Anda di halaman 1dari 2

Revitalisasi Pendidikan Keluarga Pasca Pandemi

Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri


Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Siapa yang menyangka sebelumnya kalau dunia pendidikan akan mengalami perubahan yang
sangat fundamental. Perubahan mendasar ini terjadi ketika Pandemi Covid-19 memaksa segala
bentuk aktifitas keseharian kita, harus dipindahkan ke dalam rumah. Pendidikan menjadi bidang
kehidupan yang mengalami pukulan telak. Proses pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh
guru di sekolah harus diambil alih orang tua di rumah.
Apa yang umum dipahami orang tua sebagai pendidikan selama ini adalah menyekolahkan
anaknya pada lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Fenomena ini oleh Dr. Adian Husaini
dinamakan sebagai “Sekolahisme”. Sekolahisme adalah penyakit yang menjangkiti pemikiran
masyarakat yang menyamakan pendidikan dengan sekolah. Orang tua hanya berkewajiban untuk
mencari nafkah dan cukup dengan menyekolahkan anak-anaknya, tanpa merasa wajib untuk
mendidik mereka karena tugas tersebut sudah diserahkan kepada guru-guru di sekolah.
Tidak adanya pengalaman mendidik anak di rumah ini tentu adalah masalah. Menurut Senza
Arsendy dkk. (tim peneliti di INOVASI), apabila orang tua tidak dapat mengadakan pendidikan
di rumah dengan baik dapat menyebabkan Learning Loss pada anak. Learning loss merupakan
hilangnya pengetahuan ataupun keterampilan yang telah anak-anak dapatkan selama belajar di
sekolah. Selanjutnya Syaikhu Usman (Peneliti Senior, SMERU Reaserch Institute) mengatakan
learning loss berpotensi untuk menghapus bonus demografi yang diprediksi akan terjadi di
Indonesia pada 2030-2040.
Pandemi yang secara paksa menyadarkan para orang tua beban berat mendidik anak
menyebabkan mereka kelabakan. Orang tua tanpa kesiapan ilmu dan kemapuan mendidik yang
mumpuni tentu akan mengalami kesulitan dalam membimbing anak belajar di rumah. Menurut
Liawati (Dosen Manajemen UNPAM), mengajar anak di rumah bukan cuma harus “tahu tentang
apa”, tetapi juga harus “tahu bagaimana mengajarkannya”.
Dalam mengadakan pembelajaran di rumah, kita juga mengenal istilah Homeschooling (sekolah
rumah). Akan tetapi, homeschooling pun disalahpahami orang tua sebagai memindahkan
pembelajaran dari sekolah ke rumah dengan ketentuan yang diatur oleh sekolah, ataupun
mempekerjakan guru untuk mengajar anak mereka di rumah. Kesalahpahaman ini menurut Fikri
Muslim dkk. (tim peneliti LIPI) adalah tidak sesuai dengan filosofi sebenarnya dari
homeschooling. Menurut Fikri dkk., poin mendasar dalam pelaksanaan homeschooling adalah
peran sentral dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak di rumah. Pendidikan secara
sadar dan aktif dilaksanakan oleh orang tua kepada anak-anak mereka dalam lingkungan
keluarga. Tentu pelaksanaannya harus menyesuaikan kebutuhan anak yang berbeda-beda di
setiap keluarga.
Sebagai contoh ideal, kita dapat meneladani bagaimana Haji Agus Salim yang memutuskan
untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda dan memilih untuk mendidik
mereka di rumah. Beliau dengan kesibukannya sebagai Pemimpin Sarekat Islam dan Menteri
Luar Negeri Indonesia dalam tiga kabinet mampu mengadakan homeschooling dengan baik.
Hanya Ciddiq (anak ke-10/terakhir) yang berkesempatan duduk di bangku sekolah sampai lulus
SMA.
Haji Agus Salim dan Zainatun Nahar (istrinya) mulai mengajak ngomong anak-anaknya sejak
bayi dengan bahasa Belanda. Kala itu bahasa Belanda adalah bahasa ilmu pengetahuan dan
bahasa kaum terpelajar. Maka ketika berusia 3-4 tahun anak-anaknya sudah mampu
berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda.
Tidak ada metode dan aturan yang ketat dalam belajar. Pelajaran dilakukan dalam keadaan
santai, seakan-akan sambil bermain. Semua waktu dan keadaan dijadikan sebagai proses
pembelajaran. Anak-anaknya ditanamkan budi pekerti dengan bercerita dan keteladanan
langsung dari orang tua. Mereka juga dirangsang untuk banyak bertanya dan tidak menerima
begitu saja apa yang didengar. Untuk mendukung pendidikan di rumah, Nahar sejak awal
pernikahan dianjurkan dan dibimbing untuk terus membaca dan belajar. Salim juga menyediakan
banyak buku untuk dibaca anak-anaknya di rumah. Demikianlah Haji Agus Salim sebagai tokoh
perjuangan kemerdekaan mendidik anak-anaknya.
Memasuki percobaan PTM (Pembelajaran Tatap Muka) ini proses pembelajaran secara bertahap
mulai dilakukan di sekolah secara terbatas. Mengembalikan pembelajaran di ruang kelas dengan
tetap taat protokol kesehatan, tidak semestinyalah menjadi alasan bagi orang tua untuk kembali
melepaskan tugasnya sebagai guru keluarga. Penguatan peran orang tua bukan hanya sebagai
fasilitator, tetapi turut aktif dalam mendidik anak. Mulai dari pelajaran sekolah sampai pelajaran
kehidupan, pelajaran teoritis sampak praktik keteladanan. Tugas penting inilah yang harus
dikuatkan dalam tahap transisi memasuki kehidupan pasca pandemi.
Revitalisasi (menghidupkan kembali) pendidikan keluarga ini bukan hanya tanggungjawab orang
tua, tetapi mencakup pemangku kebijakan, sekolah, sampai tenaga pendidik. Pandemi Covid-19
adalah tonggak awal untuk mengembalikan tugas utama pendidikan orang tua di rumah. Latihan
panjang selama pandemi diharapkan dapat mengembalikan peran orang tua dan merevitalisasi
pendidikan keluarga di rumah. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai