Anda di halaman 1dari 40

PEDOMAN KESELAMATAN & KESEHATAN KERJA

PADA KOMUNITAS PEMULUNG

Penulis:

Ns. Cut Husna, S.Kep., MNS


Ns. Maulina, M.Kep, Sp. Kep. Kom
Ns. Riski Amalia, S.Kep., M.Kep
Ns. Rahmalia Amni, S.Kep., M.Kep

Hak Cipta @ 2021, Universitas Syiah Kuala

Nomor permohonan Hak Cipta: EC00202150349


Tanggal permohonan Hak Cipta: 27 September 2021

Tanggal diumumkan: 27 September 2021


Nomor pencatatan hak cipta: 000276392

Dilarang menerbitkan atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun, baik secara elektronik
maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan
menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2021

2
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia kesehatan dan keselamatan kepada kita sehingga buku yang berjudul
“Pedoman Keselamatan & Kesehatan Kerja Pada Komunitas Pemulung”
dapat selesai dikerjakan. Buku ini diterbitkan sebagai pedoman bagi perawat
di Puskesmas dan Dinas terkait untuk dapat meningkatkan keselamatan dan
kesehatan kerja bagi komunitas pemulung. Buku ini berisi tentang konsep
keselamatan dan kesehatan kerja, penyakit yang lazim pada komunitas
pemulung dan penanganannya, dan alat perlindungan diri yang harus
digunakan oleh komunitas pemulung dalam melakukan aktivitas.
Buku ini telah menerima masukan dari beberapa perawat di bidang
Keperawatan Medikal Bedah, Keperawatan Komunitas, dan Keperawatan
Gawat Darurat berhubungan dengan topik yang dibahas. Buku ini diutamakan
untuk perawat, kader kesehatan, dan dinas terkait dalam meningkatam perilaku
keselamatan dan kesehatan kerja bagi pemulung. Penulisan buku ini
memperoleh dukungan dari semua pihak, oleh karena itu penulis
menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng selaku Rektor Universitas Syiah Kuala
2. Prof. Dr. Taufik Fuadi Abidin, S.Si, M.Tech selaku Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala.
3. Dr. Hajjul Kamil, S.Kp., M.Kep selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Syiah Kuala.
4. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota Banda
Aceh.
5. Keucik Gampong Jawa Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh yang
telah memfasilitasi pembuatan buku ini.
6. Seluruh Dosen, staf, dan mahasiswa Fakultas Keperawatan yang telah
membantu pembuatan buku ini.
7. Seluruh kader kesehatan dan pemulung di TPA Gampong Jawa
Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh.
Akhirnya penulis berharap buku ini dapat dalam menerapkan
keselamatan dan kesehatan kerja, khususnya bagi para pemulung di TPA
dapat mengaplikasi alat perlindungan diri dalam menjaga keselamatan dan
kesehatan kerja. Atas segala bantuan yang telah diberikan penulis
mengucapkan terima kasih.

Banda Aceh, September 2021


Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................... 2
PRAKATA....................................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................... 4

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 5

BAB 2 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) ............................ 7


A. Definisi keselamatan dan kesehatan kerja ....................................... 7
B. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja ........................................ 8
C. Fungsi keselamatan dan kesehatan kerja ........................................ 8
D. Prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja ............................ 9
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan
kerja………………………………………………………………………10

BAB 3 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KOMUNITAS


PEMULUNG .................................................................................................. 11
A. Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pemulung ....... 11
B. Gangguan Kesehatan Pada Komunitas Pemulung ........................ 12
C. Upaya Menjaga Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pemulung
……………………………………………………………………………23
D. Peran Stakeholders pada K3 komunitas pemulung ....................... 23

BAB 4 ALAT PELINDUNGAN DIRI PADA KOMUNITAS PEMULUNG ...... 26


A. Pengertian Alat Perlindungan Diri .................................................. 26
B. Syarat-syarat alat pelindung diri (APD) .......................................... 26
C. Jenis alat pelindung diri (APD) ....................................................... 27

BAB 5 PENUTUP ......................................................................................... 31


A. Simpulan ........................................................................................ 31
B. Saran ............................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33


BIOGRAFI PENULIS .................................................................................... 37

4
BAB 1
PENDAHULUAN

Sampah menjadi permasalahan nasional yang saat ini terjadi di


Indonesia. Faktor penyebab penumpukan sampah karena adanya peningkatan
jumlah sampah seperti pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi.
Selain itu, hal lain yang sering menyebabkan masalah sampah adalah karena
kurangnya pengertian masyarakat terhadap akibat-akibat yang dapat
ditimbulkan oleh sampah serta minimnya dana dari pemerintah untuk
pengelolaan sampah (Jumarianta, 2018). Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah menjelaskan bahwa ada beberapa macam sampah yang dapat
dikelola seperti sampah rumah tangga, sampah sejenis rumah tangga,dan
sampah spesifik (mengandung bahan berbahaya, limbah berbahaya, akibat
bencana, puing bongkaran bangunan, belum dapat diolah dan sampah yang
timbul secara tidak periodik).
Menurut Putri, Joko dan Dangiran (2017) sampah yang menumpuk lebih
dari 200.000 ton/hari. Sampah tersebut harus segera ditangani dengan baik
sehingga tidak menimbulkan pemasalahan kesehatan masyarakat yang
berada disekitarnya. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius
terkait pengelolaan sampah. Salah satu bentuk kepedulian negara dalam
menghadapi permasalahan lingkungan, terutama mengenai sampah dapat
dinilai dari lahirnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pasal 12 ayat 1, yang ditindaklanjuti dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,
dimana di dalamnya diatur mengenai tugas dan wewenang pengelolaan
sampah rumah tangga,sejenis rumah tangga dan spesifik (Undang-undang RI,
2008).
Salah satu pekerjaan yang terlibat langsung dalam pengelolaan sampah
adalah sebagai pemulung. Pemulung merupakan bagian penting dalam
program daur ulang sampah. Menurut Hutagalung, Santi, dan Marsaulina
(2015) setiap hari pemulung melakukan pekerjaannya untuk mencari nafkah
dengan jalan memungut serta memanfaatkan barang-barang bekas (seperti
puntung rokok, plastik, kardus bekas dan sebagainya) kemudian menjualnya
kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang yang
berguna. Secara tidak langsung, pemulung juga telah membantu mengurangi
biaya pemerintah untuk pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan sampah
dari masyarakat. Adanya pemulung dapat mengurangi volume sampah yang
dikumpulkan, diangkut dan sampah yang diolah menjadi lebih sedikit.
Pekerjaan pemulung identik dengan bahan-bahan yang kotor dan
terkadang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Oleh karena itu, pemulung
dalam melakukan pekerjaanya harus tetap terjamin kesehatan dan
keselamatan saat bekerja. Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) pada

5
pemulung dapat dilakukan dengan mengurangi kontak dengan bahan
berbahaya ataupun kotor. Salah satu yang dapat menjamin kesehatan dan
keselamatan kerja pada pemulung adalah penggunaan alat pelindung diri
(APD) yang sesuai. Penggunaan APD tersebut dapat mengurangi kontak
langsung dengan bahan-bahan yang berbahaya ditempat kerja sehingga dapat
mengurangi masalah kesehatan akibat kerja (Sari et al., 2016).

6
BAB 2
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja telah ada sejak zaman dahulu, hal ini
terbukti adanya pembuatan kampak dari batu yang digunakan oleh manusia
purba untuk melindungi diri dan berburu. Seiring perkembangan zaman K3
telah banyak diterapkan di berbagai negara dengan perkembangan indutri-
industri yang sangat maju. Motivasi utama dalam melaksanakan keselamatan
dan kesehatan kerja adalah untuk mencegah kecelakaan kerja dan penyakit
yang ditimbulkan oleh pekerjaan. Oleh karena itu perlu melihat penyebab dan
dampak yang ditimbulkannya (Redjeki, 2016).
Upaya kesehatan kerja dilakukan untuk penyeserasian antara kapasitas,
beban, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat
tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat disekelilingnya, agar
diperoleh produktivitas kerja yang optimal. Kapasitas, beban dan lingkungan
kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja, dimana
hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan
menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal (Nies & McEwen, 2019).

A. Definisi keselamatan dan kesehatan kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu upaya yang dapat
dilakukan untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani
maupun rohani. Dengan keselamatan dan kesehatan kerja maka para
pekerja dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman serta
mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang tinggi.
Sistem kerja yang dikelola dengan baik seperti pengendalian manajemen
dan standar kerja yang sesuai akan membuat suatu pekerjaan dan orang
yang melakukan pekerjaan akan terkendali dan tidak akan menimpa yang
lainnya seperti kesalahan orang dan seterusnya, sehingga kecelakaan
yang mengakibatkan cedera tidak akan terjadi (Redjeki, 2016).
1. Keselamatan kerja
Keselamatan kerja merupakan keselamatan yang berhubungan
dengan alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat
kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan
(Redjeki, 2016). Keselamatan kerja menyangkut segala proses
perlindungan pekerja terhadap kemungkinan adanya bahaya yang
dapat ditimbulkan dalam lingkungan pekerjaan.
2. Kesehatan kerja
Menurut Redjeki (2016) kesehatan kerja merupakan suatu kondisi fisik,
mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau
gangguan kesehatan melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk
berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya. Risiko kesehatan

7
dapat terjadi karena adanya faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang
bekerja melebihi periode waktu yang ditentukan dan lingkungan yang
menimbulkan stres atau gangguan fisik. Situasi dan kondisi suatu
pekerjaan, baik tata letak tempat kerja atau material-material yang
digunakan, memiliki risiko masing-masing terhadap kesehatan pekerja.
3. Kecelakaan kerja
Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian tak terduga yang dapat
menyebabkan cedera atau kerusakan pada pekerja, Bagi pekerja,
cedera akibat kecelakaan dapat berpengaruh terhadap kehidupan
pribadi, kehidupan keluarga, dan kualitas hidup dari pekerja. Menurut
Suma’mur (1967), dalam Redjeki (2016) menyatakan bahwa suatu
kecelakaan yang terjadi ditempat kerja harus diteliti dan ditemukan
penyebabnya sehingga dapat dilakukan usaha untuk mencegah
terjadinya kecelakaan tersebut terulang kembali. Pencegahan
kecelakaan bertujuan untuk mengurangi peluang terjadinya
kecelakaan hingga mutlak minimum, mengurangi bahaya, serta risiko
yang dihasilkan dalam suatu kegiatan pekerjaan (Redjeki, 2016).

B. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja


Praktik keselamatan dan kesehatan kerja yang baik tidak hanya
melihat salah satu bahaya dan cara mengatasinya, tapi membuat sebuah
sistem atau program yang memungkinkan untuk mengidentifikasi semua
bahaya dan risiko di perusahaan serta cara penangganannya secara
berkelanjutan dengan melibatkan kemitraan para pekerja (ILO, 2013).
Menurut Redjeki (2016), program keselamatan dan kesehatan kerja yang
diterapkan memiliki tujuan sebagai berikut,yaitu:
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan
pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi dan
produktivitas nasional.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja
tersebut.
3. Memelihara sumber produksi agar dapat digunakan secara aman dan
efisien.

C. Fungsi keselamatan dan kesehatan kerja


Menurut ILO (2013) penyakit akibat kerja dan berhubungan dengan
pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan dilingkungan kerja. Program
keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dibuat wajib dipatuhi dan
dilaksanakan oleh pengusaha maupun pekerja sebagai upaya mencegah
timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Adapun fungsi
keselamatan dan kesehatan kerja menurut Redjeki (2016), yaitu:

8
1. Fungsi keselamatan kerja, meliputi:
a. Mengantisipasi, identifikasi, dan evaluasi kondisi serta praktik
berbahaya.
b. Membuat desain pengendalian bahaya, metode, prosedur, dan
program.
c. Menerapkan, mendokumentasikan, dan menginformasikan rekan
lainnya dalam hal pengendalian bahaya dan program
pengendalian bahaya.
d. Mengukur dan memeriksa kembali keefektifan pengendalian
bahaya dan program pengendalian bahaya.

2. Fungsi kesehatan kerja, meliputi:


a. Mengidentifikasi dan melakukan penilaian terhadap risiko dari
bahaya kesehatan di tempat kerja.
b. Memberikan saran terhadap perencanaan dan pengorganisasian
dan praktik kerja termasuk desain tempat kerja.
c. Memberikan saran, informasi, pelatihan, dan edukasi tentang
kesehatan kerja dan APD.
d. Melaksanakan survei terhadap kesehatan kerja.
e. Terlibat dalam proses rehabilitasi.
f. Mengelola pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan
tindakan darurat.

D. Prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja


Menurut Nies dan McEwen (2019), prinsip-prinsip kesehatan dan
keselamatan dalam bekerja meliputi beberapa aspek, antara lain relaksasi
(posisi duduk yang baik dan benar), pencahayaan, ruangan komputer dan
kualitas udara, gangguan suara, kesehatan dan keamanan kerja, dan
kebiasaan dalam bekerja. Upaya kesehatan kerja meliputi ;
mengidentifikasi permasalahan, mengevaluasi, dan dilanjutkan dengan
tindakan pengendalian.
Untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya
dilingkungan kerja ditempuh tiga langkah utama ILO (2013), yaitu:
1. Pengenalan lingkungan kerja.
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara
melihat dan mengenal dan ini merupakan langkah dasar yang pertama
kali dilakukan dalam upaya kesehatan kerja
2. Evaluasi lingkungan kerja
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-potensi
bahaya yang mungkin timbul,sehingga dapat dijadikan alat untuk
menentukan prioritas dalam mengatasi masalah.

9
3. Pengendalian lingkungan kerja
Dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan pemajanan
terhadap zat atau bahan yang berbahaya dilingkungan kerja. Kedua
tahapan sebelumnya, pengenalan dan evaluasi, tidak dapat menjamin
sebuah lingkungan kerja yang sehat. Jadi hanya dapat dicapai dengan
teknologi pengendalian yang adekuat untuk mencegah efek kesehatan
yang merugikan di kalangan para pekerja.

Penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit pada


penyakit akibat kerja ILO (2013), yaitu :
1. Peningkatan kesehatan (health promotion). Misalnya: pendidikan
kesehatan, meningkatkan gizi yang baik, pengembangan kepribadian,
rekreasi, lingkungan kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan
pendidikan seksual, konsultasi tentang keturunan dan pemeriksaan
kesehatan periodik.
2. Perlindungan khusus (spesific protection). Misalnya: imunisasi,
hiegiene perorangan, sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap
bahaya dan kecelakaan kerja.
3. Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan tepat (early diagnosis and
prompt treatment). Misalnya: diagnosis dini setiap keluhan dan
pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk mencegah
terjadi komplikasi.
4. Membatasi kemungkinan kecacatan (disability limitation). Misalnya:
memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif,
mengobati tenaga kerja secara sempurna, dan pendidikan kesehatan.
5. Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan
memperkerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat.

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja


Menurut Stanhope dan Lancaster (2016)menjelaskan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja berupa:
1. Pekerja (Host). yang mempengaruhi pekerja terhadap keselamatan
dan kesehatan kerja yaitu karakteristik: usia, jenis kelamin, memiliki tau
tidak memilikipenyakit kronis, aktifitas di tempat kerja, status imunologi,
etnik, dan gaya hidup.
2. Faktor risiko bahaya di tempat kerja (Health Hazards).
Dapat berupa faktor kimia, fisika, biologi, enviromechanical dan
psikologi, dan terdapat pada hampir semua bentuk institusi kerja.
3. Lingkungan sangat mempengaruhi interaksi antara host dan agent dan
dapat menjadi mediasi antara host dan agent.

10
BAB 3
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KOMUNITAS
PEMULUNG

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk di daerah baik di perkotaan


maupun di pedesaan semakin meningkat. Seiring peningkatan jumlah
penduduk dapat menyebabkan meningkatnya produksi sampah. Selain
peningkatan jumlahpenduduk, hal lain yang dapat meningkatkan produksi
sampah antaralain sistem pengelolaan sampah, letakgeografis, jenis sampah,
pengambilanbahan-bahan sampah untuk dipakaikembali, kebiasaan
masyarakat, musim/iklim, waktu, teknologi, sosialekonomi, dan budaya
(Shareefdeen, 2012).
Dalam proses pengolahan dan pemilahan sampah yang dilakukan di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) turut berperan para pemulung yang mencari
nafkah mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual kembali. Menurut
(Hutagalung, Santi, dan Marsaulina, 2015), pemulung memanfaatkan TPA
sebagai tempat untuk mencari nafkah dengan jalan memungut serta
memanfaatkan barang-barang bekas (seperti puntung rokok, plastik, kardus
bekas dan sebagainya) kemudian menjualnya kepada pengusaha yang akan
mengolahnya kembali menjadi barang yang berguna.
Para pemulung dalam melakukan pekerjannya terkadang jarang
memperhatikan kesehatan dan keselamatan diri maupun lingkungan
sekitarnya. Bau tidak sedap, benda-benda berbahaya yang mengandung zat
kimia dan bakteri di tempat tumpukan sampah, dianggap tidak menjadi risiko
bagi kesehatan mereka (Herlinda, 2010).

A. Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pemulung


Permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja yang sering terjadi
pada pemulung antara lain (Cointreau, 2006):
1. Cedera punggung dan sendi karena mengangkat kontainer berisi
limbah berat dan mendorong timbunan sampah serta pemuatan yang
berat.
2. Penyakit pernapasan akibat menelan bahan organik yang mudah
menguap selama pengumpulan limbah, dan dari bekerja dalam kondisi
berasap dan berdebu di tempat pembuangan sampah terbuka.
3. Infeksi dari kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi,
gigitan anjing dan hewan pengerat, atau limbah makanan hewan.
4. Luka tusuk yang menyebabkan tetanus, hepatitis, dan infeksi HIV.
5. Cedera di tempat pembuangan karena penurunan permukaan tanah,
kebakaran bawah tanah, dan tanah longsor.
6. Sakit kepala dan mual akibat kondisi udara yang beracun ditempat
pengumpulan sampah.
7. Keracunan udara akibat pembakaran bahan dengan baterai, cat, dan
solder yang mengandung timbal.

B. Gangguan Kesehatan Pada Komunitas Pemulung


Gangguan kesehatan dari aktivitas memulung dapat terjadi pada
berbagai sistem tubuh antara lain sistem pernapasan, pencernaan,
intergumen (kulit), peninderaan (mata, hidung dan telinga), dan
musculoskeletal (otot dan tulang). Untuk penjelasan masing-masing
penyakit akibat kerja dari memulung dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sistem pernapasan
Pemulung sebagai pekerja informal yang sangat berisiko terhadap
infeksi berbagai penyakit termasuk infeksi pernapasan akibat terpapar
gas yang berbahaya dan menurunkan kualitas udara disekitar TPA.
Sampah sebagai sumber infeksi berbagai penyakit karena
mengeluarkan beberapa gas yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Menurut Singga (2014) mengatakan bahwa proses dekomposisi
sampah membentuk berbagai jenis gas yang berbahaya seperti
hidrogen sulfida (H2S), karbon monoksida (CO), ammonia (NH3),
fosfor (PO4), sulfur oksida (SO4), dan metana (CH4). Gas-gas tersebut
menimbulkan bau busuk dan menurunkan kualitas udara di lingkungan
TPA tersebut sehingga dapat mengganggu sistem penapasan.
Beberapa penyakit gangguan pernapasan yang dapat ditimbulkan
dari kualitas udara yang buruk adalah batuk-batuk (98%), hidung iritasi
dan gatal (66%), sesak napas (55%), iritasi tenggorokan (62%), dan
jalan pernapasan kering dan panas (56%). Beberapa faktor yang
berhubungan dengan masalah kesehatan tersebut yaitu usia, lokasi
tempat tinggal, lamanya bekerja, dan masa kerja dari pemulung
(Singga, 2014a). Selanjutnya, hasil penelitian Putri, Joko and Dangiran
(2017) melaporkan bahwa hasil survey terhadap 15 pemulung
terhadap keluhan gangguan pernapasan ditemukan 73% pemulung
mengalami keluhan batuk, 26% pemulung mengalami keluhan nyeri
dada, dan 40% pemulung mengalami keluhan sesak napas.
sedangkan pemulung yang menggunakan alat pelindung pernapasan
sebesar 26%.

12
Gambar 1. Pasien batuk
Sumber: https://www.popmama.com/life/health/syafira-
akhtari/harus-paham-cara-membedakan-batuk-biasa-dengan-gejala-
covid

Selanjutnya, gangguan pernapasan pada pemulung dapat berupa


batuk kering, batuk berdahak, napas yang mengeluarkan bunyi mengi,
sesak napas, nyeri dada, flu dan batuk. Masa kerja (>4 tahun/hari) dan
lama kerja (>9 jam/hari) dari pemulung berkorelasi positif dengan
infeksi pernapasan karena akumulasi bahan pencemar dan gas-gas
berbahaya dalam paru-paru. Berdasarkan penelitian tersebut
ditemukan 66% dari pemulung mangalami keluhan gangguan
pernapasan. Hasil penelitian ditemukan bahwa 60% para pemulung
mengalami gangguan pernapasan seperti batuk pilek dan sakit
tenggorokan (Panjaitan et al., 2020).

Gambar 2. Pasien sesak napas


Sumber:https://www.google.com/search?q=sesak+nafas&source=lnm
s&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjQyqyH54_zAhWUjeYKHZbXAng
Q_AUoAXoECAEQAw&biw=1366&bih=657&dpr=1#imgrc=ny7Cjriv8a
kVpM

Beberapa pencegahan dan penanganan pada gangguan


pernapasan adalah menggunakan alat perlindungan diri pernapasan

13
seperti masker kain atau medis untuk melindungi para pemulung dari
paparan gas-gas berbahaya dan kualitas udara yang buruk sehingga
dapat mencegah infeksi pernapasan. Oleh karena itu sangat
diperlukan dukungan dan upaya preventif dan promotif dari perawat
dan dinas terkait (kesehatan, kebersihan dan lingkungan hidup, dan
ketenagakerjaan) dalam meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
dan pemakaian alat perlidungan diri pernapasan melalui upaya
peningkatan pengetahuan, ketermpilan dan perilaku dari para
pemulung untuk dapat hidup sehat dan bekerja secara aman. Hal ini
sesuai dengan pendapat (Almasi et al., 2019) mengatakan bahwa 83%
pemulung mengatakan internet berperan dalam meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dari para pemulung sehingga
mereka dapat mencegah dan meningkatkan kesehatan melalui
penggunaan alat perlindungan diri dan pencegahan terhadap
gangguan kesehatan.

Gambar 3. Penggunaan berbagai masker untuk alat perlindungan


pernapasan
Sumber:
https://www.google.com/search?q=alat+perlindungan+pernapasan&s
ource=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjFmPaF6I_zAhV_4nMB
HXyvAM8Q_AUoAXoECAEQAw&biw=1366&bih=657&dpr=1#imgrc=
qIve5Uol8oHPyM

2. Sistem percernaan
a. Cacingan
Cacingan adalah suatu kondisi dimana tubuh khususnya
usus pada saluran pencernaan terinfeksi oleh cacing. Berbagai
cacing dapat menginfeksi usus, diantaranya Ancylostoma
duodenale, Ascaris lumbricoides, dan Trichuris trichiura.
Kecacingan permasalahan Kesehatan yang sering dialami oleh
komunitas pemulung sejak dulu hingga sekarang. Hal tersebut
telah dibuktikan melalui berbagai penelitian yang dilakukan di
berbagai daerah, salah satunya di TPA Antang Makasar. Hasil

14
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 63,3% pemulung (anak-
anak) mengalami kecacingan, dimana mayoritas terinfeksi
Trichuris trichiura, sedangkan sebagian lainnya terinfeksi
Ancylostoma duodenale, serta gabungan Ascaris lumbricoides
dan Trichuris trichiura (Waqiah, 2010). Hal serupa juga ditemukan
dalam penelitian Ikawati (2013) di TPA Penujah, Kabupaten
Tegal, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan 53,33% pemulung terinfeksi cacing.
Kecacingan dapat dicegah pada komunitas pemulung,
diantaranya dengan melakukan personal hygiene secara benar
(Waqiah, 2010) melalui upaya:
1) Cuci tangan dengan bersih di air mengalir tiap selesai
melakukan tindakan memulung, serta sebelum makan atau
menjamah makanan.
2) Menggunakan Alat pelindung diri secara lengkap sesuai
ketentuan disaat memulung, baik sarung tangan karet, sepatu
boat, masker dan lainnya.
3) Memotong kuku secara teratur seminggu sekali.
4) Jangan membiasakan diri menggigit atau menghisap jari
tangan, apalagi dalam kondisi kotor.
5) Menjaga kebersihan lingkungan dan rumah tempat tinggal,
serta fasilitas didalamnya (kasur, sprei, bantal dijemur secara
berkala).

Selain upaya pencegahan, perlu juga diketahui berbagai upaya


penatalaksanaan jika mengalami infeksi cacing (Waqiah, 2010;
Ikawati, 2013), diantaranya:
1) Jika dicurigai mengalami kecacingan, maka segera mencari
pengobatan ke fasilitas pelayanan Kesehatan terdekat, agar
mendapatkan pengobatan (pemberian obat cacing) segera,
sehingga dampak buruk bisa diminimalisir.
2) Tidak disarankan mengkonsumsi obat-obatan secara bebas.

b. Diare
Diare merupakan gangguan pencernaan yang juga sangat
sering dialami para pemulung (Axmalia & Mulasari, 2020). Diare
adalah suatu kondisi dimana terjadi perubahaan konsistensi tinja
secara tiba-tiba maupun persisten akibat kandungan air didalam
tinja melebihi normal, disertai peningkatan frekuensi defekasi
lebih dari 3 kali dalam 24 jam (Arifputera et al., 2014). Kasus
diare pada komunitas Pemulung di TPA Desa Gampong Jawa,
Kota Banda Aceh cukup tinggi, yaitu sebanyak 30,0%
(Maysulastri, 2016).

15
Diare dapat disebabkan oleh banyak hal, khususnya pada
komunitas pemulung kejadian diare dicurigai erat kaitannya
dengan infeksi bakteri (Shigella sp., Salmonella sp., E. Coli,
Vibrio Sp.), parasit (E. hystolytica, G. Lamblia, Balantidium Coli),
Jamur (Candida sp.), serta infeksi cacing (Ascaris sp., Trichuris
sp., Strongyloides), buruknya perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), serta lingkungan tempat tinggal yang kotor (Arifputera
et al., 2014; Axmalia & Mulasari, 2020; Maysulastri, 2016).
Pencegahan diare pada komunitas pemulung dapat
dilakukan dengan berbagai hal seperti layaknya pencegahan
kecacingan yang telah dijelaskan diatas. Tetapi dalam
pencegahan diare hal utama yang dapat dilakukan adalah upaya
peningkatan personal hygiene, karena berdasarkan penelitian
dibeberapa TPA menunjukkan bahwa kebiasaan tidak
melakukan personal hygiene dengan baik berpengaruh
signifikan terhadap gangguan pencernaan atau diare pada
komunitas pemulung (p<0,05), khususnya telah dibuktikan di
TPA Gampong Jawa, Kota Banda Aceh (Kafrawi & Sutomo,
2012).
Lalu, untuk penanganan diare dapat dilakukan melalui
berbagai tindakan berikut ini (Arifputera et al., 2014):
1) Rehidrasi (mengkonsumsi cairan untuk mengganti cairan
yang hilang akibat diare)
2) Mengkonsumsi makanan yang sehat, tidak mengandung
gas, pedas, dsb.
3) Disarankan untuk berobat ke fasilitas Kesehatan agar
mendapatkan terapi antibiotik, obat anti diare, serta zinc (zat
besi).

3. Sistem integumen
Prevalensi penyakit sistem integument (sistem kulit) paling
banyak terjadi di beberapa negara di dunia antara lain terjadi masalah
kesehatan pada kulit, yaitu: penyakit dermatitis, skabies, dan
penyakit kulit akibat jamur (Karimkhani et al., 2017). Penderita
penyakit kulit pada pemulung akan terus mengalami peningkatan
karena TPA dengan sistem pengelolaan sampah yang masih kurang
baik sebagai sumber perkembangbiakan mikoorganisme, seperti
bakteri, virus, jamur (Mustikawati et al., 2012). Hasil penelitian dari
Seppina et al. (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar pemulung
mengalami gatal-gatal pada kulit (52%).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Nurcandra (2019)
melalui metode wawancara dan observasi didapatkan hasil bahwa
sebagian besar pemulung masih kurang dalam menerapkan personal

