Anda di halaman 1dari 36

PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

BERDASARKAN PERPU NO.2 TAHUN 2017 DAN


DAMPAKNYA PADA KEBEBASAN BERASOSIASI DAN
BERPENDAPAT

Dosen Pengampu :
M.Husnu Abadi.S.H.,M.Hum.,Ph.D.

Disusun oleh

NAMA : RIRIS PANGGABEAN


NPM : 211021081
KELAS : A REGULER

PROGRAM PASCASARJANA HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2021
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper

yang Berjudul “Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia Berdasarkan Perpu No.2

Tahun 2017 Dan Dampaknya Pada Kebebasan Berasosiasi Dan Berpendapat” yang

diajukan untuk melengkapi tugas dalam Perkuliahan Politik Hukum.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam menyelesaikan

penulisan paper ini, namun akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu

dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih.

Kamis, 14 Oktober 2021

Riris Panggabean

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Tinjauan tentang Mata Kuliah Politik Hukum .............................................1

B. Tinjaun Umum mengenai ............................................................................5

BAB II RINGKASAN ISI NASKAH JURNAL

A. Latar belakang ..............................................................................................9

B. Materi pokok yang dibahas tentang Pembubaran Hizbut Tahrir ...............11

Indonesia berdasarkan Pasal 1 Perpu No.2 Tahun 2017 dan

Dampaknya pada Kebebasan Berasosiasi dan Berpendapat

C. Pendapat yang dianut oleh Naskah Jurnal ..................................................20

D. Kesimpulan ...............................................................................................22

BAB III KRITIK DAN TANGGAPAN

A. Pendapat secara Umum .............................................................................24

B. Kritik dan Saran ........................................................................................27

BAB IV PENUTUP .............................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................31

iii
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Tinjauan tentang mata kuliah Politik Hukum


Banyak teori dan definisi tentang politik hukum baik pengertian dari para ahli

maupun dari asal kata atau etimologi. Politik hukum dikenal dalam bahasa Belanda

dari istilah Rechtpolitiek, sedangkan dalam bahasa ingris dikenal beberapa istilah

terkait politik hukum, yaitu: Politics of Laws (politik hukum), Legal Policy

(kebijakan hukum), politic of legislation (politik perundang-undangan), Politic of

Legal Product (politik yang tercermin dalam berbagai produk hukum) dan Law

Development (politik pembangunan hukum).1

Hukum Politik dan hukum adalah dasar dari politik hukum dengan ketentuan

bahwa pelaksanaan pengembangan politik hukum tidak bisa dipisahkan dengan

pelaksanaan pengembangan politik secara keseluruhan. Atau dapat dikatakan,

prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan

juga berlaku bagi pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan

perundang-undangan.

Padmo Wahjono (1986: 160) mendefinisikan politik hukum sebagai

kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan

dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan

sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-

undangan, yang dikatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara

1
Sugiandi Surya Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama
Konghucu ,Surabaya: PT Revka Petra Media, 2015, hal. 64-65

1
negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam

hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan

hokum, dan penegakannya sendiri (Padmo Wahjono, 1991: 65). Pembentukan,

penerapan, dan penagakan hukum nampaknya diyakini Wahjono sebagai sesuatu

penting dan di antara sebab terkemuka adalah problem legislasi itu sendiri.

Rumusan norma hukum yang eksplisit dalam wujud perundang-undangan tidak

jarang malah terkesan kaku dan limitatif, meski dalam pengimplementasiannya

masih terbuka peluang bagi hakim untuk melakukan interpretasi, mengingat

kodifikasi norma hukum apa pun memang tercipta dengan kondisi yang selalu tidak

lengkap. Oleh karena itu, dalam penerapannya untuk kasus-kasus konkrit di

pengadilan, norma atau kaidah hukum itu tidak jarang memunculkan berbagai

persoalan yang bermuara pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial

(substansial justice) bagi para pencarinya.2

Sementara itu, menurut Soedarto (1983: 20), politik hukum adalah kebijakan

dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-pera- 3 turan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk

nengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa

yang dicita-citakan. Pada buku lain yang berjudul Hukum dan Hukum Pidana

dijelaskan, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang

baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu (Soedarto, 1986: 151).

Pendapat Soedarto menggiring kepada pemahaman pentingnya eksistensi

kekuasaan negara untuk mewujudkan cita-cita kolektif masyarakat. Kekuasaan

2
Dr.Isharyanto,S.H.,M.Hum, Politik Hukum, Surakarta: CV Kekata Group, 2016, hal.2

2
secara umum diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang

lain/kelompok lain sesuai dengan pemegang kekuasaan itu sendiri dalam suatu

pemerintahan negara.3

Studi tentang politik hukum mau masuk sebagai bagian studi dalam

kurikulum Fakultas Hukum menjelang pertengahan tahun 1990-an. Sebelum itu

studi politik hukum pada Fakultas Hukum di Indonesia dianggap bidang asing yang

tak perlu dipelajari. Pada masa panjang itu hukum di Fakultas Hukum yang

dipahami sebagai norma-norma atau kaidah yang berisi kewajiban dan larangan

yang pelanggarannya dapat dijatuhi sanksi berdasar otoritas negara. Tetapi siapa

dan bagaimana memilih norma-norma tersebut untuk dijadikan hukum oleh negara

tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Ini mengakibatkan banyaknya

sarjana hukum yang kecewa bahkan frustasi ketika dirinya tak dapat paham

mengapa hukum yang bersifat ius constituendum sering bertentangan dengan

hukum yang ius constitutum.

Munculnya jalan persimpangan antara ius constituendum dan ius constitutum

itu dapat dijelaskan oleh studi tentang politik hukum. Politik hukum itu sendiri

secara sederhana dapat diartikan sebagai kebijakan negara tentang hukum yang

akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan di dalam negara yang bentuknya

dapat berupa pembentukan hukum-hukum baru atau pencabutan dan penggantian

hukum-hukum lama untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dari sudut

materi dan mekanisme pembuatan politik hukum di Indonesia diatur di dalam UU

No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pada

3
ibid

3
bagian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah

(Prolegda).4

KEDUDUKAN MATA KULIAH POLITIK HUKUM

1. Sebagai mata kuliah wajib secara nasional untuk Program Pascasarjana (S2)

Program Studi ilmu hukum  SK Mendikbud Nomor: 002/U/1996.

2. Sebagai matakuliah dasar untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan

mahasiswa ilmu hukum dalam memahami hukum secara komprehensif dan holistik.

RUANG LINGKUP POLITIK HUKUM

1. Proses penggalian nilai-nilai aspirasi yg berkembang dalam masyarakat

oleh penyelenggara negara yg berwenang merumuskan politik hukum;

2. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tsb ke dalam

bentuk sebuah rancangan peraturan perundangundangan oleh penyelenggara negara

yg berwenang merumuskan politik hukum;

3. Penyelenggara negara yg berwenang merumuskan dan menetapkan politik

hukum;

4. Peraturan perundang-undangan yg memuat politik hukum;

5. Faktor-faktor yg mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik

yg akan datang, yg sedang, dan yg telah ditetapkan;

6. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, yg merupakan

implementasi dari politik hukum suatu negara;

4
Moh. Mahfud Md, Politik Hukum Dalam Perda Berbasis Syari’ah, Jurnal Hukum No. 1
Vol. 14 Januari 2007, Hal.2

4
7. Arah penegakan hukum yang berbasis pada rasa keadilan masyarakat.

MANFAAT POLITIK HUKUM

• Agar hukum senantiasa sesuai dengan dinamika yg terus berkembang dalam

masyarakat;

• Untuk meningkatkan daya efektivitas hukum yg berbasis pada rasa keadilan

masyarakat;

• Untuk lebih memperkaya khasanah kajian ilmu hukum dengan melibatkan

pendekatan atau konsep-konsep disiplin ilmu lainnya.5

B. Tinjauan Umum mengenai Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia berdasarkan

Perpu No.2 Tahun 2017 dan Dampaknya pada Kebebasan Berasosiasi dan

Berpendapat

Berdasarkan Perpu No.2 Tahun 2017, Organisasi Kemasyarakatan yang

selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh

masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,

kepentingan, kegiatan, dan tqjuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi

tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasai Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Organisasi pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan melalui

pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial yang dilakukan oleh seorang

5
M.Guntur Hamzah,Tinjaun Umum Politik Hukum,
http://mguntur.id/files/lecture/lecture_16055983 24_92f30d9ded558dcd6b25.pdf , diakses pada
tanggal 8 desember 2021

5
pimpinan.6Organisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “organon” dan istilah latin,

yaitu “organum” yang berarti: alat, bagian, anggota atau badan. Menurut Baddudu-

Zain, organisasi adalah susunan, aturan atau perkumpulan dari kelompok orang

tertentu dengan dasar ideologi (cita-cita) yang sama. Selanjutnya, James D. mooney

mengatakan bahwa: “organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk

mencapai suatu tujuan bersama”. Selanjutnya, Chester I. Barnard, memberikan

pengertian organisasi sebagai suatu sistem dari aktivitas kerja sama yang dilakukan

oleh dua orang atau lebih. Lebih lanjut, ada tiga ciri dari suatu organisasi, yaitu:

a) Adanya kelompok orang;

b) Antar hubungan yang terjadi dalam suatu kerja sama yang harmonis, dan;

c) Kerja sama didasarkan atas didasarkan atas hak, kewajiban atau tanggung

jawab masing-masing orang untuk mencapai tujuan.

Pengaturan tentang Ormas di Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut

pandang. Dari sudut pandang status badan hukum ada Stb 1870-64 tentang

Perkumpulan yang mengatur badan hukum perkumpulan, dan UU Yayasan.

Dengan undang-undang tersebut perkumpulan adalah sekumpulan orang yang

mengorganisir diri untuk kepentingan tertentu, dan yayasan adalah

perkumpulan sekumpulan kekayaan yang disisihkan untuk kepentingan

tertentu. Bila dapat lebih disederhanakan perkumpulan adalah sekumpulan

orang, sedangkan yayasan adalah sekumpulan kekayaan.

6
Setyowati, Organisasi dan Kepemimpinan Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013,
hal.4

6
Dari sudut pandang sosial dan politik Ormas pernah dan terus diupayakan

diatur. Pada masa Orde Baru, Ormas ‘coba’ diatur dengan UU Nomor 8 Tahun

1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. (Ormas). Akan tetapi UU ini tidak

begitu berdampak bagi Ormas sekalipun dilihat dari konteks kelahirannya

dimaksudkan untuk mengontrol Ormas juga.7

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan kepanjangan tangan gerakan

Hizbut Tahrir (HT) di Timur Tengah. Mereka mengaku sebagai partai politik

ideologis yang melandaskan gerakan dan ajarannya pada Islam dan dakwahnya

berpijak di atas keharusan mengembalikan khilafah Islamiyah dengan

bertopang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan.

Kelompok ini telah mengeluarkan ijtihad- 1 Dalam bahasa Arab kata ini tertulis

Hizb at-Tahrir, sedangkan dalam penulisan Indonesianya ditulis Hizbut Tahrir.

59 ijtihad syar’i tentang politik yang cenderung kontroversial dan mengundang

pro dan kontra di tengah pergulatan wacana penegakan demokrasi di

Indonesia.2 Dalam ranah pusatnya, kelompok ini dipelopori oleh Syeikh

Taqiyuddin Al-Nabhani, seorang ulama alumni al-Azhar Mesir, dan pernah

menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Pemikiran-pemikiran Syaikh

inilah yang menjadi landasan atau bahkan pijakan utama dalam pemikiran

aktivis HT di manapun di seluruh dunia.

Dari awal berdirinya hingga tahun 2006, HT diperkirakan telah berkembang

di lebih dari 25 negara. HT kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di

7
Ridaya Laodengkowe, Mengatur Masyarakat Sipil ,Depok: Piramedia, 2010, hal 36-37.

7
Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair.

Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara

Eropa lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan,

Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia. Dalam

memperjuangkan khilafahnya, HT mengklaim diri sebagai sebuah partai politik

Islam ideologis, politik merupakan aktivitasnya sedangkan Islam sebagai

mabda’ (ideologinya).Hal ini terkesan aneh, karena di Indonesia HT bukan

merupakan partai politik yang secara resmi terdaftar dalam Departemen

Kehakiman RI, namun terdaftar sebagai organisasi massa, sehingga di hadapan

hukum, HT dianggap sebagai partai politik yang tidak sah.Di samping karena

kurangnya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai syarat parpol—misalnya

harus memiliki kepengurusan paling tidak 50% dari jumlah propinsi, 50% dari

jumlah kabupaten—namun juga tampaknya HT kurang tertarik untuk masuk ke

dunia politik praktis.8

8
Khusnul Khotimah, Hizbut Tahrir Sebagai Gerakan Sosial (Melihat Konsep Ht Mengenai
Negara), Jurnal Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,Hal.60

8
BAB II

RINGKASAN ISI DARI NASKAH JURNAL

A. Latar Belakang

Salah satu ormas keagamaan yang pernah ada di Indonesia adalah Hizbut

Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir memiliki banyak anggota yang tersebar di hampir

sebagian wilayah yang ada di pulau Jawa, sehingga organisasi massa ini sangat

dikenal di berbagai pertemuan organisasi keagamaan. Jika ditinjau lebih jauh,

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan organisasi keagamaan yang berubah menjadi

organisasi politik, dimana tujuannya adalah menjadikan negara Indonesia sebagai

negara yang berlandaskan ajaran Islam yang penuh, atau lebih dikenal dengan

istilah khilafah. Sebelum pertengahan Juli 2017 lalu, HTI telah menunjukkan

eksistensinya di Indonesia selama kurang lebih 40 tahun lamanya, kemudian

sebagai tindak lanjut dari peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

nomor 2 Tahun 2017, Melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Freddy Harris, tepatnya Pada 19 Juli

2017 Hizbut Tahrir Indonesia telah resmi dibubarkan oleh pemerintah.9

Setelah sekian bulan menjadi isu, akhirnya Presiden RI menerbitkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu) No.2 Tahun 2017 yang

merevisi Sebagian isi dari UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.

Isu yang memicu pemerintah akhirnya mengeluarkan Perpu adalah Ketika

organisasi masyarakat yang bergerak dibidang politik, Hizbut Tahrir Indonesia

9
Bambang Prasetyo,,Pembubaran Hizbut Tahrir di Indonesia dalam Perspektif Sosial
Politik, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19. No. 2, Juni 2019,Surabaya, hal.253

9
secara terbuka, sejak Tahun 2000, senantisa mengkampanyekan pembentukan dan

pendirian negara Khilafah, yang menganulir semua nation state yang ada di dunia

Islam,termasuk nation state Republik Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemerintah

sebagai upaya menentang dan mengubur ideologi negara Indonesia, Pancasila dan

Negara Kesatuan Rebulik Indonesia serta kedaulatan negara.

Proses hukum untuk pembubaran Ormas, tunduk kepada hukum yang

berlaku, yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2013, dimana kewenangan

prmbubaran ada pada Lembaga peradilan (due process of law) dan bukan pada

Lembaga eksekutif(pemerintah). Politik hukum yang diberlakukan untuk

pencabutan status badan hukum ormas atau pencabutan status ormas terdaftar

dilakukan pada pemerintah, hanya dapat dilakukan bila keputusan peradilan itu

telah inkracht (telah berkekuatan hukum tetap). Prosedur yang demikian dinilai

oleh pemerintah terlalu memakan waktu yang lama dan tidak mampu

mengantisipasi keadaan yang perlu Tindakan segera dan mendesak demi

keselamatan,keamanan dan kedaulatan negara. Oleh karena itu, pemerintah

memberlakukan asas hukum yang berbeda dengan asas hukum sebelumnya(due

process law) yaitu asas contrarius actus di mana dinyatakan bahwa institusi negara

diberi kewenangan untuk menerbitkan keputusan(izin) maka kepada institusi

negara itu pulalah harus diberi kewenangan untuk menarik atau membatalkan

keputusan itu.

Asas ini (contrarius actus) selama ini dikenal dan diberlakukan pada

peradilan tata usaha negara, di mana badan tata usaha negara yang menerbitkan izin

(misalnya IMB,HGU) maaka badan tata usaha negara itu pula yang berwenang

10
menarik atau mebatalkan izin dimaksud. Asas ini ternyata tidak dianut dalam

prosedur pembubaran partai politik. Menurut Konstitusi, Mahkamah konstitusi

diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang

Dasar, penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum, Penyelesaian sengketa

kewenangan antar Lembaga-lembaga negara, dan memutus tentang pembubaran

partai politik( dengan memosisikan pemerintah sebagai pemohonnya). Padahal

sebagaimana juga ormas, partai politik diberikan status sebagai badan hukum oleh

Menteri Hukum dan HAM. Maka seharusnya cukup Menteri Hukum dan HAM saja

yang membatalkan atau menarik Kembali keputusan pengakuan sebuah partai

politik sebagai sebuah badan hukum.

B. Materi Pokok Pembahasan

1. Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi

Amandemen konstitusi pada tahun 2001(Perubahan ketiga) merupakan

penambahan atas materi konstitusi yang mengatur masalah kekuasaan

kehakiman. Pada ayat (1) pasal 24C dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

undang Dasar,memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan pada ayat(2) dinyatakan bahwa

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan keputusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau

wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar.

11
Di dalam jenis-jeinis peraturan perundang-undangan baik yang

dirumuskan oleh Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan selalu menempatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang setara dengan Undang-Undang. Misalnya sja ayat 1 pasal 7 UU No.12

Tahun 2011 menyatakan Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Dsb. . .

Sebuah perppu, dalam hal ini Perpu No.2 Tahun 2017, yang diterbitkan

oleh Presiden RI, dapat langsung diberlakukan, walaupun dalam persidangan

berikutnya nasibnya akan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia, apakah akan menyetujui Perpu dimaksud untuk

dijadikan Undang-undang atay menolak Perpu tersebut untuk dijadikan

undang-undang.

Menteri hukum dan HAM melalui surat keputusan No.AHU-

30.AH.01.08. Tahun 2017 telah mencabut atau membatalkan SK

Menkumham No.AHU.00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian

Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia, yang mengakibatkan bahwa ormas

12
HTI ini menjadi berstatus tidak terdaftar. Dalam Bahasa lain,melalui SK

menkumham itu pemerintah telah melakukan pembubaran atas ormas HTI,

seperti dinyatakan oleh Pasal 80A.

Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian sebuah

Perpu, memang belum ada kata sepakat. Sebab ada yang berpendapat menurut

konstitusi, kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk

menguji sebuah undang-undang dan bukan menguji Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang. Pendapat lain berkata bahwa karena Perpu itu

setara dengan undang-undang, dan muatan isinya sama dengan muatan isi

sebuah undang-undang, dan hanya dibedakan oleh pembuatnya saja, maka

secara Materiel Perpu itu sama dengan undang-undang, dan karenanya

Mahkamah Konstitusi berwenang mengujinya.

Seperti yang dianut oleh Perpu No.2 Tahun 2017 dimaksud, maka

perlawanan secara hukum, diberikan peluang oleh system hukum Indonesia,

untuk dilakukannya gugatan ke peradilan, dalam hal ini Peradilan Tata Usaha

Negara. Dalam kasus ini, bertindak sebagai tergugat adalah Badan/Pejabat

tata usaha negara(B/PTUN) yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara

(KTUN), yaitu Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia, sedangkan objek

gugatannya adalah SK Menkumham No. AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017

tentang Pencabutan SK Menkumham No.AHU.00282.60. 10.2014 tentang

Pengesahan Pendirian Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia.10

10
M.Husnu Abadi,S.H.,M.Hum.,Ph.D., Politik Hukum( dari kewenangan mahkamah
konstitusi menguji Perpu sampai dengan kewenangan daerah dalam bidang agama),Depok :
Rajawali Pers,2020, Hal.133

13
2. Due Process of Law dijadikan sebagai Legal Policy

Pertama, legal policy atau kebijakan hukum atau politim hukum untuk

pembubaran partai politik, langsung merupakan ketentuan konstitusi dan

diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dengan menempatkan Pemerintah

sebagai Pemohon. Pilihan hukum ini memang bertolak belakang dengan masa

sebelumnya, di mana kewenangan itu berada di ranah presiden (eksekutif).

Kedua, pilihan hukum (legal policy) UU No.17 Tahun 2013 Tentang Ormas,

pada dasarnya mengikuti jejak konstitusi juga, yaitu due process of law,

hanya peradilan yang boleh mengadili dan menghukum. Kebijakan ini juga

menghindari penilaian subjektif dari pemerintah dalam pembubaran ormas.

Namun ternyata kini Presiden Jokowi, mengganti legal policy ini

dengan Legal policy yang baru, dengan menerapkan asas contrarius actus

(karena pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan izin, maka pejabat tata

usaha negara jugalah yang berwenang mencabutnya). Walaupun demikian,

keputusan pembubaran ini dapat juga ditarik ke ranah peradilan, dalam hal

pihak yang dirugikan menggugatnya ke peradilan yaitu, PTUN.

Legal Policy yang dianut oleh undang-undang bersifat open legal

policy , artinya konstitusi tidak menentukan legal policy tertentu untuk

pengaturan suatu ormas, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk

undang-undang, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi seperti asas

negara hukum, asas non diskriminasi, asas non retro aktif(tidak berlaku surut)

dan lain-lain dalam asas negara hukum dikenal juga asas due process of law

14
dan asas contrarius actus. Dengan demikian, legal policy mengenai

pembubaran suatu organisasi masyarakat diserahkan kepada pembentuk

undang-undang apakah akan memilih due process of law atau memilih

contrarius actus.

Berkaitan dengan revisi atas undang-undang ini, juga diyakini akan

dilakukan oleh pemerintah,seperti yang dijanjikan oleh Presiden RI Joko

Widodo kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Partai Demokrat. Revisi

ini merupakan syarat diajukan oleh Partai Demokrat untuk memberikan

persetujuan atas Perpu itu untuk dijadikan undang-undang. Sementara itu,

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Hukum Wiranto menyatakan bahwa

gugatan uji materi atas Perpu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU

No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah

Konstitusi,menunjukkan kepada public bahwa pemerintah tidaklah bersikap

dictator.

Walaupun demikian, yang akan menjadi pokok perhatian dalam

pengujian undang-undang dimaksud adalah berkenaan diterapkannya asas

contrarius actus menggantikan asas due process of law ,seperti yang selama

menjadi kecenderungan arah hukum selepas jatuhnya Orde Baru, serta

kecendrungan hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini,

Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa asas contrarius actus itu tidak tepat

untuk diberlakukan dalam proses pendaftaran organisasi kemasyarakatan

yang menghasilkan surat keputusan telah terdaftar dari Menteri Hukum dan

HAM.

15
Hal ini disebabkan pembentukan organisasi itu merupakan salah satu

hak asasi manusia, hak berserikat dan berkumpul,sedangkan pendaftaran

merupakan suatu proses administrasi belaka. Hal ini berbeda dengan izin

mendirikan bangunan, izin usaha ataupun izin usaha perkebunan, dimana

pejabat pemerintah mempunyai kuasa untuk menolak pemberian izin serta

mempunyai kuasa untuk membatalkan izin dimaksud.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.102/PUU-VII?2009 dalam

pengujian UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan presiden dan Wakil

Presiden, juga memberi landasan yang kuat untuk meletakkan lebih utama

masalah hak asasi manusia dibandingkan dengan masalah keputusan

administrative. Dengan kata lain, hendaklah menempatkan bahwa hak pilih

itu merupakan salah satu jenis hak asasi manusia, dan hak itu tidak dapat

dikesampingkan hanya karena seseorang tidak terdaftar dalam suatu Daftar

Pemilih Tetap(DPT), yang sifatnya administrative belaka.

Dalam pertimbangannya dikemukakan multak pentingnya suatu negara

hukum menggunakan due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu

system peradilan.

