Anda di halaman 1dari 66

KEGIATAN EKSTRAMURAL Tanggal Pelaksanaan

FKH 522
KESEHATAN SAPI (06/12/2021-02/01/2022)

LAPORAN KEGIATAN
PRAKTIK LAPANGAN KESEHATAN SAPI PERAH
DI PT NUSANTARA AGRI SEJATI
KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Oleh:
Evi Inayati, SKH B9404202088
Ginanjar Retno Saputro, SKH B9404202091
Neka Putri Pratama, SKH B9404202123
Ervi Juliani, SKH B9404202127

Kelompok G
PPDH Periode II Tahun Ajaran 2020/2021

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
ii

KEGIATAN EKSTRAMURAL Tanggal Pelaksanaan


FKH 522
KESEHATAN SAPI (06/12/2021-02/01/2022)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Laporan : Laporan Kegiatan Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah


di PT Nusantara Agri Sejati Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Nama (NIM) : Evi Inayati, SKH B9404202088


Ginanjar Retno Saputro, SKH B9404202091
Neka Putri Pratama, SKH B9404202123
Ervi Juliani, SKH B9404202127

Disetujui oleh

Pembimbing Bagian Reproduksi


Dr Drh Yudi, MSi ................................
NIP 197402061999031001

Pembimbing Bagian Klinik


Drh R. Harry Soehartono, MAppSc, PhD ................................
NIP 196009231986011001

Diketahui oleh

Koordinator Mata Kuliah


Praktik Lapangan Kesehatan Sapi
Drh Riki Siswandi, PhD ................................
NIP 198308242009121005

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan


Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Prof Drh Ni Wayan Kurniati Karja, MP, PhD. ................................
NIP 196902071996012001

Tanggal Pengesahan:
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Masa Esa yang senantiasa
memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan kegiatan
dan laporan Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah di PT. Nusantara Agri Sejati
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan yang
kami lakukan dari tanggal 06 Desember 2021 sampai 02 Januari 2022.
Ucapan terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan saran kepada pihak-pihak
yang telah membantu kami selama melakukan kegiatan dan menyusun laporan ini,
diantaranya:
1. Pimpinan PT. Nusantara Agri Sejati dan Bapak Adirangga Fahrudin SPt
sebagai manager PT. Nusantara Agri Sejati yang telah mengizinkan
pelaksanaan kegiatan Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah.
2. Bapak Drh M. Alfinanda Satriagung selaku Pembimbing Lapangan serta para
pegawai PT. Nusantara Agri Sejati yang telah memberikan bimbingan dan
pelatihan selama Praktik Lapangan Sapi Perah di PT. Nusantara Agri Sejati.
3. Dr Drh Yudi, MSi dan Drh R. Harry Soehartono, MAppSc, PhD selaku dosen
pembimbing Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah bagian reproduksi dan
bagian klinik.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dari laporan Praktik Lapangan
Kesehatan Sapi Perah ini. Semoga memberikan manfaat.

Sukabumi, 27 Desember 2021

Penulis
iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN II
KATA PENGANTAR III
DAFTAR ISI IV
DAFTAR TABEL V
DAFTAR GAMBAR V
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Kegiatan 2
Manfaat Kegiatan 2
PELAKSANAAN KEGIATAN 2
Waktu dan Tempat Kegiatan 2
Deskripsi Kegiatan 2
PROFIL PERUSAHAAN 3
HASIL KEGIATAN PRAKTIK LAPANGAN 4
MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH INDUSTRI 4
Manajemen Milking 4
Manajemen Pedet 10
Manajemen Pakan 11
PELAYANAN INSEMINASI BUATAN 15
PELAYANAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN 17
PENANGANAN SAPI POST PARTUS 19
PENANGANAN KASUS REPRODUKSI 21
Distokia 21
Retensi Plasenta 23
Abortus 25
Metritis 28
PENANGANAN KASUS KLINIK 32
Downer Cow Syndrome (DCS) 32
Artritis 34
Mastitis Klinis 36
Indigesti Rumen 39
DAFTAR PUSTAKA 42
DAFTAR LAMPIRAN 47
v

DAFTAR TABEL

1 Jenis hijauan dan konsentrat 11


2 Bahan penyusun pakan induk kering 13
3 Bahan penyusun pakan induk transisi 14
4 Rekapitulasi Kegiatan Pelayanan Pemeriksaan Kebuntingan tanggal 24 Desember
2021 oleh mahasiswa didampingi oleh Petugas PT Nusantara Agri Sejati 18
5 Kriteria penilaian pemeriksaan kebuntingan dengan metode palpasi rektal 18

DAFTAR GAMBAR

1 Penggiringan sapi 5
2 Milking Parlor 5
3 Bagian-bagian mesin perah portabel 6
4 Bagian-bagian teat cup 6
5 Pemberian kolostrum pada pedet 10
6 Kandang pedet 11
7 Jenis pakan ternak 12
8 Sapi yang mengalami distokia 21
9 Plasenta yang belum terlepas 15 jam post partus 24
10 Fetus yang telah mati lahir secara normal 26
11 Leleran metritis 28
12 Treatment spull antibiotik intrauterine 31
13 Obat dan alat 31
14 Kondisi sapi kesulitan berdiri 32
15 Arthritis pada persendian ekstemitas kaki kanan depan 34
16 Kondisi ambing sapi bengkak, memerah, dan susu tidak normal 36
17 Pemberian antibiotik pada sapi mastitis 37
18 Kondisi sapi indigesti rumen 40

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rekam Medik Sapi nomor 18114 kasus metritis 47


2 Rekapan kasus harian 49
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi perah merupakan komoditi ternak yang menghasilkan susu paling


besar dibandingkan komoditi ternak lainnya. Kebutuhan susu di Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya, akan tetapi produksi susu segar dalam negeri baru
mampu memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional sebesar 30% dan 70%
sisanya bergantung pada impor. Adanya peningkatan dari kebutuhan susu nasional
harus diiringi dengan peningkatan populasi dari ternak sapi perah. Berdasarkan hal
tersebut, bisnis sapi perah merupakan peluang yang besar untuk mencukupi
kebutuhan susu di Indonesia. Kebutuhan susu masyarakat Indonesia sampai saat ini
belum terpenuhi oleh produk lokal yang menyebabkan Indonesia terpaksa harus
melakukan impor susu. Tingginya impor susu dari luar negeri mengakibatkan
timbulnya kerugian langsung pada peternakan sapi perah di Indonesia. Selain itu
banyak dari impor susu menyebabkan terkurasnya devisa nasional, hilangnya
kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau tidak
dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis
persususan, serta hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh pemerintah
dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik (Agustina 2016).
Usaha peternakan sapi perah baik dalam skala kecil ataupun skala industri dapat
menjadi salah satu solusi dari permasalahan di atas. Penerapan manajemen
pemeliharaan sapi yang baik akan berdampak pada produktivitas susu yang tinggi
sehingga akan mampu meningkatkan jumlah produksi susu nasional setiap
tahunnya.
PT. Nusantara Agri Sejati merupakan salah satu perusahaan peternakan sapi
perah yang ada di Indonesia tepatnya di Desa Margaluyu, Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Produk yang dihasilkan perusahaan ini adalah
produk susu segar atau fresh milk. Diperkirakan total ternak yang dimiliki saat ini
oleh PT Nusantara Agri Sejati adalah kurang lebih 300 ekor.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi susu
nasional yaitu dengan cara mengoptimalkan produktivitas sapi melalui pengadaan
bibit unggul, perbaikan manajemen pakan dan pemeliharaan yang baik, serta
perawatan yang tepat. Pencegahan kejadian penyakit perlu dilakukan guna
menghindari turunnya produktivitas sapi. Dokter hewan memiliki peranan penting
dalam manajemen kesehatan sapi perah. Pengetahuan, keterampilan, serta
pengalaman sangat diperlukan bagi bekal seorang calon dokter hewan di masa
depan. Berdasarkan hal tersebut Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melakukan kerjasama dengan
PT. Nusantara Agri Sejati untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL)
kesehatan sapi agar mahasiswa PPDH memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
2

pengalaman yang cukup dalam penanganan manajemen kesehatan sapi perah serta
ikut membantu pelaksanaan kegiatan yang dilakukan di perusahaan.

Tujuan Kegiatan

Tujuan dari kegiatan praktik lapangan di PT. Nusantara Agri Sejati untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam mengetahui manajemen dan
kesehatan reproduksi sapi perah, mengenal gangguan reproduksi sapi perah,
manajemen pemeliharaan pedet, serta menambah pengalaman dalam menentukan
diagnosa, prognosa, terapi, dan melatih keterampilan penerapan teknologi
reproduksi.

Manfaat Kegiatan

Manfaat kegiatan praktik lapang ini adalah meningkatkan pengetahuan,


kemampuan, keterampilan, wawasan dan pengalaman mahasiswa PPDH FKH IPB
dalam bidang kesehatan sapi perah untuk mempersiapkan calon dokter hewan yang
mampu dan terampil dalam bidang kesehatan sapi perah, serta menjalin kerjasama
yang baik antara mahasiswa, pihak kampus, mitra, dokter hewan di lapang serta
berbagai instansi terkait.

PELAKSANAAN KEGIATAN

Waktu dan Tempat Kegiatan

Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 06 Desember 2021 – 02 Januari 2022.


Kegiatan dilaksanakan di PT. Nusantara Agri Sejati yang terletak di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
Deskripsi Kegiatan

Kegiatan dilaksanakan dengan mengikuti kegiatan pelayanan yang


dilakukan oleh dokter hewan dan paramedik yang bertugas setiap hari. Kegiatan
yang dilakukan berupa pemeliharaan dan manajemen sapi, manajemen reproduksi
sapi, penanganan pre partus dan post partus, manajemen kesehatan hewan,
penanganan penyakit klinik dan reproduksi. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin
mulai hari Senin hingga Minggu pukul 07.00 – 16.00. Berbagai pelaksanaan
kegiatan dibimbing oleh pembimbing lapang yang disesuaikan dengan setiap
kegiatan.
3

PROFIL PERUSAHAAN

PT Nusantara Agri Sejati beralamat di Jalan Batusela Kampung Lernahdulur,


RT 01/11, Desa Margaluyu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Perusahaan ini memiliki luasan sebesar ±27,6 Ha dengan total 3 buah
kandang yang berukuran sekitar 5.000 m 2 dengan jarak antar kandang sejauh 28
m. PT Nusantara Agri Sejati memiliki batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan tanah milik PTPN 8 Goalpara
2. Sebelah selatan berbatasan dengan tanah masyarakat
3. Sebelah timur berbatasan dengan Jalan desa Lemahdulur
4. Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Cimuncang
Topografi daerah sekitar perusahaan berbentuk lereng dan puncak dengan
ketinggian tempat 1.050 meter di atas permukaan laut. Suhu lingkungan daerah ini
berkisar 18-24˚dengan kelembaban udara 85-90%.
PT Nusantara Agri Sejati adalah perusahaan peternakan yang berproduksi
menghasilkan susu segar. Sebelum PT Nusantara Agri Sejati berdiri, lahan yang
digunakan masih berupa lahan perkebunan milik Bapak Oyo Ardiwinata, lalu pada
tahun 2014 berpindah kepemilikan kepada Bapak Sungkono Honoris. Populasi sapi
di PT Nusantara Agri Sejati (NAS) saat ini berjumlah 280 ekor dengan jenis sapi
Friesian Holstein (FH). PT NAS secara legalitas didirikan pada tanggal 24
November 2014 Adapun perijinan-perijinan yang dimiliki oleh perusahaan adalah
sebagai berikut.
1. Surat izin Lingkungan, dengan ditandatangi oleh warga setempat
2. Surat keterangan Domisili perusahaan yang dikeluarkan oleh Desa
Margaluyu
3. Rekomendasi Perusahaan yang dikeluarkan oleh kecamatan Sukaraja
4. Surat Rekomendasi Perusahaan dari dinas Peternakan kabupaten
Sukabumi
5. Izin Usaha Petemakan yang dikeluarkan oleh Badan Penanaman Modal
dan Perizinan Terpadu (BPMPT), Nomor 0220101510657
6. Surat izin usaha perdagangan
7. Surat izin lokasi
8. ANDAL (Persetujuan ANDAL, RKL/RPL) Kawasan Peternakan Sapi
Perah Terpadu PT. Nusantara Agri Sejati No. 660.1/1825/BLH,
diterbitkan pada tanggal 21 Juli 2014
9. Nomor Pokok Wajib Pajak, dengan nomor 72264.734_4-505.000
10. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) No. 165/AC.1.7/31.75/-I
.824.27/e/2019 yang diterbitkan pada tanggal 25 Februari 2019
11. Izin Pernanfaatan Tanah No 503 9/4906f1PPT-DPMPT/2014 yang
diterbitkan pada tanggal 06 November 2014
4

HASIL KEGIATAN PRAKTIK LAPANGAN

MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH INDUSTRI

Manajemen Milking

Pemerahan merupakan kegiatan mengeluarkan susu dari ambing ternak


perah laktasi dengan tenang, wajar dan tanpa menyakiti ternak. Sapi yang dipelihara
di PT Nusantara Agri Sejati merupakan jenis sapi Friesien Holstein (FH). Jumlah
populasi sapi perah yang berada di PT Nusantara Agri Sejati pada bulan Desember
2021 yaitu sebanyak 279 ekor. Manajemen pemerahan di PT Nusantara Agri Sejati
meliputi pra-pemerahaan, proses pemerahan, dan pasca pemerahan. Pada PT
Nusantara Agri Sejati dengan jumlah sapi laktasi ratusan, pemeliharaan dilakukan
di kandang freestall dan lokasi pemerahan pada tempat khusus yaitu milking parlor.
Pada milking parlor (parallel stall system), sekali proses pemerahan bisa digunakan
untuk 50-100 sapi perah laktasi dan susu langsung mengalir melalui pipa stainless
steel menuju cooling unit. Sapi yang diperah yaitu berasal dari kandang 3A6
(Fresh), 3B1 (Peak), 3B2 (Early Lactacy) 3B3 (Suckling).

Persiapan Pemerahan (pra-pemerahan)


Persiapan pemerahan merupakan kegiatan yang dilakukan atau
dipersiapkan sebelum pelaksanaan pemerahan atau pengeluaran susu dimulai.
Kegiatan ini meliputi membersihkan kandang, penyiapan alat pemerah, pemerah,
ternak yang akan diperah dan memberikan rangsangan pada ambing. Kegiatan pra
pemerahan dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu. Sapi perah yang
mendapatkan rangsangan atau pemijatan ambing sebelum pemerahan dapat
meningkatkan produksi karena terlepasnya hormon oksitosin secara optimal. Jika
kandang, lokasi pemerahan, alat pemerahan, pemerah dan ternak dalam keadaan
tidak bersih atau higienis maka dapat menurunkan kualitas susu.
Menurut Sudono et al. (2008) tahap persiapan pemerahan (pra-pemerahan)
meliputi sanitasi kandang, membersihkan tubuh sapi, mengikat ekor, mencuci
ambing dan putting. Prosedur pra pemerahan di PT NAS meliputi memastikan
milking parlor dan cooling unit disiapkan dan dalam keadaan bersih. Selain itu juga
dilakukan pengecekan alat yaitu memasangkan filter susu, membuang air sisa Clean
In Place (CIP), memastikan selang susu terhubung ke cooling tank, mengecek
kondisi kompresor dan pompa milking, melepaskan cluster dari jetter. Setelah itu
sapi dikeluarkan dari kandang dan digiring melalui gang way menuju holding area.
Sesampainya di milking parlor, sapi perah masuk ke gate pemerahan, ambing di
bersihkan dengan air hangat dan di pijat ringan, di lap kering. Setelah itu dilakukan
pencelupan puting dengan larutan iodine, dilakukan fore stripping, menyalakan
mesin vacum dan selanjutnya teat cup dipasang untuk memulai proses pemerahan.
Waktu pemerahan dilaksanakan pada pagi hari pukul 07.00-08.30 WIB. Interval
5

antara pemerahan terhadap produksi susu akan dipengaruhi oleh karakter individu
sapi, misalnya kapasitas ambing, lama laktasi, dan jumlah susu yang biasa
diproduksi (Resla 2019).

a b

Gambar 1 Penggiringan sapi (a) Gangway (b) Holding Area

Pemerahan
Pemerahan merupakan bagian dari seluruh pekerjaan pada usaha ternak sapi
perah untuk memperoleh susu dari sapi perah. Produksi / sekresi susu oleh sapi
terjadi secara terus menerus mengikuti mekanisme fisiologis di dalam ambing. Susu
yang dihasilkan diambil untuk kebutuhan pedet dan selebihnya dihitung sebagai
hasil produksi. Tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan oleh seekor sapi
pada dasarnya ditentukan oleh sifat genetisnya, namun sebagian besar dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti: pakan, teknik pemerahan, iklim dan cuaca.
Pelaksanaan pemerahan harus dilakukan dengan baik dan benar untuk menghindari
kerusakan ambing dan menghindari infeksi penyakit mastitis yang sangat
merugikan peternak.
PT. Nusantara Agri Sejati melakukan pemerahan dengan mesin yang
disebut milking parlor. Stall milking parlor terdiri dari dua baris dengan masing
masing baris dapat menampung 16 ekor sapi sehingga total sapi yang dapat
ditampung sebanyak 32 ekor. Pemerahan dengan mesin menggunakan suatu
tekanan negatif atau hampa guna mengeluarkan susu serta mengurut (massage)
ambing. Hal ini dapat terjadi karena mesin pemerah dirancang menggunakan 2
sistem hampa udara yaitu hampa kontinyu dan hampa berseling. Sistem hampa itu
diterapkan pada instalasi berupa mangkuk puting (teat cup).

Gambar 2 Milking Parlor


6

Pada umumnya mesin perah dirakit mengikuti prinsip pedet menyusu.


Tekanan negatif atau hampa dihasilkan dari pompa vacuum dan pulsator yang
berfungsi mengatur secara berselang seling keadaan hampa dan keadaan bertekanan
pada proses pemerahan. Secara umum mesin perah terdiri dari 5 bagian utama yaitu:
pompa vakum, pulsator, milk claw, teat cup dan wadah susu (bucket).
Bagian-bagian mesin perah secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Bagian-bagian mesin perah portabel

Sistem hampa oleh kinerja pompa vakum diterapkan pada teat cup yang
kontak langsung dengan puting sapi. Teat cup memiliki dua bagian yaitu dinding
bagian luar (shell) dan dinding fleksibel bagian dalam (liner). Bagian teat cup dapat
dilihat di Gambar 4.

Gambar 4 Bagian-bagian teat cup

Prosedur pemerahan dengan menggunakan mesin perah berikut adalah


tahapan yang dilakukan:
1. Penggiringan sapi
Buka pintu milking parlor kemudian sapi masuk ke stall milking parlor yang
dilengkapi sensor identitas sapi. Tutup gate setelah stall terisi penuh
kemudian periksa nomor telingaentitas sapi terbaca. Selanjutnya periksa
notifikasi obat.
7

2. Cleaning.
Membersihkan ambing dan puting dengan bersih menggunakan air bersih
dan handuk secara individu untuk menjamin kebersihan dan mengurangi
penularan penyakit.
3. Untuk menjamin puting dalam keadaan aseptik dapat dilakukan pencelupan
puting kedalam cairan antisetik (pre- dipping). Biarkan larutan antiseptik
bekerja 30-40 detik untuk memastikan bakteri mati.
4. Stripping.
Mengeluarkan pancaran air susu pada pemerahan pertama satu hingga 3
pancaran, hal ini berguna untuk mengecek kemungkinan adanya keadaan
susu yang abnormal (kemungkinan adanya mastitis).
5. Drying.
Keringkan air susu pada puting setelah stripping menggunakan kain lap
yang bersih.
6. Milking.
Pasang alat pemerah dalam hal ini teat cup pada puting sapi dengan baik
dalam waktu 30 hingga 60 detik setelah proses cleaning dan stripping. Hal
ini memungkinkan pemanfaat maksimum atas terjadinya proses milk let
down pada ambing. Kemudian pemerahan dilakukan dengan tuntas hingga
susu sudah tidak keluar, dengan cara petugas perah (milker) mengecek
mangkuk susu (claw) apakah masih terisi susu atau sudah kosong yang
menunjukkan susu telah terperah tuntas. Jika pemerahan selesai teat cup
dilepas untuk menghindari overmilking yang akan berdampak pada
kerusakan puting dan jaringan ambing sapi.
7. Post-dipping. Pencelupan kembali puting ke dalam larutan antiseptik.
8. Sapi keluar dari stall milking parlor dan tempat serta alat pemerahan dari
kotoran dibersihkan setelah selesai pemerahan.

Pasca Pemerahan
Pasca pemerahan dimulai dengan pencelupan putting dengan larutan iodine,
sanitasi area pemerahan, sterilisasi peralatan dengan menggunakan clean in place
(CIP), dan pencatatan produksi. Penyimpanan peralatan dan wadah harus dalam
keadaan bersih. Proses pembersihan peralatan dengan cara tekan zone down pada
touchpoint dan bersihkan cluster. Cluster yang telah bersih dimasukan pada jetter
dilanjutkan dengan recovery di cooling room. Tampung sisa susu dari selang susu
dan dilakukan pendorongan susu selama 3 menit dengan 6-7 kali pengulangan dan
dilakukan penutupan jalur susu. Periksa monitor tangki dalam keadaan cooling
mode dan pindahkan selang susu ke jalur CIP untuk dilakukan washing.
Proses CIP dilakukan setiap hari setelah selesai pemerahan dengan prosedur
sebagai berikut :
a. Pembilasan dengan air biasa 10 menit
8

b. Detergen phase filing 4 menit dan phase circulating 7 menit, Phase


draining 3 menit dan phase drying 45 detik.
c. Pembersihan dengan air panas phase filling 2 menit 45 detik, circulating
3 menit 30 detik, draining 4 menit, serta drying 45 detik.
d. Pembersihan dengan Acid yaitu filling 3 menit, circulating 7 menit,
draining 3 menit, dan drying 45 detik. Sehingga total waktu untuk proses
CIP adalah 45 menit.
Proses setelah dilakukan CIP adalah pembersihan area milking pada empat
sektor. Sektor 1 terdiri dari cooling tank berukuran 3000 liter, Acid, dan deterjen.
Sektor 2 terdiri dari cooling tank, saringan susu, dan heater. Sektor 3 terdiri dari
tempat penimbangan susu dan penyimpanan sementara sebelum dialirkan ke
cooling tank. Sektor 4 terdiri dari milking parlor. Setelah pemerahan ternak dapat
diberikan pakan, selain untuk membuatnya nyaman juga untuk tidak memberi
kesempatan ternak rebahan (lying) setelah dilakukan post-dipping agar puting tetap
terlindung cairan antiseptik hingga lubang puting benar-benar tertutup kembali.

Penyimpanan Susu dan Quality Control di Cooling tank


Susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat
diminum atau diolah sebagai bahan makanan yang aman dan sehat (Hadiwiyoto
1994). Untuk menghasilkan susu yang baik harus memperhatikan hygiene dan
sanitasi pada saat proses pemerahan, karena dapat memperkecil timbulnya bakteri
dalam susu. Nilai gizi yang tinggi menyebabkan susu menjadi media yang sangat
cocok bagi mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga
dalam waktu yang sangat singkat susu menjadi tidak layak dikonsumsi. Susu yang
sudah diperah akan dialirkan dan disimpan di cooling tank. Penyimpanan
diprioritaskan pada cooling tank dengan kapasitas 3000 liter untuk efisiensi dan
fungsionalitas cooling tank tersebut.
Pencatatan tanggal claster row milk pertama yang disimpan pada cooling tank
"kosong". Apabila cooling tank 3000 liter telah penuh, pindahkan pada cooling tank
berkapasitas 20000 liter. Monitoring suhu cooling tank setiap 4 jam. Pastikan suhu
penyimpanan berada pada 2-5⁰C agar bakteri dalam keadaan darmon (menghambat
perkembangan bakteri) suhu normal penyimpanan pada cooling tank berkapasitas
3000 liter yaitu 0-4⁰C dan suhu normal pada cooling tank berkapasitas 20000 liter
yaitu 2-4⁰C. Ketentuan waktu penyimpanan susu pada cooling tank di PT NAS
yaitu selama 3 hari setelah itu harus segera dijual, bertujuan agar kualitas susu tetap
terjaga. Namun yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) susu segar No.
01-3141-1992 untuk dikonsumsi, yaitu susu sapi segar yang disimpan selama 6 jam
pada suhu 4⁰C.
Penjualan susu biasanya di lakukan tiga kali dalam seminggu pada hari senin,
rabu, dan jumat serta dilakukan pada dini hari untuk mencegah kerusakan susu.
Masa simpan (lifetime) maksimal susu murni di cooling tank adalah 5 hari jejak
pertama dikumpulkan. Apabila terdapat kendala teknis, seperti mati listrik PLN
9

lebih dari 6 jam maka lakukan hal berikut: (l) Segera buat acara berita, (2) Catat
suhu awal sejak listrik pertama mati, (3) Uji kualitas susu secara berkala, (4)
Apabila kualitas susu terjaga dengan baik maka kirim stok susu tersebut, (5)
Apabila terjadi kerusakan kualitas karena hal teknis mati listrik dan tidak ada atau
tidak berfungsi genset, maka susu akan di reject. Cek berkala kondisi cooling tank
meliputi: agitator, akurasi suhu pada monitor tank glycol. Tutup atas dan tutup
bawah cooling tank dipastikan terjaga keamanannya.

Pencatatan Produksi Susu


Susu merupakan hasil yang diperoleh dari pemerahan sapi atau ternak lain
tanpa menambah atau mengurangi komponen-komponen campuran lainnya.
Pencatatan produksi susu di PT. Nusantara Agri Sejati ini dilakukan secara
automatis menggunakan SmartDairy®. Pencatatan susu sangat penting untuk
mengetahui jumlah produktivitas susu yang dihasilkan. SmartDairy® mencatata
tanggal produksi susu, waktu perah per ekor, total waktu perah, jumlah sapi yang
diperah, jumlah produksi susu per ekor, jumlah produksi susu per jam, jumlah sapi
yang diperah per jam.
Kuantitas produksi susu dipengaruhi oleh pemberian pakan, jumlah air
minum, interval pemerahan, dan luas kandang (Agustina 2015). Pengaruh
penurunan susu diakibatkan dari pemberian pakan konsentrat yang tidak memenuhi
kebutuhan sehingga berdampak pada produksi susu. Jumlah air yang diberikan
untuk konsumsi sapi karena air selalu tersedia dikandang. Sapi laktasi dibagi
menjadi empat grup berdasarkan DIM. Laktasi awal 1-30, laktasi tengah 31120,
laktasi akhir.121-210, IO. Pada bulan desember dan januari produksi susu
mengalami penurunan karena setiap laktasi menghasilkan susu yang stabil dan
berakhir sampai terjadi penurunan produksi susu. Puncak produksi susu pada hari
35-50 hari setelah beranak dan akan mengalami penurunan produksi rata-rata 2,5%
per minggu (Siregar 2010).

Pengujian Kualitas Susu


Pengujian kualitas susu di uji menggunakan Lactoscan dan pH meter. Uji
kualitas susu sapi perah dilakukan setiap hari sesudah kegiatan pemerahan. Susu
yang diambil untuk akan di uji menggunakan sampel sebanyak 250 ml dengan lama
pengujian selama 3 menit. Nusantara Agri Sejati menghasilkan susu yang secara
umum sudah memenuhi SNI No. 01-3141-2011 tentang syarat mutu susu segar
sehingga dapat di konsumsi oleh masyarakat.
Pengujian kualitas susu dilakukan dengan cara uji kualitas mikroorganisme
(Total Plate Count) dan uji alkohol. Susu yang rusak kebanyakan di sebabkan oleh
aktivitas mikroorganisme yaitu penggumpalan susu yang timbul tanpa menurunkan
pH diakibatkan oleh bakteri Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang
mencerna lapisan tipis fosfolipid di sekitar butir-butir yang menyatu dan timbul di
10

permukaan. Penilaian produksi susu sering digunakan sebagai tolak ukur kualitas
susu terhadap komposisi susu dan keadaan fisik susu.
Uji kualitas susu dapat ditinjau dari uji alkohol, uji derajat asam, dan angka
katalase yang merupakan pemeriksaan terhadap keadaan susu yang berguna untuk
memeriksa dengan cepat keasaman susu, menentukan adanya kuman-kuman pada
air susu (Hadiwiyoto 1994). Uji alkohol bertujuan untuk memastikan kualitas susu
terjaga dan tidak pecah. Faktor yang mempengaruhi kualitas susu yang memenuhi
standar yaitu karena sistem pemerahan dilakukan dengan menggunakan mesin
perah pipeline sistem yang secara otomatis susu disalurkan ke cooling tank. Susu
segar mengandung bakteri pembentuk asam seperti Streptococcus, Lactobacillus,
Leuconostoc dan Pediocossus.

Manajemen Pedet

Manajemen pemeliharaan pedet pada PT NAS diawali dengan penanganan


pedet post partus. Pedet yang baru saja lahir dibiarkan bersama induknya untuk
dijilati dan dibersihkan selama 15-30 menit. Kemudian tali pusar dipotong oleh
petugas kandang sepanjang 3-5 cm dari pangkal lalu dicelupkan dengan larutan
iodin untuk mencegah terjadinya infeksi. Pedet kemudian dipisahkan dari induknya
dan dipindahkan ke dalam boks pedet yang ada pada bagian hospital PT NAS.
Setelah itu, dilakukan recording yang meliputi tanggal lahir, jenis kelamin, dan
catatan kelahiran (assist atau normal). Kolostrum induk segera diperah dan
langsung diberikan pada pedet sebanyak 2 liter melalui dot khusus. Kolostrum
memiliki konsistensi yang lebih kental dari pada susu segar dan berwarna agak
kekuningan, serta mengandung imun untuk membantu pedet terhindar dari penyakit
(Khotimah dan Farizal 2013). Pemberian kolostrum diberikan selama 2 hari dengan
durasi pemberian 2 kali sehari. Selepas pemberian kolostrum selama 2 hari, pedet
akan diberikan susu segar sebanyak 3 liter pada pagi dan sore hari. Pedet yang baru
lahir diberikan identitas berupa ear tag di telinga kiri dan RFID di telinga kanan.
Dehorning dilakukan saat pedet berumur kurang lebih satu bulan dengan syarat
terabanya bakal tanduk. Dehorning dilakukan menggunakan alat khusus besi yang
telah dipanaskan.

A B

Gambar 5 Pemberian kolostrum pada pedet. (A) Susu kolostrum; (B) Pedet yang
diberikan kolostrum melalui dot khusus
11

Proses penyapihan pedet dimulai saat pedet mencapai umur 90 hari. Syarat
pedet lepas sapih yaitu bobotnya telah mencapai 2 kali dari bobot lahir, berumur 90
hari, serta sudah bisa memakan hijauan dan konsentrat. Penyapihan dilakukan
secara bertahap dengan mengenalkan pedet pada pakan hijauan dan mengurangi
pemberian susu pada umur 45 hari. Jumlah susu akan semakin berkurang beriringan
dengan bertambahnya rasio pemberian hijauan dan konsentrat hingga pedet lepas
sapih. Pedet yang telah lepas sapih kemudian dipindahkan ke kandang koloni 3A1.

A B
Gambar 6 Kandang pedet ; (A) Bok pedet, (B) Kandang koloni pedet 3A1

Manajemen Pakan

Asal dan jenis pakan


Pakan sapi perah terdiri dari kelompok hijauan, konsentrat dan suplemen.
Hijauan merujuk pada pakan sapi perah berkadar serat tinggi yang berasal dari
tanaman. Konsentrat merupakan pakan kaya energi dan protein yang digunakan
dengan pakan lainnya untuk meningkatkan keseimbangan nutrient dari total atau
yang nantinya akan dicampurkan untuk menghasilkan suatu suplemen atau pakan
komplit. Suplemen merupakan material bersifat nutritive yang merupakan pakan
yang ditambahkan pada ransum untuk menutupi kekurangan nutiren tertentu. Pakan
konsentrat yang diberikan untuk induk sapi di PT Nusantara Agri Sejati dicampur
dengan hijauan atau dikenal dengan total mixed ration (TMR).

Tabel 1 Jenis hijauan dan konsentrat


Hijauan Konsentrat
Rumput gajah (penniselum purpureum) Dedak
Rumput gajah mini (penniserum Jagung
purpureum cvMott) Tapioka
Garam
Silase Mollases
Jabon Pollard
Tebon Jagung Kopra
Bungkil Kedelai
12

Bungkil Sawit
Soy Bean Meal (SBM)
Buffer Mineral A
Buffer Mineral B
Indigofera
Sumber: PT Nusantara Agri Sejati 2020

a b c

d e f

Gambar 7 Jenis pakan ternak. (a). Molasses, (b). Silase, (c). Konsentrat, (d).
Hijauan, (e). Ampas kedelai, (f). Indigofera

Rumput gajah (penniselum purpureum) dan Rumput gajah mini


(penniserum purpureum cvMott) berasal dari lahan hijauan di PT Nusantara Agri
Sejati. Tebon Jagung (batang dan daun jagung sisa panen) dan Jabon (Jagung dan
Jabon) berasal dari suppler hijauan yang didapat dari perkebunan jagung disekitar
wilayah Sukabumi. Silase yang digunakan yaitu silase terbuat dari Jabon cacah
tanpa tambahan starter dibuat di PT Nusantara Agri Sejati. Konsentrat digunakan
di PT Nusantara Agri Sejati berasal dari PT. Metro Inti Sejahtera. Untuk setiap sak
jagung, pollard, onggok, kopra, bungkil, sawit dan soy bean meal (SBM) memiliki
berat 50 kg, berat Buffer mineral A dan Buffer mineral 10 kg per karung.

Grading Pakan
Pakan ditimbang terlebih dahulu sebelum dilakukan grading. Tujuan
penimbangan ini yaitu untuk mengetahui pasokan hijauan dan konsentrat yang
masuk ke peternakan. Berat bersih pakan dilakukan dua kali penimbanagan.
Penimbangan yang pertama yaitu penimbangan truk yang berisi pakan dan
penimbangan kedua yaitu penimbangan kosong truk tanpa pakan. Hijauan yang
sudah di timbang di grading oleh petugas quality control jenis hijauan, umur
hijauan, rasio batang per daun, terdapat bunga, warna hijauan, tingkat kekerasan
13

batang dan jumlah legume. Konsentrat dilihat dari bau pakan, warna pakan, dan
tekstur pakan.

Pemberian Pakan Induk


Pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak bertujuan untuk mengoptimalkan
potensi produk ternak dan mengurangi kelebihan sisa yang dapat merugikan
peternakan dan merusak lingkungan. Namun, dalam pemberian pakan tidak dapat
dihindari jika ada sisa terutama hijauan. Bagian tertentu dari tanaman lebih disukai
dari yang lainnya. Sisa pakan yang tidak di konsumsi sapi harus di keluarkan dari
tempat pakan karena pakan yang tersisa akan membusuk dan menjadi sarang kuman
dan sumber penyakit bagi ternak. Pada industri sapi perah, pakan ditempatkan di
lantai rata sehingga memudahkan pemberian pakan dan pembersihannya. Jumlah
kebutuhan pakan setiap ternak berbeda tergantung pada jenis ternak, umur, fase
(pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui, kelembapan udara) serta bobot
badannya (Winugroho 2012).

Pemberian Pakan Induk Kering


Total Mixed Ration (TMR) merupakan jenis pakan ternak yang terdiri dari
hijauan dan konsentrat yang dicampur dengan komposisi tertentu berdasarkan
nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak. TMR diberikan pada induk dengan bahan
kering sebanyak 35 kg per ekornya, hijauan 32 kg per ekor dan konsentrat 3 kg per
ekor. TMR diberikan sebanyak 2.5 % dari bobot badan dalam bentuk bahan kering.
Bobot induk kering yang digunakan untuk menghitung pakan yaitu 450 kg.
konsumsi bahan kering pada sapi perah antara 2.254.32 % dari berat badan dengan
tingkat kecernaan 52-75 %. Pemberian mollases pada sapi di PT Nusantara Agri
Sejati bertujuan untuk meningkatkan palatabilitas, pemenuhan target nutrisi dan
target harga bahan pakan. Pemberian buffer mineral B ditujukan untuk sapi induk
kering dan calf. TMR yang diberikan untuk induk kering di PT NAS dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Bahan penyusun pakan induk kering


Nomor Bahan pakan
1 Hijauan
2 Pollard
3 Onggok
4 Molases
5 Kopra
6 Sawit
7 Soy Bean Meal (SBM)
8 Buffer Mineral B
9 Premix Trouw
Sumber: PT Nusantara Agri Sejati 2020
14

Pemberian Pakan Induk Transisi


Pemberian pakan pada fase transisi merupakan fase yang terberat dari
sistem pemberian pakan pada sapi perah. Kesalahan pemberian pakan pada fase ini
akan berdampak pada fase selanjutnya. Fase transisi dimulai 6 minggu sebelum sapi
kering, 6 minggu pertama masa kering, 3 minggu periode akhir kering, 3 minggu
awal laktasi. Tujuan pemberian pakan pada fase transisi yaitu untuk mencegah
terjadinya kelainan atau penyakit pada ternak yang sering mengiringi kelahiran
pedet dan masa awal laktasi seperti milk fever, retained plasenta, mastitis, ketosis,
fatty liver, displasia abomasum, dan metritis. Selain itu, pemberian pakan pada fase
transisi juga ditunjukan untuk peningkatan pakan yang cepat pada awal laktasi dan
penurunan yang banyak dari BCS.

Tabel 3 Bahan penyusun pakan induk transisi


Bahan Pakan
Nomor
Kandang 1 A1 Kandang 3 A3
1 Hijauan Hijauan
2 Pollard Pollard
3 Onggok Onggok
4 Mollases Kopra
5 Kopra Sawit
6 Sawit Soy Bean Meal (SBM)
7 Soy Bean Meal (SBM) Buffer Mineral B
Buffer Mineral B
8 Buffer Mineral B Premix Trouw
9 Premix Trouw
Sumber: PT Nusantara Agri Sejati 2020

Bahan bahan penyusun yang diberikan untuk induk transisi kandang 1A1
dan kandang 3A3 di PT Nusantara Agri Sejati ditentukan oleh Total Mixed Ration
(TMR). Pada sapi transisi di pen 1 A1 umur kebuntingan induk 250-270 hari dengan
bobot estimasi induk 400 kg diberikan sebanyak 38 kg per ekor per hari. Induk sapi
transisi pada pen 3A3 umur kebuntingan induk 270-290 hari dengan bobot estimasi
induk 500 kg diberikan sebanyak 50 kg per ekor perharinya. TMR diberikan
sebanyak 2.5 % dari bobot badan dalam bentuk bahan kering.

Pemberian Pakan Induk Laktasi


Pemberian pakan untuk sapi laktasi membutuhkan nutrient hidup pokok
yakni untuk pertumbuhan dan laktasi. Sapi perah induk laktasi membutuhkan
nutrient yang tinggi karena mensekresikan susu setiap hari. Nutrien yang
disekresikan dalam susu harus diganti dari pakan yang di konsumsi sapi perah
setiap harinya. Kebutuhan nutrient untuk menjalankan fungsi hidup dari sapi perah
15

setiap harinya. Kebutuhan nutrient untuk menjalankan fungsi hidup dari sapi perah
tanpa mengalami pertambahan atau kehilangan bobot badan dan tidak berproduksi
disebut kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan nutrient untuk hidup pokok sangat
bergantung pada besarnya tubuh ternak yang perlu di pertahankan yang di ukur dari
bobot badannya. BB berbanding lurus dengan nutrient yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup.
Total Mixed Ration (TMR) diberikan sebanyak 50 kg per ekornya, hijauan
45 kg per ekor dan konsentrat 5 kg per ekor. Penentuan TMR diberikan sebanyak
2.5 % dalam bentuk bahan kering dari bobot badan sapi 500 kg. bahan- bahan buffer
mineral A ditujukan untuk sapi laktasi dan dara. TMR yang diberikan untuk induk
laktasi di PT Nusantara Agri Sejati terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Bahan penyusun pakan induk Laktasi


Nomor Bahan pakan
1 Hijauan
2 Pollard
3 Onggok
4 Kopra
5 Sawit
6 Soy Bean Meal (SBM)
7 Buffer Mineral B
8 Premix Trouw
Sumber : PT Nusantara Agri Sejati 2020

PELAYANAN INSEMINASI BUATAN

Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu bentuk rekayasa Teknik


mengawinkan ternak dengan mendeposisikan semen ke dalam saluran reproduksi
betina. Inseminasi buatan adalah suatu cara perkawinan dimana semen pejantan
disimpan dalam kondisi tertentu diluar tubuh hewan kemudian dengan
menggunakan suatu alat semen dimasukan kedalam saluran kelamin betina supaya
terjadi kebuntingan. Inseminasi buatan merupakan suatu cara yang baik untuk
meningkatkan poulasi dan reproduksi ternak baik secara kualitatif maupun
kuantitatif (Toelihere 2001). Tingkat profit yang diperoleh oleh peternak didapat
apabila induk sapi mendapatkan satu pedet dalam kurun waktu 12-14 bulan (Singh
et al. 2019).
Inseminasi buatan (IB) adalah suatu teknologi tepat guna yang dapat
dimamfaatkan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas ternak. Keuntungan
yang dicapai dalam program inseminasi buatan diantara adalah untuk memperbaiki
mutu genetik, efesien dalam pemakaian pejantan, terbukanya kesempatan untuk
16

menggunakan pejantan unggul secara luas, mencegah penularan penyakit.


Mengurangi gangguan fisik yang berlebihan terhadap sapi betina pada waktu
kawin, serta menghemat biaya (Hoesni 2015).
Alat dan bahan yang digunakan untuk IB diantaranya adalah palpation
gloves, termos yang didalamnya terdapat nitrogen cair, canister, straw IB, gun IB,
plastic sheet, penangas air, air, stopwatch, gunting straw, pinset, dan tisu. Straw
dibawa ke kandang menggunakan termos berisi nitrogen cair. Air hangat untuk
thawing sudah dipersiapkan terlebih dahulu menggunakan penangas air. Kemudian
straw diambil dari termos yang berisi nitrogen cair menggunakan pinset dan
dilakukan thawing pada air hangat dalam penangas air pada suhu 39 °C selama 40
- 45 detik. Straw dikeringkan menggunakan tisu, kemudian straw dimasukkan
kedalam gun IB dengan ujung bagian sumbat pabrik dimasukkan pertama. Bagian
ujung sumbat laboratorium dipotong dengan menggunakan gunting straw khusus,
kemudian gun IB ditutup menggunakan plastic sheet.
Palpasi perektal dengan tangan kiri dilakukan menggunakan palpation
gloves. Kotoran yang terdapat pada rektum dikeluarkan dengan posisi tangan tetap
di dalam rektum. Serviks yang teraba difiksasi dengan cara digenggam. Kemudian,
vulva dibersihkan menggunakan ekor sapi lalu dibersihkan kembali dengan
menggunakan tisu. Tangan kanan memasukkan gun IB yang berisi straw ke dalam
vagina. Semen dideposisikan setelah melalui semua cincin serviks atau pada bagian
pangkal corpus uteri.
Keberhasilan IB dapat dilihat dari nilai services per conception (S/C) dan
conception rate (CR). Efisiensi reproduksi ditentukan berdasarkan jumlah
pelayanan IB yang dilakukan per jumlah kebuntingan yang kemudian dihasilkan
nilai S/C. Nilai S/C yang baik adalah satu dan standar S/C di Indonesia ialah 1.6 -
2.0. Semakin rendah nilai S/C maka semakin baik tingkat kesuburannya (ideal 1.5
– 1.7). Sedangkan CR digunakan untuk menduga proporsi sapi betina yang bunting
pada inseminasi pertama (nilai ideal 65% – 70%) (Brett dan Meiring 2015). Hasil
capaian keberhasilan IB tidak dapat diberikan ke mahasiswa PKL PPDH IPB
karena merupakan rahasia perusahaan sehingga evaluasi keberhasilan IB tidak
dapat dilakukan.
Pelayanan IB di PT Nusantara Agri Sejati dilakukan oleh petugas
inseminator. Mahasiswa tidak diizinkan untuk melakukan IB pada PT Nusantara
Agri Sejati karena semen yang digunakan merupakan semen import yang memiliki
harga yang mahal. Untuk latihan Inseminasi Buatan mahasiswa diberikan
kesempatan belajar dengan memasukkan gun untuk treatment antibiotic intrauterin.
Inseminasi Buatan pada PT Nusantara Agri Sejati dilakukan terhadap sapi yang
berahi secara alami dan berahi pada program sinkronisasi estrus. Program
sinkronisasi yang dilakukan menggunakan single ovsynch dan double ovsynch
dengan menggunakan hormon GnRH Gonavet Veyx®0.05 mg/ml sebanyak 1 ml
dan PGF Veyx®forte 0.263 mg/ml sebanyak 2 ml dengan penyunt ikan secara
intramuskular. Sinkronisasi double ovsynch dilakukan untuk IB pertama pada sapi
17

dara. Untuk IB kedua dan seterusnya menggunakan single ovsynch. Sinkronisasi


estrus merupakan teknik manipulasi siklus estrus untuk menimbulkan gejala estrus
dan ovulasi pada sekolompok hewan secara bersamaan. Teknik ini terbukti efektif
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan. Beberapa metode
sinkronisasi estrus telah dikembangkan, antara lain dengan penggunaan sediaan
progesteron, prostaglandin F2a (PGF2a), serta kombinasinya dengan
gonadotrophin releasing hormone (GnRH) (Putro dan Kusumawati 2014).
Selanjutnya jika sampai IB ke enam tidak bunting maka sinkronisasi
dilakukan menggunakan metode G6G. Protokol G6G terdiri dari pemberian tunggal
PGF2a dan GnRH 2 hari kemudian, kemuadian diikuti oleh Ovsynch yang dimulai
6 hari setelah GnRH (Bello et al. 2006). Protokol presinkronisasi singkat yang
terdiri dari pemberian tunggal PGF2a dan GnRH mengoptimalkan tingkat
sinkronisasi dan meningkatkan kesuburan untuk Inseminasi Buatan (Dirandeh et al.
2015). Program inseminasi buatan (IB) dilakukan oleh dokter hewan dan paramedic
veteriner. Pelaksanaan IB dilakukan berdasarkan pelaporan sapi birahi (estrus) oleh
petugas yang berasal dari semua divisi yang melihat deteksi birahi menggunakan
metode standing heat sebagai laporan awal. Konfirmasi birahi dilakukan dengan
pengecekan oleh divisi reproduksi dengan melihat gejala estrus seperti keluarnya
lendir dari vulva, ukuran vulva membengkak, dan vulva berwarna kemerahan.
Palpasi perektal kemudian dilakukan untuk mengetahui kondisi uterus yang pada
saat estrus akan terasa lebih tegang. Dilakukan juga pemijatan pada serviks hingga
vagina untuk mengeluarkan lendir dari vulva. Sapi kemudian dilakukan IB 6 hingga
12 jam setelah gejala estrus terlihat.

PELAYANAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN

Pemeriksaan kebuntingan merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk


mengetahui apakah progam pelaksanaan pelayanan yang telah dilakukan IB
berhasil atau tidak. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan program IB dengan melihat apakah sapi berhasil bunting atau tidak.
Pemeriksaan kebuntingan yang dilakukan PT. Nusantara Agri Sejati dilakukan
sebanyak tiga kali, yaitu PKB 1 pada umur kebuntingan ±40 hari, PKB 2 pada umur
kebuntingan ±60 hari, dan PKB 3 pada umur kebuntingan ±210 hari. Menurut
Jaskowski et al. (2019), terdapat empat petunjuk penting yang dapat menkonfirmasi
kebuntingan pada sapi, yaitu palpasi chorioallantois dengan metode fetal
membrane “slip”, deteksi kantung aminion, palpasi plasentom, dan palpasi fetus.
Sementara di lapangan, terdapat berbagai indikator yang menjadi patokan umur
kebuntingan sapi berdasarkan struktur yang ditemukan dan kondisi uterus, plasenta,
dan fetus.
Struktur yang dapat terpalpasi pada umur kebuntingan dua bulan atau 60
hari adalah adanya vesikel berisi cairan amnion (Youngquist 2006) yang disertai
18

dengan undulasi asimetris pada uterus dengan posisi uterus masih berada di rongga
pelvis. Selain itu, akan terpalpasi pula bahwa dinding uterus menipis dan ovarium
pada sisi uterus yang berisi cairan amnion dapat ditemukan keberadaan corpus
luteum (Broaddus 2005). Sementara di umur kebuntingan 3 bulan, uterus mulai
menurun ke rongga abdomen namun belum menggantung. Di umur kebuntingan 4
bulan, uterus sudah mulai menggantung di rongga abdomen (Bekele et al. 2016).
Pada umur 5 bulan, uterus dapat ditemukan pada dasar rongga abdomen dan mulai
teraba adanya plasentom. Di umur kebuntingan 6 bulan, uterus membesar dan fetus
sudah dapat teraba, selain itu kelenjar mammae mulai terisi. Pada trimester ketiga,
fetus sudah dapat teraba dengan cukup jelas karena ukurannya yang terus
membesar.

Tabel 4 Rekapitulasi Kegiatan Pelayanan Pemeriksaan Kebuntingan tanggal 24


Desember 2021 oleh mahasiswa didampingi oleh Petugas PT.Nusantara
Agri Sejati.
Jenis Pelayanan Umur Kebuntingan Jumlah Bunting Tidak Bunting
6 bulan 1 ekor -
Pemeriksaan
Kebuntingan 7 bulan 1 ekor -

8,5 bulan 1 ekor -


Total 2

Tabel 5 Kriteria penilaian pemeriksaan kebuntingan dengan metode palpasi rektal


Umur Tanda
Kebuntingan Kebuntingan
35 hari Satu cornua uteri lebih besar, terasa “Foetal membrane slip”
Terdapat CL di ovarium.
2 bulan Uterus mulai membesar dan tegang, salah satu Cornua uteri
menjadi asimetris, akan tetapi bifurcatio uteri masih terasa, organ
reproduksi masih terdapat di rongga pelvis. Terasa membrane slip:
lapisandinding uterus dan chorioalantois di dalam cornua uteri.
3 bulan Cornua uteri asimetris makin tampak jelas, uterus mulai
turun kerongga pelvis.
4 bulan Terasa fremitus lemah pada arteri uterina media, teraba fetus
dan karunkula. Karunkula teraba (1.5-2.5 cm).
5 bulan Cornua yang bunting berada di dasar abdomen,kadang fetus
teraba (sulit), fremitus berdenyut kuat sampai mendesir ringan,
karankula semakin besar (2.5 – 4 cm).
19

6 bulan Fetus dapat teraba, fremitus berdenyut kuat, karunkula teraba


(4-5cm).
7 bulan Fremitus berdenyut kuat, karankula semakin besar (5.5-7cm),
sudah ada refleks fetus terhadap sentuhan, diameter serviks
membesar.
8 bulan Terasa fremitus berdenyut sangat kuat, fetus teraba dan menuju
jalan lahir.
9 bulan Labia vulva membengkak dan mengeluarkan lendir mucoid,
kelenjar mammae hipertrofi dan edema, fetus sudah di jalan lahir.
Sumber : (Hafez dan Hafez 2000).

Selama kegiatan di lapang, mahasiswa dapat mengamati prosedur


pelaksanaan PKB yang diawali dengan pengecekan tanggal IB, pemeriksaan
kebuntingan dengan palpasi per-rektal dan per-vagina (pada kebuntingan 9 bulan),
dan recording hasil PKB. Mahasiswa dapat mempelajari bahwa PKB harus
dilakukan dengan lebih berhati-hati dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya
yang dilakukan melalui palpasi per rektal karena adanya risiko abortus bila ovarium
tidak ditangani dengan halus. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan rupturnya
corpus luteum yang menghasilkan progesteron sebagai hormon yang
mempertahankan kebuntingan. Selain itu mahasiswa juga dapat mengamati
perbedaan fisik induk sapi yang mengalami kebuntingan umur tua dengan sapi yang
tidak mengalami kebuntingan, serta gambaran fisik lain yang menandakan dekatnya
tanggal partus seperti ambing yang mulai terisi dan menggantung.

PENANGANAN SAPI POST PARTUS

Pelayanan post partus merupakan upaya lanjutan dalam menjaga kesehatan


induk sapi setelah menjalani proses melahirkan. Gangguan reproduksi post partus
pada uterus, seperti metritis, endometritis, dan piometra dapat dicegah dengan
memerhatikan beberapa faktor, seperti pertolongan kelahiran, dan inseminasi
buatan hendaknya dilakukan secara legaartis sehingga mengurangi kejadian trauma
fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi. Faktor lain, yaitu
manajemen pakan yang baik sehingga mendukung kesuburan saluran reproduksi
(Ruhiat 2014). Selama kegiatan praktik lapangan di PT Nusantara Agri Sejati (PT
NAS) terdapat 4 penananganan post partus.
Pelayanan sapi post partus dilakukan pada sapi dengan nomor telinga 214712
Perkiraan memiliki bobot badan kurang lebih 500 kg. Sapi memiliki body condition
score 3. Hasil pemeriksaan klinis seperti suhu menunjukan rentang suhu tubuh
normal yaitu 38,5 °C. Frekuensi jantung sapi 48 kali/menit, frekuensi nafas 24
kali/menit. Berdasarkan status present sapi yang telah diperiksa, sapi yang
dilakukan pelayanan postpartus dalam keadaan sehat. Terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan untuk keadaan sapi yang dalam keadaan postpartus diantaranya
adalah pemberian kolostrum dari induk sapi. Penanganan diberikan secara IM B-
Complex® 20 mL dan Vetadryl® 20 mL. Pelayanan pada sapi post partus dilakukan
20

pada sapi dengan nomor telinga 216106. Perkiraan memiliki bobot badan kurang
lebih 550 kg. Sapi memiliki body condition score 3. Hasil pemeriksaan klinis
seperti suhu menunjukan dalam kondisi demam 39,0 °C. Frekuensi jantung sapi 54
kali/menit, frekuensi nafas 32 kali/menit sebagai retensi plasenta kemudian
dilakukkan penanganan dengan pemberian Sulpidon® 20 mL secra IM dan
Cotrimoxazole® 4 bolus secara intrauterine.
Pelayanan penanganan post partus dilakukan untuk menjaga keadaan induk
sapi tetap sehat setelah melahirkan. Pelayanan post partus merupakan upaya
lanjutan dalam menjaga kesehatan induk sapi setelah menjalani proses melahirkan.
Gangguan reproduksi post partus pada uterus, seperti metritis, endometritis, dan
piometra dapat dicegah dengan memerhatikan beberapa faktor. Pertolongan
kelahiran, dan dan penanganan dilakukan secara legaarts sehingga mengurangi
kejadian trauma fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi.
Faktor lain, yaitu manajemen pakan yang baik sehingga mendukung kesuburan
saluran reproduksi (Ruhiat 2014). Pelayanan post partus yang diikuti selama
magang yaitu penanganan post partus normal, dan membantu pengeluaran fetus.
Pelayanan post partus yang pertama kali dilakukan, yaitu petugas memisahkan
pedet yang baru lahir ke dalam kandang yang berbeda dari induknya.
Penanganan post partus normal diberikan Multivitamin B-Complex®
sebanyak 10-20 mL secara IM. Pemberian vitamin berfungsi menjaga kesehatan
ternak dan mengatasi gangguan reproduksi. Kejadian post partus yang normal
terjadi, yaitu keluarnya lochia. Lochia adalah reruntuhan sel-sel darah, epitel
endometrium, fili-fili plasenta, serum darah, dan sisa-sisa cairan allantois atau
amnion yang masih tertinggal dalam uterus setelah fetus dilahirkan. Setelah itu,
uterus dapat dikatakan bersih dan proses involusi uterus akan berjalan dalam
keadaan endometrium yang aseptis. Hari ke-40 sampai ke-60 uterus kembali ke
keadaan tidak bunting dan siap untuk kembali bunting (Abdullah et al. 2019).
Penanganan post partus dengan kasus abortus, yaitu dilakukan berupa pelepasan
plasenta lalu diberikan obat antibiotika dan antiinflamasi. Antibiotika yang biasa
digunakan, yaitu Cotrimoxazole® dengan kandungan trimethoprim dan
sulfamethoxazole bersifat bakterisidal golongan sulfa dengan spektrum luas yang
berfungsi menghambat sintesis timidin bakteri. Antibiotik diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi saluran reproduksi, seperti endometritis, metritis, serta
penanganan setelah retensio secundinae (Abdullah et al. 2019). Dosis pemberian
Cotrimoxazole® ini untuk sapi adalah 2-4 kaplet/ekor via intrauterine (IU).
Antibiotk lain yang dapat diberikan yaitu Vetadryl® dengan dosis 20 ml/ekor secara
intramuscular. Diphenhydramine HCL kandungan pada Vetadryl® merupakan
antihistamin yang bekerja menghambat histamin pada reseptor H1 dan bertindak
sebagai sedativa, antikolonergik, antitusid, dan antiemesis (Plumb 2011).
Antiinflamasi diberikan untuk untuk mengobati tanda-tanda peradangan yang
terjadi. Pemberian obat-obatan tersebut bertujuan untuk mengembalikan keadaan
fisiologis sapi sebagai analgesik dan antipiretik.
21

PENANGANAN KASUS REPRODUKSI

Distokia

Distokia didefinisikan sebagai kesulitan melahirkan atau proses partus


berkepanjangan (Ball dan Peters 2004). Umumnya distokia lebih sering terjadi pada
sapi perah daripada sapi potong (Jackson 2007). Penyebab distokia dapat berasal
dari fetus dan dapat pula berasal dari induk (maternal). Penyebab fetus biasanya
disebabkan oleh kelainan posisi dan postur. Sedangkan penyebab distokia maternal
adalah penyempitan saluran kelahiran misalnya pada sapi dara. Terdapat juga
faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan distokia, antara lain: faktor keturunan,
manajemen pemeliharaan, dan traumatik atau benturan (Waluyo 2014).

Sinyalemen dan Anamnesa


Seekor sapi Friesian Holstein dengan nomor telinga 18149 berjenis kelamin
betina berumur 2.5 tahun dan laktasi pertama. Laporan dari perawat kandang pada
sapi bunting 9 bulan dan mau melahirkan karena sudah merejan. Namun setelah
merejan sekitar 30 – 60 menit fetus belum juga keluar.

Gambar 8 Sapi yang mengalami distokia

Pemeriksaan Fisik Hewan


Inspeksi menunjukkan sapi kesulitan berdiri pada keempat kaki dengan
kondisi tubuh lemas. Temuan klinis saat di lapangan sapi berbaring dan sudah
waktunya melahirkan. Sapi terus merejan dan kesulitan melahirkan.

Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sapi mengalami
distokia dengan prognosa fausta.

Penanganan dan Pengobatan


22

Penanganan yang dilakukan yaitu dengan menarik fetus secara manual


menggunakan tali. Pengobatan yang dilakukan pada sapi setelah partus yaitu
Pemberian Injeksi kalsium (Calcidex®).

Pembahasan
Seekor sapi Friesian Holstein dengan nomor telinga 18149 berjenis kelamin
betina berumur 2.5 tahun dan laktasi pertama menunjukkan tanda-tanda ingin
partus. Laporan dari perawat kandang pada sapi bunting 9 bulan dan mau
melahirkan karena sudah merejan. Namun setelah merejan sekitar 30 – 60 menit
fetus belum juga keluar. Dilakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah sapi
tersebut mengalami distokia. Sapi yang menunjukkan tanda akan partus merupakan
sapi dara yang pertama kali melahirkan dan kemungkinan sapi selama
dikandangkan kurang exercise. Menurut Youngquist et al. (2007) distokia pada
ternak sapi bervariasi namun lebih umum terjadi pada sapi dara yang pertama kali
melahirkan. Peters et al. (2004) berpendapat bahwa sapi dara yang pertama kali
melahirkan dan dikawinkan pada umur terlalu muda biasanya beresiko mengalami
distokia, karena memiliki ukuran tulang pelvis yang masih kecil. Pelvis yang kecil
adalah penyebab distokia kaitannya dengan disproposi fetopelvis dan diperburuk
dalam kasus fetus lebih besar dari ukuran normal yang merupakan hasil perkawinan
dengan pejantan yang besar. Pendapat lain yaitu menurut Hilton et al. (2016) bahwa
kurang exercise seperti kurang bergerak setiap hari pada sapi bunting juga
berpotensi mengalami distokia. Melakukan banyak exercise dapat mempengaruhi
tonus otot yang merupakan pendukung dalam proses partus Menurut Peters et al.
(2004), kurangnya kontraksi uterus dari induk saat partus juga merupakan penyebab
terjadinya distokia. Terkadang ketidakseimbangan hormonal dapat menyebabkan
serviks tidak dilatasi sepenuhnya atau kontraksi uterus tidak cukup kuat.
Pertolongan dilakukan dengan penarikan paksa yaitu pengeluaran fetus dari
induk melalui saluran kelahiran dengan menggunakan kekuatan atau tarikan dari
luar. Penarikan paksa dilakukan karena kelemahan uterus dan fetus tidak
menstimulasi perejanan. Tumpuan penarikan dapat dilakukan pada tiga titik, yaitu
kedua kaki depan dan kepala. Sesudah kepala dan kedua kaki depan melewati vulva,
penarikan dilakukan terhadap kedua kaki yaitu pengikatan menggunakan tali pada
bagian pergelangan kaki depan fetus, selanjutnya tali tersebut dikaitkan pada batang
besi dan pada saat sapi merejan dilakukan penarikan secara hati-hati. Pedet yang
sudah lahir segera dipindahkan, kemudian lendir yang ada di hidung dan mulut
dibersihkan, pada potongan tali pusar pedet dioleskan larutan iodine untuk
menghindari masuknya berbagai infeksi penyakit. Setelah itu, pedet di dekatkan
dengan induk dan induk akan menjilati permukaan tubuh pedet. Menurut Bojrab et
al. (2014), jilatan induk pada pedet akan membantu untuk menstimulus gerak
pernafasan dan merangsang peredaran darah.
Terapi yang diberikan pasca penanganan untuk induk sapi perah yang
mengalami distokia di PT Nusantara Agri Sejati yaitu pemberian 250 ml Calcidex®
23

untuk menghindari terjadinya hipokalsemia. Calcidex® merupakan Cairan injeksi


steril untuk mengatasi kekurangan Calcium dan Magnesium. Pemberian calciject
dilakukan secara subkutan, menggunakan jarum yang bersih. Selain pemberian
Calcidex® sapi juga bisa diberi 20 liter air hangat ditambahkan dengan Mono
Propylene Glycol (MPG). Mono Propylene Glycol (MPG) memiliki fungsi sama
seperti glukosa yaitu untuk menyeimbangkan energi dan menambah asupan energi
pada ternak setelah partus. Selain itu diberikan juga antibiotik spektrum luas
(colibact bolus) sebanyak 2 bolus secara intra-uterina. Colibact bolus merupakan
kombinasi antibiotik trimethoprim dan sulfadiazine yang bersifat bakterisidal yang
efektif terhadap bakeri gram positif maupun gram negatif. Pemberian antibiotik
berspektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri sebagai akibat dari
proses kelahiran yang tidak steril. Pengobatan lainnya yaitu pemberian
multivitamin Biosan Tp Inj yang mengandung berbagai macam ATP dan vitamin
diberikan 20 ml secara intramuscular. Hal ini sesuai dengan referensi menurut
ASOHI (2013) bahwa Biosan Tp Inj bisa diberikan pada ternak seperti sapi untuk
menjaga stamina tubuh dan menguatkan otot yang lemah akibat melahirkan
sebanyak 20 ml/ekor sebanyak 3 kali sehari dan diberikan dengan interval waktu 2
– 5 hari. Pemberian Biosan Tp Inj merupakan terapi suportif yang bertujuan untuk
peningkatan nafsu makan pada induk sapi pasca melahirkan karena biasanya sapi
yang mengalami distokia tidak ada nafsu makan, untuk menstimulasi tubuh secara
umum terutama pada tonus otot karena kelemahan setelah melahirkan, untuk
meningkatkan daya tahan tubuh sapi sehingga memudahkan proses penyembuhan
dan mengurangi adanya infeksi sekunder serta mencegah defisiensi vitamin.

Retensi Plasenta

Retensi plasenta merupakan suatu kejadian yang ditandai dengan gagalnya


pengeluaran lebih dari 8 sampai 12 jam (Manan, 2002), 12 jam (Sammin et al.
2009), atau lebih dari 12 sampai 24 jam (Shenavai et al. 2010). Gejala yang terlihat
pada kasus retensi plasenta adalah adanya plasenta yang menggantung diluar alat
kelamin dan ada juga yang menetap dalam uterus atau vagina. Penyebab utama
tertahannya plasenta dalam kandungan karena tidak terlepasnya hubungan antara
plasenta anak dan plasenta induk setelah anak dilahirkan. Hubungan kedua plasenta
ini berupa pertautan antara fili-fili dari alanto-chorion yang masuk ke dalam
lubang-lubang atau celah-celah yang terdapat pada karunkula dari endometrium
(Abdullah et al. 2019). Kejadian ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder
oleh mikroorganisme pada uterus dan dapat menurunkan produktivitas sapi. Sapi
akan mengalami penurunan berat badan, calving interval yang panjang, dan infeksi
yang berat bahkan dapat mematikan. Patologi kejadian retensi plasenta adalah
kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Menurut
Hemayatul (2012) gangguan mekanis terjadi tetapi tidak dapat terlepas dan keluar
dari alat kelamin karena kanalis servikalis yang terlalu cepat menutup, sehingga
24

selaput fetus terjepit. Gangguan pelepasan juga terjadi setelah fetus keluar dan
corda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili
tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus mengalami
atoni uteri dan tidak berkontraksi akibat dari proses perejanan saat partus,
meyebabkan sejumlah darah yang mengalir ke uterus tidak terkendali. Akibat dari
semua itu vili kotiledon tidak lepas dari kripta karankula sehingga terjadi retensi
plasenta. Salah satu penyebab terjadinya retensio plasenta, yaitu kekurangan
vitamin A atau kekurangan yodium dalam ransum. Abortus pada umumnya selalu
diikuti oleh kejadian retensio secundinarum (Rista 2011). Beberapa kausa yang
dapat mengakibatkan retensio plasenta adalah penyekit infeksius seperti Bovine
viral diarrhea (BVD), kurangnya exercise dan hipokalsemia, serta defisiensi
nutrisi.

Sinyalemen dan Anamnesa


Tanggal 25 Desember 2021, seekor sapi Friesian Holstein betina (BCS
2.5/5) dengan nomor telinga 305 berumur 7 tahun baru saja mengalami abortus satu
hari sebelumnya. Berdasarkan laporan, plasenta belum terlepas lebih dari 8 jam pos
partus dan masih menggantung.

Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan suhu, frekuensi napas dan frekuensi
jantung normal. Pemeriksaan melalui inspeksi menunjukkan bahwa plasenta masih
menggantung dan belum terlepas

Gambar 9 Plasenta yang belum terlepas 15 jam post partus

Diagnosa dan Penanganan


Sapi didiagnosa mengalami retensio plasenta. Penanganan terhadap retensio
plasenta yang dilakukan yaitu dengan cara menarik atau mengeluarkan plasenta
secara manual (manual remover). Setelah plasenta dipastikan sudah lepas
seluruhnya, sapi diberikan injeksi antipiretik sulpidon® sebanyak 20 ml secara IM,
suplemen biosan® sebanyak 20 ml secara IM kemudian diberikan collibact bolus
(Intrauterine). Antibiotik bolus berfungsi untuk mencegah terjadinya infeksi saluran
reproduksi seperti endometritis, metritis, dan pyometra.
25

Pembahasan
Hingga saat ini penarikan secara manual merupakan teknik yang paling
umum dilakukan untuk menangani retensi plasenta. Namun, penarikan secara
manual dapat meningkatkan resiko teradinya infeksi pada uterus sehingga tidak
disarankan untuk dilakukan (Beagley et al. 2010). Teknik manual removal memiliki
resiko gangguan fertilitas pada sapi. Penanganan retensi plasenta dengan manual
removal yang tidak sempurna dapat menjadi sumber infeksi karena bagian dari vili
kotiledon dan sisa-sisa plasenta yang masih melekat pada kripta karunkula, serta
menimbulkan trauma, hemoragi pada uterus (Yusuf 2011). Walaupun demikian,
praktik penanganan retensi plasenta dengan manual removal masih sering
dilakukan karena dianggap praktis dan mempercepat waktu kerja petugas
paramedis. Padahal konsekuensi yang dihasilkan jika terjadi komplikasi pada uterus
adalah dapat memperpanjang calving interval ternak sehingga produktivitas sapi
akan menurun.
Sapi yang akan mengalami retensio plasenta biasanya mengalami
penurunan sistem imun nonspesifik yang terjadi 1 sampai 2 minggu sebelum partus.
Kondisi hipokalsemia dapat menyebabkan fungsi otot dan fungsi imunitas
menurun. Hilangnya kontraksi otot dapat menyebabkan distokia dan retensi
plasenta yang didukung oleh turunnya imunitas. Hasil penelitian Suttle (2010)
menunjukkan kadar kalsium dan zing serum pada sapi crossbred menurun secara
tajam pada kasus retensi plasenta. Kondisi hipokalsemia juga akan mempengaruhi
peningkatan fosfor yang akan mengganggu penyerapan magnesium dan vitamin D
sehingga kontaksi otot polos akan terganggu. Hilangnya kontraksi otot uterus dapat
menyebabkan distokia dan retensi plasenta (Yasothai 2014). Pemberian diet tinggi
K pada masa kering kandang selama 2 sampai 3 minggu sebelum melahirkan dapat
mengakibatkan displasia abomasum dan gangguan uterus berupa retensi plasenta
pada saat postpartus (Velladurai et al. 2016). Menurut penelitian Ali et al. 2014
bahwa sapi akan meningkatkan performa reproduksi dan efisensi reproduksi dengan
rasio Ca : P yaitu 1.5 : 1. Defisensi kalsium tersebut akan mempengarui perubahan
rasio Ca : P sehingga mempengaruhi fungsi ovarium melalui tindakan pemblokiran
pada kelenjar pituiteri melalui inaktinya kerja neuroendokrin.

Abortus

Menurut Yadav et al. (2021), Abortus didefinisikan sebagai kehilangan


fetus setelah selesainya proses organogenesis. Kejadian abortus dalam suatu
peternakan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dalam waktu
produksi terutama pada industri sapi perah. Faktor yang menyebabkan abortus
terdiri dari dua faktor, yaitu infeksius dan non infeksius. Agen infeksius utama
penyebab abortus pada sapi yaitu Brucella, Salmonella, Mycoplasma, Chlamydia
abortus dan Toxoplasma gondii (Zhang et al. 2020). Faktor non infeksius meliputi
26

tanaman yang mengandung senyawa yang mempengaruhi kebuntingan seperti


lamtoro, rumput rawa, dan daun semanggi; defisiensi vitamin A dan E, selenium
dan zat besi; serta faktor genetik (inbreeding) (Manan 2002).

Sinyalemen dan Anamnesa


Tanggal 8 Desember 2021, seekor sapi Friesian Holstein betina (BCS 3/5)
dengan nomor telinga 18114 berumur 3 tahun yang merupakan dara bunting
mengalami partus dengan kondisi fetus yang sudah tidak bernyawa/Abortus.
Diketahui status kebuntingan sapi tersebut berumur 8 bulan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi status fisiologis dan
pemeriksaan kondisi fetus post partus. Hasil pemeriksaan fisik terhadap induk
menunjukkan suhu normal yaitu 38,5°C dan pemeriksaan terhadap fetus
menunjukkan bahwa fetus sudah tidak bernapas dan diduga fetus sudah mati sejak
sebelum partus.

Diagnosa
Sapi dengan ID 18114 didiagnosa mengalami abortus.

Penanganan dan Pengobatan


Fetus yang sudah mati dikeluarkan secara normal oleh induk tanpa
dilakukan induksi kelahiran. Induk kemudian diberikan Biosan® sebanyak 20 ml
secara IM dan diberi Calcidex® sebanyak 250 ml secara SC.

Gambar 10 Fetus yang telah mati lahir secara normal

Pembahasan
Sapi yang mengalami abortus di PT NAS terjadi saat usia kebuntingan
berada pada trismester ke tiga tepatnya usia 8 bulan kebuntingan. Penyebab abortus
pada sapi kasus ini diduga akibat trauma pra partus, akibat kondisi lantai kandang
yang licin sehingga sapi pernah terpeleset dan jatuh. Fetus yang keluar dalam
kondisi baik, dan proses abortus terjadi secara spontan. Bagian plasenta dan
27

kotiledon yang keluar dalam kondisi utuh tidak mengalami kerusakan ataupun
perdarahan. Abortus merupakan salah satu gangguan reproduksi yang sering terjadi
pada sapi perah. Abortus didefinisikan sebagai keluarnya fetus yang sudah
mengalami organogenesis sebelum waktunya atau ketika fetus yang dikeluarkan
dapat bertahan hidup (Abdisa 2018).
Abortus pada sapi dapat terjadi secara spontan atau melalui induksi, oleh
agen infeksius ataupun noninfeksius, dimana kasus abortus yang disebabkan oleh
faktor atau agen noninfeksius lebih sering terjadi pada sapi perah (Rajalakshmi et
al. 2020). Kejadian abortus non infeksius dapat terjadi akibat faktor fisik (trauma,
inseminasi, hipertermia dan kebuntingan kembar), nutrisi (defisiensi), intoksikasi,
dan genetik. Menurut Hopper (2014), kejadian abortus noninfeksius juga dapat
terjadi akibat trauma abdominal parah, kelaparan, fetal hyperthermia atau hipoksia,
lingkungan (keracunan tanaman, mikotoksin, penggunaan obat-obatan) dan
iatrogenik.
Berdasarkan kondisi fetus dan plasenta yang ditemukan dalam kondisi utuh
atau tidak mengalami kerusakan diduga abortus tidak terjadi karena agen infeksius.
Menurut Abdisa (2018), tanda klinis abortus akibat infeksi agen infeksius berbeda
tergantung pada agen penyebabnya, namun umumnya akan ditemukan adanya
kematian fetus, plasentitis, kotiledon mengalami nekrosa dan edema, dan
infertilitas. Agen infeksius yang dapat menyebabkan kejadian abortus antara lain
Brucella abortus, Leptospirosis, Camphylobacter fetus fetus, Salmonella sp.,
Bovine viral diarrhoea, Bovine herpes virus, Neospora caninum dan Aspergillus sp.
(Cabell 2007). Tidak ada terapi yang dapat digunakan pada kejadian abortus, namun
abortus dapat dikontrol dan dicegah dengan cara menerapkan manajemen
pemeliharaan yang baik saat memasuki masa kebuntingan. Pemberian suplemen
seperti vitamin dan mineral sangat dibutuhkan pada masa kebuntingan, lingkungan
induk bunting juga harus bebas dari stress akibat suhu lingkungan yang terlalu
panas, transportasi, trauma, dan cara handling yang tidak tepat (Kumar et al. 2021).
Induk yang diduga mengalami kejadian abortus akibat agen infeksius harus
dipisahkan dari kawanan sehat, kemudian harus segera dilakukan pengambilan
sampel baik dari darah maupun discharge uterus untuk kemudian diidentifikasi.
Metode pencegahan dan pengendalian terhadap agen penyebab sangat dibutuhkan
antara lain dengan melakukan vaksinasi secara teratur untuk mencegah infeksi oleh
agen yang menyebabkan abortus, kondisi dan manajemen kandang yang baik,
menjaga sanitasi lingkungan, program inseminasi buatan dan menjaga asupan
nutrisi dalam pakan.
Terapi post abortus yang diberikan adalah infus preparat kalsium yaitu
Calcidex® sebanyak 250 ml/ekor yang dilakukan dengan rute SC. Pemberian
preparat kalsium secara parenteral bertujuan untuk mencegah maupun sebagai
terapi pada kasus parturient paresis akibat hipokalsemia (Plumb 2011). Biosan®
20ml/ekor diberikan secara IM, preparat ini mengandung ATP sebagai sumber
energi cadangan siap pakai, garam aspartate yang berperan untuk menjaga
28

keseimbangan ion tubuh, sodium selenite berperan dalam mengatur reaksi


enzimatis serta antioksidan dan Vitamin B12. Vitamin B12 (Cyanocobalamin)
didalam Biosan® berfungsi sebagai kofaktor berbagai reaksi enzimatis dalam tubuh
yang dibutuhkan dalam pertumbuhan sel, metabolisme asam amino, sintesis mielin
dan erythropoiesis (Plumb 2011). Penggunaan sediaan anti inflamasi seperti
Infalgyn® juga disarankan diberikan untuk mengurangi efek peradangan post
abortus.

Metritis

Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang
biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Menurut Kasimanickam et
al. (2005) metritis merupakan peradangan uterus yang disebabkan bakteri patogen
yang masuk melalui vagina, servik, dan mengkontaminasi uterus. Metritis dapat
disebabkan oleh infeksi pre-partus atau post-partus. Infeksi setelah kelahiran pada
alat reproduksi betina umumnya terjadi dari saat melahirkan sampai 3 hari
sesudahnya, pada saat servik, vagina, vulva masih mengalami dilatasi. Kondisi
tersebut kuman-kuman dengan bebas dapat memasuki alat reproduksi (Subronto
2007). Metritis dan endometritis dapat menyebabkan infertilitas ketika hewan
dalam keadaan mengalami penyakit tersebut dan dapat menyebabkan subfertilitas
pada hewan yang sudah sembuh. Selain itu, umumnya endometritis dan metritis
menyebabkan S/C (Service per conception) dari sapi yang baru saja sembuh lebih
rendah dan menyebabkan calving interval lebih lama (McDougall 2001).

Sinyalemen dan Anamnesa


Sapi Friesian Holstein dengan nomor telinga 18114 berjenis kelamin betina
umur 3 tahun. Sapi dara bunting mengalami abortus pada tanggal 8 Desember 2021.
Pemeriksaan fisik pada DIM 4 menunjukkan sapi dalam keadaan demam dengan
temperatur rektal 39.7 ˚C. Sapi memiliki body condition score 2.3/5. Discharge
yang keluar dari vulva menunjukan score 3, dimana terlihat cairan yang keluar
merupakan eksudat pus disertai darah sebanyak ≤50% dari total eksudat.

Gambar 11 Leleran metritis

Pemeriksaan Fisik
29

Pemeriksaan fisik pada DIM 4 menunjukkan sapi dalam keadaan demam


dengan temperatur rektal 39.7 ˚C dimana suhu tersebut masih dalam rentang normal
temperatur rektal sapi perah yaitu 38,2˚C-39.1˚C (Schutz et al. 2009). Sapi
memiliki body condition score 2.3/5. Discharge yang keluar dari vulva menunjukan
score 3, dimana terlihat cairan yang keluar merupakan eksudat pus disertai darah
sebanyak ≤50% dari total eksudat.

Diagnosa
Berdasarkan pada anamnesa, sinyalemen dan pemeriksaan dokter hewan
mendiagnosa sapi tersebut menderita metritis dengan prognosa Fausta.

Pengobatan
Penanganan yang dilakukan untuk kasus metritis pada sapi yaitu dengan
pemberian antibiotik menggunakan sediaan penicillin-streptomycin (Penstrep-400
®) melalui intrauterine dengan bantuan plastic sheet. Dosis yang diberikan yaitu 10
ml yang di campur dengan aquadest 100 ml. pengobatan dilanjutkan dengan
pemberian limoxin-200 LA (Oxytetracyclin) ® melalui intrauterine dengan bantuan
plastic sheet. Dosis yang diberikan yaitu 5 ml yang di campur dengan aquadest 100
ml.

Pembahasan
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang kurang higenis,
distokia, kebersihan uterus dari sisa-sisa plasenta, daerah perineal yang kotor oleh
feses atau kotoran lainya, overcrowding, sanitasi dan tingginya angka kelahiran
pada suatu saat, maupun sering terjadinya retensi plasenta, akan mempengaruhi
terjadinya infeksi pada uterus. Metritis disebabkan adanya infeksi bakteri yang
mengikuti kasus partus abnormal seperti abortus, retensi plasenta, distokia ataupun
kelanjutan dari infeksi yang terjadi pada alat reproduksi (Leblanc 2012). Dapat juga
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses perkawinan alami maupun
inseminasi buatan.
Pemeriksaan metritis (metritis check) di PT. NAS dilakukan sebagai upaya
pencegahan terjadinya metritis akut pada 3 hari pasca partus dan 7 hari post-partus
dengan pemeriksaan kondisi umum induk (aktif, lemah, kurus), mengecek suhu
tubuh, discharge yang keluar (warna, bau, kekentalan), melakukan treatment
suportif dan antibiotik intra muscular, dilakukan treatment intra uterin ke alat
reproduksi yang terinfeksi menggunakan larutan konsentrasi antara NaCl, penicilin
dan streptomisin 100 ml. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan penyebab
dilapangan untuk meminimalkan tingkat kejadian metritis dengen memperhatikan
beberapa faktor seperti kebersihan kandang, higienitas saat melakukan penanganan
kelahiran dan peralatan yang digunakan, pemberian iodine atau limoxin spray pada
vulva serta plasenta untuk mencegah bakteri masuk melewati plasenta dan
penanganan retensi plasenta.
30

Metritis seringkali ditandai dengan involusi uterus yang terlambat,


keluarnya discharge cair bercampur dengan nanah, dan keadaan demam
(Bondurant 1999). Kasus metritis dapat didiagnosa dengan inspeksi discharge yang
keluar dari vulva. Menurut Sheldon (2004), discharge metritis dapat dinilai
berdasarkan score 0-3. Score 0 menunjukkan discharge mukus yang bening, score
1 menunjukkan discharge bening yang mengandung flek-flek berupa nanah
berwarna putih, score 2 menunjukkan ≤50% pus berwarna putih atau krim dari
seluruh eksudat, score 3 menunjukkan ≥50% pus berwarna putih, krim, atau
berdarah dari seluruh eksudat. Selain diagnosa berdasarkan pengamatan klinis skor
dari discharge vulva, pengamatan bau dari discharge juga dapat dilakukan.
Penanganan yang dilakukan untuk kasus metritis pada sapi yaitu dengan
pemberian antibiotik menggunakan sediaan penicillin-streptomycin (Penstrep-400
®) yang mengandung 250 mg/ml dihydrostreptomycin sulphate dan 200.000 IU/ml
procaine penicillin G melalui intrauterine dengan bantuan plastic sheet. Dosis yang
diberikan yaitu 10 ml yang di campur dengan aquadest 100 ml. Pengobatan
menggunakan penstrep dilakukan pada tanggal 12, 15, dan 18 Desember 2021
dimana setiap pemberian di jeda selama 2 hari. Hal ini sesuai dengan jangka waktu
penggunaan antibiotik tersebut yang bersifat long acting. pemberian antibiotik
tersebut untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri secara langsung di
dalam uterus. Mekanisme kerja penstrep yakni kombinasi sinergis, dimana Procaine
Penicillin G bersifat bakterisidal, efektif terhadap bakteri gram positif seperti
Campylobacter, Clostridium, Corynebacterium, Erysipelothrix, Listeria,
Staphylococcus, Streptococcus spp. dan bakteri gram negatif Pasteurella spp dan
Dihydrostreptomycin bersifat bakterisidal, efektif terhadap bakteri gram negatif
seperti E. coli, Pasteurella, Klebsiella, Salmonella dan Haemophilus spp
(McDougal 2001).
Pada tanggal 21 dan 24 Desember 2021 pengobatan dilanjutkan dengan
pemberian limoxin- 200 LA (Oxytetracyclin) ® yang mengandung oxytetracycline
base 200 mg melalui intrauterine dengan bantuan plastic sheet. Penggantian
antibiotik dilakukan dikarenakan penggunaan Penstrep belum menunjukkan
perubahan yang signifikan terhadap discharge metritis yang keluar. Dosis yang
diberikan yaitu 5 ml yang di campur dengan aquades 100 ml. Oxytetracycline
merupakan antibiotik spektrum luas yang mekanisme aksinya dengan mengikat
subunit ribosom 30S dan menghambat sintesis protein (Fangidae et al. 2019). Pada
tanggal 27 Desember 2021 pada saat sapi di palpasi, kondisi sudah mulai membaik
dan leleran discharge sudah tidak keluar dari dalam uterus.
31

Gambar 12 Treatment spull antibiotik intrauterine

a b

Gambar 13 Obat dan alat. (a) Sediaan antibiotik Penstrep-400 ® dan Limoxin- 200
LA ® (b) Gun dan plastic sheath

Penggunaan Sulpidon® bertujuan sebagai antipiretik dan analgesic


dikarenakan sapi mengalami demam. Sulpidon adalah produk yang mengandung
dipyrone dan lidocaine dalam bentuk cairan injeksi. Dipyrone bekerja secara
langsung pada susunan syaraf pusat, sehingga sangat efektif untuk menurunkan
panas (antipiretik), menghilangkan rasa sakit (analgesik) dan kejang-kejang
(antispasmodik). Tolfedine dan B-Kompleks diberikan pada tanggal 18 Desember
2021 hal ini dikarenakan sapi tersebut juga mengalami infestasi parasit (myasis).
Tolfedine merupakan pereda nyeri dan antipiretik non steroid pilihan terutama pada
kasus inflamasi akut. Tolfedine memiliki kemampuan sirkulasi hepatic sehingga
bekerja lama didalam tubuh hewan. Pemberian obat suportif seperti B-kompleks
juga diberikan untuk mencegah kekurangan vitamin, penguat otot, menambah daya
tahan tubuh serta mempercepat persembuhan
Pencegahan metritis dapat dilakukan untuk meminimalkan tingkat kejadian
metritis dengan memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut:
a. Virulensi kuman.
b. Daya tahan yang dimiliki saluran reproduksi.
c. Jumlah ternak yang dipelihara.
d. Overcrowding.
e. Sanitasi dan tingginya angka kelahiran pada suatu saat.
f. Mengurangi jumlah retensi plasenta.
g. Higenitas dari alat-alat yang digunakan pada saat penanganan kelahiran.
h. Lingkungan kandang.
32

i. Bedding kandang.
j. Flushing kandang.

PENANGANAN KASUS KLINIK

Downer Cow Syndrome (DCS)

Downer cow syndrome merupakan penyakit metabolik yang dapat


menyerang sapi perah bunting tua sehingga menyebabkan sapi tidak mampu berdiri
hingga 24 jam atau 48 jam post partus karena mengalami kelemahan pada bagian tubuh
belakang (Barlet dan Davicco, 1992, Kumari dan Kaswan, 2013). Kejadian penyakit ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti gangguan metabolik, toxaemia, traumatik,
dan gangguan syaraf. Terapi yang dapat diberikan pada sapi yang mengalami downer cow
syndrome yaitu pemberian infus isotonik, infus glukosa, antibiotik, vitamin, serta
perbaikan manajemen kandang, pemeliharaan, serta pemerahan.

Gambar 14 Kondisi sapi kesulitan berdiri

No Sinyalemen Anamnesa Diagnosa Pengobatan


1 Jenis hewan: Sapi mengalami Downer cows Pemberian
Sapi kesusahan berdiri syndrome infus IV (1000
Ras: Friesian dan kelemahan. Prognosis: mL larutan
Holstein Perawat kandang Dubius dextrose 5%)
Nomor ID: 301 menyebutkan bahwa melalui IV,
Jenis kelamin: sapi tiba-tiba Suportif
Betina ambruk dengan kaki (Biosan®,
Umur: 8 tahun belakang sulit electrovit®,
BCS: 2,1 skala 5 menumpu. sapi malases),
Suhu: 38.3ºC memiliki nafsu Antiperetik,
makan normal, Analgesik
warna rambut hitam (Sulpidon®)
putih, Berat badan dan Injeksi
33

berkisar 350 – 370 kalsium


kg dengan. (Calcidex®).

Pembahasan

Pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa sapi mengalami gejala penyakit


downer cow syndrome. Menurut Kumari dan Kaswan (2013), downer cow
syndrome merupakan penyakit metabolisme yang biasa menyerang sapi perah
bunting tua sehingga menyebabkan sapi tidak mampu berdiri dan terus melakukan
rekumbensi lebih dari 24 jam setelah partus. Menurut Barlet dan Davicco (1992),
sapi mengalami downer cow syndrome apabila setelah 48 jam post partus sapi terus
melakukan rekumbensi dan tidak responsif terhadap pemberian Kalsium (Ca). Pada
kasus ini sapi sudah menunjukkan gejala tidak mampu berdiri selama 96 jam
disertai kelemahan otot.
Etiologi kejadian downer cow syndrome yang menyerang sapi perah dapat
dikaitkan dengan kelanjutan dari kejadian parturient paresis. Selain itu, penyakit ini
juga dapat berhubungan dengan milk fever, masalah muskuloskeletal dan syaraf,
penyakit sistemik yang berhubungan dengan kondisi metabolik (defisiensi Fosfor
(P), Magnesium (Mg), dan Kalium (K)), toksik, pencernaan, atau neurologis (Van
metre et al. 2001). Menurut Jonson (1983), downer cow syndrome dapat terjadi
karena myocardosis, hepatosis, sepsis mastitis. Berdasarkan hal tersebut terdapat
banyak faktor yang dapat menyebabkan sapi mengalami downer cow syndrome,
yaitu penyakit mastitis, gangguan metabolisme, kerusakan jaringan syaraf dan otot.
Berbagai macam patogenesa terjadinya downer cow syndrome seperti
keadaan hipokalemia yang dapat mengurangi daya eksitasi syaraf dan sel otot. Pada
keadaan ini yang disertai dengan gangguan metabolisme lainnya, toxaemia, trauma,
dan neurologis menyebabkan sapi melakukan sternal recumbency. Hal ini
menyebabkan tekanan pada jaringan otot dan syaraf pada sapi (faktor sekunder)
sehingga menyebabkan kongesti vena dan trombosis hingga edema jaringan dan
berakhir nekrosis iskemik. Selain itu, keadaan tekanan pada jaringan dapat
menyebabkan kerusakan otot dan hemoragi (faktor tersier).
Sapi dengan rekumbensi sampai hari ke-7 memiliki prognosis yang dubius
tergantung dari manajemen pengobatan yang dilakukan (Geetha dan Gnanaraj
2017). Pada kasus ini sapi diberikan beberapa pengobatan serta perbaikan pada
manajemen kandang, tetapi upaya yang dilakukan masih belum cukup untuk
membuat sapi kembali sehat. Manajemen yang dapat dilakukan untuk sapi yang
mengalami ambruk yaitu sapi harus dilakukan rolling dari satu sisi ke sisi lainnya
setiap 3 jam untuk mencegah perlukaan. Sapi juga perlu dibantu untuk berdiri
minimal selama 30 menit sebanyak 4 sampai 5 kali dalam satu hari. Dalam hal ini,
sapi dapat dibantu berdiri dengan bantuan alat seperti tali serta pemberian alas
kandang yang lembut sepeti karet (Kumari dan Kaswan 2013).
34

Larutan Dextrose 5% mengandung Dextrose monohydrat 5 gram/ 100 mL.


Indikasi pemberian larutan ini yaitu untuk menggantikan kehilangan cairan tubuh
serta kebutuhan karbohidrat. Pemberian Elektrovit® dan Biosan® mengandung
ATP, Mg, K, Na, Vitamin B serta berbagai vitamin dan mineral lainnya. Indikasi
pemberian obat ini yaitu untuk menjaga mengembalikan stamina tubuh hewan,
menguatkan otot yang lemah, kekurangan makanan, infeksi penyakit. Injeksi
Sulpidon® sebagai analgesik dan antiperetik. Pilihan obat tersebut biasa diberikan
untuk menangani kasus ambruk pada sapi.

Artritis

Artritis merupakan peradangan pada sendi. Secara umum artritis dapat


dibagi menjadi dua yaitu artritis degenarif dan artritis sepsis. Artritis degeneratif
dicirikan dengan degenerasi tulang rawan persendian sehingga menyebabkan
perubahan bentuk persendian. Degenerasi tulang rawan ini menyebabkan
peradangan pada membran synovial dan proliferasi tulang yang tidak normal pada
persendian (Desrochers 2013). Bakterial artritis merupakan bentuk yang umum
pada artritis sepsis. Infeksi bakteri berasal dari trauma langsung atau kontaminasi,
infeksi descenden, dan agen yang bersifat hematogen. Persendian distal seperti
persendian interphalangeal dan persendian fetlock merupakan daerah yang paling
sering terinfeksi oleh trauma langsung (Desrochers dan Francoz 2014).
Artritis dapat disebabkan oleh infeksi yang berasal dari luka disekitar sendi,
luka tusukan pada sendi atau agen yang bersifat hematogen dan limfogen. Infeksi
yang bersifat asenden disertai dengan adanya tenosinofitis dengan pyemia yang
berbentuk tuberkel. Infeksi dapat bertahan tergantung dari tingkat keparahan factor
penyebab seperti banyaknya agen penyebab, pertahan tubuh, virulensi dari
organisme penyebab, dan faktor lokal pada sendi (Nouri et al. 2013).

Gambar 15 Arthritis pada persendian ekstemitas kaki kanan depan

No Sinyalemen Anamnesa Diagnosa Pengobatan


1 Jenis hewan: Seekor pedet Arthritis Limoxin LA
Sapi mengalami Prognosis: (oxytetracycline).
pembengkakan pada Dubius
35

Ras: Friesian bagian persendian Tolfedine ® 3 ml


Holstein ekstremitas kaki secara IM.
Nomor ID: kanan depan. Sapi
2111 dalam keadaan
Jenis kelamin: tenang dan
Betina mengalami demam
Umur: 2 dengan sendi
minggu ekstremitas depan
Suhu: 39.5oC yang ketika di
sentuh hewan
merespon sakit.

Pembahasan

Kejadian artritis dapat disebabkan oleh trauma pada persendian itu sendiri,
perkembangan dari penyakit lain (osteochondrosis) atau akibat dari infeksi bakteri.
Artritis banyak terjadi di ekstremitas kaki depan dan kaki belakang. Pengobatan
utama yang dilakukan pada kasus arthritis yaitu pemberian antibiotik untuk
membunuh bakteri dan antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada kejadian.
Manajemen akan berbeda tergantung dengan jenis bakteri yang menginfeksi, lokasi
persendian dan rentang waktu kejadian penyakit (Anderson dan francoz 2014).
Gejala klinis dari artritis degeneratif bervariasi tergantung dari penyebab,
umur, aktifitas, dan perkandangan. Penyakit ini umumnya dimulai dengan
kebengkakan ringan dan kepincangan. Hewan akan menghabiskan banyak waktu
untuk berebaring dan akan lebih enggan untuk berdiri dan berjalan (Desrochers
2013). Gejala klinis pada artritis sepsis diantaranya adalah kepincangan akut,
kebengkakan sendi, serta nyeri dan panas saat dipalpasi dan dimanipulasi
(Desrochers dan Francoz 2014). Nouri et al. (2013), juga mengatakan bahwa gejala
klinis pada sapi yang mengalami artritis adalah terdapat edema yang hangat dan
sensitif saat palpasi.
Kasus lapang yang terjadi diduga terjadi akibat desain kandang yang buruk.
Kandang terlalu sempit dan juga banyak terdapat benjolan seperti paku dan kayu.
Alas kandang yang kotor juga dapat menjadi penyebab penyakit ini. Menurut Nuori
et al. (2013), lesi artritis pada fetlock berkaiatan dengan desain kandang yang
buruk, lantai yang kasar, dan alas kandang yang buruk. Selain itu kesehatan dari
kulit disekitar sendi juga berpengaruh terhadap terjadinya artritis. Banyakknya
mikroorganisme pada feses dan alas kandang dapat menyebabkan infeksi pada
persendia dengan rute masuk melalui kulit. Infeksi yang bersifat pyogen pada sendi
hanya dapat terjadi apabila luka pada kulit bersifat terbuka atau berbentuk fistula.
Apabila rongga diantara persendian tidak terisi oleh cairan sendi maka, fistula akan
bekembang lebih cepat. Proses yang awalnya besifat septic akan menyebabkan
36

terjadinya kerusakan pada kartilago tulang, apabila proses ini berlanjut menjadi
aseptik maka kerusakan pada tulang akan lebih cepat terjadi.
Pemberian antibiotik berupa pemberian Limoxin LA. Oxytetracycline
merupakan antibiotik spektrum luas yang mekanisme aksinya dengan mengikat
subunit ribosom 30S dan menghambat sintesis protein (Fangidae et al. 2019).
Kemudian diberikan pemberian tolfedine ® 3 ml secara IM. Tolfedine mengandung
tofenamic acid yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik dan antipiretik yang
kuat. Keadaan lingkungan dan sanitasi kandang diduga ikut mempengaruhi
kejadian arthritis. Dimana apabila lingkungan sekitar kandang menjadi basah dan
mudah kotor, akan menyebabkan perkembangan mikroorganisme lebih cepat serta
lantai kandang menjadi licin. Lingkungan dan area sekitar kendang harus tetap
dijaga agar tetap bersih untuk mengurangi kemungkinan hewan ternak terpapar
dengan mikroorganisme disekitarnya. Faktor lain yang dapat menyebabkan
kejadian arthritis berasal dari hewan itu sendiri seperti umur, body condition score,
bobot badan, ras, produksi susu dan masa laktasi (Kester et al. 2014).

Mastitis Klinis

Penyakit pada radang ambing disebut dengan mastitis merupakan salah satu
penyakit yang sering menyerang sapi perah dan sangat merugikan (Sudarwanto dan
Sudarnika 2008). Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar ambing
dengan berbagai penyebab dan derajat keparahan pada ternak sapi perah (Nurhayati
2014). Mastitis klinis mengakibatkan perubahan fisik susu maupun kelenjar
ambing. Perubahan fisik susu yang dapat terlihat yaitu susu pecah, bercampur
nanah, bercampur darah, dan berjonjot. Sedangkan perubahan kelenjar ambing
yang dapat terlihat yaitu membengkak, asimetris, bila dipegang panas, dan dapat
menunjukkan adanya respon sakit bila dipegang (Sudhan dan Sharma 2010).

Gambar 16 Kondisi ambing sapi bengkak, memerah, dan susu tidak normal
37

Gambar 17 Pemberian antibiotik pada sapi mastitis

No Sinyalemen Anamnesa Diagnosa Pengobatan


1 Jenis hewan: Sapi Mastisis klinis Pemerahan
Sapi mengalami Prognosis: berkala yang
Ras: Friesian gangguan pada Fausta susunya tidak
Holstein produksi susu dikonsumsi,
Nomor ID: 455 dimana susu yang Antibiotik
Jenis kelamin: dihasilkan Terrexin®
Betina menggumpal, selama 5 hari.
Umur: 7 tahun berwarna Terapi suportif
Suhu: 38.3˚C kekuningan, dan Injectamin® 20
BCS: 2,7 skala 5. produksinya ml, B-
®
Berat badan: ± menurun, ambing Kompleks 20
400 kg membesar, suhu ml melalui IM.
sekitar ambing
panas, ambing
kemerahan dengan
konsistensi
mengental.

Pembahasan

Berdasarkan pengamatan gejala klinis yang ditemukan di lapangan terhadap


sapi 455, menunjukkan gejala berupa adanya pembengkakan pada ambing, ambing
terasa keras dan panas. Perubahan fisik pada susu berupa perubahan warna menjadi
kekuningan, konsistensi mengental dan ada gumpalan, dan produksinya menurun.
Menurut Hidayat (2008), gejala mastitis klinis meliputi: kondisi umum ternak
terlihat lesu, dan tidak mau makan, tanda-tanda adanya peradangan pada ambing
yang membengkak, panas, kemerahan, nyeri bila diraba dan mengalami perubahan
fungsi, perubahan pada susu yaitu memancar tidak normal, bening atau encer,
kental, menggumpal atau berbentuk seperti mie, warna berubah menjadi
kekuningan, kecoklatan, kehijauan, kemerahan atau terdapat bercak-bercak merah.
Diagnosa kasus mastitis klinis dapat langsung ditentukan berdasarkan gejala yang
38

tampak, seperti ambing atau puting yang membengkak dan merah, susu menjadi
kental bercampur gumpalan-gumpalan, dan terdapat darah atau nanah yang
bercampur dengan susu (Blowey & Weaver 2011). Sedangkan menurut Peter et al.
(2017) diagnosis awal mastitis klinis dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan fisik rutin dan pemeriksaan sampel susu di laboratorium.
Salah satu yang dapat menjadi faktor predisposisi kejadian mastitis yaitu
faktor lingkungan, Kandang yang kotor, kepadatan sapi yang tinggi, serta
pemerahan yang salah dapat mengakibatkan kejadian mastitis meningkat. Oleh
karena itu perlakuan teat dipping saat proses pemerahan sangat penting dilakukan.
Menurut Mahardika (2016), perlakuan teat dipping menurunkan jumlah sel somatik
pada air susu sapi perah. Sel somatik di dalam air susu terutama terdiri dari leukosit
dan beberapa dari sel epitel. Peningkatan jumlah sel somatik di dalam air susu
menunjukkan adanya gangguan di dalam kelenjar susu terutama peradangan pada
kelenjar susu atau mastitis. Penularan mastitis biasa terjadi dari seekor sapi ke sapi
lain dan dari kuartir terinfeksi ke kuartir normal melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat. Proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi disekitar lubang puting (sphincter),
kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting
yang terbuka ataupun karena adanya luka.
Penyebab dari penyakit mastitis diantaranya bakteri dan cendawan. Bakteri
penyebab mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis,
bakteri coliform terutama Klebsiella dan Pseudomonas aerugenosa (Sharif et al.
2009). Selain disebabkan oleh bakteri, mastitis dapat disebabkan oleh cendawan
atau kapang disebut mastitis mikotik, biasanya bersifat kronis dan gejala klinisnya
sulit diamati karena tidak berbeda dengan mastitis bakterial (Martindah et al. 2009).
Faktor-faktor penyebab mastitis selain karena mikroorganisme juga dapat
disebabkan oleh ternak dan lingkungan. Mikroba yang ada di lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya mastitis yang masuk melalui puting saat proses pemerahan
ataupun setelah proses pemerahan saat kondisi lubang puting masih terbuka
(Pisestyani et al. 2017).
Ambing yang telah terinfeksi dapat menginfeksi ambing yang lain melalui
proses pemerahan baik pemerahan dengan mesin, atau pemerahan manual dengan
tangan, selain itu juga dapat menyebar melalui bahan-bahan lain yang dapat
menjadi pembawa mikroorganisme (Peter et al. 2017). Sapi akan memberikan
respon ke leukosit sebagai pertahanan untuk mengeliminasi mikroba. Hal tersebut
mengakibatkan pembuluh darah pada ambing akan mengalami vasodilatasi dan
terjadi peningkatan aliran darah ke ambing. Hal tersebut menyebabkan pembuluh
darah mengalami peningkatan disertai dengan pembentukan produk-produk
inflamasi. Ambing sapi 455 mengalami kebengkakan yang terjadi karena adanya
filtrasi cairan yang berisi sel radang ke ekstraseluler kelenjar mamae. Keluarnya
39

sel-sel neutofil dan makrofag dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi.
Apabila infeksi terus berlanjut maka akan mengakibatkan infeksi yang kronis
dengan ditandai terbentuknya jaringan ikat sehingga ambing menjadi keras dan
produksi susu terhenti (Luthvin 2007).
Pencegahan mastitis klinis pada sapi perah yang paling utama adalah
dengan menjaga kebersihan baik pada sapi, kandang, petugas pemerahan dan juga
alat terutama saat pemerahan. Tindakan celup puting dengan menggunakan
antiseptik bertujuan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui
lubang puting. Larutan yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine,
Chlorhexidine, Chlorin 4%, dan alkohol 70% (Siregar 2010). Menurut OIE (2006),
sanitasi, dan higiene personal harus dilakukan oleh setiap pekerja. Standar sanitasi
yang harus dilakukan setiap pekerja yaitu dengan memakai pakaian yang bersih,
memakai sepatu boot yang dibersihkan secara teratur, tidak memiliki luka terbuka
dan selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja. Keberadaan serangga,
rodensia, dan hewan lain merupakan sumber penyebaran penyakit yang perlu
diperhatikan, oleh karena itu perlu diadakan pengawasan dan pengendalian agar
hewan-hewan tersebut tidak dapat masuk ke dalam peternakan. Perlu diperhatikan
juga bahwa kita harus memperhatikan kebersihan ambing agar dapat menurunkan
kemungkinan paparan agen patogen terhadap puting atau melalui peningkatan daya
tahan ternak terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.
Bakteri dapat masuk ke kelenjar ambing melalui puting. Pada dasarnya,
ambing sudah dilengkapi dengan perangkat pertahanan, untuk menjaga agar air
susu tetap dalam keadaan steril dan tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat
pertahanan yang dimiliki oleh ambing antara lain, perangkat pertahanan mekanis,
pertahanan seluler dan perangkat pertahanan nonspesifik. Tingkat pertahanan
ambing mencapai titik terendah sesudah dilakukan pemerahan, karena otot
sphincter puting saat itu masih terbuka sekitar 2-3 jam, sel darah putih sangat minim
jumlahnya, dan antibody, serta enzim juga habis ikut terperah (Sharif et al. 2009).
Hal ini menjadi alasan agar ternak diupayakan tetap berdiri setelah proses
pemerahan dengan menyediakan pakan dan minuman setelah proses pemerahan.
Kandang harus diupayakan agar tetap bersih ketika ternak berbaring (Nurhayati
2014).

Indigesti Rumen

Indigesti adalah penyakit pada saluran pencernaan. Penyakit ini sering


terjadi pada sapi terutama yang dikandangkan. Penyebab utama biasanya adalah
pakan yang terlalu tinggi kandungan seratnya. Faktor risiko terjadinya indigesti
adalah perubahan pakan mendadak, kualitas pakan buruk, pemberian antibiotika
jangka panjang atau kekurangan minum
Gejala klinis bergantung pada hewan dan penyebab. Pemberian pakan silage
berlebihan atau hay dapat menyebabkan indigesti. Pada sapi laktasi terjadi
40

penurunan produksi susu. Sapi kadang anoreksia, namun adakalanya sapi makan
terus. Hal ini karena tidak ada makanan yang masuk ke dalam ususnya dan
diabsorbsi sehingga sapi merasa lapar. Rumen sangat penuh, sarat dan keras.
Palpasi atau uji tinju pada daerah flank (rumen) akan membekas seperti kita
menekan tanah liat. Kontraksi rumen menurun bahkan kadang tidak ada sama
sekali. Temperatur dan pulsus normal. Konsistensi feses normal atau mengeras,
seringkali jumlahnya menurun bahkan tidak ada masa feses di dalam saluran
pencernaan. Kondisi bisa jadi bertambah parah menjadi asidosis rumen.

No Sinyalemen Anamnesa Diagnosa Pengobatan


1 Jenis hewan: Pada tanggal 21 Indigesti. Dextrose 5%
Sapi Desember 2021 Sapi Prognosa: dan 10%
Ras: Friesian mengalami defekasi Fausta. melalui IV,
Holstein agak encer gelap dan Suportif
Nomor ID: ditemukan rumput, (Biosan®, B-
18147 dan motilitas rumen Kompleks®)
Jenis kelamin: menurun. Perawat Antipiretik
Betina kandang Analgesik
Umur: 3 tahun menyebutkan bahwa (Sulpidon®).
Suhu: 38.3˚C sapi lemas dan tidak
BCS: 1,7 skala 5 nafsu makan dengan
Berat badan: ± keadaan lemas dan
350 kg kondisi tubuh kotor
Suhu tubuh bagian pinggul.
38.8ºC

Gambar 18 Kondisi sapi indigesti rumen

Pembahasan
41

Indigesti rumen merupakan sindrom gangguan pencernaan yang berasal dari


rumen atau, yang ditandai dengan penurunan/ hilangnya gerakan/ tonus rumen,
hingga ingesta tertimbun didalamnya dan disertai konstipasi (Subronto 2008).
Proses indigesti ini berlangsung dari beberapa jam hingga kurang lebih dua hari.
Umumnya kejadian timbul akibat perubahan pakan yang mendadak, pakan dengan
serat kasar terlalu tinggi yang tidak diimbangi dengan cairan yang cukup (kurang
minum) akan memudahkan terjadinya indigesti. Penyebab indigesti yang lain sapi
konsumsi pakan yang kandungan proteinnya terlalu tingi, bahan pakan berjamur,
pemberian obat antimikrobial yang berlebihan (Syed et al. 2017).
Pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa sapi mengalami Indigesti rumen.
Menurut Triakoso (2013), Penyebab utama biasanya adalah pakan yang terlalu
tinggi kandungan seratnya. Pemberian pakan dengan kandungan serat kasar tinggi
dan jumlahnya banyak menyebabkan otot-otot rumen berkontraksi lebih keras
sehingga menyebabkan otot-otot rumen mengalami kelelahan. Keadaan ini akan
menyebabkan penurunan gerak rumen (hipotonia) dan akhirnya gerak rumen hilang
(atonia). Faktor risiko terjadinya indigesti adalah perubahan pakan mendadak,
kualitas pakan buruk, pemberian antibiotika jangka panjang atau kekurangan
minum (Syed 2017).
Pemberian pakan dengan kandungan protein tinggi atau bahan baku yang
mudah mengalami pembusukan akan menghasilkan amonia sehingga pH rumen
mengalami penurunan menjadi ± 4 (Subronto 2008). Pada keadaan asam bakteri
fermentatif yang tidak tahan asam akan mati sehingga proses fermentatif makanan
terganggu menyebabkan ingesta tertimbun di rumen. Kondisi tersebut secara
reflektoris rumen akan berkontraksi terus menerus menyebabkan otot-otot rumen
mengalami kelelahan terjadi penurunan gerak rumen (hipotonia) akan berujung
terhadap kejadian indigesti rumen.
Pengobatan yang dilakukan pada sapi yaitu pemberian infus IV (1000 mL
larutan dextrose 5%) melalui IV, Suportif (Biosan®, B-Kompleks®, electrovit®,
molases), Antipiretik dan Analgesik (Sulpidon®). Pemberian infus bertujuan untuk
mengatasi hipoglikemia pada sapi sehingga terjadi penggantian energi baru.
Pemberian obat suportif untuk mencegah kekurangan vitamin, penguat otot,
menambah daya tahan tubuh serta mempercepat persembuhan jika terjadi infeksi.
Penggunaan Sulpidon® bertujuan sebagai antispasmodik dan analgesik.
Antispasmodik merupakan golongan obat yang memiliki sifat relaksan otot polos
sehingga kontraksi tidak terjadi berlebihan yang dapat memperparah keadaan
indigesti rumen. Pencegahan yang dapat dilakukan dengan mengenhentikan pakan
silase atau pakan yang tinggi kandungan serat. Selain itu dengan memberikan pakan
yang baik, rumput segar dan air. Pemberian rumenotorik akan membantu
meningkatkan kontraksi rumen. Air yang diberikan sekitar 20-40 liter untuk
memperbaiki fungsi rumen. Bisa juga ditambahkan antasida untuk mengatur pH
rumen. Pemberian vitamin B akan membantu proses pencernaan mikrobial dan
42

pergerakan rumen. Bila mungkin berikan isi rumen hewan lain untuk membantu
memperbaiki fermentasi mikroba di dalam rumen.

SIMPULAN

Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah ini mampu meningkatkan


pengetahuan dalam bidang manajemen sapi perah secara umum. Adapun
manajemen kesehatan sapi perah yang dipelajari meliputi kesehatan reproduksi sapi
perah, mengenal gangguan reproduksi sapi perah, manajemen pemeliharaan pedet,
serta menambah pengalaman dalam menentukan diagnosa, prognosa, terapi, dan
melatih keterampilan penerapan teknologi reproduksi.

DAFTAR PUSTAKA

[Kementan] Kementrian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia.


Jakarta (ID): Direktorat Kesehatan Hewan.
[OIE] Office International des Epizooties. 2006. Guide to good farming practices
for animal production food safety. Paris: Animal Production Food Safety
Working Group World Organization for Animal Health.
[SNI]. 2011. Syarat Mutu Susu Segar. SNI No. 01-3141-2011.
Abdisa T. 2018. Review on the Reproductive Health Problem of Dairy Cattle.
Journal of Dairy and Veterinary Science. 5(1): 1-12.
Abdullah MAN, Novita CI, Sari EM. 2019. Manajemen Reproduksi Ternak Sapi.
Banda Aceh (ID): Syiah Kuala University Press.
Abdullah MAN, Novita CI, Sari EM. 2019. Manajemen Reproduksi Ternak Sapi.
Banda Aceh (ID): Syiah Kuala University Press.
Agustina P, Firmansyah, Idris N. 2015. Analisis Faktor Faktor Yang
Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah Dikabupaten Karo Sumatera Utara.
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. Universitas Jambi. (18): 28-35
Ali F, Lodhi L. A., Hussain R. And Sofyan M. 2014. Oxidative Status and Some
Serum Macro Minerals During Estrus, Anestrus and repeat Breading in
Cholistani Cattle. Pak Vet J, 34 (4) : 532-534.
ASOHI. 2013. Indeks Obat Indonesia. Ed IX. Jakarta (ID): Gita Pustaka.
Ball PJH, Peters AR. 2004. Reproduction in Cattle 3th Edition. Oxford USA (US):
Blackwell Publising.
Barlet JP, Davicco MJ. 1993. 1ɑ-Hidroxycholecalciferol for the treatment of the
downer cow syndrome. Journal of Dairy Science. 75: 1253-1256.
43

Beagley JC, Whitman KJ, Baptiste KE, dan Scherzer J. 2010. Physiology and
treatment of retained fetal membranes in cattle. J. Vet. Intern. Med. 24: 261-
268.
Bekele, Natnael, Addis Mekonnen, Abdela Nejash, Ahmed Wahid. 2016.
Pregnancy diagnosis in cattle for fertility management: a review. Global
Veterinaria. 16: 355-364.
Blowey RW, Weaver D. 2011. Color Atlas of Disease and Disorders of Cattle 3rd
Edition. London (UK): Mosby Elsevier.
Bojrab MJ, Waldron, DR, Toombs JP. 2014. Current Techniques In Small Animal
Surgery 5th Edition. Jackson, WY (US): Tenton New Media
Bondurant RH. 1999. Inflammation in the bovine reproductive tract. J Dairy Sci.
82(2): 101–110.
Brett JA, Meiring RW. 2015. Evaluating Reproductive Performance on Dairy
Farms. Di dalam: Hopper RM, ed. Bovine Reproduction. Oxford (UK): John
Wiley & Sons, Inc.
Broaddus B., de Vries A. 2005. Comparison of methods for early pregnancy
diagnosis. (Proceedings) 2nd Florida Dairy Road Show. 22-29.
Desroscher A, Francoz D. 2014. Clinic management of septic arthritis in cattle. Vet
Clin Food Anim. 30 (2014): 177-203.
Desroscher A. 2013. Non-infectious lameness. WCDS Advances in Dairy
Technology. 25: 255 – 266.
Fangidae YP, Indarjulianto S, Nururrozi A, Yanuartono. 2019. Laporan Kasus:
Penanganan Enteritis pada Kambing Peranakan Ettawa Akibat Nematodiasis
dan Koksidiosis. Ind Med Vet. 8 (2): 225-237.
Hadiwiyoto S. 1994. Teori Dan Prosedur Pengujian Mutu Susudan Hasil
Olahannya. Edisi ke-2. Liberty. Yogyakarta.
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelphia (AS):
Lippincott William and Wilkinds.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals: Anatomy of Male
Reproduction. 7th ed. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Hemayatul I, Sarder JU, Jahan SS, Rahman M, Zahan M, Kader A, Mozaffor HKM.
2013. Retained placenta of dairy cows associated with managemental factors
in Rajshahi, Bangladesh. Journal of Veterinary World. 6(4): 180-189.
Hemayatul. 2012. Retained placenta of dairy cows associated with managemental
factors in Rajshahi, Banglades. Department of Animal Husbandry and
Veterinary Science, University of Rajshahi, Bangladesh.
Hidayat A. 2008. Buku Petunjuk Praktis untuk Peternak Sapi Perah tentang,
Manajemen Kesehatan Pemerahan. Bandung (ID): Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat.
Hilton W, Mark, Funnell JB. 2016. Management and Prevantion of Dystocia.
Review Article. Veterinary Clinics of North America: Food Animal Practice.
32 (2): 511-522
44

Hoesni F. 2015. Pengaruh keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) antara sapi bali dara
dengan sapi bali yang pernah beranak di Kecamatan Pemayung Kabupaten
Batanghari. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi.15 (4):20-27.
Hopper RM. 2014. Bovine Reproduction. Mississippi (US): Wiley Blackwel.
Jackson PG. 2007. Hanbook Obstetrik Veteriner. 2nd Ed. Diterjemahkan oleh Aris
Junaidi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Jaśkowski, Magdalena Herudzińska, Marek Gehrke. 2019. Rectal palpation for
pregnancy in cows: A relic or an alternative to modern diagnostic methods.
Med. Weter. 75(5): 259-264.
Jonsson G. 1983. The downer cow syndrome. Indian Journal of Veterinary
Medicine. 3: 1-8.
Kester E, Holzhauer, Frankena K. 2014. A descriptive review of the prevalence and
risk factors of hock lessions in dairy cows. Vet J. 202: 222-228.
Khotimah K dan Farizal. 2013. Kualitas mikrobiologi kolostrum sapi perah FH
pada waktu pemerahan yang berbeda di peternakan rakyat. Jurnal Ilmu
Ternak. 13(2): 13-17.
Kumar A, Singh VK, Bhatt S, Archana, dan Kumar H. 2021. Therapeutic
management of bottle jaw syndrome in cattle associated with bovine
fasciolosis. The Pharma Innovation Journal. 10 (9): 722-724.
Kumari N, Kaswan BL. 2013. Succesfull management of downer cow syndrome in
cow by medicinal treatment along with physiotherapy. International Journal
of Science and research. 6(14): 828-829
Leblanc SJ. 2012. Interactions of metabolism, inflammation, and reproductive tract
health in the postpartum period in dairy cattle. Journal of Reproduction in
Domestic Animals. 47(5): 18-30.
Luthvin. 2007.Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis dengan Uji
Fermentasi Mannitol dan Deteksi Produksi Asetoin Pada Sapi Perah Di
Wilayah Kerja Koperasi Usaha Tani Ternak Suka Makmur Grati Pasuruan.
Jurnal Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Air Langga,
Jawa Timur.
Mahardika HA. 2016. Pengaruh suhu air pencucian ambing dan teat dipping
terhadap jumlah produksi, kualitas dan jumlah sel somatik susu pada
peternakan sapi peranakan Fresian Holstein. Buletin Peternakan. 40 (1):11-
19.
Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta (ID): Proyek Peningkatan
Peneliatian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
Martindah E, Sani Y, Noor SM. 2009. Penyakit endemis pada sapi perah dan
penanggulangannya. Dalam: Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T,
penyunting. Profil usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Jakarta
(Indonesia): LIPI Press. hlm. 209-257.
45

McDougall S. 2001. Effect of intrauterine antibiotic treatment on reproductive


performance of dairy cows following periparturient disease. N Z Vet J.
49:150–158.
Nouri M, Marjanmehr SH, Nowrouzian I. 2013. Deep septic arthritis of the fetlock
joint in two dairy cows: clinical, radhiographic and pathomorphologic
findings. Journal of Animal and Poultry Sciences. 2(1):19-26.
Nurhayati IS. 2014. Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian
Antibiotik pada saat Kering Kandang di KPSBU Lembang Jawa Barat [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Peter D, Kenneth W, Hinchcliff SH, Walter G. 2015. Veterinary Medicine: The
diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs, and Goats. Edisi ke11. Saint
Louis(US): Mosby Elsevier.
Peters AR, Ball PJH. 2004. Reproduction in Cattle. 3nd edition. Garsington Road,
Oxford OX4 2DQ, (UK): Blackwell Publishing
Pisestyani H, Sudarnika E, Ramadhanita R, Ilyas AZ, Wicaksono A, Basri C,
Nugraha AB, Sudarwanto M. 2017. Perlakuan celup puting setelah
pemerahan terhadap keberadaan patogen Staphylococcus aureus,
Streptococcus agalactine, dan E. coli pada sapi perah penderita mastitis
subklinis dipeternakan kunak bogor. Jurnal sain veteriner. 35(1):63-70.
Plumb DC. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook. Wisconsin
(US): PharmaVet Inc.
Putro PP, Kusumawati A. 2015. Dinamika folikel ovulasi setelah sinkronisasi estrus
dengan prostaglandin F2a pada sapi perah. JSV 32 (1):22-31.
Rajalakshmi R, Kalyaan US, Rangasamy S, Sarath T, Arunmozi N, Krishnakumar
K. 2020. Successful Management of a Spontaneous Abortion During Last
Trimester in a Non-Descript Bovine Heifer-A Case Report. International
Journal of Livestock Research. 10(11): 172-175.
Resla MS, Miwada INS, Parimartha IKW. 2019. Manajemen Pemerahan SapiPerah
Holstein di Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu. Jurnal
Peternakan Tropika. Universitas Udayana, Bali. (7): 222-230
Rista. 2011. Hubungan Retensio Sekundinae dan Endometritis dengan Efisiensi
Reproduksi pada Sapi Perah, Studi Kasus Di Koperasi Peternak Sapi
Bandung Utara (Kpsbu) Lembang, Jawa Barat. Bogor (ID): Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ruhiat E. 2014. Promblem post partus pada sapi. Buletin Laboratorium Veteriner.
14(4): 31-37.
Sammin D, Markey B, Bassett H, Buxton D. 2009. The ovine placenta and
placentitis a review. Vet Microbiol.
Schutz KE, Cox NR, Matthews LR. 2008. How important is shade to dairy cattle?
Choice between shade or lying following different levels of lying deprivation.
Appl Anim Behav Sci. 114:307-318.
46

Sharif A, Muhammad U, Ghulam M.2009. Mastitis control in dairy production.


J.Agric. Soc. Sci. 5:102-105.
Sheldon IM. 2004. The postpartum uterus. Veterinary Clinics of North America
Food Animal Practice. 20:569-591.
Shenavai S, Hoffmann B, Dilly M, Pfarrer C, Ozalp GR, Caliskan C, Intas KS,
Schuler G. 2010. Use of the progesterone (P4) receptor antagonist
aglepristone to characterize the role of P4 withdrawal for parturition and
placental release in cows. Reproduction.
Singh M, Sharma A, Kumar P. 2019. Bovine dystocia: An overview. Journal of
Veterinary Science and Zoology. 1.
Siregar, A. Z. 2010. Pengaruh celup puting sari buah mengkudu (Morinda Citrifolia
L) terhadap kasus mastitis subklinis pada sapi perah berdasarkan pemeriksaan
total plate count [Internet]. [diunduh 2021 Nov 27]. Tersedia
pada:http://www.fkh.unair.ac.id/artikel1/2010/ARTIKEL%20ILMIAH%20
A.pdf.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Yogyakarta (ID): Yogyakarta
Press.
Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Hubungan antara pH susu dengan jumlah sel
somatik sebagai parameter mastitis subklinik. Media Peternakan. 31(2): 107-
113.
Sudhan NA, Sharma. 2010. Mastitis-an important production of dairy animals.
SMVS Dairy Year Book. 72-88.
Sudono AR, Rosdiana F, Setiawan BS. 2008. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Agromedia. Bogor.
Suttle N. F. 2010. Mineral Nutrition of Livestock : 4th Edition. CABI (UK). United
Kingdom.
Syed AM, Aher VD, Mane PM, Gangane GR. 2017. Efficacy of a Polyherbal Drug
against Indigestion in Bovine. Inter J Vet Sci. 6(4): 196-198
Toelihere MR. 2001. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung (ID): Angkasa.
Tufani NA, Makhdoomi DM, Hafiz A. 2012. Epidemiology and therapeutic
management of bovine mastitis. Ind J. Anim. Res. 46(2): 148 – 151.
Velladurai C, Selvaraju M and Ezakial Napolean R. 2016. Effect of Macro and
Micro Minerals on Reproduction in Dairy Cattle A Review. International
Journal of Scientific research in Science and Tecnology. 2(1): 68-70.
Waluyo ST. 2014. Reproduksi Aplikatif pada Sapi. Bandung (ID): Srikandi Empat
widya Utama.
Winugroho M. 2012. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki
efisiensi reproduksi induk sapi. Jurnal Litbang Pertanian. 21(1): 19-23.
47

Yadav R, Yadav P, Singh G, Kumar S, Dutt R, dan Pandey AK. 2021. Non-
infectious causes of abortion in livestock animals – a review. International
Journal of Livestock Research. 11 (2): 1-13.
Yasothai R. 2014. Importance of Minerals on Reproduction in Dairy Cattle. Review
Article. International Journal of Science, Environment and Technology, Vol.
3, No 6. 2051-2057.
Youngquist RS, Threlfall WR. 2007. Current Therapy in Large Animal
theriogenology. 2nd. London (UK): Saunders Elsevier
Youngquist RS. 2006. Pregnancy diagnosis. Current therapy in large animal
theriogenology. St. Louis, MO: Elsevier Health Sciences.
Zhang H. 2020. Abortioin and various associated risk factors in dairy cow and sheep
in lli, china. PLoS ONE. 15 (10): e0232568.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rekam Medik Sapi nomor 18114 kasus metritis


Tanggal DIM Temp Keterangan Treatment
12 Desember 2021 4 39.7 Demam Spull Penstrep 1
Sulpidon
13 Desember 2021 5 39.3 Demam Sulpidon
14 Desember 2021 6 39.4 - -
15 Desember 2021 7 39.2 - Spull Penstrep 2
16 Desember 2021 8 38.8 - -
17 Desember 2021 9 38.9 - -
18 Desember 2021 10 39.2 Demam dan Tolfedine
ditemukan myasis B Complex
Spull penstrep 3
48

19 Desember 2021 11 38.8 - -


20 Desember 2021 12 38.4 - -
21 Desember 2021 13 38.4 Limoxin LA 1
22 Desember 2021 14 38.8 - -
23 Desember 2021 15 38.2 - -
24 Desember 2021 16 38.7 - Limoxin LA 2
25 Desember 2021 17 38.4 - -
26 Desember 2021 18 38.3 - -
27 Desember 2021 19 38.6 Kondisi sudah -
mulai membaik,
saat di palpasi
tidak ada cairan
yang keluar
49

Lampiran 2 Rekapan kasus harian


No Tanggal Kasus Sinyalemen Anamnesa Treatment
1 06-12-2021 Metritis ID : 305 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA®
Jenis hewan : Sapi cairan kuning 5 ml
Ras : Frisien Holstein bercampur lender
Umur : 7 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina

2. 06-12-2021 Endometritis ID : 5067 Sapi mengeluarkan Spull Penstrep 5 ml


Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 7 tahun kental dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
3. 06-12-2021 Enteritis ID : 2111 Sapi mengeluarkan Collibact ®
Jenis hewan : Sapi feses encer dan (Intramuscular) 2 ml,
Ras : Frisien Holstein berlendir Vetadryl®
Umur : 2 minggu (Intramuscular) 4 ml
Jenis Kelamin : Betina
4. 06-12-2021 Enteritis ID : 2111 Sapi mengeluarkan Collibact®
Jenis hewan : Sapi feses encer, berlendir (Intramuscular) 2 ml,
Ras : Frisien Holstein Vetadryl®
Umur : 2 minggu (Intramuscular) 3 ml
Jenis Kelamin : Betina
5. 07-12-2021 Enteritis ID : 2111 Sapi mengeluarkan Collibact®
Jenis hewan : Sapi feses encer dan (Intramuscular) 2 ml
Ras : Frisien Holstein berlendir Vetadryl®
Umur : 2 minggu (Intramuscular) 3 ml
Jenis Kelamin : Betina
6. 07-12-2021 Omphalitis ID : 21114 Pembengkakan pada Limoxin LA® 4 ml
Jenis hewan : Sapi daerah tali pusar sapi
Ras : Frisien Holstein
Umur : 2 minggu
Jenis Kelamin : Betina
7. 07-12-2021 Metritis ID : 18119 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lender
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
8. 07-12-2021 Metritis ID : 18010 Sapi mengeluarkan Spull Penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein
50

Umur : 3 tahun bercampur lender


Jenis Kelamin : Betina bening dari vulva

9. 08-12-2021 Metritis ID : 916 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA® 20


Jenis hewan : Sapi cairan kuning ml
Ras : Frisien Holstein bercampur lender
Umur : 7 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
10 08-12-2021 Metritis ID : 18095 Sapi mengeluarkan Spull Penstrep 20 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lender
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
11 08-12-2021 Abortus ID : 269 Sapi (BCS 3/5) dara Biosan® 20 ml secara
Jenis hewan : Sapi bunting mengalami IM
Ras : Frisien Holstein partus dengan kondisi Calcidex® 250 ml
Umur : 3 tahun fetus yang sudah tidak secara SC.
Jenis Kelamin : Betina bernyawa/abortus.
Diketahui status
kebuntingan sapi
tersebut berumur 8
bulan
12 08-12-2021 Omphalitis ID : 269 Pembengkakan pada Limoxin LA® 4 ml
Jenis hewan : Sapi daerah tali pusar sapi
Ras : Frisien Holstein
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
13 09-12-2021 Metritis ID : 269 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi lendir putih keruh
Ras : Frisien Holstein kental dari vulva
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
14 09-12-2021 Mastitis ID : 455 Susu menggumpal, Terexine® 10 ml
Jenis hewan : Sapi encer, ambing Intrauterine
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
15 09-12-2021 Metritis ID : 3232 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA® 5
Jenis hewan : Sapi lendir putih keruh ml
Ras : Frisien Holstein kental dari vulva
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Betina
51

16 09-12-2021 Penanganan ID : 18113 - Infus calcidex® 250 ml


calving Jenis hewan : Sapi
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
17 10-12-2021 Mastitis ID : 455 Susu menggumpal, Terexine® 10
Jenis hewan : Sapi encer, ambing mLIntrauterine
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
18 10-12-2021 Metritis ID : 18151 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
19 10-12-2021 Mastitis ID : 305 Susu menggumpal, Biomycin® 10 ml
Jenis hewan : Sapi encer, ambing (Intrauterine)
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
20 10-12-2021 Metritis ID : 18095 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA® 5
Jenis hewan : Sapi cairan kuning ml
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
21 11-12-2021 Metritis ID : 916 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA® 5
Jenis hewan : Sapi cairan kuning ml
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 7 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
22 11-12-2021 Metritis ID : 18095 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA® 5
Jenis hewan : Sapi cairan kuning ml
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
22 11-12-2021 Mastitis ID : 305 Sapi mengeluarkan Biomycin® 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning Intrauterine
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
52

23 11-12-2021 Mastitis ID : 455 Susu menggumpal, Terexine® 10


Jenis hewan : Sapi encer, ambing mLntrauterine
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
24 12-12-2021 Metritis ID : 18007 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 3 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
25 12-12-2021 Mastitis ID : 455 Susu menggumpal, Terexine® 10 ml
Jenis hewan : Sapi encer, ambing Intrauterine
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
26 12-12-2021 Mastitis ID : 305 Susu menggumpal, Biomycin® 10 ml
Jenis hewan : Sapi encer, ambing Intrauterine
Ras : Frisien Holstein bengkak
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
27 12-12-2021 Metritis ID : 3232 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kuning
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir
Umur : 8 tahun bening dari vulva
Jenis Kelamin : Betina
28 13-12-2021 Mastitis ID : 305 Kondisi puting dan Terrexin®
Jenis hewan : Sapi ambing membesar,
Ras : Frisien Holstein suhu sekitar ambing
Umur : 7 tahun panas, ambing
Jenis Kelamin : Betina kemerahan, warna
susu yang keluar putih
kekuningan dengan
konsistensi mengental
dan ada gumpalan
pada susu
29. 13-12-2021 Metritis ID : 18151 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 mL
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh, kental,
Umur : 3 tahun bercampur darah, dan
Jenis Kelamin : Betina berbau dari vulva
53

30. 13-12-2021 Calving ID : 19012 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml


Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
31. 13-12-2021 Calving ID : 18149 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
32. 14-12-2021 Metritis ID : 198095 Sapi mengeluarkan Spull Limoxin LA
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna 5 mL
Ras : Frisien Holstein merah dan bau dari
Umur : 2 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina

33. 14-12-2021 Mastitis ID : 305 Kondisi puting dan Terrexin®


Jenis hewan : Sapi ambing membesar,
Ras : Frisien Holstein suhu sekitar ambing
Umur : 7 tahun panas, ambing
Jenis Kelamin : Betina kemerahan, warna
susu yang keluar putih
kekuningan dengan
konsistensi mengental
dan ada gumpalan
pada susu
34. 14-12-2021 Enteritis ID : 21104 Kaki depan terdapat Glucortin 2 ml
Jenis hewan : Sapi luka terbuka
Ras : Frisien Holstein
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : Betina
35. 14-12-2021 Mastitis ID : 455 Kondisi puting dan Terrexin®
Jenis hewan : Sapi ambing membesar,
Ras : Frisien Holstein suhu sekitar ambing
Umur : 7 bulan panas, ambing
Jenis Kelamin : Betina kemerahan, warna
susu yang keluar putih
kekuningan dengan
konsistensi mengental
dan ada gumpalan
pada susu
54

36. 15-12-2021 Metritis ID : 18114 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 mL


Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh dari vulva
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
37 15-12-2021 Metritis ID : 18160 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 mL
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh dari vulva
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
38 15-12-2021 Calving ID : 18084 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
39 15-12-2021 Matitis ID : 18007 Kondisi puting dan Terrexin®
Jenis hewan : Sapi ambing membesar,
Ras : Frisien Holstein suhu sekitar ambing
Umur : 3 tahun panas, ambing
Jenis Kelamin : Betina kemerahan, warna
susu yang keluar putih
kekuningan dengan
konsistensi mengental
dan ada gumpalan
pada susu
40 16-12-2021 Metritis ID : 18151 Sapi mengeluarkan Spull limox 5 mL
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh, kental,
Umur : 3 tahun bercampur darah, dan
Jenis Kelamin : Betina berbau dari vulva

50 16-12-2021 Mastitis ID : 18007 Kondisi puting dan Terrexin®


Jenis hewan : Sapi ambing membesar,
Ras : Frisien Holstein suhu sekitar ambing
Umur : 3 tahun panas, ambing
Jenis Kelamin : Betina kemerahan, warna
susu yang keluar putih
kekuningan dengan
konsistensi mengental
dan ada gumpalan
pada susu
55

60 16-12-2021 Metritis ID : 18149 Sapi mengeluarkan Spull limox 5 mL


Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh, kental,
Umur : 3 tahun bercampur darah, dan
Jenis Kelamin : Betina berbau dari vulva

61 16-12-2021 Weakness ID : 301 Hewan tidak memiliki Biosan ® 20 ml


Jenis hewan : Sapi kemampuan untuk
Ras : Frisien Holstein berdiri
Umur : 8
Jenis Kelamin : Betina
62 18-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 mL
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh, kental,
Umur : 3 tahun bercampur darah, dan
Jenis Kelamin : Betina berbau dari vulva

63 18-12-2021 Myasis ID : 18114 Ada perlukaan di Tolfedine® 15 ml


Jenis hewan : Sapi bagian tubuh sapi B-complex® 20 ml
Ras : Frisien Holstein yang disertai dengan
Umur : 3 tahun adanya infestasi larva
Jenis Kelamin : Betina lalat
64 18-12-2021 Calving ID : 1192 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Betina
65 18-12-2021 Calving ID : 18131 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
66 19-12-2021 Metritis ID : 18102 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 mL
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein keruh, kental,
Umur : 3 tahun bercampur darah, dan
Jenis Kelamin : Betina berbau dari vulva

67 19-12-2021 Diare ID : 1179 Sapi mengalami Vetadryl® 20 ml


Jenis hewan : Sapi defekasi yang encer Glucortin® 15 ml
Ras : Frisien Holstein disertai mukus
Umur : 8 tahun
56

Jenis Kelamin : Betina


68 19-12-2021 Metritis ID : 18151 Sapi mengalami Spull penstrep 10 mL
Jenis hewan : Sapi demam, mengeluarkan Tolfedine 15 mL
Ras : Frisien Holstein leleran berwarna
Umur : 3 tahun keruh kekuningan,
Jenis Kelamin : Betina kental, bercampur
darah, dan berbau dari
vulva. Ada
peradangan di
rektumnya karena
dilakukannya palpasi

69 19-12-2021 Weakness ID : 301 Hewan lemah, lesu, Biosan 20 mL


Jenis hewan : Sapi tidak mau berdiri, Calcidex 250 mL
Ras : Frisien Holstein anafsu makan turun Electrovit
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
70 21-12-2021 Diare ID : 21104 Sapi mengalami Vetadryl® 20 ml
Jenis hewan : Sapi defekasi yang encer
Ras : Frisien Holstein disertai mukus
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : Betina
71 21-12-2021 Indigesti ID : 18147 Hewan tidak nafsu Destroid 1000 mL
Jenis hewan : Sapi makan, BCS 1,7, Biosan 20 mL
Ras : Frisien Holstein sempat ada pergantian
Umur : 3 tahun pakan. Hewan lemah
Jenis Kelamin : Betina dan lesu, uji tinju
motilitas rumen turun,
defekasi encer dan ada
bentuk rumput utuh
72 21-12-2021 Calving ID : 440 Sapi baru mengalami Calcidex® 250 ml
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal
Ras : Frisien Holstein
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
73 21-12-2021 Metritis ID : 18102 Sapi mengalami Spull Limoxin LA 5
Jenis hewan : Sapi demam, mengeluarkan mL
Ras : Frisien Holstein leleran berwarna Sulpidon 20 mL
Umur : 3 tahun merah dengan disertai
Jenis Kelamin : Betina pus, kental, dan
berbau
57

74 22-12-2021 Metritis ID: 18151 Sapi mengeluarkan Spull Lim LA : 5 ml


Jenis Hewan: sapi lendir dari vulva
Ras : Frisien Holstein berwarna merah
Umur :3 tahun kecoklatan dan berbau
Jenis Kelamin : Betina busuk

75 22-12-2021 Miasis ID: 18114 Luka terbuka pada Semprot Lim LA spray
Jenis Hewan: sapi bagian vulva sapi dan
Ras : Frisien Holstein banyak dihinggapi
Umur : 3 tahun lalat
Jenis Kelamin : Betina
76 22-12-2021 Calving ID : 19020 Sapi baru mengalami Infus SC Calcidex®
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal 250 ml
Ras : Frisien Holstein
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
77 22-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir dari
Umur : 7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
78 23-12-2021 Metritis ID : 18160 Terdapat cairan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi kekuningan dan lendir
Ras : Frisien Holstein bening keluar dari
Umur : 3 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
79 23-12-2021 Mastitis ID : 878 Sapi mengalami Biomycin®
Jenis hewan : Sapi pembengkakan dan
Ras : Frisien Holstein memerah pada bagian
Umur :7 tahun ambing serta terdapat
Jenis Kelamin : Betina gumpalan pada susu
dan susu encer
80 23-12-2021 Enteritis ID : 21102 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur :1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
81 23-12-2021 Metritis ID : 19012 Terdapat cairan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi kekuningan dan lendir
Ras : Frisien Holstein bening keluar dari
Umur :2 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
58

82 24-12-2021 Laminitis ID : 305 Sapi mengalami Injeksi IM Sulpidon


Jenis hewan : Sapi kepincangan pada kaki
Ras : Frisien Holstein kiri bagian belakang
Umur :2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
83 24-12-2021 Indigesti ID : 18147 Sapi kurus dan tidak Infus Glukosa 2 Flush,
Jenis hewan : Sapi mau makan biosan 20 ml
Ras : Frisien Holstein
Umur :2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
84 24-12-2021 Enteritis ID : 21113 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur :1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
85 24-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur :7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
86 25-12-2021 Enteritis ID : 21117 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
87 25-12-2021 Metritis ID : 1323 Sapi mengeluarkan Spull Lim LA : 5 ml
Jenis hewan : Sapi lendir dari vulva
Ras : Frisien Holstein berwarna merah
Umur :7 tahun kecoklatan dan berbau
Jenis Kelamin : Betina busuk

88 25-12-2021 Metritis ID : 1323 Sapi mengeluarkan Spull Metritin 10 ml


Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur :7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
89 25-12-2021 Retensi Plaenta ID : 305 Sapi dengan BCS Vetadril®
Jenis hewan : Sapi 2.5/5 berumur 7 tahun
Ras : Frisien Holstein baru saja mengalami
Umur :7 tahun abortus satu hari
Jenis Kelamin : Betina sebelumnya.
Berdasarkan laporan,
59

plasenta belum
terlepas lebih dari 8
jam pos partus dan
masih menggantung.
90 26-12-2021 Calving ID : 18147 Sapi baru mengalami Infus SC Calcidex®
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal 250 ml
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
91 26-12-2021 Enteritis ID : 21103 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
92 26-12-2021 Metritis ID : 18160 Sapi mengeluarkan Spull Lim LA : 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur :3 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
93 26-12-2021 Enteritis ID : 21118 Sapi mengalami diare Injeksi IM Colibact ®
Jenis hewan : Sapi
Ras : Frisien Holstein
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
94 27-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein bening dari vulva
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
95 27-12-2021 Metritis ID : 256 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein bening dari vulva
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
96 27-12-2021 Metritis ID : 256 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur : 7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
97 27-12-2021 Diare ID : 21118 Sapi mengalami diare Vetadryl® 20 ml
Jenis hewan : Sapi dengan feses tidak Glucortin® 15 ml
Ras : Frisien Holstein padat
60

Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
98 28-12-2021 Vulvovaginitis D : 18107 Bagian vulva dan Limoxin spray
Jenis hewan : Sapi vagina mengalami G-Mox
Ras : Frisien Holstein pembengkakan dan
Umur : 1 tahun dan berwarna
Jenis Kelamin : Betina kemerahan

Anda mungkin juga menyukai