
kilometer darah.

Rabu 18 DS : keluhan pasien Kulit wajah Auto imun menyerang(lesi


Agustus menjadi kemerahan diikuti jaringan) Keruskan integritas
2021 dengan munculnya vesikel dan kulit

Institute of Health Sciences Banyuwangi


Jam bula terutama di bagian pipi dan
16.00 leher. Pasien juga mengeluhkan pembentukan lupus
WIB rambut rontok, kulit wajah yang
melepuh. produksi antibody terus
menerus

DO: pencetus inflamasi multi


 KU tampak lemah, organ
 nadi 96 x/menit isi dan
 muka terdapat malar rash (+), kulit
 butterfly rash (+)
 terdapat 2 bulapada daerah
dagu berukuran 5x10 mm dan ruam kupu-kupu, SLE
2x2 mm membran, urtikalria dan
 terdapat kebotakan pada vaskulitis,ulserasi dimulut
beberapa bagian rambut, dan nasofaring
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+)
imunodefisiensi
 Sariawan(+)

kerusakan integritas kulit

DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSIS KEPERAWATAN

TANGGAL: 18 Agustus 2021 Jam 16.00 WIB

Institute of Health Sciences Banyuwangi


No. Diagnosis Keperawatan Kode Tanggal Teratasi Ttd

1 Penurunan perfusi jaringan perifer - 19 Agustus 2021


Berhubungan dengan penurunan Ttd lailina
kadar HB ditandai dengan:

DS: pasien mengeluhan, bengkak


pada seluruh tubuh, demam, nyeri
sendi Bengkak hilang timbul dan
berpindahpindah dari satu bagian
tubuh kebagian tubuh lain, dimulai
dari kaki sebelah kanan. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun.

DO:
 KU tampak lemah
 nadi 96 x/menit isi dan tegangan
cukup
 pernafasan 25 x/menit,
 suhu 36,2 ºC.
 Tekanan darah 160/ 100 mmHG,
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+)
 penurunan kadar Hb 6 gr/dl
 penurunan jumlah leukosit 2000
mcl
 penurunan jumlah eritrosit
2.5juta/µl
 penurunan kadar hematokrit 30%
 penurunan trombosit 20.000 per
mikroliter darah
 hematuri (30 eritrosit/ LPB),

2 Infeksi berhubungan dengan Anemia, - 21 Agustus 2021


leokopenia, trombositopenia di Ttd lailina
tandai dengan :

DS :
pasien mengeluhan, bengkak pada
seluruh tubuh, demam, nyeri sendi
Bengkak hilang timbul dan berpindah
pindah dari satu bagian tubuh
kebagian tubuh lain, dimulai dari
kaki sebelah kanan. Pasien juga
mengeluhkan demam naik turun.
Kulit wajah menjadi kemerahan
diikuti dengan munculnya vesikel
dan bula terutama di bagian pipi dan
leher

DO:
 KU tampak lemah
 nadi 96 x/menit isi dan tegangan
cukup
 pernafasan 25 x/menit,
 suhu 36,2 ºC.
 Tekanan darah 160/ 100 mmHG,
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+)
 penurunan kadar Hb 6 gr/dl
 penurunan jumlah leukosit 2000
mcl
 penurunan jumlah eritrosit
2.5juta/µl

Institute of Health Sciences Banyuwangi


 penurunan kadar hematokrit 30%
 penurunan trombosit 20.000 per
mikroliter darah
 hematuri (30 eritrosit/ LPB)
 penurunan neotrofil pada batang,
neotrofil pada hitung jenis sebesar
950 per kilometer darah.

3 Keruskan integritas kulit - 22 Agustus 2021


berhubungan dengan Ttd lailina
imunodefisiensi, ruam kupu-kupu,
SLE membran, urtikalria dan
vaskulitis,ulserasi dimulut dan
nasofaring ditandai dengan:

DS : keluhan pasien Kulit wajah


menjadi kemerahan diikuti dengan
munculnya vesikel dan bula terutama
di bagian pipi dan leher. Pasien juga
mengeluhkan rambut rontok, kulit
wajah yang melepuh.