Bahwa dalam suatu negara hukum seperti Indonesia,

multak adanya due process of law yaitu penegakan hukum

dalam suatu system peradilan. Apabila ada suatu perbuatan

dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka

prosesnya melalui putusan peradilan sehingga pelarangan

peredaran suatu barang, misalnya barang cetakan yang

16
dianggap dapat mengganggu ketertiban umum tidak dapat

diserahlan kepada suatu instansi tanpa melalui putusan

pengadilan.

Penetapan prinsip due process of law ini, juga dapat ditemukan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi No.011-017/PUU-I/2003 dalam perkara

permohonan pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD,DPRD terhadap Undang-undang

Dasar NRI Tahun 1945. Adapun materi konstitusi yang dimohonkan untuk

diuji adalah Pasal 60 huruf g , yang berisi larangan menjadi anggota

DPR,DPD,danDPRD Provinsi dan Kab/Kota bagi mereka yang “bekas

anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termsuk organisasi

massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung

dalam G3S0S/PKI atau organisasi terlarang lainnya”.

Apabila diperhatikan, maka baik sejumlah undang-undang yang terbit

di masa reformasi ini, maupun sejumlah putusan dari Mahkamah Konstitusi,

memberlakukan dengan penuh komitmen dan serius akan legal policy yang

dianut, yaitu memberlakukan due process of law , bahwa dalam suatu negara

hukum seperti Indonesia, mutlak adanya due process of law yaitu penegakan

hukum dalam suatu system peradilan. Apabila ada suatu perbuatan

dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus

melalui putusan pengadilan.

17
3. Pemerintah menuju Rezim Otoriter yang Berdampak pada Kebebasan

berasosiasi dan Berpendapat

Beberapa undang-undang yang diterbitkan semasa reformasi

menunjukkan arah kecenderungan untuk menerapkan prinsip due process

law. Hal ini paling tidak dipelopori dengan Adanya amandemen konstitusi

yang melahirkan sebuah Mahkamah baru dalam kekuasaan kehakiman yaitu

Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana

pembekuan ataupun pembubaran partai politik yang merupakan kewenangan

eksekuti, maka amandemen konstitusi menghindari hal ini, karena trauma

dengan sangat berkuasanya eksekutif yang melahirkan rezim otoriter.

Dianutnya prinsip due process law dalam pengaturan partai politik pada

era reformasi ini,ternyata diikuti juga oleh undang-undang yang mengatur

organisasi kemasyarakatan, seperti yang dianut oleh UU No.17 Tahun 2013.

Hal ini berebda dengan UU No.8 Tahun 1985 di mana kewenangan

pembekuan dan pembubaran organisasi berada di tangan pemerintah. Adalah

wajar Ketika Perpu No.2 Tahun 2017 menghapus prinsip due process law

dalam prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan dan diganti dengan

pembubaran oleh pemerintah sendiri ( penerapan asas contrarius actus) maka

banyak pihak yang menilai bahwa rezim saat ini sedang memasuki pintu

gerbang rezim otoriter.

Walaupun demikian, di lain pihak terdapat pihak-pihak yang menilai

sebaliknya. Artinya pemberlakukan Perpu No.2 Tahun 2017 itu tidak serta

merta menjadikan rezin yang berkuasa ini menjadi otoriter. Memang betul,

18
pemerintah mempunyai penilaian subjektif, namun penilaian subjektif

tersebut berdasarkan data-data yang objektif dan akurat. Sebagai sebuah

negara demokrasi, maka keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tetap

terbuka untuk duji di pengadilan dan dalam hal ini dalam forum Pengadilan

Tata Usaha Negara. PTUN berwenang atau mempunyai kuasa untuk

memeriksa dan memutus gugatan yang diajukan dan putusannya dapat

menyatakan keputusan pemerintah itu bertentangan dengan hukum dan

karenanya harus dicabut. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka dan tidak di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah.

Dalam praktik yang dilakukan oleh rezin Orde Lama maupun Orde

Baru, tidak pernah mempergunakan prinsip due process law, dan senantiasa

mempergunakan prinsip contrarius actus. Penggunaan contrarius actus pun

dengan catatan, bahwa keputusan yang telah dibuah oleh presiden sebagai

Pejabat Tata Usaha Negara, juga tidak ada peluang untuk diuji di depan

Peradilan.

Walaupun Pemerintah Presiden Joko Widodo dapat dinilai telah

menurunkan peringkat Indonesia yang selalu memegang prinsip due process

law, sebagai prinsip suatu negara hukum, dan turun ke peringkat lebih rendah

dari itu, yaitu sebagai negara yang menggunakan prinsip contrarius actus

untuk bidang yang berkenaan hak asasi manusia, namun sekarang ini negara

ini tetap dan terus menerus menjamun adanya kebebasan pers, kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan berkuumpul dan kebebasaran

19
berserikat/berasosiasi. Oleh karena itu masa depan demokrasi di Indonesia

belum akan mengalami kemunduran dengan adanya Perpu No.2 Tahun 2017.

Hal yang paling terkena Dampak dri penerbitan Perpu ini adalah Ha

katas kebebasan berserikat (right to freedom of association) yang notabene

dijamin dalam konstitusi RI serta kovenan Internasional. Ketentuan ini terkait

dengan hak-hak sipil dan politik yang telah disahkan Indonesia melalui UU

No.12 Tahun 2005.

Dalam Bahasa lain, bandul demokrasi masih tetap berada di posisinya

dan belum bergerak menuju bandul yang lain yitu otoriter walaupun dengan

catatan bahwa derajat demokrasi rezim saat ini, mengalami penurunan

berkenaan dengan diterapkannya asas contrarius actus pada hak-hak

kebebasan berkumpul dan berpendapat.

C. Pendapat yang dianut dalam Naskah Jurnal

Sejumlah pendapat menentang keberadaan Perpu No.2 Tahun 2017. Antara

lain dikemukakan oleh Sodik Muhajid , dari PartaiGerindra, yang menyatakan

aturan baru ini akan membawa Indonesia Kembali ke Zaman otoriter seperti masa

Oder Baru. Hal yang sama juga disampaikan oleh Azikin solthan bahwa

mekanisme pembubaran organiasi masyarakat tanpa melalui proses peradilan

menunjukkan bahwa pemerintah berpotensi bertindak sewenang-wenang.

