Anda di halaman 1dari 21

POLITIK ALIRAN DALAM PERALIHAN

KEKUASAAN DEMAK KE PAJANG

OLEH
ANANG HARRIS HIMAWAN

PERSEMBAHAN

RUMAH SEJARAH INDONESIA


WANASEMBUYAN
Home Based: Munggung – Saradan – Baturetno - Wonogiri
POLITIK ALIRAN DALAM PERALIHAN KEKUASAAN
DEMAK KE PAJANG

Abstrak
Tema sejarah Peralihan Kekuasaan Demak ke Pajang diambil karena, hingga saat ini, masih
menjadi wacana diskursus di kalangan akademisi khususnya sejarawan. Kalangan
sejarawan berbeda pendapat mengenai latar belakang berdirinya Kerajaan Pajang.
Pertama, berdirinya Pajang abad 16 M tersebut sebagai akibat ketidakberdayaan Demak
atas jatuhnya Malaka dan Maluku sebagai daerah “lumbung” kekayaan Jawa (Demak) ke
tangan Portugis, yang mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan politik di Demak, yang
memaksa kekuasaan politik pesisir tersebut dipindahkan ke daerah pedalaman, Pajang.
Kedua, berdirinya Pajang sebagai akibat puncak konflik politik internal Kasultanan Demak
sejak wafatnya Sultan Demak Pertama, Raden Patah. Ketiga, berdirinya Pajang merupakan
kembalinya “tahta” Majapahit kepada pewarisnya yang sah, yakni keturunan
Andayaningrat, menantu Brawijaya dari permaisuri, Dyah Annarawati. Keempat, berdirinya
Pajang merupakan akibat puncak perseteruan politik aliran keagamaan di antara para Wali
khususnya Wali pesisir yang masih memegang Islam murni (konservatif, puritan, muti’ah)
yang diwakili oleh figur Wali, Sunan Kudus; dengan Wali pedalaman (moderat, aba’ah)
yang diwakili oleh Sunan Kalijaga, di mana dalam pertarungan dua kekuatan besar tersebut
dimenangkan oleh kelompok moderat atau aba’ah. Kelompok terakhir tersebut memperoleh
dukungan penguasa pedalaman, yang tidak lain masih merupakan keturunan Brawijaya V.

Narasi sejarah yang umum tersampaikan, bahwa berdirinya Pajang merupakan solusi
strategis, baik politik, ekonomi dan teologis yang diambil berdasar keputusan para Wali
dalam “Ijtima ulama”di Gresik tahun 1490 Saka atau 1568 M.
Penelitian ini akan mengambil titik fokus pada latar belakang yang belum terungkap, yakni
pergulatan teologis dan aliran keagamaan sebagai salah satu dari keempat persoalan yang
menjadi penyebab dipindahkannya pusat kekuasaan dari pesisir Jawa ke pedalaman.

Kata Kunci: Politik Aliran, Peralihan kekuasaan, Demak, Pajang,

Abstract
The historical theme of the Transition of Power from Demak to Pajang was taken because,
until now, it is still a discourse among academics, especially historians. Historians differ on
the background to the founding of the Kingdom of Pajang. First, the establishment of Pajang
in the 16th century AD was a consequence of Demak's helplessness over the fall of Malacca
and Maluku as "granary" areas of Javanese wealth (Demak) into the hands of the
Portuguese, which resulted in an economic and political crisis in Demak, which forced the
coastal political power to be transferred to the interior placed, Pajang. Second, the
establishment of Pajang as a result of the peak of the internal political conflict of the Demak
Sultanate since the death of the First Demak Sultan, Raden Patah. Third, the establishment of
Pajang was the return of the "throne" of Majapahit to its legitimate heir, namely the
descendants of Andayaningrat, Brawijaya's son-in-law from the empress, Dyah Annarawati.
Fourth, the founding of Pajang was the culmination of a religious conflict between the Wali,
especially the coastal Wali who still adhered to pure Islam (conservative, puritan, muti'ah)
represented by the figure of Wali, Sunan Kudus; with Wali inland (moderate, aba'ah)
represented by Sunan Kalijaga, where in the battle the two great powers were won by the
moderate group or aba'ah. The latter group received the support of the inland rulers, who
were none other than the descendants of Brawijaya V.

Keywords: Stream Politics, Transition of power, Demak, Pajang,

A. Dari Mahapralaya Majapahit hingga Demak: Sebuah Pendahuluan


Pajang sebenarnya bukanlah daerah yang baru dikenal pada akhir abad 16. Daerah itu
sebenarnya sudah dikenal sejak masa kejayaan Majapahit, khususnya masa pemerintahan
Hayam Wuruk. Pada masa Hayam Wuruk, Pajang termasuk ―tanah mahkota‖ kekuasaan
Majapahit. Saat itu Pajang diperintah oleh Bhre Pajang atau Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja
yang tidak lain adalah adik dari Hayam Wuruk. Dalam kitab Negarakertagama diriwayatkan,
―Rin saka ksati Suryya san prabhu mahas ri pajan inirin in sanagara.‖1 Bahwa Hayam
Wuruk pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Pajang, yakni pada tahun saka
Aksatisuryya 1275 saka atau 1354 M.
Sedemikian pentingkah Pajang kala itu bagi Majapahit, sehingga memperoleh
kunjungan istimewa dari seorang Hayam Wuruk? Menurut De Graaf dan Peageaut,
kedudukan Pajang tidaklah begitu penting, meskipun wilayah tersebut berstatus ―tanah
mahkota‖ Majapahit abad 14.2 Keberadaan Pajang baru dianggap penting dalam konteks
kekuasaan Majapahit ketika dikaitkan dengan seorang tokoh Jaka Sengara atau
Andayaningrat, yang menikah dengan Dyah Ratna Pembayun, putri Brawijaya V serta
diangkat sebagai Adipati Pengging. Dalam kisah babad, Andayaningrat gugur di tangan
Sunan Ngudung saat penyerbuan Demak ke Majapahit yang berpusat di Daha pada 1517.
Sejak saat itulah Andayaningrat digantikan putranya Ki Ageng Pengging. Kemudian pada
masa Sultan Trenggono, Ki Ageng Pengging terbunuh di tangan Sunan Kudus saat
penyerbuan Demak ke Pengging.

1
Damaika, Mpu Prapanca: Kakawin Negarakertagama, pupuh 17, (Jogjakarta, Narasi 2008), hlm. 68-69.
Lihat juga: I Ketut Riana, Kakawin Desa Warnnana Utawi Nagara Krtagama, (Jakarta: Gramedia Pustaka
utama, 2009), hlm. 65.
2
HJ. de Graaf dan Pegeaud,Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 2001), hlm
232.
Pajang berdiri bukan secara serta merta. Berdirinya Pajang memiliki rangkaian dengan
peristiwa-peristiwa politik yang melanda Tanah Jawa, khususnya pergolakan politik pasca
meninggalnya Trenggono di Pasuruan saat melakukan ekspedisi penahlukan kawasan timur
Pulau Jawa tersebut pada 1527 M. Meski sejarahnya berangkat dari adanya pergolakan
politik di Demak, namun peristiwa itu tak lepas dari adanya rivalitas politik di antara
keturunan Brawijaya V yang lahir dari ketiga istrinya, yakni Dyah Annarawati atau Dewi
Dwarawati sebagai permaisuri, Wandansari serta Siu Ban Chi yang keduanya merupakan istri
selir raja Majapahit tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa dari ketiganya terlahir generasi
pewaris tahta kerajaan Majapahit pasca keruntuhannya dan meninggalnya Brawijaya dalam
penyerbuan Daha ke Trowulan oleh Dyah Ranawijaya 1478.
Dari Selir Wandansari, Brawijaya V menurunkan seorang putra mahkota Bondan
Kejawen, kemudian secara berurutan terlahir Getas Pendowo, Ki Ageng Selo, Ki Ageng
Henis dan Ki Ageng Pemanahan yang menjadi cikal bakal generasi awal Mataram Islam.
Sementara dari selir lain, yakni Siu Ban Chi asal Tiongkok terlahir Jin Bun atau Raden Bagus
Kasan atau Hasan atau lebih dikenal dengan Raden Patah, sebagai pendiri pertama
Kasultanan Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah; serta dari Permaisuri,
Dyah Annarawati atau Dewi Dwarawati asal Champa yang menurunkan Dyah Retno
Pembayun yang kemudian diperistri Andayaningrat, seorang Adipati Pengging, sekaligus
salah satu panglima perang Majapahit,
Pernikahan Brawijaya V dengan putri Tiongkok merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan hubungan bilateral antara Jawa dengan Tiongkok yang terjalin erat sejak
Wikramawardhana atau Hyang Wisesa atau Raja Majapahit ke IV. Diketahui pula bahwa
Wikramawardhana juga memiliki istri keturunan Tionghoa yang kemudian melahirkan Arya
Damar yang dikukuhkan sebagai Adipati Kukang (Palembang, sekarang). Hubungan
perkawinan antar kerajaan dalam sejarah merupakan sesuatu yang umum terjadi sebagai
bagian dari persekutuan antarnegara. Dan hal itu sudah lazim dilakukan sejak sebelum
Majapahit berdiri.3 Meski secara pasti belum penulis temukan sumber yang mengatakan,

