Nila Permatasari-2106784775-Makalah Kecil 1
Nila Permatasari-2106784775-Makalah Kecil 1
NILA PERMATASARI
NPM: 2106784775
Nomor Absen: 72
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1945 (UUD 1945) menjadi variabel bebas, yang menggerakkan konstruksi politik
sangat kondusif bagi bangkitnya demokratisasi politik tidak saja menyangkut relasi
antara pihak DPR terhadap eksekutif, tetapi juga hingga di tingkat internal
mana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggungjawab yang saling
tindih. Namun di sinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga
negara lebih dominan tanpa control dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi
pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana melalui sistem
diharapkan terjadi mekanisme control secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara
aspirasinya.1
total jamak, seperti halnya mahasiswa dan masyarakat sipil dalam berhadapan
dengan dominasi kalangan pro status quo dan pihak pendukung perubahan gradual.
perwakilan.2 Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap
saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang memuaskan bagi berbagai
(UU) terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya lebih didasarkan pada
kepentingan kelompok dan kompromi politik. Bahkan, secara vulgar ada pihak yang
1
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas Kekuasaan antara
Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta, 2012, hal. 247-248.
2
Indriawati Dyah Saptaningrum et.al., Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik Transaksional: Penilaian
terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR Periode 2004-2009, Penerbit Elsam
Jakarta, 2011, hal. 5.
Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan
menyangkut MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari
luas.
Indonesia, merupakan tanggung jawab politik hukum yang berada pada 2 (dua)
lembaga negara yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hal
membentuk undang-undang.4
politik hukum Presiden dan DPR, maka penulis melihat tanggung jawab politik
maupun DPR untuk melihat dan membangun kebutuhan masyarakat dan nagara,
3
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Batang tubuh.
4
Ibid.
sehingga dalam masa kepemimpinan periode Presiden maupun DPR, bentuk
implementasi politik hukum sebagai bentuk dari tanggung jawab bernegara terus
nantinya ada yang dirasakan, dinilai tidak sesuai atau melanggar kepentingan
Salah satu contoh dari hal diatas bisa kita lihat pada periode kepemimpinan
Presiden sekarang Ir. H. Joko Widodo yang telah memimpin di periode ke -2 (dua)
pertama maupun kedua, telah kita lihat bersama dalam pelaksanaan tanggung jawab
yakni; RUU KUHPidana menjadi UU, Revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law
yang cukup menyita perhatian seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bahwa dengan
melihat inisiatif RUU yang diajukan seperti RUU Omnibus Law oleh Presiden Joko
Widodo dan telah diterima oleh DPR, begitu juga inisiatif RUU KUHPidana
menjadi UU dan Inisiatif Revisi UU KPK oleh DPR adalah merupakan suatu
kolektivitas implementasi tanggung jawab politik hukum antara Presiden dan DPR.
cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR yang terjebak pada seremoni
kekuatan politik partai tidak lain merupakan terjemahan dari proses konsolidasi
bergerak secara sangat dinamis sesuai aturan main dalam koridor konstitusi yang
digariskan.
undang diatas tidak bisa saja dilihat secara prinsip normatif semata baik secara
substansi maupun formil dan juga secara politis (walaupun hemat penulis aspek
normatif dan formil serta prinsip dasar dalam pembahasan pembentukan UU tetap
tidak bisa diabaikan), akan tetapi lebih juga harus dilihat kepada latar belakang
kebijakan yang menjadi dasar kebutuhan secara kenegaraan dengan tujuan untuk
kepentingan masyarakat dan negara, yang mana aspek arah kepentingan politik
untuk dilihat.
dibentuk melalui Politik Hukum yang dikendaki para penguasa pada masa tersebut.
Sehingga mekanisme penciptaan hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah
Hukum dapat dijabarkan sebagai kemauan atau kehendak negara terhadap hukum.