Sementara itu Ahmad Riza Satria,mengatakan bahwa paling tidak ada lima item

yang harus diperbaiki yaitu pertama,mengembalikan peran yudiktif, yakni

pengadilan.kedua, soal tafsir Pancasila,yang tidak boleh dimonopoli sepihak oleh

20
pemerintah,ketiga,mengenai tahaoan yang prosesnya terlau cepat, keempat,

hukuman 10 tahun hingga seumur hidup sangat tidak rasional karena lebih lama

daripada hukuman atas koruptor.kelima,siapa yang dihukum harus jelas dan tidak

asal menghukum anggota yang aktif dan pasif, apalagi menghukum yang tidak

bersalah.

Di Pihak lain, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis

menyatakan bahwa Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang sangat seius

berkenaan dengan merebaknya intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

Sementara suara yang menyetujui atas keberadaan aturan baru ini, antara lain

dikemukakan oleh Aria Bima, dari PDIP, yang menyatakan bahwa adanya

organisasi kemasyarakatan yang terang-terangan ingin mengganti Pancasila

sebagai dasar negara, diperlukan dukungan yang penuh atas terbitnya aturan ini.

Hal senada juga disampaikan oleh Azyumardy Azra, seorang guru besar

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menyatakan bahwa undang-udang ini

sangat diperlukan walaupun sudah sangat terlambat, seharusnya awal tahun 2000-

an sudah terbit.

Menngenai dampak dari Perpu yang ditakutkan akan membatasi Kebebasan

berserikan dan Berpendapat, Indriyanto Seno Aji berpendapat bahwa Perpu ini

sama sekali tidak membatasi terhadap kebebasan berserikat dan mengeluarkan

pendapat karena karakter berdemokrasi ormas tetap terjaga sesuai dengan asas

Konstitusionalitas.demikian juga pendaoat yang dilakukan Fadillah Agus yang

pada intinya kebolehan mebatasi pengaturan tentang Hak asasi manusia.

21
D. Kesimpulan Naskah Jurnal

Indonesia sebagai Negeri yang menganut paham demokrasi sejak

tumbangnya Orde Baru, mengalami proses demokrasi yang luar biasa. Atas nama

demokrasi, banyak Paham dan ideologi yang ikut serta dalam situasi ini, yang tidak

dapat dibendung atapun dilarang. Walaupun demikian, kebebasan yang dinikmati

oleh rakyat Indonesia, bukanlah kebebasan tanpa batas. Rambu-rambu yang

dirumuskan dalam undang-undang yang ada selalu dikaitkan dengan ideologi

negara Pancasila dan bentuk negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta

Larangan secara tegas untuk menyebarkankan ideologi komunisme/Marxisme dan

leninisme.

Pilihan hukum yang ada dalam mengeluarkan keputusan untuk pembubaran

suatu organisasi ataupun partai politik, selama ini, selama era reformasi mengikuti

prinsip due process law, bahwa pembuktian suatu kesalahan yang dilakukan oleh

organiasi itu wajib menempuh proses peradilan. Tanpa adanya pembuktian di

pengadilan, maka rezim itu dinilai sebagai rezim yang represif dan otoriter.

Penerbitan Perpu No.2 Tahun 2017 yang mengubah proses pembubaran suatu

organisasi yang awalnya melalui proses peradilan, menjadi sekedar melalui proses

administrasi saja( yaitu pembatalan status terdaftar oleh seorang Menteri),

nerupakan kemunduran dari pencapaian Indonesia sebagai sebuah negara

demokrasi dan sebagai negara hukum. Hal ini disebabkan pemberikan hukuman

atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sebuah organisasi berbeda pendapat

dengan pemerintah diserahkan kepada pemerintah semata dan hal ini merupakan

penilaian subjektif yang tidak netral dan membuka peluang untuk lahirnya masa-

22
masa otoriter. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya selalu

mengedepankan prinsip due process law dan diperkirakan bahwa prinsip ini akan

terus menjadi prinsip dalam mengawal dan menerjemahan konstitusi.

23
BAB III

KRITIK DAN TANGGAPAN

A. Pendapat atas Naskah Jurnal

Pada dasarnya pembubaran Hizbut Tahrir yang ada di Indonesia, merupakan

salah satu penyebab terasingnya ormas ini dengan pemerintahan. Dalam teori

alienasi dijelaskan bahwa ajaran agama merupakan suatu tatanan dalam masyarakat

yang harus dijaga dan dilaksanakan. Jika ditinjau lebih jauh, tatanan ini pasti akan

mengalami perbedaan dan bahkan pertentangan di masyarakat bahkan di negara

tersebut, karena tidak sesuai dengan ideologi dan dasar suatu negara. Hal ini dapat

terlihat bahwa HTI telah memiliki ideologi yang berseberangan dengan negara

Indonesia, antara ideologi Khilafah yang menjadi dasar HTI dalam suatu negara

dengan ideologi pancasila yang telah menjadi dasar pokok negara Indonesia.

Meskipun HTI jauh sebelum pembubaran telah menunjukkan eksistensinya, namun

secara umum negara tetap memberikan pengawasan dalam setiap hal dan kegiatan

yang mungkin dapat membahayakan negara, atau minimal memberikan pergolakan

diantara masyarakat dalam suatu negara. Hal ini dapat terlihat dengan beberapa

statement HTI tentang perbedaan pemikiran dengan pemerintahan, bahkan melalui

jurnal dan tulisan-tulisan yang biasa disebarkan pada hari jumat di beberapa masjid

dan kampus yang ada di beberapa wilayah di Indonesia.

HTI sebagai bagian dari gerakan fundamentalisme Islam berpandangan

bahwa konsep demokrasi yang sudah dikenalkan Barat ke pemerintah-pemerintah

Islam, adalah yang ingkar, serta tidak memiliki kaitan dengan Islam. Demokrasi

dikatakan oleh HTI sangat bertentangan dengan hukum Islam. Demokrasi bagi

24
mereka adalah penyebab negara khilafah tidak dapat didirikan, dan masyarakat

muslim tidak diperkenankan secara sepenuhnya untuk mengangkat, terlebih

menjalankan sistem pemerintahan demokrasi. Khilafah merupakan konsep sentral

pemikiran HTI dan merupakan sistem politik yang harus diimplementasikan lagi

oleh masyarakat muslim. Terkait politik, HTI mempunyai persentuhan politik

dengan pemerintah. Di tahun 2010, HTI menyebarkan tulisan-tulisannya di Buletin

Islam yang merupakan buletin HTI, dimana mereka menuliskan tentang

pelanggaran HAM, haram halal dan lainnya, dengan berakhir pada urgensi bentuk

pemerintahan khilafah Islamiyah. HTI juga sempat mengirim surat terbuka pada

pemimpin Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono guna menjalankan

sistem khilafah di Indonesia. Sebagi potret bahwa mereka bersifat terbuka dalam

politik di tanah air, mereka juga aktif mengkritik dan menentang sejumlah

kebijakan pemerintah yang menyimpang dari Islam, dengan diakhiri ajakan

terhadap pendirian khilafah Islamiyah.11

Pembubaran yang dilakukan pemerintah terhadap Hizbut Tahrir pada

dasarnya merupakan salah satu bentuk pengawasan pemerintah terhadap setiap

ideologi yang dibawa oleh setiap organisasi massa yang ada di Indonesia.Hak

individual yang pokok dalam kewarganegaraan liberal adalah hak berorganisasi,

sedangkan kewarganegaraan republikanisme, berorganisasi juga termasuk dalam

hak karena adanya pendapat bahwa warga negara dan politik adalah satu kesatuan

antara politik dan tindakan (subjek) politik.

11
Ana Sabhana Azmy, Fundamentalisme Islam: Telaah Terhadap Pemikiran Politik
Hizbut Tahrir Indonesia (Hti), Jurnal Wacana Politik - Issn 2502 - 9185 : E-Issn: 2549 - 2969 Vol.
5, No. 1, Maret 2020: 87 – 98, Jakarta Hal.97

25
Jika menganalisisnya menggunakan kewarganegaraan liberal, pembubaran

itu tentunya tidak sah, karena Perpu tersebut merupakan sarana mengekang atau

meniadakan kebebasan, terutama kebebasan berorganisasi. Tetapi bagi

kewarganegaraan republikanisme, HTI adalah sebuah organisasi internasional yang

bekerja untuk pembangunan kembali kekhalifahan, sistem global dari pemerintahan

Muslim yang terakhir ada di bawah kerajaan Usmani. Melalui kajian dan

pertimbangan, pemerintah mengangap bahwa ideologi organisasi Hizbut Tahrir

telah tidak sejalan dengan konsep dasar negara Indonesia. Dalam teori hibriditas

konsep Hizbut Tahrir yang terdapat di wilayah asal yaitu Asia Tengah, memiliki

tujuan yang sarat dengan perebutan kekuasaan secara keras terhadap pemerintahan,

sementara konsep Hizbut Tahrir di Indonesia lebih pada penekanan Kembali

syariat-syariat Islam, sehingga dilakukan secara dialogis.

Sedangkan dalam teori alienasi dijelaskan bahwa ajaran agama merupakan

suatu tatanan dalam masyarakat yang harus dijaga dan dilaksanakan. Jika ditinjau

lebih jauh, tatanan ini pasti akan mengalami pertentangan di masyarakat bahkan di

negara, karena tidak sesuai dengan ideologi dasar suatu negara. Hal ini dapat terlihat

antara ideologi Khilafah yang menjadi dasar HTI dalam suatu negara dengan

ideologi pancasila yang telah menjadi dasar pokok negara Indonesia. Cita-cita

organisasi massa HTI tidaklah sejalan dengan bangsa Indonesia yang menganut

Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika tidak sejalan

dengan cita-cita, bisa dianggap patriotisme anggota HTI sangatlah kurang.

Pencapaian Indonesia dalam 2(dua) decade ini setelah tumbangnya Orde Baru

yang Otoriter, adalah kemampuan dalam membangun dan memelihara demokrasi.

26
Bahkan di dalam Bali Indonesia Forum, Indonesia memperoleh predikat sebagai

negeri muslim terbesar yang demokratis. Namun keadaan ini dipersoalkan oleh

banyak kalangan Ketika tiba-tiba Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan

Pemerintah pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi

Kemasyarakatan menggantikan undang-undang sebelumnya. Selepas itu, Menteri

Hukum dan HAM membatalkan status terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan

daripada Hizbut Tahrir Indonesia, yang menjadikan organisasi ini kehilangan status

hukumnya sebagai organisasi yang terdaftar atau legal.

Artikel ini hendak menjawab mengapa terjadi perubahan yang mendasar

dalam mekanisme atau proses pembubaran sebuah organisasi kemasyarakatan

dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. undang-undang yang baru ini

berdampak atas penghormatan hak assi manusia khususnya hak berorganisasi,

berkumpul dan hak menyampaikan pendapat. Kajian ini menyatakan bahwa

pembubaran oleh peradilan ataupun pembubaran oleh pemerintah merupakan ranah

dari kebijakan hukum dimanapun dan apapun pilihannya, semua itu masih termasuk

kedalam ruang lingkup negara hukum. Dampak atas terbitnya undang-undang yang

mengatur organisasi masyarakat ini, tetap memberikan jaminan akan terwujudnya

masyarakat yang demokratis dan tidak ada ciri-ciri yang menggeser ke arah

pemerintahan negara yang otoriter.

B. Kritik dan Saran

1) Kelebihan Naskah Jurnal

Naskah ini memiliki penjelasan yang cukup komplit mengenai topik

permasalahan, Menyusun topik permasalahan dengan sangat baik sehingga

27
pembaca bisa mengikuti alur topik dengan baik dan mudah dipahami,

kemudian naskah jurnal tersebut juga mempunyai berbagai pendapat-

pendapat dari berbagai tokoh-tokoh dimana topik dijelaskan bukan hanya dari

satu sisi melainkan dari sisi lainnya juga sehingga pembaca bisa

memahami,menganalisis dan menyimpulkan topik permasalahan dengan

sangat baik.

