Anda di halaman 1dari 6

Awal mula timbulnya paham Tasawuf sebagai suatu firqah yang memiliki ajaran, sarana pendidikan dan

murid adalah pada abad kedua Hijriyah, yaitu ketika ketamakan terhadap dunia menyebar dan manusia
disibukkan oleh menumpuk harta, maka sebagian orang yang suka berperilaku zuhud dan suka
beribadah “bersembunyi" di balik nama Tasawuf [ lihat : muqodiman Ibn Kholdun hal 467, dan talbis iblis
hal 163].

Mulai saat itu, nama ini dipakai untuk kalangan ahli zuhud,

diKatakan: seorang Sufi, atau kalau sekelompok dinamakan: Sufiyah, sedangkan yang berkeinginan
untuk menjadi Sufi dinamakan Mutashawwif, atau kalau kelompok dinamakan: Mutashawwif ah [lihat ;
Ar-Risalah al-Qusyairiyah 2: 550]

Diriwayatkan bahwa orang yang pertama kali mendapat julukan Sufi adalah Abu Hasyim al-Kufi
(meninggal tahun 150 H), dialah orang yang pertama kali membangun Khaniqah (semacam rumah utk
menyepi dan bersendirian) untuk orang Sufi di Ramlah bagian negeri Syam, dan diriwayatkan juga selain
itu .

[Lihat ash-Shilah Baina at-Tashawwuf Wa at-Tasyayyu', karya Dr.Kamil Musthafa asy-Syabibi hal 269,
menukil dari NafahatuI Uns karya Abdurrahman al-Jami hal.31, juga dalam at-Tashawwuf al-Islami Wa
Tarikhuhu hal.3.]

Pada fase ini kelompok-kelompok tersebut tidak terkumpul dalam suatu wadah seperti golongan
ruhbaniyah, tidak ada yang mengepalai, juga tidak ada aturan-aturan tertentu yang sistematis dalam
Tasawuf, pada fase ini mereka terkenal dengan zuhud yang berlebihan, memerangi hawa nafsu dan
tawakal kepada Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- di semua urusan mereka. Kota Bashrah adalah tempat
berkumpulnya anggota kelompok Tasawuf sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah -rahimahulloh- :

"Pertama kali Tasawuf timbul di Bashrah, sedangkan orang yang pertama kali membangun rumah-
rumah kecil bagi kalangan sufi adalah sebagian kerabat Abdul Wahid bin Yazid, sedangkan Abdul Wahid
sendiri adalah salah satu kerabat al-Hasan. Di kota Bashrah ada aktifitas berlebih-lebihan dalam hal
zuhud, ibadah takut kepada Allah dan lain sebagainya yang tidak terjadi di daerah lain, oleh karena itu
ada pepatah yang mengatakan: "Fiqih di Kufah dan Ibadah di Bashrah.” [Majmu' Fatawa 1 1 : 6-7]

Perkembangan Jama'ah Sufiyah di abad kedua Hijriyah bertolak dari dua asas yang mendasarinya, yaitu
zuhud dan cinta kepada Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala-

Sebenarnya zuhud dan cinta kepada Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- adalah dua hal yang disyariatkan
dalam Islam, hanya saja kaum Sufi banyak sekali menambah-nambahinya dan memasukkan berbagai
unsur paham filsafat asing secara berangsur. Al-qur'an menyebutkan tentang zuhud dan cinta kepada
Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- di banyak ayat, tentang zuhud misalnya firman Alloh -Subhanahu Wa
Ta'ala- :

Artinya: "...Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS. Ali Imran
[3]: 185).
Dan firman Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- :

Artinya: ". . . Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia in idibandingkan dengan kehidupan di akhirat) hanyalah sedikit." (QS. at-
Taubah [9]: 38)

Dan tentang cinta kepada Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- misalnya firman Allah

Artinya nya: "... .Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada

Allah...." (QS. al-Baqarah [2]: 165)

dan firman Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- :

Artinya: "....Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya...." QS. Al-Maidah : 54)