3
Hubungan bilateral antarkerajaan melalui perkawinan pernah dilakukan pada masa Singasari ketika
menjalin hubungan diplomatik, baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara maupun kerajaan mancanegara.
Misalkan, hubungan diplomatik melalui tali perkawinan antara Singhasari dengan Kerajaan Melayu dengan
diboyongnya dua putri Melayu Dara Petak dan Dara Jingga saat terjadinya Ekspedisi Pamalayu, yang
dikemudian hari dinikahkan dengan petinggi kerajaan. Lihat: Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-
Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 4-6; Paul Michel
Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, (Yogyakarta: Mitra Abadi,
2009), hlm. 372; Sri Wintala Achmad, Sejarah Kejayaan Singhasari, (Yogyakarta: Araska Publishing, 2019),
hlm. 168; atau hubungan tali perkawinan antara Singhasari dengan Gelanggelang. Lihat: Sri Wintala Achmad,
ibid., hlm. 168; atau hubungan perkawinan adik Kertanegara, Putri Tapasi dengan Raja Champa, Jaya
bahwa pergolakan Demak memiliki kaitan dengan perebutan pengaruh penerus tahta
Majapahit, namun dugaan ke arah tersebut dimungkinkan tetap ada.
Dalam narasi sejarah, Demak merupakan kekuatan politik Jawa yang secara umum
berbasis maritim, mengingat letaknya yang lebih dekat dengan wilayah pesisir utara Pulau
Jawa. Meski Demak saat itu juga wilayah agraris penghasil beras yang sangat diperhitungkan
dalam perdagangan, namun hal itu hanya dijadikan sebagai komoditas dagang, bukan
dijadikan sebagai kekuatan komoditas utama penopang ekonomi kerajaan. Letaknya yang
tepat di bibir muara Selat Muria, Demak lebih banyak mengandalkan pada hasil pajak
perdagangan mengingat letaknya yang strategis sebagai wilayah transit dua arah, baik dari
timur pulau Jawa maupun sebaliknya.
Fokus kegiatan perekonomian maritim sebagai penopang ekonomi kerajaan itulah yang
membesarkan Demak sebagai salah satu kekuatan ekonomi pesisir Jawa yang sangat
diperhitungkan, bukan saja dalam kawasan regional saja, melainkan juga internasional.
Hampir semua kegiatan dan regulasi perekonomian bertumpu di pesisir. Sementara wilayah
pedalaman hanya dijadikan wilayah penyangga kerajaan. Kebijakan Demak tersebut
berimbas pula pada kegiatan-kegiatan lain, yakni politik ekspansi kerajaan dan kegiatan
sosial keagamaan yang salah satunya penyebaran Islam pasca surutnya pengaruh Hindu-
Budha pasca keruntuhan Majapahit.
Tampaknya, apa yang dilakukan Demak masih mengikuti gaya politik kekuasaan
sebelumnya yakni Majapahit. Meski berada jauh di wilayah pedalaman, keberhasilan
Majapahit dalam menguasai wilayah perairan Pulau Jawa menjadikan pesisir sebagai ladang
utama penghasil devisa kerajaan. Konsekwensinya adalah, wilayah-wilayah pedalaman
semasa kejayaan Majapahit masih sulit ditahlukkan, kecuali Daha yang letaknya berada di
sepanjang aliran Sungai Brantas yang alurnya bermuara di pesisir utara Pulau Jawa. Maka
sangat wajar ketika Majapahit masih berdiri, riak-riak perlawanan atas kebijakan rezim
tersebut berasal dari wilayah-wilayah pedalaman yang masih banyak sisa-sisa pengikut setia
Singhasari yang secara politis maupun ekonomi terabaikan, seperti misalkan Tumapel.
Kematian Arya Suganda, saudara Arya Teja merupakan bukti sejarah yang tak
terbantahkan, sebagai konsekuensi politis yang lebih mengunggulkan pesisir daripada
pedalaman. Hampir dapat dikatakan, bahwa kebijakan regulasi perekonomian kerajaan lebih

Singhawarman III. Lihat: Slamet Mulyana, Menuju Puncak Kemegahan, (Jogjakarta: LKIS, 2012), hlm. 158;
Sanusi Pane, op.cit., hlm.. 80; Bandingkan: Bernard H.M. Vlekke, Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah
Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm.71; Sri Wintala Achmad, op.cit., hlm. 168.
bertumpu dan menguntungkan pesisir, sementara pedalaman kurang diberikan kesempatan
andil dalam regulasi perekonomian kerajaan di wilayah tersebut.
Sama halnya pendahulunya, Demak pun juga demikian. Akibat kebijakan yang timpang
antara pesisir dan pedalaman, menjadikan wilayah pedalaman justru dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok oposisi, khususnya sisa-sisa kekuatan Majapahit yang ditopang oleh
pengaruh keturunan Brawijaya yang lain.
Dalam narasi sejarah peralihan Majapahit ke Demak tersebut ada dua hal yang menjadi
sorotan, yakni rivalitas di antara keturunan Brawijaya dan hadirnya pihak ketiga yang
dianggap sebagai energi baru bagi kekuatan lama yang tenggelam akibat konspirasi politik.
Pertama, Rivalitas dan kontestasi politik di antara keturunan Brawijaya yang dimaksud
adalah yang terlahir dari rahim Wandansari maupun Annarawati. Sebut saja Ki Ageng Selo,
Ki Ageng Henis, dan Ki Ageng Pemanahan. Pengaruh mereka tak bisa dianggap enteng,
bahkan hingga berdirinya Mataram Islam. Terlebih Ki Ageng Pengging yang merupakan
keturunan yang menurut alur silsilah ―dianggap sah‖ dari permaisuri, sepak terjang politiknya
dipandang cukup membahayakan bagi kedudukan Raden Patah, Raja Demak pertama yang
merupakan putra Brawijaya dari selir keturunan Tionghoa. Ia merupakan produk perkawinan
politik oligarkhi yang pernah membuat gaduh seluruh kawasan Majapahit.
Kedua, rivalitas dua kekuatan politik tersebut diperbesar dengan kehadiran seorang
Wali yang dianggap populis dan lebih memilih berada di luar lingkaran politik Demak. Ia
adalah Syekh Siti Jenar,4 seorang ulama yang pernah mengenyam pendidikan di Irak dan

4
Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang
menyebutnya Hasan Ali) juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Jabaranta, Syekh Lemahbang,
Ki Syekh Sunyata Jatimurti, Ki Syekh Jatimulya adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah
seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara. Adalagi yang mengatakan, awal
pergerakan dakwahnya adalah di Cirebon. Dalam Babad Jaka Tingkir, menyebutnya sebagai ahli tapa brata, ahli
laku, ahli rasa yang tak mudah terkecoh untuk membedakan rasa manisnya gula dan bukan gula. Lihat:
Moelyono Sastronaryatmo, Babad Jaka Tingkir (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1981), hlm.
73; Agus Wahyudi, Silsilah dan Ajaran Makrifat Jawa, (Jogjakarta: Diva Press, 2012), hlm. 85. Asal usul serta
sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur
mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Menurut Naskah Wangsakertan yang berjudul Negara Kretabhumi Sargha
III pupuh 76, tokoh yang juga bernama Syekh Lemah Abang ini lahir di Malaka dengan nama Abdul Jalil.
Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya. KH.
Muhammad Sholikhin mengatakan, masa kehidupan Syekh Siti Jenar adalah tahun 1426 sampai dengan 1517
M. Merupakan tokoh mistik falsafi. Dia memiliki banyak nama: San Ali (nama kecil pemberian orangtuanya),
Syekh Abdul jalil (nama yang diperoleh di Malaka), Syekh Jabaranta (sebuah nama yang dikenal di Palembang,
Sumatera dan daratan Malaka), Prabu Satmata, Syekh Lemah Abang, Syekh Siti Brit, Syekh Siti Bang, atau
Syekh Siti Luhung (gelar yang diberikan oleh para muridnya khususnya masyarakat Jawa Tengah), Syekh
Nurjati atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita (dalam babad Cirebon), Syekh Kajenar (dalam sastra Islam-
Jawa versi Surakarta, Syekh Wali Lanang Sejati, Syekh Jati Mula, dan Syekh Jatimurti Susuhunan ing Lemah
Abang. Lihat: KH. Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Narasi, 2011), hlm.30-31.
membawa aliran baru dalam pentas penyebaran madzhab teologis Tanah Jawa, Syiah
Akmaliyah Muntazhar. Dalam ajaran politik Syiah dikenal dengan gerakan pembebasan
mustadh’afin yakni sebuah gerakan yang mengidentikkan dirinya sebagai pembela kaum
tertindas untuk melepaskan diri dari hegemoni kekuasaan, baik bidang sosial dan politik.
Gerakan teologi pembebasan yang dibawanya tampaknya dianggap sebagai suntikan bagi
perlawanan kaum pribumi pedalaman yang selama pemerintahan Raden Patah terabaikan.
Maka, dalam narasi sejarah, sangat lazim dikenal perjuangan sosial keagamaan para
Wali yang lebih banyak berpusat di kawasan-kawasan pesisir Pulau Jawa, mengingat wilayah
tersebut secara politik ekonomi lebih menguntungkan Sangat wajar bilamana daerah
pedalaman menjadi lumbung kekuatan serta energi baru penyebaran aliran teologis yang
dibawanya, jauh dari pengaruh kekuatan madzhab teologis ahlus sunnah yang sejak awal
lebih berpusat di kawasan pesisir.
Maka, untuk mengendalikan kekuatan pedalaman tersebut, Demak melakukan manuver
politik kontra intelijen di bawah kendali Adipati Wanasalam.5 Gerakan kontra intelijen
tersebut berupa mengembangkan isu-isu keagamaan, yakni klaim penyesatan atas ajaran
Syekh Siti Jenar yang dianggap sebagai bentuk ―penodaan agama‖ (Islam). Operasi kontra
intelijen tersebut berupa menetapkan Ki Ageng Pengging maupun Syekh Siti Jenar, gurunya,

Lihat juga: Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, op.cit., hlm. 305-309. Menurut Rachimsyah, Syekh siti Jenar adalah
putra dari Syekh Datuk Shaleh. Moyangnya adalah Syekh Abdul Malik yang menikah dengan anak penguasa
setempat (Persia), lalu diberi nama Asamat Khan. Dia mempunyai anak, di antaranya dalah Abdullah
Khanuddin atau Maulana Abdullah. Selanjutnya Maulana Abdullah memiliki beberapa anak, dua di antaranya
adalah Ahmadsyah Jalaluddin atau Jaenal Abidin Al-Kabir dan Syekh Kader Kaelani. Ahmadsyah sendiri
akhirnya bermukim di Kamboja, sementara Kader Kaelani memiliki anak bernama Datuk Isa dan menjadi
penyebar Islam di daerah Malaka. Lihat: Rachimsyah, Biografi dan Legenda Walisanga, (Surabaya: Penerbit
Indah, tt), hlm. 212. Pendapat ini senada dengan naskah Wangsakertan Cirebon yang berjudul Negara
Kertabhumi, Sargha III pupuh 76. Lihat: Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Depok: Pustama IIMAN dan
LESBUMI NU, 2016), hlm 305.
Munir Mulkhan menceritakan, Syekh Siti Jenar berasal dari Cirebon, ayahnya adalah Resi Bungsu
seorang Pendeta. Nama aslinya adalah Ali Hasan atau Syekh Abdul Jalil. Ayahnyya marah lalu anaknya dikutuk
menjadi cacing dan dibuang ke sungai. Pendapat Munir Mulkhan ini tampaknya mengikuti cerita Babad. Lihat:
Hasanu Simon, op.cit., hlm. 365. Lain halnya D.A. Rinkes dalam The Nine Saint of Java, dia mengutip tulisan
tanggan Raden Ngabehi Soeradipoera, bahwa sejatinya Syekh Siti Jenar bernama Abdul Jalil putra Sunan
Gunung Jati. Menurut Serat Walisana karya Sunan Giri II, Syekh lemah Abang sejatinyya adalah tukang sihir
yang bernama San Ali Anshar, yang tidak diterima berguru dengan Sunan Giri. Sementara menurut certa lisan,
yang kebenarannya diyakini oleh para pengganut Tarekat Akmaliyah, tokoh Syekh Lemah Abang atau Syekh
Siti Jenar adalah putra Ratu Cirebon yyang ditugasi menyebarkan agama Islam di pedukuhan-pedukuhan yang
dinamai Lemah Abang, yyang tersebar dari wilayah Banten di Barat hingga Banyuwangi di Timur. Agus
Sunyoto, ibid., hlm. 304.
5
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: Grafitipress, 1986), hlm.
262; Dr. Hasanu Simon, Miisteri Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 418.
sebagai tersangka dan ditetapkan sebagai ―Daftar Pencarian Orang‖ karena menolak untuk
sebo ke kerajaan.
Dalam sebuah ―Operasi Senyap‖ yang dipimpin oleh Panglima perang Kerajaan
Demak, Adipati Kudus atau lazim dipanggil Sunan Kudus, berhasil membunuh Ki Ageng
Pengging, serta menangkap dan menghukum mati Syekh Siti Jenar,6 meski kematian Sang
Sufi Jawa dan gurunya tersebut hingga sekarang masih menyimpan kesimpangsiuran di
kalangan para ahli sejarah. Pasca mangkatnya dua tokoh yang sangat berpengaruh di
pedalaman tersebut, rezim Raden Patah semakin kuat. Meski begitu, pembersihan atas anasir-
anasir bahaya ―laten Majapahit‖ terus dilakukan. Dengan dalih ―pemurnian ajaran‖ (Islam),
satu persatu pengikut ajaran Syekh Siti Jenar ditangkap dan dihukum mati.
Kekuatan politik pedalaman tersebut makin menemukan jalannya, ketika Sunan
Kalijaga dapat merebut simpati Raja kedua Demak, Sultan Trenggono. Terlebih ketika Raja
ketiga Demak menjalin hubungan perkawinan dengan Sang Sunan, pengaruhnya makin kuat
menguasai suhu politik Demak. Hal ini terlihat dari keberhasilan Sunan Kalijaga melakukan
lobi politik terhadap Giri Kedaton yang saat itu sangat berpengaruh dalam mengendalikan
penguasa-penguasa pesisir. Kekuatan pengaruhnya tampak jelas dalam mengalihkan suara
dukungan pemilih Jaka Tingkir, bergabung dengan dukungan suara pemilih Prawoto.

