Anda di halaman 1dari 24

Nama : Addin Abdul Hafid

Prodi : Teknologi Pendidikan/A


Nim : 15105244009
Makul: UAS Belajar Mandiri

Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar dan Berprestasi dengan


Berlandaskan Belajar Mandiri
ABSTRAK

Merupakan sebuah kewajiban dalam memikirkan perkembangan dan memikirkan


sebuah masa depan di mana hari ini merupakan jalan yang menjadi bagian dalam prosesnya.
Kemudian bagaimana cara dalam melewati proses tersebutlah yang akan menjadi sebuah
tolak ukur untuk memahami sejauh mana dapat melewati dan mengerti setiap situasi dan
kondisi yang ada. Karena pada hakikat nya manusia memiliki setiap kelebihan dan
kekurangan masing-masing yang tentunya itu semua merupakan bagian dari kehidupannnya.
Kemudian jika dikaitkan dengan pendidikan dan pembelajaran tentu saja merupakan salah
satu hal yang tidak lepas dari proses dan kegiatan berfikir dalam menuntun ilmu tersebut.
Konsep diri merupakan salah satu faktor psikologis yang menjadi karakteristik yang
ada dalam setiap individu dan hal itu pun merupakan sesuatu yang berbeda antara satu dan
lainnya. Konsep diri menjelasakan bagaiamana setiap individu dapat mengkonsepkan apa
saja yang menjadi perihal tentang dirinya sehingga individu tersebut dapat memahami
tentang dirinya dan dapat mengerti apakah hal yang baik untuk dirinya dan apakah hal yang
kurang baik untuk dirinya.
Motivasi belajar dan berprestasi merupakan dorongan yang menjadikan individu
dapat memiliki keinginan untuk belajar dan berprestasi sehingga dalam pelakasanaan proses
pendidikan dan pembelajaran, individu tersebut memiliki dorongan untuk belajar. Dan selain
memiliki dorongan untuk belajar, individu tersebut dapat memiliki juga dorongan untuk
berpresatasi dari proses belajar dan pembelajarannya sehingga dapat mengoptimalkan tidak
hanya dalam prosesnya namun dapat menhasilkan prestasi yang memuaskan. Dan dalam
wawasan belajar mandiri, hal ini lah yang dapat menjadi suatu pijakan dalam melaksanakan
proses pendidikan dan pembelajaran individu semakin matang dan semakin terarah.
Kesimpulannya adalah konsep diri seseorang dalam memandang atau melihat suatu
hal yang ada dalam dirinya dan lingkungannya juga akan dapat mempengaruhi motivasi
belajar dan motivasi berprestasi seseorang, sehingga jika memiliki konsep diri yang baik,
maka tentu saja motivasi belajar dan motivasi berprestasi juga akan ikut baik. Sehingga
proses belajar mandiri dapat lebih optimal jika dapat lebih memahami konsep diri dengan
menumbuhkan motivasi belajar dan berprestasi.

Kata Kunci : Konsep Diri, Motivasi, Motivasi Belajar, Motivasi Berprestasi,


Belajar Mandiri
PENDAHULUAN

Keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran tentu saja dapat di wujudkan dalam
berbagai sudut pandang yang mendasari dan berkembang sendiri dari dalam setiap individu
maupun melalui situasi dan kondisi yang ada di lingkungan tersebut. Alasan terbesar kenapa
masih banyak orang yang belum memiliki pandangan bahwa kenapa mereka harus belajar
dan menuntun ilmu merupakan sebuah pandangan lama yang hingga sekarang pun masih
banyak di pandang bahwa menuntun ilmu walau hanya mendapat pendidikan karakter hal itu
sudah cukup di bilang lebih pantas dan lebih baik jika dibandingkan hidup tanpa memiliki
ilmu untuk di jadikan pegangan dan landasan dalam bersikap dan bertindak.
Tapi dalam hal ini pun bukan berarti ilmu merupakan hal yang paling penting dalam
pencapaian hidup setiap individu terlebih ilmu teori yang hampir merupakan sebuah hal di
seluruh dunia yang menjadi paling penting. Namun hakikatnya ilmu bukan hanya sekedar
tentang teori yang dikaji dan diteliti secara objektif ataupun secara umum. Ilmu yang di
jabarkan adalah ilmu dalam teori ataupun ilmu dalam praktek. Tidak hanya itu saja,
pemberian ilmu berkaitan dengan soft skill dan dengan pendidikan karakter memiliki tujuan
yang lebih besar dan lebih sempurna jika di bandingkan ilmu hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhun individu.
Kemudian dalam prosesnya hal cukup besar yang di miliki individu bahkan sejak
dahulu merupak permasalahan terhadap mereka dalam menempuh suatu pendidikan dan
pembelajaran. Sebenarnya itu semua kembali kepada seluruh kemampuan dan kemauan
individu dalam melaluinya. Karena tentu saja jika faktor-faktor eksternal seperti tenaga
pendidik, sarana prasarana dan media yang ada sudah dapat dikatakan cukup bagus dan telah
menjadi standar dalam mutu pendidikan dan pembelajaran, namun jika dalam diri indi vidu
itu sendiri masih tidak ada kemampuan dan kemauan dalam hal berlatih, mencoba, belajar
dari kesalahan, dan lainnya tentu saja tujuan dan capaian belajar tidak akan tercapai secara
maksimal.
Semua hal itu tejadi dikarenakan masih kurangnya pemahaman setiap individu dalam
memahami tentang dirinya sendiri dan bagaimana dirinya dalam lingkungan. Kualitas
mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Untuk meraih prestasi
akademik yang baik mahasiswa dituntut tidak hanya berpangku tangan melainkan harus
melakukan studinya dengan sikap maju membara, kebiasaan akademik yang baik dan metode
belajar yang tepat. Akan tetapi sikap yang demikian tidak banyak tampil pada diri setiap
mahasiswa saat ini. Kondis yang demikian menciptakan mata rantai masalah yang beakar dari
dalam diri yaitu masalah konsep diri. Perbedaan individu dari faktor kepribadian cenderng
menentukan penyesuaian diri dan kualitas prestasi akademik mahasiswa. Faktor kepribadian
seperti keonsep diri dan motivasi memerlukan harmonisasi dalam proses belajar yang akan
mendukung terhadap hasil belajar. Persepsi yang positif terhadap kepribadian akan
memengaruhi konsep diri ke arah yang positif, dan mendorong individu untuk meraih prestasi
(Muhari, 2002:74)
Konsep diri inilah yang nantinya dapat menjadi sebab dan akibat yang mempengaruhi
motivasi individu selain tujuan dan capaian pembelajaran. Oleh karena itu dalam landasan
belajar mandiri hal ini perlu dikaji lebih dalam dan lebih terperinci berkaitan dengan konsep
diri dan motivasi dalam belajar dan berprestasi sehingga dapat memperjelas dan
mengoptimalkan proses belajar mandiri yang di lakukan. Dan dapat dijadikan acuan bahawa
setiap individu dapat belajar sesuai dengan dirinya ingin seperti apa dan dengan cara apa
dalam memperoleh ilmu. Lebih penting lagi hal ini lah yang masih belum disadari banyak
pelajar, mahasiswa bahkan oleh tenaga pendidik seperti guru.
Semua hal ini lah yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan dalam sistem
pendidikan dan pembelajaran yang ada, padahal semua hal ini merupakan bagian vital
dimana bukan hanya api. Tapi kita dapat membuat bahan bakar yang natinya dapat
mengobarkan apai tadi lebih besar dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan bersama. Dan
semua itu tentu saja memiliki proses yang tidak hanya dalam satu waktu dan hanya dalam
sekejap dapat terjadi dan dapat dimaknai. Karena kebanyakan masyarakat yang berfikir
bahwa semua hal itu baik jika hasilnya baik. Padahal jika kita maknai dan resapi secara
seksama, hasil hanya sebuah hadiah atau keluaran dari sebuah proses yang berkelanjutan dan
stabil, tentu saja hasi yang baik di peroleh dengan proses yang baik pula. Dan bagaimanakah
proses yang baik itu, tentu saja proses yang baik itu adalah sikap dimana dalam pelaksanaan
nya yang berkelanjutan selalu evauluasi dan pantang menyerah dengan segala kondisi yang
ada. Tentu saja dalam belajar mandiri hal ini lah yang masih perlu di tanamkan dan di
tumbukan dalam setiap diri para pembelajar. Dengan kata lain, kita tidak hanya mengajarinya
untuk bisa dan mendapatkan hasil yang baik, tapi kita mengajari mereka pula bagaimana
mengaplikasikannya dengan cara yang baik, bagaimana memanfaatkan dalam setiap situasi
kondisi yang ada, bagaimana mengembangkan dan menciptakan.
Hal-hal inilah yang masih perlu dikaji dan di gencarkan terutama pada basis sistem
belajar mandiri karena jika kita bisa mengetahuinya jelas kita bisa lebih mengoptimalkan dan
lebih memaksimalkan dalam proses dan hasil dalam belajar mandiri di dalam kehidupan kita.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsep Diri


Pengertian konsep diri menurut para ahli sebenarnya ada banyak namun semua
memiliki inti yang sama yaitu hakikat dari konsep diri sendiri tadi terhadap hidupnya.
Menurut Fitts (Agustiani, 2006), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan kerangka
acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Agustiani (2006)
menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang mengenai
dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang dia peroleh dari interaksi
dengan lingkungan. Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Stuart dan
Sundeen(Keliat,1992), bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan
pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan
dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Dengan kata lain, konsep diri
didefenisikan sebagai pandangan pribadi yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri
(Calhoun dan Acocella, 1990).
Menurut William D. Brooks bahwa pengertian konsep diri adalah pandangan dan
perasaan kita tentang diri kita (Rakhmat,2005:105). Sedangkan Centi (1993:9)
mengemukakan konsep diri (self-concept)tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang
diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi,
bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri
menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.
Burns (1993:vi) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita
pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang
kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu
bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain
pada diri individu (Mulyana, 2000:7).
Clara R Pudjijogyanti (1995: 2) berpendapat bahwa konsep diri merupakan salah satu
faktor yang menentukan apakah seseorang akan berperilaku negatif atau tidak, sebab
perilaku negatif merupakan perwujudan adanya gangguan dalam usaha pencapaian harga
diri. Apabila seseorang remaja gagal dalam pencapaian harga diri, maka ia akan merasa
kecewa terhadap keadaan diri dan lingkungannya. Ia akan memandang dirinya dengan
sikap negatif, sebaliknya apabila seorang remaja berhasil dalam mencapai harga dirinya,
maka ia akan merasa puas dengan dirinya maupun terhadap lingkungannya. Hal ini akan
membuat ia bersikap positif terhadap dirinya.
Berzonsky (1981), mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran mengenai diri
seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian berdasarkan harapannya
yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan moral. Sejalan
dengan defenisi tersebut Kobal dan Musek (2002) mendefenisikan konsep diri sebagai
suatu kesatuan psikologis yang meliputi perasaan-perasaan, evaluasi-evaluasi, dan sikap-
sikap kita yang dapat mendeskripsikan diri kita. Demikian juga Paik dan Micheal (2002)
menjelaskan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan-keyakinan yang kita miliki
mengenai diri kita sendiri dan hubungannya dengan perilaku dalam situasi-situasi tertentu.
Dari seluruh banyakknya pengertian menurut para ahli yang memiliki pandangan
berbeda-beda dalam menjelaskannya namu tetap satu tujuan yaitu konsep diri. Jadi,
konsep diri tadi merupakan cara pandang atau pun sebuah persepesi individu dalam
memandang ataupun menilai dirinya sendiri terhadap hal yang berada di lingkungannya
ataupun hal yang ada pada dirinya, sehingga konsep diri ini memerlukan kesadaran
sepenuhnya dimana individu dapat melihat sampai sejauh mana individu tersebut
mengenali dirinya sendiri dan sejauh mana individu dapat memahami ataupun mengerti
tentang dirinya sendiri.
Karena seperti yang kita ketahui bahwa konsep diri ini tadi adalah bagaimana kita
berkonsep atau berfikir tentang apa saja yang nanti akan kita lakukan dan bagaimana
melakukannya. Sehingga secara nyatanya saja yang paling dan benar-benar mengerti
keadaan dari diri sendiri tentunya saja diri kita sendiri. Sehingga konsep diri ini tidak
dapat dinyatakan dengan ukuran perbandingan atau menyamakan dengan hal lain atau
kemampuan individu lain. Konsep diri pula lah yang nantinya akan menjadi dasar dalam
sesorang memiliki motivasi dalam melakukan sesuatu.