DO:
 KU tampak lemah,
 nadi 96 x/menit isi dan
 muka terdapat malar rash (+),
 butterfly rash (+)
 terdapat 2 bulapada daerah dagu
berukuran 5x10 mm dan 2x2 mm
 terdapat kebotakan pada beberapa
bagian rambut,
 Mata terdapat konjungtiva
ananemis (+/+)
 Sariawan(+)

INTERVENSI KEPERAWATAN

N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1 Penurunan perfusi Noc: Sirculation Status Peripheral Sensation
jaringan perifer Setelah dilakukan tindakan Menejemen:
Berhubungan dengan keperawatan selama 2 x 24 jam 1. Monitor adanya daerah
penurunan kadar HB diharapkan, perfusi jaringan tertentu yang hanya peka
ditandai dengan: perifer kembali normal, dengan pada panas/dingin/tajam
 KU tampak lemah KH : /tumpul
 nadi 96 x/menit isi dan Mendemonrasikan status 2. Monitor adanya paretes
tegangan cukup sirkulation 3. Instruksikan keluarga untuk
 pernafasan 25 x/menit, mengobservasi kulit jika ada
 suhu 36,2 ºC. 1. Nadi dalam rentang normal isi atau laserasi
 Tekanan darah 160/ (80-120X/menit) dan RR 4. Gunakan sarung tangan
100 mmHG, dalam rentang normal (20- untuk proteksi
 Mata terdapat 30X/menit) 5. Batasi gerakan pada kepala
konjungtiva ananemis 2. Akral hangat leher dan punggung
(+/+) 3. Tekanan darah dalam rentang 6. Memonitor kemampuan
normal BAB
 penurunan kadar Hb 6
4. Tidak ada ortastatik 7. Kolaborasi pemberian
gr/dl
hipertensi analgetik
 penurunan jumlah
5. Tidak ada tanda dan tanda 8. Monitor adanya edema
leukosit 2000 mcl
peningkatan tekanan intra 9. Diskusikan mengenai
 penurunan jumlah karanial penyebab adanya perubahan

Institute of Health Sciences Banyuwangi


eritrosit 2.5juta/µl 6. Tingkat kesdaran membaik sensasi
 penurunan kadar 7. Keluarga mampu
hematokrit 30% mempraktekan cara komres
 penurunan trombosit dengan mandiri
20.000 per mikroliter
darah
 hematuri (30 eritrosit/
LPB)
 penurunan neotrofil
pada batang, neotrofil
pada hitung jenis
sebesar 950 per
kilometer darah.

2 Infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan NIC:


dengan Anemia, keperawatan selama 3x24 menit Kontrol infeksi
leokopenia, diharapkan infeksi bisa teratasi 1). Bersihkan lingkungan
trombositopenia di tandai dengan ungan setelah dipakai pasien lain
dengan : KH : 2)Pertahankan teknik isolasi
 KU tampak lemah 1. Keluarga menyatakan 3)Batasi pengunjung bila perlu
 nadi 96 x/menit isi dan 2. Integritas kulit klien normal 4)Instruksikan pada
tegangan cukup 3. Temperatur kulit normal pengunjung untuk mencuci
 pernafasan 25 x/menit, 4. Tidak ada lesi pada kulit tangan saat
 suhu 36,2 ºC. 5. Leokosit normal berkunjung dan seteah
 Tekanan darah 120/ 90 berkunjung meninggalkan pasien
mmHG, 5)Gunakan sabun antimikroba
 Mata terdapat untuk cuci tangan
konjungtiva ananemis 6) Cuci tangan setiap sebelum
(+/+) dan sesudah tindakan
keperawatan
 penurunan kadar Hb 6
7)Gunakan bau, sarung tangan
gr/dl
sebagai alat elindung
 penurunan jumlah
8) Pertahankan lingkungan
leukosit 2000 mcl
aseptik selama pemasangan alat
 penurunan jumlah 9)Ganti letak IV perifer dan
eritrosit 2.5juta/µl line central dan dressing sesuai
 penurunan kadar dengan
hematokrit 30% petunuk umum
 penurunan trombosit 10)Tingkatkan intake nutrisi
20.000 per mikroliter 11) Berikan terapi antibiotik bila
darah perlu
 hematuri (30 eritrosit/
LPB)
 penurunan neotrofil
pada batang, neotrofil
pada hitung jenis
sebesar 950 per
kilometer darah.

