Anda di halaman 1dari 42

IKATAN KIMIA

KIM1310
TEORI IKATAN VALENSI

OLEH:
INGRIT LUMBAN BATU 1813031006
NI LUH PUTU SUARTINI 1813031012
AMELIA AYNUL PUTRI 1813031031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya lah, kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ikatan Kimia yang berjudul “Teori Ikatan Valensi”
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Tanpa bimbingan Tuhan dan orang-orang di sekitar kami, mungkin makalah
ini tidak akan selesai tepat pada waktunya. Tak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada Bapak Dr. I Nyoman Suardana, M.Si. dan Bapak I Putu Septian Eka Adista
Putra, S.Pd., M.Si. yang telah memberikan tugas ini dan membimbing dalam
pembuatan tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, mohon
dimaklumi. Dan harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Singaraja, 11 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Teori Orbital dan Ikatan ............................................................................ 3
2.2 Teori Ikatan Valensi .................................................................................. 7
2.3 Model Ikatan Orbital Overlap (Tumpang Tindih Orbital) ........................ 11
2.4 Hibridisasi Orbital Atom ........................................................................... 16
2.5 Ikatan Rangkap dan Kasus Spesial Benzena ............................................. 19
2.6 Teori Ikatan Valensi Pada Kompleks ........................................................ 21
2.7 Struktur Senyawa Kompleks ..................................................................... 30
2.8 Teori Medan Kristal dan Sifat Kemagnetan.............................................. 34
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 38
3.2 Saran .......................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam ilmu kimia, teori ikatan valensi atau teori ikatan valens
menjelaskan sifat dari ikatan kimia dalam suatu molekul dari sudut vaensi
atom. Teori ini menyimpulkan suatu aturan bahwa atom pusat dalam suatu
molekul yang cenderung untuk membentuk ikatan elektron ganda sesuai
dengan batasan geometris seperti kurang lebih ditentukan dengan aturan oktet.
Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kauntum pertama yang
muncul di masa awal penelitian ikatan kimia yang didasari dari percobaan W.
Heitler dan F. London tahun 1927 mengenai pembentukan ikatan pada
molekul hidrogen (H2). Teori ini kemudian kembali diteliti dan dikembangkan
oleh Linus Pauling tahun 1931 serta dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya
yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bonding”. Di dalam jurnal
tersebut dikupas hasil kerja dari G. N. Lewis dan teori ikatan valensi oleh
Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih
sempurna dengan beberapa postulat dasarnya.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk
ketika dua elektron valensi bekerja dan menjaga dua inti atom secara bersama.
Oleh karena efek penurunan dari energi sistem, teori ini berlaku dengan baik
pada molekul diatomik. Selain itu, Teori ikatan valensi juga dapat diterapkan
dalam molekul poliatomik beriringan dengan teori hibridisasi molekul.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan teori orbital dan ikatan?
2. Bagaimana teori ikatan valensi?
3. Bagaimana model ikatan orbital overlap (tumpang tindih elektron)?
4. Bagaimana hibridisasi orbital atom?
5. Bagaimana ikatan rangkap dan kasus spesial benzena?

1
6. Bagaimana teori ikatan valensi pada kompleks?
7. Bagaimana struktur lewis senyawa kompleks?
8. Bagaimana teori medan kristal dan sifat kemagnetan?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan teori orbital dan ikatan.
2. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan teori ikatan valensi.
3. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan model ikatan orbital overlap
(tumpang tindih elektron).
4. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hibridisasi orbital atom.
5. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan ikatan rangkap dan kasus spesial
benzena.
6. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan teori ikatan valensi pada
kompleks.
7. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan struktur lewis senyawa
kompleks.
8. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan teori medan kristal dan sifat
kemagnetan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Teori Orbital dan Ikatan


Ikatan Kimia menurut teori orbital molekul adalah ikatan yang terbentuk
dari tumpang tindih antar orbital atom menjadi orbital molekul.

Teori orbital molekular mengandaikan bahwa apabila dua atom atau lebih
bergabung membentuk suatu spesies, maka spesies ini tidak lagi memiliki sifat
orbital atomik secara individual, melainkan membentuk orbital molekular
“baru”. Orbital molekular adalah hasil tumpang-tindih dan penggabungan
orbital atomik pada molekul. Menurut pendekatan lurus (linear combination),
jumlah molekuler yang bergabung sama dengan orbital atomik yang bergabung.
Bila dua atom yang bergabung masing-masing menyediakan satu orbital atomik
maka dihasilkan dua orbital molekuler, salah satu merupakan kombinasi
jumlahan kedua orbital atomik yang saling menguatkan dan lainnya kombinasi
kurangan yang saling meniadakan kombinasi jumlahan menghasilkan orbital
molekuler ikat (bonding) yang mempunyai energi lebih rendah, dan kombinasi
kurangan menghasilkan orbital molekuler antiikat (antibonding).

3
Orbital atom mengandung jenis atom tertentu. Orbital molekul mengandung
molekul dari atom. Jumlah orbital molekul sebanding dengan jumlah orbital
atom yang mengalami tumpang tindih.
Tiap orbital atom menggambarkan paling banyak dua elektron. Orbital atom
setengah penuh jika mengandung satu elektron. Orbital atom penuh jika
mengandung dua elektron. Dua elektron dibutuhkan untuk mengisi pada tingkat
energi sama untuk membentuk orbital molekul ikatan atau anti ikatan.

Konsep ini bisa digunakan untuk menjelaskan ikatan di dalam molekul


hidrogen. Orbital atom 1s dari dua atom hidrogen bertumpang tindih
membentuk molekul hidrogen dua elektron, satu dari masing-masing atom.
Ketika elektron mencapai energi terendah, elektron mengisi tingkat energi
orbital molekul ikatan

4
Energi dari elektron pada orbital ikatan lebih rendah daripada energi dari
elektron yang terpisah pada atom hidrogen. Ini membuat molekul hidrogen
stabil. Gambar berikut menunjukkan pembentukan ikatan dan anti ikatan orbital
molekul.

Pada orbital molekul ikatan terdapat besar kemungkinan menemukan


elektron diantara inti dari gabungan atom. Orbital ini simetris sepanjang sumbu
aksis antara aom hidogen. Ikatan sigma dibentuk ketika dua orbital atom
bergabung membentuk orbital molekul yang simetris sepanjang sumbu aksis
menghubungkan dua inti atom. Simbol dalam bahasa Yunani untuk sigma
adalah .