Artinya, untuk apa hukum itudiciptakan, apa tujuan penciptaannya dan kemana arah
yang hendak dituju. Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum
mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang
akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan demikian melalui
politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembangunan hukum
dan kepastian hukum tidaklah dengan mudah dapat dipenuhi apabila di dalam setiap
tujuan negara. Sebagai sarana tercapainya tujuan negara, maka tujuan hukum harus
tercapai terlebih dahulu sehingga tujuan negara akan terwujud dengan baik. Oleh
karena itu dalam tulisan ini, penulis akan membahas secara lebih mendalam peranan
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, yang menjadi urgensi dari
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip politik hukum nasional yang harus di bangun
oleh Presiden dan DPR berdasarkan UUD 1945 berdasarkan prinsip demokrasi
konstitusional?
D. Manfaat Penulisan
E. Kegunaan Penulisan
PEMBAHASAN
in Twenty-one Countries
Istilah politik hukum diterjemahkan dari istilah ‘rechtpolitiek’ yang mulai populer
setelah kebangkitan kaum liberal dalam upayanya mereformasi tatanan hukum liberal pada
awal abad 20. Penggunaan istilah ‘rechtpolitiek’ juga digunakan oleh Moh. Natsir dalam
mengkritik kebijakan ekonomi kabinet Wilopo tahun 1953. Ia menyatakan bahwa tindakan
Pemerintah dan partai yang mendukungnya bukanlah menjalankan suatu rechtpolitiek yang
berdasarkan hukum dan asas-asas demokrasi, melainkan suatu machtpolitiek yang tidak
menghiraukan asas-asas susila dan moral dan hanya berdasarkan oportunisme semata
(Natsir, tanpa tahun). Dengan demikian yang dimaksud oleh Natsir dengan rechtpolitiek
adalah suatu tindakan politik Pemerintah melalui hukum yang di dasarkan pada prinsip
negara hukum dan asas demokrasi. Masa rezim Orde Baru, istilah politik hukum sering
digunakan oleh beberapa sarjana hukum seperti Satjipto Rahardjo, Mochtar
Kusumaatmadja dan Todung M. Lubis untuk menyebut tujuan tertentu dari suatu produk
hukum.5
Pada umumnya, dalam diskrusus politik hukum, para analis memulai kajiannya
Pandangan bahwa hukum sebagai produk politik, adalah pandangan yang paling banyak di
anut oleh para analis politik hukum. Pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari aspek
empirisme karena pada kenyataannya aspek kepentingan politik akan senantiasa mewarnai
proses pembentukan hukum. Oleh karenanya kepentingan politik akan selalu mewarnai
norma hukum yang telah dibentuk. Bahkan suatu peristiwa tertentu yang cukup memberi
pengaruh signifikan bagi kehidupan masyarakat dapat menjadi postulat politik hukum dari
suatu produk hukum. Sebagai contoh, peristiwa malaise 1930-an di Amerika Serikat telah
Pendekatan konfigurasi politik dan produk hukum tersebut di ambil dari pemikiran
Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam karya mereka Law and Society in Transtition:
Toward Responsif Law (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2007). Melalui pendekatan
ilmu sosial terhadap hukum, hukum di pahami sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan
kontekstual tergantung latar belakang sosial politik tempat hukum tersebut berlaku.6
5
Anggoro Alkohir Syahriza. “Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan”, Jurnal Cakrawala Hukum,
JCM, http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/2871. hal. 84, 22 Maret 2022
6
Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum. Jakarta. Pena Grafika. 2010. Hlm.11
Oleh karenanya, menurut Mahfud MD kajian politik hukum harus memiliki
penekanan khusus pada penafsiran historis pada latar belakang terbentuknya hukum
tersebut. Mahfud MD menambahkan: sebagai legal policy arti politik hukum adalah arah
atau keinginan yang dimaksud oleh pembuat UUD/UU ketika isi UUD/ UU itu dibuat
kalimat-kalimat hukum.
