Anda di halaman 1dari 73

FARMASETIKA DASAR 1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan modul Farmasetika Dasar
bagi mahasiswa Farmasi STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG.
Buku ini di berikan dengan maksud agar mahasiswa dapat melaksanakan
praktikum dengan baik dan mudah.
Modul Farmasetika Dasar dimaksudkan untuk mengimbangi kemampuan
mahasiswa dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
farmasi. Agar terjadi proses perkuliahan yang mengarah pada peningkatan skill
mahasiswa dalam menghadapi tantangan, maka sudah selayaknya dilakukan
pendalaman materi yang terfokus pada realitas di lapangan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam buku ini, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan dan semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak.

Tangerang Selatan, Februari 2022

Penulis

FARMASETIKA DASAR 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... 2

BAB I PERKEMBANGAN ILMU FARMASI DAN FARMASETIKA ........................... 4

BAB II PENULISAN DAN PELAYANAN RESEP DAN PERHITUNGAN DOSIS .... 12

BAB III PRINSIP-PRINSIP DALAM FARMAKOLOGI ............................................. 28

BAB IV PROSES YANG DIALAMI OBAT DALAM TUBUH .................................... 35

BAB V FASE FARMAKOKINETIK ........................................................................... 47

BAB VI FARMAKODINAMIK ................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 58

FARMASETIKA DASAR 3
BAB I
PERKEMBANGAN ILMU FARMASI
DAN FARMASETIKA

I. Sejarah Kefarmasian

Karena pengetahuan dan kesabaran para ahli purbakala, jenis dan


obat khusus yang digunakan untuk terapi pada zaman dahulu terungkap
seperti yang kita kenal sekarang ini. Sejumlah tablet, gulungan kertas dan
barang peninggalan kuno lainnya terhitung mulai tahun 3000 SM telah
dapat diuraikan dan diungkapkan oleh ahli purbakala untuk mengetahui
sejarah kedokteran dan farmasi; dokumen-dokumen kuno seperti
“Sumerian clay tablet“ yang berkaitan dengan sejarah manusia, berupa
suatu lembaran yang terbuat dari tanah liat berisi catatan bangsa Sumeria
dari milenium ketiga sebelum masehi dan diyakini merupakan resep tertulis
yang tertua di dunia. Tulisan tersebut memuat pembuatan sediaan dari biji
tanaman kayu, resin gom markhazi, thymus, semua bahan tersebut digerus
hingga menjadi serbuk dan dilarutkan dalam bir, kombinasi serbuk akar
Moon plant dan pohon pir putih juga dilarutkan dalam bir. Mungkin yang
paling terkenal dari benda-benda bersejarah yang bertahan yaitu Ebers
papyrus, suatu gulungan kertas sepanjang 60 kaki dan selebaar satu kaki
yang ditemukan pada abad ke-16 SM. Dokumen ini sekarang tersimpan di
university of Leipzig, diberi nama seorang Jerman ahli Mesir yang terkenal
bernama Georg Ebers yang menemukan gulungan kertas terseblut di dalam
sebuah makam mumi dan menterjemahkannya sebagian, selama setengah
dari akhir abad ke-19. Sejak saat itu banyak ahli berpartisipasi dalam
penerjemahan dokumen yang dituliskan dalam bahasa Mesir kuno ini.
Meskipun interpretasi atas terjemahan tulisan tersebut tidak semuanya
sama, namun tidak diragukan bahwa bangsa Mesir masih menggunakan
obat-obatan seperti ini sampai tahun 1550 sebelum masehi, bentuk
sediaannya sampai sekarang masih digunakan.

FARMASETIKA DASAR 4
Tulisan Ebers papyrus disominasi oleh formula obat, dengan lebih
dari 800 formula aatau resep yang telah dideskripsikan danl lebih dari 700
obat yang disebutkan. Obat-obat tersebut sebagiaaan besar berupa bahan
nabati, meskipun obat –obat yang berasal dari dari mineral dan heewani
juga tercantum. Bahan-bahan nabati seperti akasia, biji jarak (dari bahan ini
diperoleh minyak jarak), dan adas disebutkan bersama rujukan bahana
mineral seperti besi oksisda, natrium karbonat, natrium klorida, dan
belerang. Pembawa yang digunakan pada saat itu yaitu bir, anggur, susu
dan madu. Banyak formula farmasetika menggunakan dua lusin bahan obat
atau lebih, formula ini merupakan jenis ssediaan yang kemudian hari
disebut polifarmasi.

II. Tokoh-Tokoh Besar Farmasi

Sepanjang sejarah, banyak orang telaha berperan dalam


pengembangan ilmu kesehatan. Beberapa orang yang tercatat karena
kejeniusan dan kreativitasnya dan telah memberikan pengaruh yang
revolusioner pada pengembangan dunia kefarmasian dan kedokteran,
antara lain :
a. Hippocrates
Hipocrates (460-370)
sebelum masehi),
seorang dokter bangsa
Yunani yang
memperkenalkan
farmasi dan kedokteran
secara ilmiah, rasional
danmenyusun
sistematika kedokteran
serta meletakkan praktik
kedokteran pada bidang
etika yang tinggi.
Konsep dan
pandangannya tertuang dalam Sumpah Hippokratik yang terkenal

FARMASETIKA DASAR 5
tentang perilaku etis untuk profesi kedokteran. Karena rintisan
pekerjaannya di bidang ilmu kedokteran dan pengajarannya yang
inspiratif serta pandangan hidupnya yang

b. Dioscorides

Dioscorides (abad ke-1 SM), seorang dokter dan ahli botani bangsa
Yunani, merupakan orang yang pertama kali mengembangkan botani
sebagai suatu ilmu farmasi terapan, sekarang dikenal dengan
“farmakognosi” yaitu istilah yang diambil dari dua kata Yunani,
pharmacon (obat) dan gnosis (pengetahuan), beberapa obat yang
dideskripsikan oleh Dioscorides meliputi opium, ergot, hyoscyamus,
sampai saat ini masih digunakan dalam dunia kedokteran. de materia
medica merupakan hasil karyanya, dipandang sebagai suatu tonggak
bersejarah dalam pengembangan botani farmasetika dan dalam studi
bahan obat yang berasal dari bahan alam. Pada zaman ini sudah mulai
membuat suatu deskripsi tentang cara identifikasi dan mengumpulkan
bahan alam, cara penyimpanan yang tepat, juga cara mendeteksi
pemalsuan atau kontaminasi.

c. Caludius Galen
Claudius Galen ( 130 –200
SM ), seorang dokter dan
ahli farmasi bangsa Yunani
yang mendapatkan
kewarganegaraan
Romawi, berupaya untuk
menciptkan suatu sistem
fisiologi/faal, patologi dan
pengobatan yang
sempurna. Galen
memformulasikan doktrin
yang dipatuhi selama 1500
tahun, merupakan penulis yang paling produktif di zamannya; karya

FARMASETIKA DASAR 6
meliputi ilmu kedokteran, obat-obatan, hukum, filsafat dan tata bahasa.
Membuat formula dengan menguraikan bahan alam, dikenal dengan
“farmasi galenik “. Formulanya yang paling terkenal yaitu cold cream
atau krim dingin, disebut juga Galen’s cerate.
d. Raja Frederick II
Raja Frederick II (Jerman, th 1240 setelah masehi) Pada zaman itu
farmasi masih tetap bergabung dengan fungsi kedokteran hingga
meningkatnya keragaman jenis obat dan bertambahnya kompleksitas
peracikan yang menuntut keahlian seorang farmasis dalam seni
peracikan, maka ketika Kaisar Jerman Frederick II memerintah, beliau
mengeluarkan maklumat/Dekrit “Two Sicilies“ yang memisahkan farmasi
dari kedokteran. Dengan pemisahan kedua profesi tersebut maka dunia
farmasi semakin membutuhkan pengetahuan, keterampilan, inisiatif dan
tanggung jawab yang khusus agar pelayanan lebih terjamin.
e. Philippus Aureolus Theophrastus Bombastus Von Hohenheim
Philippus Aureolus
Theophrastus
Bombastus Von
Hohenheim (1493-1541
SM) seorang dokter dan
ahli kimia dari Swiss,
“Paracelsus“ sebutan
dirinya. Dia
memperkenalkan ilmu
tumbuh-tumbuhan
menjadi suatu profesi
yang berdasarkan ilmu
kimia. Ia berkeyakinan
bahawa untuk mengobati setiap penyakit yang spesifik dapat dilakukan
dengan suatu bahan kimia untuk terapi internal.
f. Sweden Karl Wilhelm Scheele
Swede Karl Wilhelm Scheele (1742-1786). Seorang ahli farmasi dari
Swedia, banyak melakukan penelitian dan banyak zat kimia yang
dihasilkan ( asam laktat, asam sitrat, asam oksalat, asam tartrat dan

FARMASETIKA DASAR 7
asam arsenat ). Ia juga mengidentifikasi gliserin, menemukan metode
baru untuk pembuatan kalomel dan asam benzoat serta menemukan
oksigen.
g. Fiedrich Surterner
Friedrich Serturner (1783 – 1841), ahli farmasi dari Jerman, melakukan
isolasi Morfin dari Opium. Pada tahun 1805 mendorong sejumlah
kegiatan isolasi bahan aktif lainnya dari tanaman obat oleh sejumlah
farmasis.
h. Joseph Caventou
Joseph Caventou ( 1795-1877 ) dan Joseph Pelletier ( 1788-1842 )
berhasil mengisolasi “kinin” dan “sinkonin” dari sinkona , “striknin” dan
“brucin” dari nux vomica. Pelletier bersama Pierre Robiquet (1780-1840)
mengisolasi kafein, sementara Robiquet sendiri memisahkan codein
dari opium. Hingga hari ini terus menerus para peneliti melakukan isolasi
bahan alam menjadi suatu bahan aktif yang mempunyai aktivitas
terapeutik yang berguna dan lebih spesifik. Sebagai contoh paklitaksel
(taxol) yang diisolasi dari tanaman sejenis pohon cemara di daerah
pasifik (Taxus baccata) dan digunakan sebagai antitumor dan kanker
ovarium; vincaleukoblastine merupakan senyawa antineoplastik dari
Vinca rosea; digoksin suatu alkaloid jantung yang berasal dari Digitalis
lanata.

i. Pelletier dan Sertuner


Sepanjang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Eropa, karena
keahliannya, Pelletier dan Serturner mempunyai kedudukan yang tinggi,
mereka menerapkan seni dan ilmu farmasi untuk pembuatan produk
obat dengan standar kemurnian, keseragaman dan kemanjuran yang
sangat tinggi pda saat itu. Perkembangan ekstraksi dan isolasi sangat
pesat dan mendorong pengembangan bentuk sediaan yang memiliki
keseragaman kekuatan yang mengandung bahana terapeutik tunggal
dari bahan alam.

