Keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran tentu saja dapat di wujudkan dalam
berbagai sudut pandang yang mendasari dan berkembang sendiri dari dalam setiap individu
maupun melalui situasi dan kondisi yang ada di lingkungan tersebut. Alasan terbesar kenapa
masih banyak orang yang belum memiliki pandangan bahwa kenapa mereka harus belajar
dan menuntun ilmu merupakan sebuah pandangan lama yang hingga sekarang pun masih
banyak di pandang bahwa menuntun ilmu walau hanya mendapat pendidikan karakter hal itu
sudah cukup di bilang lebih pantas dan lebih baik jika dibandingkan hidup tanpa memiliki
ilmu untuk di jadikan pegangan dan landasan dalam bersikap dan bertindak.
Tapi dalam hal ini pun bukan berarti ilmu merupakan hal yang paling penting dalam
pencapaian hidup setiap individu terlebih ilmu teori yang hampir merupakan sebuah hal di
seluruh dunia yang menjadi paling penting. Namun hakikatnya ilmu bukan hanya sekedar
tentang teori yang dikaji dan diteliti secara objektif ataupun secara umum. Ilmu yang di
jabarkan adalah ilmu dalam teori ataupun ilmu dalam praktek. Tidak hanya itu saja,
pemberian ilmu berkaitan dengan soft skill dan dengan pendidikan karakter memiliki tujuan
yang lebih besar dan lebih sempurna jika di bandingkan ilmu hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhun individu.
Kemudian dalam prosesnya hal cukup besar yang di miliki individu bahkan sejak
dahulu merupak permasalahan terhadap mereka dalam menempuh suatu pendidikan dan
pembelajaran. Sebenarnya itu semua kembali kepada seluruh kemampuan dan kemauan
individu dalam melaluinya. Karena tentu saja jika faktor-faktor eksternal seperti tenaga
pendidik, sarana prasarana dan media yang ada sudah dapat dikatakan cukup bagus dan telah
menjadi standar dalam mutu pendidikan dan pembelajaran, namun jika dalam diri indi vidu
itu sendiri masih tidak ada kemampuan dan kemauan dalam hal berlatih, mencoba, belajar
dari kesalahan, dan lainnya tentu saja tujuan dan capaian belajar tidak akan tercapai secara
maksimal.
Semua hal itu tejadi dikarenakan masih kurangnya pemahaman setiap individu dalam
memahami tentang dirinya sendiri dan bagaimana dirinya dalam lingkungan. Kualitas
mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Untuk meraih prestasi
akademik yang baik mahasiswa dituntut tidak hanya berpangku tangan melainkan harus
melakukan studinya dengan sikap maju membara, kebiasaan akademik yang baik dan metode
belajar yang tepat. Akan tetapi sikap yang demikian tidak banyak tampil pada diri setiap
mahasiswa saat ini. Kondis yang demikian menciptakan mata rantai masalah yang beakar dari
dalam diri yaitu masalah konsep diri. Perbedaan individu dari faktor kepribadian cenderng
menentukan penyesuaian diri dan kualitas prestasi akademik mahasiswa. Faktor kepribadian
seperti keonsep diri dan motivasi memerlukan harmonisasi dalam proses belajar yang akan
mendukung terhadap hasil belajar. Persepsi yang positif terhadap kepribadian akan
memengaruhi konsep diri ke arah yang positif, dan mendorong individu untuk meraih prestasi
(Muhari, 2002:74)
Konsep diri inilah yang nantinya dapat menjadi sebab dan akibat yang mempengaruhi
motivasi individu selain tujuan dan capaian pembelajaran. Oleh karena itu dalam landasan
belajar mandiri hal ini perlu dikaji lebih dalam dan lebih terperinci berkaitan dengan konsep
diri dan motivasi dalam belajar dan berprestasi sehingga dapat memperjelas dan
mengoptimalkan proses belajar mandiri yang di lakukan. Dan dapat dijadikan acuan bahawa
setiap individu dapat belajar sesuai dengan dirinya ingin seperti apa dan dengan cara apa
dalam memperoleh ilmu. Lebih penting lagi hal ini lah yang masih belum disadari banyak
pelajar, mahasiswa bahkan oleh tenaga pendidik seperti guru.
Semua hal ini lah yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan dalam sistem
pendidikan dan pembelajaran yang ada, padahal semua hal ini merupakan bagian vital
dimana bukan hanya api. Tapi kita dapat membuat bahan bakar yang natinya dapat
mengobarkan apai tadi lebih besar dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan bersama. Dan
semua itu tentu saja memiliki proses yang tidak hanya dalam satu waktu dan hanya dalam
sekejap dapat terjadi dan dapat dimaknai. Karena kebanyakan masyarakat yang berfikir
bahwa semua hal itu baik jika hasilnya baik. Padahal jika kita maknai dan resapi secara
seksama, hasil hanya sebuah hadiah atau keluaran dari sebuah proses yang berkelanjutan dan
stabil, tentu saja hasi yang baik di peroleh dengan proses yang baik pula. Dan bagaimanakah
proses yang baik itu, tentu saja proses yang baik itu adalah sikap dimana dalam pelaksanaan
nya yang berkelanjutan selalu evauluasi dan pantang menyerah dengan segala kondisi yang
ada. Tentu saja dalam belajar mandiri hal ini lah yang masih perlu di tanamkan dan di
tumbukan dalam setiap diri para pembelajar. Dengan kata lain, kita tidak hanya mengajarinya
untuk bisa dan mendapatkan hasil yang baik, tapi kita mengajari mereka pula bagaimana
mengaplikasikannya dengan cara yang baik, bagaimana memanfaatkan dalam setiap situasi
kondisi yang ada, bagaimana mengembangkan dan menciptakan.
Hal-hal inilah yang masih perlu dikaji dan di gencarkan terutama pada basis sistem
belajar mandiri karena jika kita bisa mengetahuinya jelas kita bisa lebih mengoptimalkan dan
lebih memaksimalkan dalam proses dan hasil dalam belajar mandiri di dalam kehidupan kita.
PEMBAHASAN
1. Menurut Cenci (1993:45) yang diperjelas oleh Calhoun dan Acocella konsep diri di
bagi
menjadi 3 dimensi, yaitu
a) Dimensi gambaran diri (Self Image)
Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku
pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi daftar julukan yang
menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial, kelompok umur,
kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok tertentu lainnya.
b) Dimensi cita-cita diri (Self-Ideal)
Pengharapan mengenai diri sendiri yaitu pandangan tentang kemungkinan yang
diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa depan. Pengharapan ini merupakan
diri ideal
c) Dimensi penilaian diri (Self-Evaluation)
Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan mengenai diri
seseorang dengan standar dirinya yang akan menghasilkan rasa harga diri yang dapat
berarti seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri.
2. Williams Fitts (dalam agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam dua dimensi
pokok, yaitu sebagai berikut:
Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang
kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa persepsi
tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan, melainkan berkembang
secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan perseptif. Selama periode awal
kehidupan, perkembangan konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi
mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan bertambahnya usia, pandangan mengenai diri
sendiri ini mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan
orang lain (Taylor dalam Agustiani, 2006).
Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri
berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap
kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri
merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan
dengan istilah istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (dalam
Baumeister, 1999), yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan interpretasi dari
pandangan orang lain terhadap dirinya.
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa perkembangan konsep diri selalu berkembang
searah dengan berjalannya kehidupan individu tersebut dalam berproses di setiap hal yang
dilakukan. Dan hal itu pula yang nantinya membentuk konsep diri pada setiap individu.
Sehingga lingkungan ataupun hal apa saja yang didapatkan individu dalam setiap tingkah
lakunya dan bagaimana di dapat menyikapinya itulah nanti yang akan membentuk konsep
dirinya secara perlahan dan tanpa disadarinya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri
sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan
yang dialami. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan
sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-
hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Konsep diri akan turun ke negatif apabila seseorang tidak dapat melaksanakan
perkembangannya dengan baik. Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini
dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa,
tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap psimistik terhadap kehidupan
dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,
namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan
mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan
menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain.
Dengan mengetahui apa yang telas di jelaskan diatas maka dapat disimpulkan
Bahwa jenis konsep diri ada dua yaitu kosep diri positif dan konsep diri negatif,
dimana kedua konsep diri ini memiliki perbedaan antara masing masingnya. Individu
yang memiliki konsep diri positif dalam segala sesuatunya akan menanggapinya
secara positif, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-
macam tentang dirinya sendiri. Maka akan percaya diri, akan bersikap yakin dalam
bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif
akan menanggapi segala sesuatu dengan pandangan negatif pula, dia akan mengubah
terus menerus konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh dengan
cara mengubah atau menolak informasi baru dar lingkungannya Konsep diri seseorang
dapat bergerak di dalam kesatuan dari positif ke negatif (Burns, 1993).
Berkaitan langsung dengan respon lingkungan sosial individu, terutama orang-orang
penting terdekatnya, terhadap diri individu. Respon di sini adalah persepsi orang tua
atau orang-orang terdekat dalam memandang diri seseorang. Jika seorang anak
memperoleh perlakuan yang positif, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang
positif pula. Individu juga tidak akan ragu untuk dapat membuka diri dan menerima
masukan dari luar sehingga konsep dirinya menjadi lebih dekat pada kenyataan.
2. Aspek Psikologis
Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal yaitu:
a) Kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas, kemampuan konsentrasi),
b) Afeksi (ketahanan, ketekunan dan keuletan bekerja, motivasi berprestasi, toleransi
stress)
c) Konasi (kecepatan dan ketelitian kerja, coping stress, resitiensi).
3. Aspek Psiko-sosiologis
Yang dimaksud dengan aspek psiko-sosiologis (psych osocioloyico / aspect) ialah
pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Aspek psiko-sosiologis ini meliputi 3 (tiga) unsur yaitu:
a) Orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga,
b) Teman-teman pergaulan (peer-group) dan kehidupan bertetangga,
c) Lingkungan sekolah (guru, teman sekolah, aturanaturan sekolah).
Oleh karena itu, seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial
dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial (social interaction),
komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment) dan bekerja sama (cooperation) dengan
mereka. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi agar
individu mentaati aturan-aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi
hubungan mutualisme antara individu dengan iingkungan sosialnya.
F. Pengertian Motivasi
Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang
terdapat dalam diri individu,yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat.
Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat di intrepestasikan dalam tingkah
lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah
laku tertentu (Isbandi Rukminto Adi.1994:154)
Motif dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) motif biogenetis, yaiyu motif-
motif yang berasal dari kebutuhan kebutuhan oragnisme demi kelanjutan hidupnya,
misalnya lapar, haus, kebutuhan akan kegiatan dan istirahat, mengambil napas, seksualitas,
dan sebagainya; (2) motif sosiogenetis, yaitu motif-motif yang berkembang berasal dari
lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif ini tidak berkembang
dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan setempat. Misalnya,
keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan coklat, dan lain-lain; (3) motif
teologis, dalam motif ini manusia adalah manusia yang berketuhanan, sehingga ada
interaksi antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk
merealisasikan norma-norma sesuai agamanya. (W.A. Gerungan.1996 : 142-144)
Kata motif sendiri menurut W.S. Winkel (1996:151) adalah daya penggerak dalam diri
seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu. Sehingga
dapat kita pahami bahwa motivasi merupakan sebuah kemampuan dari dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan segala hal untuk memenuhi segala tujuan
ataupun kebutuhannya.
Sehingga dapat kita simpulkan dalam hal ini motivasi merupakan sebuah dorongan
dan penggerak dimana dalam hal ini lah yang mendorong individu untuk melakukan
sesuatu entah proses ataupun suatu cara yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan
dan capaian yang telah ditetapkannya, sehingga terdapat kejelasan dala pelaksanaannya.
Needs, Behavior
Desires,
or expectation
Feedback Goals
Proses Motivasi Dasar
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa motivasi terjadi apabila
seseorang mempunyai keinginan dan kemauan untuk melakukan suatu kegiatan atau
tindakan dalam rangka memcapai tujuan tertentu.
Teori ini dikenal dengan sebagai teori kebutuhan (needs) yang digambarkan secara
hierarkis seperti berikut :
Aktualisasi Diri
Penghargaan/Penghormatan
Kebutuhan Fisiologi
Teori Maslow ini dapat diterapkan dalam bebagai aspek kehidupan manusia. Dalam
dunia pendidikan, teori ini dapat dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan peserta didik
sehingga peserta didik dapat lebih memahami arti belajar itu sendiri untuk dirinya
maupun orang lain. Sehingga dapat ber aktualisasi secara optimal dalam setiap kegiatan
belajar mengajar. Teori ini pun juga mempunyai makna kognisi bahwa peranan kognisi
dalam kaitannya dengan perilaku seseorang yang menjelaskan bahwa dalam peristiwa
internal ini meneruskan ke perbuatan selanjutnya hingga tujuan dan kebutuhan nya
tercapai.
Motivasi yang terkait dengan pemaknaan dan peranan kognisi lebih mengearah
kepada motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang muncul dari dalam, seperti minat atau
keingintahuan (curiosity), sehingga seseorang tidak lagi termotivasi oleh bentuk-bentuk
insentif atau hukuman. Sedangkan motivasi motivasi ekstrinsik ialah motivasi yang
disebabkan oleh keinginan untuk menerima ganjaran atau menghindari hukuman,
motivasi yang terbentuk oleh faktor-faktor eksternal berupa ganjaran atau hukuman.
(Anita E. Woolflk.1993:337)
H. Motivasi Belajar
I. Motivasi Berprestasi
Menurut Hall dan Lindzey, motif berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan
dengan prestasi yaitu menguasai, mengatur lingkungan sosial, atau fisik, mengatasi
rintangan atau memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing melebihi prestasi yang
lampau dan mempengaruhi orang lain.
K. Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar dan Berprestasi dengan Berlandaskan
Belajar Mandiri
Jadi seluruh proses yang ada, jika individu dapat lebih memahami tentang konsep
dirinya seperti apa dan bagaimananya. Tentu saja akan dapat lebih menyelaraskan antara
proses belajarnya dan proses berkembang dirinya. Kemudian hal ini yang menjadi dasar
dalam memotivasi individu dalam berprestasi.Teori motivasi yang beranggapan bahwa
aktualisasi diri merupakan tingakatan dimana individu dapat mengaplikasikan apa yang
dia ketauhui sesuai kemampuanny dan memiliki arah pandang yang jelas sehingga itu
semua dapat memprejelas bahwa konspe diri merupakan bagian vital dalam memotivasi
diri sendiri. Dan tentu saja motivasi belajar adalah langkah awal setelah seseorang
memiliki motivasi untuk berprestasi, karena tentu saja prestasi yang baik melalui sebuah
proses belajar yang baik, dan proses belajar yang baik setelah individu memahami konsep
dirinya sehingga jika proses belajar mandiri dilakukan dapat semakin menyempurnakan
pendidikan dan pembelajaran di dalam hidupnya. Sehingga konsep diri dan motivasi
belajar dan berprestasi dalam belajar mandiri memiliki kaitan yang saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain dan dapat dijakdikan tolak ukur individu dalam menentukan
target dan capaian yang jelas sesuai dengan keadaan diri dalam kemampuan dan
kemauannya.
Daftar Pustaka
A.M. Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali
Pers
Agustiani, H. 2006. Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengan
kosepe diri.Bandung:PT. Refika Aditama
B. Uno, Hamzah.2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara.
Burns,R.B. 1993.Konsep Diri:Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku.
Jakarta : Arcan
Firdaus, Nur Auliya dkk.2013.Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar.Jurnal
Keperawatan AKPER 17 Karanganyar.Vol.1 No.1 Hal. 57
Mujiman, Haris. 2011. Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset
http://www.kajianpustaka.com/2013/09/pengertian-dan-komponen-konsep-diri.html
(Diakses tanggal 5 juni 2016,pukul 09.00)