suatu produk hukum. Untuk menelaah original intent suatu produk hukum, setidaknya
analis politik hukum memerlukan empat dasar pijakan, yaitu pijakan ideologis, pijakan
normatif, pijakan konstitusional dan pijakan moral. Dalam rezim hukum Indonesia yang
Undangan), konstitusi menempati posisi teratas dan oleh karenanya analisis politik harus
Indonesia Tahun 1945 menjadi pedoman paling utama dan tertinggi politik hukum nasional
konstitusi.7
Countries (New Haven: Yale University Press, 1984), 1-45 and 187-222. yang
dikumpulkan dalam materi Politik Hukum 1; oleh Prof. Dr. Satya Arinanto. S.H, M.H, Staf
7
Ibid., hlm.45
pengajar dan Wakil Deakn V (Bidang Pendayagunaan Sistem Informasi Hukum Fakultas
Penulis melihat bahwa ada beberapa hal pokok yang dilihat oleh Arend Lijphart
dalam karyanya diatas yakni; yang pertama dilihat dari pandangan Arend Lijphart
bagaimana ia mendudukan demokrasi dalam tataran yang ideal dan realita demokrasi
(democtratic ideals and realities) selanjutnya ia membagi tipe demokrasi secara empiris
mayoritas dan konsensus, yang mana dalam pembagian ini Arend Lijphart coba
menguraikan bahwa ada kejadian yang membedakan pada pola mayoritas dan dan pola
konsensus ini yakni pada karateristik sruktur dan kultur dari negara-negara yang secara
Kemudian Arent membuat tesis bahwa dalam tipe /karakteristik demokrasi yang ia
bagi diatas, baik demokrasi mayoritas maupun model konsensus dari terjemahan penulis
berdasarakan sumber yang dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto dalam bukunya “
Politik Hukum 1”, Part One, hal. 25-105. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia,
8
apakah karakteristik itu dapat mempengaruhi pelaksanaan performa atau pencapaian
demokrasi itu sendiri, sehingga Arend dalam analisanya menyarankan bahwa demokrasi
mayoritas sangat sesuai dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat dalam artian yang
luas, sementara demokrasi consensus lebih sesuai bagi masyarakat yang plural. Selanjutnya
8
Lijphart Arend. 2001. Democracies Patterns of Majoritarian and Consensus Gonemment in Twenty-one
Countries, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 25-105. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
yang terakhir adalah bahwa dalam pandangan Arend, karyanya tersebut menyimpulkan
Menurut Arend dalam terjemahan dari penulis sendiri berdasarkan sumber yang
dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto dalam bukunya “Politik Hukum 1”, Part One,
hal. 25-105. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia 9secara harafiah demokrasi yaitu
pemerintahan oleh rakyat. Ini adalah pengertian demokrasi secara luas dan mendasar.
Bahwa ketika berbicara tentang demokrasi secara nasional dalam dalam konteks bangsa
yang modern adalah ketika tindakan-tindakan Pemerintah biasanya dijalankan tidak secara
langsung dengan warganya, tetapi melalui perwakilan siapa yang mereka pilih berdasarkan
basis yang sama dan secara bebas. Demokrasi mungkin didefenisikan tidak hanya ketika
pemerintah dengan rakyat tetapi juga dalam sebagaimana dalam rumusan terkenal Abraham
Lincoln, yakni Pemerintah untuk rakyat, yaitu pemerintah yang sesuai dengan pilihan
rakyat. Pemerintah yang demokratis yang ideal akan menjadi pemerintah yang tindakan-
tindakannya selalu sesuai dengan pilihan semua warga negaranya. Dalam Rezim demokrasi
sudah sesuai dengan harapan-harapan warganya dalam jangka waktu yang lama.
Bahwa Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan
untuk rakyat. Maknanya yaitu pemerintahan yang cocok dengan keinginan rakyat.
