Anda di halaman 1dari 24

UPAYA PEREMPUAN BATAK TOBA MENUJU KEMANDIRIAN

SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PROSES


MEMBESARKAN ANAK
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, saya

bisa menyelesaikan makalah penelitian yang berjudul Upaya Perempuan Batak Toba Menuju

Kemandirian Sebagai Orangtua Tunggal Dalam Proses Membesarkan Anak.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Sanuri Fanyansen S.Pd. selaku

guru Mata Pelajaran Antropologi yang telah membimbing para muridnya dalam melakukan

penelitian terkaji ini. Saya pun ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan teman-

teman yang telah memberikan dukungan mental dalam pembuatan makalah penelitian ini.

Makalah penelitian ini memberikan penjelasan mengenai para Ibu pejuang kehidupan

untuk generasi penerusnya. Bagaimana mereka mampu bertahan dalam kejamnya budaya

patrilineal yang mengancam keberlangsungan hidup anak-anaknya.

Saya menyadari masih ada kekurangan pada makalah penelitian ini. Oleh sebab itu,

saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya ini. Saya juga berharap semoga

makalah penelitian ini mampu memberikan pengetahuan tentang topik yang terlampir.

Cibinong, 12 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan dan Manfaat.................................................................................................2
D. Metode Penelitian.....................................................................................................2
E. Tujuan dan Manfaat.................................................................................................2
F. Metode Penelitian.....................................................................................................3
BAB II SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA...............................................1
A. Dalihan Na Tolu......................................................................................................1
B. Perempuan Dalam Garis Keturunan Patrilineal...........................2

C. Aturan Berumah Tangga Pada Suku Batak Toba......................................... 3


D. Posisi Janda Dalam Masyarakat Batak Toba.............................4

BAB III UPAYA PEREMPUAN MENUJU KEMANDIRIAN SEBAGAI ORANG TUA


TUNGGAL DALAM PROSES MEMBESARKAN ANAK.................................................4
A. Persoalan-persoalan Yang Muncul Ketika Perempuan Menjadi
Orangtua Tunggal.....................................................................................................4
1. Persoalan Ekonomi...........................................................................................

2. Persoalan Sosial................................................................................................

3. Persoalan Budaya..............................................................................................

B. Strategi Para Perempuan Sebagai Orang Tua Tunggal Menghadapi


Persoalan Yang Muncul...............................................................................................5
1. Strategi Ekonomi..................................................................................................

2. Strategi Sosial......................................................................................................

3. Strategi Menghadapi Budaya...............................................................................

ii
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................

A. Kesimpulan...............................................................................................................

B. Saran.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................5

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perempuan dalam pandangan tradisional masyarakat masih berada di posisi kedua setelah
laki-laki. Perempuan dianggap lemah baik dari segi pemikiran dan fisik dibandingkan laki-
laki. Perempuan yang hidup dalam lingkungan masyarakat seperti itu akan menjadikannya
merasa selalu tergantung pada laki-laki. Pikiran seperti ini akan merugikan bagi seorang
perempuan, karena itu akan menjauhkannya dari kemandirian. Ketergantungan perempuan
tersebut akan sangat merugikan ketika ia berada dalam kondisi telah berumah tangga dan
memiliki anak tetapi ia telah ditinggal mati oleh suaminya atau dengan kata lain menjadi
janda.

Menjadi janda berarti seorang perempuan akan menjadi orang tua tunggal bagi anak-
anaknya. Setelah ayah sebagai seorang pemimpin keluarga telah tiada maka anak-anak akan
kehilangan figur seorang ayah, disinilah peran perempuan sebagai ibu berusaha menstabilkan
keadaan dengan berperan ganda yaitu sebagai ibu dan sebagai ayah bagi anak-anaknya.
Kemandirian bagi perempuan juga diperlukan karena ia sebagai pemimpin keluarga harus
dapat mengambil keputusan yang baik untuk keluarganya, dengan kemandirian diharapkan
seorang perempuan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik walaupun tanpa kehadiran
seorang suami.

Dalam suku Batak Toba, kemandirian perempuan untuk menjadi orang tua tunggal masih
terhalang oleh budaya. Pengaruh budaya Batak yang menempatkan seorang perempuan di
posisi kedua setelah laki-laki menjadikan perempuan sulit untuk mandiri. Untuk mencapai
kemandirian bagi seorang janda Batak dalam membesarkan anak-anaknya tidak lah mudah,
banyak melewati berbagai masalah baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya.
Perjuangan janda ini untuk dapat melalui berbagai persoalan dalam hidupnya semata-mata
hanya untuk dapat membesarkan anaknya dengan baik. Perempuan yang menjadi ibu sudah
seharusnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan anak-anaknya, hubungan tersebut
terjadi secara alami karena itu segala perjuangan yang dilakukan oleh seorang perempuan
janda agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya bukan lah menjadi sebuah beban
untuknya ketika dapat melihat anak-anaknya tumbuh dewasa dan hidup mandiri.

4
B. Rumusan Masalah

Mengacu dari keadaan yang telah dijelaskan pada latar belakang diatas, maka masalah
yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana seorang perempuan sebagai
orangtua tunggal dalam menciptakan kemandiriannya untuk dapat terus mengasuh dan
membimbing anak-anaknya agar dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dalam
keluarga yang tidak lengkap.

Dari masalah tersebut hal-hal yang ingin dikaji oleh penulis antara lain :

1. Persoalan-persoalan apa saja yang muncul ketika para perempuan Batak Toba ini menjadi
orangtua tunggal bagi anak-anaknya?

2. Bagaimana faktor budaya setempat dapat mempengaruhi upaya kemandirian bagi seorang
perempuan?

3. Bagaimana strategi-strategi yang dilakukan oleh perempuan Batak Toba yang menjadi
orangtua tunggal dalam menghadapi persoalan-persoalan eksternal dan internal sehinggal ia
dapat mandiri dan dapat membesarkan anak-anaknya?