16
higiene, seperti: kebiasaan tidak mencuci tangan setelah bekerja,
jarang menggunakan sabun, dan tidak menggunakan air mengalir,
serta masih kurang dalam penggunaan alat pelindung diri seperti
pakaian lengan panjang yang hanya sebagian pekerja yang
menggunakannya, ada yang menggunakan sepatu boot dan ada
yang hanya menggunakan sepatu kain, menggunakan topi, ada yang
tidak menggunakan helm pelindung atau topi penutup kepala.
Pekerja sampah sangat berisiko mengalami kecelakaan kerja saat
menangani sampah di tempat sampah yang banyak terdapat benda
tajam dan berbahaya dapat membawa berbagai jenis penyakit
(Prasetyo et al., 2021). Hasil penelitian Rimantho (2015) menyatakan
bahwa sebanyak 92% pemulung mengalami luka tusuk akibat tidak
menggunakan sarung tangan. Luka didefinisikan sebagai
terputusnya kontinuitas jaringan tubuh oleh sebab-sebab fisik,
mekanik, kimia dan termal. Luka, baik luka terbuka atau luka
tertutup.Keluhan yang sering terjadi pada pemulung meliputi: luka
gores, terpelintir, luka sobek yang disebabkan baik karena jatuh
terpeleset maupun luka oleh benda tajam yang ada di dalam sampah
(Work & Kuijer, 2015). para pemulung memerlukan APD salah
satunya yaitu menggunakan sepatu karet (sepatu boot) dan sarung
tangan pelindung dapat mencegah terjadinya luka akibat kecelakaan
kerja pada pemulung (Rimantho, 2015).
Penanganan pada luka yang dapat dilakukan secara sederhana
meliputi: 1) baringkan penderita bila kehilangan banyak darah dan
lukanya cukup parah, 2) menghentikan perdarahan dengan teknik
menekan (deep) luka dengan kain bersih, 3) tenangkan penderita, 4)
lakukan teknik perawatan luka dengan dengan tahapan sebagai
berikut: Cuci tangan, Gunakan sarung tangan (handscoen) steril,
bersihkan luka dan sekitar luka dengan NaCl 0,9% sekali usap
menggunakan kassa atau kapas dari atas ke bagian bawah, dimulai
dari bagian tengah dan berlanjut ke bagian luar. gunakan kassa atau
kapas yang berbeda untuk setiap kali gerakan membersihkan luka
dan buang ke kantong plastik, keringkan kulit sekitar dengan kassa
steril, kaji keadaan luka dan resiko komplikasi, tutup luka dengan
kassa dan fiksasi dengan plester luka, fiksasi balutan dengan
penutup luka dan balut, buka sarung tangan, rapihkan perlengkapan,
dan cuci tangan. Langkah terakhir segera bawa penderita ke tempat
layanan kesehatan terdekat, seperti:klinik, Puskesmas atau ke
Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan yang lebih efektif dan
optimal (Gitarja, 2019; Barber, 2020).

17
Gambar 4. Luka Tusuk
Sumber:
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fww
w.orthobullets.com%2Ffoot-and-ankle%2F7026%2Ffoot-
puncture-
wounds&psig=AOvVaw3ID71CvOtBcidqvZ41OqgB&ust=163
2494797508000&source=images&cd=vfe&ved=0CAkQjRxqF
woTCLih4qKrlfMCFQAAAAAdAAAAABAD

Skabies adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh tungau


(Sarcoptes scabies) betina. Infeksi ditemukan di pada jaringan di
sela-sela jari tangan, permukaan sebelah dalam pergelangan tangan
dan siku, ketiak, puting wanita, penis, garis ikat pinggang, dan lipatan
paha (Lemone, 2015; Smeltzer&Bare, 2010). Infeksi skabies
mempengaruhi individu dari semua kelas ekonomi, termasuk
pemulung. Hasil penelitian Apriyanti (2018) menyatakan bahwa
terdapatnya hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian
scabies pada pemulung karena sebagian besar pemulung (70,8%)
jarang memakai APD.
Tindakan pencegahan scabies meliputi: mencuci pakaian dan
seprai dengan air sabun dan air hangat, atau mencuci kering pakaian
dan seprai tersebut (dry cleaning), menyeterika pakaian dapat
membunuh setiap telur kutu, menjaga kebersihan kulit, kebiasaan
mencuci tangan dan kuku, frekuensi sering mengganti pakaian, tidak
memakai handuk yang bersamaan, dan frekuensi mengganti sprei
tempat tidur (Lemone, 2015; Prayogi & Kurniawan, 2016).
Penanganan skabies menurut Lemone (2015), yaitu: menggunakan
obat topical yang mengandung gama benzen heksaklorida, malation
(losion Prioderm) atau permetrin (NIX) pada area tubuh dan pubis,
menggunakan sampo pada rambut yang mengandung lindan, sepeti:
Kwell, sisir bergigi halus dapat digunakan untuk menyisir telur kutu
yang mati dari batang rambut, gunakan terapi tunggal losion lindan
atau Kwell yang dioleskan pada seluruh permukaan tubuh selama 12
jam.

18
Gambar 5. Skabies
Sumber: https://cdn-2.tstatic.net/jatim/foto/bank/images/ilustrasi-
penyakit-scabies.jpg

Dermatitis kontak merupakan kasus Penyakit Kulit Akibat Kerja


(PKAK) yang paling sering terjadi melebihi dari 85% diantara penyakit
dermatitis lainnya (Prescott et al., 2008). Dermatitis kontak
merupakan penyakit dermatitis dengan reaksi peradangan kulit
biasanya disebabkan oleh respon tingginya sensitivitas
(hipersensitivitas) atau iritasi kimia yang disebabkan oleh kulit tubuh
kontak secara langsung dengan bahan pemicu alergen dan iritasi
(Lemone, 2015; Witasari & Sukanto, 2014). Dermatitis kontak
berdasarkan jenis dan patogenesis dibagi atas dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak iritan disebabkan
oleh bahan iritasi yang dapat merusak kulit, lapisan lemak permukaan
kulit hilang, kandungan air berkurang sehingga kulit menjadi kering,
mudah retak dan terjadi dermatitis, sedangkan dermatitis alergi dapat
terjadi berdasarkan mekanisme hipersensitivitas tipe IV (Daili &
Menaldi, 2005). Penyakit dermatitis kontak disebabkan oleh zat
pewarna, parfum, tanaman beracun (ivy, oak, sumac), bahan kimia
dan logam. Penyakit dermatitis kontak pada pemulung disebabkan
selalu berkontak dengan sampah yang mengandung bahan-bahan
kontaktan, seperti rubber, kertas, beberapa bahan kayu, dan kaca
(Suryani, 2011). Penelitian Yurandi et al. (2021) didapatkan hasil
bahwa adanya hubungan factor riwayat penyakit kulit, masa kerja,
dan personal hygiene terhadap kejadian dermatitis kontak.
Tindakan pencegahan yang dilakukan menurut Harahap (2000)
bertujuan untuk memelihara kebersihan kulit, maka kebiasaan hidup
sehat harus selalu diperhatikan, seperti: mandi secara teratur setiap
harinya, menjaga kebersihan pakaian, mandi menggunakan air yang
bersih dan sabun, menggunakan barang-barang keperluan sehari-
hari sendiri, makan makanan yang bergizi terutama banyak buah dan
sayur, dan menjaga kebersihan lingkungan. penyediaan air yang

19
bersih bagi pemulung, memperhatikan jam kerja, serta menggunakan
APD rutin setiap melakukan pekerjaan memulung (Srisantyorini &
Cahyaningsih, 2019).
Penanganan penyakit dermatitis kontak menurut Lemone
(2015), yaitu: 1) obat dan terapi tidak menyembuhkan penyakit,
namun hanya mengurangi gejala penyakit, 2) menghindari penyebab
sesuai dengan hasil uji tempel, obat sistemik hanya diberikan pada
keadaan sakit berat dengan lokasi luas,secara simtomatik, obat
topikal diberikan sesuai dengan prinsip terapi kulit, bila basah diberi
kompres (sol. Permanganas Kalikus 1:10.000 atau likuor Vieli) dan
bila kering dapat diberi krim atau salap (Daili & Menaldi, 2005), 3) kulit
yang kering dapat menyebabkan semakin luasnya pruritus sehingga
merangsang untuk menggaruk. menggaruk dapat menyebabkan
ekskoriasis sehingga dapat meningatkan terjadinya risiko infeksi, 4)
mengubah makanan (diet) atau lingkungan untuk menghindari kontak
dengan allergen, 5) oleskan sedian steroid selapis tipis pada kulit
yang sedikit lembab setelah mandi, 6) jika balutan oklusif diperlukan
maka bahan plastik dapat digunakan, 7) jangan pernah berhenti
mendadak pada saat menggunakan obat kortikosteroid oral. Ikuti
instruksi dari dokter untuk menurunkan dosis secara bertahap, dan 8)
Ketika menggunakan obat antihistamin berefek mengantuk maka
hindari alkohol dan berhati-hati pada saat mengemudi.

Gambar 6. Dermatitis kontak


Sumber: https://www.alomedika.com/wp-
ontent/uploads/2019/03/DKI.jpg

4. Sistem muskuloskeletal
Kecelakaan kerja ganguan sistem muskuloskeletal yang sering
dialami oleh para pemulung, yaitu tergores dan jatuh (58%),
sedangkan lainnya yaitu terpeleset (50%) (Singga, 2014b).
Pergelangan tangan dan nyeri punggung bawah merupakan gangguan
muskuloskeletal yang paling umum diderita yaitu mencapai angka 76%
(Rimantho, 2015). Masalah muskuloskeletal nyeri punggung bawah

20
lebih sering terjadi (42,9%) dibandingkan diare dan gatal-gatal pada
kulit (14,3%) (Prasetyo et al., 2021).
Nyeri punggung bawah bisa bersifat akut maupun kronik, yaitu
nyeri pada bagian tulang lumbar, lumbo-sakral, atau area sakroiliaka
punggung yang biasanya disebabkan oleh terkilir pada otot dan tendon
punggung karena peningkatan tekanan abnormal (Lemone, 2015;
Smeltzer & Barer, 2010). Nyeri punggung bawah sebagian besar
dialami oleh para pemulung karena proses pengumpulan sampah
secara manual yang membutuhkan kekuatan fisik yang tinggi dan
dilakukan terus-menerus berulang-ulang dengan posisi salah tidak
ergonomis, seperti memungut sampah-sampah dengan posisi
membungkuk, menopang, menarik, mengangkat, dan mendorong
gerobak sampah ke TPA (Rimantho, 2015; Putri et al., 2018). Hasil
penelitian Putri et al. (2018) menyatakan bahwa adanya hubungan
antara masa kerja beban kerja dan sikap kerja terhadap keluhan nyeri
punggung bawah pada pemulung di TPA Talang Gulo Kota Jambi.
Tindakan preventif untuk nyeri punggung, yaitu: 1) memiliki
program Latihan teratur untuk menjaga otot tetap kuat dan fleksibel,
terutama untuk memperkuat punggung bawah dan otot perut, 2)
peregangan sebelum bekerja di lapangan, jogging, dan berolahraga,
3) berhenti merokok, 4) menurunkan berat badan apabila diperlukan,
mempertahankan berat badan yang sehat dengan makan makanan
bergizi dikombinasi dengan asupan kalsium harian yang cukup, fosfor,
dan vitamin D untukmeningkatkan pertumbuhan tulang, 5)
mempertahankan postur yang tepat, , 6) mengangkat dengan menekuk
lutut daripada panggul, dan 7) mengurangi stress emosi yang
menyebabkan ketegangan otot (Keim & Kirkaldy-Willis, 2020).
Penanganan nyeri punggung bawah meliputi: pembatasan istirahat
dikombinasikan dengan Latihan yang disarankan oleh ahli terapi,
meredakan nyeri dengan ice bag atau heating pad yang dipasang pada
punggung, prosedur terapi fisik, antara lain terapi diatermi (terapi
panas dalam), ultransonografi, hidroterapi, dan unit stimulasi saraf
listrik transkutaneus (transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) (Lemone, 2015).