2) Kekurangan atau Kelemahan

Jurnal tersebut sudah cukup baik untuk di pahami, namun apabila

pembaca dari Masyarakat awam, akan sulit masuk ke dalam Topik

permasalahan karena tidak adanya penjelasan mengenai Objek yang

dijelaskan seperti penjelasan mengenai apa itu Hizbut Tahrir Indonesia dan

juga sebaiknya diberikan sedikit mengenai Sejarah Singkat masuknya Hizbut

Tahrir ke Indonesia agar jurnal lebih komplit dan dapat dipahami dari semua

kalangan.

28
BAB IV

PENUTUP

Sebuah perppu, dalam hal ini Perpu No.2 Tahun 2017, yang diterbitkan oleh

Presiden RI, dapat langsung diberlakukan, walaupun dalam persidangan berikutnya

nasibnya akan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

apakah akan menyetujui Perpu dimaksud untuk dijadikan Undang-undang atay

menolak Perpu tersebut untuk dijadikan undang-undang. Menteri hukum dan HAM

melalui surat keputusan No.AHU-30.AH.01.08. Tahun 2017 telah mencabut atau

membatalkan SK Menkumham No.AHU.00282.60.10.2014 tentang Pengesahan

Pendirian Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia, yang mengakibatkan bahwa

ormas HTI ini menjadi berstatus tidak terdaftar. Dalam Bahasa lain,melalui SK

menkumham itu pemerintah telah melakukan pembubaran atas ormas HTI, seperti

dinyatakan oleh Pasal 80A.

Kini Presiden Jokowi, mengganti legal policy ini dengan Legal policy yang

baru, dengan menerapkan asas contrarius actus (karena pejabat tata usaha negara

yang mengeluarkan izin, maka pejabat tata usaha negara jugalah yang berwenang

mencabutnya). Walaupun demikian, keputusan pembubaran ini dapat juga ditarik

ke ranah peradilan, dalam hal pihak yang dirugikan menggugatnya ke peradilan

yaitu, PTUN. yang akan menjadi pokok perhatian dalam pengujian undang-undang

dimaksud adalah berkenaan diterapkannya asas contrarius actus menggantikan asas

due process of law ,seperti yang selama menjadi kecenderungan arah hukum

selepas jatuhnya Orde Baru, serta kecendrungan hakim-hakim pada Mahkamah

Konstitusi. Dalam hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa asas contrarius

29
actus itu tidak tepat untuk diberlakukan dalam proses pendaftaran organisasi

kemasyarakatan yang menghasilkan surat keputusan telah terdaftar dari Menteri

Hukum dan HAM.

Dianutnya prinsip due process law dalam pengaturan partai politik pada era

reformasi ini,ternyata diikuti juga oleh undang-undang yang mengatur organisasi

kemasyarakatan, seperti yang dianut oleh UU No.17 Tahun 2013. Hal ini berebda

dengan UU No.8 Tahun 1985 di mana kewenangan pembekuan dan pembubaran

organisasi berada di tangan pemerintah. Adalah wajar Ketika Perpu No.2 Tahun

2017 menghapus prinsip due process law dalam prosedur pembubaran organisasi

kemasyarakatan dan diganti dengan pembubaran oleh pemerintah sendiri

(penerapan asas contrarius actus) maka banyak pihak yang menilai bahwa rezim

saat ini sedang memasuki pintu gerbang rezim otoriter.

Hal yang paling terkena Dampak dri penerbitan Perpu ini adalah Ha katas

kebebasan berserikat (right to freedom of association) yang notabene dijamin dalam

konstitusi RI serta kovenan Internasional. Ketentuan ini terkait dengan hak-hak sipil

dan politik yang telah disahkan Indonesia melalui UU No.12 Tahun 2005.

Dalam Bahasa lain, bandul demokrasi masih tetap berada di posisinya dan

belum bergerak menuju bandul yang lain yitu otoriter walaupun dengan catatan

bahwa derajat demokrasi rezim saat ini, mengalami penurunan berkenaan dengan

diterapkannya asas contrarius actus pada hak-hak kebebasan berkumpul dan

berpendapat.

30
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Dr.Isharyanto,S.H.,M.Hum, Politik Hukum, Surakarta: CV Kekata

Group,2016,hal.2

M.Husnu Abadi,S.H.,M.Hum.,Ph.D., Politik Hukum( dari kewenangan mahkamah

konstitusi menguji Perpu sampai dengan kewenangan daerah dalam

bidang agama),Depok : Rajawali Pers,2020, Hal.133

Ridaya Laodengkowe,Mengatur Masyarakat Sipil ,Depok:Piramedia,2010,hal.36

Setyowati, Organisasi dan Kepemimpinan Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013,

hal.4

Sugiandi Surya Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama

Konghucu ,Surabaya: PT Revka Petra Media, 2015, hal. 64-65

B. JURNAL DAN MEDIA LAINNYA

Ana Sabhana Azmy, Fundamentalisme Islam: Telaah Terhadap Pemikiran Politik

Hizbut Tahrir Indonesia (Hti), Jurnal Wacana Politik - Issn 2502 - 9185 :

E-Issn: 2549 - 2969 Vol. 5, No. 1, Maret 2020: 87 – 98, Jakarta Hal.97

Bambang Prasetyo,,Pembubaran Hizbut Tahrir di Indonesia dalam Perspektif

Sosial Politik, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Volume 19. No. 2, Juni

2019,Surabaya, hal.253

Khusnul Khotimah, Hizbut Tahrir Sebagai Gerakan Sosial (Melihat Konsep Ht

Mengenai Negara), Jurnal Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,Hal.60

31
M.Guntur Hamzah,Tinjaun Umum Politik Hukum,http://mguntur.id/files/lecture

/lecture1605598324_92f30d9ded558dcd6b25.pdf , diakses pada tanggal 8

desember 2021

Moh. Mahfud Md, Politik Hukum Dalam Perda Berbasis Syari’ah, Jurnal Hukum

No. 1 Vol. 14 Januari 2007, Hal.2

32

Anda mungkin juga menyukai