B. Dimensi-Dimensi dalam Konsep Diri

1. Menurut Cenci (1993:45) yang diperjelas oleh Calhoun dan Acocella konsep diri di
bagi
menjadi 3 dimensi, yaitu
a) Dimensi gambaran diri (Self Image)
Pengetahuan terhadap diri sendiri yaitu seperti usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku
pekerjaan dan lain-lain, yang kemudian menjadi daftar julukan yang
menempatkan seseorang ke dalam kelompok sosial, kelompok umur,
kelompok suku bangsa maupun kelompok-kelompok tertentu lainnya.
b) Dimensi cita-cita diri (Self-Ideal)
Pengharapan mengenai diri sendiri yaitu pandangan tentang kemungkinan yang
diinginkan terjadi pada diri seseorang di masa depan. Pengharapan ini merupakan
diri ideal
c) Dimensi penilaian diri (Self-Evaluation)
Penilaian tentang diri sendiri yaitu penilaian antara pengharapan mengenai diri
seseorang dengan standar dirinya yang akan menghasilkan rasa harga diri yang dapat
berarti seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri.

2. Williams Fitts (dalam agustiani, 2006) membagi konsep diri dalam dua dimensi
pokok, yaitu sebagai berikut: 

a). Dimensi Internal 


Dimensi Internal atau yang disebut juga kerangka acuan (internal frame of
reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang
dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam
dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk: 
1). Diri identitas (identity sett) 
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan
mengacu pada pertanyaan, "Siapakah saya?" Dalam pertanyaan tersebut tercakup
label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-
individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun
identitasnya, misalnya "Saya x". Kemudian dengan bertambahnya usia dan
interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga
bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan halhal
yang lebih kompleks, seperti "Saya pintar tetapi terlalu gemuk " dan sebagainya.

2). Diri Pelaku (behavioral self) 


Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang
berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh diri. Selain itu
bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat akan
menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya,
sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri
sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai. 

3). Diri Penerimaan/penilai (judging self) 


Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator.
Kedudukannya adalah sebagai perantara mediator) antara diri identitas dan diri
pelaku. Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang
dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenal pada dirinya bukanlah
semata-mata menggambarkan dirinya tetapi juga sarat dengan nilai-nilai.
Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan
ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau
seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan
menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan
ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. 
Sebaliknya, bagi individu yang memiliki  kepuasan diri yang tinggi, kesadaran
dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan
untuk merupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke
luar diri, dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif. Ketiga bagian
internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda, namun saling melengkapi dan
berinteraksi membentuk suatu diri yang utuh dan menyeluruh. 

B). Dimensi Eksternal 


Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan
aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain di luar dirinya.
Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan
sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan
oleh Williams Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang,
dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu: 

1). Diri Fisik (physical self) 


Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara
fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya,
penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya
(tinggi, pendek, gemuk, kurus). 

2). Diri etik-moral (moral-ethical self) 


Bagian ini merupakan perspsi seseorang terhadap dirinya dilihat Dari standar
pertimbangan nilai moral dan etika. Maka ini menyangkut persepsi seseorang
mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan
keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang muliputi batasan
baik dan buruk. 

3). Diri Pribadi (personal self) 


Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan
pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan
orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana individu merasa puas terhadap
pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. 

4). Diri Keluarga (family self) 


Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh
seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, Serta
terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu
keluarga. 