21
Gambar 7. Nyeri punggung bawah
Sumber:
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.tribun
news.com%2Fkesehatan%2F2018%2F11%2F27%2Fwaspadai-
nyeri-punggung-bagian-bawah-bisa-jadi-bahaya-jika-disertai-gejala-
ini&psig=AOvVaw3u5cCXWUAR-
C9vaVlrC8Js&ust=1632479371867000&source=images&cd=vfe&ve
d=0CAYQjRxqFwoTCJCl0t7xlPMCFQAAAAAdAAAAABAD

Dislokasi sendi atau sering dikenal dengan istilah keseleo atau


terkilir adalah suatu keadaan di mana permukaan sendi tulang yang
membentuk sendi posisi bergeser atau terlepas apabila tidak ditangani
dengan segera maka bisa menyebakan paralisis (kelumpuhan) saraf
dan kematian jaringan vaskuler akibat kurangnya pasokan oksigen dan
hilangnya pasokan darah ke area dislokasi. Dislokasi dibagi atas:
Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan persendian. Dislokasi
traumatik adalah kedaruratan orthopedi, karena struktur sendi yang
terlibat, aliran darah, dan saraf rusak susunannya dan mengalami stres
berat. (Smeltzer & Bare, 2010).
Tindakan pencegahan pada pemulung yang dilakukan sebagai
upaya untuk menurunkan masalah kesehatan pada sistem
muskuloskeletal, yaitu pada masalah kesehatan nyeri punggung
bawah dan dislokasi, yaitu selalu menggunakan APD pada saat
bekerja dan pengembangan metode kerja berdasarkan prinsip
ergonomik harus senantiasa dilakukan, yaitu pada proses
pemungutan, membawa sampah dan menarik gerobak sampah
(Rimantho, 2015). Penanganan dislokasi sendi meliputi:
mengistirahatkansendi, kompresi dengan es atau air hangat selama 15
menit, peninggian area dislokasi untuk mencegah pembengkakan,
pembatasan pengangkatan berat, dan adanya program terapi fisik
ringan selama proses rehabilitasi oleh ahli terapi (Berman and Kozier,
2009; Lemone, 2015).

22
C. Upaya Menjaga Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Pemulung
Pada dasarnya pemulung mengetahui bahwa kondisi pekerjaan dan
tempat bekerjanya adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan, namun
faktanya banyak perilaku pemulung selama bekerja yang tidak
mencerminkan pengetahuan mereka tersebut seperti tetap menggunakan
sarung tangan yang sama berhari-hari saat bekerja walaupun mereka tahu
bahwa sarung tangan itu telah kotor (Sari et al., 2016). ILO (2013)
mengemukakan bahwa pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
mampu menurunkan resiko terjadinya kecelakaan kerja. Semakin besar
pengetahuan seorang pekerja tentang K3, maka semakin kecil terjadinya
resiko kecelakaan kerja, demikian sebaliknya semakin minimnya
pengetahuan seorang pekerja akan K3 maka semakin besar resiko
terjadinya kecelakaan kerja.
Menurut Seppina et al. (2017), upaya yang dapat dilakukan oleh
pemulung untuk menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan
2. Menjaga kebersihan diri (mencuci tangan, mandi dan mengganti
pakaian)
3. Menghindari binatang pengganggu
4. Melakukan pengobatan
5. Meningkatkan kebugaran jasmani
6. Menggunakan alat pelindung diri (APD)

D. Peran Stakeholders pada K3 komunitas pemulung


1. Dinas kesehatan
Dinas Kesehatan atau Puskesmas memiliki peranan penting
dalam upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pemulung, mengingat
begitu banyaknya permasalahan Kesehatan yang dapat dialami
Pemulung. Berbagai upaya dapat dilakukan, seperti memberikan
penyuluhan kesehatan secara intensif akan pentingnya personal
hygiene atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan
penggunaan alat pelindung diri (APD). Data dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kepatuhan penggunaan APD dalam komunitas
Pemulung masih rendah. Hal serupa juga ditunjukkan oleh personal
hygiene dan PHBS, dimana penerapannya masih jauh dari kata baik,
dan masalah kesehatan masih banyak ditimbulkan akibat
ketidakpatuhan akan hal tersebut (Waqiah, 2010) (Axmalia & Mulasari,
2020; Maysulastri, 2016; Kafrawi & Sutomo, 2012).
Upaya lain yang juga dapat dilakukan oleh pihak Dinas
Kesehatan atau Puskesmas adalah melakukan pemeriksaan
Kesehatan secara berkala, teratur dan terjadwal pada komunitas
pemulung, sehingga berbagai masalah kesehatan dapat terjaring dan
dapat diatasi sedini mungkin. Selain itu, pihak dinas Kesehatan atau

23
puskesmas juga dapat memberikan obat cacing secara berkala jika
para Pemulung mengalami kecacingan, khususnya lebih sering terjadi
pada komunitas Pemulung anak-anak. Dinas Kesehatan atau
Puskesmas juga dapat bekerjasama dengan pihak pengelola TPA atau
Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup setempat untuk menyediakan
tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan kran air di sekitar TPA
(Waqiah, 2010).

2. Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan


Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan memiliki
peran penting dalam proses pengangkutan, mengontrol dan mengolah
berbagai sampah di lokasi tempat pemrosesan akhir (TPA). TPA ini
berada dibawah koordinasi peran dan fungsi dari Bidang Pengelolaan
Sampah dan Pertamanan, yang membawahi: Seksi Kebersihan dan
Pengangkutan Sampah, Seksi Pengelolaan Sampah Domestik, dan
Seksi Pertamanan dan Penataan Keindahan Kota.
Kepala Seksi Teknologi Pengelolaan sampah: Kegiatan
pengelolaan sampah melibatkan penggunaan dan pemanfaatan
berbagai prasarana dan sarana persampahan yang meliputi
pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan
maupun pembuangan akhir. Seksi ini bertugas untuk melakukan
pelatihan manajemen pengelolaan sampah tingkat sekolah,
pembinaan dan pengembangan bank sampah serta pelatihan
pengelolaan sampah tingkat instansi (Rizki, 2020).
Selanjutnya terdapat Kepala Seksi Pengelolaan sampah dan
limbah bahan bekas berbahaya (B3): Seksi pengelolaan limbah B3
bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan, pengelolaan,
izin, pemantauan, pengawasan dan penyimpanan limbah,
pengangkutan, penguburan bahan bekas berbahaya (B3). Seksi ini
bertanggung jawab menyiapkan bahan pelaksanaan rencana kerja,
mempersiapkan bahan penyusunan kebijakan dan petunjuk teknis.
Koordinator dan Penanggung Jawab TPA yang bertugas melakukan
kegiatan pengelolaan sampah di TPA yang sekarang difungsikan
sebagai tempat pengelolaan akhir sampah-sampah residu (Rizki,
2020).
Pemulung sebagai aktifitas informal di lokasi TPA memiliki risiko
tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan dengan keterpaparan
berbagai gangguan keselamatan dan kesehatan. Oleh karena itu,
diperlukan kerjasama dengan dinas terkait (Dinas Lingkungan Hidup,
Kebersihan dan Keindahan, Dinas Kesehatan, dan Dinas
Ketenagakerjaan) dalam mengawasi para pemulung agar dapat
bekerja secara aman melalui penggunaan alat perlindungan diri yang
tepat seperti menggunakan topi, masker, sarung tangan karet, baju

24
pelindung, dan sepatu karet. Diperlukan juga kerjasama dengan dinas
terkait tersebut dalam mengkampanyekan budaya perilaku hidup
bersih sehat dan K3 dan serta meningkatkan upaya preventif dan
promotif melalui edukasi keselamatan dan kesehatan kerja bagi
komunitas pemulung, sehingga mereka lebih terjamin keamanan dan
keselamatan kerja yang kontak langsung dengan sampah dan gas-gas
yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

3. Masyarakat
Peran Geuchik Gampong (Kepala desa) beserta pemerintah desa
yaitu menjadi inisiator dan regulator dalam pemberdayaan masyarakat,
yaitu dengan membentuk komunitas warga peduli sampah atau bank
sampah Gampong, yang membantu warganya dalam mengelola
sampah rumah tangga membedakan sampah plastik, makanan, dan
tajam sehingga dapat melindungi pemulung dari cedera akibat
pemungutan sampah di TPA. Geuchik beserta pemerintah desa dapat
membuat kebijakan-kebijakan untuk diimplementasikan dan
disosialisasikan pada masyarakat dalam proses pengelolaan sampah.
Selain itu, Geuchik Gampong perangkat desa, dan organisasi
kepemudaan gampong dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi
kreatif masyarakat pemulung dengan memanfaatkan barang-barang
dari sampah menjadi kerajinan tangan yang bisa dibuat dan
dijualbelikan sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat
pemulung. Geucik dan pemerintah desa dapat bekerja sama dalam
mengalokasikan dana gampong untuk pemenuhan APD yang bisa
dipergunakan pemulung dalam bekerja.
Peran kader kesehatan bagi pemulung dengan bekerjasama
dengan puskesmas, geucik, perangkat desa, dan masyarakat, yaitu
memberikan promotif dan preventif dengan mengedukasi, memberikan
penyuluhan kesehatan tentang masalah-masalah kesehatan dan
proses penanganannya dengan lebih meningkatkan kesadaran
pemulung untuk rutin menggunakan APD selama bekerja. Kader
bekerjasama dengan pihak puskesmas melakukan pemeriksaan
kesehatan berkala pada para pemulung untuk meminimalkan
penyebaran penyakit menular dan meningkatkan derajat kesehatan
pemulung.

