Gharar - 3
5220 Susanto Agus Fadil
044 Gharar - 3
Syariat Islam melarang bai' gharar karena terdapat beberapa hal yang merugikan :
Jika yang terjadi adalah barang obyek jual beli yang diinginkan di bawah harga pasar
maka jika pembeli membayar dengan harga di bawah harga pasar maka pembeli tidak
dirugikan tetapi jika pembeli membayar di atas harga pasar maka penjual mendapat
untung berlebih maka dalam hal ini penjual termasuk memakan harta pembeli secara
batil dan tidak ada imbalan dari barang yang dibeli.
Nabi SAW : seandainya kamu menjual buah kurma yang belum cukup matang di pohon
dan beresiko terserang hama maka tidak halal bagimu mengambil uang pembeliannya
karena kamu mengambil harta saudaramu tanpa hak / tanpa imbalan (HR. Muslim).
Dari hadits ini, Nabi SAW melarang jual beli buah yang tidak matang dan rentan
terserang hama karena ini mengandung gharar spekulasi dimana pembeli bisa
mendapatkan harga yang murah dari harga buah yang matang sedangkan penjual bisa
mendapatkan uang dengan cepat dan terbebas dari resiko serangan hama tetapi jika
terjadi gagal panen maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa dan uang hilang dan jika
panen maka pembeli mendapat untung yang besar. Karena itulah larangan jual beli
buah yang belum matang.
Hikmah : jika terjadi gagal panen, penjual sudah mendapatkan uang dari pembeli dan
pembeli tidak ada imbalan karena barang yang dibeli tidak berguna sama sekali.
Prinsip dasar sesama muslim saling mencintai sebagai saudara satu tubuh maka hal-
hal yang merusak sendi ini dilarang dalam Islam, termasuk jual beli gharar.
Jika satu pihak merasa dirugikan bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian maka
perhatikan firman Allah di dalam QS : Al Maidah : 91.
Said bin Tsabit r.a menceritakan : para sahabat Nabi SAW biasa bertransaksi jual beli
buah kurma di pohon sebelum panen. Pada saat menjelang panen terjadi kegagalan
panen sehingga menimbulkan sengketa di antara mereka. Pembeli tidak mau membeli
sedangkan penjual mendesak pembeli untuk membayarnya. Semakin seringnya
sengketa ini, maka Nabi SAW bersabda : jika kalian tidak meninggalkan jual beli buah
di pohon maka janganlah menjual buah sebelum matang. (HR. Bukhari).
Biasa para sahabat Nabi SAW yang memiliki tanah pertanian menyewakan ke
penggarap dengan imbalan hasil panen dimana pemilik tanah menginginkan area yang
berada dekat dengan saluran air. Hal ini sering menimbulkan sengketa karena pemilik
tanah mendapatkan hasil panen yang lebih baik dari penggarap. Dari kejadian ini, Nabi
SAW melarang cara sewa menyewa seperti itu dan memberikan solusi untuk
memberikan imbalan ke penggarap dengan uang emas atau uang perak. (HR. Ahmad
dan Nasai, dihasankan oleh Syaikh Al Albani).
Kronologi pada hadits tersebutmaka jual beli gharar diharamkan karena berpotensi
adanya sengketa sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian sesama muslim.
Gharar dalam sewa menyewa tanah dimana pemilik tanah mensyaratkan untuknya
lahan tanaman di dekat saluran air. Hal ini jelas beresiko bagi penggarap tanah karena
jatah panen pemilik tanah lebih besar daripada jatah panen penggarap tanah. Spekulasi
ini dilarang oleh Nabi SAW dan memberikan solusi dengan cara pemberian imbalan
berupa uang emas atau uang perak. Solusi ini memberikan keadilan untuk kedua belah
pihak.
Ibnu Qoyyim berpendapat : jika direnungi perjudian itu seperti khamr jika dilakukan
dalam jumlah sedikit maka ada keinginan untuk melanjutkan kembali hingga lalai dari
hal-hal yang disukai Allah SWT.
Gharar bisa menghancurkan kondisi perekonomian baik lokal bahkan global seperti
krisis ekonomi yang terjadi tahun 2008 akibat spekulasi gharar dan judi di bursa saham.
Cara-cara inilah yang menciptakan ekonomi semu bukan realistis sehingga mirip
dengan gelembung busa yang membesar tetapi isinya kosong dan mudah meletus.
Letusan gelembung inilah ibarat suatu krisis ekonomi global.
045 Gharar - 4
9.1. Gharar dalam akad. Contoh : 2 akad jual beli dalam 1 akad.
A membeli motor ke B dengan harga cash Rp 10 jt, harga kredit 2 tahun Rp 12 jt. Lalu B
membeli motor tersebut tanpa menentukan akadnya. Akad ini mengandung unsur
gharar karena ketidakjelasan dalam akad dan hal ini dilarang oleh Nabi SAW.