Pada masa permulaan Islam, banyak sekali dari kalangan Sahabat -Rodliallohu Anhum- yang dikenal
dengan kezuhudannya, seperti Ahlus Shuffah Abu Dzar al-Ghifari , Hudzaifah Ibnul Yaman -Rodliallohu
Anhuma- dan lain-lain, zuhud mereka adalah zuhud yang seimbang, tidak keluar dari panduan Al-qur'an
dan petunjuk Rasulullah -Sholallahu Alaihi Wassalam- , artinya mereka tetap bersosialisasi dengan
masyarakat, mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjaga dan menjalankan
perintah agama dengan segenap jiwa raga dan dengan segala kemampuan yang mereka miliki, akan
tetapi ketika Tasawuf timbul, orang-orang zuhud dari kalangan Sufiyah memiliki kehidupan yang
berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya dengan berlebih-lebihan dalam kezuhudan,
meninggalkan perhiasan dunia secara mutlak dan olah jiwa.

Pada fase ini ada seorang Sufi yang terkenal bernama Ibrahim bin Adham al-Balkhi (meninggal tahun 160
H atau tahun 162 H) yang meninggalkan kerajaan dan harta benda miliknya, memakai pakaian wol kasar
dan berkelana di berbagai negara untuk beribadah dan berdakwah kepada zuhud terhadap dunia dan
isinya.

Juga ada seorang wanita bernama Rabi'ah ai-'Adawiyah (meninggal tahun 135 H) yang mendakwahkan
cinta kepada Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- terlepas dari rasa takut dan pengharapan, dia menjadikan
cinta model ini sebagai salah satu asas paham sufi dan fokus ajaran tarekatnya [Lihat biografinya dalam
Shifatus Shafwah 4: 27 dan al-A'lam 1: 31]

Pada akhir abad kedua Hijriyah muncullah pola pemikiran baru yang berpengaruh pada Tasawuf, seperti
perkataan Ma'ruf al-Kurkhi (meninggal tahun 200 H) yang mendefinisikan Tasawuf sebagai: "Mencari
hakikat dan berputus asa dari apa yang ada di tangan makhluk.’ [Ar-Risalah al-Qusyairiyah 2: 552 dan
'Awarifut Ma'arif hal.62.]

Di abad ketiga dan keempat Hijriyah Tasawuf muncul dalam bentuk yang baru, sama-sekali berbeda
dengan para pendahulunya. Pada fase ini Tasawuf tidak terbatas pada zuhud dan olah jiwa saja, Tasawuf
telah berkembang dan mencapai puncaknya yang tertinggi yaitu hilangnya jiwa seseorang dari dirinya
dan menyatu dengan Tuhan serta memperoleh makrifat yang membiaskan hakikat dengan jalan
Kasy’dan Syuhud [Lihat :fi at-Tashawwuf al-Islami Wa Tarikhuhu hal 4, 5, 70, 74]

Pada fase ini juga Tasawuf dianggap telah banyak terpengaruh oleh paham filsafat asing yang menyebar
kala itu di seantero negara Islam, lebih-lebih lagi di daerah Khurasan dan Persia sebagai akibat yang
timbul dari pembebasan negeri tersebut dan orientasi kebudayaan yang berbeda-beda

Di fase ini juga muncul banyak tokoh Sufi, kebanyakan bukan berasal dari Arab, khususnya dari Persia.
Diantaranya:

Abu Sulaiman ad-Darani (meninggal tahun 215 H) yang terkenal dengan kemiskinannya.

Bisyr Ibnul Harits al-Hafi {meninggal tahun 227 H) yang terkenal dengan kerja kerasnya dalam dzikir dan
wirid.

Abu Bakar asy-Syibli al-Khurasani (meninggal tahun 234 H) yang terkenal dengan pandangan-
pandangannya.

AbuTurab (meninggal tahun 245 H) termasuk tokoh pengelana sufi, banyak berkelana di pedalaman,

Al-Harits al-Muhasibi (meninggal tahun 243 H) yang menulis satu kitab tentang dasar-dasar Tasawuf
berjudul ar-Ri'ayah Li Huquqillah, kitab ini dipercaya sebagai kitab terkuno dalam ilmu Tasawuf.

6. Dzun Nuun al-Mishri (meninggal 245 H) yang memiliki pengaruh paling besar dalam membentuk
pemikiran Tasawuf, sebagaimana dikatakan oleh orientalis Nicholson, dipercaya sebagai orang pertama
di Mesir yang berbicara tentang Ahwa dan Maqarnat, di juga orang pertama yang melakukan
mengenalkan istilah makrifat

7. Wisri as-Saqathi al-Farisi (meninggal tahun 257 H) yang dikatakan oleh al-Hijwairi sebagai orang
pertama di Baghdad yang berbicara tentang tingkatan Maqamat dan Ahwal kebanyakan ulama sufi Iraq
adalah muridnya.