25
BAB 4
ALAT PELINDUNGAN DIRI PADA KOMUNITAS PEMULUNG

A. Pengertian Alat Perlindungan Diri


Alat pelindung diri (APD) merupakan peralatan yang digunakan oleh
pekerja untuk keselamatan dan melindungi seluruh atau sebagian
tubuhnya dari kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya di
lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Alat pelindung diri
(APD) hanya digunakan untuk mengurangi tingkat keparahan dari suatu
kemungkinan terjadinya kecelakaan atau penyakit akibat kerja (Latul et al.,
2017).
Pekerjaan pemulung jika dilihat dari segi kesehatan dan keselamatan
kerjanya, memiliki risiko yang sangat tinggi untuk terkena berbagai
penyakit dan kecelakaan kerja. Lingkungan kerja yang tidak kondusif dan
kotor sertaasupan gizi yang tidak baik mempermudah pemulung terjangkit
berbagai penyakit seperti batuk, pilek, gatal-gatal, diare dan lain-lain.
Faktanya, tidak banyak pemulung yang menggunakan Alat Pelindung Diri
(APD) selama bekerja, padahal pekerjaan pemulung selalu berhubungan
dengan sampah yang terdiri dari berbagai benda dan material, baik
organik maupun anorganik, salah satunya adalah benda-benda tajam
yangbisa mengakibatkan luka pada pemulung (Herlinda, 2010).
Pada pemulung sendiri penggunaan APD untuk melindungi diri dari
risiko lingkungan kerja yang berbahaya seperti terik panas matahari,
menghindari kontak langsung dengan bakteri yang ada pada sampah
yang dapat menyebabkan berbagai penyakit yang ditularkan dari
lingkungan kepada pemulung seperti gatal-gatal pada kulit, terbakar oleh
terik sinar matahari, dan lain sebagainya (Sari et al., 2016).

B. Syarat-syarat alat pelindung diri (APD)


Suma’mur (1986) dalam (Herlinda, 2010) menjelaskan syarat-syarat alat
pelindung diri yang digunakan saat bekerja, meliputi:
1. Nyaman digunakan pada kondisi pekerja yang sesuai dengan desain
alat.
2. Memberikan perlindungan efektif terhadap bahaya yang khusus
sebagaimana alat pelindung tersebut didesain.
3. Tahan lama dalam jangka waktu tertentu.
4. Tidak mengganggu kerja, harus sesuai dengan tubuh pemakainya dan
tidak menyulitkan gerak pengguna.
5. Mudah dibersihkan dan mudah perawatannya.
6. Desain konstruksi dan pengujian sesuai standar

26
C. Jenis alat pelindung diri (APD)
Jenis APD yang dapat digunakan oleh pemulung saat bekerja, meliputi:
1. Alat pelindung kaki
Sepatu karet merupakan salah satu alat pelindung kaki saat
berkerja. Sepatu tersebut berfungsi sebagai alat pengaman saat
bekerja di tempat yang becek ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi
dengan metal untuk melindungi kaki dari benda tajam atau berat, benda
panas, cairan kimia (Redjeki, 2016). Adapun syarat sepatu keselamatan
(Sudirman Central Business District (SCBD), 2017), yaitu :
a. Sepatu harus standar ANSI Z.41-1999 atau minimal standar SNI
7079-2009 dan SNI 0111-2009.
b. mencatat tanggal pembelian pada buku catatan.
c. Masa pakai sepatu paling lama adalah 3 tahun, setelah itu harus
diganti baru.
d. mengecek kondisi sepatu minimal setiap 2 minggu sekali, ganti bila
cacat atau rusak.

Gambar 8. Sepatu karet


Sumber: Sudirman Central Business District (SCBD), 2017

2. Alat pelindung tangan


Salah satu alat pelindung tangan adalah sarung tangan. Sarung
tangan berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di
tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan
dan bentuk sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing
pekerjaan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
alat pelindung tangan adalah (Redjeki, 2016):
a. Bahaya yang mungkin terjadi, apakah berbentuk bahan-bahan kimia
korosif, benda-benda panas, panas, dingin atau tajam atau kasar.
b. Daya tahannya terhadap bahan-bahan kimia.
c. Kepekaan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan.
d. Bagian tangan yang harus dilindungi.
e. mengecek kondisi sarung tangan setiap akan digunakan, ganti bila
cacat atau rusak.

27
Gambar 9. Sarung tangan
Sumber: Sudirman Central Business District (SCBD), 2017

3. Alat pelindung pernafasan


Salah satu alat pelindung pernafasan adalah masker. Masker
tersebut berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di
tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).
Menurut SCBD (2017), alat pelindung pernafasan digunakan pada saat:
a. Pekerjaan yang berpotensi terpajan debu, asap, uap atau gas harus
menggunakan pelindung pernapasan.
b. Masker dan respirator harus digunakan disesuaikan dengan
pekerjaan dan potensi kontaminasi atau gangguan pernapasan.
c. Untuk pelindung debu dapat digunakan masker sekali pakai yang
terbuat dari katun, kertas atau kasa
d. Untuk pelindung gas, uap dan asap harus menggunakan respirator
dengan penyaring yang sesuai
e. Pada pekerjaan di ruang terbatas atau area yang terkontaminasi gas
harus menggunakan SCBA (alat bantu pernapasan)

Gambar 10. Masker


Sumber: https://www.biznetnetworks.com/covid-19/article/tips-memilih-
masker-yang-cocok-digunakan-di-masa-pandemi)

28
4. Alat pelindung kepala
Alat pelindung kepala dapat berupa topi ataupun helm. Alat ini
berfungsi sebagai alat pelindung kepala dari debu dan sinar matahari
serta benda-benda yang kemungkinan berterbangan di udara. Hal yang
harus diperhatikan dalam menggunakan alat pelindung kepala (SCBD,
2017), yaitu :
a. Helm proyek harus standar ANSI Z.89.1-2014 atau minimal standar
SNI atau MSA Import.
b. Model helm adalah V-Guard dan dilengkapi dengan tali dagu karet
serta model otomatis untuk mengencangkan suspensi helm.
c. Helm dilarang untuk dicat (karena akan bersenyawa dengan cat) dan
dilarang ditulis dengan spidol.
d. Mencatat tanggal pembelian pada bagian dalam helm dan di buku
catatan
e. Masa pakai helm paling lama adalah 5 tahun setelah itu harus diganti
baru.
f. Helm yang rusak atau terkena dampak (kejatuhan benda) harus
diganti.
g. Mengecek kondisi helm minimal setiap 2 minggu sekali, ganti bila
cacat atau rusak.

Gambar 11. Topi dan helm


(Sumber: Sudirman Central Business District (SCBD), 2017)

5. Pakaian pelindung
Berfungsi sebagai pelindung tubuh dari benda tajam dan terhindar
kontak langsung dari kuman penyebab penyakit. Hal yang perlu
diperhatikan saat menggunakan pakaian pelindung (SCBD, 2017), yaitu:
a. Semua pekerja dan orang yang memasuki proyek harus
menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang yang baik,
tidak robek atau bolong-bolong
b. Pelindung lengan dari kulit atau pakaian pelindung tahan api harus
dipakai pada pekerjaan pengelasan, pemotongan atau gerinda bila
diperlukan
c. Pada saat hujan, pekerja harus menggunakan jas hujan.

29
Gambar 12. Pakaian pelindung
Sumber: Sudirman Central Business District (SCBD), 2017

30
BAB 5
PENUTUP

A. Simpulan
Pemulung merupakan pekerjaan informal yang kontak langsung
dengan berbagai sampah dan memiliki risiko tinggi terpapar gas-gas yang
berbahaya bagi kesehatan serta berada pada kondisi kualitas udara yang
buruk. Oleh karen itu diperlukan peran serta seluruh masyarakat dan
stakeholders dalam meningkatkan perilaku keselamatan dan kesehatan
kerja diantara komunitas pemulung melalui kepatuhan dalam
menggunakan alat perlindungan diri seperti topi, masker, baju pelindung,
sarung tangan karet, dan sepatu karet. Selanjutnya, juga diperlukan
kerjasama lintas program dan sektor melalui Dinas Kesehatan, Dinas
Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan, serta Dinas
Ketenagakerjaan melalui perencanaan program kerja dalam
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja pada komunitas
pemulung dalam pemungutan sampah pada lokasi TPA.
Pada komunitas pemulung ini juga diperlukan upaya pencegahan
penyakit akibat kerja yang dapat menganggu berbagai sistem tubuh
seperti sistem pernapasan, pencernaan, pancaindera, integumen, dan
musculoskeletal. Untuk itu diperlukan keterlibatan Dinas Kesehatan
melalui program kerja Puskesmas yang berada dibawah wilayah kerjanya
untuk: 1) meningkatkan kesehatan (health promotion) seperti pendidikan
kesehatan, meningkatkan gizi, dan pengembangan kepribadian dan
kesadaran untuk hidup aman dan sehat, 2) melakukan perlindungan
khusus (spesific protection) seperti imunisasi, hiegiene perorangan,
sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja,
3) diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan tepat (early diagnosis and
prompt treatment), misalnya diagnosis dini setiap keluhan dan
pengobatan segera dan pencegahan komplikasi, 4) membatasi
kemungkinan kecacatan (disability limitation), misalnya: memeriksa dan
mengobati para pemulung secara komprehensif, mengobati secara
sempurna, dan pendidikan kesehatan, dan 5) pemulihan kesehatan
(rehabilitation) seperti rehabilitasi terhadap para pemulung yang
menderita cacat.