Abu Hurairah ra berkata : Nabi SAW melarang 2 akad jual beli dalam 1 akad jual beli
(HR. An Nasai, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
9.2. Gharar dalam obyek akad. Yaitu gharar barang dan harga yang disebabkan :
Contoh : penjual menjual barang di dalam kotak seharga Rp 100rb dan tidak dijelaskan
barang tersebut sehingga pembeli tidak mengetahui barang tersebut.
Contoh : calo tanah bertransaksi dengan pihak ketiga tanpa ijin dari pemilik tanah. Cara
ini dilarang oleh Nabi SAW.
Sahabat bertanya krpada Nabi SAW : wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku
untuk untuk membeli barang sedangkan aku tidak memilikinya, bolehkah aku menjual
barang yang ada di pasar setelah ia membayar ? Nabi SAW bersabda : janganlah
engkau menjual barang yang bukan engkau miliki (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani).
Nabi SAW bersabda : tidak halal menggabungkan akad jual beli dan pinjaman dan tidak
halal 2 persyaratan dengan jual beli dan tidak halal keuntungan barang yang tidak
dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu (HR. Abu Dawud,
hasan shahih oleh Syaik Al Albani).
E. Barang yang dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama.
Sahabat bertanya bahwasanya dirinya sering melakukan jual beli dan menanyakan
mana saja jual beli yang halal dan yang haram. Maka Nabi SAW menjawab : bila
engkau membeli jangan engkau jual sebelum engkau menerimanya. (HR. Ahmad,
dihasankan An Nawawi).
Contoh : orang yang memiliki barang di luar negeri dan dijual di Indonesia. Ini termasuk
gharar karena belum tentu barang tersebut diijinkan masuk ke Indonesia.
Contoh : penjual menjual mobil kepada pembeli dengan harga sesuka pembeli sampai
keduanya berpisahpun hargap belum ditetapkan. Ini tidak boleh karena bisa jadi nilai
jualnya terlalu tinggi sehingga merugikan pembeli.
Termasuk gharar harga menurut mayoritas ulama adalah membeli barang atau jasa
dengan harga yang berlaku umum di pasaran.
Contoh : tarif angkutan umum jauh dan dekat ditetapkan senilai Rp 5000. Atau makan
di warung tanpa mengetahui harga dan hanya diketahui ketika pembayaran di kasir.
Imam Ahmad berpendapat tentang akad jual beli dengan menyatakan harga jual sama
dengan khalayak ramai (harga umum atau pasaran). Maka yang demikian itu tidak
boleh.
Tetapi sebagian ulama Asyafi'iyah berpendapat boleh jual beli dengan harga pasaran
atau harga umum. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim dengan
argumen :
1. Hukum asal muammalah adalah mubah. Adapun gharar harga umum dalam akad
muammalah bukan gharar yang merusak akad jual beli karena pada saat akad, penjual
dan pembeli sudah mengetahui harga pasaran walaupun ada perbedaan perkiraan
harga tetapi penjual sudah memberitahukannya.
2. Yang menjadi pernyataan ini adalah adanya keridhoan kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) terhadap harga yang berlaku umum atau yang ditetapkan pihak berwenang.
3. Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa akad semacam ini dilakukan oleh kaum muslimin di
berbagai negeri dari masa ke masa. Bahkan jika ada ketidakridhoan dari salah satunya
maka masih ada hak khiyar.
4. Ijma ulama mengatakan bahwa akad nikah yang tidak disebutkan maka nilai maharnya
berlaku sesuai dengan harga pasaran. Dan ini dianalogikan pada akad jual beli yang
tidak disebutkan harganya dan disesuaikan dengan harga pasaran.
Wallahu'alam, pendapat yang terkuat adalah akad jual beli dengan harga pasaran
diperbolehkan dengan ketentuan sudah diketahui oleh kedua belah pihak dan ada
keridhoan dari kedua belah pihak.
Ibnu Umar berkata bahwa Nabi SAW melarang jual habalul habalah (HR. Bukhari
Muslim).
Habalul habalah adalah jual barang tidak tunai dengan jangka waktu pembayaran
sesuai masa janin unta sampai kelahirannya. Hal ini terlarang karena tidak bisa
memprediksi kelahiran unta.
Nabi SAW membeli kain dari seorang pedagang Yahudi kemudian beliau mengatakan
bahwa beliau membeli 2 lembar kain dengan pembayaran jangka waktu semampunya
(HR. Hakim, disetujui oleh Adzzahabi).
046 Gharar - 5
Pembahasan Multi Level Marketing (MLM).
MLM adalah penjualan langsung dimana barang dipasarkan dari produsen oleh
konsumen langsung ke pasar dan konsumen mendapat bonus. Bonus diambil dari
keuntungan setiap ada pembeli yang dikenalkan oleh pembeli pertama berdasarkan
ketentuan yang diatur.