4. Bagaimana tanggapan masyarakat Batak Toba mengenai seorang ibu berstatus janda?

5. Mengapa dalam budaya Batak Toba perempuan diragukan memimpin keluarga?

6. Mengapa budaya bisa jadi batasan bagi para wanita untuk menonjol?

7. Apakah orangtua tunggal berpengaruh pada kondisi sang anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang upaya perempuan Batak Toba
menuju kemandirian sebagai orangtua tunggal dalam proses membesarkan anaknya, dimana
kemandirian perempuan sebagai orangtua tunggal masih sulit diterima oleh masyarakat kita.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai pentingnya
kemandirian pada seorang perempuan dengan perempuan suku Batak Toba sebagai contoh
khusus dari kajian bersumber ini.

5
D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kajian
pustaka. Peninjauan dilakukan dengan menggunakan media penelusuran pada repositori
daring.

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Eksplorasi data sekunder
didapatkan melalui penelusuran tulisan-tulisan ilmiah dan populer seperti jurnal, tulisan di
koran, media daring dan buku yang terkait dengan topik tersebut.

6
BAB II

SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK TOBA

A. Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu bisa disebut sebagai ide suatu kompleks gagasan yang merupakan
pandangan hidup dan sumber sikap perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan
kompleks aktivitas masyarakat itu sendiri dalam wujud karya budaya. Dalam hal budaya,
Dalihan Na Tolu merupakan konsepsi yang masih bersifat abstrak mengenai dasar dari suatu
hal yang penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Sekaligus yang menjadi dasar bagi
kehidupan masyarakat Batak Toba dalam bertingkah laku dan dalam menjalin hubungan
kekeluargaan.

Dalam Dalihan Na Tolu ini dapat diketahui dan dicari kemungkinan adanya hubungan


persaudaraan dengan orang lain apabila menempatkan diri di dalam sistem Dalihan Na
Tolu ini.Dalihan Na Tolu menciptakan aturan serta hubungan dalam keluarga Batak Toba
walaupun mereka bukan dari satu ibu dan satu ayah. Nilai budaya masyarakat Batak ini
mengajarkan bagaimana memposisikan diri kita di dalam adat istiadat Batak Toba.

Dalihan Na Tolu disebut juga Dalihan Nan Tungku Tiga yang selanjutnya biasa disingkat


dengan DNT yang menyatakan suatu ungkapan tentang kesatuan suatu hubungan
kekeluargaan pada suku Batak Toba. Kata Dalihan berasal dari pokok kata “dalik” yang
artinya “dais” (bertemu atau bersentuhan) dan kata “mandalikkon” yang artinya
mempertemukan sesuatu dengan yang lain. Dalihan artinya tempat atau yang berarti tungku,
maka Dalihan itu mempertemukan dua buah benda yaitu api dan periuk.

Di masyarakat Batak hubungan kekeluargaan disebut Dalihan Na Tolu. Melihat dari


pengertian katanya, Dalihan Na Tolu itu merupakan sebuah tungku yang terdiri dari tiga buah
tungku batu yang membentuk suatu kesatuan tritunggal. Sebenarnya tritunggal dalam
masyarakat Batak Toba tidak hanya Dalihan Na Tolu, contohnya seperti yang lebih tinggi
derajatnya dalam kepercayaan Batak disebut Banua Na Tolu yang artinya benua yang terdiri
atas tiga lapisan dan Bonang Manalu yaitu benang yang terdiri dari tiga macam warna yakni
merah, putih dan hitam. Sebagai simbol hubungan kekeluargaan masyarakat Batak memilih
ketiga batu tungku yaitu Dalihan Na Tolu karena dalam Dalihan Na Tolu terdapat pengertian

7
yang tidak dijumpai pada tritunggal yang lain,seperti dalam sebuah ungkapan Batak
tentang Dalihan yang berbunyi :

“Si dua uli songon na mangkaol dalihan, Memeluk tungku memberi dua Masak sipanganon
huhut malum na ngalian” keuntungan yaitu makanan menjadi masak dan hilang perasaan
dingin.”

Dalihan memegang peranan penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-
hari. Orang tidak dapat hidup baik dan wajar tanpa Dalihan (tungku). Hubungan
kekeluargaan pun yang disebut Dalihan Na Tolu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari orang Batak sejak lahir sampai akhir hayatnya. Dalihan Na Tolu lah dasar filsafat
hidupnya dan fondasi (dasar) yang kukuh bagi hubungan sosialnya dan dalam soal interrelasi
(hubungan biasa dan hubungan kekeluargaan) orang Batak. Berdasarkan Dalihan Na Tolu lah
orang Batak dapat dengan segera menetukan status,fungsi dan sikap sosialnya. (Sihombing,
2000)

Dalihan Na Tolu menggambarkan kebijaksanaan para leluhur Batak dalam mengatasi


kesulitan-kesulitan. Hubungan kekeluargaan walaupun jauh dapat dijelaskan di
dalam Dalihan Na Tolu sehingga keluarga-keluarga jauh akan tetap merasa saling memilki
keterkaitan kekerabatan.Dalihan Na Tolu juga mengandung arti dalam kehidupan bahwa
solidaritas harus tetap timbul dalam pekerjaan-pekerjaan adat.

Nilai budaya Batak yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu, telah mengatur kehidupan
sosial masyarakat Batak sehingga diharapkan dapat berlangsung dengan damai. Seperti
Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak, beberapa daerah ternyata memiliki sejumlah
mekanisme kepemimpinan dan kearifan tradisional sebagai bagian dari nilai adat budaya.
Dalam konsep adat budaya daerah terdapat beberapa kearifan lokal dan sejumlah
kepemimpinan lokal yang kesemuanya potensial dalam menata masyarakat damai dengan
identitas dan integrasi bangsa yang kuat dan usaha-usaha lain sehingga pekerjaan yang berat
dapat diselesaikan dengan baik karena dikerjakan secara bersama.