B. Saran
1. Pemerintah
Buku pedoman keselamatan dan kesehatan kerja bagi komunitas
pemulung ini dapat dijadikan pedoman dalam merencanakan,
menyusun dan meningkatkan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) dan promosi kesehatan (health promotion) pada Dinas

31
terkait terutama Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup,
Kebersihan dan Keindahan, serta Dinas Ketenagakerjaan yang
difikuskan pada komunitas pemulung di sekitar TPA.
2. Puskesmas
Buku Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Komunitas Pemlung ini sebagai acuan dalam menerpakan prilaku K3
dan upaya promosi kesehatan melalui pencegahan dan pengobatan
terhadap berbagai penyakit yang mengganggu sistem tubuh,
sehingga komunitas pemulung dapat memperoleh keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik.
3. Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Keindahan Kota (DLHK3)
Kepada DLKH3 dapat menjadikan buku ini sebagai pedoman
dalam menerapkan perilaku K3 diantara komunitas pemulung
sehingga dapat mencegah dari keterpaparan dengan gas-gas yang
berbahaya dan kualitas udara yang buruk yang dihasilkan dari
sampah, dan mengharuskan kepada para pemulung untuk mematuhi
penggunaan alat perlindungan diri (APD) secara lengkap dan benar
pada saat melakukan aktivitas.
4. Masyarakat
Kepada masyarakat diwilayah TPA, agar dapat meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat melalui pembuangan sampah pada tempat
yang telah disediakan, mengatur pola hidup sehat, dan menggunakan
alat perlindungan diri saat mengunjungi lokasi TPA sehingga terhindar
dari sampah bahan berbahaya (B3) dan gas-gas racun yang
dikeluarkan dari sampah tersebut.

32
DAFTAR PUSTAKA

Almasi, A., Mohammadi, M., Azizi, A., Berizi, Z., Shamsi, K., Shahbazi, A., &
Mosavi, S. A. (2019). Assessing the knowledge, attitude and practice of
the kermanshahi women towards reducing, recycling and reusing of
municipal solid waste. Resources, Conservation and Recycling, 141(May
2018), 329–338. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2018.10.017
Apriyanti, A. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Scabies Pada
Pemulung di TPA Desa Kaliabu Kecamatan Mejaya Kabupaten Madiun.
In Energies (Vol. 6, Issue 1).
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1120700020921110%0Ahttps://
doi.org/10.1016/j.reuma.2018.06.001%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.arth.2
018.03.044%0Ahttps://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S10634584203
00078?token=C039B8B13922A2079230DC9AF11A333E295FCD8
Arifputera, A., Calistania, C., Klarisa, C., Priantono, D., Wardhani, D. P., &
Wibisono, E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran (4th ed.). Salemba Raya.
Axmalia, A., & Mulasari, S. A. (2020). Dampak Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (TPA) Terhadap Gangguan Kesehatan Masyarakat. Jurnal
Kesehatan Komunitas, 6(2), 171–176.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol6.iss2.536
Barber, V. H. (2020). Teaching and Engaging Generation Z during the
Coronavirus. The Department Chair. https://doi.org/10.1002/dch.30335
Berman, A, Snyder, S, Kozier, B, Erb, G. (2009). Kozier and Erb Buku Ajar
Praktik Keperawatan Klinis. In Kozier and Erb Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis (5th ed.). EGC.
Cointreau, S. (2006). Occupational and Environmental Health Issues of Solid
Waste Management Special Emphasis on Middle- and Lower-Income
Countries. OCCUPATIONAL AND ENVIRONMENTAL HEALTH ISSUES
OF SOLID WASTE MANAGEMENT, 1–48.
http://www.worldbank.org/urban/
Daili, E. S. S., & Menaldi, S. L. (2005). Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia
Sebuah panduan bergambar. PT Medical Multimedia Indonesia.
pt_mmi@medical-e-books.com
Gitarja, W. (2019). Modul Perawatan Luka Bagi Praktisi Kesehatan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Wocare Publishing.
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Hipocrates.
Herlinda. (2010). Persepsi Pemulung terhadap Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Dikaitkan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri
(APD) di Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS). Universitas
Indonesia.
Hutagalung, E.I., Santi, D.N., Marsaulina, I. (2015). Peran Pemulung dalam
Pengelolaan Sampah dan Timbunan Sampah di TPA Terjun Kecamatan
Medan Marelan Kota Medan Tahun 2015. 2(1), 2584–2600.
Ikawati, K. (2013). Kaitan Perilaku dan Lingkungan dengan Kecacingan pada
Pemulung di TPA Jatibarang Semarang. 105(3), 129–133.
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BDsuQOHoC
i4J:https://media.neliti.com/media/publications/9138-ID-perlindungan-
hukum-terhadap-anak-dari-konten-berbahaya-dalam-media-cetak-dan-
ele.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id

33
ILO. (2013). Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sarana untuk Produktivitas. In
Handbook of Institutional Approaches to International Business. SCORE.
https://doi.org/10.4337/9781849807692.00014
Jumarianta, J. (2018). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Penelitian
Di Desa Karang Intan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar). AS-
SIYASAH: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 2(2), 118.
https://doi.org/10.31602/as.v2i2.1180
Kafrawi, & Sutomo, A. H. (2012). TPA Gampong Jawa dan Kesehatan
Pemulung di Kota Banda Aceh. Universitas Gadjah Mada.
Karimkhani, C., Dellavalle, R. P., Coffeng, L. E., Flohr, C., Hay, R. J., Langan,
S. M., Nsoesie, E. O., Ferrari, A. J., Erskine, H. E., Silverberg, J. I., Vos,
T., & Naghavi, M. (2017). Global skin disease morbidity and mortality an
update from the global burden of disease study 2013. JAMA Dermatology,
153(5), 406–412. https://doi.org/10.1001/jamadermatol.2016.5538
Keim, H. A., & Kirkaldy-Willis, W. H. (2020). Low back pain. In Clinical symposia
(Vol. 39, Issue 6). National Institute of Neurological Disorders and Stroke.
Latul, J. I., Kapantaow, N. H., & Akili, R. H. (2017). Gambar Hygiene
Perorangan dan Pemakaian Alat Pelindung Diri pada Pemulung Sampah
di Tempat Pembuangan Akhir Sumompo Kota Manado 2017. 1,2, 1–12.
Lemone, P. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (5th ed.). EGC.
Maysulastri, P. (2016). Personal Health. Universitas Syiah Kuala.
Mustikawati, I. S., Budiman, F., & Rahmawati. (2012). Hubungan perilaku
penggunaan alat pelindung diri (APD) dengan keluhan gangguan kulit di
TPA kedaung wetan tangerang. Forum Ilmiah, 9(3), 351–360.
Nies, M. A, McEwen, M. (2019). Community Health Nursing: Promoting the
Health of Populations. In AORN Journal (7th ed., Vol. 77, Issue 4).
Elsevier. https://doi.org/10.1016/s0001-2092(06)60809-0
Nurcandra, A. F. (2019). Hubungan Higiene Perorangan Dan Penggunaan Alat
Pelindung Diri Dengan Gangguan Kulit Pada Petugas Pengangkut
Sampah Kota Tangerang Selatan. Ilmiah Kesehatan Masyarakat, 11(1),
3.
Panjaitan, D. B., Ashar, T., & . N. (2020). Hubungan Lama Kerja Dengan
Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Pumulung Di Tpa Sei Giling Kota
Tebing Tinggi. Jurnal Kesmas Dan Gizi (Jkg), 2(2), 151–155.
https://doi.org/10.35451/jkg.v2i2.418
Prasetyo, Y. B., Wijaya, R., & Susilo, J. (2021). Pendampingan keselamatan
dan kesehatan kerja petugas sampah di Desa Tamanharjo, Singosari
Malang. Altruis Journal of Community Services, 2(2), 43–45.
https://doi.org/10.22219/altruis.v2i2.16894
Prayogi, S., & Kurniawan, B. (2016). Pengaruh personal hygiene dalam
pencegahan penyakit skabies. Jurnal Majority, 5(5), 140–143.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/939
Prescott, S. L., Wiltschut, J., Taylor, A., Westcott, L., Jung, W., Currie, H., &
Dunstan, J. A. (2008). Early markers of allergic disease in a primary
prevention study using probiotics: 2.5-Year follow-up phase. Allergy:
European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 63(11), 1481–
1490. https://doi.org/10.1111/j.1398-9995.2008.01778.x
Putri, D., Marisdayana, R., & Merdekawati, D. (2018). Faktor Risiko Keluhan
Nyeri Punggung Bawah Pada Pemulung Di Tpa Talang Gulo. Jurnal

