Oleh :
Ni Putu Suwastini, S.KH 1709612001
I Made Agus Adnyana, S.KH 1709612008
I Putu Leo Adi Giriawan, S.KH 1709612011
Saidatul Sholeha, S.KH 1709612016
Alfitri Wulandari, S.KH 1709612023
Siti Maryam, S.KH 1809611031
Hasmirah Ardiyanti, S.KH 1809611033
LABORATORIUM REPRODUKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si Dr. drh. Ni Nyoman Werdi Susari, M.Si
NIP.19590713 198702 1 001 NIP.19731112 200112 2 001
Mengetahui,
Koordinator PPDH Laboratorium Reproduksi
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan Laporan Kegiatan
Koasistensi Reproduksi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini
disusun untuk melaporkan hasil kegiatan Koasistensi Reproduksi yang
berlangsung di laboratorium dan lapangan. Penulis menyadari bahwa dalam
menyelesaikan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
2. Bapak Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si selaku Ketua Program Profesi
Dokter Hewan (PPDH) Universitas Udayana,
3. Bapak Dr. drh. I Gusti Ngurah Bagus Trilaksana, M.Kes selaku Kepala
Koordinator PPDH Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana,
4. Bapak drh. I Made Kota Budiasa, M.P selaku staf PPDH Bagian
Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
5. Bapak Prof. Dr. drh. Tjok Gde Oka Pemayun, M.S selaku staf PPDH
Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
6. Bapak Dr. drh. Wayan Bebas, M.Kes selaku staf PPDH Bagian
Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
7. Bapak Dr. drh. I Ketut Suatha, M.Si selaku staf PPDH Bagian Reproduksi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
8. Ibu Dr. drh. Ni Nyoman Werdhi Susari, M.Si selaku staf PPDH Bagian
Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
9. Ibu Dr. drh. Desak Nyoman Dewi Indira Laksmi, M.Biomed selaku staf
PPDH Bagian Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana,
10. Pimpinan dan Staf Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) Provinsi Bali,
iii
iv
11. Pimpinan dan Staf UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali
Sobangan-Mengwi serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya
kegiatan Koasistensi Laboratorium Reproduksi Veteriner ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala bentuk kritik dan saran akan penulis terima dengan kerendahan
hati. Penulis berharap semoga laporan ini berguna bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 3
1.4 Metode Penulisan 4
BAB II MATERI DAN METODE 5
2.1 Kegiatan Laboratorium .............................................................. 5
2.1.1 Swab Vagina Mencit 5
2.1.2 Koleksi Semen Ayam 7
2.1.3 Koleksi Oosit Sapi, Babi, dan Mencit 10
2.1.4 Koleksi Embrio Fase Blastosis pada Mencit 12
2.1.5 Demonstrasi Kedudukan Fetus ( Distokia ) 13
2.2 Kegiatan Lapangan 14
2.2.1 UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali ... 14
2.2.2 UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah 17
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 19
3.1 Hasil Kegiatan Laboratorium 19
3.1.1 Swab Vagina pada Mencit 19
3.1.2 Koleksi Semen Ayam 29
3.1.3 Koleksi Oosit Sapi, Babi, dan Mencit 33
3.1.4 Koleksi Embrio Fase Blastosis pada Mencit 43
3.1.5 Demonstrasi Kedudukan Fetus ( Distokia ) 47
3.2 Kegiatan Lapangan 58
3.2.1 UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali .. 58
3.2.2 UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah ............................ 64
BAB IV PENUTUP 74
4.1 Simpulan 74
4.2 Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 75
LAMPIRAN .............................................................................................. 81
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Peralatan Laboratorium Prosesing Semen Sapi .......................... 15
Tabel 2. Bahan Prosesing Semen Sapi ...................................................... 16
Tabel 3. Hasil Pengamatan Makroskopis Semen Ayam ........................... 29
Tabel 4. Pengamatan Mikroskopis Semen Ayam ..................................... 30
Tabel 5. Gambaran Mikroskopis Semen Ayam ........................................ 30
Tabel 6. Hasil Koleksi Oosit ..................................................................... 33
Tabel 7. Demonstrasi Kedudukan Fetus (Distokia) .................................. 52
Tabel 8. Kegiatan Harian UPT BIBD Baturiti .......................................... 58
Tabel 9. Data Hasil Penampungan dan Prosesing Semen Beku Sapi ....... 59
Tabel 10. Komposis semen sapi ................................................................ 63
Tabel 11. Kegiatan UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali
Sobangan ..................................................................................... 64
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hewan ternak khususnya sapi merupakan salah satu sumber
perekonomian masyarakat pedesaan pada umumnya, baik dalam sekala
rumahan ataupun sekala usaha. Selain dalam pemanfaatan tenaga dapat
dimanfaatkan hasil produksi yang diperoleh berupa daging, susu, dan
kotorannya, sedangkan dari hasil reproduksi yang diperoleh adalah pedet.
Kebutuhan pangan asal hewan (daging) di Indonesia semakin
meningkat, sementara ketersediaannya terbatas. Hal ini disebabkan oleh
menurunnya angka kelahiran yang menyebabkan penurunan populasi ternak di
Indonesia. Fakta di lapangan dan beberapa hasil kajian ilmiah telah
membuktikan bahwa kondisi ini disebabkan oleh adanya penurunan performa
reproduksi ternak, akibat gangguan reproduksi (Budiyanto et al.,2016).
1
baik pada calon indukan ataupun pejantan, sehingga mampu menghasilkan
keturunan yang unggul. Melalui inseminasi buatan penyebaran bibit pejantan
dengan materi genetik unggul dengan mudah dapat didistribusikan.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakan kegiatan di Laboratorium Reproduksi Veteriner
sebagai berikut:
Menambah pengetahuan tentang fase-fase pada siklus reproduksi mencit
melalui swab vagina.
Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan koleksi oosit
melalui metode aspirasi dan slashing folikel pada ovarium sapi dan babi,
serta metode slicing pada ovarium dan tuba fallopii mencit.
Menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan koleksi embrio
melalui metode slicing pada tuba fallopii mencit untuk mengetahui fase
blastosis.
2
Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan koleksi semen
pada ayam dan kualitas semen melalui pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis.
Memperdalam pemahaman tentang kedudukan fetus yang menyebabkan
kesulitan melahirkan dan cara penanganannya melalui demonstrasi
kedudukan fetus normal dan abnormal.
Melatih keterampilan mahasiswa dalam melakukan palpasi rektal untuk
pemeriksaan gangguan reproduksi, diagnosis kebuntingan, dan pelaksanaan
inseminasi buatan.
Menambah pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan koleksi dan
evaluasi semen sapi dan babi sampai menjadi semen beku dan cair.
1.3 Manfaat
Melalui kegiatan yang dilakukan di Laboratorium Reproduksi Veteriner
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
Mampu mengetahui fase-fase pada siklus reproduksi mencit melalui swab
vagina.
Mampu mengetahui dan terampil dalam melakukan koleksi oosit melalui
metode aspirasi dan slashing folikel pada ovarium sapi dan babi, serta
metode slicing pada ovarium dan tuba fallopii mencit.
Mampu mengetahui dan terampil dalam melakukan koleksi embrio melalui
metode slicing pada tuba fallopii mencit untuk mengetahui fase blastosis.
Mampu mengetahui dan terampil dalam melakukan koleksi semen pada
ayam dan kualitas semen melalui pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis.
Mampu memahami tentang kedudukan fetus yang menyebabkan kesulitan
melahirkan dan cara penanganannya melalui demonstrasi kedudukan fetus
normal dan abnormal.
Terampil dalam melakukan palpasi rektal untuk pemeriksaan gangguan
reproduksi, diagnosis kebuntingan, dan pelaksanaan inseminasi buatan.
3
Mampu mengetahui dan terampil dalam melakukan koleksi dan evaluasi
semen sapi dan babi sampai menjadi semen beku dan cair.
4
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1 Kegiatan Laboratorium
2.1.1 Swab Vagina Mencit
A. Materi
Hewan : Tiga ekor mencit (Mus musculus) betina yang masing-masing
diberi perlakuan pakan yang berbeda yaitu kacang hijau, edamame,
dan konsentrat pada waktu pagi dan siang.
Bahan :
NaCl fisiologis 0,9% Kacang Hijau
Metanol Edamame
Pewarna Giemsa Konsentrat
Air mengalir
Alat :
Objek glass Mikroskop
Cotton bud baby Tisu
Kertas label Pipet pasteur
Korek api Lilin
A. Metode
Berikut metode untuk melakukan swab vagina pada mencit:
1. Mencit yang akan di swab vagina dipersiapkan. Basahi cotton bud baby
dengan larutan NaCl fisiologis dan dibersihkan objek glass.
2. Dilakukan restrain pada mencit dengan cara menjepit kulit leher mencit
bagian atas menggunakan ibu jari dan telunjuk, serta ekor mencit dijepit
diantara jari kelingking dan telapak tangan.
3. Swab dilakukan pada bagian dalam vagina mencit agar cairan dan epitel
dinding vagina dapat menempel pada cotton bud baby dan dilakukan
sejajar tulang punggung dan diputar perlahan searah jarum jam. Swab
dilakukan sehalus mungkin agar tidak melukai mencit.
5
4. Dibuat apusan dengan cara menekan dan menggulung cotton bud baby di
permukaan objek glass dengan sekali ulas agar diperoleh apusan yang
sempurna.
5. Apusan difiksasi diatas api lilin hingga kering.
6. Setelah apusan tersebut kering, dilakukan perendaman pada metanol
selama 5 menit, kemudian apusan dikeringkan.
7. Selanjutnya dilakukan pewarnaan apusan dengan cara meneteskan
pewarna giemsa pada permukaan apusan menggunakan pipet tetes
sampai menutupi seluruh apusan, setelah apusan terwarnai semua
didiamkan selama 5 menit.
8. Kemudian dicuci dengan air mengalir pelan, lalu ditiriskan diatas tissue
untuk menghilangkan sisa-sisa tetesan air.
9. Lalu difiksasi kembali diatas api lilin sampai cukup kering.
10. Setelah kering diberikan label pada preparat mencakup (tanggal, waktu,
dan nomor mencit).
11. Preparat diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x dan 40x
untuk melihat bentuk-bentuk reruntuhan sel epitel vagina.
6
2.1.2 Koleksi Semen Ayam
A. Materi
Objek : Ayam kampung jantan dan betina yang sedang fase bertelur
Bahan :
NaCl fisiologis
Eosin Negrosin Sitrat 2%
Alat :
Cawan petri Object glass
Pipet pasteur Cover glass
Spuit 1 cc Mikroskop binokuler
B. Metode
a) Koleksi semen ayam dengan metode pemijatan (Massage)
1. Dipersiapkan ayam jantan yang sudah dewasa kelamin (± 52 minggu),
meliputi; isolasi dikandang selama 2 hari dan dipuasakan selama ± 10
jam guna menghindari kontaminasi semen oleh feses pada saat
dilakukan koleksi semen.
2. Setelah siap dikoleksi ayam jantan di-restrain dengan cara memegang
kedua paha ayam bersamaan dengan menahan sayap ayam.
3. Kolektor terdiri dari dua orang, satu orang melakukan pemijatan dan
yang lain menampung sperma yang keluar.
4. Lakukan pemijatan pada bagian dorso abdominal ayam dengan
meletakkan telapak tangan kiri pada ekor dan mendorong bulu ekor ke
atas untuk menyingkap kloaka dan selanjutnya dilakukan pemijatan
pada ujung caudal tubuh ayam jantan tepat dibawah os pubis agar
terjadi refleks ejakulator. Lakukan pemijatan secara cepat dan terus-
menerus hingga pejantan memberi respon dengan mengeluarkan
papillae dari kloaka.
5. Tampung semen yang keluar dengan menggunakan cawan petri.
7
b) Pemeriksaan motilitas sperma ayam
1. Semen yang ditampung diencerkan dengan ditambahkan NaCl
fisiologis 0,9 % dan dihomogenkan.
2. Semen yang telah dihomogenkan diteteskan pada object glass
menggunakan pipet pasteur dan ditutup menggunakan cover glass lalu
dilakukan pengamatan motilitas sperma di bawah mikroskop
binokuler dengan pembesaran 10x dan 40x.
c) Pemeriksaan daya hidup sperma
1. Semen yang ditampung pada cawan petri diteteskan sebanyak 1 tetes
pada object glass dengan menggunakan pipet pasteur.
2. Selanjutnya ditetesi dengan Eosin Negrosin Sitrat 2% sebanyak 1
tetes, NaCl 0,9 % 2 tetes kemudian homogenkan dan dibuat ulas tipis
pada object glass.
3. Selanjutnya dikeringkan dengan cara memutar object glass seperti
angka delapan.
4. Diamati di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 10x dan
40x.
d) Penghitungan konsentrasi sperma menggunakan haemocytometer
1. Siapkan sperma pada cawan petri.
2. Hisap sperma kedalam pipet thoma sampai tanda 0,5%.
3. Hapus sperma yang melekat pada bagian luar pipet.
4. Masukkan ujung pipet kedalam larutan NaCl sambil menahan sperma
pada garis tanda tadi, pipet dipegang dengan membentuk sudut 45
derajat. kemudian hisap larutan NaCl perlahan sampai tanda 101, hati
hati jangan sampai ada gelembung udara.
5. Angkat pipet dan cairan, tutup ujung pipet dengan ujung jari, lalu
lepaskan aspirator.
6. Kocok pipet 15-30 detik. Jika tidak segera digunakan letakkan
mendatar.
7. Siapkan kamar hitung.
8
8. Kocok pipet tadi agar homogen +- 3 menit, kemudian buang cairan 3-
4 tetes.
9. Segera teteskan setetes saja pada kamar hitung, jangan sampai banjir
menggenangi parit.
10. Biarkan mengendap +- 2-3 menit.
11. Hitung jumlah konsentrasi sperma dalam 5 kotak dengan
perbesaran 40x.
9
2.1.3 Koleksi Oosit Sapi, Babi dan Mencit
A. Materi
Bahan :
Ovarium sapi, babi, dan organ reproduksi (ovarium, dan tuba fallopii)
mencit
NaCl fisiologis
Alat :
Mikroskop stereo Pinset
Mikroskop fase kontras Silet
binokuler Penggaris
Spuit 1 cc, 3 cc, dan 5 cc Kamera
Cawan petri
B. Metode
a. Aspirasi pada ovarium sapi dan babi
1. Disiapkan ovarium sapi dan babi yang terendam NaCl fisiologis
supaya tidak autolisis pada wadah berbeda.
2. Disiapkan spuit 3 cc yang sebelumnya diisi NaCl fisiologis sampai
skala 1-1,5 cc.
3. Dilanjutkan menyedot cairan folikel dengan cara menusukkan spuit
yang terisi NaCl fisiologis ke bagian folikel.
4. Setelah memperoleh cairan folikel dipindahkan ke cawan petri
berbeda antara sapi dan babi untuk diamati di mikroskop fase
kontras binokuler.
5. Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
10
b. Slashing ovarium babi dan sapi
1. Disiapkan ovarium sapi dan babi yang terendam NaCl fisiologis
supaya tidak autolisis.
2. Disiapkan spuit 3 cc yang sebelumnya diisi NaCl fisiologis sampai
penuh.
3. Ovarium yang akan dislashing ditempatkan pada cawan petri.
4. Dilanjutkan dengan meginsisi pada bagian folikel menggunakan
silet sekaligus disemprotkan NaCl fisiologis secara perlahan tepat
difolikel yang terinsisi.
5. Cairan yang diperoleh diamati menggunakan mikroskop fase
kontras binokuler.
6. Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
c. Slicing ovarium dan tuba fallopii mencit
1. Mencit di-eutanasi dengan metode dislokasi os vertebrae
cervicalis.
2. Mencit dilaparotomi dengan menginsisi bagian median abdomen
dan dipisahkan organ reproduksinya.
3. Organ reproduksi yang telah dipisahkan segera direndam
menggunakan NaCl fisiologis.
4. Dibawah mikroskop stereo organ reproduksi dibersihkan dari
lemak, dipisahkan bagian ovarium dan tuba fallopii untuk
dipindahkan pada cawan petri yang berbeda berisi NaCl fisiologis.
5. Dilanjutkan slicing menggunakan spuit 1 cc hingga lembut dan
diamati menggunakan mikroskop fase kontras binokuler.
6. Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
11
2.1.4 Koleksi Embrio pada Mencit
A. Materi
Bahan :
3 ekor mencit betina pada hari ke 2 dan hari ke 3 setelah
dikawinkan
2 ekor mencit jantan
Nacl fisiologis
Tisu
Alat :
Silet, gunting, pinset Mikroskop stereo
Cawan petri Mikroskop fase kontras
Spuit 1 cc, 3 cc, 5 cc Kamera handphone.
B. Metode
Slicing pada ovarium dan tuba fallopii mencit :
1. Mencit yang telah kawin di-eutanasi dengan metode dislokasi os
vertebrae cervicalis.
2. Kemudian dilakukan laparotomi mencit pada bagian median abdomen.
3. Organ reproduksi utuh diambil dan dipisahkan.
4. Organ reproduksi diletakkan pada cawan petri yang berisi media NaCl
fisiologis.
5. Dibawah mikroskop stereo organ reproduksi dibersihkan dari lemak
dan dipisahkan bagian ovarium dan tuba fallopiinya,
6. Setelah itu, ovarium dan tuba fallopii dipindahkan pada cawan petri
yang berbeda berisi media NaCl fisiologis.
7. Dilanjutkan slicing menggunakan spuit 1 cc hingga lembut dan
diamati menggunakan mikroskop fase kontras binokuler.
8. Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
12
2.1.5 Demonstrasi Kedudukan Fetus (Distokia)
A. Materi
Alat dan Bahan :
Boneka sapi
Os coxae pada sapi
Kamera
B. Metode
1. Boneka sapi diposisikam pada bagian cranial dari os pelvis seolah-olah
fetus berada di dalam cavum abdomen.
2. Kedudukan fetus diatur dari presentasi, posisi dan postur fetus dari yang
normal sampai abnormal, serta di dokumentasikan untuk dapat dipelajari
lebih lanjut.
3. Penanganan yang tepat dilakukan pada fetus dengan kedudukan yang
abnormal sehingga seolah-olah fetus dapat dikeluarkan dari cavum pelvis.
13
2.2 Kegiatan Lapangan
2.2.1 UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah – Bali
Kegiatan UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah - Bali, berlangsung
selama 5 hari kerja dalam seminggu, prosesing semen pada sapi dilakukan 2
kali dalam seminggu hari senin dan kamis, sedangkan untuk prosesing
semen pada babi dilakukan setiap hari kerja (senin-jumat). Mahasiswa
PPDH bagian reproduksi mengikuti kegiatan mulai pada tanggal 18 Februari
– 22 Februari 2019. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi :
1. Prosesing semen beku sapi bali
Sebelum melakukan penampungan semen, sapi dimandikan
terutama dibersihkan dan dicukur rambut bagian prepusium sapi
sehingga pada saat pengambilan semen tidak terkontaminasi oleh
kotoran. Untuk penampungan semen juga dipersiapkan alat yaitu vagina
buatan. Vagina buatan terdiri dari tabung vagina, lateks berbentuk
corong, spermtube, pelindung tabung dari cahaya. Pada vagina buatan,
dibagian tempat masuk penis diberikan pelumas dengan lumbricant jelly,
sehingga penis dapat masuk dengan lancar. Pada vagina buatan
dimasukan air hangat, kemudian diukur dengan menggunakan
thermometer mencapai suhu 37oC-41oC (setiap pejantan memiliki
karakter yang berbeda) yang menyerupai suhu vagina. Udara dimasukan
ke dalam vagina buatan untuk membuat vagina buatan menjadi lembut
dan empuk sehingga saat penis masuk pejantan merasakan seperti vagina
betina asli.
Setelah persiapan hewan dan vagina buatan telah siap, sapi
pejantan yang dijadikan pemancing (Teaser) dimasukan ke kandang jepit.
Pejantan yang akan diambil spermanya dibawa mendekati teaser untuk
melakukan teasing. Teasing dilakukan sebanyak 2-3 kali untuk
perangsangan dan untuk memperoleh ejakulasi tinggi sehingga dapat
memperoleh volume semen yang maksimal. Pada ejakulasi yang tinggi
penis yang keluar segera dipegang dan vagina buatan segera diarahkan ke
penis. Ejakulasi pada sapi berlangsung sangat cepat, hanya dengan dalam
14
hitungan detik. Maka dari itu operator harus cekatan disamping itu
sperma yang dihasilkan sedikit ± 5-10 cc. pada saat penampungan, semen
tidak boleh terkena sinar matahari langsung. Semen yang telah
ditampung segera dibawa ke laboratorim untuk dilakukan proses lebih
lanjut.
Semen yang telah ditampung dimasukan ke dalam
waterbathdengan suhu 35oCtujuannya untuk mempertahankan suhu
sperma. Untuk diproses menjadi semen beku maka sperma harus
diperiksa lebih dulu untuk menentukan layak atau tidak untuk diproses
lebih lanjut. Adpaun alat dan bahan yang dipergunakan dalam prosesing
semen beku sapi bali di laboratorium UPTD BIBD sebagai berikut
disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel 1. Peralatan Laboratorium Prosesing Semen Sapi
No. Peralatan dan Bahan Fungsi/Kegunaan
1 Waterbath Untuk mempertahankan suhu sperma
(35oC)
2 Sperm Vision Analyser Untuk menganalisa atau melihat
motalitas, progresifitas, dan
abnormalitas sperma.
3 Fotometer Spermacue Menghitung konsentrasi sperma
SDM 5
4 Cold tube Equilibrasi sperma yang sudah di
packing dalam straw atau suhu
bertahap (3-6oC)
5 Sterilisator Untuk mensterilkan peralatan yang
akan dipakai dalam pembuat sperma
beku.
6 Automatic Filling and Mengisi dan mengklaim straw.
Sealing
7 Ice tube Alat freezing otomatis dengan system
computer yang bias bekerja secara
otomatis dalam proses penurunan suhu
dengan memberi uap N2 cair dengan
suhu -120oC sebelum akhirnya
direndam dalam N2 dengan suhu -
196oC.
8 Sterofom Alat konvensional dengan besi
penyangga sehingga suhu straw
bertahan -120oC.
9 Gelas Ukur Alat yang digunakan untuk membuat
15
pengencer
10 Gelas Piala Alat yang digunakan untuk
mengencerkan sperma
11 Pipet disposable Alat yang untuk mengambil sperma
dari tabung koleksi semen
12 Tabung koleksi semen Tabung khusus dengan skala untuk
menampung semen sapi
13 Pipet 400µl Untuk mengambil pengencer sebanyak
400µl (evaluasi mikroskopis)
14 Pipet 40µl Untuk mengambil sperma
(menghitung konsentrasi)
15 Pipet 10µl Untuk mengambil sperma (evaluasi
mikroskopis)
16 Objek glass dan Untuk membuat preparat ulas sperma
cover glass untuk evaluasi mikrokospis
17
2. Sebelum melakukan palpasi rektal dipastikan terlebih dahulu memotong
kuku jari tangan agar tidak terjadi luka pada mukosa rektum pada sapi.
3. Selanjutnya tangan diberi pelicin (sabun bayi) agar lebih mudah
dimasukkan kedalam rektum sapi. Tangan yang sudah diberikan pelicin
kemudian dimasukkan ke rektum dengan posisi tangan kiri dikuncupkan.
4. Saat tangan sudah masuk, jika didalam rektum ditemukan banyak feses,
terlebih dahulu feses dikeluarkan perlahan agar bersih. Saat melakukan
pemeriksaan keadaan rektum harus dalam posisi relaksasi.
5. Selanjutnya mendiagnosa agar bisa mengetahui apakah sapi tersebut
bunting atau tidak, selanjunya tentukan adanya kelainan dengan
melakukan palpasi terhadap adanya perubahan-perubahan di servik,
corpus uteri, cornua uteri sampai ke ovarium.
6. Setelah selesai dilakukan palpasi rektal kotoran dan sisa busa sabun
dibersihkan di anus sapi.
18
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kegiatan Laboratorium
3.1.1 Swab Vagina Mencit
a. Hasil
Tabel 2. Hasil Swab Vagina
Perlakuan
H P
1
A A
2 1
R G 3 2 1
I I 2
1 0
Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X
8
1. Sel Superficial 1. Sel Parabasal 1. Sel PMN
. 2. Sel Parabasal 2. Sel Superficial 2. Sel Parabasal
3. Sel Intermediet
0
Fase Proestrus Fase Proestrus Fase Diestrus
0
I 2
2
A 1
3
1
N 1
19
0
H P
2 1
A A
3
2
R G
1
I I
1 3
2 0 Pembesaran : 400X
Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X
8 1. Sel Superficial
1. Sel Superficial 1. Sel Parabasal
. 2. Intermediet 2. Sel Superficial
3. Sel PMN 3. Sel PMN
0
S
3
I 3
1 1
A 1 2
N 2
20
H P
A A 3
R G 2 1
I I 1 1 2
3 0
Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X
8
1. Sel Superficial 1. Sel Superficial 1. Sel Parabasal
.
2. Sel Intermediet 2. Sel Superficial
0 3. Sel PMN 3. Sel PMN
0
Fase Metestrus Fase Estrus Fase Proestrus
S
1
I
A 1
3
N 2 1
H P 3
4 2
A A 1
R G 1 3 3
1
I I 2
2
4 0
21
8 Pembesaran : 400X Perbesaran : 400X Pembesaran : 400X
S 1
I 2
1 2 1
3
A 3
2
N
0
Fase Proestrus Fase Diestrus Fase Diestrus
0
H P
1
A A
R G 1
2 2 1
I I
5 0
22
S
3
I 1
A
2 1
2
N 1 3
G
0
Fase Estrus Fase Proestrus Fase Proestrus
0
H P
A A
1 1
R G
1
I I
2
2
6 0
I 3 1
A 1
1 2
N 2
G 3
23
1 Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X
0
Fase Metestrus Fase Proestrus Fase Estrus
0
H P
A A
2
R G
1
I I 1
1
7 0
Pembesaran : 400X
8 Pembesaran : 400X Pembesaran : 400X
A
2
2 1
N
1 1
G
24
H P
A A 3
R G
2 1
I I 1 2 1
8 0
A 1
N 1
1
2
G
b. Pembahasan
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang bersifat poliestrus dan memiliki
siklus reproduksi yang sangat pendek. Siklus estrus pada mencit berlangsung selama
4-5 hari. Mencit betina dewasa yang siap untuk dikawinkan berumur 35-60 hari. Masa
reproduksi dari mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Lama kebuntingan mencit yaitu
25
19-20 hari dengan jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor. Mencit digunakan sebagai
hewan percobaan karena memiliki sifat yang menguntungkan diantaranya
perkembangbiakan cepat, estrus teratur, fase estrus dapat dideteksi, periode
kebuntingan singkat, mempunyai banyak anak dan mudah dipelihara dalam jumlah
yang banyak (Akbar, 2010). Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk
mengetahui fase estrus pada mencit. Salah satunya dengan metode Vaginal Smear
atau swab vagina. Metode vaginal swab lebih banyak digunakan karena bisa
menunjukkan hasil yang lebih akurat. Metode ini menggunakan sel epitel dan leukosit
sebagai bahan identifikasi. Sel epitel merupakan sel yang terletak dipermukan vagina,
sehingga apabila terjadi perubahan kadar estrogen maka sel epitel merupakan sel yang
paling awal terkena akibat dari perubahan tersebut. Leukosit merupakan sel antibodi
yang terdapat di seluruh bagian individu. Leukosit di vagina berfungsi membunuh
bakteri dan kuman yang dapat merusak ovum. Sel epitel berbentuk oval atau
polygonal, sedangkan leukosit berbentuk bulat berinti (Nalbandov, 1990).
Reproduksi merupakan suatu proses organisme dapat menghasilkan individu
baru. Secara umum sistem reproduksi betina terdiri atas ovarium dan sistem duktus.
Sistem tersebut tidak hanya menerima telur yang diovulasikan dan membawa ke
tempat implantasi di uterus, tetapi juga menerima sperma dan membawanya ke tempat
fertilisasi yaitu tuba fallopii. Pertumbuhan, fungsi saluran reproduksi betina
dipengaruhi oleh hormon.
Setiap hewan mempunyai waktu siklus estrus yang berbeda-beda. Siklus estrus
merupakan cerminan dari berbagai aktivitas yang saling berkaitan antara hipotalamus,
hipofisis, dan ovarium (Akbar, 2010). Selama siklus estrus terjadi berbagai perubahan
baik pada organ reproduksi maupun pada perubahan tingkah laku seksual. Siklus
estrus dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus
(Toelihere, 1985). Setiap fase estrus dari mencit dapat diamati dengan pemeriksaan
swab vagina. Melalui swab vagina dapat dilihat berbagai tingkat diferensiasi fase
estrus mulai dari sel epitel vagina yang secara tidak langsung mencerminkan
perubahan fungsional ovarium (Akbar, 2010). Fase proestrus adalah fase folikel de
Graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang
makin bertambah. Fase ini sering disebut sebagai fase folikuler. Fase proestrus dapat
diketahui dengan pengamatan adanya dominasi sel-sel parabasal yang muncul secara
tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan menggunakan metode
swab vagina (Baker, 1980). Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase ini
26
meliputipertumbuhan folikel, meningkatnya pertumbuhan endometrium, uteri dan
serviks sertapeningkatan vaskularisasi dan keratinisasi epitel vagina pada beberapa
spesies (Akbar, 2010).Pada mencit fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Fase estrus adalah fase yang ditandai dengan
penerimaan pejantan oleh hewan betinauntuk kopulasi. Pada fase ini folikel de Graaf
membesar dan menjadi matang. Estradiol yangberasal dari folikel de Graaf yang
sudah matang akan menyebabkan perubahan-perubahan padasaluran reproduksi
betina (Toelihere, 1985). Fase estrus sangat dipengaruhi oleh kadar estrogen
meningkat. Ovulasi hanya terjadi pada fase ini dan terjadi menjelang akhir siklus
estrus. Faseestrus pada mencit berlangsung selama 12 jam (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Pengamatan fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-
sel superficial yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak pada preparat
ulas vagina (Baker, 1980).
Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan mitosis yang terjadi
didalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan
permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Pada preparat swab vagina
ditandai dengan menghilangnya PMN dan parabasal, yang ada hanya selsuperficial
dengan bentuk tidak beraturan dan berukuran besar. Fase estrus dipengaruhi
mekanisme hormonal yaitu hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH),
hormon-hormon ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus
(prostaglandin). Metestrus adalah periode yang terjadi sesudah estrus. Pada fase
metestrus ovarium mengandung corpora lutea dan folikel-folikel kecil. Pada fase ini
corpus luteum bertumbuh cepat dari hasil sel granulose folikel yang telah pecah di
bawah pengaruh LH dan adenohypophysa. Metestrus sebagian besar berada di bawah
pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Pada tikus fase ini
berlangsung selama 21 jam. Fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi
sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metodeulas
vagina (Baker, 1980). Diestrus adalah periode terakhir dan fase ini berlangsung
selama 2-3hari. Pada akhir periode ini corpus luteum memperlihatkan perubahan-
perubahan retrogresif. Endometrium dan kelenjar-kelenjarnya beregresi ke ukuran
semula. Mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan sekunder dan akhirnya
kembali ke proestrus. Pada preparat swabvagina dijumpai banyak PMN dan sel
parabasal yang letaknya tersebar dan homogen (Baker,1980).
27
Hasil pengamatan preparat swab vagina pada mencit yang diberi beberapa
perlakuan pakan yaitu dengan pemberian kacang hijau, edamame, dan konsentrat
yang diberikan sebanyak 2 kali sehari dengan selang waktu 6 jam. Berdasarkan tabel
diatas semua mencit yang diberikan perlakuan tersebut mempunyai siklus estrus yang
lengkap namun terdapat perbedaan dimana adanya perpanjangan fase siklus yang
berbeda pada fase estrus dan proestrus. Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa mencit
yang diberikan pakan konsentrat dan edamame memiliki fase estrus yang lebih lama
dibandingkan dengan mencit yang diberikan pakan kacang hijau. Mencit yang
diberikan pakan konsentrat mengalami fase estrus selama 24 jam (1 hari) yang
diamati mulai dari hari ke lima sampai hari ke enam. Selanjutnya pada mencit yang
diberikan pakan edamame mengalami fase estrus terjadi selama 24 jam (1 hari) yang
diamati mulai dari hari ke dua sampai hari ke tiga dan pada hari ke tujuh sampai hari
ke delapan. Sedangkan pada mencit yang diberikan pakan kacang hijau memiliki
siklus estrus yang normal yaitu selama 12 jam. Mencit adalah hewan yang memiliki
siklus estrus yang teratur dengan waktu empat hingga lima hari, sedangkan hasil
pengamatan dengan pemberian tiga jenis pakan tersebut, siklus estrusnya ada yang
normal dan ada pula yang mengalami perpanjangan fase dari siklus estrus tersebut.
Menurut Nadjamudin et al., (2010), siklus estrus sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya ialah nutrisi, cahaya, suhu, dan hubungan sosial. Oleh karena itu,
terjadinya ketidakteraturan siklus estrus yang diamati diduga disebabkan oleh
kurangnya penanganan terhadap faktor faktor yang mempengaruhi siklus estrus
tersebut.
Berdasarkan nutrisi dari tiga jenis pakan yang diberikan, konsetrat merupakan
pakan tinggi kandungan protein. Sedangkan edamame dan kacang hijau merupakan
pakan yang mengandung fitoestrogen. Berdasarkan penelitian meta analisis, asupan
fitoestrogen dapat meningkatkan panjang siklus menstruasi, menekan tingkat
Luteizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH) serta menurunkan
konstentrasi kolesterol pada fase folikuler. Menurut Biben (2012), edamame dan
kacang hijau merupakan salah satu tanaman kelompok fitoestrogen yang berkhasiat
menyerupai hormon estrogen atau dapat berinteraksi dengan reseptor
estrogen.Wardani (2015) mengungkapkan bahwa tikus yang diberikan tanaman
kelompok fitoestrogen mengalami perpanjangan pada fase estrusnya sedangkan fase
lainnya diperpendek. Dari pernyataan tersebut, telah sesuai bahwa mencit yang telah
diamati mengalami perpanjangan pada fase estrusnya, namun perpanjangan siklus
28
estrus juga ikut terjadi pada fase proestrus yang seharusnya diperpendek. Perbedaan
ini diduga disebabkan karena hanya sedikit sekali pakan yang dimakan sehingga
kandungan fitoestrogennnya belum cukup untuk mempengaruhi siklus estrus mencit
secara keseluruhan. Selain itu, karena yang dimakan hanya sedikit sekali, maka secara
nurtisi kurang karena tidak ada pakan lain yang diberikan dan mencit dikandangkan.
Kekurangan nurtisi ini kemungkinan mempengaruhi ovarium sehingga tidak terjadi
perkembangan fase-fase yang teratur.
Faktor lain yang kemungkinan besar menyebabkan terjadinya perubahan siklus
estrus yang tidak teratur ialah perubahan lingkungan sehingga mencit menjadi stress.
Ini didasarkan atas adanya perubahan perilaku normal pada mencit yang umumnya
tidak aktif di pagi maupun siang hari menjadi cukup aktif terlebih akan dilakukan
swab vagina. Selain itu, ketika hendak diswab, selalu terjadi defekasi. Ini
menunjukkan bahwa mencit tersebut mengalami stress. Di samping itu pula, kondisi
kandang yang kurang baik menyebabkan mencit rentan stress. Ini sesuai dengan
pernyataan Suci (2015) bahwa penyebab stress pada hewan coba disebabkan kandang
yang kurang baik saat pemeliharaan. Stress menyebabkan terjadinya penekanan
gonadotropin dan hormone steroid lainnya yang akan menyebabkan gangguan siklus
birahi (Ranabir dan Reetu, 2011). Penekanan pada gonadotropin menyebabkan tidak
disekresikannya Folicel Stimulating Hormon (FSH) sehingga tidak terjadi
perkembangan folikel atau ovarium akan dalam keadaan fase luteal. Selain itu,
penekanan gonadotropin juga menyebabkan gangguan sekresi Luteinizing Hormon
(LH). Diketahui LH adalah hormon yang berperan dalam mempertahankan korpus
luteum dan perkembangan korpus luteum. Akibatnya, tidak terjadi perkembangan
korpus luteum sehingga tidak pula terjadi perkembangan siklus estrus yang teratur.
Volume 0,07 ml
29
Bau Khas (N)
Keterangan: N: Normal
Tabel 4. Hasil pengamatan mikroskopis semen ayam kampung
Parameter Mikroskopis Hasil
Gambaran mikroskopis
semen ayam kampung untuk
observasi motilitas massa
atau individu (40X).
Gambaran mikroskopis
semen ayam kampung yang
diwarnai Eosin negrosin sitrat
2%. Seluruh sperma diketahui
mati yang ditandai dengan
sperma terwarnai merah..
30
b. Pembahasan
Sistem reproduksi ayam jantan memiliki banyak perbedaan dari kebanyakan
mamalia. Testes dari ayam jantan akan berfungsi pada temperature tubuh yang normal,
mencapai 41oC, dimana testes berlokasi di dalam ruang abdomen dekat dengan ginjal
(Kharayat et al., 2016). Epididimis ayam jantan akan berudimentasi dan fungsinya akan
digantikan oleh vas deferen (Bebas dan Laksmi, 2013).
Produksi sperma dan ukuran testis berkorelasi secara langsung dan positif. Ayam
jantan mulai memproduksi semen pada umur 12 minggu, berdasarkan ukuran tubuh dan
program pencahayaan/manajemen. Namun biasanya sperma ayam akan efektif pada
sekitar umur 18 minggu (Kharayat et al., 2016).
Koleksi semen umumnya dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu penggunaan
vagina buatan, elektroejakulasi, dan manipulasi digital. Untuk unggas, atau dalam kasus
ini berupa ayam serama, koleksi semen dilakukan dengan manipulasi digital.
Manipulasi digital dilakukan untuk menginduksi pejantan untuk ejakulasi dengan cara
memberi tekanan dan pijatan pada alat kelamin. Pada unggas, metode ini dapat
dilakukan secara rutin untuk koleksi semen (Rougen dan Bowen, 2002).
Sperma merupakan sel yang motil dan aktif, namun rentan mengalami kerusakan
dan mati karena beberapa kondisi lingkungan, seperti terpapar toksik kimiawi dan stres
termal (Rougen dan Bowen, 2002).
Hasil pemeriksaan daya hidup sperma menggunakan pewarnaan Eosin negrosin
sitrat 2% menunjukkan kematian pada semua sperma. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya stres termal pada saat koleksi semen. Rougen dan Bowen (2002) menyebutkan
bahwa paparan suhu yang berbeda dari temperatur tubuh pada periode yang pendek
31
dapat menyebabkan kematian pada banyak sperma yang telah dikoleksi. Dengan kata
lain, sperma adalah sensitif baik itu panas maupun dingin (Rougen dan Bowen, 2002).
Metode pewarnaan dengan Eosin negrosin sitrat 2% ini efektif, sederhana, dan
menyediakan sperma langsung tervisualisasi (Rougen dan Bowen, 2002). Sperma yang
hidup akan tidak atau sedikit menyerap zat eosin sehingga sperma tidak terwarnai.
Sedangkan sperma yang mati akan kehilangan permeabilitas dan integritas membrane
sehingga eosin dapat masuk ke dalam sel dan terwarnai merah.
Pemeriksaan makroskopis sperma digunakan untuk mendiagnosa adanya
kelainan dan mengobati kondisi tersebut (Rougen dan Bowen, 2002). Berdasarkan hasil
pemeriksaan secara makroskopis, didapatkan volume semen 0,07 ml dengan warna
putih susu, konsistensi kental, dan bau yang khas. Hasil tersebut menunjukkan tidak
adanya abnormalitas.
Hafez (2000) menyebutkan bahwa ayam memiliki rata-rata produksi sperma
adalah sebesar 0,25 ml per ejakulat. Perbedaan volume tersebut dapat disebabkan
karena adanya perbedaan jenis, spesies, dan metode penampungan (Johari et al., 2009).
Berdasarkan studi Bebas dan Laksmi (2013) yang menggunakan ayam hutan hijau,
frekuensi ejakulasi berpengaruh sangat nyata terhadap volume semen. Sampel yang
digunakan dalam laporan ini merupakan ayam kampung yang dilepas liar, yang tidak
diketahui frekuensi kopulasinya, sehingga memungkinkan frekuensi ejakulasi sebagai
salah satu faktor sedikitnya volume semen yang didapat. Bebas dan Laksmi (2013)
menyebutkan bahwa frekuensi ejakulasi yang tinggi menyebabkan penurunan volume
semen, konsentrasi spermatozoa, dan motilitas spermatozoa, dimana tempat
penampungan semen pada distal vas deferen akan berkurang ataupun kosong.
Hasil gerakan masa yang tinggi dan gerakan individu yang progresif
menunjukkan bahwa spermatozoa yang dihasilkan adalah normal. Motilitas sperma
adalah kritis dalam proses fertilisasi untuk sampai dengan dan menembus dinding
pelusida pada ovum (Rougen dan Bowen, 2002). Motilitas sperma dapat dibedakan atas
pergerakan yang progresif (maju dan cepat) atau non-progresif (pergerakan yang acak
atau oscillations) (Kharayat et al., 2016). Sperma motil yang progresif akan bergerak ke
depan dengan garis lurus, sedangkan yang non-progresif memiliki kecenderungan motil
dengan arah yang abnormal, seperti memutar (Rougen dan Bowen, 2002).
Sperma ayam normal memiliki morfologi filiformis. Bentukan filiformis tersebut
merpakan sebuah produk dari proses rumit yang melibatkan interaksi seluler
termodulasi oleh hormone endokrin, autokrin, dan parakrin, sitokin, dan faktor
32
pertumbuhan (Santiago-Moreno et al., 2016). Sperma memiliki kepala yang terdiri atas
nukleous dan bagian atasnya tertutup oleh akrosom yang berbentuk kerucut dan sedikit
melengkung, dan ekornya terdiri dari leher, bagian tengah, utama, dan ujung (Johari et
al., 2009).
Inseminasi buatan (IB) sering digunakan pada unggas. Inseminasi buatan adalah
transfer semen secara manual pada vagina unggas betina (Kharayat et al., 2016).
Metode IB merupakan salah satu teknologi reproduksi untuk meningkatkan efisiensi
reproduksi. Selain hal tersebut, upaya pelestarian jenis atau bibit unggul juga dilakukan
dengan metode IB. Inseminasi buatan pada ayam dapat dilakukan secara maksimal
untuk fertilitas pada saat sebelum oviposisi awal (Kharayat et al., 2013). Kharayat et al.
(2013) juga menambahkan bahwa proses inseminasi dilakukan dalam waktu satu jam
setelah koleksi semen dilakukan.
3.1.3 Koleksi Oosit Sapi, Babi dan Mencit
a. Hasil
Tabel 6. Hasil Koleksi Oosit
No Gambar Metode Keterangan
33
2 Slashing Morfologi :
Expanded
b Maturasi :
Germinal Vesikel
Break Down
a
(GVBD)
c
Pembesaran : 100x
a. Ooplasma
b. Zona pelucida
c. Cumulus cells
3 Aspirasi Morfologi :
Complete
d Maturasi :
Germinal Vesicle
(GV)
a Pembesaran : 100x
a. Nukleus
b b. Zona pelusida
c. Sel cumulus
c
d. Sel cumulus
expanded
4 Aspirasi Morfologi :
Complete
c b Maturasi :
Germinal Vesikel
Break Down
(GVBD)
Pembesaran : 100x
a. Ooplasma
b. Zona
a pelusida
c. Sel cumulus
expanded
34
b. Hasil koleksi oosit babi
No Gambar Metode Keterangan
2 Aspirasi Morfologi :
Expanded
Maturasi :
Germinal Vesikel
Break Down
(GVBD)
a Pembesaran : 100x
b
a. Ooplasma
b. Zona
c pelucida
c. Cumulus
cell
35
3 Aspirasi Morfologi :
Expanded
Maturasi :
b
Germinal Vesikel
Break Down
a (GVBD)
c
Pembesaran : 100x
a. Ooplasma
b. Zona
pelucida
c. Cumulus
cell
36
5 Slashing Morfologi : Partial
b
Maturasi :
Germinal Vesikel
c
Break Down
(GVBD)
Pembesaran : 100x
a a. Ooplasma
b. Zona
pelucida
c. Cumulus sel
37
7 Slashing Morfologi : partial
Morfologi :
Germinal Vesikel
b
Break Down
a
(GVBD)
Pembesaran : 100x
a. Ooplasma
b. Zona
pelucida
c c. Sel cumulus
A. Bifocarsio
c B. Cornua
Uteri
C. ovarium
38
2 Slicing Morfologi:
Parsial
a Fase : Germinal
Vesikel (GV)
b Pembesaran :
100x
c
A. Nucleus
B. Zona
pelucida
C. Ooplasma
Fase : Germinal
Vesikel Break
Down (GVBD)
b
Pembesaran :
a 100x
a. Ooplasma
c
b. Zona
pelucida
c. Sel kumulus
39
4 Slicing Morfologi : Nude
Fase : Germinal
Vesikel Break
b Down (GVBD)
Pembesaran :
100x
a. Ooplasma
a b. Zona
pelucida
b. Pembahasan
Sel telur atau ovum atau oosit adalah suatu sel khusus yang sanggup dibuahi
sampai perkembangan embryonal. Pembentukan oosit (oogenesis), pembentukan folikel
(folikulogenesis), dan pelepasan sel telur (ovulasi) terjadi di dalam ovarium (Toliehere,
1979). Oosit yang dilepaskan dari folikel pada saat ovulasi akan dikelilingi oleh sel-sel
cumulus. Menurut Hafez, (1987) terdapat jeda waktu satu hingga satu setengah jam
seblum sperma menembus sel cumulus, hal ini ditafsirkan sebagai alasan bahwa
hilangnya sel-sel cumulus pada oosit memang diperlukan untuk memfasilitasi penetrasi
sperma. Koleksi oosit dapat dilakukan untuk berbagai tujuan seperti melihat morfologi
dan ukuran oosit yang dapat dilakukan untuk menentukan kualitas oosit (Salisbury, et al.,
1961)
Ovarium yang digunakan untuk koleksi oosit adalah ovarium sapi dan ovarium
babi yang diambil dari RPH Pesanggaran, Denpasar. Ovarium mencit yang digunakan
adalah yang diperoleh dari hasil laparotomi yang sudah dieutanasi dengan metode
diskolasi tulang cervicalis. Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang memiliki
dua fungsi yaitu sebagai organ eksokrin dengan menghasilkan sel telur dan sebagai organ
endokrin dengan menghasilkan hormon reproduksi seperti estrogen yang dihasilkan oleh
folikel de Graaf dan progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Bentuk ovarium
adalah oval dengan ukuran yang berbeda-beda pada setiap spesiesnya. Ovarium sapi
berbentuk oval dan bervariasi dalam ukuran, yang akan menunjukkan jumlah serta
40
morfologi oosit yang berbeda, sedangkan ovarium babi berbentuk seperti untaian buah
anggur, dan pada mencit berbentuk bulat (Toelihere, 1979).
Koleksi oosit dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Reproduksi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pada pengamatan ini, ada 3 metode yang
digunakan dalam koleksi oosit yaitu metode aspirasi dan metode slashing pada babi dan
sapi, sedangkan metode slicing digunakan pada mencit. Metode aspirasi dilakukan
dengan mengambil cairan folikel yang terdapat pada folikel-folikel ovarium
menggunakan spuit yang sebelumnya diisi dengan NaCl fisiologis, kemudian cairan
tersebut dibawa ke cawan petri kemudian diidentifikasi menggunakan mikroskop.
Kelebihan metode aspirasi adalah dapat mengurangi resiko kerusakan morfologi oosit,
namun kekurangan metode ini adalah pengambilan dalam satu kali injeksi hanya mampu
mengoleksi oosit sebanyak 30%-60% dari jumlah yang terdapat dalam ovarium.
Metode yang kedua adalah metode slashing atau menoreh, dimana dengan
metode ini dapat mengoleksi oosit dalam jumlah yang lebih banyak. Metode ini
dilakukan dengan menoreh folikel pada ovarium menggunakan silet dan bekas torehan
ditetesi dengan NaCl fisiologis diatas cawan petri untuk menampung cairan folikel,
kemudian diamati dan diidentifikasi menggunakan mikroskop. Adapun kekurangan dari
metode slashing yaitu memiliki resiko lebih besar mengakibatkan kerusakan morfologi
pada oosit dibandingkan dengan metode aspirasi.
Sementara metode slicing digunakan untuk koleksi oosit mencit dengan cara
ovarium dicacah halus menggunakan spuit 1 cc yang direndam menggunakan NaCl
fisiologis, kemudian diamati dan diidentifikasi menggunakan mikroskop. Metode ini
dipilih karena sulit untuk melakukan metode slashing pada ovarium mencit dimana
ukuran ovariumnya yang kecil. Metode ini digunakan untuk mendapatkan oosit dalam
jumlah yang lebih banyak. Metode ini memiliki keuntungan yang sama dengan metode
slashing namun memiliki resiko kerusakan morfologi oosit yang lebih besar jika
dibandingkan dengan metode slashing.
Kriteria oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari bagian ooplasma yang
homogen, sel kumulus yang kompak mengelilingi zona pelucida. Fungsi sel kumulus
adalah sebagai agen komunikasi antar sel dan penghubung mekanisme hormonal menuju
oosit, karena pada sel kumulus terdapat banyak sel reseptor FSH dan LH. Selain itu sel
kumulus juga berperan sebagai pemasok nutrisi untuk oosit. Fungsi sel-sel granulosa
pada lapisan kumulus oophorus oosit adalah memberikan suplai nutrisi kepada oosit
melalui penjuluran sel kumulus menembus zona pelusida oosit, dengan lebih banyak
41
lapisan kumulus oophorus maka lebih banyak pula sel-sel granulosa yang mengelilingi
oosit dan makin banyak pula oosit menerima suplai nutrisi yang tentu saja akan berakibat
pada pertumbuhan oosit menjadi lebih baik sehingga ketika dilakukan fertilisasi maka
oosit yang pertumbuhannya lebih baik (berasal dari oosit dengan kualitas baik) akan
lebih sempurna dibuahi oleh spermatozoa membentuk zigot dan selanjutnya embrio.
Menurut Lonergan et al. (1992) morfologi oosit dikategorikan atas 4 kelompok
yaitu sebagai berikut:
a. Complete, yang ditandai adanya sel-sel kumulus oosit yang terdiri dari 3- 5 lapisan
tebal dan terlihat kompak.
b. Expanded, adanya sel-sel kumulus oosit yang terdiri dari 3-5 lapisan tebal, dengan
salah satu bagian tidak utuh.
c. Partial, terdapat hanya 2-3 lapisan sel-sel kumulus.
d. Nude, tidak ada sel-sel cumulus yang mengelilingi oosit.
Selain secara morfologi, oosit juga dapat diamati berdasarkan tahap pendewasaan
(maturasi) yaitu perubahan oosit primer (2n) menjadi oosit sekunder (n) atau ovum.
Dalam proses ini terjadi pembelahan oosit primer menjadi oosit sekunder secara meiosis
(Kurniawati, 2006). Proses maturasi inti berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA,
ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten menjadi MII (Metafase II). Tahap
maturasi oosit dimulai dari tahap:
a. Germinal Vesicle (GV) ditandai dengan membran inti dan nukleus yang tampak
dengan jelas
b. Germinal Vesicle Break Down (GVBD) ditandai dengan pecahnya membran inti dan
nukleus tidak terlihat jelas
c. Metafase I (M1) ditandai dengan adanya sel-sel sentromer yang mengarah ke kutub,
d. Metafase II ditandai dengan terbentuknya polar bodi pertama.
Hasil yang diperoleh dari koleksi oosit sapi pada metode slashing ditemukan
oosit dengan morfologi Expanded dan maturasi (Germinal Vesicle Break Down) GVBD.
Hasil yang diperoleh dari koleksi oosit babi pada metode aspirasi ditemukan oosit
dengan morfologi Expanded dan Parsial, sedangkan pada metode slashing ditemukan
oosit dengan morfologi Nude dan Parsial. .
Mencit dieutanasi dengan metode dislokasi os. vertebrae cervikalis. Hasil koleksi
oosit pada mencit dengan metode Slicing dijumpai morfologi Nude dan Parsial dengan
maturasi stadium Germinal Vesicle (GV) dan Germinal Vesicle Break Down (GVBD).
Oosit matang lebih awal cenderung pada oosit yang memiliki diameter lebih besar
42
(Arlotto, et al., 1996). Hal ini sesuai dengan pernyataan Dominko dan First (1992),
pengaruh diameter oosit terhadap tingkat maturasi berhubungan dengan lama
pembentukan polar bodi pertama. Semakin cepat polar bodi pertama terbentuk (matang
lebih awal) akan meningkatkan keberhasilan dalam pembentukan blastosis.
Longer et al., (1991) menyatakan bahwa ukuran folikel mempengaruhi ukuran
diameter oosit. Oosit dengan kualitas baik akan diperoleh dari folikel berukuran besar.
Adanya variasi dari ukuran oosit dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
aktivitas dari ovarium. Pada keadaan tidak estrus sekresi hipotalamus menjadi tidak
optimal, sehingga menyebabkan terjadinya adanya variasi ukuran oosit.
3.1.4 Koleksi Embrio pada Mencit
a. Hasil
Hasil pengamatan vaginal plug, organ reproduksi, dan koleksi embrio
Vaginal plug
Keterangan :
1
1. Vaginal plug
(sumbat vagina)
Organ reproduksi
2
Keterangan :
1. Ovarium
1
2. Tuba fallopii
3 3. Cornua uteri
4. Corpus uteri
4
43
Tahap pembelahan 4 sel Tahap pembelahan 6 sel
3 3
2
2
1 1
Keterangan : Keterangan :
2
1
Keterangan :
1. Zona pelusida
2. 8 Blastomer
3. Ruang perivitelin
b. Pembahasan
Pengamatan embrio yang dilakukan pada tanggal 16 Februari 2019
menggunakan tiga ekor mencit betina dan dua ekor mencit jantan yang sudah dewasa
kelamin ditempatkan pada kandang yang sama untuk tujuan fertilisasi. Mencit (Mus
musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat berkembang biak,
mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat
anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit betina hanya akan
berkopulasi dengan mencit jantan selama fase estrus, yaitu ketika sel telurnya telah siap
untuk dibuahi. Kopulasi dapat terjadi pada waktu antara 5 jam sebelum ovulasi sampai
44
8 jam setelah ovulasi (Adnan, 2015). Fase estrus pada mencit berlangsung selama 12
jam. Terjadinya kopulasi pada mencit ditandai dengan adanya sumbat vagina (vagina
plug) pada liang vagina (antara pukas dan leher uterus) (Akbar 2010). Perkawinan
mencit terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2 jam sesudah kawin. Menurut
Kurniawati (2006), mencit betina yang telah kawin ditandai dengan terbentuknya
sumbat vagina (vaginal plug). Sumbat vagina terjadi karena adanya cairan seminal
(semen) yang mengental yang dapat bertahan selama 16 – 48 jam. Hari dimana vaginal
plug ditemukan diasumsikan sebagai hari pertama (Adnan, 2015).
Koleksi embrio dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Reproduksi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, mencit di-eutanasia dengan cara dislokasi
cervicalis, kemudian dilakukan pembedahan untuk mendapatkan saluran
reproduksinya. Koleksi embrio dilakukan dengan metode slicing. Saluran reproduksi
yang didapat selanjutnya dipisahkan dengan lemak yang menempel dan dilakukan
pengamatan terhadap jumlah corpus luteum pada masing-masing ovarium di bawah
mikroskop stereo dengan pembesaran 4x, 10x, dan 20x.
Fertilisasi merupakan proses penyatuan atau peleburan inti sel telur (ovum) dari
gamet betina dengan inti sel spermatozoa dari gamet jantan untuk membentuk sel
tunggal (zigot) (Puja et al., 2010). Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya
dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan proses reproduksi
seksual. Penetrasi spermatozoa ke dalam membran vitelin mengaktivasi sel telur untuk
melengkapi proses meiosisnya dan mengeluarkan badan polar kedua. Kromosom yang
terkandung dalam pronukleus jantan haploid bersatu dengan kromosom dalam
pronukleus betina. Proses penyatuan kedua kromosom tersebut disebut dengan singami.
Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah kromosom kembali menjadi diploid, jenis
kelamin suatu individu ditentukan, dan variasi biologis dihasilkan dari integrasi
karakteristik herediter paternal dan maternal (Mc Geady et al., 2006).
Ovum yang telah dibuahi mengalami pembelahan pertama membentuk embrio
dua sel. Embrio dua sel segera membelah lagi menjadi embrio empat sel. Pembelahan
terus berlanjut hingga embrio menjadi 8 sel, 16 sel, 32 sel. Pada tingkatan embrio 16
sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pelusida. Isi sel
di dalam zona pelusida berbentuk seperti bola yang padat (Toelihere, 1985). Menurut
Hafez (1970) dan Theiler (1989) menyebutkan bahwa 24 hingga 38 jam setelah ovulasi
sel tunggal akan membagi diri hingga berada pada tahap 2 sel, 4 sel pada 48 jam, 8 sel
pada 52 jam setelah ovulasi, dan akan menjadi morula pada 68 hingga 80 jam setelah
45
ovulasi. Sedangkan blastosis pada 96 jam dan blastosis hatched hingga implantasi pada
120 jam setelah ovulasi.
Proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya
pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbentuk zigot. Zigot merupakan bentuk
paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang
terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan
istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satu sel menjadi dua sel, masing masing
anak hasil pembelahan disebut blastomer (Fahrudin et al., 2008). Sel telur yang telah
diovulasi akan mengalami beberapa tahapan setelah diaktivasi maupun difertilisasi oleh
sel sperma. Sel telur akan berkembang menjadi zigot kemudian melakukan pembelahan
awal menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, hingga mengalami kompaksi dan disebut dengan
morula. Kemudian morula berkembang menjadi blastosis yang memiliki struktur terdiri
atas blastosul, Inner Cell Mass (ICM), trofoblast, dan zona pelusida. Selanjutnya
balstosis akan keluar dari zona pelusida (hatching) untuk kemudian berimplantasi pada
dinding uterus (Hogan, 1994).
Pada mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari
strainnya, namun secara umum akan menghabiskan waktu 3.5 hari untuk
perkembangan dari mulai tahap pembelahan sel (cleavage) sampai dengan tahap
blastosis (Kispert & Gossler 2004). Fase blastosis dimulai dengan adanya cairan
menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan terbentuk suatu rongga bagian dalam
yang disebut blastocoele. Rongga tersebut semakin lama semakin besar dan berisi
cairan. Pada tahap blastosis telah terjadi diferensasi sel dimana akan terbentuk
kumpulan sel trofoblas, inner cell mass (ICM) dan rongga blastosul yang berisi cairan
(Widjiati, 1997).
46
3.1.5 Demonstrasi Kedudukan Fetus (Distokia)
a. Hasil
Tabel 7. Demonstrasi Kedudukan Fetus
No. Gambar Kedudukan Fetus Keterangan
1. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Normal
2. Presentase
Longitudinal Posterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Normal
3. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Terjadi penekukan
pada leher ke arah dada.
Penanganan
Lakukan Ligasi kedua kaki
depan. Kemudian dilakukan
Repulsi. Ekstensi kepala dan
leher dengan memegang
moncong fetus ke arah cavum
pelvis agar sejajar.Tarik paksa.
47
4. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Penekukan pada
sendi bahu sebelah kiri
(unilateral shoulder flexion
sinister).
Penanganan
Lakukan fiksasi pada kaki
depan sebelah kanan dan
kepala fetus bagian mandibula
lalu repulsi. Ekstensi sendi
bahu kiri menjadi unilateral
carpal flexion. Repulsi lagi.
Ekstensi sendi siku dengan cara
memegang teracak fetus untuk
pelurusan bagian ekstremitas.
Tarik paksa
5. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Pubis
Posture
kepala, leher, kaki depan, dan
kaki belakang dalam keadaan
lurus (normal)
Penanganan
ligasi kepala dan kedua kaki
depan kemudian repulsi lalu
lakukan rotasi 90° tergantung
pada umbilikalis sehingga
posisinya menjadi dorso sakral
dan postur kepala bertumpu
pada kedua kaki depan lalu
tarik paksa.
48
6. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Pubis
Posture
Abnormal. Punggung fetus
menghadap ke pubis induk
(dorso pubis) dan postur
abnormal karena terjadi
penekukan sendi siku kedua
kaki depan (Bilateral carpal
flexion).
Penanganan
Fiksasi kepala pada bagian
ramus mandibular. Ligasi
kedua kaki depan. Lakukan
repulsi pada fetus, lalu rotasi
180o berlawanan arah jarum
jam, tergantung pada letak
umbilikalis, sehingga posisinya
menjadi dorso sacral.
Kemudian ekstensi kedua kaki
depan dengan memegang
teracaknya hingga menjadi
normal. Fiksasi kedua kaki
depan, lalu tarik paksa.
7. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Ilial Sinister
Posture
Abnormal. Keadaan punggung
fetus menghadap ke ilial kiri
induk dan terjadi penekukan
pada sendi siku kaki depan
kanan fetus (Unilateral carpal
flexion dexter).
Penanganan
Lakukan ligasi kaki depan
sebelah kiri dan fiksasi ramus
mandibula. Fiksasi sendi siku
kaki depan sebelah kanan.
Kemudian dilakukan Repulsi.
Rotasi 90° searah jarum jam.
Ekstensi sendi siku kanan
dengan memegang teracaknya.
49
Tarik paksa.
8. Presentase
Transversal Dorsal
Posisi
Chepalo ilial dexter
Postur
Terjadi kelainan pada
presentasi dan posisi fetus.
Punggung fetus mengarah ke
tulang pelvis induk, dan posisi
kepala fetus mengarah ke ilial
kanan.
Penanganan
Lakukan repulsi dibagian
pantat sambil melakukan versi
untuk memperbaiki presentasi
fetus menjadi longitudinal
anterior dengan posisi dorso
ilial dan postur fetus menjadi
kedua sendi bahu (bilateral
elbow flexion). Fiksasi kepala
bagian mandibula lalu rotasi
900 searah jarum jam.
Kaki Kanan
Repulsi lalu Ekstensi sendi
bahu kaki depan kanan menjadi
unilateral carpal flexion.
Repulsi lagi. Ekstensi sendi
siku kaki depan kanan dengan
cara memegang teracak fetus
untuk pelurusan bagian
ekstremitas. Fiksasi kaki depan
sebelah kanan.
Kaki Kiri
Repulsi lalu Ekstensi sendi
bahu kaki depan kiri menjadi
unilateral carpal flexion.
Repulsi lagi. Ekstensi sendi
siku kaki depan kiri dengan
cara memegang teracak fetus
untuk pelurusan bagian
ekstremitas. Fiksasi kedua kaki
50
depan. Tarik paksa.
9. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Terjadi penekukan
pada sendi karpal (bilateral
carpal flexion)
Penanganan
Ligasi kepala, repulsi, dan
ekstensi kaki depan kanan
sambil melindungi teracak
hingga postur kaki depan
kanan menjadi lurus dan ligasi.
Repulsi kembali, lakukan
ekstensi pada kaki kiri sambil
melindungi teracak, setelah
kaki kiri lurus, ligasi kedua
kaki depan yang sudah lurus
tersebut kemudian tarik paksa.
10. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Terjadi penekukan pada leher
mengarah ke samping kanan
Penanganan
Lakukan fiksasi pada kedua
kaki depan lalu repulsi.
Ekstensi kepala dan leher ke
dalam cavum pelvis. Tarik
paksa
51
11. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Penekukan pada
sendi bahu sebelah kiri
(unilateral elbow-carpal
flexion sinister).
Penanganan
Ligasi pada kaki depan kanan
dan mandibula lalu repulsi,
lakukan ekstensi sendi bahu
sehingga posture menjadi
unilateral carpal flexion
sinistra. Kemudian repulsi, lalu
ekstensi karpal sambil
melindungi teracak hingga
lurus ke ruang pelvis,
kemudian ligasi kaki depan kiri
setelah itu tarik paksa.
12. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Terjadi penekukan
pada leher kea rah Os. Sacrum.
Penanganan
Lakukan fiksasi pada kedua
kaki depan lalu repulsi.
Ekstensi kepala ke cavum
pelvis dengan cara memegang
moncong fetus. Tarik paksa.
52
13. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Terjadi penekukan
pada kedua sendi bahu
(bilateral shoulder flexion)
Penanganan
Lakukan fiksasi pada kepala
fetus bagian mandibula.
Kaki Kanan
Repulsi lalu Ekstensi sendi
bahu kaki depan kanan menjadi
unilateral carpal flexion.
Repulsi lagi. Ekstensi sendi
siku kaki depan kanan dengan
cara memegang teracak fetus
untuk pelurusan bagian
ekstremitas. Fiksasi kaki depan
sebelah kanan.
Kaki Kiri
Repulsi lalu Ekstensi sendi
bahu kaki depan kiri menjadi
unilateral carpal flexion.
Repulsi lagi. Ekstensi sendi
siku kaki depan kiri dengan
cara memegang teracak fetus
untuk pelurusan bagian
ekstremitas. Fiksasi kedua kaki
depan. Tarik paksa.
14. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Sacral
Posture
Abnormal. Terjadi penekukan
sendi panggul hingga kedua
kaki belakang fetus menempel
pada bagian pubis induk.
Penanganan
Lakukan fiksasi pada kedua
kaki depan dan kepala bagian
mandibula lalu repulsi. Tarik
paksa
53
15. Presentase
Longitudinal Anterior
Posisi
Dorso Ilial Sinister
Posture
Posisi dan postur abnormal.
Posisi punggung fetus
menghadap ke ilial kiri induk
dan pada postur terjadi
penekukan pada kedua sendi
siku kaki depan fetus (Bilateral
carpal flexion dexter).
Penanganan
Lakukan ligasi pada
mandibula, repulsi fetus lalu
rotasi 90° searah jarum jam,
sehingga posisi fetus menjadi
dorso sacral. Kemudian
ekstensi kedua kaki depan
secara bergantian, lalu tarik
paksa secara hati-hati.
16. Presentase
Transversal Ventral
Posisi
Chepalo ilial sinister
Posture
Perut fetus menghadap ke
tulang pelvis induk. Posisi
kepala fetus menghadap ke
iliaca kiri induk
Penanganan
Repulsi tubuh fetus dan
lakukan versi untuk merubah
presentasi fetus menjadi
longitudinal anterior. Ligasi
kedua kaki depan, lalu repulsi
tubuh bagian posterior fetus.
Selanjutnya rotasi 90o searah
jarum jam. Ekstensi dan ligasi
kepala bagian ramus
mandibula fetus. Lalu tarik
paksa.
54
b. Pembahasan
Distokia adalah suatu keadaan dimana hewan mengalami kesulitan
melahirkan/partus sehingga memerlukan pertolongan tenaga ahli. Hal merupakan gejala
dari kondisi induk atau kondisi fetus yang membuat jalannya fetus melalui saluran
peranakan menjadi terhambat. Distokia merupakan salah satu kondisi kebidanan yang
harus ditangani oleh dokter hewan. Kejadian distokia pada sapi diperkirakan sebesar
3,3% kejadian ini lebih banyak pada ternak sapi perah dibandingkan pada sapi potong
(Manan, 2002). Dua gejala distokia adalah perpanjangan periode kelahiran (diatas 8
jam) dan fetus terbukti tidak berada pada orientasi yang tepat untuk kelahiran normal
(Meredith, 2000).
Kasus distokia umumnya terjadi pada induk yang baru pertama kali beranak,
induk yang masa kebuntingannya jauh melebihi waktu normal, induk yang terlalu cepat
dikawinkan, hewan yang kurang bergerak, kelahiran kembar dan penyakit pada rahim.
Distokia dapat disebabkan oleh faktor induk dan faktor anak (fetus). Aspek induk yang
dapat mengakibatkan distokia diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat
gangguan pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen
(rongga perut) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya
jalan kelahiran, dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetus yang dapat
mengakibatkan distokia diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran fetus
yang terlalu besar, kelainan posisi fetus dalam rahim serta kematian fetus dalam rahim.
Ukuran fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu keturunan, faktor
pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil, lama kebuntingan, jenis kelamin
fetus yaitu fetus jantan cenderung lebih besar, kebuntingan kembar (Manan, 2002).
Faktor nutrisi induk juga berperan, yakni hewan yang diberi makan yang tidak
bagus dan berada dalam kondisi yang buruk maka dapat mengalami kasus distokia yang
tinggi, dan mengurangi daya hidup pedet. Pemberian pakan yang terlalu banyak juga
dapat menyebabkan meningkatnya berat fetus, timbunan lemak intrapelvis, dan
beresiko besar mengalami distokia. Namun pengurangan diet secara drastis pada
beberapa minggu terakhir kebuntingan juga harus dihindari karena fetus akan terus
tumbuh, sedangkan tubuh induk akan menjadi korban karena nutrisinya terserap ke
fetus sehingga menurunkan efektifitas perejanan (Jackson, 2007).
55
Kasus distokia harus segera ditangani sebagai suatu keadaan darurat. Namun
demikian untuk mencapai hasil yang memuaskan, sangat penting bahwa hewan betina
bersangkutan diperiksa secara rutin dan cepat untuk menetapkan diagnosa yang tepat
supaya dapat diambil tindakan penanganan yang tepat pula. Diagnosa distokia harus
mengetahui riwayat induk dan memperhatikan kondisi induk dan fetus. Untuk
menunjang diagnosa maka perlu dilakukan pemeriksaan melalui vagina untuk
memastikan posisi fetus, ukuran dan derajat ruang panggul, derajat pembukaan serviks
(leher rahim). Kelainan posisi fetus harus diperiksa dengan hati-hati serta perlu
dilakukan tes refleks pada fetus untuk mengetahui hidup atau tidak. Pada kejadian
distokia, sapi merejan beberapa lama tetapi proses kelahiran tidak ada kemajuan
(Meredith, 2000).
Dalam penanggulangan distokia banyak cara yang dapat dipilih dan dipakai oleh
dokter hewan. Tujuan dasar penanggulangan distokia adalah melahirkan anak yang
hidup dan mencegah perlukaan pada induk. Prosedur yang dipilih harus sebaik mungkin
mencapai tujuan tersebut. Menurut Toelihere (1979) penanggulangan distokia dapat
dibagi atas empat cara, yaitu :
a. Repulsi atau retropulsi, yaitu mendorong fetus keluar dari rongga pelvis induk
atau saluran kelahiran memasuki rongga abdomen dan uterus dimana ruang
cukup tersedia untuk pembetulan posisi atau postur fetus dan ekstremitas.
b. Rotasi adalah pemutaran fetus pada sumbu panjangnya untuk membawa fetus
pada posisi dorso-sacral.
c. Versi, yaitu suatu tindakan memutar fetus pada sumbu transversalnya untuk
memperbaiki presentasi menjadi presentasi anterior maupun posterior.
d. Ekstensi, yaitu tindakan meluruskan persendian yang menekuk.
2. Penarikan paksa ialah pengeluaran fetus dari induk melalui saluran kelahiran
dengan menggunakan kekuatan atau tarikan dari luar. Penarikan secara paksa
dilakukan apabila terdapat kelemahan otot uterus/atonia uterus, fetus mati, fetus
56
agak besar dan fetus tidak menstimuler perejanan. Tindakan ini dilakukan
apabila sudah diadakan anestesi epidural dan sesudah mutasi mengatasi sebab-
sebab distokia.
Beberapa tindakan atau cara yang dapat dilakukan sebagai usaha pencegahan
distokia yaitu berikan pakan yang cukup pada sapi dara yang akan melahirkan selama
24 bulan sehingga sapi-sapi berada dalam kondisi tubuh yang baik untuk melahirkan,
tetapi tidak over conditioned, area kelahiran harus bersih, kering dan mempunyai
ventilasi baik, obsevasi kelahiran secara seksama, berikan waktu yang cukup pada sapi
untuk menyiapkan kelahiran sendiri, lakukan prosedur sanitasi yang ketat ketika
pemeriksaan dilakukan, mengetahui batas waktu untuk memanggil bantuan dokter
hewan ketika kesulitan terjadi dan sebelum sapi menjadi lemah, berikan perawatan neo-
natal yang baik, dan seleksi induk untuk sapi dara dengan kelahiran yang normal.
57
3.2 Kegiatan Lapangan
3.2.1 UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah - Bali
a. Hasil
Tabel 8. Kegiatan Harian UPT. BIBD Baturiti
Hari/Tanggal Waktu Kegiatan Petugas
(WITA)
Senin, 08.00 - Penerimaan, 1. I Ketut Arya
18 Februari selesai pengenalan, dan Utama
2019 pengarahan oleh Bapak 2. I Made
I Made Sukariana Sukariana
tentang tata cara serta 3. Ngakan Oka
kegiatan di UPT. BIBD Susantha
Baturiti. 4. I Made
Pengarahan dan Sadwika
Pengenalan alat, bahan
serta tata cara
prosesing semen beku
sapi.
Pengarahan dan
Pengenalan alat, bahan
serta tata cara
prosesing semen Babi.
Penampungan dan
prosesing semen Babi.
58
Kamis, 21 3. I Putu Gede
Februari 2019 Bawa
4. Drh. I Made
Fajar
Jumat, 22 11.00 - Evaluasi kegiatan 1. Indra
Februari 2019 selesai selama di BIBD 2. I Made
Baturiti-Tabanan. sukariana
Penutupan kegiatan dan 3. Drh Ni Putu
pemberian kenang- Mahaning
kenangan.
Pengujian
1 Blander 4 70 975 20 24
3 Bulbakanta 10,0 - - - -
4 Mertasari - - - - -
7 Budaparta 4 70 981 20 24
8. Busanta - - - - -
9. Tamara 6 70 811 24 30
11. Busada - - - - -
b. Pembahasan
Kegiatan Harian di UPTD Peternakan Propinsi Bali Inseminasi Buatan pada Sapi
dan Babi, kelompok 12D yang berjumlah 7 orang dibagi menjadi 2 kelompok, 1
59
kelompok melakukan prosesing semen beku sapi dan 1 kelompok lain melakukan
prosesing semen cair babi setelah itu akan bergantian. Tujuan pembagian kelompok ini
untuk mempermudah pemahaman dan pelaksanaan pada saat proses semen beku
maupun semen cair. Pelaksanaan prosesing semen sapi di UPT BIBD Baturiti biasanya
dilakukan seminggu 2 kali dilakukan pada hari senin dan kamis, sedakangkan
prosesing semen cair babi dilakukan setiap hari pada babi yang berbeda.
Pada hari pertama penerimaan dan pengarahan oleh bapak I Made Sukariana
tentang tata cara serta kegiatan yang dilakukan di UPT BIBD Provinsi Bali,
pengarahan, pengenalan alat dan bahan serta tata cara prosesing semen beku sapi.,
yaitu setiap hari senin dan kamis. Pada kelompok sapi melakukan prosesing sapi Bali
dimulai dari penampungan semen terlebih dahulu dengan mempersiapkan pejantan dan
vagina buatan. Semen segar dibawa langsung ke lab dan dilakukan pemeriksaan
maskroskopis untuk melihat volume, konsistensi, warna dan pH. Jika sudah memenuhi
standar dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk melihat motilitas dan gerakan
massa. Jika motilitas sudah 70% dan konsentasi diatas 800 dapat dilanjutkan ketahap
berikutnya. Selanjutnya dilakukan proses pengenceran dengan andromed dan
menggunakan campuran aquabides dengan perbandingan 1:4. Straw semen beku sapi
Bali diberi label menggunakan printing otomatis/ printing straw. Selanjutnya Filling
and sealing atau pengisian semen yang telah diencerkan ke dalam straw 0,25. Straw
yang berada dalam rak penghitung dimasukkan kedalam cold handling cabinet dengan
suhu 3-6º C selama 3-4 jam, kemudian dilakukan freezing/pembekuan dan ke esokan
harinya dilakukan thawing kemudian di lihat di bawah mikroskop untuk mengetahui
semen beku tersebut memenuhi syarat IB atau tidak, yang dinilai adalah presentase
hidup dan gerakan individu spermatozoa. Semen beku yang memenuhi syarat
selanjutnya dapat didistribusikan kepada inseminator yang ada di masyarakat.
Pada hari kedua pada kelompok sapi, kegiatan yang dilakukan pagi hari yaitu
pembersihan kandang, memandikan, memberi pakan dan kemudian sapi melakukan
exercise dengan alat yang sudah diikatkan tali selanjutnya demo inseminasi buatan dan
cara memasang gun yang merupakan alat yang digunakan untuk memasukkan semen
kedalam saluran reproduksi betina serta penjelasan mengenai keuntungan inseminasi
buatan yaitu induk kecil dapat dikawinkan dengan pejantan besar, penjantan unggul
dapat mengawinkan banyak betina, pelaksanaan perkawinan dapat lebih mudah,
murah, aman, dan pelayanan kawin dapat menjangkau tempat yang sulit. Pada siang
60
hari dilakukan thawing semen sapi beku yang sudah dikemas dalam straw pada tempat
khusus yaitu water bath yang berisi air dengan suhu 35oC, kemudian dilihat di bawah
mikroskop untuk melihat viabilitas sperma. Standar jika sperma mencapai 70% yang
hidup dan menunjukkan pergerakan progresif yang baik maka uji kelayakan untuk
dipasarkan dapat dilanjutkan dan dimasukan kedalam straw. Kelompok babi kegiatan
yang dilakukan dikandang babi, kegiatan meliputi pembersihan kandang, memandikan
dan memberikan pakan babi pada pagi harinya, dilanjutkan dengan penampungan
semen segar babi. Babi yang akan dikoleksi semennya dimasukan dalam ruangan
khusus yang berisi dummy show (induk buatan). Sebelum pengambilan semen perlu
dilakukan pencukuran rambut prepusium agar tidak menkontaminasi semen yang akan
dikoleksi. Babi pejantan yang sudah terlatih dan terbiasa akan langsung menaiki induk
buatan dan mulai lakukan perangsangan sampai penisnya keluar. Penampungan semen
yang terbaik adalah menunggu sampai babi pejantan menunjukan ejakulasi yang
memuncak kemudian arahkan penis babi menggunakan bantuan tangan untuk menuju
ke tempat gelas penampungan.
volume 80 cc. Semen cair ini dapat bertahan selama 3 hari pada suhu 37oC tanpa
terpapar oleh matahari langsung.
Pada hari ketiga dan hari keempat, pertukaran kelompok dari kelompok sapi
menjadi kelompok babi. Pada kelompok babi dibagi menjadi 2 kelompok lagi
dikandang dan dilab, pada kandang dilakukan pemberian pakan, pembersihan kandang,
dan melakukan penampungan semen, pada lab dilakukan pengenalan alat, bahan, dan
prosesing semen cair babi dimulai dari persiapan pengencer yang digunakan yaitu BTS
dilarutkan dalam aquabides dan dilekatan diwaterbath pada suhu 37°C – 39°C,
persiapan alat tampung yang terdiri dari tabung elemayer,corong, kain kasa, dan karet,
persiapan pejantan, penampungan semen. Pemeriksaan semen secara makroskopis
61
yaitu bau, warna, volume tampung dan pemeriksaan mikroskopis yaitu motilitas,
gerakan massa, konsentrasi dan hidup/mati. Jika hasilnya baik maka akan diproses ke
tahap berikutnya. Pengolahan semen, semen diencerkan dengan pengencer dan
dimasukan kedalam botol packing, lebeling, dan penyimpan semen dengan suhu
penyimpanan ± 10°C s/d 20°C dan dimasukan kedalam kulkas.
Pada hari kelima, jam 11.00 wita di adakan ujian evaluasi terhadap kegiatan yang
telah dilakukan selama di UPTD BIBD Baturiti dengan sistem ujian tulis sebagai
bentuk dari evaluasi diri masing-masing mahasiswa Program Pendidikan Dokter
Hewan (PPDH) agar nantinya dalam penerapan di lapangan memilki dasar teori yang
kuat dan lebih memahami mengenai ternak sapi dan ternak babi.
Keterangan:
Konsentrasi Straw
25 x 106
25
: 1,141 = 45,6
25
62
Vol. Pengencer : Total Volume – Volume semen
: 45,6 – 5
: 40,6
Jumlah Straw : Total Vol.
Vol. Straw
: 45,6 = 182,4 = 182 straw
: 0,25
63
- Motilitas 60% = 1:1
1. LR. Bar JR
Volume semen = 220
Motilitas = 60%
Dosis = .
64
Melakukan palpasi rektal, pengukuran
14.00-16.00 tubuh sapi, suhu vulva, diameter
vulva, dan menentukan umur sapi.
Pengamatan estrus, pengamatan sapi
diare, pengukuran tubuh sapi, suhu
08.00-10.00 vulva, diameter vulva, menentukan
umur sapi, palpasi rektal, demonstrasi
USG
27 Februari 2019 10.00-14.00 Istirahat
Melakukan palpasi rektal, pengukuran
14.00-16.00 tubuh sapi, suhu vulva, diameter
vulva, menentukan umur sapi,
demonstrasi IB
Pengamatan estrus, pengamatan
sapi diare, pemberian obat intertim-
LA 4ml pada pedet yang mengalami
08.00-10.00 diare, penyemprotan gusanex pada
sapi yang luka, pengukuran tubuh
sapi, suhu vulva, diameter vulva, dan
28 Februari 2019 menentukan umur sapi, palpasi rektal
10.00-14.00 Istirahat
65
10.00-14.00 Istirahat
10.00-14.00 Istirahat
LIBUR _
06-09 Maret 2019
NYEPI
Pengamatan estrus, pengamatan sapi
diare, pengukuran tubuh sapi, suhu
08.00-10.00 vulva, diameter vulva, menentukan
umur sapi, palpasi rektal
11 Maret 2019 Istirahat
10.00-14.00
Palpasi rektal, pengukuran tubuh sapi,
14.00-16.00 suhu vulva, diameter vulva,
menentukan umur sapi.
66
Pengamatan estrus, pengamatan sapi
diare, pengukuran tubuh sapi, suhu
08.00-10.00 vulva, diameter vulva, menentukan
umur sapi, palpasi rektal
10.00-14.00 Isirahat
67
Nomor
No Hari/Tanggal Hasil Pengampuh
Eartag
C7 Diestrus
C14 Diestrus
C24 Diestrus
Selasa
1. D4 Proestrus I Wayan Kantun
26 Feb 2019
D35 Proestrus
G7 Metestru
C8 Metestrus
F19 Estrus
D5 Bunting ± 4 bulan
G13 Estrus
H21 Estrus
D21 Estrus
D32 Estrus
68
D13 Diestrus
G18 Estrus
Selasa
7. D9 Diestrus I Wayan Kantun
05 Maret 2019
D4 Estrus
Rabu 06
LIBUR
8. Maret-Sabtu - -
NYEPI
09 Maret 2019
G29 Metestrus
H20 Estrus
B18 Proestrus
Selasa
10. B17 Bunting ± 4 bulan I Wayan Kantun
12 Maret 2019
B16 Bunting ± 4 bulan
Jumat
13. UJIAN - -
15 Maret 2019
b. Pembahasan
69
Kegiatan di UPT Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali dilakukan selama 3 minggu yaitu tanggal
25 Februari sampai dengan 16 Maret 2019. Pada hari pertama dilakukan pengenalan
UPT Sobangan dan pengenalan kegiatan yang akan dilakukan selama 3 minggu.
Sebelum masuk kandang mahasiswa PPDH diberikan pengarahan serta diskusi bersama
drh Oka mengenai pengamatan siklus estrus serta kejadian silent estrus beserta anatomi
saluran reproduksi betina yang akan di palpasi nantinya. Setelah diberikan pengarahan,
selanjutnya mahasiswa PPDH melakukan survei terhadap ternak yang akan di palpasi
rektal.
Kegiatan yang dilakukan di UPT Sobangan diawali pukul 08.00-16.00 WITA, yang
dimulai dengan pengamatan tanda-tanda estrus pada sapi bali betina yang ditandai
adanya leleran bening pada vulva, vulva berwarna merah dan bengkak. Berdasarkan
hasil pengamatan di UPT tanda estrus pada sapi bali yang sering terlihat adalah
keluarnya leleran bening dari vulva. Lendir ini bersifat transparan/tembus pandang,
bening, dan dapat mengalir ke vagina serta vulva hingga secara nyata terlihat
menggantung di ujung vulva. Hormon reproduksi yang berhubungan dengan estrus
salah satunya adalah hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina
yang berfungsi untuk menimbulkan birahi (Toelihere, 1985). Menurut Tagama (1995),
kadar estrogen dalam tubuh akan berpengaruh terhadap panjang dalam estrus, kadar
estrogen yang tinggi akan menimbulkan masa estrus lebih lama tetapi tidak menjamin
ovulasi. Fungsi utama dari hormon estrogen adalah untuk manifestasi gejala estrus.
Seperti yang dikemukakan oleh Nessan dan King (1981) bahwa kerja dari hormon
estrogen adalah untuk meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang ditandai
dengan terjadinya perubahan pada vulva, dan keluarnya lendir transparan dari vulva
tersebut. Jelasnya gejala birahi akibat diberi hormon estrogen diperkuat oleh laporan
Henrick dan Torrence (1977) bahwa meningkatnya konsentrasi estrogen dalam darah,
estrus yang timbul akan semakin jelas. Oleh karena itu, estrus yang tidak jelas diduga
adalah salah satu sebab yang membuat pengamatan lama estrus lebih lama.
Selain adanya leleran tanda-tanda estrus yang dapat diamati adalah vulva yang
berwarna merah dan bengkak. Pada saat berahi aliran darah lebih tinggi mengalir
menuju saluran reproduksi, hal ini yang menyebabkan kondisi vulva pada saat berahi
menjadi bengkak, merah dan suhu menjadi meningkat. Rata-rata suhu vagina tertinggi
diperoleh pada waktu berahi (Feradis, 2010). Hasil penelitian Indira et al. (2014)
70
menunjukkan bahwa suhu vagina sapi Bali adalah 37,86±0,3 oC pada fase proestrus,
38,39±0,29 oC pada fase estrus, 38,05±0,15 oC pada fase metestrus dan 37,4±0,74 oC
pada fase diestrus. Hasil penelitian Irfan et al (2017) menunjukkan rata-rata suhu
vagina sapi komposit pada kondisi lendir encer ialah 38,7±1,0 oC, lendir kental
38,9±0,7 oC, dan lendir tidak keluar 38,6±0,5 oC. Nilai rata-rata suhu vagina tertinggi
diperoleh pada kondisi lendir kental yaitu 38,9±0,7 oC. Suhu vagina pada sapi estrus
yang berada di UPT Sobangan kisaran 37,6 oC – 38.5 oC. Vulva pada sapi estrus yang
berada di UPT Sobangan terkadang berwarna merah muda, hal ini disebabkan karena
gangguan dari hormon. Menurut Feradis (2010) bahwa tingginya estrogen saat berahi
menyebabkan jaringan pembuluh darah bertambah banyak sesuai dengan
perkembangan saluran reproduksi dan pada saat yang sama estrogen meningkatkan
aliran darah ke saluran reproduksi.
Kegiatan Palpasi rektal dilakukan pada pagi dan sore hari pada sapi bali yang telah
diamati dengan tanda-tanda estrus. Kegiatan dari palpasi rektal bertujuan untuk melatih
keterampilan mahasiswa PPDH di dampingi oleh Bapak I Wayan Kantun selaku
petugas lapangan di UPT Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan. Dalam
melakukan palpasi rektal, dibutuhkan dua orang yang bertugas sebagai pelaksana
palpasi dan sebagai pelaksana restrain. Sapi bali terlebih dahulu di restrain sehingga
dapat meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Restrain dilakukan
dengan memegang simpul (keluh) yang ada pada kepala sapi bali kemudian dilanjutkan
dengan palpasi rektal.
71
Adapun tahapan siklus estrus yang diperoleh yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Dimana pada fase proestrus ditandai dengan vulva berwarna merah disertai
munculnya pembuluh darah kapiler, lubang vulva sedikit terbuka, vulva terlihat sedikit
basah dan saat dipalpasi servix serta uterus dalam kondisi mediotonus. Pada fase estrus,
vulva berwarna merah terang, lubang vulva terbuka, vulva terlihat basah, dari vulva
keluar leleran bening (transparan), vulva terlihat bengkak, terasa hangat, saat palpasi
servix dan uterus dalam kondisi hipertonus. Fase metestrus, vulva berwarna putih
pucat, lubang vulva tertutup, vulva terlihat kering, dan saat palpasi servix serta uterus
dalam kondisi hipotonus. Fase diestrus ditandai dengan vulva berwarna merah muda,
lubang vulva agak sedikit terbuka, kelembapan vulva terlihat normal (tidak kering,
tidak basah), dan saat palpasi rektal servix dan uterus dalam kondisi hipotonus.
Dari sapi yang dipalpasi, ditemukan beberapa sapi yang bunting dengan perkiraan
kebuntingan sekitar ± 2 bulan, ± 3 bulan, ± 4 bulan, ± 5 bulan, ± 6 bulan, ± 7 bulan dan ±
8 bulan. Kebuntingan umur 2 bulan perubahan yang terjadi asimetris koruna uteri,
kantung amnion sebesar kantung telur ayam kampung, penggelinciran selaput fetus,
biasa di retrasi dalam ruang pelvis. Kebuntingan 3 bulan terjadi asimetris koruna uteri,
kantong amnion, sebesar telur angsa (diameter 15 cm), masih bisa di retrasikan dalam
ruang pelvis, servix mulai tertarik ke depan bawah, mulai teraba kotiledon.
Kebuntingan 4 bulan, uterus makin tertarik ke depan, bawah, servix teregang bentuk
memipih, kantong amnion sebesar bola sepak (diameter 30 cm), fetus mulai dapat
teraba (ballottement= bumping fetus ), fremitus mulai teraba arteri uteri media kanan
dan kiri. Kebuntingan 5 bulan , uterus makin masuk ke depan , ke bawah pada sapi
besar (>500 kg) tangan tidak sampai keseluruhan uterus hanya punggung uterus saja.
Servix tertarik, bentuk memipih, uterus makin masuk ke depan, kebawah pada sapi
besar (>500 kg) tangan tidak sampai keseluruhan uterus hanya punggung uterus saja.
Servix tertarik, bentuk memipih, uterus makin masuk ke depan, kebawah pada sapi
besar (>500 kg) tangan tidak sampai keseluruhan uterus hanya punggung uterus saja.
Servix tertarik, bentuk memipih, Plasentoma semakin jelas teraba Fremitus jelas teraba
arteri uteri media (kanan dan kiri). Kebunting 6 bulan, uterus membesar, punggung
uterus mudah di raba, servix tidak lagi tertarik, plasentoma semakin jelas teraba,
fremitus jelas teraba arteri uteri media (kanan-kiri), punggung fetus mudah teraba
kembali. Kebunting 7 bulan, uterus membesar, punggung uterus mudah di raba, garis
datar dengan servix, punggung fetus mudah teraba, plasetoma semakin jelas teraba,
72
fremitus jelas teraba arteri uteri media (kanan – kiri). Kebunting 8 bulan, fetus sudah
mendekati dan kaki serta moncong mengarah ke ruang pelvis, fremitus mulai teraba
arteri uteri media (kanan-kiri) plasentoma / kotiledon teraba jelas.
Selain belajar menggunakan USG, kami belajar cara melakukan inseminasi buatan
(IB) pada sapi dengan memasukkan sperma sapi pejantan yang telah diencerkan pada
alat reproduksi sapi betina dengan menggunakan bantuan alat khusus (insemination
gun) dengan catatan jika terdapat indukkan yang mengalami estrus. IB dikatakan
berhasil bila sapi induk yang dilakukan IB menjadi bunting (Hastuti, 2008). Tingkat
keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu pemilihan sapi akseptor, pengujian
kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh para peternak dan ketrampilan inseminator.
Dalam hal ini inseminator dan peternak merupakan ujung tombak pelaksanaan IB
sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap berhasil atau tidaknya
program IB di lapangan (Hastuti, 2008).
73
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
1.1 Simpulan
Berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan di Laboratorium Reproduksi
dan kegiatan dilapangan dapat disimpulkan :
1. Perlakuan dengan pemberian pakan konsentrat dan edamame
berpengaruh pada fase estrus menjadi diperpanjang, sedangkan
pemberian pakan kacang hijau menyebabkan perpanjangan fase
proestrus.
2. Koleksi dan pengamatan spermatozoa ayam dengan pergerakan massa
(+++).
3. Pada kegiatan koleksi oosit sapi, babi, dan mencit dengan metode
aspirasi, slashing,dan slicing diperoleh morfologi oosit nude, expanded,
complete, partial, dan maturasi inti GV (Germinal Vesicle) dan GVBD
(Germinal Vesicle Break Down).
4. Koleksi embrio menggunakan metode slicing diperoleh perkembangan
embrio tahap morula.
5. Kegiatan di UPT sentra pengembangan dan pembibitan sapi bali
Sobangan dilakukan kegiatan rutin pengamatan estrus pada sapi,
membantu sanitasi kandang, palpasi rektal untuk identifikasi
permasalahan reproduksi, diagnosis kebuntingan, dan pelaksanaan
inseminasi buatan.
6. Kegiatan di UPT. Balai Inseminasi Buatan Daerah Bali, meliputi
pembersihan kandang atau manajemen kandang, pelaksanaan
penampungan dan prosesing semen sapi dan babi.
1.2 Saran
Pelaksanaan kegiatan di UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah Bali
akan lebih baik jika dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan di UPT
Sentra Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali Sobangan. Waktu
pembelajaran di UPT Balai Inseminasi Buatan Daerah Bali terlalu singkat.
74
DAFTAR PUSTAKA
Akbar B. 2010. Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
Sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press Uin Jakarta.
Bahr, J.M. and M.R. Baskst. 1987. Poultry. In : E. S. E. Hafez (Ed). Reproduction
in Farm Animal. 6th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. Pp 375-379.
Baker D E J, Lindsey J R, Weisbroth S H. 1980. The laboratory rat. Vol.
II.Research applications. Academic Press Inc. London.
Gamer, D. L., dan Hafez, E. S. E. 1987. Spermatozoa dan Seminal Plasma. Dalam
E. S. E. Hafez (Ed.) Reproduction in Farm Animal 5th edition. Lea and
Febiger. Philadelphia. Pp : 189-205, 587-589.
Herdis, Rizal M, Boediono A, Arifiantini RI, Saili T, Aku AS, Yulnawati. 2005.
Optimasi Kualitas Semen Garut Melalui Penambahan Trehalosa ke Dalam
Pengencer Putih Telur. J Pengembangan Peternakan Tropis 30:229-236.
Isnaini, N dan Suyadi. 2000. “Kualitas Semen Ayam Kedu pada suhu Kamar
dalam Pengencer Larutan NaCL Fisiologis dan Ringer’s”. J. Ternak
Tropika, Vol. 1, No. 2 (2000) 55-56.Gordon. 2003. Laboratory of
production cattle embryo 2nd Edition. Cromwell Press: Trowbridge
Jackson, PGG. 2007. Handbook : Obstetri Veteriner. Edisi Kedua. Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.
74
Proceeding of the 8th Conference of the European Embryo Transfer
Association. 178.
Mc Geady TA, Quinn PJ, Fitz Patrick ES, Ryan MT. 2006. Veterinary
Embryology. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Nadjmudin, Rusdin, Sriyanto, Amrozi S, Agungpriyono, Yusuf TL. 2010.
Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus)
Berdasarkan Sitologi Vagina. Jurnal Veteriner. 11: 81-86.
Nalbandov, A. V. 1990. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. W. H.
Freeman and Company, San Fransisco.
Parera H. 2014. Pengaruh Ukuran Ovarium dan Diameter Oosit Terhadap
Kualitas Morfologi Oosit Sapi Bali-Timor yang Dikoleksi Secara In Vitro.
Jurnal Kajian Veteriner 2 (2): 143-150
Partodiharjdo S. 1992. Ilmu reproduksi hewan. Bogor. Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Primiani C. N. 2013. Potensi Tepung Tempe sebagai Estrogen Alami terhadap
Uterus Mencit Premenopause. Sains & Mat. Vol. 1:(2).
Puja IK, Suatha IK, Heryani LGSS, Susari NW, Setiasih NLE. 2010. Embriologi
Modern. Udayana University Press. Bali
Ranabir S, Reetu K. 2011. Stress and Hormones. Indian J Endocr Metab. 15:18-
22.
Suci EN. 2015. Histologi Hasil Ulas Vagina dan Waktu Siklus Estrus Mencit
(Mus musculus, L.) Setelah Pemberian Monosodium Glutamat (MSG).
Skripsi.Universitas Halu Oleo. Kendari.
75
Sumardani, N. L. G, Tuty LY, Pollung HS. 2009. Persentase Motilitas
Spermatozoa Babi Yorkshire dalam Pengencer BTS dan Zoelesco. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner 2009.
Toelihere MR. 2010. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi Dan Kerbau. Jakarta.
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta
Widyastuti R, Rasad SD. 2015. Tingkat Kematangan Inti Oosit Sapi Setelah
Penyimpanan 24 Jam Presevasi Ovarium. Agripet 15 (2): 72-78
76
LAMPIRAN
Tampilan Vulva
Pengukuran Suhu dan Diameter Vulva
Demonstrasi USG