FARMASETIKA DASAR 8
III. Sejarah Perkembangan Kefarmasian di Indonesia
Farmasi di Indonesian berkembang secara berarti setelah masa
kemerdekaan, jadi relatif masih muda. Pada zaman penjajahan Hindia
Belanda maupun Jepang kefarmasian di Indonesia berkembang sangat
lambat dan masyarakat kurang mengenal profesi farmasi. Pada masa
setelah kemerdekaan tenaga farmasi di Indonesia pada umumnya masih
terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah masih sedikit. Sementara
apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria,
Jerman dan Belanda. Meskipun demikian pada masa peperangan di Klaten
didirikan Perguruan tinggi Farmasi tahun 1946 dan di Bandung tahun 1947.
Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi tersebut mempunyai andil yang
sangat besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian sampai sekarang.
Sejarah kefarmasian Indonesia dapat dilihat dalam beberapa
periode, yaitu :

a. Periode Zaman Penjajahaan sampai Perang Kemerdekaan: tonggak


sejarah kefarmasian diu Indonesia pada umumnya diawaliu dengan
pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda
b. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958 :
pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak
dirintis, namun industri farmasi masih banyak mengalami hambatan dan
tantangan yang berat, misalnya kekurangan devisa dan terjadinya
sistem penjatahan bahan baku obat sehingga yang dapat bertahan
adalah industri yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Sekitar tahun
1960-1965 Indonesia dalam kesulitan ekonomi yang cukup berat,
sehingga industri farmasi hanya dapat memproduksi obat sesuai
dengan jatah bahan baku yang ada. Disamping itu karena pengawasan
belum dapat dilakukan dengan baik banyak terjadi kasus bahan baku
dan obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan standar.
c. Pada Periode 1960-1965 Pemerintah menerbitkan beberapa
perundang-undangan yang berkaitan dengan kefarmasian, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Kesehatan
2. Undang –undang Nomor 10 tahun 1061 tentang barang

FARMASETIKA DASAR 9
3. Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan, dan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek.

Pada periode ini juga patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di


Indonesia bahwa diakhirinya apotek dokter dan apotek darurat dengan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 33148/48/kab/176 tanggal 8 Juni
1962, antara lain ditetapkan 2 hal yaitu :

a. Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembentukan apotek-dokter,


b. Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1
januari 1963.

Berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan


Menteri Kesehatan Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang
isinya antara lain :

a. Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembentukan apotek darurat,


b. Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah tingkat I sejak tanggal 1
Pebruari 1964,
c. Semua izin apotek darurat di Ibu kota Daerah Tinggkat II dan kota-kota
lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Mei 1964.

Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok


Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional. (Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 39521/lab/199 tanggal 11 Juli 1963).

IV. Peran Farmasi


a. Industri Farmasi
Industri Farmasi yang berperan dalam menemukan, mengembangkan,
memproduksi dan memasarkan obat-obatan.
1. Menjadi bagian dari bidang penelitian dan pengembangan R&D
2. Bertugas dalam pembuatan obat dibagian produksi farmasi
3. Bertugas dibidang informasi ilmiah dan masalah perundang-
undangan farmasi
4. Bertugas dibidang promosi, informasi dan pelayanan obat

FARMASETIKA DASAR 10
5. Bertugas dibidang penjualan dan pemasaran obat
b. Farmasi Rumah Sakit
Peran apoteker dalam Farmasi Rumah Sakit lebih bersinggungan
langsung dengan pengobatan pasien di mana seorang apoteker rumah
sakit berinteraksi langsung dengan dokter sehingga dapat
mempengaruhi pengobatan pasien secara langsung.
c. Regulatory
Peran apoteker dalam regulasi berhubungan dengan persetujuan,
pendaftaran dan kontrol kualitas obat, kosmetik dan alat kesehatan, dan
dengan lembaga penegak, termasuk departemen bea cukai, yang
mengontrol distribusi obat melalui saluran resmi dan gelap, dan sebagai
inspektur dari pembuatan , impor, distribusi dan penjualan obat.
d. Akademik
Apoteker bidang akademik terlibat dalam pendidikan, praktek farmasi,
dan penelitian di sekolah farmasi atau perguruan tinggi farmasi. ketiga
aspek dari kegiatan akademik saling terkait, dan pada saat yang sama
terhubung dengan perencanaan dan manajemen tenaga kerja.
e. Farmasi Komunitas
Salah satu peran apoteker di farmasi komunitas adalah sebagai
penanggung jawab di apotek yang berperan dalam pengecekan akhir
dari resep dan obat yang akan diserahkan kepada pasien.
Orang yang dipandang banyak mengetahui tentang obat adalah
Apoteker. Karena hal tersebut merupakan tanggung jawabnya yaitu :
1. Harus mengetahui bagaimana obat digunakan atau diminum
2. Apoteker harus tau tentang reaksi efek samping obat
3. Apoteker hars tahu tentang stabilitas obat dalam bermacam-
macam kondisi
4. Apoteker harus mengerahui toksisitas dan dosis
5. Apoteker harus mengerti tentang rute penggunaan obat
f. Farmasi Militer
Farmasi Militer memiliki peran yang sama pada produksi sediaan
farmasi di Industri Farmasi dan Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

FARMASETIKA DASAR 11
BAB II
PENULISAN DAN PELAYANAN RESEP
DAN PERHITUNGAN DOSIS

I. RESEP
Pemahaman tentang resep obat tidak terlepas dari pemahaman tentang
obat-obat yang tertulis didalam resep meliputi nama obat, jumlah, khasiat,
bentuk sediaan yang diinginkan dan cara pemakaiannya, untuk itu perlu belajar
tentang singkatan bahasa latin, dosis obat dan cara penggunaan obat tersebut.
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker
untuk membuat dan atau menyerahkan obat kepada pasien. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027MenkesSKIX2004, resep adalah
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap.
Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker
harus menanyakan kepada dokter penulis resep.
a. Isi Resep
Dalam resep harus memuat:
1. Nama, alamat, dan nomor ijin praktek dokter, dokter ggi dan dokter
hewan.
2. Tanggal penulisan resep (inscriptio)
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep, namun setiap obat
atau komposisi obat (invocatio)
4. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signature)
5. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku (subscription)
6. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter
hewan
7. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimal

FARMASETIKA DASAR 12
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak
boleh ada iterasi (ulangan); ditulis nama pasien tidak boleh m.i = mihi ipsi =
untuk dipakai sendiri; alamat pasien dan aturan pakai (signa) yang jelas,
tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (usus cognitus).
Untuk penderita yang segera memerlukan obatnya, Dokter menulis
bagian kanan atas resep: Cito, Statim, Urgent, P.I.M = periculum in mora =
berbahaya bila ditunda, resep ini harus dilayani.
Bila dokter tidak ingin resepnya yang mengandung obat keras tanpa
sepengetahuan diulang, dokter akan menulis tanda N.I = ne iteratur = tidak
boleh diulang. Resep yang tidak boleh diulang ialah: resep yang
mengandung obat narkotik, psikotropik atau obat yang lain yang ditetapkan
oleh Menkes cq. Dirjen POM. Harus dengan resep baru.

b. Cara Penulisan Obat dalam Resep


Penulisan obat di dalam resep disusun berdasarkan urutan berikut :
1. Obat pokoknya ditulis dulu, yang disebut remidium cardinale (basis).
2. Remidium adjuvantia/ajuvans, yaitu bahan atau obat yang menunjang
kerja bahan obat utama.
3. Corrigens, yaitu bahan atau obat tambahan untuk memperbaiki warna,
rasa, dan bau obat utama.
4. Constituens/vehiculum/exipiens, yaitu bahan tambahan yang dipakai
sebagai bahan pengisi dan pemberi bentuk untuk memperbesar volume
obat.

c. Ketentuan Penulisan Resep


1. Secara hukum dokter yang menandatangani suatu resep bertanggung
jawab sepenuhnya tentang resep yang ditulisnya untuk penderitanya.
2. Resep ditulis sedemikian rupa sehingga dapat dibaca,
sekurangkurangnya oleh petugas di apotek.
3. Resep ditulis dengan tinta atau lainnya, sehingga tidak mudah terhapus.
4. Tanggal suatu resep ditulis dengan jelas. Tanggal resep ditebus oleh
penderita di apotek tidak mutlak sama dengan tanggal resep yang ditulis
oleh dokter: obat bisa saja baru diambil oleh penderita satu atau