Hukum MLM adalah haram menurut mayoritas ulama kontemporer. Fatwa Dewan
Ulama KSA, Lembaga Tinggi Sudan, Fatwa Pusat Kajian dan Pengetahuan Imam Al
Albani Yordania.
MLM adalah perpanjangan dari piramida scheme dari Amerika Serikat. Amerika Serikat
melarang praktik ini karena penuh tipuan.
Saat ini untuk legalitas, praktik piramid scheme ini diterapkan pada barang atau produk.
Untuk itu A mengajak B dan C dengan harapan yang sama. B dan C juga melakukan
hal yang sama, begitu seterusnya sampai level bawah membesar. Sehingga semakin
lama berjalan semakin sulit merekrut orang baru.
Pada kondisi stagnan ini maka orang-orang yang berada di level paling bawah yang
banyak dirugikan.
Ini adalah penipuan, yang menguntungkan bagi sedikit orang dan merugikan bagi
banyak orang. Persentase perbandingannya adalah 94% jumlah orang yang dirugikan
dan 6% jumlah orang yang diuntungkan.
Oleh karena itulah pemerintah AS melarang praktik model piramid scheme ini. Agar
diakui secara legalitas oleh pemerintah AS maka perusahaan yang mempraktekkan
piramid scheme ini memasukkan barang atau produk sebagai kedok dengan nama
MLM, direct selling dan lain-lain.
Dari penjelasan ini maka hukum praktek piramid scheme adalah haram karena
mengandung unsur gharar dan riba bai'. Jika hukum ini disepakati maka selanjutnya
bagaimana status hukumnya dengan barang atau produk sebagai penyertanya.
Agen ini tidak dapat menjual produk sebagaimana agen yang seperti biasanya, yaitu
barang diambil dulu berdasarkan kepercayaan kemudian ia mendapat upah sekian
persen dari penjualan akan tetapi ia juga harus membeli salah satu produk . Ini tidak
boleh karena terjadi 2 akad dalam 1 akad.
Dan tujuan persyaratan harus membeli salah satu produknya terlebih dahulu perlu
dicermati karena persyaratan ini ada indikasi sebagai kedok. Jika sebatas perantara
tanpa membeli produk maka rantai MLM akan terputus dan merugikan perusahaan
MLM karena harus membayar bonus yang lebih besar daripada hasil penjualan produk
2. Hanya membeli barangnya tanpa peduli statusnya sebagai anggota MLM atau bukan
sebagai anggota MLM.
Konsumen ini bisa dikatakan tertipu karena harga jual dari produk yang dibelinya
adalah lebih dari 60% yang dianggarkan untuk pembagian bonus anggotanya. Dengan
demikian konsumen ini berarti membayar harga produk untuk bonus anggota-anggota
MLM 60% dan biaya produk itu sendiri 40% padahal konsumen ini membeli dari pihak
pertama.
Tipe ini hanya mengharapkan bonus sebagai tujuan utamanya karena bonus yang
dijanjikan jauh lebih besar dibandingkan komisi dari harga barang yang dipasarkan
perusahaan MLM tersebut dan tidak memperdulikan kualitas produk tersebut. Jadi jelas
produknya hanya kedok untuk legalitas piramid scheme.
Jelas hukum MLM sama haramnya dengan piramid scheme karena produknya hanya
sebagai kedok. Ini hasil pemantauan dari dewan fatwa KSA.
Untuk menjadi anggota harus setor sejumlah uang untuk mendapatkan bonus sejumlah
uang yang lebih dari yang disetorkan dengan cara merekrut orang sesuai ketentuan
perusahaan tersebut. Jika ada barang sebagai penyertanya maka barang tersebut
hanya sebagai kedok karena bukan penjualan barang yang menjadi tujuan.
2. Gharar.
Pada sistem piramid scheme ini yang menguntungkan hanya perusahhan yang
mengelolanya dan sebagian kecil anggota.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan cara batil, kecuaki dalam perdagangan yang berlaku atas suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang
kepadamu (QS : An Nisaa : 29).
4. Penipuan.
Seolah-olah penjualan produk padahal bukan demikian. Dari sisi janji mendapatkan
bonus yang besar dan kenyataannya haya perusahaan dan sebagian kecil peserta
yang mendapatkannya. Maka ini adalah penipuan yang diharamkan syariat.
Sabda Nabi SAW : Tidak termasuk golonganku orang-orang yang menipu (HR.
Muslim).
Nabi SAW bersabda : Penjual dan pembeli dibenarkan melakukan khiyar selagi masih
di dalam majelis dan belum berpisah. Jika keduanya berlaku jujur maka mereka
diberkahi. Jika keduanya tidak jujur maka akan dicabut keberkahannya (HR. Bukhari-
Muslim).