Demokrasi yang sempurna yang dimiliki suatu pemerintahan adalah apabila segala macam
9
Ibid.
keseluruhan, meskipun respon yang secara penuh yang dilakukan oleh pemerintah itu dirasa
tidak ada, atau sangat sulit untuk dicapai. Di samping demokrasi sempurna (ideal) tadi, oleh
Robert Dahl dipisahkan dengan apa yang disebutnya dengan “POLYARCHEIS” yaitu
demokrasi yang mendekati nilai ideal. Kedua pengertian demokrasi ini akan digunakan
untuk membedakan dua tipe dasar dari demokrasi ini akan digunakan untuk membedakan
Kedua Demokrasi ini saling bertolak belakang dan mempunyai perbedaan dalam
dimensi.10
10
Arend Riphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One
Countries, pada Satya Arinanto, Politik Hukum I, hal. 28.
Inti dari demokrasi Westminster adalah pemerintahan yang dipimpin oleh
keuasaan mayoritas. Model ini sebagai solusi atas dilema kebingungan dalam
menentukan arti kata “Rakyat” dalam definisi Demokrasi. Model ini mengandung
9 elemen yang saling berhubungan (lihat tabel). Contoh yang cukup baik untuk
model demokrasi Westminster ini yaitu negara Inggris dan Selandia Baru.
Namun dalam konteks gagasan Arend Lijphart dihubungkan dengan politik hukum,
maka demokrasi merupakan sistem yang secara filosofis dapat mengukur atau menakar
bagaimana suatu politik hukum dalam negara demokrasi dijalankan. Demokrasi terlepas
dari pemisahan karakteristiknya menurut Arend, tetap membutuhkan suatu politik hukum
untuk menjaga dan menghidupi keberlangsungan sistem Demokrasi itu sendiri. Itu menjadi
pasti karena penekanan Arend pada karaktersitk demokrasi, diuji oleh Arend bahwa apakah
demokrasi itu sendiri, sehingga menjadi penting politik hukum menjadi tali penyambung
2. Arah Politik Hukum Nasional Dalam Tanggung Jawab Politik Hukum Presiden &
Democratization In Indonesia, & Philippe Nonet and Philip Selznick: Law and Society
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kedua lembaga ini
pemerintahan dan hukum tentunya untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara.
Hal demikian sebagai bentuk tanggung jawab politik hukum presiden dan DPR yang
sangat tidak terlepas dengan ada yang namanya politik perundang-undangan. Akan tetapi
selanjutnya perlu diketahui politik hukum sebagai induk dari politik perudang-undangan
dalam arah kebijakannya secara nasional (politik hukum nasional), dalam pelaksanaan
tanggung jawab politik hukum tersebut baik oleh Presiden maupun DPR. Hal mana juga
akan dihubungkan dan dianalitis dari sudut pandang / gagasan beberapa ahli dalam karya
mereka yang berhubungan erat dengan demokrasi konstitusi di Indonesia dalam penerapan
arah politik hukum nasional dalam tanggung jawab politik oleh Presiden dan DPR tersebut.
Democratization In Indonesia, & Philippe Nonet and Philip Selznick: Law and Society In
Transition Toward Responsive Law, yang juga dari sumber buku Politik Hukum 1, oleh
Secara garis besar arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan
pada saat ini dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik
hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap
warga negara yaitu: Pertama Supremasi hukum, Kedua Kesetaraan di hadapan hukum,
Ketiga Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga
prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya
negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban
diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang
Berangkat dari ketiga hal diatas, bahwa walaupun dilatar belakangi dengan
keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum, maka menurut penulis
perlu dilihat lebih dulu kepada hal yang lebih mendasar dan substantif, yaitu bagaimana
menciptakan demokrasi politik. Dengan melihat demokrasi politik sebagai bagian yang
fundamental dalam sistem politik hukum. Untuk itu dapat dilihat banyaknya defenisi
demokrasi politik telah berkembang secara universal, dan mari kita melihat suatu defenisi
introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form Suggests:
“..that government shall rest on the consent of the governed: that os to say, the consent or
dissent of the people shall have real outlets for expressions at elections, on the platform, in
the Press, and so forth” Sehingga dari pengertiannya Professor C. F. Strong, maka oleh
Professor Satya Arinanto dilakukan suatu klasifiksi atas defenisi tersebut menjadi 3 (tiga)
element yakni : (1) Kebebasan berekspresi menyatakan pendapat dalam pemilu (Freedom
11
Satya Arinanto. 2001. Constitutional Law and Democratization In Indonesia, dikumpulkan oleh Satya
Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahkan pada upaya mengatasi
berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Hal mana untuk permasalahan yang ada dalam kaitan dengan ke-3(tiga) hal yang dimaksud
dibawah ini, harus terefleksi dengan ke -3(tiga) element yang diklasifikasikan oleh
Professor Satya Arinanto diatas, sehingga dinamika perjalan ketatanageraan yang dibangun
dari salah satu sendi yakni arah politik hukum yang akan dijalankan oleh Presiden maupun
DPR menjadi selaras antara kepentingan masyarakat dan negara. Adapun ke – 3 (tiga) hal
dimaksud adalah;
kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-
lokal.