5
Ikatan dihasilkan dari ketidakseimbangan antara inti gaya tarik dan gaya
tolak. Karena bermuatan berlawanan, inti dan elektron tertarik satu sama lain.
Karena bermuatan sama, inti menolak inti dan elektron menolak elektron lain.
Pada molekul hidrogen gaya tarik antara inti hidrogen dan elektron
mempengaruhi keseimbangan karena adanya gaya tarik. Pada energi lebih
tinggi atau orbital molekul anti ikatan, elektron tidak berada diantara inti.
Meskipun keseimbangan terjadi karena gaya tolak. Gaya tolak terjadi jika dua
atom helium bergabung membentuk molekul He2. Tiap atom memiliki dua
elektron 1s. Dua dari elektron masuk pada tingkat energi ikatan dan dua lainnya
masuk pada tingkat energi anti ikatan.
Pada kasus ini gaya anti ikatan lebih besar daripada gaya ikatan, meskipun
molekul He2 tidak stabil dibandingkan atom helium dan helium ada hanya
dalam bentuk atom.
Orbital atom p juga bertumpang tindih untuk membentuk orbital molekul.
Contoh, atom fluor terisi setengah penuh pada orbital 2p. Ketika dua atom fluor

6
bergabung, orbital mengalami tumpang tindih untuk membentuk orbital
molekul ikatan penuh. Orbital molekul ikatan menunjukkan kemungkinan besar
menemukan pasangan elektron antara nuklida yang bermuaan positif dari dua
atom fluor. Inti fluor tertarik ke daerah yang memiliki kerapatan elektron tinggi.
Daya tarik menahan atom berikatan dalam molekul fluor, F2. Tumpang tindih
pada orbital 2p menghasilkan orbital molekul simetris ketika diperlihatkan
sepanjang sumbu aksis ikatan F-F. Oleh karena itu ikatan F-F merupakan ikatan
sigma.

a. Orbital molekul diatomik

Diagram tingkat energi menggambarkan okupansi orbital atom dalam


menghasilkan orbital molekul. Subskrip mengindikasikan dari orbital atom
mana orbital molekul dihasilkan. Orbital σ yang dihasilkan dari
pencampuran dua orbital atom 1s sehingga disimbolkan dengan σ1s. Energi
elektron dalam orbital molekul σ1s lebih rendah dibandingkan dengan
energi dalam orbital atom 1s. Hal ini merupakan hasil dari tarikan elektron
terhadap dua inti hidrogen. Konfigurasi elektron kation hidrogen dituliskan
sebagai (σ1s) 1. Ikatan kovalen “normal” memiliki satu pasang elektron.
Karena hanya terdapat satu elektron dalam orbital molekul ikatan ion
dihidrogen, maka orde ikatannya ½. Berdasarkan hasil ekperimen terhadap
ion ini diperoleh panjang ikatan H-H 106 pm dan kekuatan ikatan 255
kJ.mol-1.

7
b. Orbital molekul diatomik periode 2

Litium adalah unsur pada periode kedua yang paling sederhana. Dalam
fasa padat dan liquid, litium berikatan logam sedangkan dalam fasa gas
merupakan molekul diatomic. Dua elektron dari orbital atom 2s terdapat
orbital molekul σ2s dan memiliki 1 orde ikatan. Hasil pengukuran panjang
ikatan dan energi ikat berkesesuaian dengan nilai orde ikatan. Okupansi
orbital molekul terluar (valensi) ditulis (σ2s) 2.

c. Orbital molekul diatomik heteronuklir

8
Orbital atom oksigen memiliki energi lebih rendah dibandingkan orbital
atom karbon akibat besarnya Zeff. Perbedaan utama antara molekul diatomik
homonuklir dan heteronuklir adalah orbital molekul dihasilkan dari orbital
atom 2s suatu unsur yang tumpang tindih energinya dengan orbital atom 2p
dari unsur lain. Dengan demikian, kita harus mempertimbangkan molekul
orbital yang berasal dari kedua orbital atom pada penyusunan diagram
orbital molekul. Karena energi orbital bersifat asimetri, orbital molekul
bonding diturunkan dari orbital atom oksigen berenergi rendah, sedangkan
orbital molekul antibonding diturunkan dari orbital atom karbon berenergi
tinggi. Terdapat dua orbital molekul yang dihasilkan dari kontribusi orbital
atom berergi rendah dari oksigen dan berenergi tinggi dari karbon, yaitu
orbital molekul nonbonding (σNB), tidak berkontribusi signifikan terhadap
ikatan.
Untuk menentukan orde ikatan karbon monoksida, jumlah pasangan
antibonding (0) telah dikurangi dari jumlah pasangan bonding (3),
perhitungan ini mengarah pada prediksi ikatan rangkap tiga (triple bond).
Energi ikat paling tinggi sebesar 1072 kJ.mol-1.

2.2 Teori Ikatan Valensi


Teori ikatan valensi merupakan teori pembentukan senyawa kompleks dari
atom pusat yang memiliki orbital kosong dan ligan-ligan yang memiliki
pasangan elektron bebas melalui ikatan kovalen koordinasi. Teori ikatan valensi
hanya memperhatikan elektron terluar (elektron valensi) dari atom pusat
sehingga geometri molekul dari senyawa kompleks yang dibentuk dapat
diketahui. Beberapa dalil dasar dari teori ikatan valensi yaitu:
1. Bila dua atom membentuk ikatan kovalen, orbital salah satu atom overlap
dengan orbital atom lainnya
2. Dua elektron yang berputar berpasangan dapat dibagi diantara kedua orbital
yang tumpang tindih, kepadatan elektron terkonsentrasi diantara inti atom
yang membentuk ikatan
3. Kekuatan ikatan kovalen, yang diukur dalam bentuk sejumlah energi bila
dipecah, sebanding dengan jumlah orbital yang overlap-bertambah besar

9
derajat overlapnya, bertambah kuat ikatannya dan bertambah sedikit energi
potensial atom bila ikatan terbentuk
Teori ikatan valensi dikembangkan oleh Linus Pauling dan lainnya pada
1930an, teori medan kristal dan teori medan ligand unggul pada tahun 1950an
dan 1960an yang secara perlahan kalah dari teori orbital molekul. Menurut teori
ikatan valensi, elektron berada dalam orbital mekanika kuantum yang
terlokalisasi pada atom individu. Dalam banyak kasus, orbital ini hanyalah
standar s, p, d, dan f. Dalam kasus lain, orbital ini adalah orbital atom
hibridisasi, sejenis campuran atau kombinasi dari dua atau lebih orbital atom
standar. Ketika dua atom saling mendekat, elektron dan inti atom satu
berinteraksi dengan elektron dan inti atom lainnya. Dalam teori ikatan valensi,
kita menghitung bagaimana interaksi ini mempengaruhi energi elektron dalam
orbital atom. Jika energi sistem diturunkan karena interaksi, maka terbentuk
ikatan kimia. Jika energi sistem dinaikkan oleh interaksi, maka ikatan kimia
tidak terbentuk.
Energi interaksi biasanya dihitung sebagai fungsi dari jarak antar inti antara
dua atom ikatan. Misalnya, gambar di bawah menunjukkan perhitungan
energi interaksi antara dua atom hidrogen sebagai fungsi dari jarak antara
mereka.