Adapun penghargaan yang diterima perempuan di dalam Dalihan Na Tolu. Perempuan


sebenarnya dalam masyarakat Batak sangat dihargai keberadaannya karena perempuan
dianggap sebagai penerus keturunan dalam marga,sedangkan memilki keturunan sangatlah
penting dalam masyarakat Batak.Orang Batak juga dikenal sangat menyayangi anak
perempuannya,seperti yang ditunjukkan dalam ungkapan berikut :

8
“Tinallik Landorung,bontar gotana; “Anak laki-laki dan anak perempuan Dos do anak dohot
boru,nang pe sama saja,walaupun berlainan Pulik-pulik margana” marga.”

Para anak-anak perempuan dianggap banyak membatu orang tuanya dan selalu
mengusahakan kebahagiaan orang tuanya.Karena itu bermacam-macam penghargaan atau
imbalan yang diberikan Hula-hula kepada Borunya yaitu :

- Berupa sebidang sawah yang mengungkapkan kasih sayangnya

- Berupa sebidang sawah yang dapat diminta dan diperoleh Boru dari hula-hulanya untuk


anak sulung dari Boru tersebut.

- Berupa hewan seperti lembu dan kerbau juga diberikan untuk anak sulung
dari Boru tersebut.

Disamping segala bentuk penghargaan berupa benda-benda, terdapat juga hal-hal yang
menunjukkan bahwa perempuan juga mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Hula-hula
seperti membantu Borunya bila memerlukan bantuan.

Seorang perempuan Batak akan menikah dengan laki-laki di luar kelompok kekerabatannya.
artinya laki-laki dari marga lain akan memperistrikan dan perempuan itu akan menjadi bagian
dari marga suaminya. Perempuan itulah yang akan menjadi penghubung tali persaudaraan
antara dua keluarga, yaitu pertama keluarga asal perempuan itu dan keluarga dari pihak
suaminya. Ketika telah menikah, perempuan akan menjadi hak dari keluarga suaminya karena
keluaraga suaminya telah membayar mas kawin dalam bahasa batak disebut sinamot kepada
keluarga perempuan sebagai simbol untuk “membeli” perempuan yanga akan dijadikan istri.

Posisi perempuan itu dalam Dalihan Na Tolu juga telah berkembang setelah ia menikah,
kalau dulu sewaktu belum menikah ia hanya menjadi Boru dalam Dalihan Na Tolu tetapi
sekarang ia bisa menjadi Hula-hula lebih dipandang karena adanya peran suaminya. Apabila
perempuan tersebut telah ditinggal oleh suaminya dan menjadi janda, posisinya
dalam Dalihan Na Tolu sebenarnya masih tetap seperti ketika suaminya masih hidup. Apabila
dalam suatu kelompok, suaminya dulu menjadi Hula-hula dalam Dalihan Na Tolu maka
ketika suaminya meninggal janda itu akan tetap sebagai Hula-hula bagi kelompok tertentu
mengikuti posisi suaminya dulu dalam Dalihan Na Tolu, kecuali perempuan itu menikah lagi
dengan laki-laki di luar marga suami pertamanya maka hubungannya di Dalihan Na

9
Tolu suami pertamanya sudah tidak ada karena ia akan mengikuti posisi suami barunya di
dalam Dalihan Na Tolu keluarga suaminya itu.

Adapaun hal yang menjadi penghubung antara janda yang telah menikah lagi dan
dengan Dalihan Na Tolu suami pertamanya adalah apabila janda tersebut memilki anak laki-
laki dari suami yang pertama karena bagaimanapun anak laki-laki itua akan mewarisi marga
ayahnya dan melanjutkan keturunan. Pada kenyataanya apabila seorang perempuan telah
menjadi janda, sering kali dirinya tidak begitu terlihat lagi posisinya di dalam Dalihan Na
Tolu keluarga suaminya. Karena posisi tersebut ia dapatkan dengan mengikuti posisi
suaminya. Apabila janda tersebut tidak mempunyai anak atau tidak mempunyai anak laki-
laki, biasanya janda tersebut lebih cenderung dekat atau kembali ke keluarga asalnya
walaupun juga tidak sedikit janda yang tetap berada di keluarga suaminya.

Perlakuan yang diterima seorang perempuan yang menjadi janda juga langsung berubah
dibandingkan ketika suaminya masih hidup.Walaupun sebenarnya para kerabat mendapat
bantuan dari keluarga suaminya bahkan ada yang sama sekali dilupakan walaupun ia
memiliki anak laki-laki.

Posisi janda dalam Dalihan Na Tolu menunjukkan betapa besarnya peran laki-laki dalam adat
di masyarakat Batak Toba. Perbedaan peran dalam adat antara laki-laki dan
perempuan,mengkondisikan seorang laki-laki sebagai pihak yang selalu diutamakan dalam
adat. Megawangi (1999:103) mengatakan dengan berbagai cara perbedaan peran gender
dikondisikan oleh tatanan masyarakat Indonesia yang patriarkhat, seperti terdapat dalam
budaya patriarkhat di suku Batak Toba.

Bagaimanapun pendapat itu akan terus berkembang di dalam kehidupan seorang janda,ini
menegaskan tentang sulitnya posisi seorang janda dalam masyarakat Batak Toba. Pendapat-
pendapat negatif dari masyarakat terhadap status seorang janda, menghadirkan sebuah
stereotipe negatif yang terbentuk dalam masyarakat terhadap seorang janda sehingga
membuat status seorang perempuan sebagai janda akan terkesan tidak baik, seperti dalam
Fakih (1996:16),mengatakan bahwa stereotipe merupakan salah satu bentuk manifestasi
ketidakadilan gender untuk perempuan.

