Anda di halaman 1dari 3

Pembahasan

paragraf 1-6 udh fix


SISIP 1
Aflatoksin mempunyai sifat kelarutan yang sangat rendah dalam air (10-20
pg/mL), tetapi mudah larut dalam pelarut organik. Bobot molekulnya diatas 300
g/mol dengan titik leleh sekitar 200-305 °C, sehingga tergolong senyawa yang tahan
terhadap temperatur. Toksisitas senyawa ini dapat berkurang bila bereaksi dengan
asam, basa, atau oksida (Rachmawati, 2003).
Lanjut paragraf 7 fix
SISIP-2
Pertama kali sampel diterima di ruang administrasi bagian penerimaan contoh.
Pada tahap pertama dilakukan kaji ulang permintaan dengan customer yang
bersangkutan, yaitu dengan mengisi form Surat Permohonan Pemeriksaan Contoh.
Dengan demikian customer bisa mengetahui nomor order, nomor sampel, dan waktu
pengujian sampai mendapatkan Laporan Hasil Pengujian. Waktu yang dibutuhkan
laboratorium untuk menguji sampel sampai didapatkannya hasil berbeda-beda, untuk
pengujian aflatoksin dengan KLT membutuhkan waktu 3 minggu (15 hari kerja).
Setelah sampel diterima oleh admin, selanjutnya sampel diberi label nomor contoh
dan didistribusikan ke laboratorium pangan dan pakan untuk diuji.
Lanjut paragraf 8-9
Paragraf 10 dipindah ke setelah 7
Ketiga sampel ini merupakan salah satu penelitian mahasiswa, yang ingin
membuktikan apakah dengan dilakukannya proses pengolahan bahan pangan menjadi
produk dapat menurunkan aflatoksin pada sampel kacang tanah atau tidak. Pada
sampel kacang tanah (no. Contoh 3132) didapatkan hasil aflatoksin B1 19.91 ppb.
Dimana hasil aflatoksin B1 ini sudah melebihi batas maksimal kadar aflatoksin yaitu
15 ppb. Akan tetapi setelah kacang tanah diolah menjadi produk sukro (no. Contoh
3133) hasil kadar aflatoksin B1 menjadi 5.14 ppb, pada produk ini kacang tanah
dibalut adonan pilus dan digoreng. Dan produk sambel pecel (no. Contoh 3134) hasil
kadar aflatoksin B1 menjadi < MDL, pada produk ini kacang digoreng terlebih
dahulu kemudian dihaluskan kemudian ditambahkan rempah-rempah dan di masak
hingga kering. Hal ini membuktikan bahwa setelah kacang tanah diolah menjadi
suatu produk tertentu, mampu menurunkan kadar aflatoksin. Meskipun aflatoksin
tidak dapat dihilangkan 100 %, akan tetapi aflatoksin pada bahan pangan dapat
diminimalisir dengan perlakuan pascapanen, seperti tepat panen, sortir saat
pemanenan (Dorner, 2008a), sebelum 24 jam sebaiknya kacang tanah sudah selesai
dirontokkan kemudian dijemur atau dikeringanginkan (Rahmianna et al, 2015),
penurunan kadar air polong kacang tanah hingga <12 % dalam 2 hari, menunjukkan
tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup rendah (0,4–3,8 ppb) (Paramawati et al.,
2006), pengupasan polong harus semaksimal mungkin, mengatur kondisi ruang
penyimpan yang sejuk (suhu 27 ℃) dan kering (kelembaban nisbi 56–70 %), sortir
bahan pangan sebelum diolah menjadi produk, pengolahan menjadi produk makanan
(ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti, 1996), erlakuan pemanasan seperti perebusan,
penyangraian dan penggorengan hanya dapat menurunkan kadar aflatoksin 33–75 %
karena sifatnya yang tahan panas (titik cair 268–269 ℃) (Dharmaputra et al. 2003),
sedangkan pemanasan dengan microwave pada suhu 124 ℃ selama 15 menit dapat
menurunkan 96 % aflatoksin B1 (Farag et al. 1996), perlakuan fisik, seperti
penjemuran selama 7 jam dapat mengurangi 10,2 % aflatoksin B1. Perlakuan kimia,
seperti penggunaan garam dapur (5 %), asam propionat (1 %) dan asam asetat (2,5 %)
pada penyimpanan 90 hari biji kacang tanah, mampu mengurangi aflatoksin 99,5–100
% (Reddy, 1996).
Akan tetapi sampel kacang tanah ini juga turut mendapatkan perlakuan prapanen
yang bertujuan untuk meminimalisir tercemar aflatoksin selama di petani. Tindakan
prapanen kacang tanah diantaranya tanam awal untuk mengoptimalkan lengas tanah
untuk pertumbuhan tanaman (Pettit, 1984), pengairan pada masa kekeringan untuk
mencegah stress, populasi jamur A. flavus di dalam tanah akan berkurang dengan
pemberian hara kalsium pada kondisi tanah mengering (tanpa pengairan) (Wiatrak et
al. 2006), aplikasi dolomit pada saat pengisian polong. Hasil aflatoksin pada sampel
kacang tanah (no. Contoh 3132) yaitu 19.91 ppb, hal ini membuktikan bahwa
perlakuan prapanen kacang tanah di petani amat sangat berpengaruh pada kadar
aflatoksin kacang tanah, karena tanpa tindakan prapanen, kacang tanah akan memiliki
kadar aflatoksin yang jauh lebih tinggi sesuai pada kasus ditemukannya kontaminasi
aflatoksin pada 35 % dari 82 sampel kacang tanah yang diperoleh dari pasar
tradisional dan pasar swalayan di Indonesia dengan kisaran 5 – 870 ppb (Razzazi-
Fazeli et al, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Rachmawati S. 2003. Aflatoksin dan Pengembang ELISA kit. Di dalam : Pelatihan
Metode ELISA untuk Mendeteksi aflatoksin pada Pakan, Bogor, 25-26 Juni 2003.
Bogor : Balai Penelitian Veteriner
Razzazi-Fazeli E, Noviandi CT, Porasuphatana S, Agus A, Bӧhm J. 2004. A survey
of aflatoxin B1 and total aflatoxin contamination in baby food, peanut and corn
products sold at retail in Indonesia analysed by ELISA and HPLC. Mycotoxin Res
20(2):51-8. doi : 10.1007/BF02946735.

Anda mungkin juga menyukai