Sumbu y dari grafik adalah energi potensial dari interaksi antara elektron
dan inti atom hidrogen yang satu dengan elektron dan inti atom hidrogen
lainnya. Sumbu x adalah pemisahan (atau jarak antar inti) antara kedua atom.
Seperti yang dapat kita lihat dari grafik, ketika atom berjauhan (sisi kanan
grafik, berlabel 1), energi interaksi hampir nol karena dua atom tidak

10
berinteraksi sampai batas yang signifikan. Saat atom semakin dekat (berlabel 2
dan 3 pada grafik), energi interaksi menjadi negatif. Penurunan energi interaksi
adalah net stabilisasi yang menarik satu atom hidrogen yang lain. Jika atom
terlalu dekat (berlabel 4 pada grafik), namun, energi interaksi mulai meningkat,
terutama karena adanya gaya tolak menolak antara dua inti yang bermuatan
positif. Yang paling stabil titik pada kurva terjadi pada energi interaksi
minimum—ini adalah panjang ikatan kesetimbangan (berlabel 3 pada grafik).
Pada jarak ini, dua orbital atom 1s memiliki jumlah tumpang tindih yang
signifikan, dan elektron menghabiskan waktu di internuklear wilayah di mana
mereka dapat berinteraksi dengan kedua inti. Nilai energi interaksi di jarak
ikatan kesetimbangan adalah energi ikatan.
Ketika kita menerapkan teori ikatan valensi ke sejumlah atom dan atom
yang bersesuaian molekul, kita sampai pada pengamatan umum berikut: energi
interaksi biasanya negatif (atau stabil) ketika orbital atom yang berinteraksi
mengandung total dua elektron yang dapat melakukan spin-pair (berorientasi
dengan putaran yang berlawanan). Paling umum, dua elektron berasal dari dua
orbital yang terisi setengah, tetapi dalam beberapa kasus, dua elektron berasal
dari satu orbital terisi yang tumpang tindih dengan orbital yang benar-benar
kosong (ini disebut ikatan kovalen koordinat. Dengan kata lain, ketika dua atom
dengan setengah terisi orbital saling mendekat, orbital setengah terisi tumpang
tindih—bagian orbital menempati ruang yang sama—dan elektron yang
menempatinya sejajar dengan putaran yang berlawanan. Hasil ini dalam
stabilisasi energi bersih yang merupakan ikatan kimia kovalen yang dihasilkan
geometri molekul muncul dari geometri orbital yang tumpang tindih.
Kita dapat menerapkan konsep umum teori ikatan valensi untuk
menjelaskan ikatan dalam hidrogen sulfida, H2S. Konfigurasi elektron valensi
atom-atom dalam molekul adalah sebagai berikut:

11
Atom hidrogen masing-masing memiliki satu orbital setengah terisi, dan
atom belerang memiliki dua orbital setengah terisi. Orbital setengah terisi pada
setiap atom hidrogen tumpang tindih dengan dua orbital setengah terisi pada
atom belerang, membentuk dua ikatan kimia:

Untuk menunjukkan spin-pairing elektron dalam orbital yang tumpang


tindih, kami menempatkan setengah panah untuk setiap elektron di setiap
orbital setengah terisi untuk menunjukkan bahwa, dalam ikatan, elektron
berpasangan (satu setengah panah mengarah ke atas dan yang lainnya
mengarah ke bawah). Kami juga menempatkan setengah panah berpasangan di
orbital s dan p belerang yang terisi ke mewakili pasangan elektron bebas dalam
orbital tersebut. (Karena orbital itu penuh, mereka tidak terlibat dalam ikatan).
Perhitungan kuantitatif H2S menggunakan teori ikatan valensi
menghasilkan energi ikatan, panjang ikatan, dan sudut ikatan. Dalam perlakuan
kualitatif hanya ditunjukkan bagaimana tumpang tindih orbital mengarah ke
ikatan dan membuat sketsa kasar molekul berdasarkan orbital yang tumpang
tindih. Perhatikan bahwa, karena orbital yang tumpang tindih pada atom pusat
(sulfur) adalah orbital p dan karena orbital p berorientasi pada 90° satu sama
lain, sudut ikatan yang diprediksi adalah 90°. Sudut ikatan sebenarnya dalam
H2S adalah 92°. Dalam kasus H2S, sederhana perlakuan ikatan valensi sangat
cocok dengan sudut ikatan yang diukur secara eksperimental (berlawanan
dengan teori VSEPR, yang memprediksi sudut ikatan kurang dari 109,5°).
Pauling ingin memahami bagaimana mungkin orbital s, p dan d memberikan
geometri ikatan yang diamati dalam molekul? Tidak ada orbital atom tunggal,
misalnya linier (simetri terhadap atom pusat), segitiga (simetri), bipiramidal
trigonal (simetri), tetrahedral (simetri), dll. Jawaban Pauling adalah karena
adanya kombinasi linear orbital.

12
Orbital sp Orbital sp2 Orbital sp3
h1 = s + p h1 = s + (2)½py h1 = s + px + py + pz
h2 = s – p h2 = s + (1.5)½px - h2 = s - px - py + pz
(0.5)½py
h3 = s - (1.5)½px - (0.5)½py h3 = s - px + py - pz
h4 = s + px - py - pz

Berikut ini adalah penggabungan orbital s dengan orbital p: membentuk dua


"orbital hibrida".

Orbital ini disebut “orbital hibrid sp”

Contoh:
Berilium membutuhkan orbital linier untuk digunakan dengan 2 elektron
valensi.

13
Jika kita mencampurkan orbital s dengan dua orbital p, maka akan
membentuk tiga "orbital hibrida":
h1 = s + (2)½py
h2 = s + (1.5)½px - (0.5)½py
h3 = s - (1.5)½px - (0.5)½py

Orbital ini disebut “orbital hibrida sp2”

14
Contoh:
Boron memiliki 3 elektron valensi, dan dapat menggunakan geometri orbital
trigonal planar.

Untuk membuat orbital hibrida dengan simetri yang tepat untuk metana (CH4),
maka satu orbital s bergabung dengan tiga orbital p:

Hasilnya menjadi seperti berikut ini:


Orbital sp3

15
h1 = s + px + py + pz
h2 = s - px - py + pz
h3 = s - px + py - pz
h4 = s + px - py - pz

Beberapa kelemahan dari teori ikatan valensi adalah sebagai berikut.


a. Tidak dapat memprediksi komplek dengan bilangan koordinasi 4 akan
tetrahedral ataukah planar.
b. Tidak menjelaskan mengapa kompleks Co3+ (d7) mempromosikan sebuah
elektron dari d menuju ke p tetapi mudah lepas ketika reaksi kimia
(reduktor yang kuat). Akan tetapi, Cu(III) justru merupakan oksidator kuat.
c. Studi resonansi spin elektron meunjukan bahwa pada Cu(II), elektron tidak
berada di level 4p.
d. Tidak memprediksi beberapa distorsi pada kompleks padahal faktanya
semua kompleks Cu(II) dan Ti(III) adalah terdistorsi.
e. Mengabaikan keadaan tereksitasi pada kompleks.
f. Tidak menjelaskan terjadinya warna pada kompleks.
g. Tidak memberikan detail informasi mengenai sifat magnet pada kompleks.

2.3 Model Ikatan Orbital Overlap (Tumpang Tindih Orbital)


Menurut teori Pauling-Slater:
“Kekuatan ikatan bergantung pada derajat tumpang tindih orbital yang terlibat
dalam pembentukan ikatan. Makin besar derajat tumpang tindih, maka akan
semakin kuat ikatannya, sedangkan arah ikatan sesuai dengan kedudukan
elektron berada.”
Tumpang tindih antara dua orbital –s tidak kuat karena distribusi muatan
yang berbentuk bola; pada umumnya ikatan s-s relatif lemah. Orbital –p dapat
bertumpang tindih dengan orbital –s atau orbital –p lainnya dengan lebih efektif,
karena orbita-orbital –p lebih terkonsentrasi pada arah tertentu. Tumpang tindih
antar orbital-orbital dapat menghasilkan ikatan sigma dan ikatan phi. ikatan
sigma dapat terbentuk dari tumpangsuh orbital s-s, p-p, dan s-p. Elektron ikatan
dalam ikatan sigma terletak di sekitar garis (khayal) yang menghubungkan inti

16
kedua atom. Ikatan phi dihasilkan karena tumpangsuh dua orbital –p yang
berdekatan dan sejajar. Kekuatan ikatan sigma lebih besar daripada ikatan phi.