FARMASETIKA DASAR 13
beberapa hari setelah resep diterimanya dari dokter (oleh karena
sebab/alasan tertentu).
5. Bila penderita seorang anak, maka harus dicantumkan umurnya. Ini
penting bagi apoteker untuk mengkalkulasi apakah dosis obat yang
ditulis pada resep sudah cocok dengan umur si anak. Ada nama
penderita saja tanpa umur, resep tersebut dianggap untuk orang
dewasa. Pencantuman umur ini berlaku bila penderita berumur 12 tahun
kebawah.
6. di bawah nama penderita hendaknya dicantumkan juga alamatnya: ini
penting dalam keadaan darurat (misalnya salah obat) penderita
langsung dapat dihubungi. Alamat penderita di resep juga akan
mengurangi kesalahan/tertukar memberikan obat bila pada suatu waktu
ada dua orang yang menunggu resepnya dengan nama yang kebetulan
sama.
7. Untuk jumlah obat yang diberikan dalam resep dihindari memakai angka
desimal, untuk menghindari kemungkinan kesalahan.
8. Untuk obat yang dinyatakan dengan satuan unit, jangan disingkat
menjadi u.
9. Untuk obat atau jumlah obat berupa cairan, dinyatakan dengan satuan
ml, hindarkan menulis cc atau cm3.
10. Preparat cairan berupa obat minum untuk anak, diberikan sebanyak 50
ml, 60 ml, 100 ml, atau 150 ml.
11. Preparat cairan untuk obat minum orang dewasa, diberikan sebanyak
150 ml, 200 ml, 300 ml.
12. Preparat cairan untuk obat luar seperti obat kumur atau kompres,
diberikan sebanyak 200 ml, 300 ml. 13) Untuk obat tetes (obat tetes
mata/hidung/telinga) diberikan sebanyak 10 ml (Joenoes, 2001)

d. Bahasa Latin dalam Resep


Bahasa latin dalam resep, tidak saja untuk penulisan nama-nama
obat tetapi juga untuk ketentuan-ntuan menganai pembuatan atau bentuk
obat, termasuk petunjuk-petunjuk aturan pemakaian obat yang pada
umumnya ditulis berupa singkatan. Untuk menghindari salah interpretasi,
singkatan-singkatan bahasa Indonesia untuk obat dan juga aturan pakainya

FARMASETIKA DASAR 14
sedapat mungkin dihindarkan,
karena dapat meragukan makna.
Gambar disamping merupakan
contoh Resep yang lengkap.
Beberapa contoh singkatan
bahasa Indonesia yang
hendaknya dihindari adalah
sebagai berikut:
1. Kalau hendak memberikan
“obat batuk hitam” jangan
disingkat dengan o.b.h.,
tetapi ditulis dengan Potio
nigra contra tussim (boleh disingkat Pot. Nigra c.t.). demikian juga
“obat batuk putih” tidak disingkat o.b.p., tetapi ditulis Potio alba
contra tussim (boleh disingkat Pot. Alba c.t.).
2. Bila dimaksud obatnya hanya diminum bilamana penderita
memerlukannya, aturan pakai “kalau perlu” tidak disingkat dengan
k.p., tetapi ditulis p.r.n., yaitu singkatan pro re nata.
e. Copy Resep/Salinan Resep
Copy resep ialah salinan tertulis dari suatu resep (istilah lain dari kopi
resep ialah apograph, exemplum atau afschrift). Salinan resep selain
memuat semua keterangan yang termuat dalam resep asli harus memuat
pula :
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama dan nomor S.I.K. apoteker pengelola apotek
3. Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
4. Tanda det = detur, untuk obat yang sudah diberikan, atau tanda ne det
= ne detur, untuk obat yang belum diserahkan.
5. Nomor resep dan tanggal pembuatan.
• Salinan resep harus ditandatangani Apoteker.
• Apabila Apoteker pengelola apotek berhalangan,
penandatanganan atau paraf pada salinan resep dapat dilakukan

FARMASETIKA DASAR 15
oleh apoteker pendamping
atau apoteker pengganti
dengan mencantumkan
nama terang dan status
yang bersangkutan.
• Resep harus dirahasiakan
dan disimpan di apotek
dengan baik selama waktu
3 tahun.
• Resep atau salinan resep
hanya boleh diperlihatkan
kepada dokter penulis
resep atau yang merawat
penderita-penderita yang
bersangkutan, petugas
kesehatan atau petugas
lain yang berwenang
menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
• Apoteker pengelola apotek, apoteker pendamping satu pengganti
diizinkan untuk menjual obat keras yang disebut Daftar Obat Wajib
Apotek tanpa resep. Daftar obat tersebut ditetapkan oleh Menkes.

f. Bahasa Latin
Bahasa latin adalah bahasa yang mati, artinya tidak dipakai lagi
dalam percakapan sehari-hari dengan demikian bhs ini tdk berkembang dg
pembentukan kosakata baru. Bahasa latin merupakan bahasa international
dalam dunia kedokteran dan kefarmasian. Dengan menggunakan bahasa
latin tidak akan terjadi dualisme pengertian tentang bahan/zat yang
dimaksud dalam resep. Dalam hal tertentu karena faktor psikologis ada
baiknya penderita tidak perlu mengetahui bahan obat apa yang diberikan
kepadanya
Bisa dilihat pada Lampiran.

FARMASETIKA DASAR 16
II. PELAYANAN KEFARMASIAN
Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Apotek haruslah
mampu menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan
sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Dalam rangka peningkatan penggunaan obat rasional untuk
mencapai keselamatan pasien, dilakukan pelayanan kefarmasian sesuai
standar di fasilitas kesehatan. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian
Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes No 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Permenkes Nomor 73 Tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek telah memuat
kebijakan pelayanan kefarmasian termasuk pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik
yang harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab seorang apoteker. Akan
tetapi, masih terdapat beberapa aspek pelayanan kefarmasian yang
memerlukan penjelasan lebih lanjut yang belum dimuat dalam standar
pelayanan kefarmasian. Selain itu, terdapat amanat pada Permenkes Nomor
73 Tahun 2016 untuk menyusun Petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek yang diharapkan dapat menjadi pedoman Apoteker di
Apotek dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang sesuai standar.

III. PENGADAAN DAN PENYIMPANAN OBAT DAN PERBEKALAN


KESEHATAN DI BIDANG FARMASI
a. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian. Untuk menjamin
kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP di apotek dilaksanakan dengan pembelian. Pembelian merupakan
suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara
mutu dan harga. Apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus
mendasarkan pada kriteria berikut: mutu produk (kualitas produk terjamin
ada NIE/Nomor Izin Edar), reputasi produsen (distributor berijin dengan
penanggungjawab Apoteker dan mampu memenuhi jumlah pesanan),

FARMASETIKA DASAR 17
harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman (lead time cepat),
mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang
dikembalikan, dan pengemasan. Pengadaan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Sediaan farmasi diperoleh dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang
memiliki izin.
2. Alat Kesehatan dan BMHP diperoleh dari Penyalur Alat Kesehatan
(PAK) yang memiliki izin.
3. Terjaminnya keaslian, legalitas dan kualitas setiap sediaan farmasi,
alat kesehatan dan BMHP yang dibeli.
4. sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang dipesan datang tepat
waktu.
5. Dokumen terkait sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP mudah
ditelusuri
6. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP lengkap sesuai dengan
perenca
Waktu pengadaan obat dilakukan berdasarkan kebutuhan dengan
mempertimbangkan hasi analisa dari data :
1. Sisa stok dengan memperhatikan waktu (tingkat kecukupan obat dan
perbekalan kesehatan).
2. Kapasitas sarana penyimpanan.
3. Waktu tunggu.

b. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara
dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat
yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak
mutu sediaan farmasi. Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara
mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak
bertanggungjawab, menjaga ketersediaan, serta memudahkan pencarian
dan pengawasan. Aspek umum yang perlu diperhatikan:
1. Tersedia rak/lemari dalam jumlah cukup untuk memuat sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP.

FARMASETIKA DASAR 18
2. arak antara barang yang diletakkan di posisi tertinggi dengan langit-
langit minimal 50 cm.
3. Langit-langit tidak berpori dan tidak bocor.
4. Ruangan harus bebas dari serangga dan binatang pengganggu.
5. Tersedia sistem pendingin yang dapat menjaga suhu ruangan dibawah
25ºC.
6. Lokasi bebas banjir.
7. Tersedia lemari pendingin untuk penyimpanan obat tertentu.
8. Tersedia alat pemantau suhu ruangan dan lemari pendingin.
9. Pengeluaran obat menggunakan Sistem First In First Out (FIFO), First
Expired First Out (FEFO).
10. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi sediaan farmasi serta disusun secara alfabetis
11. Kerapihan dan kebersihan ruang penyimpanan
12. Sediaan farmasi harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,
maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi
yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat
nama sediaan farmasi, nomor batch dan tanggal kedaluwarsa. Sediaan
farmasi yang mendekati kedaluarsa (3-6 bulan) sebelum tanggal
kadaluarsa disimpan terpisah dan diberikan penandaan khusus.
13. Sediaan farmasi harus disimpan dalam kondisi yang menjaga stabilitas
bahan aktif hingga digunakan oleh pasien. Informasi terkait dengan
suhu penyimpanan obat dapat dilihat pada kemasan sediaan farmasi.
14. Untuk menjaga kualitas, vaksin harus disimpan pada tempat dengan
kendali suhu tertentu dan hanya diperuntukkan khusus menyimpan
vaksin saja.
15. Penanganan jika listrik padam. Jika terjadi pemadaman listrik,
dilakukan tindakan pengamanan terhadap sediaan farmasi dengan
memindahkan sediaan farmasi tersebut ke tempat yang memenuhi
persyaratan. Sedapat mungkin, tempat penyimpanan sediaan farmasi
termasuk dalam prioritas yang mendapatkan listrik cadangan.
16. Inspeksi/pemantauan secara berkala terhadap tempat penyimpanan
sediaan farmasi.

FARMASETIKA DASAR 19
17. Tempat penyimpanan obat (ruangan dan lemari pendingin) harus
selalu dipantau suhunya menggunakan termometer yang terkalibrasi.
Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu lemari
penyimpanan dapat berupa termometer eksternal dan internal.

IV. PENGELOLAAN RESEP YANG TELAH DIKERJAKAN


a. Resep yang telah di buat di simpan menurut urutan tanggal dan nomor
penerimaan atau pembuatan resep.
b. Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dengan resep
lainnya, tandai garis merah di bawah nama obatnya.
c. Resep yang telah di simpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan dengan
cara di bakar atau dengan cara lain yang lebih memadai.
d. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker pengelola bersama dengan
sekurang–kurangnya seorang petugas apotik.

Pada pemusnahan resep harus di buat berita acara pemusnahan


sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan
ditandatangani oleh Apoteker pengelola apotik dan seorang petugas apotik
yang ikut memusnakan. Berita acara pemusnahan ini harus disebutkan :
a. Hari dan tanggal pemusnahan.
b. Tanggal yang terawal dan terakhir dari resep.
c. Berat resep yang dimusnahkan dalam kilogram.

V. PENYERAHAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN DI BIDANG


FARMASI
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter
hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik untuk
menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan bagi
pasien (Permenkes, 2016). Menurut Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 2016 menyatakan bahwa, pelayanan resep dimulai dari
penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan
obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Apoteker harus
melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan

FARMASETIKA DASAR 20
farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat
jalan. Resep yang mengandung narkotik tidak boleh ada tulisan atau tanda iter
(iterasi) yang berarti dapat diulang, m.i (mihi ipsi) yang berarti untuk dipakai
sendiri, atau u.c (usus cognitus) yang berarti pemakainnya diketahui. Resep
yang mengandung narkotik tidak boleh diulang, tetapi harus dengan resep
baru. Resep – resep yang mengandung narkotik harus disimpan terpisah dari
resep lainnya Resep yang memerlukan penanganan segera, maka dokter
dapat memberi tanda di bagian kanan atas resepnya dengan kata – kata :cito
(segera), statim (penting), urgent (sangat penting), P.I.M (Periculum In Mora)
artiinya berbahaya jika ditunda. Urutan didahulukan adalah PIM, urgent, statim,
cito.
Resep yang dapat atau tidak dapat diulang, jika dokter menghendaki
agar resepnya dapat diulang, maka dalam resep ditulis kata “iter/iterasi” dan
beberapa kali resep boleh diulang. Misalnya tertulis iter 3× artinya resep dapat
dilayani sebanyak 1+3kali = 4 kali. Jika dokter menghendaki agar resepnya
tidak boleh diulang tanpa sepengetahuannya, maka dapat dituliskan pada
resep tersebut dengan kata n.i = ne iterator (tidak dapat ulang). Resep yang
tidak boleh diulang adalah resep yang mengandung obat – obatan narkotik,
psikotropik dan obat keras yang telah ditetapkan oleh pemerintah/ Menkes RI
(Syamsuni, 2007). Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi,
kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis.
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan resep, pengkajian/skrining
resep, pemeriksaan ketersediaan sampai dengan cek harga, penyiapan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan ( dispensing) termasuk peracikan
obat, penulisan etiket dan copy resep, pemeriksaan, penyerahan disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).

FARMASETIKA DASAR 21
Gambar 1. Alur Pelayanan Resep di Apotek

VI. DOSIS
A. Dosis obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia. Obat dalam dosis yang tepat sangat berguna untuk
menyembuhkan penyakit, tapi dalam dosis tidak tepat, dosis kurang obat
tidak efektif dan bila berlebih dapat merugikan kesehatan bahkan
membahayakan jiwa.

FARMASETIKA DASAR 22
Beberapa istilah Dosis obat :
1. Dosis obat adalah sejumlah obat yang memberikan efek terapetik pada
penderita dewasa, yang disebut juga dosis lazim atau dosis medicinalis
atau dosis terapetik.
2. Dosis maksimum adalah takaran terbesar yang dapat diberikan kepada
orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan
(saat ini tidak dipergunakan lagi).
3. Dosis toksis adalah takaran obat yang menyebabkan keracunan.
4. Dosis lethalis adalah takaran obat yang menyebabkan kematian.
5. Loading dose/initial dose/dosis awal adalah takaran obat untuk memulai
terapi, sehingga dapat mencapai konsentrasi obat dalam darah dan
mempunyai efek terapi.
6. Dosis pemeliharaan : takaran obat yang diperlukan untuk mempertahankan
konsentrasi terapeutik (= konsentrasi obat dalam darah yang mempunyai
efek terapi).
7. Dosis regimen : pengaturan dosis serta jarak waktu antar dosis untuk
mempertahankan konsentrasi obat dalam darah sehingga memberikan
efek terapi.
Dosis obat yang akan diberikan kepada pasien untuk menghasilkan efek
yang diharapkan tergantung dari banyaknya faktor seperti : usia, berat badan,
jenis kelamin, luas permukaan badan, berat penyakit dan keadaan sakit.

B. Perhitungan Dosis
Dosis obat dapat dihitung berdasarkan :
1. Umur
2. Berat badan
3. Luas permukaan tubuh.

Dosis obat dapat dilihat di buku- buku :


1. Dosis obat berdasarkan zat aktifnya dengan nama generik dilihat di
Farmakope Indonesia III, Alder Hey Book of Children’s Doses ( ABCD ) dan
Extra Pharmacopeae Martindale.
2. Dosis obat jadi dengan nama dagang , dosisnya dapat dilihat di ISO,
MIM’S/IMS dan DOI

FARMASETIKA DASAR 23
Di dalam buku ISO (Indeks Spesialite Obat) terdapat tabel Perkiraan
dosis bayi dan anak terhadap dosis dewasa yang dihitung berdasarkan bobot
badan. Sebagai contoh dosis obat untuk bayi usia 2 bulan besarnya 15%
terhadap dosis orang dewasa.

Tabel 1. Perkiraan dosis bayi dan anak terhadap dosis dewasa yang dihitung
berdasarkan bobot badan (ISO volume XXXI tahun1998)

Sumber; Komprehensif Farmasetika Dasar

1. Perhitungan dosis dengan menggunakan umur


• Rumus Fried
𝑛 (𝐵𝑢𝑙𝑎𝑛)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
150

• Rumus Young
Untuk anak umur kurang atau = 8 tahun
!
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = !"#$ 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎

• Rumus Dilling
Untuk anak umur > 8 tahun
𝑛
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
20
Keterangan : n = umur pasien

2. Berdasarkan luas permukaan tubuh


Perhitungan dosis obat berdasarkan luas permukaan tubuh, biasanya
digunakan pada perhitungan dosis obat kanker (antineoplastik). Contoh: Dosis
Carboplatin 400 mg/m2 , chlorambusil 1-3 mg/m2

FARMASETIKA DASAR 24
• Luas Permukaan Tubuh
Luas permukaan tubuh (body surface area = BSA adalah akar dari (hasil
dari tinggi badan dikali berat badan, dibagi dengan 3600).

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 (𝑐𝑚)𝑥 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 (𝐾𝑔)


𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑢𝑏𝑢ℎ (𝑚2) = √
3600

Luas permukaan tubuh (body surface area = BSA adalah akar dari (hasil dari
tinggi badan dikali berat badan, dibagi dengan 3600). Sebagai contoh :Tn. A
mempunyai tinggi badan 160 cm dengan berat badan 70 kg, maka luas
permukaan tubuh Tn A adalah =…..

Bila Luas permukaan tubuh pasien tidak diketahui, tetapi tinggi badan dan berat
badannya diketahui selain menggunakan rumus di atas, luas permukaan tubuh
pasien dapat ditentukan dengan menggunakan bantuan nomogram.

Nomogram Dewasa

FARMASETIKA DASAR 25
Dengan menggunakan nomogram luas permukaan tubuh Tn. A, yang berat
badannya 75 kg dan tinggi 175 cm dapat diketahui dengan cara menarik garis
lurus pada jalur berat badan (weight) 75 kg kemudian dihubungkan pada titik
175 cm pada jalur tinggi badan, maka dapat ditentukan luas permukaan tubuh
pasien yang dapat dilihat pada jalur surface area pada gambar yaitu pada titik
1,90 artinya luas permukaan tubuh Tn. A = 1,90 m2. Hasilnya sama seperti
kalau kita menggunakan rumus diatas.

Nomogram Anak

Cara menggunakan Nomogram anak sama seperti halnya nomogram


dewasa, misal diketahui berat badan anak 6 kg dengan tinggi badan 80 cm,
bila ditarik garis dari titik 6 pada jalur berat badan dan dihubungkan dengan titik
80 pada jalur tinggi badan, maka dapat diketahui luas permukaan tubuh anak
tersebut adalah 0,36.

FARMASETIKA DASAR 26
Sedangkan bila menggunakan rumus:
Luas Permukaan Tubuh = √Tinggi x Berat badan Luas permukaan tubuh
anak tersebut adalah √(80 x 6)/3600 = 0,36 hasilnya sama dengan bila
menggunakan nomogram.

3. Berdasarkan berat badan pasien


Perhitungan dosis obat berdasarkan berat badan sebenarnya paling
ideal karena sesuai dengan kondisi pasien dibandin gkan perhitungan
berdasarkan umur yang tidak sesuai dengan berat badan pasien.

𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡/𝑘𝑔𝐵𝐵

Contoh :

Hitung berapa dosis 1 x pakai dan dosis sehari cefadroksil, untuk bayi
yang berusia 10 bulan dengan berat badan 8 kg, jika diketahui dosis cefadroksil
dalam sehari = 25 mg/kg dalam dosis bagi. Berapa dosis cefadroksil untuk
sekali pakai, bila jumlah pemakaian cefadroksil dalam sehari 2 x pakai.

Dosis sehari Cefadroksil = 8 kg x 25 mg/ kg = 200 mg


Dosis cefadroksil sekali pakai = 200 mg : 2 = 100 mg

Rumus-Rumus berdasarkan berat badan pasien


• Rumus Clark (Amerika)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑘 (𝑃𝑂𝑁)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
150

• Rumus Thremich-Fier (Jerman)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑘 (𝑘𝑔)


𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
70

• Rumus Black (Belanda)


𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑘 (𝑘𝑔)
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑂𝑏𝑎𝑡 = 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐷𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎
62

FARMASETIKA DASAR 27
BAB III
PRINSIP-PRINSIP
DALAM FARMAKOLOGI

Ilmu Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari cara dalam fungsi system
hidup dipengaruhi obat. Salah satu dasar prinsip farmakologi adalah molekul obat
harus berusaha mempengaruhi secara kimia pada satu atau lebih isi dari sel agar
dapat mempengaruhi respon farmakologi. Dengan kata lain molekul-molekul obat
harus mendekati molekul-molekul yang membentuk sel dalam jumlah yang cukup
untuk menutup rapat hingga fungsi molekul sel menjadi berubah.

I. AKSI OBAT
Umumnya obat bekerja menimbulkan stimulasi atau depresi aktivitas
dan tidak menimbulkan suatu fungsi baru dari sel. Sebagai contoh sel-sel beta
dari pulai Langerhans yang mengeluarkan insulin, sel tersebut tidak dapat
distimulasi oleh obat agar mengeluarkan zat lain misalnya adrenalin.
Cara obat menimbulakn efek adalah sebagai berikut :
b. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel
c. Mempengaruhi atau menghambat aktivitas seluler dari sel-sel asing
terhadap tuan rumah (host) yaitu bukan sel dari organ tubuh, seperti sel
bakteri dan mikroba lain termasuk sel kanker.
d. Merupakan terapi pengganti, sebagai contoh pemberian hormone untuk
mencapai sdosis fisiologik agar diperoleh suatu efek. Atau pemberian
Kalium Klorida sebagai pengganti kalium ion yang hilang melalui diuresis.
e. Menimbulkan aksi nonspesifik seperti reaksi kulit terhadap obat yang
menimbulkan iritasi.

Menggambarkan aksi obat dapat dinyatakan dengan mekanisme


prksimat (terdekat) pada tingkat fisiologik atau mekanisme ultimate (terakhir)
pada tingkat kimia hayati.

FARMASETIKA DASAR 28
a. Menggambarkan aksi poksimat suatu obat sesungguhnya juga
menggambarkan efek obat. Mekanisme proksimat dapat menjawab dimana
obat itu beraksi dan apakah obat itu mengadakan stimulasi atau depresi.
Penggolongan obat dalam kategori farmakologi dapat digunakan untuk
menggambarkan mekanisme proksimat, sebab kategori tersebut dapat
menjelasksn dimana terjadi aksi obat dan apakah terjadi stimulasi atau
depresi.
b. Menggambarkan mechanisme ultimat dari obat dapat dinyatakan adanya
aksi antara molekul obat dan molekul dari sel dan dibedakan antara apakah
obat itu bereaksi spesifik atau non spesifik.

Kebanyakan obat mempunyai aksi spesifik. Komponen molekul sel


yang terlibat langsung didalam aksi obat disebut reseptor.
1. Obat yang dapat bergabung dengan reseptor dan dapat dimulai
menimbulkan aksi obatnya disebut agonis. Agonis adalah obat yang
mempunyai afinitas kimia terhadap suatu reseptor dan membentuk
kompleks dan sebagai hasilnya kompleks tersebut akan mengubah
fungsi sela tau menimbulkan efek.
Agonis + Reseptor Kompleks yang menghasilkan
perubahan fungsi
2. Obat yang bergabung dengan reseptor, tetapi gagal untuk memulai aksi
obat didalam kejadian ini dikatakan obat memblockir letak reseptor. Obat
yang memblockir letak reseptor terhadap agonis endogen dari alam
dapat bekerja sebagai antagonis. Letak reseptor meliputi kelompok
kimia di dalam sel yang berpartisipasi dalam kombinasi reseptor obat
dan bagian yang berbatasan dengan sel yang membiarkan jalan
masuknya obat ke kelompok yang aktif ini. Antagonis obat dapat
disebabkan oleh bermacam-macam mekanisme, tetapi dapat
digolongkan menurut antagonis bergabung dengan reseptor yang sama
seperti agonis atau dengan reseptor yang lain.
Kejadian dimana baik agonis dan antagonis bergabung dengan reseptor
yang sama disebut antagonis farmakoloik dan bila reseptornya berlainan
disebut antagonisme fisiologik atau fungsional.

FARMASETIKA DASAR 29
Obat yang mempunyai aksi nonspesifik akan mengubah
lingukangan fisika kimia dari struktur badan. Misalnya anestesi umu,
menurut teori dinyatakan dapat mengubah struktur dari air didalam otak
yang selnajutnya menaikan resistensi terhadap listrik. Contoh lain yang
bekerja dengan aksi nonspesifik iala diuretic osmosik.

Untuk memahami mekanisme aksi obat perlu memperhatikan proses


kekuatan interaksi yang mengikat obat pada reseptor.
Tipe ikatan interaktif obat-resptor dapat berupa :
a. Ikatan Kovalen
Ikatan yang sangat kuat sehingga hanya enzim khusus yang dapat
memecah ikatan dan ikatannya sekaan-akan tidak dapat dipecah. Hal ini
merugikan untuk zat farmakodinamik dimana diperlukan efek timbul-hilang.
b. Tarikan ionic
Beberapa asam amio seperti arginin dan lisin pada pH fisiologi adalah
berproton maka protein yang mengandung asam amino tersebut akan
bermuatan pusat yang positif dapat mengikat pusat tersebut secara
interaksi ionic atau elektrostatistik. Ikatannya kuat tetapi segera menjadi
ikatan reversible, hal tersebut merupakan ikatan yang ideal, karena dapat
mengikat reseptor lalu memulai respon biologic dan lalu terdisosiasi.
c. Interaksi ion-dipole dan dipole-dipole
d. Ikatan hydrogen
Interaksi ini dipatahkan sebelum interaksi obat-reseptor terjadi
e. Ikatan hidrofobik
Ikatan ini sangat penting dalam ikatan molekul kecil makromolekul biologic.
f. Ikatan van der waals

II. SELEKTIVITAS DAN KEAMANAN OBAT


Substansi aktif bilogik yang mempengaruhi sangat kuat terhadap sel
tertentu menimbulkan perubahan pada sel lainnya meskipun kedua sel adalah
tetanggga langsung disebut molekul selektif. Substansi aktif biologic yang
digunakan untuk mengobati penyakit disebut obat.
Ada tiga prinsip control selektivitas :

FARMASETIKA DASAR 30
a. Selektivitas berdasarkan distribusi adalah agen beracun baik terhadap sel
ekonomis amupun sel tak ekonomis. Contoh : Fenotiazin suatu obat cacing
hanya berkumpul pada cacing diusus tidak pada sel lapisan usus.
b. Selektivitas berdasarkan perbandingan bio kimia adalah proses sintesa.
Sebagai contoh : Selektvitas yang inggi dari sulfonamida sebagai
antibakteri bergantung pada kenyataan bahwa bakteri pathogen tidak dapat
menyerap asam folat atau derivatnya tetapi mampu mensintesa mereka
dari asam paraaminobenzoat dan merupakan suatu proses yang dirintangi
oleh sulfonamida.
c. Selektivitas berdasarkan perbandingan sitologi
Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam struktur sel. Bila disetiap tipe
organel misalnya nukelus diperiksa secara mendalam terlihat adanya
perbedaan tidak hanya dalam bentuk hidup kebentuk lain., bahkan anatar
jaringan dari suatu bentuk hidup.

C. Resistensi
Timbulnya resistensi terhadap obat dapat disebutkan dengan lima cara
:
a. Resistensi terjadi karena pengecualian dari agen. Sebagai contoh terjadi
penghapusan mekanisme akumulasi tetrasiklinn menyebabkan bakteri
staphylococcus aureus menjadi resisten terhadap tetrasiklin.
b. Resistensi teradi karena organisme membawa enzim perusak sebagai
contoh adanya enzim penisilanase yang menghidrolisis penisilin menjadi
asam penisiloik yang tidak mampu membunuh rantai staphylococcus
aureus.
c. Resistensi terjadi karena organisme mengambil enzim yang memodifikasi
obat. Banyak senyawa purin dan pirimidin analogi tidak dapat beraksi
terhadap kanker sebelum enzim intraseluler memetabolisasi mereka
menjadi Ribo Nukleotida.
d. Resistensi dalam bentuk sekresi suatu substansi oleh organisme dalam
jumlah berlebihan dan merupakan metabolit yang antagonis. Conoth bakteri
pneumococcus menjadi resisten terhadap sulfonamida karena terbentuk
sejumlah zat tambahan. Seperti Asam Paraminobenzoat.

FARMASETIKA DASAR 31
e. Resistensi terjadi karena perubahan materi genetic diantara bakteri. Bakteri
gram negative dalam usus banyak yang dapat menularkan DNA ke bakteri
lain, sehingga memindahkan resistensi terhadap obat.

Tiga jenis resistensi terhadap bakteri yaitu :


a. Resistensi Primer
Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi karena sifat alami dari
mikroorganisme yang melibatkan enzim pengurai mikroorganisme yang
menginaktifkan antibiotik.
b. Resistensi Sekunder
Resistensi sekunder adalah resistensi yang timbul karena kontak dengan agen
antimikroba dalam waktu yang lama dan dengan frekuensi yang tinggi,
sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme.
c. Resistensi Episomal
Resistensi episomal adalah resistensi yang terjadi karena perpindahan unsur
genetik di luar kromosom yaitu plasmid secara transduksi dan konjugasi

D. Efek Terapi
Dalam pengobatan dibedakan beberapa jenis efek terapi yaitu :
a. Efek Samping
Efek samping adalah efek suatu obat yang tidak diinginkan untuk tujuan terapo
dengan dosis yang dianjurkan. Obat yang ideal adalah obat yang bekerja
cepat, selektif untuk waktu tertentu dan hanya berkhasiat terhadap penyakit
tertentu tanpa aktivitas lain. Pada suatu saat efek samping dapat digunakan
sebagai efek utama.
b. Efek Sekunder
Merupakan efek tak langsung akibat efek utama dari obat. Sebagai contoh
pada penggunaan antibiotic spektrum lebar akan menganggu bakteri.
c. Efek Toksik
Efek tokisk bila obat digunakan dalam dosis yang tinggi akan menunjukan
gejala-gejala toksik.
d. Efek Teratogen
Efek teratogen adalah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu dapat
mengakibatkan cacat pada janin.

FARMASETIKA DASAR 32
Pengulangan atau perpanjangan penggunaan obat dapati diperoleh
efek-efek yang kurang disenangi atau tidak diinginkan :
a. Reaksi Hipersensitifitas
Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari
sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
b. Kumulasi
Suatu reaksi pengumpulan obat dalam tubuh sebagai hasil pengulangan
penggunaan obat dan diabsorbsi lebih cepat disbanding dengan ekskresinya.
Dengan adanya akumulasi obat pada pengulangan dengan dosis terapi dapat
terjadi efek toksik.
c. Toleransi
Merupakan fenomena berkurangnya respon terhadap dosis yang sama dari
obat. Agar terjadi efek terapetik yang sama dosis yang diberikan harus
diperbesar secara terus menerus.
d. Tachifilaksis
Adalah fenomena berkurangnya kecepatan respon terhadap aksi obat pada
pengulangan dalam dosis yang sama. Respon mula-mula tidak dapat diperoleh
meskipun dosis diperbesar.
e. Adiksi
Menurut WHO efek ini merupakan ketergantungan rohani dan jasmaniah
terhadap suatu obat dengan karakteristik seperti adanya dorongan untuk selalu
menggunakan obat, adanya kecenderungan kenaikan dosis, timbul
ketergantungan, menimbulkan kerugian kepada masyarakat.

E. Dosis Obat
Dikenal ada beberapa macam-macam dosis yaitu :
a. Dosis Terapi; yaitu mampu memberikan efek penyembuhan
b. Dosis Maksimum; yaitu dosis yang apabila dilampaui kemungkinan dapat
memberikan efek toksik atau mematikan (letal)
c. Dosis letalis; yaitu dosis yang apabila diberikan pada pengobatan dapat
menimbulkan kematian.

FARMASETIKA DASAR 33
FARMASETIKA DASAR 34
BAB IV
PROSES YANG DIALAMI
OBAT DALAM TUBUH

Sebelum obat tiba pada tempat aksi atau jaringan sasarannya, obat akan
banyak mengalami proses. Secara garis besar proses-proses ini dapat dibagi menjadi
tiga fase yaitu :
3. Fase biofarmasetik atau farmasetika
4. Fase farmakokinetik
5. Fase farmakodinamik

Untuk menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam
kadar yang cukup agar dapat menimbulkan respon. Tercapainya kadar obat tersebut
tergantung dari jumlah obat yang diberikan, keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi
dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah kebagian lain dari tubuh.
Efek obat akan hilang apabila obat telah bergerak keluar dari tubuh, artinya dari letak
aksinya baik dalam bentuk tak berubah atau sebagai metabolit yang dikeluarkan
melalui proses ekskresi. Maka perlu diketahui bagaimana cara tubuh telah menangani
obat dengan proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dalam
penentuan suatu disus, rute dan bentuk obat yang diberikan agar diperoleh efek terapi
yang diinginkan dengan efek toksik yang minimal.

Skema perjalanan obat dalam bada dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Skema Perjalanan Obat Dalam Tubuh

FARMASETIKA DASAR 35
I. FASE BIOFARMASETIKA ATAU FARMASETIK
Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan obat melalui mulut hingga
pelepasan zaat aktifnya kedalam cairan tubuh. Dalam fase yang penting adalah
ketersediaan farmasi dari zat aktifnya yaitu obat siap unguk diabsorpsi.
Fase biofarmasetik terdiri dari tiga tahap, yaitu fase Liberasi
(Pelepasan), Fisolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (Penyerapan), seperti terlibat
pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Skema Fase Biofarmasetik

II. BIOFARMASETIK
Menurut Aiachetahun 1993, biofarmasetika adalah pengkajian
faktorfaktor fisiologi dan farmasetik yangmempengaruhi pelepasan obat dan
absorbsi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat fisika kimia dari obat dan bahan-bahan
tambahan menentukan laju pelepasan obat dari bentuk sediaan dan transport
berikutnya melewati membran biologis.Fase biofarmasetik melibatkan seluruh
unsur-unsur yang terkait mulai saat permberian obat hingga terjadinya
penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan
bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama
yaitu:
a. Liberasi (Pelepasan)
Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi
dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan.
Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan
mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus,
Hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras ataukenyal (tablet,
supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua

FARMASETIKA DASAR 36
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet
(Aiache, 1993).
b. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat
aktif.Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi
penyerapan (Aiache, 1993).
c. Absorpsi
Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekulmolekul
obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darahsetelah melewati
membran biologik.Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif berada
dalam bentuk terlarut.Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik
dan tahap awal dari fase farmakokinetika(Aiache, 1993). Penyerapan zat
aktif bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia
molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila
sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis
(Aiache, 1993)

Fase biofarmasetik atau farmasetika dari perkembangan obat meliputi


ilmu dan teknologi membuat obat dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan
dan diberikan pada pasien. Formulasi untuk bentuk sediaan ini agar obat dapat
dibuat, disimpan dan disadarkan tanpa dapat diterima oleh pasien dan dapat
dibuat, disimpan dan diedarkan tanpa terjadi perubahan sifat-sifat biologic dari
obat. Formulasi tersebut juga dapat diterima oleh pasien dan dapat
melepaskan zat aktif dalam menggambarkan mengenai formulasi obat agar
dapat memperoleh respon biologic yang optimum.
Biofarmasetik memperhatikan hubungan-hubungan antara :
a. Sifat-sifat kimi dan fisika dari obat
b. Sifat-sifat fisika-kimia dan farmasetik dari bentuk sediaan
c. Parameter farmakokinetik dari zat aktif
d. Efek biologic, farmakologik, dan klinik dari obat
Karena itu pakar mulai memandang nasib obat pada tubuh manusia
merupakan suatu proses yang dikenal sebgai disposisi obat yaitu bekerjanya
obat pada jaringan atau organ yang telah ditentukan, distribusi, eliminasi dan
metabolisme obta tersebut.

FARMASETIKA DASAR 37
Pakar Menyusun bentuk sediaan obat berdasrkan prinsip-prinsip dasar
sebagai berikut :
a. Bentuk sediaan memungkinkan obat mencapai tempat akhir aksinya dalam
waktu yang optimum, dalam bagian yang tersebar dan dengan minimum
rasa tak enak sebagai pasien.
b. Proses eliminasi dari tubuh harus diketahui sebelum rute pemakaian yang
paling cocok dapat ditentukan.
c. Obat harus larut dalam cairan sekitar membrane, karena tak mungkin
bentuk padatnya dapat melalui membrane biologic
d. Bentuk obat yang tak terionisasi menembus membrane lebih cepat daripada
bentuk yang terionisasi, maka pH lambung dapat berpengaruh pula
absorbsi.
e. Setiap factor yang mempengaruhi pengosongan perut akan mempengaruhi
pula absorbs obat, dalam kenyataan letak pokok absopsi adalah pada usus
bagi pemakaian obat peroral.

Mulai tahun 1960 para apoteker dan dokter sadar bahwa efek obat tidak
semata-mata tergantung pada factor zat aktif yang berkhasiat saja, melainkan
juga pada bentuk sediaan terutama pada cara formulasinya.

III. FAKTOR FORMULASI YANG MEMPENGARUHI EFEK TERAPI


a. Derajat Kehalusan Serbuk
Obat yang sangat halus (1-5 mikron) terbukti menghasilkan kadar obat
dalam darah sampai 2-3 kali lebih tinggi dari serbuk biasa sehingga
dosis pemberian dapat diturunkan menjadi 2-3 kali, sebagai contoh
tablet Griseovulfin, digoxin, dan spironolactone.
Obat yang dikehendasi bekerja diusus tidak memerlukan persyaratan
derajat kehaluasan zat aktif, seperti obat cacing atau obat anti disentri
(Piperazin, sulfaguanidin) karena tidak perlu diabsorpsi.
b. Bentuk Kristal Zat Aktif
Zat aktif yang padat dapat berupa kristal bentuk tertentu atau berupa
partikel amorf tanpa bentuk tertentu. Zat aktif yang memiliki bentuk
amorf leboh mudah diabsorbsi daripada yang berbentuk kristal karena
yang berbentuk amorf lebih mudah larut daripada yang berbentuk kristal,

FARMASETIKA DASAR 38
dengan demikian akan menghasilkan derajat aktivitas farmakologi yang
berbeda.
Keadaan bentuk polimorf umunya berbeda dalam siafat-sifat fisika
termasuk kecepatan disolusi yang sangat penting dalam menentukan
kecepatan absorbsi obat. Oleh karena itu bentuk sediaan suspense
yang mengandung bentuk polimorfisme kristal akan memberikan aksi
dan efek terapi obat yang berbeda. Penggunaan bentuk metastabil
suatu obat umunya menghasilkan kelarutan dan kecepatan disolusi
yang tinggi daripada bentuk kristalnyayang stabil. Bila factor-faktor lain
tetap konstan, absorpsi obat dalam bentuk metastabil akan lebig cepat
dan lebih menyeluruh. Sebbaliknya bentuk polimorfisme yang stabil
umumnya lebih tahan terhadap pengaruh degradasi kimia karena
kelarutannya rendah, lebih baik dibuat dalam bentuk suspsi. Sebagai
contoh obat yang mempnyuai bentuk polimorf adalah sulfur dan kortison
asetat.
c. Keadaan Kimia Obat
Zat-zat hidrat yang memiliki kandungan zat kristal dalam molekulnya
diabsorbsi lebih lambat disbanding zat-zat anhidrat, misalnya ampisilin
anhidrat (amfipen) diabsorbsi lebih cepat diabdningkan ampisil trihidrat
(Penbritin).
d. Zat Tambahan
Zat tambahan seperti pengisi, zat pengikat, zat pelicin dan lain-lainnya,
dianggap tidak berpengaruh terhadap efek obat. Pada tahun 1960 dunia
digemparkan dengan sebuah obat prednisone yang bereda, yaitu
memiliki kandungan pengisi Kalsium Sulfat tetapi tidak memberikan efek
dibandingkan dengan prednisone yang menggunakan pengisi laktosa.

IV. BIOAVAIBILITAS
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang
mencapai sistem sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan
menunjukkanperbandingan zat aktif yang mencapai peredaran darah
terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang
diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu
tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting adalah untuk

FARMASETIKA DASAR 39
keefektifan obat tersebut. Dari defenisi tersebut dapat diartikan bahwa obat
yang diberikan secara intravena bioavalibilitasnya 100%. Namun, jika obat
diberikan melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya
berkurangkarena absorpsi yang tidak sempurna dan mengalami
metabolisme lintas pertama.
Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu
produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui.
Availabilitas suatu formulasi obat dibandingkan terhadap availabilitas
formula standar, yang biasanya berupa suatu larutan dari obat
murni.Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis
dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut
:

Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin


kurang dari 100% karena :
1. Obat diabsorpsi tidak sempurna
2. Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi
menembus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati
sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme
di dalam dinding usus atau bahkan di dalam darah vena porta. hati dapat
mengekskresikan obat ke dalam empedu.
3. Laju absorpsi.
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai keadaan dan kecepatan obat absorbs dari bentuk sediaan
dan digambarkan dengan kurva kadar-waktu setelah obat diminum dan
berada pada jaringan biologic atau larutan seperti darah dan urine.

FARMASETIKA DASAR 40
Gambar 4. Kurva Kadar Obat Dalam Waktu, menunjukan Kadar Puncak dan
daerah dibawah kurva (AUC).

Dalam ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan :


a. Jumlah atau bagian obat diabrsorpsi dari dari bentuk sediaan
b. Kececapatan obat diabsorpsi
c. Mada kerja obat berada dalam cairan biologic atau jaringan bila
dihubungkan dengan respon pasien
d. Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi atau
efek toksik

M.E.C: Minimum Effective Concentration (Kadar obat minimum dalam darah


yang masih berefek)
A.U.C: Area Under Curve (Daerah dibawah kurva)

Di Indutsri farmasi ketersediaan hayati dapat digunakan sebagai


pertimbangan dalam Menyusun formula sediaan obat dengan:
a. Membandingkan macam-macam formulasi substansi obat untuk
menentukan formula mana yang paling cocok mengenai absorpsi obat
b. Membandingkan ketersediaan hayati substansi obat nya dari macam-
macam batch sediaan obat yang diproduksi
c. Membandingkan ketersediaan hayati sebstansi obatnya dari bermacam-
macam sediaan obat seperti tablet, kapsul, eliksir
d. Mmebandingkan ketersediaan hayati substansi obatnya dari sediaan obat
yang sama tapi dari lain pabrik.

Parameter untuk penilaisan dan membandingan ketersediaan hayati


yang digunakan adalah :

FARMASETIKA DASAR 41
a. Tinggi Kadar Puncak
Tinggi kadar puncak dari kurva kadar darah menunjukan kadar obat yang
tertinggi dicapai dalam darah setelah obat diminum dan dinyatakan dalam
g/100, mcg/ml.
b. Waktu Kadar Puncak
Parameter ini berhubungan sekali dengan kecepatan absorpsi obat dari bentuk
sediaannya. Hal ini terutama untuk mengetahui waktu yang diperlukan untuk
mencapai M.E.C. Jadi berhubungan dengan efek farmakologi yang diinginkan.
Kecepatan absorpsi juga mempengaruhi periode waktu dimana obat masuk
kedalam aliran darah karena itu mempengaruhi lama obat tetap dalam darah.
c. Daerah Dibawah Kurva
AUC menggambarkan jumlah total obat yang diserap kedalam sirkulasi darah
setelah dosis tunggal obat diminum dan dinyatakan dalam :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑚𝑐𝑔 𝑔


𝑥 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 = 𝑥 𝐽𝑎𝑚 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑥 𝑗𝑎𝑚
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑚𝑙 100 𝑚𝑙

V. KESETARAAN TERAPETIK
Dua tablet yang mengandung zat aktif sama dengan kadar obat yang
sama tetapi dari pabrik yang berbeda atau formula yang berbeda tidak
selalu menghasilkan kadar obat dalam darah dan efek terapi yang sama.
Kadang-kadang tablet dari satu pabrik tetapi dari batch yang berbeda dapat
pula memberi efek yang berbeda. Ini disebabkan karena ketersediaan
hayati masing-masing tablet saling berbeda.
Kesetaraan terapetik dari sediaan-sediaan farmasi sangat penting
terutama untuk obat yang luas terapinya kecil dan aktivitasnya tergantung
pada kadar plasma yang tetap.

VI. HUBUNGAN RUTE PENGGUNAAN OBAT DENGAN BENTUK SEDIAAN


Substansi obat jarang diberikan dalam keadaan murni, tetapi
merupakan kombinasi dalam formulasi dengan zat-zat yang bentuk obat
yang mempunyai fungsi khusus seperti zat-zat bukan obat tetapi
memiliki fungsi khusus seperti zat pensuspensi, pengemulsi, pengisi,
pengikat, penghancur, basis salep, basis suppositoria, zat pengawet
pewarna dan sebagainya. Maka obat dengan zat tambahan
dicampurkan dan menjadi suatu bentuk yang disebut bentuk sediaan
farmasi.

FARMASETIKA DASAR 42
Bentuk sediaan sangat diperlukan untuk beberapa hal sebagai berikut :
a. Melindungi obat dari kerusakan akibat pengaruh udara yang oksigen
atau kelembaban seperti pada tablet salut dan sebagainya
b. Melindungi obat terhadap pengaruh perusakan asam lambung
setelah digunakan melalui oral seperti pada tablet salut enteric
c. Memudahkan penggunaan obat untuk tujuan terapi, misalkan salep
dipakai untuk pengobatan kulit, suppositoria untuk pengobatan
rectum dan anus
d. Membuat pelepasan obat yang teliti tepat dan aman
e. Menghilangkan atau menutupi rada pahit atau rasa tidak enak dalam
obatnya misalnya kapsul, tablet bersalut, dan sirup.
f. Membuat serbuk yang tak larut atau tak tabil dalam larutan dibuat
serbuk yang tak larut dan terdispersi dalam air seperti suspense
g. Mencampur cairan seperti minyak agar terdispersi dalam larutan air
mejadi emulsi. Hal ini juga melindungi rasa dan bau tak enak dari
minyak seperti minyak ikan
h. Pengobatan setempat agar diperoleh efek obat yang optimal
ditempat yang diobati seperti salep, krim, obat tetes mata, hidung
dan telinga.
i. Mengatur pelepasan obat agar dapat berefek lama, seperti kapsul
atau tablet sustained release dan suspense.
j. Agar obat segera masuk dalam peredaran darah atau dalam jaringan
badan seperti injeksi intravena, intramuscular
k. Memperoleh aksi obat yang optimal dalam saluran pernafasan
seperti inhalasi, aerosol semprot hidung
l. Membuat sediaan obat yang berupa larutan dimana obatnya larut
dalam zat pembawa yang diinginkan

Tabel 1. Rute Penggunaan Obat


Rute Pemberian Letak Masuk dan Jalan Absorpsi Obat
Oral Melalui mulut masuk saluran intestinal (lambung)
penyerapan obat melalui membrane mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik

FARMASETIKA DASAR 43
Rute Pemberian Letak Masuk dan Jalan Absorpsi Obat
Sublingual Dimasukan dibawah lidah, penyerapan obat melalui
membrane mukosa, memberikan efek sistemik
Parenteral atau injeksi Melalui selain jalan lambung dengan merobek beberapa
jaringan;
a. Intravena : Masuk pembuluh darah bailk (vena),
memberi efek sistemik
b. Intrakardial : Menembus jantung, memberi efek
sistemik
c. Subkutan : DIbawah kulit, memberi efek sistemik
d. Intrakutan : Menembus kulit, memberi efek sistemik
e. Intramuskular : Menembus otot dagin, memberi efek
lokal
Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberikan efek lokal
Intrarespiratorial Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek lokal
Rektak Dimasukan kedalam dubur, dapat memberi efek local
sistemik
Vaginal Dimasukan kedalam lubang kemaluan wanita,
memberikan efek lokal
Uretral Dimasukan kedalam saluran kencing, memberi efek lokal
Sumber; Farmasetika, Moh.Anief

Tabel 2. Bentuk Sediaan Obat dan Rute Penggunaan Obat


Bentuk Sediaan Rute Penggunaan
Tabel, kapsul, larutan, sirup, eliksir, suspense, Oral
emulsi, serbuk
Tablet, permen obat (chewable), trokhis Sublingual
Injeksi berupa larutan, suspense dan emulsi Parinteral
Salep, krim, pasta, serbuk, plester, kompres, Epikutan, berkutan (Subkutan,
aerosol, linimen intrakutan)
Salep Konjungtiva (Salep mata
Larutan/tetes, suspense/tetes Intraokular (Mata)

FARMASETIKA DASAR 44
Bentuk Sediaan Rute Penggunaan
Intraseluler (Telinga)
Larutan/tetes, inhalasi, semprot, salep Intranasal (Hidung)
Larutan, salep, supositoria Rektal (dubur)
Larutan, basila Uretral (Lubang dari saluran
kencing)
Larutan, salep, busa, emulsi, tablet, ovula Vaginal
Sumber; Farmasetika, Moh.Anief

Tabel 3. Keuntungan dan Kerugian Rute Pemberian obat


Rute Keuntungan Kerugian
Oral Mudah untuk diberikan, Area Absorbsi tidak lengkap, efek
absorbsi obat yang luas, Lebih metabolisme hepatik tahap
murah dibandingkan dengan satu, berpotensi mengiritasi
rute parenteral saluran cerna.
Sublingual (SL) Onset kerja obat cepat, tidak Harus larut lemak, tidak
ada efek metabolisme hepatik mengiritasi, durasi kerja obat
tahap satu. singkat

Rektal (PR) Hampir tidak memiliki efek Tidak nyaman, iritasi lokasi
metabolisme hepatik tahap pemberian, absorpsi kurang
satu, dapat diberikan ketika baik
tidak dapat memberikan PO,
saat muntah, dan saat pasien
tidak sadar

Intravena (IV) Tidak memilki efek Sulit untuk dibuang ketika


metabolisme hepatik tahap sudah diberikan, risiko
satu, dapat diberikan lambat infeksi, perdarahan, cedera
atau onset kerja obat cepat, ektravasasi vaskular, dan
mudah untuk mentitrasi dosis mahal
obat

Intramuskular Obat lepas lambat = jika Nyeri/hematom di lokasi


(IM) pencampur obat berbahan injeksi
dasar minyak. Obat onset
cepat = bila pencampurnya
berbahan dasar air

Subkutaneus Obat tidak mengiritasi, volume Nyeri pada lokasi injeksi,


(SC) kecil, Konstan, Alternatif dari volume lebih sedikit dari IM,
IV dapat merusak jaringan bila
injeksi dilakkan berulang.

FARMASETIKA DASAR 45
Rute Keuntungan Kerugian
Inhalasi Kerja segera pada paru dan Harus berupa gas, vapor,
saluran napas. Diantarkan atau aerosol
dengan cepat ke darah, tidak
ada efek metabolisme hepatik
tahap satu

Topikal Mudah untuk diberikan Efek Efek hanya terbatas pada


lokal lokasi obat diberikan

Sumber; Farmakologi Klinis

FARMASETIKA DASAR 46
BAB V
FASE FARMAKOKINETIK

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh
terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A),
distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi
dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat.

FARMASETIKA DASAR 47
Gambar 5. Proses Farmakokinetik

FARMASETIKA DASAR 48
Gambar 6. Rute ADME

FARMASETIKA DASAR 49
I. ABROPSI
Absorpsi merupakan
proses masuknya obat dari
tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara
pemberiannya, tempat
pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai rektum),
kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan
cara ini tempat absorpsi utama
adalah usus halus karena
memiliki permukaan absorpsi
yang sangat luas, yakni 200
meter persegi (panjang 280 cm,
diameter 4 cm, disertai dengan
vili dan mikrovili)
Gambar 6. Rute Absorpsi

Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam


tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada
level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport
aktif dan transport pasif.
a. Metode absorpsi
1. Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan
proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar
konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Transport
aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang
membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi
membrane seimbang.
2. Transport Aktif

FARMASETIKA DASAR 50
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari
daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan
konsentrasi obat tinggi
b. Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit
sel. Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan
dalam tubuh.
1. Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
2. Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
3. Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained
frelease.
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorpsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3. Waktu kontak permukaan absorpsi
d. Kecepatan Absorpsi
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress Nyeri dan stress mengurangi
aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster
2. Makanan tinggi lemak, makanan tinggi lemak dan padat akan
menghambat pengosongan lambung dan memperlambat waktu
absorpsi obat
3. Faktor bentuk obat, absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet,
kapsul, cairan, sustained release, dll)
4. Kombinasi dengan obat lain, Interaksi satu obat dengan obat lain
dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis obat

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar
ke seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke
sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat
menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang
sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.

FARMASETIKA DASAR 51
II. DISTRIBUSI
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke
jaringan dan cairan tubuh.

Gambar 7. Rute Distribusi Obat

Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:


a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar
adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti
kulit, lemak dan otot lebih lambat
b. Permeabilitas kapiler
Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat
c. Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat
terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat
bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan
berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

FARMASETIKA DASAR 52
III. METABOLISME
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar
tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa
dimetabolisme lanjutan.

Gambar 8. Rute Metabolisme Obat

Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah


dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang
lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit,
juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus

FARMASETIKA DASAR 53
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, contohnya
penyakit hepar seperti sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok,
Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs
orang tua.

IV. EKSKRESI
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian
besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat
dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan
taraktusintestinal.

Gambar 9. Rute Eksresi Obat

Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi


melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam
bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal.

FARMASETIKA DASAR 54
Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi
aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan,
dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting
adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi
melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum.

Hal-hal lain terkait Farmakokinetik ;


a. Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat
dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah
absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk
menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b. Onset, Puncak dan durasi
Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya.
Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak,
Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di
dalam tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak
respon. Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek
terapi.

FARMASETIKA DASAR 55
BAB VI
FARMAKODINAMIK

Farmakodinamik adalah kajian mengenai sensitivitas atau responsivitas


intrinsik tubuh terhadap suatu obat dan mekanisme dimana efek-efek ini terjadi. Oleh
karena itu, farmakodinamik dapat juga dilihat sebagai apa yang dilakukan oleh obat
terhadap tubuh. Hubungan struktur-aktivitas mengaitkan aksi obat dengan struktur
kimianya dan memfasilitasi rancangan obat dengan sifat-sifat farmakologis yang lebih
diinginkan. Sensitivitas intrinsik ditentukan oleg pengukuran konsentrasi plasma obat
yang diperlukan untuk memicu respon farmakologis tertentu. Sensitivitas intrinsik
terhadap obat beragam diantara para pasien dan di dalam pasien itu sendiri seiring
bertambahnya usia. Sebagai akibatnya, pada konsentrasi plasma obat yang sama,
beberapa pasien menunjukkan respon terapeutik, sedangkan yang lainnya tidak
menunjukkan respon, dan yang lainnya lagi mengalami toksisitas.

I. CARA KERJA OBAT SECARA KIMIA


Cara kerja obat dapat digolongkan sebagai beriku :
a. Sercara Kimiawi
Sebagai contoh Magnesium Hidroksida aau antasida dapat mengikat asam
lambung yang berlebihan dan menetralkan asam lambung secara kimiawi.
Ion-ion logam berat diikat oleh zat-zat khelat secara kimia khusus, hingga
terbentuk senyawa kompleks yang dieksresikan oleh ginjal dan tidak toksik.
b. Secara Fisika
Sebagai contoh diuretic osmotic (garam inggris, magnesium sulfat) karena
lambat sekali diresorpsi usus akan mengalami osmosis menarik air dari
sekitarnya. Fesef diusus bertambah besar merangsang dinding usus secara
mekanis untuk mengeluarkan isi.
Contoh lain, ialah anestetika inhalasi aktivitasnya disebabkan sifat
lipofilnya, yaitu obatnya larut dalam lapisan lemak dari membrane sel,
terjadi perubahan sedemikian rupa hingga menganggu transport normal

FARMASETIKA DASAR 56
dari oksigen dan zat-zat gizi serta menghambat aktivitasnya dan berakibat
hilangnya perasaan.
II. RESEPTOR
Tubuh manusia mengandung kira-kira 1 x 103 sel, masing-masing 1 x
1010 molekul. Setiap molekul obat mempunyai kemungkinan bereaksi dengan
105 molekul yang berbeda dalam tubuh. Langley berpendapat bahwa tempat
yang reaktif merupakan bagian makromolekul dan efek biologi itu ditimbulkan
oleh ikatan obat pada letaknya.
Reseptor adalah komponen sel yang bergabbung dengan obat cara
kimia agar dapat menimbulkan efek. Istilah reseptor menggambarkan tempat
dimana obat bereaksi dengan reseptor untuk menimbulkan aktivitas biologi.
Ada tiga makromolekul biologi yang merupakan reseptor yaitu; protein, enzim,
protein structural dan asam nukleat. Ketiga-tiganya obat yang menyokong
konsep reseptor yaitu :
a. Obat bekerja pada kadar yang rendah
b. Aktivitas obat mudah dipengaruhi dengan merubah struktur kimianya
c. Aksi menahan dan antagonis juga dipengaruhi oleh perubhan struktur kimia
Kebanyakan bahan kimia tapi tidak semua, mereka bekerja seperti
molekul kecil dan harus interaksi dengan letak enzim yang mampu
mengadakan ikatan khusus yang cocok dengan molekul substrat.
Umumnya obat bekerja dengan cara terikat dengan beberapa
komponen sel yang spesifik untuk menghasilkan suatu efek. Komponen sel
inilah yang disebut reseptor, sama dengan interaksi enzim substrat untuk
membentuk kompleks enzim substrat.
Pada kejadian obat dan reseptor yaitu kompleks obat-reseptor yang
terjadi akan menimbulkan efek. Adanya aksi antara obat dan molekul dari sel
dapat dinyatakan obat berekasi spesifik akan mengubah lingkungan fisik dari
struktur badan. Misalnya anestesi umu menurut teori dinyatakan akan
mengubah struktur dari air didalam otak yang selanjutnya menaikan resistensi
listrik. Diuretik osmotic juga bekerja dengan aksi non-spesifik. Kebanyakan
obat mempunyai aksi spesifik tergantung pada reaksi yang terjadi dimana obat
merupakan suatu reaktan dan komponen sel merupakan reaktan lain, yang
disebut reseptor.

FARMASETIKA DASAR 57
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson Jr AJ, Huang SM, Lertora JJ, Markey SP, editors. Principles of clinical
pharmacology. Academic Press; 2012 Sep 18.

Aiache, J.M. (1993). Farmasetika dan Biofarmasi.Edisi ke-2. Penerjemah: Widji


Soeratri.

Ansel, C., dan Howard. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Edisi ke-4.
Jakarta: UI Press. Halaman 131-134.

Ditjen POM.(1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. Jakarta. Halaman 487-488, 783.

Katzung, B.G., (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik.Penerjemah dan Editor Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Edisi Keenam. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika. Halaman 493, 558-566.

Depkes RI. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI; 1979 Depkes RI.
Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Depkes RI; 1997
MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Volume 10 Tahun 2009. Jakarta: CMP Mediak Ann
Medici G. Drug Dosage Calculations. Second Edition. California
IAI. Indeks Spesialite Obat Indonesia. Volume 49 Tahun 2014. Jakarta: IAI; 2014.

Oxfordshire Clinical Commissioning Group. Good Practice Guidance 9: Taking


medicines on an empty stomach or with or after food in Care Homes.

McLachlan A, Ramadhan I. Meals and medicines. Aust Prescr 2006; 29: 40-2 Fakultas
Farmasi, Universitas Sydney, NSW

FARMASETIKA DASAR 58
LAMPIRAN

FARMASETIKA DASAR 59
FARMASETIKA DASAR 60
FARMASETIKA DASAR 61
FARMASETIKA DASAR 62
FARMASETIKA DASAR 63
FARMASETIKA DASAR 64
FARMASETIKA DASAR 65
FARMASETIKA DASAR 66
FARMASETIKA DASAR 67
FARMASETIKA DASAR 68
FARMASETIKA DASAR 69
FARMASETIKA DASAR 70
FARMASETIKA DASAR 71
FARMASETIKA DASAR 72
FARMASETIKA DASAR 73

Anda mungkin juga menyukai