Anda di halaman 1dari 38

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

(DPR) REPUBLIK INDONESIA DALAM POLITIK HUKUM

NILA PERMATASARI

NPM: 2106784775

Nomor Absen: 72

HUKUM EKONOMI – SORE

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD 1945) menjadi variabel bebas, yang menggerakkan konstruksi politik

sangat kondusif bagi bangkitnya demokratisasi politik tidak saja menyangkut relasi

antara badan legislatif terhadap kelembagaan suprastruktur politik lainnya, terutama

antara pihak DPR terhadap eksekutif, tetapi juga hingga di tingkat internal

kelembagaan perwakilan itu sendiri, yaitu baik pada masing-masing alat

kelengkapan dan fraksi, serta masingmasing supporting system-nya.

Perjalanan lahirnya perangkat pengaturan kelembagaan politik dalam

konteks demokratisasi, diarahkan dalam rangka usaha menciptakan check and

balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam hubungan

antarkelembagaan negara. Misalnya, untuk aspek legislasi, check and balances

mempunyai lima fungsi. Pertama, sebagai fungsi penyelenggara pemerintahan, di

mana eksekutif dan legislatif mempunyai tugas dan tanggungjawab yang saling

terkait dan saling memerlukan konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang

tindih. Namun di sinilah fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga

negara lebih dominan tanpa control dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi
pembagi kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana melalui sistem

pemerintahan yang dianut, seperti halnya sistem presidensial di Indonesia,

diharapkan terjadi mekanisme control secara internal. Ketiga, fungsi hirarkis antara

pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi akuntabilitas perwakilan

dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi kehadiran pemilih untuk menyuarakan

aspirasinya.1

Tetapi pada kenyataannya, dengan ketidakmampuan kelompok reformasi

total jamak, seperti halnya mahasiswa dan masyarakat sipil dalam berhadapan

dengan kelompok regim maka proses politik mengalami kompromi berhadapan

dengan dominasi kalangan pro status quo dan pihak pendukung perubahan gradual.

Pada gilirannya kondisi ini, memunculkan tuduhan tentang perlindungan

kepentingan status quo dan bahkan anggapan rekayasa demokrasi prosedural

perwakilan.2 Meskipun telah menjalankan fungsi legislasi secara optimal, DPR tetap

saja tidak sepi dari kesan atau penilaian yang kurang memuaskan bagi berbagai

kalangan. Sejumlah produk legislasi DPR dianggap kurang sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Produk legislasi berupa undang-undang

(UU) terkesan tidak serius dirancang dan dibahas, sebaliknya lebih didasarkan pada

kepentingan kelompok dan kompromi politik. Bahkan, secara vulgar ada pihak yang

menilai dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) terjadi transaksi dan jual beli pasal.

1
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas Kekuasaan antara
Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta, 2012, hal. 247-248.
2
Indriawati Dyah Saptaningrum et.al., Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik Transaksional: Penilaian
terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR Periode 2004-2009, Penerbit Elsam
Jakarta, 2011, hal. 5.
Ruang lingkup pembaruan politik yang sangat terbatas bagi dukungan

substansial pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan perwakilan politik, baik

menyangkut MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dianggap membuktikan titik lemah dari

politik kompromi antarkepentingan dan tuntutan antarkalangan tersebut.

Bahwa politik hukum menjadi barometer dalam menentukan arah

pengelolaan negara di bidang hukum untuk keberlangsungan kebutuhan bernegara

dan bermasyarakat. Dengan politik hukum Pemerintah dan DPR dapat

melaksanakan pembangunan hukum untuk pembangunan bangsa dan negara secara

luas.

Melihat pada mekanise konstitusi pembuatan undang-undang (legislasi) di

Indonesia, merupakan tanggung jawab politik hukum yang berada pada 2 (dua)

lembaga negara yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hal

tersebut dilihat dalam ketentuan UUD 1945:

Pasal 5 (ayat 1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada

Dewan Perwakilan Rakyat.3

Pasal 20 (ayat 1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk

membentuk undang-undang.4

Mengenai kewenangan tersebut sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab

politik hukum Presiden dan DPR, maka penulis melihat tanggung jawab politik

hukum dimaksud menjadi salah satu arah kepemimpinan Presiden terkhususnya,

maupun DPR untuk melihat dan membangun kebutuhan masyarakat dan nagara,

3
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Batang tubuh.
4
Ibid.
sehingga dalam masa kepemimpinan periode Presiden maupun DPR, bentuk

implementasi politik hukum sebagai bentuk dari tanggung jawab bernegara terus

berjalan dengan adanya produk-produk hukum (undang-undang) yang di buat

maupun dirubah. Bahwa kemudian apakah suatu produk hukum (undang-undang)

nantinya ada yang dirasakan, dinilai tidak sesuai atau melanggar kepentingan

masyarakat disatu sisi maupun berdasarkan prinsip demokrasi konstitusi tidak

sejalan, namun undang-undang tersebut menjadi bagian dari kepentingan bernegara.

Salah satu contoh dari hal diatas bisa kita lihat pada periode kepemimpinan

Presiden sekarang Ir. H. Joko Widodo yang telah memimpin di periode ke -2 (dua)

dan bersama perioderisasi DPR RI pada periode kemarin dan sekarang.

Kepemimpinan Pemerintahan Presiden Joko Widodo bersama DPR di periode

pertama maupun kedua, telah kita lihat bersama dalam pelaksanaan tanggung jawab

politik hukum terkait keputusan mengajukan beberepa rancangan undang-undang

yakni; RUU KUHPidana menjadi UU, Revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law

yang cukup menyita perhatian seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bahwa dengan

melihat inisiatif RUU yang diajukan seperti RUU Omnibus Law oleh Presiden Joko

Widodo dan telah diterima oleh DPR, begitu juga inisiatif RUU KUHPidana

menjadi UU dan Inisiatif Revisi UU KPK oleh DPR adalah merupakan suatu

kolektivitas implementasi tanggung jawab politik hukum antara Presiden dan DPR.

Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan

perwakilan politik, di tengah kuatnya desakan tuntutan politik demokratisasi, juga

cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR yang terjebak pada seremoni

prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala politik demikian, membutuhkan


transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokkan

keanggotannya, agar dapat secara maksimal mendorong peran kelembagaannya

yang kondusif bagi produktivitas perannya dalam agenda nasional. Transformasi

posisional alat kelengkapan dan reposisi fraksi sebagai kepanjangan tangan

kekuatan politik partai tidak lain merupakan terjemahan dari proses konsolidasi

demokrasi yang tidak sekedar peningkatan kapasitas artikulasi aspirasi dalam

produk-produk yang dihasilkan, tetapi juga tetap mempunyai kreatifitas untuk

bergerak secara sangat dinamis sesuai aturan main dalam koridor konstitusi yang

digariskan.

Politik hukum tentunya dalam hal proses beberapa rancangan undang-

undang diatas tidak bisa saja dilihat secara prinsip normatif semata baik secara

substansi maupun formil dan juga secara politis (walaupun hemat penulis aspek

normatif dan formil serta prinsip dasar dalam pembahasan pembentukan UU tetap

tidak bisa diabaikan), akan tetapi lebih juga harus dilihat kepada latar belakang

kebijakan yang menjadi dasar kebutuhan secara kenegaraan dengan tujuan untuk

kepentingan masyarakat dan negara, yang mana aspek arah kepentingan politik

hukum nasional dan politik perundang-undangan harus jadi perhatian bersama

untuk dilihat.

Suatu mekanisme penciptaan peraturan perundang-undangan salah satunya

dibentuk melalui Politik Hukum yang dikendaki para penguasa pada masa tersebut.

Sehingga mekanisme penciptaan hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah

berdasarkan kehendak dan kewenangan pemegang tampuk kekuasaan. Politik

Hukum dapat dijabarkan sebagai kemauan atau kehendak negara terhadap hukum.
Artinya, untuk apa hukum itudiciptakan, apa tujuan penciptaannya dan kemana arah

yang hendak dituju. Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum

mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang

akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan demikian melalui

politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembangunan hukum

nasional di Indonesia. Pencapaian pembangunan hukum akan mendorong

pencapaian tujuan hukum yang selanjutnya mengarah pada terciptanya tujuan

negara. Tujuan hukum untuk menciptakan suatu keadilan, kemanfaatan, ketertiban

dan kepastian hukum tidaklah dengan mudah dapat dipenuhi apabila di dalam setiap

hukum yang ada terkandung tujuan negara.