2.3.1 Ikatan Pi (𝝅)


Ikatan pi (ikatan π) adalah ikatan kimia kovalen yang dua cuping orbital
atom yang berlektron tunggal bertumpang tindih dengan dua cuping orbital
atom lainnya yang juga berlektron tunggal. Hanya terdapat satu bidang
simpul dari orbital yang melewati dua inti atom. Dalam ikatan phi, daerah
tumpang tindih orbital terletak pada sisi berlawanan dari sumbu antarinti.
Sepanjang sumbu itu sendiri, ada sebuah simpul, yaitu sebuah bidang tanpa
probabilitas menemukan sebuah elektron.

Huruf Yunani π berasal dari nama orbital p karena simetri orbital ikatan
pi adalah sama dengan orbital p ketika dilihat dari sumbu ikatan. Orbital p
biasanya terlibat dalam ikatan sejenis ini. Orbital d juga dianggap terlibat
dalam ikatan pi, namun tidaklah seperlunya benar, walaupun konsep ikatan
orbital d sesuai dengan hipervalensi.
Ikatan pi biasanya lebih lemah dari ikatan sigma karena rapatan
elektronnya lebih jauh dari inti atom yang bermuatan positif, sehingga
memerlukan lebih banyak energi. Dari sudut pandang mekanika kuantum,
kelemahan ikatan ini dijelaskan oleh ketumpangtindihan yang sangat sedikit
di antara orbital p oleh karena orientasinya yang paralel.
Walaupun ikatan pi lebih lemah dari ikatan sigma, ikatan pi seringkali
merupakan komponen dari ikatan rangkap bersamaan dengan ikatan sigma.
Kombinasi dari ikatan sigma dan pi lebih kuat dari ikatan pi dan sigma yang
berdiri sendiri. Kekuatan ikatan yang bertambah dari ikatan rangkap
diindikasikan oleh banyak pengamatan, namun yang paling menonjol
adalah kontraksi panjang ikatan. Sebagai contoh, dalam kimia organik,

17
panjang ikat karbon-karbon pada etana adalah 154 pm, etilena 133 pm, dan
asetilena 120 pm.

2.3.2 Ikatan Sigma


Ikatan sigma (σ) yaitu ikatan kovalen yang terbentuk akibat tumpang
tindih orbital-orbital ujung ke ujung, dengan kerapatan elektron yang
terkonsentrasi diantara inti atom yang berikatan. Dalam kimia, ikatan sigma
(ikatan σ) adalah sejenis ikatan kimia kovalen yang paling kuat. Ikatan
sigma dapat dijelaskan dengan jelas untuk molekul diatomik menggunakan
konsep grup simetri. Dalam pendekatan formal ini, ikatan σ adalah simetris
terhadap rotasi di sumbu ikat. Dengan definisi ini, bentuk ikatan sigma yang
umum adalah s+s, pz+pz, s+pz, dan dz2+dz2 (z ditentukan sebagai sumbu
ikat). Teori kuantum juga mengatakan bahwa orbital molekul (MO) yang
bersimetri sama akan bercampur. Konsekuensi dari percampuran molekul
diatomik ini adalah fungsi gelombang orbital molekul s+s dan pz+pz
menyatu. Ruang lingkup percampuran ini tergantung pada energi relatif dari
MO yang bersimetri.

Untuk molekul homodiatomik. orbital σ yang berikatan tidak memiliki


bidang simpul di antara atom-atom yang berikatan. Antiikat atau orbital σ*
ditentukan dengan keberadaan sebuah bidang simpul antara dua atom yang
berikatan ini. Oleh karena ikatan sigma adalah jenis ikatan kovalen yang
paling kuat, elektron-elektron dalam ikatan ini kadang-kadang dirujuk
sebagai elektron sigma.
Simbol σ adalah huruf Yunani untuk s. Ketika ikatan ini dilihat dari atas,
MO σ mirip dengan orbital atom s.
a. Ikatan sigma dalam senyawa poliatomik

18
Ikatan sigma ini didapatkan dari orbital-orbital atom yang tumpang
tindih. Konsep ikatan sigma diperluas untuk menjelaskan interaksi
ikatan yang melibatkan ketumpangtindihan cuping tunggal sebuah
orbital dengan cuping tunggal lainnya. Sebagai contoh, propana
dideskripsikan mengandung 10 ikatan sigma, masing-masing untuk dua
ikatan C-C dan delapan ikatan C-H. Ikatan σ pada molekul poliatomik
ini sangat ter-delokalisasi dan berlawanan dengan konsep dua orbital
satu ikatan. Terlepas dari masalah ini, konsep ikatan σ sangatlah
berguna, sehingga digunakan secara luas.
b. Ikatan sigma dalam senyaw a yang berikatan rangkap banyak
Senyawa-senyawa yang memiliki ikatan rangkap, seperti etilena dan
kromium (II) asetat memiliki ikatan sigma di antara ikatan rangkap
tersebut. Ikatan sigma ini ditambahi dengan ikatan π seperti pada etilena
dan bahkan dengan ikatan &delta seperti pada kasus kromium (II) asetat
untuk membentuk ikatan rangkap.

Semua ikatan tunggal adalah ikatai σ, ikatan ganda terdiri dari ikatan σ dan
π. Seperti struktur Lewis pada O2 mengandung ikatan rangkap, dan N2
mengandung ikatan rangkap tiga. Ikatan ganda terdiri dari satu ikatan σ dan satu
ikatan phi, dan ikatan rangkap tiga terdiri dari satu ikatan σ dan dua ikatan phi.
Di antara dua atom, ikatan pertama yang terbentuk akan selalu menjadi ikatan
σ, tetapi hanya ada satu ikatan σ di satu lokasi. Dalam setiap ikatan ganda, akan
ada satu ikatan σ, dan sisanya satu atau dua ikatan akan menjadi ikatan πi.

19
Rata-rata ikatan karbon-karbon tunggal adalah 347 kJ/mol, sementara dalam
ikatan rangkap karbon-karbon, energi ikatan meningkat sebesar 267 kJ/mol.
Tambahan ikatan π menyebabkan peningkatan dari 225 kJ/mol. Kita dapat
melihat pola yang sama ketika kita membandingkan ikatan σ dan π lainnya.
Dengan demikian, setiap ikatan π adalah lebih lemah daripada ikatan σ antara
dua atom yang sama. Dalam ikatan σ, ada tumpang tindih orbital yang lebih
besar daripada dalam ikatan π.

2.4 Hibridisasi Orbital Atom


Hibridisasi merupakan sebuah konsep bersatunya beberapa orbital atom
untuk membentuk orbital hibrid yang baru dan sesuai dengan penjelasan
kualitatif sifat ikatan atom. Konsep beberapa orbital yang terhidrasi sangat
berguna dalam menjelaskan bentuk orbital molekul dari sebuah molekul.
Adapun macam-macam dari hibridisasi, yaitu:
1. Hibridisasi sp
Hibridisasi sp adalah bentuk hibridisasi yang paling sederhana, di
mana orbital akan bertumpang tindih dengan orbital p untuk membentuk
dua orbital sp baru. Kulit elektron pada hibridisasi ini mengandung tiga
orbital p. Di dalam hibridisasi sp, satu dari tiga orbital p ini bercampur
dengan orbital s dari atom yang sama. Ikatan kimia dalam suatu senyawa
sepeti alkuna dengan ikatan rangkap tiga dijelaskan dengan hibridisasi
sp. Hal ini karena orbital s pada senyawa tersebut hanya bergabung
dengan satu orbital p menghasilkan dua orbital sp dan menyisakan dua

20
orbital p. Menurut mekanikan kuantum, fungsi gelombang s dan px
adalah
2. Hibridisasi sp2
Hibridisasi sp2 adalah bentuk hibridisasi orbital di mana orbital satu
tumpang tindih dengan dua orbital p untuk membentuk tiga orbital hybrid
yang baru. Hal ini karena terdapat tiga orbital atom p dalam sebuah atom,
hibridisasi ini menyisakan satu orbital p un-hibridisasi. Di dalam
hibridisasi sp2, orbital 2s hanya bergabung dengan dua orbital 2p
membentuk 3 orbital sp2 dengan satu orbital p tersisa.
3. Hibridasasi sp3
Hibridisasi sp3 adalah bentuk hibridisasi orbital di mana orbital satu
tumpang tindih dengan orbital p tiga. Oleh karena itu, tidak ada orbital p
yang tidak hibridisasi karena semua orbital p terlibat dalam proses
hibridisasi. Contoh dari hibridisasi sp3 adalah senyawa CH4. Pada CH4,
empat orbital hibrid sp3 bertumpang tindih dengan orbital 1s hidrogen,
sehingga menghasilkan empat ikatan sigma. Empat ikatan ini memiliki
panjang dan kuat ikat yang sama sehingga sesuai dengan pengamatan.

Sama
dengan

Konsep beberapa orbital yang terhidrasi sangat berguna dalam menjelaskan


bentuk orbital molekul dari sebuah molekul. Adapun bentuk-bentuk molekul dan
hibridisasinya, yaitu:
Domain Tipe Bentuk
PEI PEB Hibridisasi Contoh
Elektron Molekul Molekul
2 2 0 sp AX2 linier BeCl2
Segi tiga
3 3 0 sp2 AX2 BCl3
sama sisi

21
2 1 sp2 AX2E sudut SO2
4 0 sp3 AX4 Tetra hedral CH4
Trigonal
4 3 1 sp3 AX3E NH3 ; PCl3
piramida
2 2 sp3 AX2E2 Bentuk V H2O
Trigonal
5 0 sp3d AX5 PCl5
bipiramida
5
3 2 sp3d AX3E2 Bentuk T IF3
2 3 sp3d AX2E3 linier XeF2
6 0 sp3d2 AX6 oktahedral SF6
Segiempat
4 2 sp3d2 AX4E2 XeF4
6 planar
Piramida
5 1 sp3d2 AX5E IF5
segiempat

Contoh hibridisasi BCl3


Dari senyawa tersebut, unsur pusatnya adalah unsur Boron. Unsur boron
memiliki nomor atom adalah 5. Maka, unsur Boron tersebut kemudian di
konfigurasi elektronnya yaitu
5B = 1s2 , 2s2, 2p1
Elektron valensi = 3
Dari konfigurasi elektron di atas dapat digambarkan diagram orbital awal dari
elektron valensi Boron adalah:

2s2, 2p1
Orbital di atas belum mengalami hibridisasi. Kemudian, untuk dapat
memasangkan elektron pada B dengan elektron dari atom Cl diperlukan 3 buah
elektron yang tidak berpasangan. Untuk mendapatkan 3 elektron tidak
berpasangan inilah dilakukan perpindahan elektron dari orbital yang disebut
hibridisasi. Berikut diagram orbital dari
B setelah hibridisasi.

22
Dari diagram di atas terjadi hibridisasi yang terdiri dari orbital s dan orbital
p yang awalnya s2p1 menjadi sp2 dan menghasilkan molekul berbentuk segitiga
sama sisi.

2.5 Ikatan Rangkap dan Kasus Spesial Benzena


Benzena merupakan senyawa pada kimia organik yang berbentuk cairan
tidak berwarna dan mudah terbakar. Senyawa ini merupakan senyawa aromatik.
Penggolongan dari senyawa ini berdasarkan dari tingkat ketidakjenuhannya
yang sangat tinggi dan stabil terhadap pereaksi-pereaksi yang menyerang ikatan
phi (π).
Ikatan rangkap yang terjadi pada benzena lebih banyak dibandingkan
dengan alkena. Hal ini karena sepuluh tahun setelah ditemukan benzena
diketahui bahwa benzena memiliki rumus molekul C6H6. Ikatan rangkap pada
benzena berbeda karena ikatan rangkapnya dapat bereaksi secara substitusi.
Contoh:
C6H6 + Cl2 → C6H5Cl +HCl
Pada tahun 1872 Friedrich August Kekule mengusulkan bahwa benzena
mengandung tiga ikatan tunggal dan tiga ikatan rangkap ang berselang seling.

Pengukuran spektroskopik menunjukkan bahwa molekul benzena adalah


planar dan semua ikatan karbon-karbonnya sama panjang yaitu 1,39 Å. Ikatan
karbon-karbon pada benzena panjangnya di antara ikatan karbon-karbon
tunggal (1,47 Å) dan ikatan karbon-karbon rangkap (1,33 Å). Hal ini dapat
dibenarkan karena ikatan karbon-karbon pada benzena mengalami resonansi
(berpindah pindah). Inilah sebabnya mengapa benzena sukar mengalami adisi
dan mudah mengalami substitusi.

23
Ikatan karbon-karbon pada benzena terdiri atas ikatan sigma (σ) dan ikatan
phi (π). Menurut teori ini ikatan valensi orbital molekul terbentuk dari tumpang
tindih orbital-orbital atom. Ikatan kovalen yang terbentuk dari tumpang tindih
ujung dengan ujung disebut ikatan sigma (σ), sedangkan ikatan kovalen yang
terbentuk dari tumpang tindih sisi dengan sisi disebut ikatan phi (π).
Contoh ikatan sigma (σ) dari tumpang tindih orbital p – p (ujung dengan ujung)

Contoh ikatan phi (π) dari tumpang tindih orbital p – p (sisi dengan sisi)

Ikatan yang pertama antara dua atom merupakan ikatan sigma, dan ikatan
yang kedua merupakan ikatan phi. Jadi ikatan tunggal adalah ikatan sigma, dan
ikatan kovalen rangkap dua terdiri atas ikatan sigma dan ikatan phi.
Benzena memiliki enam karbon sp2 dalam sebuah cincin segi enam datar.
Tiap atom karbon memiliki satu orbital p yang tegak lurus bidang cincin.
Tumpang tindih keenam orbital p mengakibatkan terbentuknya enam orbital
molekul sehingga terbentuk awan elektron berbentuk “donat” pada bagian atas
dan bawah cincin segi enam benzena.