- Struktur Hukum, yakni Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada
diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan
memihak pada kebenaran. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini,
kepastian hukum.
Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu
silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan
berbagai putusan.
jawabkan.
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau
lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara
Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para
Dari pembenahan Struktur hukum, dapat diidentifikasi (3 hal di atas) sasaran yang
akan dibangun dalam pembenahan struktur hukum tersebut, akan tetapi belum
menggambarkan secara empiris dan/atau realitas kesimpulan yang dapat menjawab dan
mendukung identifikasi ke-3 (tiga) hal tersebut. Secara empiris persoalan sruktur hukum
turut di pengaruhi oleh dua faktor: (1) Faktor Otoritas Hukum, (2) Faktor Independensi
Peradilan. Pertanyaan tentang otoritas hukum sebagian merupakan masalah filosifis; bahwa
independensi peradilan yang konstitusional. Arti keadilan adalah konsep yang sulit untuk
didefenisikan. Tetapi itu tidak berarrti bahwa kita dapat mentolerir kurangnya otoritas
dan membutuhkan perjuangan untuk menegakan aspirasi keadilan yang dimiliki oleh rakyat
- Budaya Hukum, Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah
meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai
peraturan perundang-undangan.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan
sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil,
konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh
peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan
dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan
penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali
Bertolak dari pada itu maka kebutuhan untuk melihat hukum yang responsif sangat
relevant dengan pembenahan sistem dan politik hukum dalam membangun arah politik
hukum nasional sebagai implementasi tanggung jawab politik hukum presiden berserta
DPR dengan terealisasinya produk UU yang tentunya responsif itu. Lalu untuk
mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun konsepsi pembangunan politik hukum, antara
- Pembentukan hukum;
Constitutional Law, & John Elster and Rune Slagstad, eds, Constitutionalism and
Democracy
undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat
dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga
undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan
kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan
dalam penyusunannya.
Hal diatas menjadi menarik Ketika kita melihat gagasan Barendt Eric. 2001. An
Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, yang
konstitusi telah menjadi temah sentral sejarah abad ke-19 (kesembilan belas) ketika
12
Barendt Eric. 2001. An Introduction to Constitutional Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi
sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup
yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari
Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan
suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang
hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang
responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan: Hukum yang
responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum
yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-
kedaulatan parlementer dalam sistem negara demokrasi tidak sejalan dengan prinsip
Constitutional Law, yang dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto. “Politik Hukum
13
Masru Wahid Abdul “Politik Hukum dan Perundang-undangan”, Makalah, Jakarta, 2004. hlm.14
1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia, yakni; 14Itulah yang
Pemerintahan Inggris pada abad ke-18 (delepan belas). Konstitusionalitas adalah paham
dapat dipergunakan secara rancu dan menindas. Termasuk juga nilai yang mendasari
Begitu juga bagaimana kita melihat prinsip dari ajaran Rechstaat oleh Elster John
and Slagstad Rune, eds,. 2001. Constitutionalism and Democracy, yang dikumpulkan
oleh Professor Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta.
Rechstaat yang memproteksi kebebasan warga negara atas kekuasaan negara, dalam hal
ini, Schmidt yang merumuskan dua prinsip utama dari konstitusi liberal: prinsip
individu ada dalam ketidakterbatasan prinsip. Individu memiliki hak dasar tertentu
akan sifat pra-politik dan meta politik. Meliputi hak tentang masing-masing individu
interaksi dengan yang lain). Darisudut pandang Rechtstaat, semua yang mengatur
14
Barendt Eric. 2001. An Introduction to Constitutional Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
15
Elster John and Slagstad Rune, eds, 2001. Constitutionalism and Democracy, dikumpulkan oleh Satya
Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
tentang negara menentukan siapa yang berhak, "Intervensi negara mewakili
penyimpangan yang harus diputuskan. Ini bertentangan dengan tema klasik dari filsafat
kebebasan. Prinsip utama yang kedua adalah Kewarganegaraan - yang ada di dalam
prinsip yang terbatas harus dibagi tetapi tidak yudikatif, Eksekutif, dan lagislatif.
"alam nama hukum", "aturan hukum yang bukan orang, otorita atau administrator.
Jelas: hukum tidak berkuasa dan hanya berfungsi sebagai norma. Dalam
untuk diangap sebagai hukum. Karakteristik -karakteristik ini membedakan hukum dari
perintah. Jika legislator tidak terikat dengan hukum-hukumnya sendiri maka tidak akan
pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang
dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan
apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau
di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun
1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak
demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena
selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat
lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara.
mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat
- Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir
menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang
harus dihukum.
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Professor Satya Arinanto
mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-
Untuk itu dalam skema politik perundang-undangan, perihal prosesnya secara teknis
konstitusional juga sangat mempengaruhi politik hukum itu sendiri. Hal mana bisa terlihat
sejak pasca Amandemen UUD 1945 tidak hanya lembaga-lembaga negara kemudian
menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan
yang fundamental. Dari yang dimana semula presidensial, bergeser ke DPR maka dalam hal
ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang
undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika
undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden
undang; (5) dalam hal rancangan undang- undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang
itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan. Perubahan Pasal 20 UUD 1945 ini jelas menghilangkan dominasi presiden
Fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan
undang. Superioritas atau monopoli fungsi legislasi DPR seperti itu ternyata telah menjadi
catatan banyak pakar untuk perlunya koreksi terhadap Pasal 20 hasil amandemen tersebut.
Karena, dalam lembaga perwakilan rakyat yang menganut sistem bikameral, dua lembaga
yang ada memiliki harmoni kewenangan dalam fungsi legislasi. Di beberapa negara, jika
kewenangan seperti itu tidak ada, maka House of Lords diberi hak untuk dapat menunda
Representatives. Hal yang demikian itu tentu dimaksudkan agar fungsi legislasi DPR tidak
mendominasi DPR. Karena menurut para ahli, dengan fungsi legislasi DPR yang ada
sekarang ini sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi undang-undang yang
Yang terpenting dalam kaitan dengan fungsi legislasi DPR ini adalah bagaimana
kebutuhan rasional bangsa dan negara. Sejalan dengan itu berbagai langkah perbaikan
dalam penataan kelembagaan berikut fungsinya, termasuk DPD dapat dicapai secara
optimal. Hal ini dimaksudkan agar perundang- undangan yang telah dibentuk dapat menjadi
bagaimana kita segera dapat menyusun grand design bangunan rumah undang-undang kita,
agar dapat dibayangkan bentuk arsitekturnya sehinga dapat dijadikan acuan dalam
Theory of Law and State, John Locke: The Second Treatise of Govermment.
- Pancasila.
Pancasila landasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini
dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-
16
Masru Wahid Abdul “Politik Hukum dan Perundang-undangan”, Makalah, Jakarta, 2004. hlm.14
undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia
dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil
Pancasila jika dikaitkan dengan teori-teori besar tentang hukum menempati posisi
rakyat)? Kita tentu bisa mencari penjelasannya pada salah satu konseptor utamanya, yaitu
Apakah makna dari Grundnorm itu? Untuk itu kita bisa mencuplik pendapat Kelsen
tatkala ia menyatakan, “… 17the basic norm is the condition under which the subjective
meaning of the constitution-creating act, and the subjective meaning of the acts performed
in accordance with the constitution, are interpreted as their objective meaning, as valid
Dapat kita lihat bahwa (berdasarkan terjemahan penulis dari sumber dari Kelsen
Hans. 2001. General Theory Of Law and State yang dikumpulkan oleh Satya Arinanto.
“Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia), 18di sini
validity” sehingga tidak ada lagi tolok ukur validitas lain yang dapat digunakan untuk
di luar dan lebih tinggi daripada konstitusi. Ia justru harus menjadi tolok ukur untuk menilai
17
Kelsen Hans. 2001. General Theory Of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum
2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
18
Kelsen Hans. 2001. General Theory Of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum
2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
keabsahan konstitusi. Ia juga sudah berlaku tanpa harus menunggu proses positivisasi. Ia
positif.Persoalannya adalah bahwa Kelsen tidak pernah menyebutkan secara gamblang apa
substansi dari Grundnorm itu.
Dalam hal ini terbuka peluang terjadinya kesesatan bernalar yang disebut petitio
dengan meminta kita agar menaati konstitusi tersebut. Pancasila tentu tidak kita kehendaki
menjalankan peran untuk menguji konstitusi dengan argumentasi berputar seperti ini.
Kelsen dengan Teori Jenjang-nya itu berangkat dari filosofi positivisme hukum,
atau lebih tepat lagi legisme. Kaum legistis selalu mendudukkan hukum sebagai produk
(bentukan) penguasa. Setiap produk hukum dari penguasa yang berwenang, yang dibuat
mengikuti format dan prosedur tertentu adalah produk hukum yang harus dijamin
dari Grundnorm untuk menaati konstitusi itu juga harus dipahami sebagai produk yang
UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan formal dan materiil konstitusional dalam
Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan yang
Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi
undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan
undangan.
Terkait point ini bagi penulis bagaimana hal ini bisa ditekankan juga kedalam pola
dimaksud dengan mengemukakan gagasan John Locke pada karyanya: Locke John. 2001.
The Second Treatise Of Govermment yang dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia yang menekankan
instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran.
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat).
peraturan perundang-undangan.
hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan
negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu
menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar
19
Locke John. 2001. The Second Treatise Of Govermment, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”
(baca:Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2)
tersebut maka harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu kementerian,
yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dikandung maksud agar norma-
dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain. Namun didalam politik
harmonisasi hukum ini tidak mutatis mutandis diberlakukan terhadap rancangan undang-
undang hasil inisiatif DPR, dan juga jenis peraturan perundang-undangan yang lain: (a)
Peraturan Pemerintah; (b) Peraturan Presiden; (c) Peraturan Daerah. Akibatnya, secara
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Selain itu politik harmonisasi hukum sendiri
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. Harmonisasi sebagai kerangka dari politik hukum dapat saja terlanggar, sepanjang
hal tersebut karena ke khas-an Indonesia, lex specialis dan lebih bermanfaat bagi
bangsa dan negara. Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavynya telah
bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai”
maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi
diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas
Indonesia.
Elster John and Slagstad Rune, eds, 2001. Constitutionalism and Democracy, dikumpulkan
oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
Kelsen Hans. 2001. General Theory of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto.
“Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Locke John. 2001. The Second Treatise of Govermment, dikumpulkan oleh Satya Arinanto.
“Politik Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum. Jakarta. Pena Grafika. 2010.
Nonet Philippe dan Philip Selznick. 2001. Law and Society in Transtition: Toward
Responsif Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two,
oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70, Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas
Kekuasaan antara Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta, 2012, hal. 247-248.
Indriawati Dyah Saptaningrum et.al., Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik
INTERNET
Qurbani Dwi Indah. “Politik Hukum Pengelolaan Minyak Dan gas Bumi Di Indoenesia.”
view/2871.
view/2871.
PERUNDANG-UNDANGAN