3 Keruskan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan NIC


berhubungan dengan keperawatan selama 4x24 menit Prssure ulcer prevention wound
imunodefisiensi, ruam diharapkan kerusakan integritas care:
kupu-kupu, SLE kulit dapat teratasi 1. Anjurkan pasein untuk
membran, urtikalria dan KH : menggunakan pakaian yang
vaskulitis,ulserasi dimulut 1. Perfusi jaringan normal longgar
dan nasofaring ditandai 2. Tidak ada tanda-tanda 2. Jaga kulit agar tetap bersih
dengan: infeksi dan kering
 KU tampak lemah, 3. Ketebalan dan tekstur 3. Mobilisasi pasien setiap dua
 nadi 96 x/menit isi dan jaringan normal jam sekali
 muka terdapat malar 4. Menunjukan pemahaman 4. Monitor kulit akan adanya
rash (+), dalam proses perbaikan kulit kemerahan
 butterfly rash (+) dan mencegah terjadinya 5. Oleskan lotion atau minyak
 terdapat 2 bulapada cidera berulang pada daerah yang tertekan
daerah dagu berukuran 5. Penunjukan proses 6. Monitor aktivitas dab

Institute of Health Sciences Banyuwangi


5x10 mm dan 2x2 mm ternjadinya penyembuhan moblisasi pasien
 terdapat kebotakan luka 7. Monitor nutrisi pasien
pada beberapa bagian 8. Memandikan pasien dengan
rambut, sabun dan air hangat
 Mata terdapat 9. Observasi luka: lokais
konjungtiva ananemis dimensi kedalaman luka,
(+/+) jaringan nekrotik, tanda-tanda
 Sariawan(+) infeksi lokal, formasi traktus
10.Ajarka keluarga tentang luka
dan perawatan luka
11.Kolaborasi ahli gizi dengan
pemberian diit
12.Cegah kontaminasi face dan
urin
13.Lakukan teknik perawatan
luka yang steril
14.Berikan posisi yang
mengurangi tekana pada luka
15.Hindari kerutan pada tempat
tidur

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Nomer Tanggal
Implementasi Evaluasi
Diagnosa dan Jam
1 Rabu 18 1. Monitor adanya daerah tertentu yang S:
Agustus hanya peka pada panas/dingin/tajam pasien masih mengeluh ,
2021 Jam /tumpul bengkak pada seluruh
16.00 R/ saat kita palpasi pada daerah tubuh tubuh, nyeri sendi.
WIB yang edema pasien merasakan sakit
terutama persendian O: Status srikulasi blm baik
18.00 2. Monitor adanya paretes KU lemah, kesadaran
WIB R/ tidak terjadi adanya paretes CM, Nadi (95X/menit)
3. Instruksikan keluarga untuk dan RR dalam rentang
mengobservasi kulit jika ada lesi atau normal (24X/menit)
18.00 laserasi Tensi (150/90mmHG),
WIB R/ pada muka terdapat malar rash (+), Suhu (36.5OC)
butterfly rash (+), terdapat 2 bulapada Akral hangat
daerah dagu berukuran 5x10 mm dan A: masalah blm teratasi
18.00 2x2 mm P : Lanjutkan intervensi
WIB 4. Gunakan sarung tangan untuk
proteksi saat melakukan tindakan
observasi
18.00 R/ pasti selalu menggunakan denga
WIB hasil observasi : Nadi = 95x/, S=
36.5OC, T= 150/90 mmHG, akral
hangat. Compus mentis.
5. Batasi gerakan pada kepala leher dan
19.30 punggung
WIB R/ pasien istirahat total setiap 4 jam
sekali pasien mika-miki.
6. Memonitor kemampuan BAB
R/ udah 3 hari ini apsien blm BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
19.30 R/ Inj. Santagesik (Metamizole
WIB Natrium) 3X2 ml
8. Monitor adanya edema
R/ edema masih ada apada daerah

Institute of Health Sciences Banyuwangi


wajah dan tubuh
9. Diskusikan mengenai penyebab
adanya perubahan sensasi
R/ pasien dan keluarga siap
memberitahukan sewaktu-waktu bila
terjadi perubahan yang baik ata u
sebaliknya.