2.6 Teori Ikatan Valensi Pada Kompleks


Dalam teori ikatan valensi pembentukan senyawa koordinasi adalah reaksi
antara asam (logam atau ion logam) dan basa Lewis (ligand) dengan
pembentukan ikatan kovalen koordinasi (dativ). Hibridisasi orbital s, p dan d
logam dirumuskan untuk menjawab fenomena bentuk dan sifat magnetik
senyawa kompleks. Pada senyawaan kompleks Pt(II) dan Ni(II) sudut ikatan

24
ligan–logam–ligan adalah 90° dan bersifat diamagnetik. Pauling mengusulkan
terjadinya hibridisasi dsp2 yang mengarah ke sudut-sudut suatu persegi. Orbital
hibridisasi ini kemudian membentuk ikatan σ dengan ligand. Elektron dalam
ion bebas yang berjumlah 8 menjadi berpasangan dalam 4 orbital (n-1)d.

Dengan beberapa ligand tertentu, mis. Cl–, Ni(II) membentuk kompleks


berkoordinasi empat yang paramagnetik dan tetrahedral. Teori ikatan valensi
memperkirakan orbital d tidak mengalamai perubahan sebagaimana ion bebas
dan orbital yang berhibridisasi adalah sp3 atau sd3 atau kombinasi keduanya
untuk mendapatkan bentuk yang sesuai dan bersifat paramagnetik. Orbital
yang terlibat dalam hal ini adalah nd., karena orbital (n-1)d tidak lagi tersisa.

Karena banyaknya kompleks yang mengikuti keadaan ini maka muncul


aturan “kriteria magnetik tipe ikatan” yang memungkinkan peramalan bentuk
dari kemagnetan senyawaan kompleks d8. Diamagnetik = persegi,
paramagnetik = tetrahedral. Teori VB memperkirakan orbital d tidak
mengalamai perubahan sebagaimana ion bebas dan orbital yang berhibridisasi
adalah sp3 atau sd3 atau kombinasi keduanya untuk mendapatkan bentuk yang
sesuai dan bersifat paramagnetik. Orbital yang terlibat dalam hal ini adalah nd.
Untuk senyawaan dengan koordinasi 6, teori ikatan valensi merumuskan
hibridisasi orbital pada logam d2sp3. Orbital d yang memenuhi syarat untuk

25
terbentuknya oktahedral dengan ikatan σ antara metal dan ligand adalah dz2
dan dx2–y2. Untuk kompleks paramagnetik, orbital d yang digunakan adalah
yang pada level nd.

Fe(III) dalam kompleks memiliki 1 atau 5 elektron tak berpasangan. Low-


spin untuk kompleks dengan 1 elektron tak berpasangan, elektron ligand
memaksa elektron pada orbital 3d menjadi berpasangan sehingga ada tempat
kosong bagi elektron ligand untuk berhibridisasi dan membentuk ikatan. High-
spin untuk kompleks dengan 5 elektron tak berpasangan elektron ligand tidak
cukup kuat untuk membuat elektron elektron-elektron 3d menjadi berpasangan
dan menggunakan orbital 4d. Pada Co(II), jika low-spin maka satu elektron
dipindahkan ke orbital yang lebih tinggi.

Prinsip kenetralan elektron dan ikatan balik (back bonding):


1) Asumsi ligand berikatan koordinasi pada logam menyebabkan logam
memiliki muatan formal negatif.
2) Pauling mengatakan kompleks akan stabil bila keelektronegatifan
ligand dapat menyebabkan logam memiliki muatan nol, yang disebut
dengan prinsip kenetralan elektron.

26
Banyak kompleks yang menyalahi prinsip kenetralan elektron: logam dengan
bilangan oksidasi rendah berikatan dengan ligand yang keelektronegatifannya
rendah.
Kompleks karbonil stabil oleh kemampuan CO menerima “donasi balik”
kerapatan elektron dari atom logam. Dalam teori ikatan valensi proses ikatan
balik terjadi pada orbital π karbon yang menyebabkan ikatan dengan oksigen
melemah.

2.7 Struktur Senyawa Kompleks


Struktur senyawa kompleks dapat diprediksi dari bilangan koordinasinya.
Bilangan Koordinasi (BK) menyatakan banyaknya jumlah donor atom dari
ligan yang berikatan dengan atom atau ion pusat (pada bola koordinasi dalam).

27
Apabila ligan yang berikatan merupakan ligan monodentat maka bilangan
koordinasi akan sama dengan jumlah ligan.
Asam Lewis
Rumus Basa Lewis Atom Bilangan
(Atom/ion
Molekul (Ligan) Donor Koordinasi
pusat)
[Ag(NH2)2]+ NH3 Ag+ N 2
[Zn(CN)4]2- CN- Zn2+ C 4
[Ni(CN)4]2- CN- Ni2+ C 4
[PtCl6]2- Cl- Pt2+ Cl 6
[Ni(NH3)6]2+ NH3 Ni2+ N 6

Pembentukan senyawa kompleks dapat terjadi melalui dua hal yaitu:


1) Tanpa melibatkan proses eksitasi elektron (promosi)
Seringkali menghasilkan senyawa kompleks paramagnetik kecuali bila
orbital d berisi e- penuh.
Jika kompleks bersifat paramagnetik.
Contoh : [CoF6]3–
Co [Ar] 3d7 4s2
Co3+ [Ar] 3d6
↑↓ ↑ ↑ ↑ ↑ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
3d 4s 4p 4d

sp3d2
Jika kompleks bersifat paramagnetik.
Contoh: [NiCl4]2–
Ni2+ [Ar] 3d8
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑ ↑ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
3d 4s 4p

4sp3

2) Dengan melibatkan proses eksitasi elektron (promosi)

28
Menghasilkan senyawa kompleks paramagnetik dan diamagnetik
tergantung jenis promosi, yaitu:
a. Pemasangan e- dalam satu orbital,
b. Transfer e- ke orbital yg lebih tinggi,
c. Transfer e- ke orbital yg lebih tinggi kemudian dilanjutkan
dengan pemasangan e dalam orbital tersebut.
Contoh:
Jika kompleks bersifat diamagnetik.
[Co(NH3)6]3+
Co [Ar] 3d7 4s2
Co3+ [Ar] 3d6
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
3d 4s 4p 4d

d2sp3 oktahedral

Faktor-faktor yang mendukung terbentuknya senyawa kompleks dengan


bilangan koordinasi rendah adalah:
1) Kompleks memiliki ligan lunak dan atom pusat logam dengan biloks
rendah
Logam dgn biloks rendah kaya akan elektron sehingga tidak
memerlukan banyak ligan untuk tambahan elektron. Selain itu, logam
yang kaya akan elektron dapat mendonorkan elektronnya pada ligan
untuk membentuk ikatan π sehingga kompleks yang ada terstabilkan.
2) Ligan yang ada merupakan ligan yang besar dan ruah
Ligan besar memiliki efek sterik yang tinggi. Apabila jumlah ligan yang
terikat semakin banyak maka kestabilan kompleks cenderung
berkurang. Kestabilan kompleks optimum dapat diperoleh apabila ligan
yang terikat pada atom pusat jumlahnya berkurang atau sedikit.
3) Kebebasan dari counter ions (pada kompleks ionik rendah)
Kompleks kationik merupakan asam Lewis yang mudah
diserang/dikoordinasi oleh ion lain khususnya apabila ion lain tersebut