8. Abu Yazid al-Busthami (meninggal tahun 261 H) yang kemunculannya menyebabkan perkembangan
yang pesat dalam tubuh pemikiran Tasawuf, karena dialah yang memasukkan paham Fana' dan
Wihdatul Wujud.

9. Al-Junaid (meninggal tahun 297 H) orang Persia dari Nahawand, dijuluki sebagai Sayyidu ath-Thaifah
(pemimpin golongan).

11 Al-Haliaj (meninggal tahun 309 H) yang mendakwahkan Hulul.

Dengan munculnya al-Hallaj, maka Tasawuf telah sarnpai pada puncaknya dalam masalah aqidah,
karena dia mampu menunjukkan kepada masyarakat akan keyakinan Hululnya, akibatnya para ulama
zaman itu mengeluarkan fatwa bahwa dia kafir dan wajib dibunuh, diapun dihukum bakar .pada akhir
tahun 309H, tetapi tarekatnya tetap ada.
Di kedua abad ini banyak bermunculah tokoh-tokoh Sufi lai nya mereka t ersebar di seluruh pelosok
negara Islam, khususnya Persia, Khurasan dan Iraq dimana

daerah tersebut banyak sekali paham-paham yang berpengaruh ada perkembangan Tasawuf,
selanjutnya seperti: Hindu, Majusi, filsafat Yunani dan Nashrani. Mereka rnulai berkumpul dalam firqah
tertentu yang memiliki Tarekat tertentu,

dan guru-guru dan penganut setia.

Banyak juga terdapat sekolah-sekolah ilmu Tasawuf pada fase ini , setiap sekolah memiliki ciri tertentu,
al-Hijwairi menyebutkan bahwa firqah Sufi yang ada pada fase ini mencapai 12 firqah, setiap firqah
menisbatkan diri pada seorang syaikh Sufi (pemimpin nya) di abad ketiga dan keempat Hijriyah.

Juga disebutkan bahwa di daerah Khurasan saja dia pernah bertemu dengan sekitar tiga ratus orang
syaikh sufi, setiap orang membawa ideologinya masing-masing, dia juga mengatakan bahwa satu orang
dari mereka sebanding dengan dunia seisinya, karena matahari kecintaan dan loyalitas kepada firqah
berada di garis depan Khurasan.

Hal ini merupakan bukti bahwa pada fase ini Tasawuf sudah tersebar luas, sebagaimana juga
tersebarnya Khanuqah dan tempat-tempat menyepi lainnya di pelosok negara Islam.

Mereka membuat peraturan khusus untuk menjalani kehidupan di tempat-tempat ini, serupa dengan
peraturan kependetaan pada agama Budha dan dikepalai oleh salah seorang syaikh dari kalangan
mereka. Peraturan ini menyebar cepat di kalangan sufi melalui pemimpin-pemimpin tarekat yang datang
silih berganti dengan cepat di abad kelima dan keenam Hijriyah juga setelahnya.

Sebagian syaikh sufi mampu mendirikan tarekat sendiri dan memiliki pengikut tersendiri.

misalnya Qadiriyah, Rifa'iyah, Syadziliyah , Badawiyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah dan lain sebagainya.

Tarekat-tarekat ini terpecah menjadi tarekat yang lain dan ersebar di banyak daerah dunia Islam,
khususnya Afrika dan negara-negara Asia dengan didapatinya makam-makam, tempat keramat, syaikh-
syaikh tarekat dan aqidah yang batil.

Demikianlah dunia Islam penuh dengan sekolah dan paham tasawuf yang sengaja diciptakan untuk para
murid untuk bisa mencapai kedudukan syaikh atau tenggelam dalam tarekatnya. Paham Tasawuf sendiri
penuh dengan berbagai gambaran yang biasa mereka namakan Ahwal dan Maqamat sebagai usaha
secara bertahap dalam menjalani metode cinta, rindu, nyanyian, Wihdatul Wujud dan Hulul serta lain
sebagainya.