6
Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (pen-jawa-an dari
wahdatul wujud). Mengenai bagaimana inti ajaran tersebut dapat dilihat penjelasan KH. Muhammad Sholihin
dalam Manungggaling Kawula-Gusti, (Jogjakarta: Narasi, 2008), hlm. 129; M Hariwijaya, Islam Kejawen,
(Jogjakarta: Gelombang Pasang, 2006), hlm. 293; Lihat juga: Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, op.cit., hlm. 308.
Ajaran tersebut justru membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain
menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam
karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti. Lihat: Agus Wahyudi,
op.cit., hlm. 29.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi atau tasawwuf yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek
formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo. Dalam catatan Agus Sunyoto, ajaran atau aliran
tasawwuf yang dikembangkan oleh Siti Jenar adalah Aliran Thariqat Syathariyyah dan Akmaliyyah. Lihat: Agus
Sunyoto, Atlas Walisongo, op.cit., hlm. 401, yang menurut Agus Wahyudi pemikiran Syekh Siti Jenar
barangkali banyak juga dipengaruhi oleh ajaran Syiah yang dia peroleh sewaktu mengembara ke Persia (Irak
dan Iran). Lihat: Agus Wahyudi, Silsilah dan Makrifat Jawa, ( Jogjakara: Diva Press, 2012), hlm.81. Hal senada
juga dikemukakan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, bahwa Syekh Siti Jenar berada di Persia selama 17
tahun dan berguru pada Syekh Abdul Malik Al-Baghdadi, penganut Syiah Muntadhar (sekte Syiah Imamiyah)
yang kelak menjadi mertua Syekh Siti Jenar atau Syekh lemah Abang, op.cit., hlm. 306. Di samping itu, ajaran
Tarekat Sathariyahnya dia peroleh dari saudara sepupunya yang juga guru ruhaninya, Syekh Datuk Kafi. Hasanu
Simon, op.cit. Bandingkan dengan penjelasan Nengah bawa Atmadja dalam Geneologi Keruntuhan Majapahit,
(jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 332-333.
Kekuatan koalisi suara pemilih Jaka Tingkir dan Prawoto itulah yang menjadi penyebab
kekalahan Penangsang dalam pemilihan raja Demak yang baru.
Pasca kekalahannya, Adipati Jipang melakukan pembangkangan terhadap Demak dan
berujung pada pemberontakan putra Raden Kikin tersebut. Untuk mengendalikan situasi dan
pemulihan keamanan negara, Jaka Tingkir selaku menantu Trenggono, diberi mandat sebagai
Panglima pemulihan keamanan dan mengambil alih pemerintahan sementara. Atau –menurut
Hasanu Simon- diangkat menjadi Pejabat Sultan.7 Sebenarnya, sepeningggal Trenggono dan
Prawoto, Demak masih menyisakan putra mahhkota yang juga memiliki hak untuk
didudukkan menjadi Sultan, yakni Pangeran Timur. Dia adalah putra Trenggono yang paling
bungsu dari 10 bersaudara. Tapi entah mengapa, yang kemudian dilantik menjadi pejabat
Sultan justru Hadiwijaya, sementara Pangeran Timur diberi mandat sebagai Adipati Madiun
dengan gelar Ki Ageng Panembahan Ronggo Djoemena. Pangeran Timur juga disebut dengan
Panembahan Purbaya. Dialah Bupati Madiun pertama.
Setelah Hadiwijaya dilantik menjadi pejabat Sultan, maka suami dari Ratu Mas Ayu
Cempaka tersebut memindahkkan kekuasaan dan segala urusan pemerintahan Demak ke
Pajang. Pemindahan pusat kekuasaan yang didukung penuh oleh Wali Pedalaman, Sunan
Kalijaga tersebut, sama halnya menarik kekuasaan dari pesisir ke pedalaman. Akhirnya,
persoalan tersebut serta kenaikan status Hadiwijaya dari Adipati ke pejabat Sultan menjadi
polemik baru dalam keluarga kerajaan Demak dan para Wali. Dalam hal ini, Kalijaga
sepakat, pusat kekuasaan dipindah ke Pajang, dengan alasan: Pertama, Demak sudah tidak
representatif untuk sebuah pusat kekuasaan karena sudah luluh lantak akibat serangan
Jipang.8 Kedua, jatuhnya Malaka dan Maluku ke tangan bangsa barat (Portugis), menjadikan
posisi politik ekonomi Demak menjadi lemah, baik di kawasan barat maupun timur pulau
Jawa. Mengingat, keduanya merupakan dua daerah penghasil devisa negara bagi Demak
khususnya dan Jawa pada umumnya. Ketiga, menarik semua kekuatan ekonomi di kawasan
hilir ke kawasan hulu, dan menguatkan posisi ekonomi kawasan pedalaman atau kawasan
hulu dalam turut serta memainkan peran regulasinya di bidang ekonomi. Keempat,
perkembangan Demak yang sudah menjadi kota internasional (emporium), yang –apabila

7
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.149.
8
Lihat: Daryanto, Panembahan Senopati, (Surakarta: Metamind, 2011), hlm. 39. Ada pula yang
mengatakan bahwa perpindahan kekuasaan Demak yang bercorak maritim ke Pajang di pedalaman yang
bercorak agraris –secara politis—dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan
keturunan Sekar Sedo Lepen pasca tewasnya Aryo Penangsang. Martin Moentadhim S.M, Pajang: Pergolakan
Spiritual, Politik, dan Budaya, (Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Genta Pustaka dan Yayasan Kertagama,
2010), hlm. 46. Namun teori ini sangat lemah, mengingat Aryo Penangsang tidak memiliki keturunan.
tidak dilakukan pemindahan- dikuatirkan akan memberi dampak buruk bagi kebudayaan
Jawa yang mulai memudarkan tradisi asli masyarakat Jawa kala itu. Kelima, percepatan
penyebaran Islam ke pedalaman yang masih dikuasai oleh tradisi Hindu-Budha-Animisme.
Sebaliknya, Sunan Kudus sebagai Wali Pesisir yang sebelumnya banyak memberikan
dukungan moril kepada Penangsang, sama sekali tidak menyepakati keputusan tersebut.
Alasan Sunan Kudus, pertama, dengan pemindahan tersebut memberikan pengaruh besar
bagi kekuasaan kasultanan di pesisir utara pulau Jawa, yakni hilangnya penguasaan atas
pesisir utara sebagai kota perdagangan; kedua, memudarnya nilai-niilai ajaran Islam yang
sudah terbentuk di pesisir, dan justru kemudian bercampur dengan nilai-nilai kepercayaan
lama.
Meski begitu, karena sudah menjadi keputusan bulat, pusat pemerintahan Demak tetap
dipindahkan ke Pajang, Itu berarti, segala hal terkait administrasi pemerintahan pun berpusat
di Pajang, hingga penetapan Hadiwijaya dari pejabat Sultan menjadi Sultan Pajang secara
definitif pada 1568 M.9 Pengangkatan Hadiwijaya sebagai penguasa penuh Pajang bukan
dilakukan di Pajang, melainkan di Giri Kedaton. Sebagaimana diceritakan oleh Thomas
Stamford Raffles dalam History-nya:
―Pada tahun 1490 (tahun Saka, atau 1568 Masehi, pen) dengan didasarkan atas alasan-
alasan-alasan religius, ia melakukan kunjungan kepada Sunan Giri dengan disertai Kiai
Gede Matarem dan juga serombongan raja-raja dan para pemuka agama yang sangat
banyak jumlahnya. Dia datang dengan mengendarai seekor gajah dan mendapatkan
perlakuan yang biasa diberikan kepada sultan-sultan di Bintara. Pada kesempatan itu,
dia kemudian dilantik menjadi seorang sultan di hadapan raja-raja dari propinsi-
propinsi bagian timur Jawa. Pada saat yang bersamaan Sunan Giri mengetahui
kedatangan Kiai Gede Matarem dan setelah diberitahu mengenai putra Kiai, Sunan Giri
berkata bahwa keluarga sang kiai suatu hari kelak akan memerintah seluruh wilayah
Jawa, dia juga memohon kepada Sultan Pajang untuk melindungi keselamatan sang kiai
dan berteman dengannya.‖10

9
Mengenai tahun pengangkatan Jaka Tingkir sebagai Sultan, semua penuliis sejarah sepakat, pada tahun
1568 M. Sementara pengangkatannya selaku Adipati Pajang, tidak ada yang bisa menunjukkan tahun secara
jelas. Hanya saja, berdasarkan prakiraan sekitar tahun 1528. Lebih lanjut lihat: Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti
Jenar, 151.
10
Thomas Stamford Raffles, The History of Java, alih Bahasa oleh Eko Prasetyoningrum dkk.,
(Jogjakarta: Narasi, cet. 3, 2014), hlm. 495.
Menurut penulis, dipilihnya tempat pengangkatan Jaka Tingkir di Giri Kedaton, bukan di Keraton Pajang
dan dikukuhkannya Jaka Tingkir sebagai Sultan Pajang adalah strategi untuk menahlukkan penguasa-penguasa
pesisir Jawa dan masyarakatnya yang kurang puas dengan dipindahnya Demak sebagai pusat pemerintahan dan
kekuasaan pesisir ke pedalaman atas inisiatif Sunan Kalijaga. Dalam artian, dengan mengambil tempat di Giri
Kedaton, maka ada harapan diakuinya Kasultanan Pajang dan Jaka Tingkir selaku Sultan Pajang oleh penguasa
dan masyarakat pesisir utara dan timur Pulau Jawa akan terpenuhi, meski di kemudian hari pun menemui jalan
Dengan dipindahnya pusat kekuatan politik pesisir ke pedalaman tersebut, maka
berakhir pula kekuasaan Demak yang berlangsung kurang lebih 90 tahun, terhitung sejak
berdiri tahun 1479. Sejak dipindahnya kekuasaan pesisir ke pedalaman tersebut, kekuatan
Jawa praktis banyak berpusat di pedalaman, yakni Pajang hingga berdirinya Mataram.
Sementara wilayah pesisir, sejak peristiwa Mahapralaya Demak, beralih tangan kepada
kekuasaan kolonial Barat, yakni Portugis, yang kemudian disusul VOC yang pada abad 17
berkantor dagang di Jepara.