29
memiliki kebasaan yang tinggi. Untuk menjaga agar bilangan
koordinasi kompleks kationik tetap rendah maka digunakan ion lain
yang kebasaan dan kemampuan dalam mengkoordinasi atom pusat
bersifat rendah/lemah, misalnya nitrat (NO3-), perklorat (ClO4-),
tetrafloroborat (BF4-), heksaflorofosfat (PF6-), dll.
Faktor-faktor yang mendukung terbentuknya senyawa kompleks dengan
bilangan koordinasi tinggi adalah:
1) Kompleks memiliki ligan keras dan atom pusat logam dgn biloks tinggi
Hal ini akan meningkatkan kestabilan kompleks akibat kontribusi
interaksi elektrostatik yang tinggi antara atom pusat logam dgn ligan –
ligan.
2) Ligan yang ada berukuran kecil (low steric effect)
Ligan yang kecil akan meminimalkan tolakan antar ligan yang terikat
pada atom pusat shg kompleks lebih stabil meskipun BK-nya tinggi.
Ligan seperti ini contohnya F- dan O-2.
3) Kation pengimbangnya berukuran besar dan bukan merupakan asam
Kompleks dgn BK tinggi cenderung memiliki atom pusat dengan biloks
tinggi. Meskipun ligan yang terikat ukurannya kecil namun jumlahnya
banyak sehingga kompleks anionik yang dihasilkan berukuran relatif
besar. Untuk menstabilkan kisi kristal senyawa kompleks yang
diperoleh, diperlukan kation pengimbang yang bukan asam dan
berukuran relatif besar pula.
Macam-macam BK adalah:
a. BK rendah (1 – 3)
Umumnya terjadi pada logam d10 bermuatan +1, dengan ligan ruah
(bulky). Strukturnya:
n1 = Linier
n2 = Linier atau bengkok
n3 = Segitiga planar atau segitiga piramid
b. BK medium (4 – 8)
Struktur:
n = 4 (segi empat planar, tetrahedral)

30
n = 5 (TBP, piramida alas bujur sangkar, TBP – SP)
n = 6 (oktahedral, tetragonal bipiramidal, antiprisma trigonal, prisma
trigonal)
n = 7 (PBP, prisma trigonal dgn satu tudung, oktahedral dgn satu
tudung)
n = 8 (kubus, antiprisma bujur sangkar, dodekahedral trigonal)
c. BK tinggi (9 – 12)
Umumnya terbentuk antara atom pusat yang berukuran besar dan biloks
tinggi dengan ligan yang berukuran kecil agar diperoleh efek tolakan
minimal antara ligan-ligan. Struktur yang terbentuk adalah prisma
trigonal dengan tiga tudung (three capped trigonal prism).

2.8 Teori Medan Kristal dan Sifat Kemagnetan


Teori medan kristal (Crystal Field Theory), disingkat CFT, adalah sebuah
model yang menjelaskan struktur elektronik dari senyawa logam transisi yang
semuanya dikategorikan sebagai kompleks koordinasi. CFT sukses
menjelaskan beberapa sifat-sifat magnetik, warna, entalpi hidrasi, dan struktur
spinel senyawa kompleks dari logam transisi, namun dia tidak ditujukan untuk
menjelaskan ikatan kimia. PEB ligan dianggap memiliki muatan negatif yang
berinteraksi (secara elektrostatik) dengan orbital d pada atom pusat. Sifat
alamiah ligan dan kecenderungan terhadap ikatan kovalen diabaikan. Interaksi
elektrostatik:
• Muatan (+) dari ion logam tertarik ke muatan (-) ligand (anion atau
dipol) dan menghasilkan kestabilan.
• Elektron bebas (ligan) bertolakan dengan elektron bebas di orbital
d (logam).
• Interaksi ini disebut dengan medan kristal dan mempengaruhi
energi orbital d yang mana setiap orbital d memberikan efek yang
berbeda
Dalam teori medan kristal berlaku beberapa anggapan berikut:
1) Ligan dianggap sebagai suatu titik muatan.
2) Tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan.

31
3) Orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi
yang sama, akan tetapi jika terbentuk kompleks maka akan terjadi
pemecahan tingkat energi orbital d tersebut akibat adanya tolakan dari
elektron pada ligan, pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung
orientasi arah orbital ligandengan arah datangnya ligan.
4) Kelima orbital d tidak identik dan dapat dibagi menjadi dua kelompok
orbital t2g dan eg.
• Orbital-orbital t2g – dxy; dxz; dan dyz – memiliki bentuk yang
sama dan memiliki orientasi arah di antara sumbu x, y, da z.
• Orbital-orbital eg – dx 2-
y2; dan dz 2-
memiliki bentuk yang
berbeda dan terletak di sepanjng sumbu.
Orbital d

Spliting orbital d (Oktahedral)

Pada beberapa literatur, ∆o bernilai 10Dq.


Bagian atas (eg) naik sebanyak 6Dq, dan bagian bawah (t2g) turun sebanyak 4Dq.
Misal: satu e- di dxy memiliki energi -0,4∆o atau -4Dq relatif terhadap bary-
centre. Nilai sebenarnya bervariasi tergantung jenis logam dan ligannya.

Spliting orbital d untuk geometri lain

32
• Pentagonal bipiramida

• Piramida segiempat

• Trigonal bipiramida

Spin-tinggi dan Spin-rendah


Ligan-ligan yang menyebabkan Δ pemisahan orbital-d yang bertambah
disebut sebagai ligan-ligan ajang kuat, seperti CN− dan CO. Senyawa kompleks
yang memiliki ligan ajang kuat tidak akan menempatkan elektron-elektronnya ke
orbital yang berenergi tinggi. Hal ini sesuai dengan asas Aufbau. Kompleks yang
demikian disebut sebagai "spin-rendah". Sebagai contoh, NO2− yang merupakan
ligan ajang kuat. Ion oktahedron [Fe(NO2)6]3− yang memiliki 5 elektron-d akan
memiliki diagram pemisahan oktahedron yang kelima elektronnya berada di arah
t2g. Berikut ini adalah diagram ajang kristal [Fe(NO2)6]3−.

33
Sebaliknya, ligan-ligan (seperti I− dan Br−) yang berproduksi Δ orbital-d
yang kecil disebut ligan ajang lemah. Dalam kasus ini, merupakan bertambah
mudah menempatkan elektron di arah energi orbital yang bertambah tinggi daripada
menempatkan dua elektron pada orbital yang sama. Ini dikarenakan gaya tolak antar
dua elektron bertambah besar daripada Δ. Oleh sebab itu, masing-masing elektron
akan diletakkan pada setiap orbital-d terlebih dahulu sebelum dipasangkan. Hal ini
sesuai dengan kaidah Hund dan menghasilan kompleks "spin-tinggi". Sebagai
contoh, Br− merupakan ligan ajang lemah dan berproduksi Δoct yang bertambah
kecil. Makan, ion [FeBr6]3−, yang juga memiliki 5 elektron-d, akan memiliki
diagaram pemisahan elektron yang kelima orbitalnya dipenuhi secara tunggal.
Berikut ini adalah diagram ajang kristal [FeBr6]3−.

Supaya pemisahan spin rendah terjadi, energi yang dibutuhkan untuk


menempatkan elektron ke orbital yang sudah berlektron tunggal wajib bertambah
kecil dari energi yang dibutuhkan untuk menempatkan elektron tambahan ke orbital
eg sebesar Δ. Jika energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron
bertambah luhur dari menempatkan satu elektron di orbital eg, pemisahan spin
tinggi akan terjadi.