Tujuan yang ingin dicapai oleh semua Tarekat ini - sebagaimana pengakuan mereka - adalah agar jiwa
manusia suatu saat kelak bisa terlepas dari ikatan jasad, dengan media Mujahadah dan dzikir, dengan
demikian akan terkuaklah tabir perasaan yang memisahkan antara jiwa dengan hakikat, ruh menjadi
kuat, hakikat makhluk akan terungkap, jiwa akan merasakan kenikmatan yang sempurna yang kemudian
naik ke alam malaikat dan bersatu dengan Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala-
Semua tarekat yang ada di kebanyakan dunia Islam tidak keluar dari lingkup tujuan ini, walaupun
metode yang mereka pakai berbeda-beda dan sebagiannya memakai mantra-mantra yang tidak masuk
di akal dan tidak terdapat dalam agama.

Kaum Sufi menciptakan suatu disiplin ilmu khusus tentang Tasawuf, di dalamnya mereka menyebutkan
tentang Maqamat Sufi, Ahwal, Mujahadah dan segala yang timbul darinya.

Yang pertama kali muncul dari karya Sufi adalah kitab ar-Ri’ayah Li Huquqillah karya Abu Abdillah al-
Harits bin Asad al-Muhasibi (243 H), kemudian di abad keempat Hijriyah muncul kitab al-Luma' karya
Abu Nashr as-Sarraj ( 378 H), at-Ta'arruf Li Madzhabi Ahli at-Tashawwuf karya al-Kilabadzi (380 H) dan
Quut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki (386 H), kemudian di abad kelima dan keenam Hijriyah banyak
sekali bermunculan kitab-kitab Sufi, seperti: Thabaqat ash-Shufiyah karya Abu Abdurrahman as-Sulami
(412 H), ar-Risalah al-Qusyairiyah karya Abul Qasim al-Qusyairi (465 H)? Kasfu Mahjub karya al-Hijwairi
(492 H), Ihya 'Ulumuddin karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H), setelah itu kitab 'Awariful Ma'arif karya
as-Sahrawardi (632 H).

Kemudian setelah itu bermunculan banyak sekali seperti karya Ibnu 'Arabi (638 H), Ibnu Faridh (632 H),
Abdiil Karim al-Jaili (805 H)? asy-Sya'rani (973 H) dan lain sebagainya.

Ilmu Tasawuf dalam agama ini menjadi ilmu yang ditulis setelah sebelumnya hanya berupa Tarekat
ibadah saja

Kitab-kitab tersebut mengetengahkan berbagai istilah-istilah sufi yang sulit dipahami, mereka percaya
bahwa yang bisa memahaminya hanyaiah orang yang menjalani tarekat mereka, mungkin mereka
sendiri juga kebingungan untuk menterjemahkan sebagian istilah-istilah tersebut.

Dengan munculnya ilmu Tasawuf, mereka membagi ilmu syariat ini menjadi dua: lahir dan batin, para
ahli fiqih Ulama Sunnah khusus membahas masalah-masalah lahir, sedangkan kaum sufi membahas
masalah batin, mereka menamakan diri mereka Ahlullah, Ahlul Batin dan Ahlul Haqaiq, sementara rival
mereka dari kalangan ahli Sunnah mereka namakan Ahlu zhahir dan ulama tulisan.

Mereka berusaha sebisa mungkin untuk menyelaraskan antara paham tasawuf mereka dengan Al-qur'an
dan Sunnah melalir berbagai takwil batiniyah sesat yang tidak bersandar pada dalil shahih syar'i, hanya
bersandar pada angan-angan, impian, perasaan dan lintasan pikiran.

Kesimpulan: Tasawuf dari pertama kali muncul sebagai salar satu firqah di antara firqah-firqah lainnya
hanyaiah paham “ Import” dari luar Islam, bukan dari Islam,

Simak bahasan nya dalam buku ini.

Kesesatan Sufi : Tasawuf Ajaran Budha !

Judul asli : Ash- Shufiyah, Al Ghazu Al Mudammir


Budism: its History, Believe, and Relationship with Sufism

Penulis : Syaikh Ahmad bin Abdul Aziz Al Hushain

Dr. Abdulloh Musthafa Numsuk

Fisik : Buku ukuran sedang, hardcover,304 hlm

Penerbit : Pustaka Sunnah

Anda mungkin juga menyukai