34
Endurance, 3(2), 337. https://doi.org/10.22216/jen.v3i2.2932
Putri, R. T., Joko, T., & Dangiran, H. L. (2017). Hubungan Karakteristik
Pemulung dan Penggunaan Alat Pelindung Pernapasan dengan Keluhan
Gangguan Pernapasan Pada Pemulung Di TPA Jatibarang, Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(5), 838–849.
Redjeki, S. (2016). Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Vol. 148). Pusdik SDM
Kesehatan.
Rimantho, D. (2015). Sampah Manual Di Jakarta Selatan. Jurnal Optimasi
Sistem Industri, 14, 1–15.
Rizki, P. (2020). Peran Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan Dan Keindahan
Kota Dalam Mewujudkan Keindahan Kota Banda Aceh. Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sari, I. K., Azrin, M., & Suyanto. (2016). Gambaran Pengetahuan Pemulung
Terhadap Aspek Kesehatan Kerja (K3) dalam Pengelolaan Sampah di
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Kota Pekanbaru. Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Kedokteran, 3(1), 1–10.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFDOK/article/view/9209
SCBD. (2017). Buku Pedoman Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Occupational Health and Safety Guidebook, 1, 1–152.
http://scbd.com/assets/uploads/files/1527233584-
SCBD_Buku_Pedoman_Pelaksanaan_Keselamatan_dan_Kesehatan_K
erja_BP2K3_LR.compressed-ilovepdf-compressed.pdf
Seppina, D. S., Hilal, N., & Iw, H. R. (2017). Kesehatan Di Tpa Banjaran
Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga Tahun 2017. Jurnal Link,
13(1), 13–19.
Shareefdeen, Z. . (2012). Medical Waste Management and Control. Scientist
and Citizen, 3(9–10), 1625–1628.
https://doi.org/10.1080/21551278.1967.10114792
Singga, S. (2014a). Gangguan kesehatan pada pemulung di TPA Alak Kota
Kupang. JUrnal MKMI, 30–35.
Singga, S. (2014b). Gangguan kesehatan pada pemulung di TPA Alak Kota
Kupang. Jurnal MKMI, 30–35.
Smeltzer, Suzanne C, Bare, Brenda G, Hinkle, Janice L, Cheever, K. H. (2010).
Textbook of Medical-Surgical Nursing. In Williams & Wilkins. Williams &
Wilkins.
Srisantyorini, T., & Cahyaningsih, N. F. (2019). Analisis Kejadian Penyakit Kulit
pada Pemulung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi. Jurnal
Kedokteran Dan Kesehatan, 15(2), 135.
https://doi.org/10.24853/jkk.15.2.135-147
Stanhope, M., Lancaster, J. (2016). Publication Health Nursing Population-
Centered Health Care in the Comunity (9th ed.). Elsevier.
http://evolve.elsevier.com/Stanhope
Suryani, F. (2011). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak
pada Pekerja Bagian Processing dan Filling PT. Cosmar Indonesia
Tangerang Selatan Tahun 2011.
Undang-undang RI, 2008. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun2008 tentang Pengelolaan Sampah. 461.
Waqiah, U. (2010). Hubungan Hygiene Perseorangan dengan Kejadian Infeksi

35
Kecacingan pada Pemulung Anak Usia Sekolah Dasar di TPA Antang
Makassar. In UIN Alauddin Makassar. UIN Alaudin Makassar.
Witasari, D., & Sukanto, H. (2014). Dermatitis Kontak Akibat Kerja : Penelitian
Retrospektif ( Occupational Contact Dermatitis : Retrospective Study ).
BIKK- Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 26(3), 161–167.
Work, W. A. T., & Kuijer, P. P. F. M. (2015). Hazards of the job World at work:
Refuse collectors. 282–287. https://doi.org/doi:
10.1136/oem.2002.001172
Yurandi, E., Entianopa, & Yenni, M. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Petugas Pengangkut Sampah di TPA
Talang Gulo. 2(1), 1–7.
https://doi.org/https://doi.org/10.31331/ijheco.v2i1.1613

36
BIOGRAFI PENULIS

Ns. Cut Husna, S.Kep., MNS adalah dosen pada


bagian keilmuan Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh. Penulis lahir pada tanggal 26 Juni 1976 di
Mesale, Aceh Besar, Aceh. Pendidikan Sarjana
Keperawatan dan Profesi Ners diselesaikan pada
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala pada tahun 2003 dan 2005.
Selanjutnya mengikuti pendidikan Master of Nursing
pada Faculty of Nursing, Prince of Songkla University, Hatyai, Thailand pada
2008 sampai 2010. Sejak 2017- sekarang, penulis sedang melanjutkan
Pendidikan Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
Banda Aceh.
Penulis memulai karir sebagai staf pengajar pada tahun 1997 di Akademi
Keperawatan Muhammadiyah Banda Aceh dan sejak tahun 2003 menjadi
dosen tetap pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
(PSIK-FK) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Jenjang karier yang telah
dijalani oleh penulis mulai dari Sekretaris Program Studi pada PSIK-FK
Universiras Syiah Kuala Banda Aceh dari tahun 2012-2013. Selanjutnya 2013-
2017, menduduki jabatan sebagai Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan
Alumni pada Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Sejak tahun 2015
sampai sekarang juga aktif sebagai asesor nasional pada Lembaga Akreditasi
Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes). Pada kegiatan organisasi
profesi, Penulis sejak 2015-2020 menduduki jabatan sebagai Bendahara pada
Dewan Pimpinan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPW-PPNI)
Provinsi Aceh.
Penulis juga sebagai pembicara dan narasumber pada kegiatan pelatihan dan
workshop Keperawatan baik pada tingkat lokal, wilayah, dan nasional. Penulis
juga merupakan salah satu pengarang buku Sinersi AIPNI regional I tahun
2018 dan 2020 untuk bidang Keilmuan Keperawatan Medikal Bedah. Penulis
aktif mengikuti berbagai seminar dan konferensi nasional dan internasional.
Beberapa publikasi hasil penelitian terdapat pada jurnal internasional
bereputasi dan nasional terakreditasi. Penulis juga aktif melaksanakan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat baik didanai ataupun mandiri
pada Universitas Syiah Kuala-Darussalam Banda Aceh.

37
Ns. Maulina, M. Kep., Sp.Kep.Kom adalah salah satu
dosen Fakultas keperawatan Universitas Syiah Kuala.
Ns. Maulina lahir pada tanggal 2 Februari 1982 di
Banda Aceh. Saat ini menjadi salah satu tim bagian
Keperawatan Komunitas Fakultas Keperawatan
Unsyiah. Jenjang pendidikan dimulai dari Sarjana
Keperawatan dan Profesi Ners diselesaikan di
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala pada tahun 2000
sampai dengan tahun 2008. Selanjutnya mengikuti
pendidikan Magister Keperawatan dan Ners Spesialis Keperawatan Komunitas
di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia pada tahun 2011 sampai
dengan 2014.
Karir Ns. Maulina dimulai sebagai dosen non tetap di Fakultas Keperawatan
Unsyiah pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. Selanjutnya pada tahun
2015 sampai sekarang menjadi dosen tetap PNS di Fakultas Keperawatan
Unsyiah. Pada tahun 2015 sampai dengan 2019 menjadi salah satu anggota
NEU Program Studi Profesi Ners, anggota Tim Penjamin Mutu (TPMA) pada
tahun 2016 sampai dengan 2018. Selain itu, pada tahun 2020 Ns. Maulina
terpilih menjadi Ketua Bagian Keperawatan Komunitas Fakultas Keperawatan
Unsyiah.
Ns. Maulina juga aktif dalam organisasi sebagai wakil anggota Seksi
Pelayanan Ikatan Perawat Kesehatan Komunitas Indonesia (IPKKI) dari tahun
2018 sampai dengan sekarang. Selain itu, Ns. Maulina juga melakukan
kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi baik pendidikan, publikasi hasil
penelitiannya dana kegiatan pengabdian masyarakat serta mengikuti seminar
baik dari dalam maupun dari luar.

38
Ns. Riski Amalia, S.Kep., M.Kep adalah dosen pada
bagian keilmuan Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala
(USK), Banda Aceh. Penulis lahir di pada tanggal 23
Januari 1985 di Lhokseumawe, Aceh. Penulis
menyelesaikan Pendidikan Sarjana dan Profesi Ners
pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara (USU) pada tahun 2003 dan 2009. Kemudian
melanjutkan Pendidikan Magister Keperawatan
pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara pada tahun 2014
sampai dengan 2016.
Penulis memulai karir sebagai dosen PTS sejak tahun 2009-2019 pada
Pendidikan D-3 Keperawatan, Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes
Muhammadiyah Lhokseumawe. Pada Tahun 2020 menjadi dosen tetap PNS
pada Bagian Keperawatan Medikal Bedah, Program Studi Ilmu Keperawatan,
Fakultas Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penulis pada
tahun 2020 sampai sekarang menjadi salah satu anggota Nursing Education
Unit (NEU) Program Studi Profesi Ners. Selain itu, penulis juga banyak
mengikuti kegiatan pelatihan dan workshop Keperawatan, baik pada tingkat
lokal, wilayah, dan nasional. Penulis juga merupakan salah satu tim kontributor
Keperawatan Medikal Bedah buku Sinersi Meningkatkan Kelulusan Uji
Kompetensi Ners Indonesia AIPNI regional I tahun 2018. Penulis aktif
mengikuti berbagai seminar dan konferensi nasional dan internasional.
Beberapa publikasi hasil penelitian terdapat pada jurnal internasional
bereputasi dan nasional terakreditasi. Penulis juga aktif melaksanakan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat baik didanai ataupun mandiri
pada Universitas Syiah Kuala-Darussalam Banda Aceh.

39
Ns. Rahmalia Amni, S.kep., M. Kep., adalah salah
satu dosen Fakultas keperawatan Universitas
Syiah Kuala (USK). Ns. Amni lahir pada tanggal 04
Juni 1994 di Desa Peurupok, Aceh Utara. Saat ini
menjadi salah satu anggota tim Departemen
Keperawatan Gawat Darurat Fakultas
Keperawatan USK. Jenjang pendidikan dimulai
dari Sarjana Keperawatan dan Profesi Ners pada
Program Studi Reguler Ilmu Keperawatan,
Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tahun 2012
sampai dengan 2016. Selanjutnya mengikuti pendidikan Magister
Keperawatan Peminatan Keperawatan Kritis di Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung pada tahun 2018 sampai dengan
2020.
Karir Ns. Amni dimulai sebagai dosen pada institusi swasta di Kota
Lhokseumawe tahun 2020, hingga akhirnya bergabung sebagai dosen non
tetap di Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala pada tahun 2021
sampai dengan saat ini. Ns. Amni juga aktif dalam organisasi Keperawatan
Gawat Darurat (HIBGABI) dan Keperawatan Kritis (HIPERCCI). Selain itu, Ns.
Amni juga aktif melakukan kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi baik
pendidikan, publikasi hasil penelitian dan kegiatan pengabdian masyarakat.

40

Anda mungkin juga menyukai