Crystal Field Stabilization Energy (CFSE)


Merupakan energi yang terlibat dalam penstabilan senyawa kompleks yang
diakibatkan oleh splitting orbital d karena adanya medan ligan. CFSE melibatkan
orbital yang memiliki energi yang lebih rendah dan sebagian lagi memiliki energi
yang lebih tinggi serta pairing energy (P).

34
Jika pemisahan orbital-d pada ajang oktahedron adalan Δoct, tiga orbital t2g
distabilkan relatif terhadap sentroid sebesar 2/5 Δoct, dan orbital-orbital eg
didestabilkan sebesar 3/5 Δoct. Stabilisasi ajang kristal bisa dipergunakan dalam
menjelaskan geometri kompleks logam transisi. Gagasan mengapa banyak
kompleks d8 memiliki geometri datar persegi merupakan sebab banyaknya
stabilisasi ajang kristal yang diproduksi struktur geometri ini dengan banyak
elektron 8. Berikut ini adalah energi stabilisasi ajang kristal oktahedron.

Sifat kemagnetan ion kompleks merupakan resultan dari momen spin dan
momen orbital dari ion atom pusat. Semakin banyak elektron tidak berpasangan
dalam suatu orbital maka sifat kemagnetan semakin tinggi. Ada dua jenis yaitu
paramagnetik dan diamagnetik. Penentuan sifat kemagnetan suatu senyawa
kompeks dapat dilakukan dengan metoda Gouy dan metoda Evans. Faktor lain yang
mempengaruhi sifat ini adalah suhu. Diagram pemisahan bisa membantu dalam
memprediksikan sifat-sifat magnetik dari senyawa koordinasi. Senyawa yang
memiliki elektron yang tak berpasangan pada diagram pemisahannya bersifat
paramagnetik dan akan ditarik oleh ajang magnet. Sedangkan senyawa yang tidak
memiliki elektron tak berpasangan pada diagram pemisahannya bersifat
diamagnetik dan akan disorongkan oleh ajang magnet.

Kelemahan teori medan kristal:


1) Teori ini menganggap bahwa semua interaksi yang terjadi antara ligan
dengan atom pusat adalah murni elektrostatik, namun terdapat beberapa
keganjilan dalam menjelaskan fakta yang ada, misalnya:
• Interaksi ligan netral H2O vs ligan anion OH-
• Ligan dengan µ besar H2O vs ligan dgn µ kecil NH3
• Kestabilan kompleks dgn biloks atom pusat nol dan ligan netral seperti
[Ni(CO)4]

35
2) Kelemahan tersebut mengindikasikan bahwa interaksi kovalen memiliki
peran dalam menjelaskan beberapa fakta tersebut.

36
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tiap orbital atom menggambarkan paling banyak dua elektron. Orbital
atom setengah penuh jika mengandung satu elektron. Orbital atom penuh jika
mengandung dua elektron. Dua elektron dibutuhkan untuk mengisi pada
tingkat energi sama untuk membentuk orbital molekul ikatan atau anti ikatan.
Teori ikatan valensi hanya memperhatikan elektron terluar (elektron
valensi) dari atom pusat sehingga geometri molekul dari senyawa kompleks
yang dibentuk dapat diketahui. Teori ikatan valensi (TIV) atau Valence Bond
Theory (VBT) mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk ketika
dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama oleh karena
efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada molekul
diatomik.
Tumpang tindih antara dua orbital –s tidak kuat karena distribusi muatan
yang berbentuk bola; pada umumnya ikatan s-s relatif lemah. Orbital –p dapat
bertumpang tindih dengan orbital –s atau orbital –p lainnya dengan lebih
efektif, karena orbita-orbital –p lebih terkonsentrasi pada arah tertentu.
Tumpang tindih antar orbital-orbital dapat menghasilkan ikatan sigma dan
ikatan phi.
Hibridisasi merupakan sebuah konsep bersatunya beberapa orbital atom
untuk membentuk orbital hibrid yang baru dan sesuai dengan penjelasan
kualitatif sifat ikatan atom. Konsep beberapa orbital yang terhidrasi sangat
berguna dalam menjelaskan bentuk orbital molekul dari sebuah molekul. Pada
hibridisasi terbagi menjadi 3 macam yaitu hibridisasi sp, hibridisasi sp2, dan
hibridisasi sp3.
Ikatan rangkap yang terjadi pada benzena lebih banyak dibandingkan
dengan alkena. Hal ini karena sepuluh tahun setelah ditemukan benzena
diketahui bahwa benzena memiliki rumus molekul C6H6. Ikatan rangkap pada
benzena berbeda karena ikatan rangkapnya dapat bereaksi secara substitusi.

37
Dalam teori ikatan valensi pembentukan senyawa koordinasi adalah reaksi
antara asam (logam atau ion logam) dan basa Lewis (ligand) dengan
pembentukan ikatan kovalen koordinasi (dativ). Hibridisasi orbital s, p dan d
logam dirumuskan untuk menjawab fenomena bentuk dan sifat magnetik
senyawa kompleks.
Struktur senyawa kompleks dapat diprediksi dari bilangan koordinasinya.
Bilangan Koordinasi (BK) menyatakan banyaknya jumlah donor atom dari
ligan yang berikatan dengan atom atau ion pusat (pada bola koordinasi dalam).
Teori medan kristal (Crystal Field Theory) adalah sebuah model yang
menjelaskan struktur elektronik dari senyawa logam transisi yang semuanya
dikategorikan sebagai kompleks koordinasi. Sifat kemagnetan ion kompleks
merupakan resultan dari momen spin dan momen orbital dari ion atom pusat.
Semakin banyak elektron tidak berpasangan dalam suatu orbital maka sifat
kemagnetan semakin tinggi.
3.2 Saran
Masih banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap untuk selanjutnya dalam pembuatan makalah mengenai teori
ikatan valensi dapat ditulis lebih lengkap dengan referensi materi yang baik.

38
DAFTAR PUSTAKA

Effendy. Sukardjo. 1985. Kimia Koordinasi. Jakarta: PT Bina Aksara


http://p2k.unimus.ac.id/ind/3040-2937/Hibridisasi-Orbital_194071_imwi_p2k-
unimus.html (Diakses 10 Oktober 2021).
https://www.nafiun.com/2013/09/struktur-benzena-dan-turunannya-ikatan.html
(Diakses 10 Oktober 2021).
https://www.pearson.com/content/dam/one-dot-com/one-dot-com/us/en/higher-
ed/en/products-services/course-products/tro-chemistry-4e-
info/pdf/chapter10.pdf (Diakses 10 Oktober 2021).
https://www.slideshare.net/windhaherjind/senyawa-koordinasi-kompleks (Diakses
10 Oktober 2021).
http://prananto.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/Struktur-Senyawa-Kompleks-
Ponco.pdf (Diakses 11 Oktober 2021).
http://prananto.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/Kimia-Koordinasi-Bag-I-
A_Ponco.pdf (Diakses 11 Oktober 2021).
https://p2k.itbu.ac.id/ind/2-3064-2950/Teori-Medan-Kristal_209784_itbu_p2k-
itbu.html#Energi_stabilisasi_medan_kristal (Diakses pada 16 Oktober
2021)

39

Anda mungkin juga menyukai