5). Diri Sosial (social self) 


Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan
orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu
terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi
oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu
saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adanya reaksi dari orang
lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian Pula
seseorang tidak dapat mengatakan bahwa dirinya memiliki diri pribadi yang baik
tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain di sekitarnya yang menunjukkan
bahwa dirinya memang memiliki pribadi yang baik. 
C. Perkembangan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan suatu proses yang terus berlanjut di sepanjang
kehidupan manusia. Symonds (dalam Agustiani, 2006) menyatakan bahwa persepsi
tentang diri tidak langsung muncul pada saat individu dilahirkan, melainkan berkembang
secara bertahap seiring dengan munculnya kemampuan perseptif. Selama periode awal
kehidupan, perkembangan konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi
mengenai diri sendiri. Lalu seiring dengan bertambahnya usia, pandangan mengenai diri
sendiri ini mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi dengan
orang lain (Taylor dalam Agustiani, 2006).
Mead (dalam Calhoun & Acocella, 1995) menjelaskan bahwa konsep diri
berkembang dalam dua tahap: pertama, melalui internalisasi sikap orang lain terhadap
kita; kedua melalui internalisasi norma masyarakat. Dengan kata lain, konsep diri
merupakan hasil belajar melalui hubungan individu dengan orang lain. Hal ini sejalan
dengan istilah istilah “looking glass self” yang dikemukakan oleh Cooley (dalam
Baumeister, 1999), yaitu ketika individu memandang dirinya berdasarkan interpretasi dari
pandangan orang lain terhadap dirinya.
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa perkembangan konsep diri selalu berkembang
searah dengan berjalannya kehidupan individu tersebut dalam berproses di setiap hal yang
dilakukan. Dan hal itu pula yang nantinya membentuk konsep diri pada setiap individu.
Sehingga lingkungan ataupun hal apa saja yang didapatkan individu dalam setiap tingkah
lakunya dan bagaimana di dapat menyikapinya itulah nanti yang akan membentuk konsep
dirinya secara perlahan dan tanpa disadarinya.

D. Jenis – jenis Konsep Diri


Kemudian menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep
diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Dimana setiap
individu akan selalu mengalaminya dalam proses perkembangannya tadi 
1). Konsep Diri Positif 
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu
dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang
positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat
memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang
dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat
menerima dirinya apa adanya. Individu yang memiliki konsep diri positif akan
merancang tujuantujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya
serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan. (Coopersmith, 1991)
mengemukakan karakteristik dengan konsep diri positif, yaitu bebas mengemukakan
pendapat, cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai prestasi, mampu
mengaktualisasikan 36 potensinya dan mampu menyelaraskan diri dengan
lingkungannya. 
Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Brooks dan Emmert
dikutip (Rakmat, 2008)yang menyatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri
positif ditandai dengan lima hal, yaitu: 
a). Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah 
b). Merasa setara dengan orang lain 
c). Menerima pujian tanpa rasa malu 
d). Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat 
Hamachek menyebutkan sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri
positif dan berikut 4 diantaranya : 
1). Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang
berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui
tindakannya. 
2).Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan
terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi
waktu sekarang. 
3).Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan
ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. 
4).Merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,
walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga,
atau sikap orang lain terhadapnya. 

Individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri
sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan
yang dialami. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan
sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-
hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang. 

2). Konsep Diri Negatif 


Sedangkan untuk konsep diri yang negatif (Coopersmith, 1991)
mengemukakan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai perasaan tidak aman kurang
menerima dirinya sendiri dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Fitts (dalam
Yanti, 2008), menyebutkan ciri-ciri individu yang mempunyai konsep diri rendah
adalah : 
a). Tidak menyukai dan menghormati diri sendiri 
b). Memiliki gambaran yang tidak pasti terhadap dirinya, 
c). Sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh bujukan dari luar 
d). Tidak memiliki pertahanan psikologis yang dapat membantu menjaga tingkat
harga dirinya 
e). Mempunyai banyak persepsi yang saling berkonflik 
f). Merasa aneh dan asing terhadap diri sendiri sehingga sulit bergaul
g). Mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami pengalaman negatif
dan tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut. 

Konsep diri akan turun ke negatif apabila seseorang tidak dapat melaksanakan
perkembangannya dengan baik. Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini
dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa,
tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik
terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap psimistik terhadap kehidupan
dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,
namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan
mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan
menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain. 

Dengan mengetahui apa yang telas di jelaskan diatas maka dapat disimpulkan
Bahwa jenis konsep diri ada dua yaitu kosep diri positif dan konsep diri negatif,
dimana kedua konsep diri ini memiliki perbedaan antara masing masingnya. Individu
yang memiliki konsep diri positif dalam segala sesuatunya akan menanggapinya
secara positif, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-
macam tentang dirinya sendiri. Maka  akan percaya diri, akan bersikap yakin dalam
bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif
akan menanggapi segala sesuatu dengan pandangan negatif pula, dia akan mengubah
terus menerus konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh dengan
cara mengubah atau menolak informasi baru dar lingkungannya Konsep diri seseorang
dapat bergerak di dalam kesatuan dari positif ke negatif (Burns, 1993).
Berkaitan langsung dengan respon lingkungan sosial individu, terutama orang-orang
penting terdekatnya, terhadap diri individu. Respon di sini adalah persepsi orang tua
atau orang-orang terdekat dalam memandang diri seseorang. Jika seorang anak
memperoleh perlakuan yang positif, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang
positif pula. Individu juga tidak akan ragu untuk dapat membuka diri dan menerima
masukan dari luar sehingga konsep dirinya menjadi lebih dekat pada kenyataan.

E. Aspek-Aspek Konsep Diri 


Berk (dalam Dariyo, 2007), Konsep diri (self-concept) ialah gambaran diri sendiri
yang bersifat menyeluruh terhadap keberadaan diri seseorang. Konsep diri ini bersifat
multi-aspek yaitu meliputi 4 (empat) aspek seperti 
1. Aspek fisiologis, 
2. Psikologis, 
3. Psikososiologis, 
4. Psiko-etika dan moral. 
Gambaran konsep diri berasal dari interaksi antara diri sendiri maupun antara diri
dengan orang lain (lingkungan sosiainya). Oleh karna itu, konsep diri sebagai cara
pandang seseorang mengenai diri sendiri untuk memahami keberadaan diri sendiri
maupun memahami orang lain. Blasi & Glodis (dalam Vasta,et.al,2004) para ahli psikologi
perkembangan menyebut pemahaman terhadap keberadaan diri sendiri sebagai self-
existential. Pemahaman keberadaan diri sendiri berhubungan erat dengan pemahaman
terhadap karakteristik pribadi secara objektif terhadap diri sendiri, atau yang disebut
sebagai kategori diri (self-categorial). Ada beberapa aspek aspek psikologi menurut Berk,
yaitu: 
1. Aspek fisiologis 
Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur fisik, seperti warna kulit,
bentuk, berat atau tinggi badan, raut muka (tampan, cantik, sedang, atau jelek),
memiliki kondisi badan yang sehat, normal/cacat dan sebagainya. Karakteristik fisik
mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri; demikian pula tak dipungkiri
bahwa orang lain pun menilai seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal-hal yang
bersifat fisiologis. Walaupun belum tentu benarmasyarakat seringkali melakukan
penilaian awal terhadap penampilan fisik untuk dijadikan sebagai dasar respon perilaku
seseorang terhadap orang lain. 

2. Aspek Psikologis 
Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal yaitu: 
a) Kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas, kemampuan konsentrasi), 
b) Afeksi (ketahanan, ketekunan dan keuletan bekerja, motivasi berprestasi, toleransi
stress)  
c) Konasi (kecepatan dan ketelitian kerja, coping stress, resitiensi). 

Pemahaman dan penghayatan unsur-unsur aspek psikologis tersebut akan


mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian yang baik, akan
meningkatkan konsep diri yang positif(positive self-concept), sebaliknya penilaian
yang buruk cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif (negative self
concept). 

3. Aspek Psiko-sosiologis 
Yang dimaksud dengan aspek psiko-sosiologis (psych osocioloyico / aspect) ialah
pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Aspek psiko-sosiologis ini meliputi 3 (tiga) unsur yaitu: 
a) Orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga, 
b) Teman-teman pergaulan (peer-group) dan kehidupan bertetangga, 
c) Lingkungan sekolah (guru, teman sekolah, aturanaturan sekolah). 
Oleh karena itu, seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial
dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial (social interaction),
komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment) dan bekerja sama (cooperation) dengan
mereka. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi agar
individu mentaati aturan-aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi
hubungan mutualisme antara individu dengan iingkungan sosialnya. 

4. Aspek Psikoetika dan Moral 


Aspek psikoetika dan moral (moral aspect) yaitu suatu kemampuan memahami
dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai-nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran,
perasaan, dan perilaku individu harus mengacu pada nilai-nilai kebaikan, keadilan,
kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu, proses penghayatan dan pengamatan
individu terhadap nilai-nilai moral tersebut menjadi sangat penting, karena akan dapat
menopang keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian diri dengan
orang lain.

Gambar  Skema Konsep Diri

E. Sumber Informasi Untuk Konsep Diri


Calhoun dan Acocella (1990) mengungkapkan ada beberapa sumber informasi untuk
konsep diri seseorang, yaitu:

1). Orang tua


Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami dan yang paling
berpengaruh. Orang tua sangat penting bagi seorang anak, sehingga apa yang mereka
komunikasikan akan lebih berpengaruh daripada informasi lain yang diterima anak
sepanjang hidupnya. Orang tua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri
anak. Orang tua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan anak
bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian tersebut akan terus
terbawa sampai anak menjadi dewasa.
2). Teman sebaya
Setelah orang tua, kelompok teman sebaya juga cukup mempengaruhi konsep diri
individu. Penerimaan maupun penolakan kelompok teman sebaya terhadap seorang anak
akan berpengaruh pada konsep diri anak tersebut. Peran yang diukir anak dalam
kelompok teman sebayanya dapat memberi pengaruh yang dalam pada pandangannya
tentang dirinya sendiri dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang
dimilikinya akan cenderung terus berlangsung dalam hubungan sosial ketika ia
dewasa.
3). Masyarakat
Sama seperti orang tua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu individu
bagaimana mendefenisikan diri sendiri. Penilaian dan pengharapan masyarakat terhadap
individu dapat masuk ke dalam konsep diri individu dan individu akan berperilaku sesuai
dengan pengharapan tersebut.
4). Belajar
Konsep diri merupakan hasil belajar. Belajar dapat didefenisikan sebagai perubahan
psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri seseorang sebagai akibat dari
pengalaman.

F. Pengertian Motivasi
Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang
terdapat dalam diri individu,yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat.
Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat di intrepestasikan dalam tingkah
lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah
laku tertentu (Isbandi Rukminto Adi.1994:154)
Motif dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) motif biogenetis, yaiyu motif-
motif yang berasal dari kebutuhan kebutuhan oragnisme demi kelanjutan hidupnya,
misalnya lapar, haus, kebutuhan akan kegiatan dan istirahat, mengambil napas, seksualitas,
dan sebagainya; (2) motif sosiogenetis, yaitu motif-motif yang berkembang berasal dari
lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif ini tidak berkembang
dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan setempat. Misalnya,
keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan coklat, dan lain-lain; (3) motif
teologis, dalam motif ini manusia adalah manusia yang berketuhanan, sehingga ada
interaksi antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk
merealisasikan norma-norma sesuai agamanya. (W.A. Gerungan.1996 : 142-144)
Kata motif sendiri menurut W.S. Winkel (1996:151) adalah daya penggerak dalam diri
seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu. Sehingga
dapat kita pahami bahwa motivasi merupakan sebuah kemampuan dari dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan segala hal untuk memenuhi segala tujuan
ataupun kebutuhannya.
Sehingga dapat kita simpulkan dalam hal ini motivasi merupakan sebuah dorongan
dan penggerak dimana dalam hal ini lah yang mendorong individu untuk melakukan
sesuatu entah proses ataupun suatu cara yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan
dan capaian yang telah ditetapkannya, sehingga terdapat kejelasan dala pelaksanaannya.

G. Teori dalam Motivasi


Dengan adanya berbagai teori tentang motivasi yang telah dikemukakan oleh para
ahli, terdapat beberapa hal yang bertitik tolak pada dorongan yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Ada teori motivasi yang bertitik tolak pada dorongan dan pencapaian
kepuasaan, ada pula yang bertitik tolak pada asas kebutuhan.
Banyak teori motivasi yang yang didasarkan dari asas kebutuhan (need). Kebutuhan
yang menyebabkan seseorang berusaha untuk dapat memenuhinya. Motivasi adalah proses
psikologis yang dapat menjelaskan perilaku seseorang. Perilaku hakikatnya merupakan
orientasi pada satu tujujan. Dengan kata lain, perilaku sesorang dirancanguntuk mencapai
tujuan. Untuk mencapai perilaku tersebut diperlukan proses interaksi dari beberapa unsur.
Dengan demikian, motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang melakukan
sesuatu untuk mencapai tujuannya. Kekuatan-kekuatan ini pada dasarnya dirangsang oleh
adanya berbagai macam kebutuhan, seperti (1) keinginan yang hendak di penuhinya; (2)
tingkah laku; (3) tujuan; (4) umpan balik. (Don Hellrigel and Jhon W.1979:390)
Proses Interakasi ini disebut sebagai produk motivasi dasar (basic motivation
process), dapat digambarkan dengan model proses seperti pada gambar di bawah ini :

Needs, Behavior
Desires,
or expectation

Feedback Goals
Proses Motivasi Dasar

Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa motivasi terjadi apabila
seseorang mempunyai keinginan dan kemauan untuk melakukan suatu kegiatan atau
tindakan dalam rangka memcapai tujuan tertentu.

Maslow, sebagai tokoh motivasi aliran humanisme, menyatakan bahwa kebutuhan


manusia secara hierarkis semuanya laten dalam diri manusia. Kebutuhan tersebut
mencakup kebutuhan fisiologis (sandang pangan), kebutuhan rasa aman (bebas bahaya),
kebutuhan kasih sayang, kebutuhan dihargai dan dihormati, dan kebutuhan katualisasi
diri.(Stephen P. Robbins.1986:213-214) Aktualisasi diri, penghargaan atau
penghormatan, rasa memiliki, dan rasa cinta atau sayang, perasaan aman, dan tentram
merupakan kebutuhan fisiologis mendasar.

Teori ini dikenal dengan sebagai teori kebutuhan (needs) yang digambarkan secara
hierarkis seperti berikut :
Aktualisasi Diri

Penghargaan/Penghormatan

Rasa Memiliki dan Rasa Cinta/Sayang

Perasaan Aman dan Tentram

Kebutuhan Fisiologi

Sumber : Stephen P. Robbins. 1996: 214


Hierarki Kebutuhan Maslow

Teori Maslow ini dapat diterapkan dalam bebagai aspek kehidupan manusia. Dalam
dunia pendidikan, teori ini dapat dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan peserta didik
sehingga peserta didik dapat lebih memahami arti belajar itu sendiri untuk dirinya
maupun orang lain. Sehingga dapat ber aktualisasi secara optimal dalam setiap kegiatan
belajar mengajar. Teori ini pun juga mempunyai makna kognisi bahwa peranan kognisi
dalam kaitannya dengan perilaku seseorang yang menjelaskan bahwa dalam peristiwa
internal ini meneruskan ke perbuatan selanjutnya hingga tujuan dan kebutuhan nya
tercapai.
Motivasi yang terkait dengan pemaknaan dan peranan kognisi lebih mengearah
kepada motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang muncul dari dalam, seperti minat atau
keingintahuan (curiosity), sehingga seseorang tidak lagi termotivasi oleh bentuk-bentuk
insentif atau hukuman. Sedangkan motivasi motivasi ekstrinsik ialah motivasi yang
disebabkan oleh keinginan untuk menerima ganjaran atau menghindari hukuman,
motivasi yang terbentuk oleh faktor-faktor eksternal berupa ganjaran atau hukuman.
(Anita E. Woolflk.1993:337)

H. Motivasi Belajar

Berbagai model motivasi tersedia untuk dipakai sebagai upaya pengembangan


motivasi belajar. Di antaranya adalah model pengembangan motivasi belajar oleh Haris
Mudjiman (1981).
Menurut model ini, perbuatan belajar, seperti halnya perbuatan-perbuatan sadar dan
perbuatan tanpa paksaan pada umumnya, selalu didahului oleh proses pembuatan
keputusan-keputusan untuk berbuat , atau tidak berbuat. Apabila kekuatan motivasinya
cukup kuat, ia akan memutuskan untuk melakukan perbuatan belajar. Sebaliknya, apabila
motivasinya tidak cukup kuat ia akan memutuskan untuk tidsk melakukan perbuatan
belajar. Faktor-faktor motivasi belajar. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
pembentukan motivasi belajar? Sekurang-kurangnya 8 faktor diperkirakan berpengaruh
terhadap pembentukan motivasi belajar:

(i) Faktor pengetahuan tentang kegunaan belajar;


(ii) Faktor kebutuhsn untuk belajar;
(iii) Faktor kemampuan melakukan kegiatan belajar;
(iv) Faktor kesenangan terhadap ide melakukan kegiatan belajar;
(v) Faktor pelaksanaan kegiatan belajar;
(vi) Faktor hasil belajar;
(vii) Faktor kepuasan terhadap hasil belajar;
(viii) Faktor karakteristik pribadi dan lingkungan.

I. Motivasi Berprestasi
Menurut Hall dan Lindzey, motif berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan
dengan prestasi yaitu menguasai, mengatur lingkungan sosial, atau fisik, mengatasi
rintangan atau memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing melebihi prestasi yang
lampau dan mempengaruhi orang lain. 

McClelland dalam bukunya Memacu Masyarakat Berprestasi (1983) membedakan


tiga kebutuhan yang ada pada manusia, yaitu : kebutuhan berprestasi atau n-
Ach, kebutuhan untuk berkuasa n-Afiliation, dan kebutuhan untuk berafiliasi atau n-
Afiliation. Ia mengatakan bahwa motivasi berprestasi di dalam menyeleksi suatu aktivitas
atau pekerjaan yaitu dengan usaha aktif, sehingga memberikan hasil yang terbaik. n-Ach,
ini akan mencerminkan dalam perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu
keunggulan. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan menyukai
tugas-tugas yang menantang, bertanggung jawab, dan terbuka untuk umpan balik yang
memperbaiki prestasi inovatif-kreatif.
McClelland (Myron Weiner, 1984) menyatakan bahwa motivasi berprestasi diberi
nama Virus mental yaitu n-Ach ("Need for Achievement"). Virus mental terjadi pada diri
seseorang, cenderung orang itu akan bertingkah laku secara giat. Dengan menambah n-
Ach seseorang akan menjadi bertamah giat dan tekun dalam berupaya, tidak hanya sekedar
mencari keuntungan, namun berupaya lebih keras agar mencintai pekerjaan, untuk
mendapat kepuasan dalam hidup.
McClelland and Heckhausen menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah motif
yang mendorong individu dalam mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam
kompetisi dengan beberapa ukuran keberhasilan, yaitu dengan membandingkan
prestasinya sendiri sebelumnya maupun dengan prestasi orang lain.
Menurut Atkinson (1959), adalah kecenderungan seseorang mengadakan reaksi untuk
mencapai tujuan dalam suasana kompetisi, demi mencapai tujuan yaitu apabila prestasi
yang dicapai melebihi aturan yang lebih baik dari sebelumnya. Khususnya yang
menantang dan mempunyai reward yang bersifat intrinsik. Individu yang mempunyai
motif berprestasi yang tinngi mempunyai motif untuk meraih sukses.
Jadi dari uraian di atas kita dapat memahami bahwa motivasi berprestasi merupakan
sebuah dorongan yang mengarah kan kita kepada keadaan yang mengharuskan kita
mendapatkan sebuah posisi dan ataupun dapat bersaing dalam kompetisi yang menjadi
capaian untuk diri kita sendiri.

J. Pengertian Belajar Mandiri


Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk
menguasai suatu kompetensi, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi
yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara penyampaiannya
baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar,
sumber belajar, maupun evaluasi belajar dilakukan oleh pembelajar sendiri.(Haris
Mujiman.2011:1-2)
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa saat seseorang sedang melakukan
kegiatan belajar mandiri, seseorang tersebut mendapat dorongan dari adanya motif belajar
dan hal tersebut merupakan salah satu tanda dan menentukan dalam berlangsungnya
kegiatan belajar mandiri si pembelajar. Sehingga belajar mandiri merupakan pembelajaran
yang dimana si pembelajar secara nyata sedang belajar sendiri, atau sedang belajar dalam
diskusi kelompok, ataupun sedang dalam suasana kelas. Namun yang membedakan
dengan adalah bila si pembelajar memiliki motif yang dapat mendorong kegiatan
belajarnya untuk menguasai sesuatu kompetensi yang di butuhkannya, dengan begitu si
pembelajar dapat dimaknai secara belajar mandiri.

K. Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar dan Berprestasi dengan Berlandaskan
Belajar Mandiri

Menurut William D. Brooks bahwa pengertian konsep diri adalah pandangan dan


perasaan kita tentang diri kita (Rakhmat,2005:105). Sedangkan Centi (1993:9)
mengemukakan konsep diri (self-concept)tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang
diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi,
bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri
menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan
konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat
stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga
evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuantujuan yang sesuai
dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai,
mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu
proses penemuan. (Coopersmith, 1991)
Maslow, sebagai tokoh motivasi aliran humanisme, menyatakan bahwa kebutuhan
manusia secara hierarkis semuanya laten dalam diri manusia. Kebutuhan tersebut
mencakup kebutuhan fisiologis (sandang pangan), kebutuhan rasa aman (bebas bahaya),
kebutuhan kasih sayang, kebutuhan dihargai dan dihormati, dan kebutuhan katualisasi
diri.(Stephen P. Robbins.1986:213-214)
Belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk
menguasai suatu kompetensi, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi
yang dimiliki. Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara penyampaiannya
baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar,
sumber belajar, maupun evaluasi belajar dilakukan oleh pembelajar sendiri.(Haris
Mujiman.2011:1-2)
Bila kita jabarkan lebih jelas dari seluruh uraian di atas dapat kita ambil makna bahwa
usaha untuk mencapai motivasi belajar dan berprestasi tentu dapat diraih jika individu
tersebut dapat mengetahui secara keseluruhan tentang dirinya sendiri, sehingga dalam
menentukan proses maupun hal apapun dalam pelaksanaannya dapat di sesuaikan dengan
kapasitas diri ataupun kemampuan dirinya sendiri. Kemudian apa saja yang di
harapkanya pun sesuai dengan hal yang di nilai oleh dirinya sendiri. Dan berkaitan
dengan penilaiannya terhadap apa yang telah dilakukannya sesuai kemampuannya tentu
saja memiliki perbandingan antara dirinya yang dulu belum mengerti apa-apa hingga
sekarang dapat lebih memahami dan mengerti. Kemudian apabila individu tersebut
masih merasa kurang kurang dalam prestasinya tentu individu tersebut akan termotivasi
untuk meningkatkan proses pembelajaran dan belajarnya sehingga individu tersebut
dapat lebih bermotivasi lebih besar lagi dalam berprestasi.
Motivasi belajar dan berprestasinya pun juga di dapat dalam proses belajar
mandirinya karena seperti yang telah di uraikan bahwa konsep diri yang paling
mengetahui juga hanya diri sendiri, sehingga belajar mandiri adalah cara paling efektif
dan efisien dalam memperoleh hasil yang maksimal.
Kemudian seperti yang disampaikan oleh Fernald dan Fernald (1999) bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang adalah konsep diri yang
dimiliki oleh individu, jika individu menganggap bahwa dirinya mampu melakukan
sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang di inginkannya.
Dan di perjelas lagi oleh Moss dan Kagen dalam Callhoun dan Acocella, (1990) bahwa
konsep diri seseorang akan mempengaruhi keinginannya untuk berprestasi. Dan semua
hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Gage dan Berliner (1984) bahwa terdapat
hubungan yang positif antara konsep diri dengan keinginan untuk berprestasi yang
dimiliki oleh individu.
Kemudian jika kita padankan dengan teori motivasi bahwa aktualisasi diri merupakan
tingakatan dimana individu dapat mengaplikasikan apa yang dia ketauhui sesuai
kemampuanny dan memiliki arah pandang yang jelas sehingga itu semua dapat
memprejelas bahwa konspe diri merupakan bagian vital dalam memotivasi diri sendiri.
Dan tentu saja motivasi belajar adalah langkah awal setelah seseorang memiliki motivasi
untuk berprestasi, karena tentu saja prestasi yang baik melalui sebuah proses belajar yang
baik, dan proses belajar yang baik setelah individu memahami konsep dirinya sehingga
jika proses belajar mandiri dilakukan dapat semakin menyempurnakan pendidikan dan
pembelajaran di dalam hidupnya.
PENUTUP

Jadi seluruh proses yang ada, jika individu dapat lebih memahami tentang konsep
dirinya seperti apa dan bagaimananya. Tentu saja akan dapat lebih menyelaraskan antara
proses belajarnya dan proses berkembang dirinya. Kemudian hal ini yang menjadi dasar
dalam memotivasi individu dalam berprestasi.Teori motivasi yang beranggapan bahwa
aktualisasi diri merupakan tingakatan dimana individu dapat mengaplikasikan apa yang
dia ketauhui sesuai kemampuanny dan memiliki arah pandang yang jelas sehingga itu
semua dapat memprejelas bahwa konspe diri merupakan bagian vital dalam memotivasi
diri sendiri. Dan tentu saja motivasi belajar adalah langkah awal setelah seseorang
memiliki motivasi untuk berprestasi, karena tentu saja prestasi yang baik melalui sebuah
proses belajar yang baik, dan proses belajar yang baik setelah individu memahami konsep
dirinya sehingga jika proses belajar mandiri dilakukan dapat semakin menyempurnakan
pendidikan dan pembelajaran di dalam hidupnya. Sehingga konsep diri dan motivasi
belajar dan berprestasi dalam belajar mandiri memiliki kaitan yang saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain dan dapat dijakdikan tolak ukur individu dalam menentukan
target dan capaian yang jelas sesuai dengan keadaan diri dalam kemampuan dan
kemauannya.

Daftar Pustaka
A.M. Sardiman. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali
Pers
Agustiani, H. 2006. Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengan
kosepe diri.Bandung:PT. Refika Aditama
B. Uno, Hamzah.2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara.
Burns,R.B. 1993.Konsep Diri:Teori, pengukuran, perkembangan dan perilaku.
Jakarta : Arcan
Firdaus, Nur Auliya dkk.2013.Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar.Jurnal
Keperawatan AKPER 17 Karanganyar.Vol.1 No.1 Hal. 57
Mujiman, Haris. 2011. Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset
http://www.kajianpustaka.com/2013/09/pengertian-dan-komponen-konsep-diri.html
(Diakses tanggal 5 juni 2016,pukul 09.00)

Anda mungkin juga menyukai