10
B. Perempuan Dalam Garis Keturunan Patrilineal

Kebudayaan Batak Toba Berakar pada garis keturunan Patrilineal. Garis keturunan Patrilineal
ini menjadikan anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan dalam marganya. Irianti
(2005:9), dalam sistem patrilineal itu anak lakilaki dan perempuan menyandang hak dan
kewajiban yang berbeda dalam clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan bahwa
mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan
mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang
hidupnya hanya mengenal clan ayahnya,maka perempuan mengenal dua clan yaitu clan
ayahnya dan clan suaminya. Kendati demikian dalam rangka hubungannya dengan clan
tersebut, posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas karena
meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari
kedua clan tersebut.

Perempuan dalam garis keturunan patrilineal ini sejak awal sudah dibedakan perannya dengan
laki-laki dalam keluarga walaupun dalam hal pemberian kasih sayang, orang Batak berusaha
seadil-adilnya pada anak laki-laki dan anak perempuan. Perempuan dalam keluarga dianggap
sewaktu-waktu akan “dibeli” oleh marga lain,dan ia akan melanjutkan keturunan marga lain
bukan marga orang tuanya sedangkan laki-laki harus dipersiapkan untuk meneruskan garis
keturunan ayahnya. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin dalam keluarga, untuk itu sebagai
persiapan dan modal bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin adalah harta warisan orang
tuanya yang diberikan kepadanya sebagai tanda bahwa dialah penerus marga ayahnya serta
kelak apabila orang tuanya sudah tua maka anak laki-laki akan mengurus orang tuanya.karena
perempuan akan menikah dan tanggung jawabnya akan berpindah kepada orang tua suaminya
(mertua).

Perempuan dalam keluarga Batak dipersiapkan untuk menjadi penghubung kedua marga. Jadi
perempuan akan “dibeli” dari keluarganya dengan mas kawin (sinamot) yang telah disepakati
oleh kedua keluarga. Keluarga perempuan dalam hal ini juga tidak akan dengan sembarangan
melepas anak perempuannya, harus dengan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan
sebelumnya. Kondisi seperti inilah yang membuat para perempuan yang ada dalam garis
keturunan patrilineal berada di posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dianggap sewaktu-
waktu akan pergi dari keluarganya sedangkan laki-laki lah yang akan mempertahankan garis
keturunan keluarganya. Maka segala fasilitas yang ada akan lebih diutamakan untuk laki-laki
dari pada perempuan seperti harta waris yang telah diungkapkan sebelumnya. Perempuan

11
juga dapat memperoleh harta waris tetapi semuanya itu diperoleh bukan berdasarkan
ketentuan adat seperti pada laki-laki tetapi lebih karena perempuan itu meminta pada orang
tuanya dan akan diberi hanya atas dasar kasih sayang orang tuanya.

Vergouwen dalam Irianti (2005:121) mengatakan namun apa yang dapat diterima anak
perempuan tersebut tidaklah dalam arti hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya
agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-
laki, imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya
anak perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya
menjelang ajal atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada melaui upacara
manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak laki-laki yang
belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah atau jika masih ada ibu yang
ongkos hidupnya harus diambil dari harta peninggalan.

Budaya Patriakhat mengontrol kehidupan para perempuan Batak. Kontrol patriarkhi yang
dilakukan secara kolektif dan teru menerus menyebabkan perempuan sangat terpuruk secara
ekonomi (terutama) dan sosial (Irianti, 2005:185). Seperti dalam pembagian harta waris,
perempuan di dalam adat sebenarnya tidak memiliki bagian disana, karena itu perempuan
tidak dibekali modal materi untuk dapat mandiri dan memiliki kehidupan ekonomi yang lebih
baik daripada laki-laki.

C. Aturan Berumah Tangga Pada Suku Batak Toba

Prinsip perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah conubium asymentris, dengan ciri-
ciri eksogam, tidak boleh saling tukar menukar perempuan. Orang tidak akan mengambil istri
dari kalangan sendiri, perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami
(Irianti, 2005:109) Pernikahan dalam masyarakat Batak Toba merupakan hal yang sakral.
Karena kesakralan tersebutlah maka perceraian sama sekali tidak diperbolehkan dalam adat
Batak. Masyarakat Batak menganggap bahwa pernikahan yang terjadi itu hanya boleh sekali
dan tidak boleh bercerai kecuali salah satu dari suami atau istri itu meninggal.

Pernikahan yang dilakukan dalam masyarakat melalui tata cara adat yang panjang dan
pernikahan ini merupakan tanda bersatunya dua keluarga dari marga yang berbeda.
Terjadinya pernikahan berarti menambah jumlah anggota keluarga baru dalam Dalihan Na
Tolu. Banyak orang yang semula tidak saling mengenal, tetapi karena adanya sebuah
pernikahan akhirnya akan menjadi satu keluarga.

12
Apabila terjadi perceraian,ini akan sangat merugikan bagi keluarga kedua belah pihak,
hubungan kekeluargaan yang dulunya sempat terjalin dengan baik akhirnya harus putus atau
dapat menyebabkan permusuhan antara dua keluarga ini. Bagi orang Batak memiliki kerabat
yang banyak meruapakan kebanggaan tersendiri, masyarakat Batak juga sangat suka menjalin
hubungan kekeluargaan dan bila terjadi sebuah perceraian maka akan membuat anggota
keluarga menjadi berkurang dan biasanya akan menimbulkan rasa malu pada keluarga
pasangan yang bercerai.

Bila perceraian harus terjadi, maka seorang laki-laki atau perempuan yang hendak bercerai
tidaklah menyampaikan surat permohonan ke majelis adat karena sama sekali tidak akan
diperbolehkan. Pihak yang akan bercerai itu harus mengurusnya sendiri dengan melanggar
aturan adat. Bila laki-laki yang ingin bercerai dengan istrinya, maka laki-laki itu harus
membawa istrinya ke rumah mertuanya (orang tua istinya) untuk mengembalikan sendiri anak
perempuan mereka. Bila perempuan yang ingin bercerai, maka ia harus meninggalkan
suaminya dan pergi ke tempat orang tuanya serta tinggal disana.

Karena adat telah dilanggar oleh pasangan suami istri yang ingin bercerai maka pelaku
perceraian akan dihukum berdasarkan adat. Hukuman untuk laki-laki yang menceraikan
istrinya adalah segala sinamot nya (semua pemberian kepada pihak istri) akan hilang
sedangkan hukuman untuk perempuan yang meninggalkan suaminya adalah harus membayar
kembali dua kali lipat jumlah sinamot yang telah diberikan oleh suaminya
(Koentjaraninggrat,1982:106)

Dari segi hukuman adat diatas yang diberikan kepada pasangan suami istri yang ingin
bercerai, terkesan hukuman untuk perempuan yang ingin bercerai lebih berat daripada
hukuman yang diberikan untuk laki-laki yang ingin bercerai. Disini dapat dilihat bahwa posisi
laki-laki yang lebih diutamakan dari pada perempuan dalam adat Batak juga berpengaruh
dalam aturan-aturan perkawinan.

13
D. Posisi Janda Dalam Masyarakat Batak Toba

Janda sewaktu dulu ia menikah telah mendapatkan mas kawin yang diberikan oleh
suaminya, itu berarti setelah pernikahan tersebut janda menjadi bagian dari keluarga
suaminya dan akan bertanggung jawab untuk merawat orang tua suaminya (mertuanya).
Seorang janda akan tetap berada di lingkungan keluarga suaminya secara adat apabila ia
memiliki keturunan anak laki-laki, karena anak laki-laki yang dimilikinya akan menjadi
penerus keluarga suaminya. Hadirnya anak laki-laki membuktikan bahwa seorang janda dapat
melanjutkan garis keturunan suaminya, apabila seorang janda tidak mempunyai anak laki-laki
biasanya ia akan kembali ke rumah orang tuanya dan bila seorang janda yang telah ditinggal
mati oleh suaminya ingin menikah lagi, ia harus meminta izin dari keluarga suaminya karena
dahulu bila seorang perempuan menjadi janda maka ia akan dinikahkan dengan saudara laki-
laki suaminya (levirate). Hal ini bertujuan agar tidak terputus hubungan keluarga dari kedua
keluarga serta apabila janda tersebut memiliki anak maka anaknya itu akan tetap berada
dalam lingkaran keluarga ayah kandungnya, sedangkan bila seorang janda menikah lagi
dengan laki-laki lain di luar marga suaminya selain janda itu telah kehilangan posisinya
dalam dalam keluarga suaminya dan apabila janda itu memiliki anak laki-laki maka anak laki-
lakinya itu akan diasuh oleh keluarga suami lamanya, karena bila ia menikah dengan marga
lain maka ia akan memiliki anak lagi dari marga lain tersebut dan ia bukan lagi tanggung
jawab dari keluarga suaminya yang telah meninggal.

Fenomena tentang pengabdian seorang janda diatas kepada keluarga asal suaminya,
menunjukkan bahwa seorang perempuan Batak tidak dapat lepas dari aturan-aturan adat
walaupun perempuan itu sudah ditinggal mati suaminya, tetapi ia tidak dapat begitu saja lepas
dari kewajibannya terhadap keluarga suaminya. Hal ini juga dapat dilihat dalam Irianti
(2005:95) yang mengatakan bahwa pada umumnya para perempuan Batak tetap terikat pada
konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan, yang menempatkan mereka dalam arena
domestik dan kungkungan adat, kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya
menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang profesi-profesi terhormat dalam
masyarakat dan hidup sebagai “orang modern”, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari
kewajiban-kewajiban adatnya.

14
BAB III

UPAYA PEREMPUAN BATAK TOBA MENUJU KEMANDIRIAN


SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PROSES
MEMBESARKAN ANAK

A. Persoalan-persoalan Yang Muncul Ketika Seorang Perempuan Batak


Menjadi Janda

1. Persoalan Ekonomi
Persoalan ini adalah persoalan yang sering sekali muncul ketika seorang perempuan
menjadi janda. Persoalan ekonomi ini tidak dapat dihindarkan apabila perempuan
tersebut tidak memiliki pekerjaan dan juga memiliki tanggungan anak. Persoalan ini
seakan lekat dengan kehidupan perempuan janda karena perempuan dianggap bukan
bekerja di sektor produksi yang dapat menghasilkan uang seperti laki-laki. Perempuan
lebih cenderung bekerja di sektor domestik seperti pekerjaan rumah tangga. Ketika
seorang perempuan ibu rumah tangga ditinggal mati oleh suaminya, ia akan mengalami
berbagai persoalan ekonomi seperti harus memikirkan bagaiman cara membayar segala
tagihan rumah tangga.
Selama ini ketika suaminya masih hidup,suaminya lah yang bekerja mencari nafkah
untuk kebutuhan keluarga walaupun sebenarnya seorang perempuan juga membantu
suaminya bekerja, tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan perempuan dianggap bukan
sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini terjadi karena sudah sangat
tertanam citra di dalam diri perempuan bahwa suaminya yang mampu menghasilkan
uang dan dirinya sebagai seorang perempuan berkewajiban untuk mengurus anak-anak.
Perempuan Batak dikenal memiliki kegigihan dalam membatu ekonomi keluarganya
walaupun selama ini dalam keluarga, laki-laki lah yang memenuhi kebutuhan ekonomi
tetapi ketika suaminya tidak ada lagi, seorang perempuan akan berusaha keras memenuhi
kebutuhan ekonomi anak-anaknya di tengah keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Dengan adanya berbagai keterbatasan itu,janda melakukan berbagai pekerjaan yang ia
bisa walaupun terkadang pekerjaan yang ditekuninya sangat sedikit menghasilkan uang.

15
2. Persoalan Sosial
Lingkungan masyarakat dimana seorang janda tinggal sering membawa persoalan
bagi kehidupan janda itu, ditinggal mati suami dan menjadi orangtua tunggal bagi anak-
anaknya akan menimbulkan berbagai pendapat dan reaksi dari lingkungannya. Kata janda
dilingkungan masyarakat terlanjur berkonotasi negatif, sehingga segala tindakan dan
perkataan seorang janda begitu disorot oleh masyarakat. apalagi bila seorang janda itu
hidup di lingkungan pedesaan yang masyarakatnya masih tradisional. Pendapat
masyarakat dapat berpengaruh besar dalam kehidupan seorang janda.
Menjadi janda dengan anak merupakan suatu kehidupan yang baru bagi seorang
perempuan. Dulu ketika masih memiliki suami, suaminya yang melindungi dan memberi
status sosial baginya di dalam masyarakat karena di masyarakat Batak laki-lakilah yang
menjadi pemimpin keluarganya. Ketika seorang perempuan menjadi janda, masyarakat
selalu mempermasalahkan tindakannya tanpa memikirkan kebenaran yang ada.
Seorang janda mau tidak mau harus menghadapi segelintir persoalan sosial yang
muncul karena statusnya. Masyarakat seakan bebas berkomentar tentang kehidupannya,
mulai dari statusnya sebagai janda, cara dia berhubungan dengan orang lain, sampai soal
bagaimana ia mendapatkan uang untuk membiayai kehidupannya dan anaknya.
Kesalahan sekecil apapun atau sebenarnya bukan sebuah kesalahan yang dilakukan oleh
seorang janda dapat menimbulkan reaksi dalam masyarakat.
Dari pernyataan-pernyataan diatas,menunjukkan terbentuknya stereotipe dalam
masyarakat terhadap status perempuan sebagai janda. Dalam Fakih (1996), stereotipe
merupakan salah satu bentuk dari ketidak adilan gender. Ejekan ejekan tetangga yang
diterima oleh para janda di desa ini merupakan bentuk stereotipe yang berawal dari
penomorduaan janda sebagai perempuan yang tidak memiliki suami lagi dan dianggap
tidak mampu melakukan apa-apa. Ketidak hadiran laki-laki sebagai pemimpin keluarga
juga memacu munculnya ejekanejekan ini, karena laki-laki sebagai pemberi status dalam
masyarakat dan ketika seorang istri tidak memiliki suami lagi maka perempuan itu akan
kehilangan statusnya dalam masyarakat.

3. Persoalan Budaya
Budaya patriarkhat yang menjadikan laki-laki sebagai penerus dan pemimpin keluarga
pada suku Batak Toba menjadikan laki-laki lebih diutamakan dari pada perempuan.
Dalam budaya, perempuan selalu berada di posisi yang lemah. Laki-laki akan lebih
diperhatikan dan dipenuhi setiap kebutuhannya sementara perempuan kebutuhannya akan
16
lebih dibatasi pada ha-hal yang dianggap penting saja. Konstruksi budaya Batak yang
memposisikan laki-laki dan perempuan sering menimbulkan persoalan budaya pada
kehidupan seorang janda. Perempuan sebelum menikah dan sesudah menikah tidak
merubah posisinya dalam budaya Batak sekalipun seorang telah menjadi janda.
Status perempuan sebagai seorang janda malah akan semakin lemah dalam adat
karena ia sudah keluar dari keluarga asalnya sewaktu ia menikah. Tetapi, di keluarga
suaminya posisinya juga semakin tidak jelas karena ia sudah tidak memiliki suami lagi.
Dalam hak waris juga seorang janda sangat lemah posisinya, ia sama sekali tidak berhak
memiliki harta warisan suaminya apalagi bila seorang janda tidak memiliki anak laki-laki
maka warisan suaminya akan kembali pada keluarga suaminya.
Persoalan budaya lain yang dihadapi oleh seorang janda adalah mengenai status
anaknya. Seorang janda yang ingin menikah lagi dengan laki-laki diluar marga suaminya
akan kehilangan hak asuh anaknya secara adat.
Persoalan-persoalan budaya yang dihadapi oleh janda seperti tentang hak waris yang
sama sekali tidak berpihak padanya membuat janda kekurangan akses untuk dapat
bertahan. Keberadaan seorang perempuan sebagai pemimpin dalam keluarga sering
dipandang sebelah mata karena kemandirian yang berusaha diciptakan seorang janda
dalam membesarkan anaknya dianggap oleh masyarakat tradisional adalah sesuatu yang
mustahil dapat dilakukan perempuan.

Maka dari itu, ketika seorang perempuan menjadi janda persoalan yang muncul di
kehidupannya selain persoalan ekonomi adalah persoalan bagaimana ia mampu
membesarkan anaknya. Proses membesarkan anak yang juga memelurkan figur seorang
ayah untuk melengkapi pertumbuhan anak, dan akan menjadi sebuah persoalan bagi
seorang janda ketika suaminya tidak ada. Proses membesarkan anak meliputi bagaimana
ia dapat mengasuh anaknya dari kecil sampai dewasa dan dapat mandiri juga termasuk
sosialisasinya dalam masyarakat. Sementara itu, janda yang memiliki tanggungan anak
harus juga memikirkan bagaimana membagi waktunya untuk bekerja. Ketidakhadiran
seorang ayah bagi anak-anaknya menjadikan seorang janda harus mampu menggantikan
peran ayah bagi pertumbuhan anak-anaknya.

17
B. Strategi Para Perempuan Sebagai Orangtua Tunggal Menghadapi
Persoalan-persoalan Yang Muncul.
1. Strategi Ekonomi
Secara umum strategi ekonomi perempuan Batak Toba yang menjadi janda yaitu
para janda kebanyakan mencari penghasilan dari bertani di sawah. Selain itu, mereka
juga harus mencari penghasilan tambahan lain seperti bertenun dan mencari kayu.
Pembagian waktu dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini biasanya pagi hari
seorang janda akan pergi ke sawah sampai kira-kira jam lima sore setelah itu, ia
pulang ke rumah dan mulai bertenun. Terkadang bagi janda ia harus mengerjakan
lebih dari satu petak sawah jika ia tidak memiliki sawah sendiri bila ia hanya
mengerjakan hanya sepetak sawah, hasilnya harus dibagi dua dengan pemilik sawah
itu. Ini akan membuat penghasilannya tidak mencukupi apalagi kalau ia mempunyai
anak-anak yang masih kecil dan perlu disekolahkan. Bertenun juga ia lakukan untuk
menambah penghasilan, bertenun biasanya dilakukan pada waktu senggang setelah
pulang dari sawah. Dalam satu bulan rata-rata para janda ini dapat menghasilkan tiga
lembar kain ulos yang sederhana. Ini dapat mereka jual sekitar harga Rp.20.000 s/d
Rp.50.000. Mencari kayu rata-rata mereka tidak melakukannya setiap hari, mereka
mencari kayu dua atau tiga kali seminggu tetapi kalau mereka memiliki anak yang
cukup besar maka anaknya itu akan membantu ibunya mencari kayu. Kayu-kayu
bakar ini akan mereka jual ke pasar atau ke tetangganya. Harga jual kayu ini tidak
mahal,untuk satu ikat yang sedang mereka dapat menjualnya dengan harga Rp.2000
s/d Rp.3.000. sedangkan beras yang mereka hasilkan dari bersawah, mereka sisihkan
untuk keperluan makan dan selebihnya untuk dijual. Pertama kali panen mereka bisa
menjual per karung, tapi sebelum panen mereka menjual berasnya sedikit demi
sedikit itupun tidak dijual ke pasar hanya dijual kepada tetangga atau warung-
warung kecil di desa ini karena kalau berasnya sedikit pasar biasanya tidak mau
menerima. Bantuan ekonomi dari orang lain yaitu kerabat dari janda ini jarang
didapatnya karena itulah ia harus bekerja keras mendapatkan uang.
Dari penyataan di atas mengidentifikasikan fenomena bahwa perempuan Batak
memiliki kegigihan dalam mencari nafkah. Mereka akan berusaha keras dengan
bekerja apa saja walaupun pekerjaan itu tidak banyak menghasilkan uang. Berkaitan
dengan fenomena tersebut, Pratini (2002:85) mengatakan bagi perempuan desa
bekerja bukanlah masalah pilihan tetapi suatu tuntutan. Mereka harus bekerja demi

18
mempertahankan hidupnya bahkan bagi kebanyakan masyarakat desa, demi
menyambung hidupnya semua anggota keluarga yang dapat bekerja harus bekerja.
Kemiskinan telah membawa perempuan desa untuk bekerja dalam kondisi apapun,
betapapun buruknya imbalan yang mereka terima, betapapun beratnya kondisi kerja
mereka, karena mereka memang tidak memiliki kekuatan tawar menawar
(bargaining power) sama sekali.
Para janda yang bekerja lebih memiliki jaminan untuk kelangsungan hidupnya
dari pada janda yang tidak bekerja. Kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak,
mengharuskan janda memiliki pekerjaan apalagi ia memiliki anak yang masih kecil
dan tidak dapat membantunya bekerja, hal ini menyebabkan anak-anak akan
sepenuhnya tergantung pada penghasilan dirinya.Para janda di desa ini tidak ingin
sampai anak-anaknya putus sekolah karena itu dengan cara bekerja keras maka uang
yang dihasilkan dapat dikumpulkan untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

2. Strategi Sosial
Sewaktu menjadi janda para perempuan akan merasa kehilangan pegangan
hidupnya yaitu laki-laki (suaminya). Dalam masyarakat Batak, laki-lakilah yang
berperan sebagai pemimpim jadi, masyarakat akan lebih menghargai kehadiran laki-
laki daripada perempuan dalam adat. Hal ini sudah sangat melekat dalam kehidupan
masyarakat Batak dan ketika seorang perempuan menjadi janda ia awalnya akan
kehilangan kepercayaan diri karena merasa kehilangan sosok yang selam ini
dirasanya bisa melindunginya.
Strategi sosial yang dilakukan para janda Batak Toba agar terhindar dari
guncingan tetangga adalah selalu menjaga sikap karena ia yang dulu masih memiliki
suami dan ia sekarang tidak memiliki suami akan diperlakukan berbeda oleh
masyarakat karena itu, hal-hal yang bisa mereka lakukan sebagai wujud strategi
sosial menghadapi lingkungan adalah menjaga kelakuan seperti tidak boleh keluar
malam, tidak boleh sembarangan berbicara pada laki-laki dan yang paling penting
untuk menghindari segala guncingan seorang janda harus dapat membuktikan dapat
mengurus anak-anaknya dengan baik.

19
3. Strategi Menghadapi Budaya
Masyarakat Batak dengan budaya patrilinealnya sangat asing terhadap
kemandirian perempuan sebagai orangtua tunggal. Seorang janda secara sadar
menyadari bahwa budaya yang telah ada sejak lama tidak bisa diubahnya yang bisa
dilakukan hanya bertahan dari budaya yang tidak berpihak pada statusnya. Seorang
janda harus bisa membawa dirinya mengikuti arus budaya, apalagi ia seorang
perempuan bermarga dan tinggal di wilayah pedesaan.
Hal-hal yang dapat dilakukan perempuan janda Batak Toba menurut informasi
yang penulis dapat hanyalah berusaha membuktikan bahwa ia dapat mengurus
anaknya dengan baik dan juga dapat menjaga nama baik marga suaminya. Dengan
mengurus anaknya dengan baik, ia akan mendapat nilai lebih sebagai seorang
perempuan yang bertanggungjawab. Anak adalah harta yang sangat berharga bagi
orang Batak. Dengan sungguh-sungguh mengurus anaknya, ia telah memperpanjang
garis keturunan marga suaminya. Apalagi bila ia berhasil menjadikan anaknya
seorang yang sukses. Itulah salah satu cara perempuan Batak Toba untuk
menghadapi budaya.
Selain itu, cara yang digunakannya untuk dapat mengahadapi budaya, ia harus
tetap berbakti kepada keluarga suaminya seperti menjaga mertuanya. Hal ini
dilakukan oleh sebagian perempuan Batak Toba, menurut mereka terus merawat
mertuanya dan tinggal bersamanya walaupun suaminya telah meninggal dunia. Itulah
salah satu penghormatan yang dapat diberikan seorang janda pada keluarga
suaminya. Selanjutnya mereka juga tetap hadir dalam acara-acara adat marga
suaminya agar ia tidak dikatakan melupakan keluarga suaminya.

20
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Keluarga merupakan lembaga yang sangat penting dalam proses pertumbuhan seorang
anak. Di dalam sebuah keluarga anak dapat belajar tentang nilai-nilai kehidupan serta dapat
mempelajari karakter orang lain sehingga ia dapat masuk ke lingkungan masyarakat.
Keluarga merupakan unit sosialisasi terkecil dalam masyarakat, anak-anak dapat belajar
berkomunikasi dengan orang lain, dapat memposisikan dirinya, dan dapat belajar untuk
menghormati orang lain. Idealnya dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, bila
seorang ayah tidak ada maka tugas ibu menggantikan posisi ayah dalam keluarga. Seorang
ibu yang menjadi orangtua tunggal harus dapar mengendalikan kondisi sehingga ana-anaknya
tidak mengalami ketimpangan kasih sayang. Seorang perempuan yang menjadi orangtua
tunggal sering mengalami kesulitandari masalah ketergantungan. Apalagi budaya yang berada
di sekitar perempuan itu tidak mendukung usahanya. Ketergantungan perempuan kepada laki-
laki akan mempengaruhi seorang perempuan dalam tindakan dan kegiatan yang dipilihnya.
Seorang perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anak harus segera keluar dari
ketergantungan pada suaminya karena sikap seorang perempuan yang menjadi orangtua
tunggal ini sangat diperlukan untuk mempertahan kelangsungan hidup keluarganya dan yang
lebih khusus agar seorang perempuan dapat membesarkan anaknya dengan baik. Budaya
sering menghalangi perempuan untuk dapat mandiri. Secara tidak langsung melalui setiap
aturan-aturan yang melemahkan posisi perempuan dalam adat. Seperti dalam lokasi penelitian
ini yang berada dalam lingkungan masyarakat Batak Toba yang masih kental dengan aturan
adatnya. Dalam budaya Batak Toba posisi perempuan selalu dinomorduakan setelah laki-laki.
Laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan lebih rasional daripada perempuan sehingga
perlakuan masyarakat terhadap laki-laki lebih diutamakan dibandingkan perempuan.

Perempuan bila telah menikah akan mengikuti keluarga suaminya. Suami akan memberi
status baginya dalam sistem kekerabatan. Ketika suaminya telah meninggal seolah status
seorang perempuan menjadi kabur dan sering dilupakan oleh kerabat suaminya. Sehinggga
memunculkan berbagai persoalan berupa persoalan ekonomi, persoalan sosial, persoalan
budaya, persoalan mengurus anaknya sampai persoalan batin yang dialami oleh seorang
janda.

21
Untuk menghadapi persoalan-persoalan itu seorang janda harus memiliki berbagai
strategi yang harus digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Strategi itu
muncul dari pengalaman hidupnya dan proses pembelajaran yang didapatkan dari lingkungan.
Seorang janda sebagai perempuan tidak dibekali keahlian seperti pendidikan yang cukup
untuk bekalnya menghadapi masalah yang mungkin dapat terjadi.

Dari keseluruhan masalah yang dialaminya dan seluruh pengorbanan yang dilakukannya,
seorang janda mampu melakukannya dengan satu alasan yaitu agar anak-anak dapat tumbuh
dengan baik. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang janda tidak akan
berarti lagi ketika dirinya dapat melihat anaknya tumbuh besar dan dapat sukses karena hasil
didikannya. Bagi seorang perempuan yang menjadi ibu, anak adalah segala-galanya
pengorbanan yang dirasakan orang lain berat tetapi baginya dapat melakukannya demi anak-
anaknya. Seorang ibu dan anak memiliki ikatan bathin khusus yang terjadi melalui proses
alami.

B. Saran
Seorang janda sebagai seorang perempuan berhak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak mengingat tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga dan mengurus anak-
anaknya. Sudah seharusnya masyarakat tidak memandang rendah statusnya sebagai
janda,karena usahanya sangat besar untuk dapat menghidupi keluarganya. Seorang janda
haruslah memiliki keahlian untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Diskriminasi terhadap
janda dan perempuan haruslah dihilangkan,karena akan merugikan perempuan dan anak-
anaknya. Untuk itu diharapkan supaya Biro Pemberdayaan Perempuan dapat melihat
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh janda dan dapat memberikan bantuan sesuai dengan
kebutuhan dari janda ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Reza, Jeko Iqbal. 2015. “Perempuan Batak Toba”,


https://node2.123dok.com/dt03pdf/123dok/000/036/36205.pdf.pdf?X-Amz-Content-
Sha256=UNSIGNED-PAYLOAD&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-
Credential=aa5vJ7sqx6H8Hq4u%2F20211214%2F%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-
Date=20211214T103049Z&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=600&X-Amz-
Signature=6f722dab0029e851ef14bed6df0274d70ce2fef0266750b9d73b86cd71110276

, diakses pada 14 Desember 2021 pukul 09.00.

Unknown. 2015. “Makalah Karya Ilmiah”, https://www.scribd.com/doc/246811184/Makalah-


Karya-Ilmiah, diiakses pada 14 Desember 2021 pukul 10.00.

23

Anda mungkin juga menyukai