Anda di halaman 1dari 12

(Disampaikan dalam Seminar "Problem Eurosentrisme dalam Kajian Melayu: Mancari Perspektif

Alternatif" di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tanggal " 24 Juni 2009 di Ruang Seminar Fisipol UGM,
Yogyakarta, Indonesia. Topik/Pembicara: 1. Erosentrisme dan Pengkajian Sejarah Kepulauan Melayu-
Indonesia: Ke Arah Suatu Pembentukan Semula" Prof. Dr. Syed Farid Alatas (National University of
Singapore/NUS). 2. " Historigrafi Melayu: Perspektif Melayu" Prof. Dr. Bambang Purwanto (Fakultas
Ilmu Budaya Jurusan Sejarah UGM). 3. "Membangun Jejaring Melayu yang Setara dan Bermartabat"
Mahyudin Al Mudra (Pemangku BKPBM). Moderator: Dr. Aris Arief Mundayat (Direktur Pusat Studi
Sosial Asia Tenggara - PSSAT UGM).

A. Pendahuluan

Melayu merupakan penjelmaan dari keluarga bangsa serumpun yang besar dan cukup nyata
memberikan pengaruh di regional Asia Tenggara bahkan berdiaspora hingga Afrika Selatan dan Asia
selatan. Rumpun Melayu adalah suatu rangkaian panjang perjalanan sejarah dari sebuah dinasti besar di
era pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial yang dalam pemaknaannya selalu diperebutkan oleh
masing-masing regime dijamannya. Perebutan paling krusial adalah antara kekuatan Islam dengan
dengan cara berfikir Erosentrisme semenjak kolonial hingga kini. Dominasi kekuatan ekonomi dan
pengetahuan Eropa telah meletakkan dasar Erosentrisme. Di satu pihak pemaknaan tersebut seringkali
dibatasi oleh garis-garis eksklusif, seperti agama Islam, etnisitas, politik identitas berbasis negara bangsa,
dan bahasa yang sesungguhnya merupakan efek Erosentrisme yang dipakai oleh rumpun bangsa
Melayu.

Sebelum pengaruh kolonialisme Barat, sesungguhnya bangsa Melayu serumpun telah menunjukkan
kebesarannya yang tercatat dalam lembar-lembar naskah kuno dan kabar-kabar yang melegenda
bukanlah sekadar mitos atau isapan jempol semata. Bukti-bukti sejarah yang mengungkap kegemilangan
bangsa Melayu serumpun di masa silam telah menguatkan kenyataan tersebut bahwa sebuah rumpun
bangsa bernama Melayu pernah mengalami masa-masa keemasan dan mewariskan pengaruh yang tidak
sedikit bagi perjalanan peradaban dunia. Begitu luas dan besarnya, seluruh sejarah bangsa Melayu harus
dikonsepkan dalam rangkaian cerita, babak, serta episode, yang dalam pendekatannya menjadi tapak
dan petak sejarah. Ruang-ruang kecil naratif inilah yang membawakan pelbagai makna dan nuansa, yang
menjadikan Melayu besar dan tidak hanya sebagai sebuah jurai keturunan raja-raja Malaka (Salleh,1997:
xxvi).

Rumpun Melayu tidaklah sesempit yang dibayangkan. Orang Melayu tidak tertumpu ke dalam sebuah
negara-bangsa atau nation-state (Halimi, 2008:xi). Selayaknya bangsa yang besar, rumpun Melayu
merupakan sebuah jejaring sosial lintas etnis yang sangat kaya akan keberagaman. Bangsa Melayu
cukup lekat dengan pluralisme, Melayu bukan bangsa eksklusif yang menutup mata dan hati dari
pergaulan dengan bangsa-bangsa lain yang hidup beriringan dan bersama-sama membangun peradaban
di bumi manusia ini. Bangsa Melayu menjelma menjadi golongan bangsa yang terbuka serta suatu
bangsa yang sangat menjunjung tinggi jalinan silaturahmi dan toleransi. Melayu menyatukan dirinya
dalam perbauran ikatan perkawinan antara suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu
secara sadar dan berkelanjutan (Husny, 1975:7).

Dalam kenyataannya, yang terjadi kemudian seringkali berkebalikan. Pengertian Melayu seringkali
dipahami dengan cara pandang yang sempit sehingga membentuk pemikiran dan pengertian yang
terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu pada akhirnya kerap ditinjau lewat sudut pandang
tertentu yang sifatnya membatasi, bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri, yang nyaris
selalu didefisinikan melalui sekat-sekat perspektif, termasuk lewat pandangan linguis¬tik, politik,
geografi, etnik, atau agama. Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang kemudian justru
membuat kebesaran rumpun Melayu semakin lama semakin tergerus dan kian lirih gaungnya. Kejayaan
Melayu sebagai salah satu rumpun bangsa yang besar di dunia ini seolah-olah lenyap tanpa bekas,
tenggelam di tengah riuh-rendah persaingan peradaban di bumi, terasing dari gegap-gempita semesta.
Hal ini disebabkan oleh efek eksklusifitas yang berdampak pada kecongkakan etnis/suku bangsa tertentu
dan memecah-belah serta menempatkan bangsa-bangsa Melayu serumpun ke dalam kotak-kotak yang
berdiri sendiri-sendiri bahkan bersaing secara negatif. Melayu tidak lagi dipandang secara utuh
melainkan diartikan dengan subjektif atas nama kepentingan masing-masing etnis/bangsa yang merasa
“memiliki” hak membawa nama rumpun Melayu secara superior.

Kelekatan citra Melayu terhadap suatu wilayah tertentu seolah telah menjadi keniscayaan, bahkan di
kalangan orang Melayu itu sendiri. Orang Indonesia, misalnya, pada umumnya berpendapat bahwa
kawasan tempat tinggal orang Melayu di Indonesia adalah di daerah Riau atau Provinsi Riau, sebuah
provinsi yang sejak tahun 2004 terbagi menjadi dua yakni Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau
(Ahimsa-Putra, 2007:xi). Satu contoh lagi, dalam lingkup yang lebih luas, Malaysia menjadi negara yang
menempatkan dirinya di jajaran paling depan dalam anggapan telah membangun jejaring di antara
bangsa-bangsa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Klaim atas identitas Melayu oleh negeri jiran tersebut
jelas menimbulkan satu masalah tersendiri. “Sengketa” yang melibatkan dua negara serumpun Melayu
yaitu Malaysia melakukan claim atas reog, angklung, lagu Rasa Sayange, dan wayang yang merupakan
kebudayaan Indonesia. Hal ini, telah merasuk terlalu dalam pada ranah yang sebenarnya menjadi
identitas sejati dari kedua negara itu, yakni jatidiri sebagai bagian dari rumpun bangsa Melayu yang
berbudaya luhur dan berperadaban tinggi.

Beberapa kalangan di Malaysia semakin gencar menyuarakan bahwa mereka seharusnya dinobatkan
sebagai pewaris rumpun Melayu yang sebenar-benarnya, kendati banyak pula orang Malaysia yang
tetap berteguh bahwa Nusantara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia Melayu.
Kemelayuan dalam masalah ini telah terdistorsi oleh politik identitas. Salah seorang di antaranya
tersebutlah Aimon Muhammad dari Persatuan Penerjemah Malaysia. Aimon melontarkan pernyataan
tegas bahwa Melayu sebagai suatu bangsa hendaknya kembali pada semangat Malaka masa lampau dan
bekerja dalam kesatuan budaya Nusantara yang tidak mengaca pada sejarah politik rantau. Hanya dalam
gagasan seperti ini, lanjut Aimon, orang rumpun Melayu dapat menyelamatkan nasib bahasa dan bangsa
Melayu sendiri (Imron, 2007: 696).

B. Erosentrisme, Doktrin Eropa Akut yang Menyesatkan

Diakui atau tidak, jika ditelisik dari perjalanan sejarah, pemahaman yang salah kaprah tentang definisi
Melayu disebabkan adanya penanaman dogma Barat yang disuntikkan dalam kurun waktu lama dan
turun-temurun. Pemahaman yang ternyata menyesatkan itu merupakan dampak negatif dari ulah
bangsa-bangsa Eropa yang menduduki bumi Melayu secara paksa selama berabad-abad. Dalam kurun
waktu beratus-ratus warsa itulah gurita kolonialisme dan imperialisme mencengkeram hampir seluruh
sektor kehidupan orang dan tanah Melayu. Tidak hanya dalam hal materi dan mental saja yang dirasuki,
namun juga ranah alam pemikiran pun dicekoki dengan erosentrisme yang justru mendiskriminasikan
Melayu itu sendiri. Imbasnya, seluruh dunia lantas memandang Melayu lewat kacamata Eropa. Bahkan
orang-orang Melayu sendiri, hingga turun-temurun dari generasi ke generasi, ikut terseret dan
kemudian terjebak ke dalam pusaran arus besar Erosentrisme.
Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad ke-16 seringkali
dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini, di mana rumpun
Melayu terbilang sangat dominan di dalamnya. Penjelajahan bangsa-bangsa Eropa hingga memperoleh
jalan terang menuju Nusantara sudah dimulai ketika Portugis mengawali proyek massal tersebut dan
mendapat sasaran yang paling penting dalam rangka mencari negeri rempah-rempah, yaitu di ujung
timur perdagangan Asia yang berpusat di Malaka. Setelah mengetahui bahwa terdapat surga rempah-
rempah di belahan semesta yang nyaris tidak dikenal oleh dunia Eropa kala itu, Kerajaan Portugis lantas
mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan Malaka, menjalin persahabatan dengan
penguasanya, dan menetap di sana sebagai wakil Raja Portugal di sebelah timur India (Ricklefs,
1995:33).

Diogo Lopes de Sequeira pertamakali menginjakkan kaki di tanah Melayu pada 1509. Pada awalnya,
kedatangan rombongan Sequeira disambut dengan hangat oleh Raja Malaka, Sultan Mahmud Syah
(memerintah 1488-1528), akan tetapi kemudian kaum saudagar internasional dari kalangan Islam
mengingatkan bahwa Portugis bisa mendatangkan ancaman bagi eksistensi Kerajaan Malaka. Maka
kemudian terjadilah peperangan antara angkatan bersenjata Kerajaan Malaka melawan orang-orang
Portugis yang dimotori Sequiera. Tentara Malaka menang dan untuk sementara jazirah Melayu masih
aman dari tangan-tangan asing yang cemar.

Enam tahun berselang, Portugis datang lagi di bawah komando Alfonso de Albuquerque. Bulan April
tahun 1511, terjadi pertempuran untuk yang kedua kalinya antara Portugis dan Malaka. Kali ini Malaka
tersungkur dan berhasil ditaklukkan. Kekalahan Malaka, selain disebabkan kalah canggihnya
persenjataan, juga karena di waktu yang hampir bersamaan Kerajaan Malaka sedang diguncang konflik
internal yang melibatkan Sultan Mahmud Syah dengan putranya, Sultan Ahmad. Sementara pasca
kemenangan Portugis, Albuquerque menetap di Malaka hingga bulan November 1511 dan selama itu dia
mempersiapkan pertahanan untuk menangkal setiap serangan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu.
Sultan Mahmud Syah sendiri bersama keluarga kerajaan terpaksa harus mengundurkan diri dari wilayah
kerajaannya yang sudah dikuasai Portugis. Sultan mencari perlindungan ke Johor dan kemudian ke Pulau
Bintan (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 354).

Setelah penaklukan perdana oleh Portugis, berturut-turut bumi Melayu tidak henti-hentinya dikuasai
bangsa Eropa silih-berganti. Kepulauan Nusantara seakan-akan menjadi mangsa yang begitu empuk,
lezat, dan menjanjikan. Bangsa Barat yang datang selanjutnya adalah Belanda. Mereka mewarisi aspirasi
dan strategi sekaligus keberanian dan kekejaman ala Portugis namun dengan peralatan yang lebih
komplit. Orang-orang Belanda membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal, serta dukungan
keuangan yang lebih baik (Ricklefs, 1997:37). Belanda tidak hanya sekadar datang untuk berdagang,
tetapi juga menanamkan pengaruh kekuasaan yang meliputi berbagai sektor, terutama aspek politik dan
ekonomi. Kolonialis Belanda kian dalam menancapkan kukunya di Kepulauan Nusantara dengan
mendirikan Vereeninging Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur
pada Maret 1602.
Kedatangan Belanda yang kemudian segera merajai monopoli perniagaan di nusantara melalui tangan
dingin VOC membuat eksistensi Portugis terancam. Portugis meninggalkan Maluku dan Nusa Tenggara
pada 1613, mereka mulai terdesak hingga ke Sailan (Srilanka), menjelang penyerahan Malaka yang
terjadi setahun kemudian. Sedangkan Inggris tidak mendapat kesempatan melakukan ekspansi dalam
operasinya di nusantara dan akhirnya tinggal di suatu loji di Banten. Sementara bagi Belanda, sebagai
kekuatan utama kolonialisme Eropa di Indonesia waktu itu, masih harus menghadapi tiga kekuasaan
yang masih eksis dan berpotensi mengancam keberadaan mereka, yaitu Makassar, Aceh, dan Mataram
(Kartodirdjo, 1999:75). Namun, berkat kelicikan dan kekuatan mutakhir yang dipunyai VOC, Belanda
mampu menundukkan pusat-pusat peradaban di Nusantara itu dan semakin leluasa menancapkan
jejaring kapitalismenya.

Kuasa Belanda atas wilayah Melayu semakin kuat mencengkeram dengan disepakatinya Traktat London,
perjanjian antara Belanda dan Inggris yang digelar pada 17 Maret 1824. Perjanjian ini secara sepihak
telah membagi wilayah Melayu menjadi dua, yaitu sebelah utara menjadi daerah kekuasaan Inggris, dan
selatan menjadi daerah kekuasaan Belanda. Pembagian administratif kolonialis semacam itu pada
akhirnya melahirkan wilayah Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, serta Malaysia dan Singapura
bersama panji-panji imperialisme Inggris. Bahasa Melayu di tiga negara itu pun berkembang di bawah
pengaruh bahasa masing-masing negara kolonial itu. Bahasa Melayu-Indonesia banyak dipengaruhi
bahasa Belanda, sedangkan bahasa Inggris menanamkan pengaruhnya terhadap bahasa Melayu yang
digunakan di Malaysia dan Singapura.
Belanda, melalui VOC yang kemudian beralih rupa menjadi pemerintahan kolonial Hindia Belanda,
menduduki nusantara lebih kurang tiga abad lamanya. Belanda melepaskan Indonesia ketika mereka
takluk oleh Jepang pada 1942 ketika Perang Asia Timur Raya, sebagai rangkaian dari Perang Dunia II,
meletus. Jepang, penjajah dengan wajah baru yang mengaku sebagai “saudara tua” Indonesia,
mengambil-alih kuasa Belanda di nusantara hingga pada akhirnya Indonesia berhasil memproklamasikan
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Penguasaan atas seluruh sendi kehidupan di wilayah kepulauan yang kemudian dikenal dengan nama
Indonesia, di mana rumpun Melayu berada di jajaran yang paling terdepan, meninggalkan dampak yang
cukup dahsyat bahkan hingga turun-temurun ke generasi-generasi selanjutnya. Efek negatif itu bukan
hanya membekas pada tataran fisik dan mental saja, melainkan juga menjangkiti ranah pemikiran dan
perspektif dalam melihat sejarah nasional, dalam hal ini riwayat rumpun Melayu di Indonesia. Ironisnya,
pandangan sempit tentang Melayu bentukan kolonial itu justru dianut oleh kebanyakan orang Melayu
itu sendiri. Suku bangsa Melayu yang pada awalnya memiliki soliditas sosial yang tinggi dan meluas
meliputi sebagian besar wilayah nusantara, juga di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, kini
menjadi terpecah-belah, terkotak-kotak berdasarkan wilayah, bahkan saling berlomba-lomba mengklaim
diri sebagai etnis/bangsa Melayu yang paling awal dan asli. Padahal orang melayu itu memiliki hibriditas
latar belakang sejarah yang terkait dengan gelombang awal globalisasi.

Akibat dari distorsi politik identitas tersebut, terdapat konsep yang masih menjadi keyakinan lazim yang
dianut oleh banyak kalangan hingga saat ini, yakni bahwa seseorang dianggap sebagai (orang) Melayu
apabila ia menetap di kawasan Melayu, berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu dan beragama
Islam.
Tentang Islam, ajaran agama ini masih menjadi tolok ukur yang lazim dipakai khalayak untuk melihat
Melayu. Masuknya agama Islam ke nusatara mem¬bawa pengaruh yang besar terhadap buda¬ya
setempat sehingga memberikan ciri keislaman yang kuat. Pandangan hidup orang Melayu menjadi
identik dengan pandangan hidup berdasarkan Islam, yaitu pandang¬an duniawi dan ukhrowi seperti
yang diajarkan oleh Islam (Suwardi, 1991). Oleh karena itu, muncul sebuah pemahaman bahwa salah
satu syarat untuk menjadi orang Melayu adalah dengan memeluk agama Islam. Apabila seorang non-
Islam melepaskan agamanya kemudian menganut agama Islam, maka ia menjadi orang Melayu. Ini
adalah kategorisasi erosentrik yang menyesatkan cara fikir kita dalam memahami kemelayuan.

Secara ontologis, sesungguhnya kemelayuan dan keislaman merupa¬kan dua dimensi yang berbeda.
Orang Melayu merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk
struktur sosial. Sementara itu Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu
untuk menjalin hubung¬an dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horison¬tal,
sedangkan yang kedua hubungan vertikal. Maka jika definisi Melayu dibatasi pada identitas etnik, ras
dan agama, akan mencip¬takan posi¬si yang tumpang tindih antara agama sebagai sistem kepercayaan
dan etnisitas sebagai struktur sosial (Ansor, 2005).

Pemahaman lain tentang kemelayuan yang cenderung menjadi acuan di masa sekarang adalah
pembagian ciri-ciri Melayu dengan melihat dari beberapa aspek, antara lain: Melayu sebagai ras, Melayu
sebagai suku bangsa, dan Melayu sebagai suku. Ketiga opsi ini memuat pemaknaan yang berbeda-beda.
Pertama, yang digolongkan ke dalam ras Melayu adalah orang-orang yang berkulit cokelat. Dalam
konteks geografis, ini berarti semua orang di nusantara yang berkulit cokelat adalah termasuk ras
Melayu. Kedua, Melayu sebagai suku bangsa. Perkembangan sejarah dan perubahan politik
mengakibatkan ras Melayu tersebar di beberapa belahan dunia, yang paling banyak terdapat di kawasan
Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina di bagian selatan,
Kamboja, Laos, Vietnam, serta Srilanka. Ketiga, Melayu sebagai suku. Pengertian yang ketiga ini paling
sempit karena hanya menunjuk kepada suku-suku tertentu, seperti yang ada di Sumatra, Kalimantan,
dan daerah-daerah serumpun lainnya. Seseorang yang berasal dari luar suku-suku Melayu tersebut
berarti ia tidak termasuk dalam kategori orang Melayu (Lutfi, 2007).

Demikianlah, beberapa perspektif umum yang selama ini digunakan sebagai acuan banyak kalangan
untuk menelaah hal-ihwal kemelayuan. Sangat mungkin pandangan umum tersebut merupakan warisan
dari tradisi Erosentrisme yang memang telah menjadi doktrin serta sudah berlangsung lama, akut, dan
menyesatkan. Pandangan sempit yang menyebutkan bahwa tanah Melayu hanya melingkupi segelintir
wilayah yang selama ini lazim dipercayai sebagai daerah asal Melayu, antara lain Sumatra, Kalimantan,
dan negara-negara serumpun lainnya, besar kemungkinan paradigma tersebut merupakan efek turunan
dari pemahaman Melayu ala Barat alias Erosentrisme. Padahal, apabila mau diselidiki lebih lanjut,
pengaruh Melayu sangatlah meluas dan melampaui wilayah-wilayah yang disebutkan sebagai tempat
lahir bangsa Melayu itu.

Jika ditelisik dari rumpun bangsa dan bahasanya, yaitu Austronesia, bangsa-bangsa Melayu memiliki
jejaring serumpun yang sangat luas. Di lingkup Nusantara, selain Sumatra dan Kalimantan, nyaris seluruh
wilayah di kepulauan ini, kecuali Papua dan Nusa Tenggara Timur yang berbeda rumpun bangsa dan
bahasa (Melanesia), dapat dikategorikan sebagai rumpun Melayu, termasuk Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat, Maluku, bahkan Bali dan Jawa. Melebar dalam lingkup regional/global, pengaruh Melayu juga
relatif kental di lintas kawasan bahkan benua, di antaranya Laos, Vietnam, Myanmar, Afrika Selatan,
Madagaskar, bahkan Pulau Cocos dan Pulau Krismas yang terletak di Oceania (Melebek & Moain, 2006).
Apabila Jawa dihitung sebagai bagian dari rumpun Melayu, jejaring Melayu akan lebih luas lagi hingga ke
Suriname yang menempati lokasi di Amerika Selatan. Daerah bekas koloni Belanda yang dahulu
bernama Guyana Belanda ini menempatkan bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa yang paling sering
digunakan. Selain itu, berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, sekitar 18 persen warga negara
Suriname adalah orang Jawa dari sekitar 481.146 orang penduduk negara ini.

Beberapa kalangan yang peduli dengan perihal kemelayuan serta berpedoman atas dasar Melayu yang
majemuk dan tidak elitis untuk kepentingan etnis/bangsa tertentu, mulai menggalakkan kampanye
mengenai pelurusan perspektif kemelayuan yang setara dan bermartabat. Setara dalam arti
meminimalisir pengklaiman oleh satu etnis/bangsa yang merasa dirinya paling Melayu dan berhak
“mewarisi” segala hal yang berhubungan dengan kemelayuan. Sedangkan bermartabat dapat dimaknai
bahwa rumpun Melayu merupakan peradaban yang memiliki kekhasan dan keagungan budaya yang
beragam, dan oleh karenanya sangat disayangkan jika terjadi persaingan tidak sehat dengan
mengkultuskan salah satu unsur yang membangun jejaring Melayu yang besar itu. Tugas berat nan mulia
untuk kesetaraan tersebut bisa dilakukan dengan mulai membiasakan diri untuk memandang Melayu
dari kacamata orang Melayu sendiri, bukan berdasarkan pandangan Barat (Erosentrisme) atau bangsa-
bangsa non-Melayu lainnya.

C. Melihat Melayu dari Pandangan Orang Melayu

Tidak dapat dipungkiri bahwa gelombang Erosentrisme sudah sampai pada level akut dan
mempengaruhi gaya pandang serta pola pikir publik dalam melihat Melayu, bahkan di dalam kalangan
orang-orang Melayu sendiri. Untuk itulah, diperlukan upaya serta langkah strategis, tentu saja dengan
tetap menghargai proses dan perjalanan masa, untuk mengembalikan jatidiri Melayu yang sebenarnya,
memulihkan identitas sejati Melayu sebelum diobrak-abrik kuasa Barat. Batas-batas elitis yang selama
ini melingkupi dunia Melayu, dengan adanya definisi-definisi Melayu yang ditinjau dari perspektif
linguis¬tik, politik, geografi, etnis, bahkan agama, ada baiknya ditekan sekecil mungkin untuk
mewujudkan rumpun Melayu yang bersatu, setara, dan bermartabat. Melayu bukan sekadar golongan
etnis, wilayah, atau terbatas pada penganut golongan agama tertentu. Melayu adalah pandangan dan
gaya hidup, Melayu adalah kehidupan yang multikultur, dan yang pasti Melayu adalah suatu peradaban
budaya yang besar, megah, dan sangat berpotensi untuk turut meramaikan gemerlap dunia global
bersama-sama dengan peradaban besar lain yang ada dan menjadi inti elemen susunan peradaban
semesta.

Pada bagian sebelumnya telah disinggung tentang Aimon Muhammad dari Persatuan Penerjemah
Malaysia. Aimon menegaskan, Melayu sebagai suatu bangsa hendaknya kembali pada semangat Malaka
masa lampau dan bekerja dalam kesatuan budaya nusantara. Dari penegasan itu, Aimon tampaknya
tidak ingin Melayu kehilangan akar tradisi yang disebut “semangat Malaka”, tetapi Aimon juga
berkehendak Melayu harus bangkit dengan ketegaran manusia Melayu masa kini tanpa harus
menanggalkan kemelayuannya, lebih-lebih berpijak pada pandangan-pandangan Barat yang carut-marut
itu. Aimon sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi bahwa orang Melayu selama ini hanya berperan
sebatas menjadi objek kajian dalam keterbelakangannya oleh bangsa-bangsa lain yang notebene lebih
“maju” (baca: Barat). penyebab keterbelakangan orang Melayu, masih menurut Aimon, dikarenakan
kebudayaan Melayu yang cenderung beku dan lamban dalam menguasai ilmu-ilmu modern yang
ditemukan dan dikembangkan dengan pesat oleh bangsa-bangsa yang lebih maju (Imron, 2007:696).
Singkat kata, Melayu serumpun harus segera bangkit dan bergerak, bersulih peran menjadi subjek untuk
mengembalikan identitas Melayu berdasarkan perspektif orang Melayu sendiri.

Sekian lama Melayu diperalat, diperbudak, bahkan dikendalikan oleh pandangan versi Eropa. Itulah yang
sebenarnya menjadi penghambat utama bagi rumpun Melayu untuk bangkit maju, apalagi untuk
mewujudkan tujuan besar: menyatukan Melayu se-dunia. Racun Erosentrisme telah meletakkan
hegemoni secara vertikal dalam membentuk kerangka berpikir semua orang, termasuk orang Melayu
sendiri, tentang definisi Melayu. Salah satu upaya untuk mendekonstruksi hegemoni vertikal yang
diterapkan oleh Barat adalah dengan cara melawan secara horizontal, yakni dengan menyatukan dan
mempersolid kekuatan serta menambah frekuensi tindakan komunikatif di antara puak-puak Melayu,
baik yang terpusat di kawasan Asia Tenggara maupun yang terpencar di beberapa penjuru bumi.
Mempersatukan Melayu se-dunia bertujuan jangka panjang untuk membumikan Melayu. Caranya
adalah dengan bersama-sama membenahi pandangan orang tentang Melayu dengan membangun
pandangan yang berbeda dalam tataran horizontal melalui perspektif orang Melayu sendiri,

Salah kaprah yang selama ini menjangkiti perspektif kemelayuan harus diluruskan dengan
mengembalikan pencitraan ciptaan Barat itu kepada perspektif Melayu pra kolonial. Pandangan
meremehkan orang Melayu sebagai bangsa yang inferior wajib dihapuskan, dan tidak ada yang bisa
meluruskan jatidiri kemelayuan kecuali bangsa-bangsa Melayu serumpun itu sendiri. Orang Melayu
serumpun hendaknya bersatu-padu untuk melawan perspektif Erosentrisme yang telah menyebabkan
adanya sekat-sekat yang melemahkan rumpun Melayu. Paradigma lama tersebut harus dilawan dengan
cara memetakan dan mencari kelebihan serta kekurangan dengan tujuan memberi keleluasaan pada
bangsa-bangsa Melayu serumpun untuk berkembang secara utuh. Dengan cara begini, orang Melayu
akan belajar dan berproses dalam melihat dan mengidentifikasi dirinya sendiri untuk kemudian bersiap
memberikan warna dan sumbangsih terhadap tatanan dunia internasional.

D. MelayuOnline.com, Instrumen Nyata Melawan Erosentrisme

Segala macam teori yang diwacanakan untuk mengembalikan jatidiri Melayu dalam upaya melawan
hegemoni Erosentrisme tiadalah berguna apabila tidak segera disertai tindakan yang konkret. Maka dari
itulah, tanpa banyak cakap, diluncurkanlah situs www.MelayuOnline.com. pada 1 Mu¬harram 1428
Hijriah atau 20 Januari 2007 dalam penanggalan Masehi. MelayuOnline.com merupakan portal tentang
dunia Melayu se-dunia yang dihadirkan sebagai wujud nyata perlawanan terhadap Erosenstrisme.
Gagasan peluncuran MelayuOnline.com tersebut adalah hal yang baru dan segar dalam tradisi
kemelayuan, yakni menggunakan media yang sesuai dengan tuntutan zaman untuk mengkampayekan
budaya dan tradisi Melayu.

Peradaban Melayu adalah peradaban yang berkembang mengikuti arah dan kemajuan zaman. Sudah
cukup lama warga Melayu merindukan dunia Melayu yang ditandai dengan gemuruh teknologi canggih
yang menguntungkan masyarakat Melayu. Oleh karena itu, membangun Melayu bukan sekadar
membangun di bumi Melayu, melainkan membangun manusia-manusia Melayu sehingga masyarakat
Melayu bisa meraih kehormatan lahir dan batin sebagai khalifah Tuhan di bumi, yaitu Melayu yang
berdaya dan berjaya serta bisa menyelesaikan garapan dan tantangan hidupnya tanpa bergantung pada
orang lain. Katakanlah, masyarakat Melayu yang madani (Imron, 2007:695).
Kebudayaan modern dan post-modern menimbulkan per¬ubahan di berbagai aspek kehidupan dengan
tingkat kecepatan yang me¬ngejutkan. Perubahan itu dipicu oleh kecepatan per¬tukaran informasi yang
disajikan setiap detik oleh cybermedia, televisi, radio dan media-media lain (Adeney,2004).

Media-media informasi itu mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan dunia baru
dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Batas antara Indonesia, Malaysia, dan negara-
negara di Eropa atau Amerika menjadi tidak jelas karena telah “dilipat-lipat” media modern, kemudian
dimasukkan ke dalam alat tertentu, seperti komputer dan televisi.
Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu proses penting karena ia menjadi titik balik peradaban
kontemporer yang memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial dan budaya (Abdullah,
2006). Proses perubahan terpenting yang melanda masyarakat Melayu adalah perubahan cara berpikir
dan cara memandang dunia. Sebelum MelayuOnline.com ada, warisan khazanah Melayu masih berupa
mozaik yang berserakan di mana-mana. MelayuOnline.com hadir dengan tujuan merajut kem¬bali
mozaik itu dan menyajikannya dalam satu dokumentasi digital tanpa batas tentang peradaban Melayu
dari masa ke masa. Peradaban Melayu adalah salah satu peradaban besar di dunia yang pernah
mencapai kegemilangan selama beberapa abad.

Dalam upaya perlawanan Melayu terhadap Erosentrisme yang telah mengacak-acak perspektif publik
terhadap identitas kemelayuan, kehadiran MelayuOnline.com merupakan jawaban konkret dan nyata
atas beragam wacana yang mengemuka selama ini. MelayuOnline.com memiliki kekuatan yang dirasa
cukup mampu diandalkan untuk mengefektifkan hubungan antar puak-puak Melayu yang terserak di
seluruh dunia. Sebagai portal terbesar dari portal-portal sejenis, MelayuOnline.com dapat diakses dari
seluruh dunia, ditambah pula dengan relasinya yang kuat mencakup banyak negara di level
internasional. MelayuOnline.com mempunyai daya tawar (bargaining) dan nilai jual yang cukup
meyakinkan dalam upaya mempersatukan dunia Melayu serumpun karena portal ini telah mendapat
pengakuan dari pihak-pihak yang sangat kompeten di ranah kemelayuan.

Perkembangan terakhir, pada 11 Juni 2009 yang baru lalu, bertempat di Kedah, Malaysia, para
perwakilan dari sejumlah negara Melayu serumpun, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, serta Thailand, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota
Kesepahaman yang menyatakan dukungan terhadap eksistensi MelayuOnline.com. Masyarakat Melayu
serumpun berharap, kehadiran MelayuOnline.com dapat menjadi wahana penyangga solidaritas
rumpun Melayu sedunia dan mampu mewarnai laju perkembangan globalisasi yang cenderung berwajah
tunggal.

Situs www.MelayuOnline.com terlahir dari gagasan para penggiat budaya Melayu yang tergabung di
bawah naungan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) dengan pusatnya di
Yogyakarta. Saat ini, BKPBM sudah melahirkan beberapa portal bernuansa kemelayuan sebagai wujud
komitennya untuk menegakkan kembali kejayaan Melayu. Selain www.MelayuOnline.com, telah hadir
pula situs www.WisataMelayu.com, www.rajaalihaji.com, dan www.ceritarakyatnusantara.com, yang
semuanya berada di bawah naungan BKPBM.
Salah satu tugas intelektual MelayuOnline.com adalah memahami realitas yang sedang terjadi dengan
cermat, kemudian menciptakan langkah-langkah konkret untuk memperbaikinya. Di sini
MelayuOnline.com mencoba memainkan perannya secara optimal, yaitu menduniakan nilai-nilai luhur
Melayu untuk membangun peradaban dunia. Prinsip yang dipegang teguh MelayuOnline.com adalah
mempertahankan hal-hal yang baik dari warisan kebudayaan Melayu dan mengambil hal-hal baru yang
baik pula dari kebudayaan. MelayuOnline merupakan wujud kesadaran bahwa perubahan-perubahan
dalam masyarakat Melayu tidak mungkin dihindari sehingga harus dirumuskan secara tepat dan cepat
bagaimana mengarahkan perubahan itu ke arah yang lebih baik.

Sebagai realisasi dari perjuangan melawan Erosentrisme, MelayuOnline.com merupakan proses yang
never ending, tanpa mengenal batas akhir, dengan tampilan futuristik yang elegan dan seasonable.
Perlawanan terhadap doktrin Barat yang menghantui rumpun Melayu selama ini adalah perjuangan
panjang yang penuh jalan terjal dan berliku. Erosentrisme terbentuk dari proses panjang selama ratusan
tahun ketika kuasa asing menguasai bumi Melayu sepanjang lebih tiga abad. Proses doktrinasi gaya
Barat yang dihujamkan secara vertikal dalam waktu yang tidak sebentar itu tidak mungkin bisa dilawan
dengan cara yang serupa. MelayuOnline.com cukup cerdik dalam hal ini dengan tidak menghadapinya
secara frontal berjurus sama, melainkan dengan melakukan proses perlawanan secara horizontal di
mana MelayuOnline.com memaksimalkan perannya sebagai jejaring sosial yang sangat efektif untuk
menghimpun dan menyatukan kekuatan antar puak-puak Melayu serumpun untuk kemudian
merumuskan cara yang berbeda dalam memandang paradigma kemelayuan, yakni dengan memantik
minat publik untuk melihat Melayu dari kacamata orang Melayu sendiri.

Ketegasan perlawanan MelayuOnline.com terhadap paradigma menyesatkan yang diusung oleh


Erosentrisme semakin nyata dengan dicanangkannya tiga misi penting. Pertama, memanfaatkan media
informasi modern (cybermedia) untuk memben¬tuk opini dunia terhadap kemelayuan yang selama ini
sangat terpengaruh oleh pandangan Erosentrisme. Kedua, MelayuOnline.com berupaya untuk terus
menggali, memelihara, mengekalkan, mengembangkan dan mempublikasikan segala hal tentang Melayu
dan kemelayuan secara sistematis, kompre¬hensif, serta membumi. Ketiga, merekonstruksi paradigma
pemikiran Melayu untuk dapat berdaptasi dengan alam pikiran modern. Keempat, inilah poin terpenting
sebagai salah satu praksis perlawanan terhadap Erosentrisme ilmu pengetahuan, yakni dengan
meredefinisikan Melayu secara luas dan tidak eksklusif seperti yang terjadi selama ini. Kajian
kemelayuan yang dianut MelayuOnline.com tak mengenal sekat-sekat ras, etnis, politik, bahkan agama.
Uniknya, MelayuOnline.com justru berada di Yogyakarta, salah satu pusat peradaban Jawa yang paling
besar dan masih eksis hingga saat ini.

MelayuOnline.com memaknai Melayu sebagai sebuah kultur, bukan Mela¬yu sebagai suku, etnis, atau
entitas budaya dalam arti sempit lainnya. Melayu versi MelayuOnline.com dimaknai sebagai setiap
tempat, komunitas, kelompok masyarakat ataupun daerah di belahan dunia manapun yang masih
atau¬pun pernah menjalankan tradisi dan adat-istiadat Melayu. Seca¬ra historis, kesamaan budaya
masyarakat Melayu telah terjalin selama berabad-abad. Hal itu bukanlah ikatan sesaat yang sempit yang
didasarkan pada ikatan darah (genealogis), tetapi lebih pada ikatan kultural (cultural bondage). Dengan
demikian, kata “Melayu” yang dipahami oleh MelayuOnline.com merujuk kepada setiap masyarakat
penutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam budaya Melayu
Pandangan kemelayuan oleh MelayuOnline.com yang sangat pro-pluralisme itu terlihat dari menu-menu
yang disajikan di portal MelayuOnline.com. Menu-menu tersebut merefleksikan keberagaman dengan
tidak bertumpu pada satu keyakinan yang ternyata salah kaprah, seperti apa yang dianut kebanyakan
orang saat ini, yang menjadi korban dari Erosentrisme. MelayuOnline.com diorentasikan untuk menjadi
por¬tal dunia Melayu terbesar di dunia. Paradigma baru yang memandang dunia Melayu secara luas,
beragam, dan objektif diwujudkan ke dalam struk¬tur-struktur portal yang sistematis, komprehensif,
serta ilmiah. Penyusunan struktur yang sistematis ber¬tujuan memudahkan bagi siapa saja yang ingin
mengetahui Melayu dan kemelayuan, baik secara ringkas sepintas maupun serius menda¬lam. Seluruh
aspek Melayu, seperti sejarah, budaya, sastra, bahasa dan lain-lain telah diklasifikasi sedemikian rupa,
sehingga menjadi sebuah struktur yang menunjukkan betapa sejarah dan budaya Melayu begitu kaya
akan khazanah keilmuan. Dari struktur MelayuOnline.com dapat dilihat kegemilangan sejarah dan
kebudayaan Melayu pada masa lalu melalui media penyampaian berteknologi mutakhir.

Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa MelayuOnline.com dengan tegas memposisikan perannya
sebagai instrumen yang memberi kemudahan kepada seluruh warga Melayu di manapun dan kapanpun
untuk bersama-sama menjalin tindakan komunikasi aktif demi mengembalikan jatidiri bangsa Melayu
yang sebenarnya. MelayuOnline.com merupakan penegas dan bisa menjadi senjata ampuh untuk
menggeser paradigma kemelayuan ciptaan Barat yang menyesatkan cara berfikir selama ratusan tahun.
Akhir kalam, dengan semangat keberagaman Melayu, MelayuOnline.com bertekad untuk mewujudkan
bumi Melayu yang seutuhnya, yang tidak terkontaminasi pengaruh Erosentrisme, yang berjuang demi
mengembalikan kejayaan peradaban Melayu di masa silam dengan tujuan agar peradaban Melayu bisa
kembali memberi faedah bagi kemajuan peradaban dunia. MelayuOnline.com bertujuan sebagai
pengikat dan pemersatu bangsa-bangsa Melayu serumpun tanpa kecuali dalam rangka membangun
jejaring Melayu yang setara dan bermartabat dan bebekerjasama dengan bangsa-bangsa lain di muka
bumi ini dengan menghargai paham multikultural.

E. Penutup

Kajian tentang kemelayuan yang dilakukan oleh banyak kalangan selama ini ternyata masih memandang
Melayu dengan kacamata Barat, di mana Melayu dikondisikan sebagai bangsa yang tersekat-sekat ke
dalam polarisasi yang sempit. Paradigma Erosentrisme, yang lahir dari kolonialisme Eropa di bumi
Melayu selama ratusan tahun, menyudutkan bangsa Melayu sebagai bangsa yang inferior dan dianggap
tidak mampu memberikan sumbangsih yang berarti banyak bagi kemajuan peradaban dunia.

Salah satu cara yang dilakukan untuk meminimalisir atau bahkan melenyapkan pengaruh Barat tersebut
adalah dengan membangun jejaring Melayu yang setara dan bermartabat di antara puak-puak Melayu
serumpun, baik yang berkutat di regional Asia Tenggara maupun penganut jejak-jejak Melayu yang
tersebar di berbagai penjuru bumi lainnya. Membangun jejaring Melayu yang setara dan bermartabat
dapat terwujud apabila terjadi komunikasi yang intens namun efektif antar bangsa Melayu serumpun.
Tindakan komunikasi ini dilakukan untuk melawan perspektif kemelayuan gaya Barat yang diproses
secara vertikal selama ratusan tahun. Untuk melawannya, rumpun Melayu harus bisa membangun
kekuatan, melakukan proses secara horizontal, dengan menjalin persatuan di kalangan puak-puak
Melayu serumpun yang teramat beragam itu. Proses perlawanan horizontal ini pada akhirnya akan
digunakan sebagai senjata melawan Erosentrisme, yakni dengan bersama-sama membangun perspektif
yang berbeda dalam memandang kemelayuan di mana kali ini paradigma Melayu dilihat dari perspektif
orang Melayu sendiri.

Sebagai wujud realisasi dari upaya-upaya perlawanan terhadap Erosentrisme yang sudah terlanjur akut,
portal Melayu yang kita harap dapat menjadi jaringan sosial online terbesar di bumi.
Www.MelayuOnline.com, yang merupakan produk Badan Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
(BKPBM), adalah instrumen yang paling tepat untuk membangun jejaring Melayu yang kuat karena
MelayuOnline.com dapat diakses dari seluruh penjuru dunia. Dengan menjunjung tinggi semangat
keberagaman Melayu, MelayuOnline.com terus memperjuangkan untuk menyatukan dan membumikan
Melayu agar dapat menjalankan peran sejatinya sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia dalam
rangka ikut berusaha membangun peradaban internasional.
MelayuOnline.com merupakan perwujudan konkret melawan Erosentrisme. Dengan kerja-kerja budaya
yang sama sekali tidak mengenal usai MelayuOnline.com siap mengabdikan diri sebagai media perantara
dunia Melayu untuk kemajuan seluruh dunia.

Referensi:
Abdullah, Irwan.
2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebuda¬yaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adeney, T. Bernard.
2005 “Tantangan dan Dampak Kebuda¬yaan Modern dan Pasca Modern”, dalam Benard T. Adeney (ed.).
Sociology of Re¬ligion Reader.Yogyakarta: CRCS.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri.


2007 “Wacana Pembuka: Mencari Jati Diri Melayu”, dalam Koentjaraningrat, dkk., Masyarakat Melayu
dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
(BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.

Ansor, Muhammad.
2005 “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas”, dalam Baharuddin Husin dan Dasril
Affandi (eds), Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Jakarta: Persatuan Masyarakat Riau-Jakarta.

Halimi, Ahmad Jelani.


2008 Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors.

Husny, Tengku H.M. Lah.


1975 Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisir Deli Sumatra Timur, 1612-1950.
Medan: BP Husny.

Imron, D. Zamawi.
2007 “Melayu di Mata Non-Melayu”, dalam Koentjaraningrat, dkk. Masyarakat Melayu dan Budaya
Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama
dengan Adicita Karya Nusa.
Kartodirdjo, Sartono.
1999 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500—1900, Dari Emporium sampai Imperium, Jilid 1. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

Lutfi, H. Muhctar.
2007 “Melayu dan Non-Melayu: Masalah Pembauran Kebudayaan”, dalam Koentjaraningrat, dkk.
Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa.

Melebek, Abdul Rashid dan Moain, Amat Juhari.


2006 Sejarah Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho.


1993 Sejarah Nasional Indonesia, Seri III. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C.
1995 Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Salleh, Muhammad Haji (ed.).


1997 Sulalat Al-salatin Ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja (Sejarah Melayu) /Karangan Tun Seri Lanang.
Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Suwardi.
1991 Budaya Melayu dalam Perjalanannya Menuju Masa Depan. Pekanbaru: Yayasan Penerbit MSI.

Anda mungkin juga menyukai