Rabu 18 1. Bersihkan lingkungan


Agustus R/ setiap pagi dan sore lingkunga kita S:
2021 Jam bersihkan (sapu dan pel) pasien mengeluhan masih
18.00 2. Pertahankan teknik isolasi bengkak nyeri sendi pasien
WIB R/ memberikan peraturan dg juga mengeluhkan demam
menimalkan jumlah keluarga yang naik turun. Kulit wajah
gaja cukup 2 orang masih kemerahan diikuti
3. Batasi pengunjung bila perlu dengan vesikel dan bula
R/ tidak ada jam kunjung pada bagian pipi dan leher
4. Gunakan sabun antimikroba untuk
cuci tangan
R/ pada wastafel sudah tersedia sabun O:
cuci tangan  KU tampak lemah
5. Cuci tangan setiap sebelum dan Nadi (95X/menit) dan
sesuadah tindakan keperawatan RR dalam rentang normal
R/ selalu (24X/menit) Tensi
6. Gunakan baju, sarung tangan sebagai (150/90mmHG), Suhu
alat pelindung (36.5OC)
R/ selalu  konjungtiva ananemis
7. Pertahankan lingkungan aseptik (+/+)
selama pemasangan alat  Hb 6 gr/dl
R/ sesuai SPO  leukosit 2000 mcl
8. Ganti letak IV perifer dan line  eritrosit 2.5juta/µl
central dan dressing yang sesuai  hematokrit 30%
R/ saat plebitis pasti kita ganti
 trombosit 20.000 per
9. Tingkatkan intake nutrisi
mikroliter darah
R/ diit pasien Rendah kalori, rendah
 hematuri (30 eritrosit/
garam, rendah protein
LPB)
10.Berikan terapi antibiotik bila perlu
 neotrofil pada batang,
R/ Inj. Siklofosfamid 70 mg/ 12
neotrofil pada hitung
jam IV (mendapatkan jenis obat jenis sebesar 950 per
kemoterapi) kilometer darah.

A: masalah blm teratasi


P : Lanjutkan intervensi

Rabu 18 1. Anjurkan pasein untuk menggunakan S:


Agustus pakaian yang longgar pasien masih mengeluh ,
2021 Jam R/ pasien selalu menngunakan pakain bengkak pada seluruh
18.00 kaos oblong besar tubuh, nyeri sendi.
WIB 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
R/ dengan mengatur suhu ruangan yang O: Status srikulasi blm baik
sejuk untuk mengurangi pasian tidak KU lemah, kesadaran
berkeringat berlebih CM, Nadi (95X/menit)
3. Mobilisasi pasien setiap 4 jam sekali dan RR dalam rentang
R/ pasien kooperatif normal (24X/menit)
4. Monitor kulit akan adanya kemerahan Tensi (150/90mmHG),
R/ ruam wajah masih ada Suhu (36.5OC)
5. Oleskan lotion atau minyak pada Akral hangat
daerah yang tertekan A: masalah blm teratasi
R/ terkadaang diberikan minyak tawon P : Lanjutkan intervensi
dan minyak kutus-kutus.
6. Monitor aktivitas dab moblisasi pasien
7. R/ mobilsasi setiap 4 jam sekali
8. Memandikan pasien dengan sabun dan
air hangat
R/ memandikan dengan cara di seka 2
kali sehari

Institute of Health Sciences Banyuwangi


9. Observasi luka: lokais dimensi
kedalaman luka, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal, formasi
traktus
R/ muka terdapat malar rash (+),
butterfly rash (+) terdapat 2 bulapada
daerah dagu berukuran 5x10 mm dan
2x2 mm.
10.Ajarka keluarga tentang luka dan
perawatan luka
R/ saat perawatan luka pasien sekaligus
mengedukasi keluaga dan keluarga
sangat antusias bisa merawat luka
pasien nanti setalah pulang dari RS
11.Kolaborasi ahli gizi dengan pemberian
diit
R/ pasien mendapat diet BHRGRP
12.Cegah kontaminasi face dan urin
R/ selalu dibersihkan jika pasien sudah
BAK atau BAB
13.Lakukan teknik perawatan luka yang
steril
R/ perawatan luka rutin setiap hari 1x
sesuai SOP teknik steril
14.Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
R/ membantu pasien untuk mika-miki

Institute of Health Sciences Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai