FKH 522
KESEHATAN SAPI (06/12/2021-02/01/2022)
LAPORAN KEGIATAN
PRAKTIK LAPANGAN KESEHATAN SAPI PERAH
DI PT NUSANTARA AGRI SEJATI
KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT
Oleh:
Evi Inayati, SKH B9404202088
Ginanjar Retno Saputro, SKH B9404202091
Neka Putri Pratama, SKH B9404202123
Ervi Juliani, SKH B9404202127
Kelompok G
PPDH Periode II Tahun Ajaran 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Pengesahan:
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Masa Esa yang senantiasa
memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan kegiatan
dan laporan Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah di PT. Nusantara Agri Sejati
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Laporan ini ditulis berdasarkan kegiatan yang
kami lakukan dari tanggal 06 Desember 2021 sampai 02 Januari 2022.
Ucapan terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan saran kepada pihak-pihak
yang telah membantu kami selama melakukan kegiatan dan menyusun laporan ini,
diantaranya:
1. Pimpinan PT. Nusantara Agri Sejati dan Bapak Adirangga Fahrudin SPt
sebagai manager PT. Nusantara Agri Sejati yang telah mengizinkan
pelaksanaan kegiatan Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah.
2. Bapak Drh M. Alfinanda Satriagung selaku Pembimbing Lapangan serta para
pegawai PT. Nusantara Agri Sejati yang telah memberikan bimbingan dan
pelatihan selama Praktik Lapangan Sapi Perah di PT. Nusantara Agri Sejati.
3. Dr Drh Yudi, MSi dan Drh R. Harry Soehartono, MAppSc, PhD selaku dosen
pembimbing Praktik Lapangan Kesehatan Sapi Perah bagian reproduksi dan
bagian klinik.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dari laporan Praktik Lapangan
Kesehatan Sapi Perah ini. Semoga memberikan manfaat.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN II
KATA PENGANTAR III
DAFTAR ISI IV
DAFTAR TABEL V
DAFTAR GAMBAR V
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Kegiatan 2
Manfaat Kegiatan 2
PELAKSANAAN KEGIATAN 2
Waktu dan Tempat Kegiatan 2
Deskripsi Kegiatan 2
PROFIL PERUSAHAAN 3
HASIL KEGIATAN PRAKTIK LAPANGAN 4
MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI PERAH INDUSTRI 4
Manajemen Milking 4
Manajemen Pedet 10
Manajemen Pakan 11
PELAYANAN INSEMINASI BUATAN 15
PELAYANAN PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN 17
PENANGANAN SAPI POST PARTUS 19
PENANGANAN KASUS REPRODUKSI 21
Distokia 21
Retensi Plasenta 23
Abortus 25
Metritis 28
PENANGANAN KASUS KLINIK 32
Downer Cow Syndrome (DCS) 32
Artritis 34
Mastitis Klinis 36
Indigesti Rumen 39
DAFTAR PUSTAKA 42
DAFTAR LAMPIRAN 47
v
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Penggiringan sapi 5
2 Milking Parlor 5
3 Bagian-bagian mesin perah portabel 6
4 Bagian-bagian teat cup 6
5 Pemberian kolostrum pada pedet 10
6 Kandang pedet 11
7 Jenis pakan ternak 12
8 Sapi yang mengalami distokia 21
9 Plasenta yang belum terlepas 15 jam post partus 24
10 Fetus yang telah mati lahir secara normal 26
11 Leleran metritis 28
12 Treatment spull antibiotik intrauterine 31
13 Obat dan alat 31
14 Kondisi sapi kesulitan berdiri 32
15 Arthritis pada persendian ekstemitas kaki kanan depan 34
16 Kondisi ambing sapi bengkak, memerah, dan susu tidak normal 36
17 Pemberian antibiotik pada sapi mastitis 37
18 Kondisi sapi indigesti rumen 40
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
pengalaman yang cukup dalam penanganan manajemen kesehatan sapi perah serta
ikut membantu pelaksanaan kegiatan yang dilakukan di perusahaan.
Tujuan Kegiatan
Tujuan dari kegiatan praktik lapangan di PT. Nusantara Agri Sejati untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam mengetahui manajemen dan
kesehatan reproduksi sapi perah, mengenal gangguan reproduksi sapi perah,
manajemen pemeliharaan pedet, serta menambah pengalaman dalam menentukan
diagnosa, prognosa, terapi, dan melatih keterampilan penerapan teknologi
reproduksi.
Manfaat Kegiatan
PELAKSANAAN KEGIATAN
PROFIL PERUSAHAAN
Manajemen Milking
antara pemerahan terhadap produksi susu akan dipengaruhi oleh karakter individu
sapi, misalnya kapasitas ambing, lama laktasi, dan jumlah susu yang biasa
diproduksi (Resla 2019).
a b
Pemerahan
Pemerahan merupakan bagian dari seluruh pekerjaan pada usaha ternak sapi
perah untuk memperoleh susu dari sapi perah. Produksi / sekresi susu oleh sapi
terjadi secara terus menerus mengikuti mekanisme fisiologis di dalam ambing. Susu
yang dihasilkan diambil untuk kebutuhan pedet dan selebihnya dihitung sebagai
hasil produksi. Tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan oleh seekor sapi
pada dasarnya ditentukan oleh sifat genetisnya, namun sebagian besar dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti: pakan, teknik pemerahan, iklim dan cuaca.
Pelaksanaan pemerahan harus dilakukan dengan baik dan benar untuk menghindari
kerusakan ambing dan menghindari infeksi penyakit mastitis yang sangat
merugikan peternak.
PT. Nusantara Agri Sejati melakukan pemerahan dengan mesin yang
disebut milking parlor. Stall milking parlor terdiri dari dua baris dengan masing
masing baris dapat menampung 16 ekor sapi sehingga total sapi yang dapat
ditampung sebanyak 32 ekor. Pemerahan dengan mesin menggunakan suatu
tekanan negatif atau hampa guna mengeluarkan susu serta mengurut (massage)
ambing. Hal ini dapat terjadi karena mesin pemerah dirancang menggunakan 2
sistem hampa udara yaitu hampa kontinyu dan hampa berseling. Sistem hampa itu
diterapkan pada instalasi berupa mangkuk puting (teat cup).
Sistem hampa oleh kinerja pompa vakum diterapkan pada teat cup yang
kontak langsung dengan puting sapi. Teat cup memiliki dua bagian yaitu dinding
bagian luar (shell) dan dinding fleksibel bagian dalam (liner). Bagian teat cup dapat
dilihat di Gambar 4.
2. Cleaning.
Membersihkan ambing dan puting dengan bersih menggunakan air bersih
dan handuk secara individu untuk menjamin kebersihan dan mengurangi
penularan penyakit.
3. Untuk menjamin puting dalam keadaan aseptik dapat dilakukan pencelupan
puting kedalam cairan antisetik (pre- dipping). Biarkan larutan antiseptik
bekerja 30-40 detik untuk memastikan bakteri mati.
4. Stripping.
Mengeluarkan pancaran air susu pada pemerahan pertama satu hingga 3
pancaran, hal ini berguna untuk mengecek kemungkinan adanya keadaan
susu yang abnormal (kemungkinan adanya mastitis).
5. Drying.
Keringkan air susu pada puting setelah stripping menggunakan kain lap
yang bersih.
6. Milking.
Pasang alat pemerah dalam hal ini teat cup pada puting sapi dengan baik
dalam waktu 30 hingga 60 detik setelah proses cleaning dan stripping. Hal
ini memungkinkan pemanfaat maksimum atas terjadinya proses milk let
down pada ambing. Kemudian pemerahan dilakukan dengan tuntas hingga
susu sudah tidak keluar, dengan cara petugas perah (milker) mengecek
mangkuk susu (claw) apakah masih terisi susu atau sudah kosong yang
menunjukkan susu telah terperah tuntas. Jika pemerahan selesai teat cup
dilepas untuk menghindari overmilking yang akan berdampak pada
kerusakan puting dan jaringan ambing sapi.
7. Post-dipping. Pencelupan kembali puting ke dalam larutan antiseptik.
8. Sapi keluar dari stall milking parlor dan tempat serta alat pemerahan dari
kotoran dibersihkan setelah selesai pemerahan.
Pasca Pemerahan
Pasca pemerahan dimulai dengan pencelupan putting dengan larutan iodine,
sanitasi area pemerahan, sterilisasi peralatan dengan menggunakan clean in place
(CIP), dan pencatatan produksi. Penyimpanan peralatan dan wadah harus dalam
keadaan bersih. Proses pembersihan peralatan dengan cara tekan zone down pada
touchpoint dan bersihkan cluster. Cluster yang telah bersih dimasukan pada jetter
dilanjutkan dengan recovery di cooling room. Tampung sisa susu dari selang susu
dan dilakukan pendorongan susu selama 3 menit dengan 6-7 kali pengulangan dan
dilakukan penutupan jalur susu. Periksa monitor tangki dalam keadaan cooling
mode dan pindahkan selang susu ke jalur CIP untuk dilakukan washing.
Proses CIP dilakukan setiap hari setelah selesai pemerahan dengan prosedur
sebagai berikut :
a. Pembilasan dengan air biasa 10 menit
8
lebih dari 6 jam maka lakukan hal berikut: (l) Segera buat acara berita, (2) Catat
suhu awal sejak listrik pertama mati, (3) Uji kualitas susu secara berkala, (4)
Apabila kualitas susu terjaga dengan baik maka kirim stok susu tersebut, (5)
Apabila terjadi kerusakan kualitas karena hal teknis mati listrik dan tidak ada atau
tidak berfungsi genset, maka susu akan di reject. Cek berkala kondisi cooling tank
meliputi: agitator, akurasi suhu pada monitor tank glycol. Tutup atas dan tutup
bawah cooling tank dipastikan terjaga keamanannya.
permukaan. Penilaian produksi susu sering digunakan sebagai tolak ukur kualitas
susu terhadap komposisi susu dan keadaan fisik susu.
Uji kualitas susu dapat ditinjau dari uji alkohol, uji derajat asam, dan angka
katalase yang merupakan pemeriksaan terhadap keadaan susu yang berguna untuk
memeriksa dengan cepat keasaman susu, menentukan adanya kuman-kuman pada
air susu (Hadiwiyoto 1994). Uji alkohol bertujuan untuk memastikan kualitas susu
terjaga dan tidak pecah. Faktor yang mempengaruhi kualitas susu yang memenuhi
standar yaitu karena sistem pemerahan dilakukan dengan menggunakan mesin
perah pipeline sistem yang secara otomatis susu disalurkan ke cooling tank. Susu
segar mengandung bakteri pembentuk asam seperti Streptococcus, Lactobacillus,
Leuconostoc dan Pediocossus.
Manajemen Pedet
A B
Gambar 5 Pemberian kolostrum pada pedet. (A) Susu kolostrum; (B) Pedet yang
diberikan kolostrum melalui dot khusus
11
Proses penyapihan pedet dimulai saat pedet mencapai umur 90 hari. Syarat
pedet lepas sapih yaitu bobotnya telah mencapai 2 kali dari bobot lahir, berumur 90
hari, serta sudah bisa memakan hijauan dan konsentrat. Penyapihan dilakukan
secara bertahap dengan mengenalkan pedet pada pakan hijauan dan mengurangi
pemberian susu pada umur 45 hari. Jumlah susu akan semakin berkurang beriringan
dengan bertambahnya rasio pemberian hijauan dan konsentrat hingga pedet lepas
sapih. Pedet yang telah lepas sapih kemudian dipindahkan ke kandang koloni 3A1.
A B
Gambar 6 Kandang pedet ; (A) Bok pedet, (B) Kandang koloni pedet 3A1
Manajemen Pakan
Bungkil Sawit
Soy Bean Meal (SBM)
Buffer Mineral A
Buffer Mineral B
Indigofera
Sumber: PT Nusantara Agri Sejati 2020
a b c
d e f
Gambar 7 Jenis pakan ternak. (a). Molasses, (b). Silase, (c). Konsentrat, (d).
Hijauan, (e). Ampas kedelai, (f). Indigofera
Grading Pakan
Pakan ditimbang terlebih dahulu sebelum dilakukan grading. Tujuan
penimbangan ini yaitu untuk mengetahui pasokan hijauan dan konsentrat yang
masuk ke peternakan. Berat bersih pakan dilakukan dua kali penimbanagan.
Penimbangan yang pertama yaitu penimbangan truk yang berisi pakan dan
penimbangan kedua yaitu penimbangan kosong truk tanpa pakan. Hijauan yang
sudah di timbang di grading oleh petugas quality control jenis hijauan, umur
hijauan, rasio batang per daun, terdapat bunga, warna hijauan, tingkat kekerasan
13
batang dan jumlah legume. Konsentrat dilihat dari bau pakan, warna pakan, dan
tekstur pakan.
Bahan bahan penyusun yang diberikan untuk induk transisi kandang 1A1
dan kandang 3A3 di PT Nusantara Agri Sejati ditentukan oleh Total Mixed Ration
(TMR). Pada sapi transisi di pen 1 A1 umur kebuntingan induk 250-270 hari dengan
bobot estimasi induk 400 kg diberikan sebanyak 38 kg per ekor per hari. Induk sapi
transisi pada pen 3A3 umur kebuntingan induk 270-290 hari dengan bobot estimasi
induk 500 kg diberikan sebanyak 50 kg per ekor perharinya. TMR diberikan
sebanyak 2.5 % dari bobot badan dalam bentuk bahan kering.
setiap harinya. Kebutuhan nutrient untuk menjalankan fungsi hidup dari sapi perah
tanpa mengalami pertambahan atau kehilangan bobot badan dan tidak berproduksi
disebut kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan nutrient untuk hidup pokok sangat
bergantung pada besarnya tubuh ternak yang perlu di pertahankan yang di ukur dari
bobot badannya. BB berbanding lurus dengan nutrient yang dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup.
Total Mixed Ration (TMR) diberikan sebanyak 50 kg per ekornya, hijauan
45 kg per ekor dan konsentrat 5 kg per ekor. Penentuan TMR diberikan sebanyak
2.5 % dalam bentuk bahan kering dari bobot badan sapi 500 kg. bahan- bahan buffer
mineral A ditujukan untuk sapi laktasi dan dara. TMR yang diberikan untuk induk
laktasi di PT Nusantara Agri Sejati terdapat pada Tabel 4.
dengan undulasi asimetris pada uterus dengan posisi uterus masih berada di rongga
pelvis. Selain itu, akan terpalpasi pula bahwa dinding uterus menipis dan ovarium
pada sisi uterus yang berisi cairan amnion dapat ditemukan keberadaan corpus
luteum (Broaddus 2005). Sementara di umur kebuntingan 3 bulan, uterus mulai
menurun ke rongga abdomen namun belum menggantung. Di umur kebuntingan 4
bulan, uterus sudah mulai menggantung di rongga abdomen (Bekele et al. 2016).
Pada umur 5 bulan, uterus dapat ditemukan pada dasar rongga abdomen dan mulai
teraba adanya plasentom. Di umur kebuntingan 6 bulan, uterus membesar dan fetus
sudah dapat teraba, selain itu kelenjar mammae mulai terisi. Pada trimester ketiga,
fetus sudah dapat teraba dengan cukup jelas karena ukurannya yang terus
membesar.
pada sapi dengan nomor telinga 216106. Perkiraan memiliki bobot badan kurang
lebih 550 kg. Sapi memiliki body condition score 3. Hasil pemeriksaan klinis
seperti suhu menunjukan dalam kondisi demam 39,0 °C. Frekuensi jantung sapi 54
kali/menit, frekuensi nafas 32 kali/menit sebagai retensi plasenta kemudian
dilakukkan penanganan dengan pemberian Sulpidon® 20 mL secra IM dan
Cotrimoxazole® 4 bolus secara intrauterine.
Pelayanan penanganan post partus dilakukan untuk menjaga keadaan induk
sapi tetap sehat setelah melahirkan. Pelayanan post partus merupakan upaya
lanjutan dalam menjaga kesehatan induk sapi setelah menjalani proses melahirkan.
Gangguan reproduksi post partus pada uterus, seperti metritis, endometritis, dan
piometra dapat dicegah dengan memerhatikan beberapa faktor. Pertolongan
kelahiran, dan dan penanganan dilakukan secara legaarts sehingga mengurangi
kejadian trauma fisik yang akan menjadi faktor predisposisi gangguan reproduksi.
Faktor lain, yaitu manajemen pakan yang baik sehingga mendukung kesuburan
saluran reproduksi (Ruhiat 2014). Pelayanan post partus yang diikuti selama
magang yaitu penanganan post partus normal, dan membantu pengeluaran fetus.
Pelayanan post partus yang pertama kali dilakukan, yaitu petugas memisahkan
pedet yang baru lahir ke dalam kandang yang berbeda dari induknya.
Penanganan post partus normal diberikan Multivitamin B-Complex®
sebanyak 10-20 mL secara IM. Pemberian vitamin berfungsi menjaga kesehatan
ternak dan mengatasi gangguan reproduksi. Kejadian post partus yang normal
terjadi, yaitu keluarnya lochia. Lochia adalah reruntuhan sel-sel darah, epitel
endometrium, fili-fili plasenta, serum darah, dan sisa-sisa cairan allantois atau
amnion yang masih tertinggal dalam uterus setelah fetus dilahirkan. Setelah itu,
uterus dapat dikatakan bersih dan proses involusi uterus akan berjalan dalam
keadaan endometrium yang aseptis. Hari ke-40 sampai ke-60 uterus kembali ke
keadaan tidak bunting dan siap untuk kembali bunting (Abdullah et al. 2019).
Penanganan post partus dengan kasus abortus, yaitu dilakukan berupa pelepasan
plasenta lalu diberikan obat antibiotika dan antiinflamasi. Antibiotika yang biasa
digunakan, yaitu Cotrimoxazole® dengan kandungan trimethoprim dan
sulfamethoxazole bersifat bakterisidal golongan sulfa dengan spektrum luas yang
berfungsi menghambat sintesis timidin bakteri. Antibiotik diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi saluran reproduksi, seperti endometritis, metritis, serta
penanganan setelah retensio secundinae (Abdullah et al. 2019). Dosis pemberian
Cotrimoxazole® ini untuk sapi adalah 2-4 kaplet/ekor via intrauterine (IU).
Antibiotk lain yang dapat diberikan yaitu Vetadryl® dengan dosis 20 ml/ekor secara
intramuscular. Diphenhydramine HCL kandungan pada Vetadryl® merupakan
antihistamin yang bekerja menghambat histamin pada reseptor H1 dan bertindak
sebagai sedativa, antikolonergik, antitusid, dan antiemesis (Plumb 2011).
Antiinflamasi diberikan untuk untuk mengobati tanda-tanda peradangan yang
terjadi. Pemberian obat-obatan tersebut bertujuan untuk mengembalikan keadaan
fisiologis sapi sebagai analgesik dan antipiretik.
21
Distokia
Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sapi mengalami
distokia dengan prognosa fausta.
Pembahasan
Seekor sapi Friesian Holstein dengan nomor telinga 18149 berjenis kelamin
betina berumur 2.5 tahun dan laktasi pertama menunjukkan tanda-tanda ingin
partus. Laporan dari perawat kandang pada sapi bunting 9 bulan dan mau
melahirkan karena sudah merejan. Namun setelah merejan sekitar 30 – 60 menit
fetus belum juga keluar. Dilakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah sapi
tersebut mengalami distokia. Sapi yang menunjukkan tanda akan partus merupakan
sapi dara yang pertama kali melahirkan dan kemungkinan sapi selama
dikandangkan kurang exercise. Menurut Youngquist et al. (2007) distokia pada
ternak sapi bervariasi namun lebih umum terjadi pada sapi dara yang pertama kali
melahirkan. Peters et al. (2004) berpendapat bahwa sapi dara yang pertama kali
melahirkan dan dikawinkan pada umur terlalu muda biasanya beresiko mengalami
distokia, karena memiliki ukuran tulang pelvis yang masih kecil. Pelvis yang kecil
adalah penyebab distokia kaitannya dengan disproposi fetopelvis dan diperburuk
dalam kasus fetus lebih besar dari ukuran normal yang merupakan hasil perkawinan
dengan pejantan yang besar. Pendapat lain yaitu menurut Hilton et al. (2016) bahwa
kurang exercise seperti kurang bergerak setiap hari pada sapi bunting juga
berpotensi mengalami distokia. Melakukan banyak exercise dapat mempengaruhi
tonus otot yang merupakan pendukung dalam proses partus Menurut Peters et al.
(2004), kurangnya kontraksi uterus dari induk saat partus juga merupakan penyebab
terjadinya distokia. Terkadang ketidakseimbangan hormonal dapat menyebabkan
serviks tidak dilatasi sepenuhnya atau kontraksi uterus tidak cukup kuat.
Pertolongan dilakukan dengan penarikan paksa yaitu pengeluaran fetus dari
induk melalui saluran kelahiran dengan menggunakan kekuatan atau tarikan dari
luar. Penarikan paksa dilakukan karena kelemahan uterus dan fetus tidak
menstimulasi perejanan. Tumpuan penarikan dapat dilakukan pada tiga titik, yaitu
kedua kaki depan dan kepala. Sesudah kepala dan kedua kaki depan melewati vulva,
penarikan dilakukan terhadap kedua kaki yaitu pengikatan menggunakan tali pada
bagian pergelangan kaki depan fetus, selanjutnya tali tersebut dikaitkan pada batang
besi dan pada saat sapi merejan dilakukan penarikan secara hati-hati. Pedet yang
sudah lahir segera dipindahkan, kemudian lendir yang ada di hidung dan mulut
dibersihkan, pada potongan tali pusar pedet dioleskan larutan iodine untuk
menghindari masuknya berbagai infeksi penyakit. Setelah itu, pedet di dekatkan
dengan induk dan induk akan menjilati permukaan tubuh pedet. Menurut Bojrab et
al. (2014), jilatan induk pada pedet akan membantu untuk menstimulus gerak
pernafasan dan merangsang peredaran darah.
Terapi yang diberikan pasca penanganan untuk induk sapi perah yang
mengalami distokia di PT Nusantara Agri Sejati yaitu pemberian 250 ml Calcidex®
23
Retensi Plasenta
selaput fetus terjepit. Gangguan pelepasan juga terjadi setelah fetus keluar dan
corda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili
tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus mengalami
atoni uteri dan tidak berkontraksi akibat dari proses perejanan saat partus,
meyebabkan sejumlah darah yang mengalir ke uterus tidak terkendali. Akibat dari
semua itu vili kotiledon tidak lepas dari kripta karankula sehingga terjadi retensi
plasenta. Salah satu penyebab terjadinya retensio plasenta, yaitu kekurangan
vitamin A atau kekurangan yodium dalam ransum. Abortus pada umumnya selalu
diikuti oleh kejadian retensio secundinarum (Rista 2011). Beberapa kausa yang
dapat mengakibatkan retensio plasenta adalah penyekit infeksius seperti Bovine
viral diarrhea (BVD), kurangnya exercise dan hipokalsemia, serta defisiensi
nutrisi.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan suhu, frekuensi napas dan frekuensi
jantung normal. Pemeriksaan melalui inspeksi menunjukkan bahwa plasenta masih
menggantung dan belum terlepas
Pembahasan
Hingga saat ini penarikan secara manual merupakan teknik yang paling
umum dilakukan untuk menangani retensi plasenta. Namun, penarikan secara
manual dapat meningkatkan resiko teradinya infeksi pada uterus sehingga tidak
disarankan untuk dilakukan (Beagley et al. 2010). Teknik manual removal memiliki
resiko gangguan fertilitas pada sapi. Penanganan retensi plasenta dengan manual
removal yang tidak sempurna dapat menjadi sumber infeksi karena bagian dari vili
kotiledon dan sisa-sisa plasenta yang masih melekat pada kripta karunkula, serta
menimbulkan trauma, hemoragi pada uterus (Yusuf 2011). Walaupun demikian,
praktik penanganan retensi plasenta dengan manual removal masih sering
dilakukan karena dianggap praktis dan mempercepat waktu kerja petugas
paramedis. Padahal konsekuensi yang dihasilkan jika terjadi komplikasi pada uterus
adalah dapat memperpanjang calving interval ternak sehingga produktivitas sapi
akan menurun.
Sapi yang akan mengalami retensio plasenta biasanya mengalami
penurunan sistem imun nonspesifik yang terjadi 1 sampai 2 minggu sebelum partus.
Kondisi hipokalsemia dapat menyebabkan fungsi otot dan fungsi imunitas
menurun. Hilangnya kontraksi otot dapat menyebabkan distokia dan retensi
plasenta yang didukung oleh turunnya imunitas. Hasil penelitian Suttle (2010)
menunjukkan kadar kalsium dan zing serum pada sapi crossbred menurun secara
tajam pada kasus retensi plasenta. Kondisi hipokalsemia juga akan mempengaruhi
peningkatan fosfor yang akan mengganggu penyerapan magnesium dan vitamin D
sehingga kontaksi otot polos akan terganggu. Hilangnya kontraksi otot uterus dapat
menyebabkan distokia dan retensi plasenta (Yasothai 2014). Pemberian diet tinggi
K pada masa kering kandang selama 2 sampai 3 minggu sebelum melahirkan dapat
mengakibatkan displasia abomasum dan gangguan uterus berupa retensi plasenta
pada saat postpartus (Velladurai et al. 2016). Menurut penelitian Ali et al. 2014
bahwa sapi akan meningkatkan performa reproduksi dan efisensi reproduksi dengan
rasio Ca : P yaitu 1.5 : 1. Defisensi kalsium tersebut akan mempengarui perubahan
rasio Ca : P sehingga mempengaruhi fungsi ovarium melalui tindakan pemblokiran
pada kelenjar pituiteri melalui inaktinya kerja neuroendokrin.
Abortus
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi status fisiologis dan
pemeriksaan kondisi fetus post partus. Hasil pemeriksaan fisik terhadap induk
menunjukkan suhu normal yaitu 38,5°C dan pemeriksaan terhadap fetus
menunjukkan bahwa fetus sudah tidak bernapas dan diduga fetus sudah mati sejak
sebelum partus.
Diagnosa
Sapi dengan ID 18114 didiagnosa mengalami abortus.
Pembahasan
Sapi yang mengalami abortus di PT NAS terjadi saat usia kebuntingan
berada pada trismester ke tiga tepatnya usia 8 bulan kebuntingan. Penyebab abortus
pada sapi kasus ini diduga akibat trauma pra partus, akibat kondisi lantai kandang
yang licin sehingga sapi pernah terpeleset dan jatuh. Fetus yang keluar dalam
kondisi baik, dan proses abortus terjadi secara spontan. Bagian plasenta dan
27
kotiledon yang keluar dalam kondisi utuh tidak mengalami kerusakan ataupun
perdarahan. Abortus merupakan salah satu gangguan reproduksi yang sering terjadi
pada sapi perah. Abortus didefinisikan sebagai keluarnya fetus yang sudah
mengalami organogenesis sebelum waktunya atau ketika fetus yang dikeluarkan
dapat bertahan hidup (Abdisa 2018).
Abortus pada sapi dapat terjadi secara spontan atau melalui induksi, oleh
agen infeksius ataupun noninfeksius, dimana kasus abortus yang disebabkan oleh
faktor atau agen noninfeksius lebih sering terjadi pada sapi perah (Rajalakshmi et
al. 2020). Kejadian abortus non infeksius dapat terjadi akibat faktor fisik (trauma,
inseminasi, hipertermia dan kebuntingan kembar), nutrisi (defisiensi), intoksikasi,
dan genetik. Menurut Hopper (2014), kejadian abortus noninfeksius juga dapat
terjadi akibat trauma abdominal parah, kelaparan, fetal hyperthermia atau hipoksia,
lingkungan (keracunan tanaman, mikotoksin, penggunaan obat-obatan) dan
iatrogenik.
Berdasarkan kondisi fetus dan plasenta yang ditemukan dalam kondisi utuh
atau tidak mengalami kerusakan diduga abortus tidak terjadi karena agen infeksius.
Menurut Abdisa (2018), tanda klinis abortus akibat infeksi agen infeksius berbeda
tergantung pada agen penyebabnya, namun umumnya akan ditemukan adanya
kematian fetus, plasentitis, kotiledon mengalami nekrosa dan edema, dan
infertilitas. Agen infeksius yang dapat menyebabkan kejadian abortus antara lain
Brucella abortus, Leptospirosis, Camphylobacter fetus fetus, Salmonella sp.,
Bovine viral diarrhoea, Bovine herpes virus, Neospora caninum dan Aspergillus sp.
(Cabell 2007). Tidak ada terapi yang dapat digunakan pada kejadian abortus, namun
abortus dapat dikontrol dan dicegah dengan cara menerapkan manajemen
pemeliharaan yang baik saat memasuki masa kebuntingan. Pemberian suplemen
seperti vitamin dan mineral sangat dibutuhkan pada masa kebuntingan, lingkungan
induk bunting juga harus bebas dari stress akibat suhu lingkungan yang terlalu
panas, transportasi, trauma, dan cara handling yang tidak tepat (Kumar et al. 2021).
Induk yang diduga mengalami kejadian abortus akibat agen infeksius harus
dipisahkan dari kawanan sehat, kemudian harus segera dilakukan pengambilan
sampel baik dari darah maupun discharge uterus untuk kemudian diidentifikasi.
Metode pencegahan dan pengendalian terhadap agen penyebab sangat dibutuhkan
antara lain dengan melakukan vaksinasi secara teratur untuk mencegah infeksi oleh
agen yang menyebabkan abortus, kondisi dan manajemen kandang yang baik,
menjaga sanitasi lingkungan, program inseminasi buatan dan menjaga asupan
nutrisi dalam pakan.
Terapi post abortus yang diberikan adalah infus preparat kalsium yaitu
Calcidex® sebanyak 250 ml/ekor yang dilakukan dengan rute SC. Pemberian
preparat kalsium secara parenteral bertujuan untuk mencegah maupun sebagai
terapi pada kasus parturient paresis akibat hipokalsemia (Plumb 2011). Biosan®
20ml/ekor diberikan secara IM, preparat ini mengandung ATP sebagai sumber
energi cadangan siap pakai, garam aspartate yang berperan untuk menjaga
28
Metritis
Metritis adalah peradangan yang terjadi pada beberapa lapisan uterus yang
biasanya menyerang endometrium hingga miometrium. Menurut Kasimanickam et
al. (2005) metritis merupakan peradangan uterus yang disebabkan bakteri patogen
yang masuk melalui vagina, servik, dan mengkontaminasi uterus. Metritis dapat
disebabkan oleh infeksi pre-partus atau post-partus. Infeksi setelah kelahiran pada
alat reproduksi betina umumnya terjadi dari saat melahirkan sampai 3 hari
sesudahnya, pada saat servik, vagina, vulva masih mengalami dilatasi. Kondisi
tersebut kuman-kuman dengan bebas dapat memasuki alat reproduksi (Subronto
2007). Metritis dan endometritis dapat menyebabkan infertilitas ketika hewan
dalam keadaan mengalami penyakit tersebut dan dapat menyebabkan subfertilitas
pada hewan yang sudah sembuh. Selain itu, umumnya endometritis dan metritis
menyebabkan S/C (Service per conception) dari sapi yang baru saja sembuh lebih
rendah dan menyebabkan calving interval lebih lama (McDougall 2001).
Pemeriksaan Fisik
29
Diagnosa
Berdasarkan pada anamnesa, sinyalemen dan pemeriksaan dokter hewan
mendiagnosa sapi tersebut menderita metritis dengan prognosa Fausta.
Pengobatan
Penanganan yang dilakukan untuk kasus metritis pada sapi yaitu dengan
pemberian antibiotik menggunakan sediaan penicillin-streptomycin (Penstrep-400
®) melalui intrauterine dengan bantuan plastic sheet. Dosis yang diberikan yaitu 10
ml yang di campur dengan aquadest 100 ml. pengobatan dilanjutkan dengan
pemberian limoxin-200 LA (Oxytetracyclin) ® melalui intrauterine dengan bantuan
plastic sheet. Dosis yang diberikan yaitu 5 ml yang di campur dengan aquadest 100
ml.
Pembahasan
Metritis dapat terjadi karena penanganan kelahiran yang kurang higenis,
distokia, kebersihan uterus dari sisa-sisa plasenta, daerah perineal yang kotor oleh
feses atau kotoran lainya, overcrowding, sanitasi dan tingginya angka kelahiran
pada suatu saat, maupun sering terjadinya retensi plasenta, akan mempengaruhi
terjadinya infeksi pada uterus. Metritis disebabkan adanya infeksi bakteri yang
mengikuti kasus partus abnormal seperti abortus, retensi plasenta, distokia ataupun
kelanjutan dari infeksi yang terjadi pada alat reproduksi (Leblanc 2012). Dapat juga
disebabkan oleh kontaminasi bakteri pada saat proses perkawinan alami maupun
inseminasi buatan.
Pemeriksaan metritis (metritis check) di PT. NAS dilakukan sebagai upaya
pencegahan terjadinya metritis akut pada 3 hari pasca partus dan 7 hari post-partus
dengan pemeriksaan kondisi umum induk (aktif, lemah, kurus), mengecek suhu
tubuh, discharge yang keluar (warna, bau, kekentalan), melakukan treatment
suportif dan antibiotik intra muscular, dilakukan treatment intra uterin ke alat
reproduksi yang terinfeksi menggunakan larutan konsentrasi antara NaCl, penicilin
dan streptomisin 100 ml. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan penyebab
dilapangan untuk meminimalkan tingkat kejadian metritis dengen memperhatikan
beberapa faktor seperti kebersihan kandang, higienitas saat melakukan penanganan
kelahiran dan peralatan yang digunakan, pemberian iodine atau limoxin spray pada
vulva serta plasenta untuk mencegah bakteri masuk melewati plasenta dan
penanganan retensi plasenta.
30
a b
Gambar 13 Obat dan alat. (a) Sediaan antibiotik Penstrep-400 ® dan Limoxin- 200
LA ® (b) Gun dan plastic sheath
i. Bedding kandang.
j. Flushing kandang.
Pembahasan
Artritis
Pembahasan
Kejadian artritis dapat disebabkan oleh trauma pada persendian itu sendiri,
perkembangan dari penyakit lain (osteochondrosis) atau akibat dari infeksi bakteri.
Artritis banyak terjadi di ekstremitas kaki depan dan kaki belakang. Pengobatan
utama yang dilakukan pada kasus arthritis yaitu pemberian antibiotik untuk
membunuh bakteri dan antiinflamasi untuk mengurangi inflamasi pada kejadian.
Manajemen akan berbeda tergantung dengan jenis bakteri yang menginfeksi, lokasi
persendian dan rentang waktu kejadian penyakit (Anderson dan francoz 2014).
Gejala klinis dari artritis degeneratif bervariasi tergantung dari penyebab,
umur, aktifitas, dan perkandangan. Penyakit ini umumnya dimulai dengan
kebengkakan ringan dan kepincangan. Hewan akan menghabiskan banyak waktu
untuk berebaring dan akan lebih enggan untuk berdiri dan berjalan (Desrochers
2013). Gejala klinis pada artritis sepsis diantaranya adalah kepincangan akut,
kebengkakan sendi, serta nyeri dan panas saat dipalpasi dan dimanipulasi
(Desrochers dan Francoz 2014). Nouri et al. (2013), juga mengatakan bahwa gejala
klinis pada sapi yang mengalami artritis adalah terdapat edema yang hangat dan
sensitif saat palpasi.
Kasus lapang yang terjadi diduga terjadi akibat desain kandang yang buruk.
Kandang terlalu sempit dan juga banyak terdapat benjolan seperti paku dan kayu.
Alas kandang yang kotor juga dapat menjadi penyebab penyakit ini. Menurut Nuori
et al. (2013), lesi artritis pada fetlock berkaiatan dengan desain kandang yang
buruk, lantai yang kasar, dan alas kandang yang buruk. Selain itu kesehatan dari
kulit disekitar sendi juga berpengaruh terhadap terjadinya artritis. Banyakknya
mikroorganisme pada feses dan alas kandang dapat menyebabkan infeksi pada
persendia dengan rute masuk melalui kulit. Infeksi yang bersifat pyogen pada sendi
hanya dapat terjadi apabila luka pada kulit bersifat terbuka atau berbentuk fistula.
Apabila rongga diantara persendian tidak terisi oleh cairan sendi maka, fistula akan
bekembang lebih cepat. Proses yang awalnya besifat septic akan menyebabkan
36
terjadinya kerusakan pada kartilago tulang, apabila proses ini berlanjut menjadi
aseptik maka kerusakan pada tulang akan lebih cepat terjadi.
Pemberian antibiotik berupa pemberian Limoxin LA. Oxytetracycline
merupakan antibiotik spektrum luas yang mekanisme aksinya dengan mengikat
subunit ribosom 30S dan menghambat sintesis protein (Fangidae et al. 2019).
Kemudian diberikan pemberian tolfedine ® 3 ml secara IM. Tolfedine mengandung
tofenamic acid yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik dan antipiretik yang
kuat. Keadaan lingkungan dan sanitasi kandang diduga ikut mempengaruhi
kejadian arthritis. Dimana apabila lingkungan sekitar kandang menjadi basah dan
mudah kotor, akan menyebabkan perkembangan mikroorganisme lebih cepat serta
lantai kandang menjadi licin. Lingkungan dan area sekitar kendang harus tetap
dijaga agar tetap bersih untuk mengurangi kemungkinan hewan ternak terpapar
dengan mikroorganisme disekitarnya. Faktor lain yang dapat menyebabkan
kejadian arthritis berasal dari hewan itu sendiri seperti umur, body condition score,
bobot badan, ras, produksi susu dan masa laktasi (Kester et al. 2014).
Mastitis Klinis
Penyakit pada radang ambing disebut dengan mastitis merupakan salah satu
penyakit yang sering menyerang sapi perah dan sangat merugikan (Sudarwanto dan
Sudarnika 2008). Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar ambing
dengan berbagai penyebab dan derajat keparahan pada ternak sapi perah (Nurhayati
2014). Mastitis klinis mengakibatkan perubahan fisik susu maupun kelenjar
ambing. Perubahan fisik susu yang dapat terlihat yaitu susu pecah, bercampur
nanah, bercampur darah, dan berjonjot. Sedangkan perubahan kelenjar ambing
yang dapat terlihat yaitu membengkak, asimetris, bila dipegang panas, dan dapat
menunjukkan adanya respon sakit bila dipegang (Sudhan dan Sharma 2010).
Gambar 16 Kondisi ambing sapi bengkak, memerah, dan susu tidak normal
37
Pembahasan
tampak, seperti ambing atau puting yang membengkak dan merah, susu menjadi
kental bercampur gumpalan-gumpalan, dan terdapat darah atau nanah yang
bercampur dengan susu (Blowey & Weaver 2011). Sedangkan menurut Peter et al.
(2017) diagnosis awal mastitis klinis dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan fisik rutin dan pemeriksaan sampel susu di laboratorium.
Salah satu yang dapat menjadi faktor predisposisi kejadian mastitis yaitu
faktor lingkungan, Kandang yang kotor, kepadatan sapi yang tinggi, serta
pemerahan yang salah dapat mengakibatkan kejadian mastitis meningkat. Oleh
karena itu perlakuan teat dipping saat proses pemerahan sangat penting dilakukan.
Menurut Mahardika (2016), perlakuan teat dipping menurunkan jumlah sel somatik
pada air susu sapi perah. Sel somatik di dalam air susu terutama terdiri dari leukosit
dan beberapa dari sel epitel. Peningkatan jumlah sel somatik di dalam air susu
menunjukkan adanya gangguan di dalam kelenjar susu terutama peradangan pada
kelenjar susu atau mastitis. Penularan mastitis biasa terjadi dari seekor sapi ke sapi
lain dan dari kuartir terinfeksi ke kuartir normal melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat. Proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
beberapa tahap yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi disekitar lubang puting (sphincter),
kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting
yang terbuka ataupun karena adanya luka.
Penyebab dari penyakit mastitis diantaranya bakteri dan cendawan. Bakteri
penyebab mastitis antara lain Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis,
bakteri coliform terutama Klebsiella dan Pseudomonas aerugenosa (Sharif et al.
2009). Selain disebabkan oleh bakteri, mastitis dapat disebabkan oleh cendawan
atau kapang disebut mastitis mikotik, biasanya bersifat kronis dan gejala klinisnya
sulit diamati karena tidak berbeda dengan mastitis bakterial (Martindah et al. 2009).
Faktor-faktor penyebab mastitis selain karena mikroorganisme juga dapat
disebabkan oleh ternak dan lingkungan. Mikroba yang ada di lingkungan dapat
menyebabkan terjadinya mastitis yang masuk melalui puting saat proses pemerahan
ataupun setelah proses pemerahan saat kondisi lubang puting masih terbuka
(Pisestyani et al. 2017).
Ambing yang telah terinfeksi dapat menginfeksi ambing yang lain melalui
proses pemerahan baik pemerahan dengan mesin, atau pemerahan manual dengan
tangan, selain itu juga dapat menyebar melalui bahan-bahan lain yang dapat
menjadi pembawa mikroorganisme (Peter et al. 2017). Sapi akan memberikan
respon ke leukosit sebagai pertahanan untuk mengeliminasi mikroba. Hal tersebut
mengakibatkan pembuluh darah pada ambing akan mengalami vasodilatasi dan
terjadi peningkatan aliran darah ke ambing. Hal tersebut menyebabkan pembuluh
darah mengalami peningkatan disertai dengan pembentukan produk-produk
inflamasi. Ambing sapi 455 mengalami kebengkakan yang terjadi karena adanya
filtrasi cairan yang berisi sel radang ke ekstraseluler kelenjar mamae. Keluarnya
39
sel-sel neutofil dan makrofag dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi.
Apabila infeksi terus berlanjut maka akan mengakibatkan infeksi yang kronis
dengan ditandai terbentuknya jaringan ikat sehingga ambing menjadi keras dan
produksi susu terhenti (Luthvin 2007).
Pencegahan mastitis klinis pada sapi perah yang paling utama adalah
dengan menjaga kebersihan baik pada sapi, kandang, petugas pemerahan dan juga
alat terutama saat pemerahan. Tindakan celup puting dengan menggunakan
antiseptik bertujuan untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam ambing melalui
lubang puting. Larutan yang umum digunakan untuk celup puting yaitu Iodine,
Chlorhexidine, Chlorin 4%, dan alkohol 70% (Siregar 2010). Menurut OIE (2006),
sanitasi, dan higiene personal harus dilakukan oleh setiap pekerja. Standar sanitasi
yang harus dilakukan setiap pekerja yaitu dengan memakai pakaian yang bersih,
memakai sepatu boot yang dibersihkan secara teratur, tidak memiliki luka terbuka
dan selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja. Keberadaan serangga,
rodensia, dan hewan lain merupakan sumber penyebaran penyakit yang perlu
diperhatikan, oleh karena itu perlu diadakan pengawasan dan pengendalian agar
hewan-hewan tersebut tidak dapat masuk ke dalam peternakan. Perlu diperhatikan
juga bahwa kita harus memperhatikan kebersihan ambing agar dapat menurunkan
kemungkinan paparan agen patogen terhadap puting atau melalui peningkatan daya
tahan ternak terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.
Bakteri dapat masuk ke kelenjar ambing melalui puting. Pada dasarnya,
ambing sudah dilengkapi dengan perangkat pertahanan, untuk menjaga agar air
susu tetap dalam keadaan steril dan tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat
pertahanan yang dimiliki oleh ambing antara lain, perangkat pertahanan mekanis,
pertahanan seluler dan perangkat pertahanan nonspesifik. Tingkat pertahanan
ambing mencapai titik terendah sesudah dilakukan pemerahan, karena otot
sphincter puting saat itu masih terbuka sekitar 2-3 jam, sel darah putih sangat minim
jumlahnya, dan antibody, serta enzim juga habis ikut terperah (Sharif et al. 2009).
Hal ini menjadi alasan agar ternak diupayakan tetap berdiri setelah proses
pemerahan dengan menyediakan pakan dan minuman setelah proses pemerahan.
Kandang harus diupayakan agar tetap bersih ketika ternak berbaring (Nurhayati
2014).
Indigesti Rumen
penurunan produksi susu. Sapi kadang anoreksia, namun adakalanya sapi makan
terus. Hal ini karena tidak ada makanan yang masuk ke dalam ususnya dan
diabsorbsi sehingga sapi merasa lapar. Rumen sangat penuh, sarat dan keras.
Palpasi atau uji tinju pada daerah flank (rumen) akan membekas seperti kita
menekan tanah liat. Kontraksi rumen menurun bahkan kadang tidak ada sama
sekali. Temperatur dan pulsus normal. Konsistensi feses normal atau mengeras,
seringkali jumlahnya menurun bahkan tidak ada masa feses di dalam saluran
pencernaan. Kondisi bisa jadi bertambah parah menjadi asidosis rumen.
Pembahasan
41
pergerakan rumen. Bila mungkin berikan isi rumen hewan lain untuk membantu
memperbaiki fermentasi mikroba di dalam rumen.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Beagley JC, Whitman KJ, Baptiste KE, dan Scherzer J. 2010. Physiology and
treatment of retained fetal membranes in cattle. J. Vet. Intern. Med. 24: 261-
268.
Bekele, Natnael, Addis Mekonnen, Abdela Nejash, Ahmed Wahid. 2016.
Pregnancy diagnosis in cattle for fertility management: a review. Global
Veterinaria. 16: 355-364.
Blowey RW, Weaver D. 2011. Color Atlas of Disease and Disorders of Cattle 3rd
Edition. London (UK): Mosby Elsevier.
Bojrab MJ, Waldron, DR, Toombs JP. 2014. Current Techniques In Small Animal
Surgery 5th Edition. Jackson, WY (US): Tenton New Media
Bondurant RH. 1999. Inflammation in the bovine reproductive tract. J Dairy Sci.
82(2): 101–110.
Brett JA, Meiring RW. 2015. Evaluating Reproductive Performance on Dairy
Farms. Di dalam: Hopper RM, ed. Bovine Reproduction. Oxford (UK): John
Wiley & Sons, Inc.
Broaddus B., de Vries A. 2005. Comparison of methods for early pregnancy
diagnosis. (Proceedings) 2nd Florida Dairy Road Show. 22-29.
Desroscher A, Francoz D. 2014. Clinic management of septic arthritis in cattle. Vet
Clin Food Anim. 30 (2014): 177-203.
Desroscher A. 2013. Non-infectious lameness. WCDS Advances in Dairy
Technology. 25: 255 – 266.
Fangidae YP, Indarjulianto S, Nururrozi A, Yanuartono. 2019. Laporan Kasus:
Penanganan Enteritis pada Kambing Peranakan Ettawa Akibat Nematodiasis
dan Koksidiosis. Ind Med Vet. 8 (2): 225-237.
Hadiwiyoto S. 1994. Teori Dan Prosedur Pengujian Mutu Susudan Hasil
Olahannya. Edisi ke-2. Liberty. Yogyakarta.
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelphia (AS):
Lippincott William and Wilkinds.
Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals: Anatomy of Male
Reproduction. 7th ed. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Hemayatul I, Sarder JU, Jahan SS, Rahman M, Zahan M, Kader A, Mozaffor HKM.
2013. Retained placenta of dairy cows associated with managemental factors
in Rajshahi, Bangladesh. Journal of Veterinary World. 6(4): 180-189.
Hemayatul. 2012. Retained placenta of dairy cows associated with managemental
factors in Rajshahi, Banglades. Department of Animal Husbandry and
Veterinary Science, University of Rajshahi, Bangladesh.
Hidayat A. 2008. Buku Petunjuk Praktis untuk Peternak Sapi Perah tentang,
Manajemen Kesehatan Pemerahan. Bandung (ID): Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat.
Hilton W, Mark, Funnell JB. 2016. Management and Prevantion of Dystocia.
Review Article. Veterinary Clinics of North America: Food Animal Practice.
32 (2): 511-522
44
Hoesni F. 2015. Pengaruh keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) antara sapi bali dara
dengan sapi bali yang pernah beranak di Kecamatan Pemayung Kabupaten
Batanghari. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi.15 (4):20-27.
Hopper RM. 2014. Bovine Reproduction. Mississippi (US): Wiley Blackwel.
Jackson PG. 2007. Hanbook Obstetrik Veteriner. 2nd Ed. Diterjemahkan oleh Aris
Junaidi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Jaśkowski, Magdalena Herudzińska, Marek Gehrke. 2019. Rectal palpation for
pregnancy in cows: A relic or an alternative to modern diagnostic methods.
Med. Weter. 75(5): 259-264.
Jonsson G. 1983. The downer cow syndrome. Indian Journal of Veterinary
Medicine. 3: 1-8.
Kester E, Holzhauer, Frankena K. 2014. A descriptive review of the prevalence and
risk factors of hock lessions in dairy cows. Vet J. 202: 222-228.
Khotimah K dan Farizal. 2013. Kualitas mikrobiologi kolostrum sapi perah FH
pada waktu pemerahan yang berbeda di peternakan rakyat. Jurnal Ilmu
Ternak. 13(2): 13-17.
Kumar A, Singh VK, Bhatt S, Archana, dan Kumar H. 2021. Therapeutic
management of bottle jaw syndrome in cattle associated with bovine
fasciolosis. The Pharma Innovation Journal. 10 (9): 722-724.
Kumari N, Kaswan BL. 2013. Succesfull management of downer cow syndrome in
cow by medicinal treatment along with physiotherapy. International Journal
of Science and research. 6(14): 828-829
Leblanc SJ. 2012. Interactions of metabolism, inflammation, and reproductive tract
health in the postpartum period in dairy cattle. Journal of Reproduction in
Domestic Animals. 47(5): 18-30.
Luthvin. 2007.Identifikasi Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis dengan Uji
Fermentasi Mannitol dan Deteksi Produksi Asetoin Pada Sapi Perah Di
Wilayah Kerja Koperasi Usaha Tani Ternak Suka Makmur Grati Pasuruan.
Jurnal Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Air Langga,
Jawa Timur.
Mahardika HA. 2016. Pengaruh suhu air pencucian ambing dan teat dipping
terhadap jumlah produksi, kualitas dan jumlah sel somatik susu pada
peternakan sapi peranakan Fresian Holstein. Buletin Peternakan. 40 (1):11-
19.
Manan D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Jakarta (ID): Proyek Peningkatan
Peneliatian Perguruan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
Martindah E, Sani Y, Noor SM. 2009. Penyakit endemis pada sapi perah dan
penanggulangannya. Dalam: Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T,
penyunting. Profil usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Jakarta
(Indonesia): LIPI Press. hlm. 209-257.
45
Yadav R, Yadav P, Singh G, Kumar S, Dutt R, dan Pandey AK. 2021. Non-
infectious causes of abortion in livestock animals – a review. International
Journal of Livestock Research. 11 (2): 1-13.
Yasothai R. 2014. Importance of Minerals on Reproduction in Dairy Cattle. Review
Article. International Journal of Science, Environment and Technology, Vol.
3, No 6. 2051-2057.
Youngquist RS, Threlfall WR. 2007. Current Therapy in Large Animal
theriogenology. 2nd. London (UK): Saunders Elsevier
Youngquist RS. 2006. Pregnancy diagnosis. Current therapy in large animal
theriogenology. St. Louis, MO: Elsevier Health Sciences.
Zhang H. 2020. Abortioin and various associated risk factors in dairy cow and sheep
in lli, china. PLoS ONE. 15 (10): e0232568.
DAFTAR LAMPIRAN
75 22-12-2021 Miasis ID: 18114 Luka terbuka pada Semprot Lim LA spray
Jenis Hewan: sapi bagian vulva sapi dan
Ras : Frisien Holstein banyak dihinggapi
Umur : 3 tahun lalat
Jenis Kelamin : Betina
76 22-12-2021 Calving ID : 19020 Sapi baru mengalami Infus SC Calcidex®
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal 250 ml
Ras : Frisien Holstein
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Betina
77 22-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan
Ras : Frisien Holstein bercampur lendir dari
Umur : 7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
78 23-12-2021 Metritis ID : 18160 Terdapat cairan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi kekuningan dan lendir
Ras : Frisien Holstein bening keluar dari
Umur : 3 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
79 23-12-2021 Mastitis ID : 878 Sapi mengalami Biomycin®
Jenis hewan : Sapi pembengkakan dan
Ras : Frisien Holstein memerah pada bagian
Umur :7 tahun ambing serta terdapat
Jenis Kelamin : Betina gumpalan pada susu
dan susu encer
80 23-12-2021 Enteritis ID : 21102 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur :1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
81 23-12-2021 Metritis ID : 19012 Terdapat cairan Spull penstrep 10 ml
Jenis hewan : Sapi kekuningan dan lendir
Ras : Frisien Holstein bening keluar dari
Umur :2 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
58
plasenta belum
terlepas lebih dari 8
jam pos partus dan
masih menggantung.
90 26-12-2021 Calving ID : 18147 Sapi baru mengalami Infus SC Calcidex®
Jenis hewan : Sapi partus dengan normal 250 ml
Ras : Frisien Holstein
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Betina
91 26-12-2021 Enteritis ID : 21103 Sapi mengalami diare Vetadril®
Jenis hewan : Sapi bercampur dengan
Ras : Frisien Holstein lendir
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
92 26-12-2021 Metritis ID : 18160 Sapi mengeluarkan Spull Lim LA : 10 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur :3 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
93 26-12-2021 Enteritis ID : 21118 Sapi mengalami diare Injeksi IM Colibact ®
Jenis hewan : Sapi
Ras : Frisien Holstein
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
94 27-12-2021 Metritis ID : 3859 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein bening dari vulva
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
95 27-12-2021 Metritis ID : 256 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi leleran berwarna
Ras : Frisien Holstein bening dari vulva
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
96 27-12-2021 Metritis ID : 256 Sapi mengeluarkan Limoxin LA® 5 ml
Jenis hewan : Sapi cairan kekuningan dan
Ras : Frisien Holstein lendir bening dari
Umur : 7 tahun vulva
Jenis Kelamin : Betina
97 27-12-2021 Diare ID : 21118 Sapi mengalami diare Vetadryl® 20 ml
Jenis hewan : Sapi dengan feses tidak Glucortin® 15 ml
Ras : Frisien Holstein padat
60
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Betina
98 28-12-2021 Vulvovaginitis D : 18107 Bagian vulva dan Limoxin spray
Jenis hewan : Sapi vagina mengalami G-Mox
Ras : Frisien Holstein pembengkakan dan
Umur : 1 tahun dan berwarna
Jenis Kelamin : Betina kemerahan