B. Madzhab Teologis dalam Kerangka Perkembangan Politik Jawa Abad XV: Kajian
Pustaka
Sebuah kenyataan historis, bahwa tidak banyak informasi mengenai keterkaitan sejarah
perkembangan madzhab teologi dengan sejarah politik Jawa yang dapat ditemukan dalam
buku Sejarah Nasional Indonesia, yang merupakan salah satu buku acuan utama tentang
sejarah Indonesia yang ditulis oleh ilmuan Indonesia selama lebih dari 40 tahun sejak
pertama kali diterbitkan pada pertengahan tahun 1970-an.
Demikian halnya pada buku jilid III yang membahas tentang zaman pertumbuhan dan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Hampir sebagian besar bahasan tentang
Islam di Jawa pada abad ke-16, mengacu pada kenyataan sejarah yang terjadi di Demak, itu
pun tidak ditemukan bahasan secara detil mengenai madzhab teologi dan pengaruhnya dalam
sejarah politiknya.
Informasi yang lebih terbatas juga dapat dilihat pada buku teks acuan terbaru yang
ditulis oleh ilmuan Indonesia berjudul Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), yang
diterbitkan pada tahun 2012. Di dalam jilid 3 buku ini yang membahas tentang kedatangan
peradaban Islam. Mengenai perkembangan madzhab teologi tidak disinggung, kecuali
tentang peran dakwah Syekh Siti Jenar, dan itu pun hanya sedikit tak kurang dari satu
halaman saja. Sementara mengenai Kesultanan Pajang hanya dibahas dalam satu alenia dari
dua alenia dalam sub-judul Kesultanan Pajang.11
Demikian halnya dalam literatur-literatur lain seperti Buku Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Jilid 1 Dari Emporium Sampai Imperium tulisan Sartono

berliku, khususnya setelah Kasultanan Pajang direbut kembali oleh Benowo dari tangan Arya Pangiri atas
bantuan Panembahan Senopati Mataram.
11
Abdullah & Lapian, Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid 3 (PT. Ichtiar Baru van Hoeve &
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 37
Kartodirdjo, sama sekali tidak disinggung mengenai madzhab teologi dalam sejarah politik
kerajaan, demikian halnya mengenai Pajang, juga tidak disinggung. Salah satu indikatomya
dapat dilihat dari tidak adanya kata ―madzhab‖ dan ―Pajang‖ dalam indeks serta salah satu
judul bagi sub-bab pada pembahasan tentang perkembangan kerajaan-kerajaan Islam abad ke-
16 dalam buku yang ditulis oleh sejarawan utama Indonesia di abad ke-20 itu.
M.C. Ricklefs dalam karyanya A History of Modern Indonesia Since 1200-2008
merupakan contoh lain dari buku karya penulis asing yang sama sekali tidak memasukkan
unsur madzhab teologi Islam dalam perkembangan politik kerajaan di Jawa. Sementara
dalam bahasannya mengenai bab Munculnya Negara-negara Baru 1500-1650, meski
Ricklefs menyinggung mengenai peran Islam dalam perkembangan politik Jawa, namun
sama sekali tidak disinggung di dalamnya mengenai madzhab teologi yang berperan saat itu.
Termasuk ketika menyinggung mengenai sejarah berdirinya Giri Kedaton dan peran Sunan
Giri, penamaan daerah Kudus yang mengambil nama ―Al Quds‖ Yerusalam sebagai cita-cita
luhur Sunan Kudus atas daerah tersebut.12
H.M. Bernard Vlekke di dalam karya klasiknya Nusantara merupakan contoh lain dari
buku karya penulis asing yang juga tidak membahas dan memasukkan madzhab teologi
sebagai bagian dari kajian sejarah politik Jawa abad XV dam XVI. Vlekke hanya membahas
Pajang selintas saja, meski dalam karyanya tersebut ia mengatakan bahwa kerajaan ini
merupakan kekuatan politik utama yang berkembang di Jawa Tengah antara tahun 1560-
1590.13 Hal serupa juga dapat dilihat pada karya yang berjudul The History of Java yang
ditulis oleh Thomas Stamford raffles. Keberadaan Pajang dalam pembahasan pada intinya
ditempatkan dalam proses sejarah yang menghubungkan transformasi kekuasaan dari
Majapahit ke Mataram Islam. Raffless dalam History-nya hanya membahasnya selintas.
Tidak begitu mendetail.
Lain halnya dalam buku Mengislamkan Indonesia karya Carool Kersten, meski sejarah
tentang Pajang sebagai ―penyambung lidah‖ antara kekuasaan pesisir dan pedalaman tidak
dibahas secara khusus, namun dalam buku tersebut Kersten sedikit membahas mengenai
perang reputasi antara Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus dan keluarnya Sunan Prawoto dari
pengaruh keagamaan Sunan Kudus, beralih guru ke Sunan Kalijaga. Perang reputasi dalam
masalah Prowoto tersebut menjadi salah satu alasan Sunan Kudus ―angkat kaki‖ keluar dari

12
M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since 1200-2008 yang diindonesikan oleh Tim
Penerjemah Serambi dengan judul sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka,
2008), hlm. 74-75.
13
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia (Terj.), (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2008), hlm. 116-117.
lingkaran politik Demak. Ia mempertegas dirinya sebagai Muslim taat dan pemegang mandat
syariat Islam (baca: Islam Murni, puritan) menantang ulama atau Wali lain yang menurut
pandangannya dianggap sesat, seperti Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dan Syekh
Molana dari Krasak. Di mana puncak dari pertentangan teologis tersebut adalah kematian Siti
Jenar. Juga kematian seorang murid Syekh Jangkung, sementara Syekh Jangkung sendiri
diselamatkan dari hukuman mati atas campur tangan Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketegasannya
sebagai tokoh yang memegang teguh akidah Islam dibuktikannya melalui pendirian Masjid al
Manar Kudus di sebuah daerah yang bernama Tajug. Masjid tersebut memiliki nama lain
sebagai Masjid al-Aqsha, sebuah nama yang merujuk pada Masjid Suci di Yerusalem,
Palestina.14
Hampir senada dengan Kersten, H.J. de Graaf tentang Islam di Jawa merupakan
referensi yang paling banyak memberi informasi mengenai perkembangan Islam di Jawa.
Salah satu karyanya bersama Th. Pigeaud yang berjudul asli De eerste Moslimse
vorstendommen op Java, studien over de staatkundige geschiedenis van de 15de en I6de
eeuw dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kerajaan Islam
Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, merupakan karya yang
memberi perhatian yang sangat besar terhadap sejarah penyebaran Islam serta pembentukan
negara-negara Islam pasca keruntuhan Majapahit. Namun ia tak banyak membahas mengenai
madzhab teologis para pembawanya. Dalam buku tersebut, Graaf hanya sedikit
menyinggung mengenai sikap keras Sunan Kudus terhadap Syekh Lemah Abang dan
muridnya, Adipat Pengging atau Ki Ageng Pengging yang dianggapnya sebagai ―Si Bid’ah‖
hingga kematian keduanya. 15 Sedangkan pembahasan tentang Pajang dari berdirinya hingga
keruntuhannya hingga berdirinya Mataram pertama. Pembahasannya tidak hanya terbatas
pada bagian yang khusus membahas Pajang melainkan pada pokok-pokok bahasan tentang
kerajaan-kerajaan lain seperti Demak, Mataram, dan berbagai kerajaan kecil di Pulau Jawa.16
Mengenai pertentangan madzhab teologis serta pengaruhnya terhadap pengamblan
keputusan politik kerajaan di Jawa khususnya pada abad XV-XVI memang belum banyak di
ditulis dan dibahas oleh kalangan penulis sejarah, baik para penulis sejarah naional maupun
penulis sejarah dari Barat. Penyebab utamanya adalah terbatasnya referensi yang otoritatif

14
Carool Kersten, Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara (Terj.), (Tangerang:
Penerbit BACA, 2018), hlm. 66-67.
15
H.J. de Graaf, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah
Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2001) hlm. 261-263.
16
H.J. de Graaf, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Ibid., hlm. 266-275.
dan komprehensif tentang sejarah madzhab teologis dalam sejarah penyebaran dan
perkembangan Islam di Jawa.
Memang tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa karya sejarah tentang madzhab
teologis di nusantara khususnya di Jawa yang telah ditulis baik oleh sejarawan Indonesia
maupun asing. Akan tetapi tulisan-tulisan yang ada itu terpisah-pisah berdasarkan tema atau
kasuistik pada wilayah tertentu. Karya-karya sejarah mengenai sejarah madzhab teologis
abad XV-XVI yang ada, bukanlah sebuah keutuhan buku sejarah perkembangan Islam atau
sejarah tentang politik Islam di Jawa, lengkap dengan dinamika perkembangan madzhab
teologisnya yang benar-benar dapat dijadikan sebagai acuan utama.
Sementara, satu-satunya buku yang menggunakan judul ―Sejarah Jawa‖ yang dikenal
luas oleh masyarakat di Indonesia, History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford
Raffles, yang terbit pertama kali dalam bahasa Inggris pada 1817, dan baru diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia pada 2008; hanya membahas perkembangan politik Jawa, khususnya
peralihan kekuasaan Majapaht ke Demak, Pajang hingga Mataram. Dalam buku Raffles
(terjemahan) setebal 936 halaman tersebut sama sekali tidak disinggung mengenai
pertentangan madzhab teologi selama pergantian kekuasaan di Jawa tersebut.
Ada beberapa sebab yang dapat digunakan untuk menjelaskan keterbatasan informasi
mengenai sejarah pertarungan reputasi antar madzhab khususnya sepanjang peralihan
kekuasaan Majapahit, Demak dan Pajang, khususnya yang ditulis oleh ilmuan Indonesia.
Pertama, sebagian besar karya itu ditulis secara tematis-kronologis berdasarkan perspektif
indonesia sentris dalam sebuah ikatan yang terintegrasi untuk menonjolkan sebuah identitas
nasional Indonesia. Akibatnya, tidak mungkin memberi porsi yang besar kepada kenyataan
sejarah di tingkat lokal terlebih mengenai perang reptasi madzhab teologs dalam percaturan
politik kerajaan sepanjang abad XV-XVI, kecuali kenyataan sejarah yang telah dibingkai ke
dalam kesatuan sejarah nasional. Kedua, dibandingkan dengan penulisan sejarah mengenai
kerajaan-kerajaan sepanjang abad-abad tersebut, penulisan mengenai peran madzhab teologis
dipandang kurang penting, baik dalam sejarah Jawa maupun Indonesia. Ketiga, tidak terdapat
data yang memadai untuk menulis sejarah peran reputasi antar madzhab teologi dalam
pengaruhnya terhadap perkembangan politik kerajaan di Jawa. Jika pun ada, maka informasi
yang tersedia dianggap sebagai bagian terkecil dari pertentangan antar para Wali, yakni
antara Wali yang berada dalam lingkaran kekuasaan dengan Wali yang mengambil jarak
dengan kekuasaan atau Wali oposisi. Keempat, tidak adanya unsur asing yang menulis
mengenai persoalan tersebut, karenadanggap bukan bagian terpenting dan memiliki pengaruh
yang tidak signifikan bagai perkembangan politik di Jawa pada masa itu.
Catatan Tome Pires (1512-1515) yang banyak dijadikan acuan untuk membahas
tentang sejarah Jawa pada abad ke-16, hampir-hampir tidak mengabarkan mengenai
pergolakan politik yang dikaitkan dengan pertarungan reputasi antar madzhab teologis.

C. Madzhab Teologi vis a vis Politik Jawa Abad XV dan XVI


Tidak banyak sejarawan yang menulis mengenai peran madzhab teologis dalam kancah
pertarungan dan peralihan politik kerajaan sepanjang abad XV-XVI. Namun beberapa catatan
mengenai sejarah perang reputasi antar Wali di balik setiap keputusan politik adalah realitas
yang sulit terbantahkan.
Peran madzhab teologi Hanafi adalah sumber yang paling banyak ditulis oleh penulis
Barat khususnya De Graaf dalam karya yang telah diterjemahkan, Cina Muslim maupun yang
ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlndungan dalam Tuanku Rao, yang keduanya dijadikan
referensi dan bahan rujukan oleh salah satu sejarawan, Slamet Mulyana.
Madzhab ini dianggap begitu penting dalam peran penyebaran Islam khususnya
bersamaan dengan kedatangan delegasi diplomatik asal Tiongkok, Laksamana Cheng Ho.
Digambarkan, bahwa peran madzhab ini dapat ―menahlukkan‖ keyakinan-keyakinan yang
tumbuh dalam budaya masyarakat, adat istiadat dan keyakinan lokal, sehingga penyebaran
Islam saat itu dapat diterima dengan baik dan tanpa konflik, khususnya pada masa
pertengahan sejarah Majapahit hingga akhir kekuasaannya. Bahkan ketika memasuki masa
awal perkembangan kekuasaan Demak yang dianggap sebagai penerus tahta Majapahit.
Pergolakan dan perang reputasi madzhab baru muncul ketika Demak memasuki masa-
masa awal perkembangannya. Saat itu, tertulis dalam narasi sejarah nama Ki Ageng
Pengging, seorang Adipati yang wilayah kekuasaannya berada di lereng timur Merapi. Ia
adalah putra kedua Adipati Pengging pertama, Andayaningrat yang juga menantu Brawijaya
V dari permaisuri Dyah Annarawati. Artinya, dalam diri Ki Ageng Pengging mengalir darah
pewaris tahta Majapahit yang sah.
Penolakannya untuk sebo dan penyetoran pajak tahunan ke Majapahit menimbulkan
kecurigaan istana sebagai bentuk pembangkangan seorang Adipati yang kekuasaannya di
bawah kekuasaan Demak saat itu. Perang dingin antara Pengging-Demak semakin menajam
setelah hadirnya seorang tokoh Wali, penyebar Islam yang memiliki madzahab berbeda
dengan madzhab yang dianut kalangan Wali lain. Dialah Syekh Sit Jenar.
Dalam Atlas Walisongo, Agus Sunyoto menjelaskan, bahwa Siti Jenar adalah penganut
Aliran Thariqat Syathariyyah dan Akmaliyyah.17 yang menurut Agus Wahyudi pemikiran
Syekh Siti Jenar barangkali banyak dipengaruhi oleh ajaran Syiah yang dia peroleh sewaktu
mengembara ke Persia selama 17 tahun. Selama di Persia, ia banyak menyerap ilmu tasawuf,
yang salah satunya ia peroleh dari Syekh Abdul Malik Al-Baghdadi, penganut Syiah
Muntadhar (sekte Syiah Imamiyah) yang kelak menjadi mertua Syekh Siti Jenar atau Syekh
lemah Abang.18 Pertentangan politik yang menjadi bias teologi tersebut makin tampak nyata
setelah Sunan Kalijaga juga menyerap pengetahuan kepada Syekh Siti Jenar yang kemudian
hari menjadi mertuanya.
Madzhab teologi yang diperankan Sunan Kalijaga menurut penulis lebih kompromistis,
lebih meletakkan madzhab sebagai payung dan penyangga tradisi lama. Dalam ranah sosial,
madzhab ini lebih mengutamakan ―momong‖ tradisi yang sudah melekat dalam kehidupan
masyarakat. Tidak membiarkan tradisi lama hanyut begitu saja dan menjerumuskan atau
menjauhkan masyarakat dari ketauhidan, meski tradisi tersebut oleh sebagian kalangan
dianggap keluar dari ortodoksi Islam atau dalam bahasa umum disebut bid’ah. Namun di sisi
lain, dalam beberapa tradisi yang berkembang dimasukkan beberapa ajaran ortodoksi Islam,
yang di situ digunakan sebagai penyangga akidah umat. Dalam dunia akademis, madzhab
teologi yang diusung Sunan Kalijaga merupakan sintesa atas pertentangan madzhab teologi
pesisir yang lebih condong puritanis, muti’ah dengan madzhab teologi pedalaman yang
cenderung sinkretis, aba’ah.
Secara politis, persaingan reputasi kedua madzhab tersebut tampak jelas dalam narasi
sejarah peralihan kekuasaan politik Demak ke Pajang. Boleh jadi, keluarnya Cirebon dari
persekutuannya dengan Demak, disebabkan salah satunya oleh makin derasnya pergeseran
teologis Demak pasca wafatnya Trenggono yang sebelumnya puritan dan bergeser ke arah
sinkretik, mengingat kuatnya pengaruh teologi Sunan Kalijaga yang juga besan Trenggono;
di samping pula disebabkan oleh keengganan campur tangan politik Cirebon atas konflik
yang terjadi di Demak Bintoro,19 lebih-lebih setelah peralihannya ke Pajang.

17
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Depok: Pustama IIMAN dan LESBUMI NU, 2016), hlm 401.
18
Ibid., hlm. 306.
19
Keengganan untuk melanjutkan hubungan persekutuan yang pernah dijalinnya dengan Demak
tersebut ditunjukan oleh ipar Sultan Trenggono yakni Fatahillah. Dia engggan tunduk kepada Kasultanan
Pajang. Keengganan tersebut sangat komplek, baik karena perbedaan ideologi madzhab keagamaan, maupun
pemerintahan. Di samping pula kekecewaannya melihat perebutan kekuasaan antara keturunan Jin Bun (Raden
Patah) pasca wafatnya Sultan Trenggono 1546 M. Itulah sebabnya ia bertolak ke Cirebon. Ia ingin memperkuat
kota pelabuhan Cirebon, yang pernah diirebutnya secara damai dari Pajajaran pada 1526 M. Ia tidak ingin
melihat rezim Hadiwijaya melebarkan sayap kekuasaannya sampai ke Cirebon, termasuk pengaruh ideologi
Hingga sekarang, ada sebuah hipotesa yang belum terjawab: Lebih kental manakah
alasan politik dan teologis dalam perseteruan Demak-Pengging?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam politik Jawa pasca keruntuhan
Majapahit telah menyisakan ―PR Besar‖ dalam estafet kekuasaan. Yakni, siapa yang layak
dianggap sah sebagai pemangku kekuasaan Jawa di antara ketiga keturunan Kertabhumi atau
Brawijaya V. Apakah dari keturunan yang lahir dari rahim Wandansari; Siu Ban Chi atau
Annarawati.
Terpilihnya putra selir Jin Bun dan berdirinya Demak sebagai pelanjut tahta Majapahit
telah melahirkan perang reputasi sejarah Utara-Selatan atau Pesisir-Pedalaman hingga
berabad-abad lamanya, bahkan hingga Mataram berdiri. Hingga kini, belum ada satupun
sumber informasi yang menjelaskan mengenai alasan Wali memilih Jin Bun dan Bintoro
sebagai pelanjut Majapahit. Boleh jadi, keterpilihan Jin Bun merupakan bagian dari strategis
para Wali untuk tetap mempertahankan hegemoni pesisir atas Jawa. Atau dikarenakan pula
alasan kesiapan serta umur Jin Bun yang kala itu dipandang lebih tua dan siap dari segi
pengalaman.20 Mengingat, saat Majapahit runtuh, keturunan Brawijaya yang lain masih anak-
anak.21

sinkretiknya yang pernah dihukum sesat oleh Kasultanan Demak. Lihat: Hariwijaya, Islam Kejawen,
(Jogjakarta: Gelombang Pasang, 2006), hlm. 236.
20
Sejak kecil hingga dewasa Jin Bun hidup di bawah pengasuhan ayah tirinya, Arya damar di lingkungan
kraton Kadipaten Kukang (Palembang). Bahkan, ia pernah diberi mandat untuk melanjutkan tahta ayahnya
sebagai adipati, namun ia menolak dan memilih hengkang dari kraton dan pergi bersama adik tirinya, Raden
Timbal atau Raden Husen ke Jawa. Versi lain menceritakan, kepergian Hasan dan Husein ke Jawa karena
perintah Arya Damar, yakni untuk mengabdi ke Majapahit dengan pengawalan 22 orang prajurit kawal istana.
Dalam perjalanannya ke Jawa mereka singgah di Cirebon, minta doa restu Sunan Gunung Jati. Oleh Sunan
Gunungjati, Raden Hasan diminta untuk berguru kepada Sunan Ampel di Ampeldento, sementara Raden Tmbal
diminta langsung menuju Majapahit. Lihat: Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 46.
21
Seperti yang diceritakan dalam Babad Jaka Tingkir, Andayaningrat gugur mempertahankan negara dan
disusul Pembayun, istrinya, Kebo Kanigoro dan Kebo Kenongo saat itu di bawah pengasuhan sang nenek Dewi
Anarawati di Ampeldento, kediaman Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Di pesantren Sunan Ampel itulah Dewi
Anarawati masuk Islam bersama kedua cucunya dan belajar agama di bawah bimbingan Sunan Ampel. Setelah
Sunan Ampel wafat pada 1465, akhirnya Dewi Anarawati beserta kedua cucunya diboyong Sunan Bonang dan
tinggal di Bonang. Sama halnya di Ampel, bersama Sunan Bonang mereka juga ditempa dengan ilmu agama
dan diperlakukan dengan baik layaknya keluarga kerajaan. Namun belum genap setahun di Bonang, Dewi
Anarawati dipangggil Yang Kuasa dalam usia lanjut. Kedua cucunya tetap tingggal di Bonang. Para Wali lain
yang sering datang ke Bonang pun memperlakukan keduanya dengan baik. Bahkan Sunan Kudus, saat itu masih
usia setara dengan Kebo Kenongo. Meskipun Andayaningrat ayah Kebo Kenongo dan Kebo Kanigoro tewas di
tangan Sunan Ngudung, ayahnya Sunan Kudus, namun di wajah mereka tidak ada dendam sedikit pun. Terlebih
Sunan Ngudung pun juga telah tiada, tewas di tangan Adipati Terung saat penyerbuan ke Majapahit. Sementara
dari keturunan Wandansari, Bondan Kejawen, tidak pernah hidup dalam lingkungan istana. Sejak kecil ia
bersama Buyut Masarah, dan ketika remaja hingga dewasa ia di bawah pengasuhan Ki Ageng Tarub I, di daerah
Tarub, Pruwodadi sekarang. Lihat: Moelyono Sastronaryatmo, Babad Jaka Tingkir, (Jakarta: Departemen
Dalam perjalanan waktu, Demak dirundung prahara politik. Yakni adanya perebutan
kekuasaan di antara keturunan Jin Bun atau Raden Patah. Dalam ―tragedi‖ politik Jawa abad
pertengahan tersebut menewaskan Raden Kikin (Pangeran Sekar Sedo Lepen), Sunan
Prawoto dan Penangsang serta hancurnya infrastruktur kraton Demak. Kondisi stabilitas
politik dan ekonomi tersebut, memaksa dipindahnya pusat kekuatan politik Jawa dari pesisir
ke pedalaman. Hal itu belum termasuk adanya perang dingin antara Demak-Pengging hingga
terbunuhnya Syekh Lemah Abang22 dan muridnya Ki Ageng Pengging, yang hingga kini
masih menyimpan ―keremangan‖ sejarahnya.
Sumber mengenai ―keremangan‖ sejarah kematian Sufi Jawa tersebut masih
menyimpan misteri. Secara umum yang dipahami masyarakat Jawa hingga kini adalah oleh
sebab vonis mati atas tuduhan ―penodaan agama‖. Tidak banyak yang melihat, di balik
terbunuhnya Siti Jenar dan murid kinasihnya tersebut tersimpan misteri politik yang belum
tersingkap utuh hingga kini, apakah kematianya ―murni‖ sebagai akibat tuduhan penodaan
agama atau alasan politik Demak menyingkirkan pewaris tahta Majapahit yang lebih ―sah‖
berdasarkan ―hukum mawaris‖ kekuasaan?
Kalau mengikuti cara berpikir Soemarsaid Moertono23 yang merupakan salah satu
ilmuan utama Indonesia yang telah membahas secara mendalam mengenai konsep-konsep
kekuasaan Jawa, pada dasamya keabsahan sebuah kekuasaan dalam tradisi Jawa, khususnya
pasca-Majapahit dilakukan dengan cara mencari kesinambungan historis dengan kekuasaan
besar yang ada sebelumnya, agar ―ikut tersinari oleh aura keagungan‖ nurbuat atau wahyu.
Kalau berpijak pada yang dikemukakan Moertono, maka kesinambungan pewaris tahta
―sah‖ Majapahit akan jatuh ke tangan Ki Ageng Pengging sebagai keturunan dari permaisuri
Kertabhumi, Dyah Annarawati. Bila ini yang dijadkan pijakan, maka dibalik terbunuhnya Ki
Ageng Pengging merupakan peristiwa yang bernuansa politis. Sementara, persoalan

Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), hlm. 58-60; Agus Wahyudi, 5 Guru Agung Tanah Jawa, (Jogjakarta:
Araska, 2018), hlm. 16-19.
22
Namun, alasan penghukuman atas Syekh Siti Jenar oleh pemerintah Demak yang didasarkan tuduhan
penyebaran ajaran sesat, oleh KH. Muhammad Sholihin dianggap bukan persoalan pokok. Justru menurutnya,
alasan pokoknya adalah alasan politis, yakni popularitas Siti Jenar yang mengalahkan para Wali, serta
kedekatannya dengan para bangsawan eks Majapahit, yang salah satunya adalah Ki Ageng Kebo Kenongo.
Lihat: KH. Muhammad Sholihin, ibid., hlm. 131. Mengenai cerita tuduhan kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar
hingga sidang atas diri Syekh Siti Jenar dengan tuduhan ―penodaan agama‖ dapat dilihat dalam Muoelyono
sastronaryatmo, Babad Jaka Tingkir...op.cit., hlm. 80-85.
23
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Studi Tentang Masa
Mataram II Abad XVI Sampai XIX, (Jakarta: Yayasan Obor, 1985), hlm. 20; Soemarsaid Moertono, Negara dan
Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), hlm. 24-25.
penodaan agama, hanya untuk memudahkan Demak dalam menjustifikasi tindakannya. Boleh
jadi, bila tindakan penyingkiran atas Ki Ageng Pengging atas nama kepentingan politis, maka
secara moral dianggap mencederai keagungan Demak sebagai Kasultanan berbasis Islam dan
nama baik Raden Patah sebagai Sultan, atau sama halnya pula mengulang sejarah konflik
politik Majapahit dalam Paregreg.
Peristiwa serupa juga terjadi pada era kasultanan Pajang. Peralihan kekuasaan dari
Demak ke Pajang, pun menyisakan ―tanda tanya‖ besar hingga kini, Pertama, Apakah
peralihan dari pesisir (utara) ke pedalaman (selatan) Jawa tersebut murni keterdesakan
ekonomi Jawa oleh sebab datangnya bangsa Eropa Portugis, atau dikarenakan menjauhkan
pusat kekuasaan Jawa tersebut dari wilayah hegemoni Islam pesisir yang puritan? Kedua,
Atau bisa dikatakan, bahwa secara teologis, peralihan tersebut dianggap sebagai kemenangan
kaum aba’ah atas rivalitasnya di pesisir dengan kaum muti’ah? Ketiga, Peran sentral Giri
Kedaton dan Sunan Giri Prapen dalam peralihan Demak ke Pajang, serta pengukuhan Jaka
Tingkir sebagai Sultan Pajang. Keempat, apakah peralihan kekuasaan dari Sultan pertama
Pajang ke penggantinya Arya Pangiri, putra Prawoto atau cucu Trenggono merupakan
konsensus politik utara-selatan (pesisir-pedalaman), dengan meninggalkan sisa pewaris tahta
Demak, Pangeran Timur sebagai putra mahkota terakhir? Kelima, atau pengangkatan Arya
Pangiri sebagai pengganti sultan merupakan konsensus teologis sebagai ―wakil‖ dari
kelompok puritan sebagai usaha mempertahankan kemurnan Islam sebagai agama dari
tercampurnya dengan kepercayaan lama, meski pengangkatan tersebut sebenarnya kurang
memperoleh dukungan politis dari Senopati (Mataram, kelompok aba’ah) yang juga
memiliki garis keturunan dengan Brawijaya V dari selirnya Dyah Wandansari.

D. Analisis
Dalam sejarah kekuasaan Jawa yang terbaca dari abad XV hingga kini, memiliki
keanekaragaman versi. Kebenaran atas setiap peristiwa yang dianggap ―fakta‖ tergantung
penuh pada cara kita membacanya dari masing-masing versi, yang tentu terukur dari
mutawatir atau tidaknya sumber yang dibaca dan diperolehnya.
Pertama, mengenai peralihan kekuasaan pesisir ke pedalaman.
Jatuhnya Malaka dan Maluku ke tangan Barat (Portugis) sebagai sumber kekuatan
ekonomi Jawa mungkin bisa dijadikan alasan petinggi Demak dan ulama (wali) untuk
memindahkan kekuasaan politik Jawa untuk menjauh dari pesisir. Alasan lain adalah, karena
pesisir saat itu sudah berubah menjadi wilayah metropolis Jawa yang bukan hanya dimiliki
oleh kekuatan politik regional saja melainkan internasioanl. Ditambah lagi dengan hancurnya
infrastruktur pemerintahan pesisir akibat perang.
Kedua, perubahan dan perkembangan kawasan memiliki pengaruh besar pula pada
makin kuatnya kontestasi teologis, di mana wilayah pedalaman menjadi perhatian khusus
untuk digarap sebagai lahan dakwah ―yang terlupakan‖ yang memiliki tantangan lebih berat
karena pengaruh budaya dan tradisi lama. Dan ini dipandang hanya bisa dijangkau melalui
strategi kompromistis dakwah yang saat itu hanya dimiliki oleh kekuatan teologi sinkretik
dengan Sunan Kalijaga sebagai ―Panglima Dakwah‖.
Ketiga, kekuatan Giri Kedaton dan pengaruh Sunan Giri Prapen memiliki andil cukup
besar. Pengaruhnya cukup mengakar kuat di kalangan penguasa dan ulama pesisir. Sampai-
sampai Portugis menyebut Giri Kedaton sebagai ―Vatikan Tanah Jawa‖ dan Sunan Giri
sebagai ―Pausnya Tanah Jawa‖.
Kedudukan Sunan Giri dan Giri Kedaton saat itu merupakan lambang ―Teokrasi‖nya
Tanah Jawa. Di situlah segala keputusan politik dan agama sekaligus memiliki peran penting
dalam proses percaturan kekuasaan serta perkembangan masa depan teologis di Jawa.
Membaca peran Giri Kedaton sebagai ―puser‖nya Jawa, boleh jadi terinspirasi dari model
teori kekuasaan Al-Farabi (872-951 M). Seorang filsuf Muslim kelahiran Farab, Kazakhtan
yang banyak di kenal sebagai al Mu’allimus Tsani (Guru Kedua) dalam bidang filsafat
setelah Plato. Ia merupakan pemikir politik yang perfeksionis. Dia menciptakan teori politik
dengan menggabungkan berbagai pemikiran politik yang dipelajari dari para filsuf Yunani,
seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Teori politik Alfarabi sangat kental dengan nuansa
teologis yang bermuara kepada kesatuan tujuan sejati manusia, yaitu kebahagiaan duniawi
dan ukhrawi. Hal itu dapat dilihat pada karyanya As siyaasah al Madaniyyah yang salah
satunya mengenai teori kepemimpinan.
Bagi al-Farabi,24 pimpinan utama adalah orang yang dapat memuaskan berbagai
kehendak dan keinginan warganya yang beragam, dapat menjaga dari ancaman musuh,
sehingga harta bendanya tidak berkurang kecuali untuk kebutuhan dasar saja. Pimpinan
utama dalam arti sebenarnya, menurut Alfarabi adalah orang utama yang dapat menentukan
dan mengarahkan perbuatan warganya menuju kebahagiaan. Apabila ketentuan telah
disepakati, tetapi pimpinan tidak bisa menepatinya, maka dia boleh mengundurkan diri,
diberhentikan, atau dibunuh. Jika tidak, maka di kota ini akan selalu terjadi kekacauan dan
penentangan terhadap pimpinan itu.

24
Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpinan dalam Pemikiran al-Farabi dalam Jurnal Al-A’raf, Vol
XIV, Nomer 2, Juli-Nopember 2017, hlm. 303.
Konsep inilah yang tampak diperankan oleh Giri Kedaton dan Sunan Giri ketika
menyikapi kondisi politik Jawa pasca perang saudara, serta mempertimbangkan berbagai
pendapat ulama mengenai langkah yang harus diambilnya serta harus memutuskan layak
tidaknya kekuatan politik Demak dilanjutkan yang kemudian mengambil keputusan
dipindahnya pusat politik Jawa tersebut ke pedalaman Pajang, serta pengangkatannya atas
Jaka Tingkir sebagai Sultan Pajang di Giri Kedaton 1568 M.
Keempat dan sekaligus Kelima, yakni dalam melihat keputusan politik diangkatya Arya
Pangiri serta jatuhnya kekuasannya sebagai Sultan Pajang kedua. Bagi kelompok ―Pro
Demak‖ akan melihat kekuasaan Pangiri di Pajang sebagai kemenangan kembali superioritas
pesisir atas pedalaman, secara politis; atau kemenangan muti’ah atas hegemoni aba’ah secara
teologis. Dan penempatan orang-orang pesisir sebagai pejabat di Pajang merupakan bagian
dari bentuk ―pengamanan‖ bagi kebijakan dan keberlangsungan rezim Pangiri di Pajang.
Sementara bagi yang ―Pro Pajang‖, peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari Pangiri ke
Benowo dianggap sebagai ―penyelamatan‖ aset kekuasaan Pajang (pedalaman) dari tangan
rezim pesisir, serta ―mengamankan‖ tradisi serta kepercayaan sinkretis (kompromistis
kelompok moderat) secara teologis.
Cara melihat semua peristiwa yang terjadi pada akhir abad XV hingga akhr abad XVI
itulah yang hingga kini masih menimbulkan tanda tanya besar. Terlebih, dalam masa itu yang
dipandang oleh sejarah masa kini merupakan kegelapan yang belum tersingkap.
Melihat peristiwa-peristiwa lampau yang terjadi pada masa-masa transisi kekuasaan
Demak ke Pajang, termasuk peristiwa yang dianggap berlatar teologis tersebut, maka dapat
dibaca bahwa peralihan kekuasaan di Jawa dalam beberapa dekade, khususnya dalam setiap
moment pesta demokrasi tak lebih merupakan pengulangan-pengulangan sejarah semata.
Peristiwa ―penodaan agama‖ oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok hingga
penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok Islam Puritan yang
oleh penguasa dianggap radikal, tak lebih merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
adanya rivalitas politik di mana isu-isu teologis dijadikan justifikasi bagi setiap rivalitas
panggung kekuasaan.
Tentu dalam hal membaca setiap peristiwa lampau, dibutuhkan ―kesehatan‖ nalar
dalam melihat peristiwa yang terjadi, tanpa meninggalkan sumber-sumber sanad yang
minimal ―Shahih‖ agar kita sebagai bagian dari sejarah tidak terjebak dalam keberpihakan
―buta‖. Dengan demikian, sejarah lampau yang terbaca dapat ditempatkan sebagai sebuah
peristiwa yang minimal mendekati fakta ―yang sesungguhnya‖.

Anda mungkin juga menyukai