Pencapaian tujuan hukum akan mengarah atau menuju pada pencapaian

tujuan negara. Sebagai sarana tercapainya tujuan negara, maka tujuan hukum harus

tercapai terlebih dahulu sehingga tujuan negara akan terwujud dengan baik. Oleh

karena itu dalam tulisan ini, penulis akan membahas secara lebih mendalam peranan

politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia

dalam mewujudkan tujuan negara.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, yang menjadi urgensi dari

karyah ilmiah makalah ini adalah:

1. Bagaimana Prinsip Demokrasi Konstitusional Politik Hukum Nasional Oleh

Presiden Dan DPR Berdasarkan UUD 1945?


2. Bagaimana Politik melihat Perundang-undangan Sebagai Bentuk Tanggung Jawab

Politik Hukum Presiden Dan DPR?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip politik hukum nasional yang harus di bangun

oleh Presiden dan DPR berdasarkan UUD 1945 berdasarkan prinsip demokrasi

konstitusional?

2. Untuk mengetahui bagaimana Politik melihat Perundang-undangan Sebagai Bentuk

Tanggung Jawab Politik Hukum Presiden Dan DPR?

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat penulisan ini menambah khasanah pemikiran penulis tentang hukum

dan politik dalam kaitannya dengan politik hukum.

2. Memahami ajaran-ajaran tentang teori hukum, demokrasi maupun konstitusi,

dan masyarakat sipil.

E. Kegunaan Penulisan

1. Sebagai pemenuhan tanggung jawab mahasiswa program magister ilmu hukum

pada mata kuliah Politik Hukum di Universitas Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Politik Hukum Presiden Dan DPR Berdasarkan UUD 1945

Dengan Prinsip Demokrasi Konstitusional.

1. Politik Hukum Dan Sistem Negara Demokrasi; Dihubungkan Gengan gagasan

Arend Lijpart, Democracies Patterns of Majoritarian and Consensus Gonemment

in Twenty-one Countries

Istilah politik hukum diterjemahkan dari istilah ‘rechtpolitiek’ yang mulai populer

setelah kebangkitan kaum liberal dalam upayanya mereformasi tatanan hukum liberal pada

awal abad 20. Penggunaan istilah ‘rechtpolitiek’ juga digunakan oleh Moh. Natsir dalam

mengkritik kebijakan ekonomi kabinet Wilopo tahun 1953. Ia menyatakan bahwa tindakan

Pemerintah dan partai yang mendukungnya bukanlah menjalankan suatu rechtpolitiek yang

berdasarkan hukum dan asas-asas demokrasi, melainkan suatu machtpolitiek yang tidak

menghiraukan asas-asas susila dan moral dan hanya berdasarkan oportunisme semata

(Natsir, tanpa tahun). Dengan demikian yang dimaksud oleh Natsir dengan rechtpolitiek

adalah suatu tindakan politik Pemerintah melalui hukum yang di dasarkan pada prinsip

negara hukum dan asas demokrasi. Masa rezim Orde Baru, istilah politik hukum sering
digunakan oleh beberapa sarjana hukum seperti Satjipto Rahardjo, Mochtar

Kusumaatmadja dan Todung M. Lubis untuk menyebut tujuan tertentu dari suatu produk

hukum.5

Pada umumnya, dalam diskrusus politik hukum, para analis memulai kajiannya

dengan memberikan kerangka epistemologis mengenai relasi politik dan hukum.

Pandangan bahwa hukum sebagai produk politik, adalah pandangan yang paling banyak di

anut oleh para analis politik hukum. Pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari aspek

empirisme karena pada kenyataannya aspek kepentingan politik akan senantiasa mewarnai

proses pembentukan hukum. Oleh karenanya kepentingan politik akan selalu mewarnai

norma hukum yang telah dibentuk. Bahkan suatu peristiwa tertentu yang cukup memberi

pengaruh signifikan bagi kehidupan masyarakat dapat menjadi postulat politik hukum dari

suatu produk hukum. Sebagai contoh, peristiwa malaise 1930-an di Amerika Serikat telah

mendorong Kanada untuk melakukan amandemen konstitusi agar negara memiliki

legitimasi konstitusional untuk mengintervensi perekonomian yang tengah krisis.

Pendekatan konfigurasi politik dan produk hukum tersebut di ambil dari pemikiran

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam karya mereka Law and Society in Transtition:

Toward Responsif Law (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2007). Melalui pendekatan

ilmu sosial terhadap hukum, hukum di pahami sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan

kontekstual tergantung latar belakang sosial politik tempat hukum tersebut berlaku.6

5
Anggoro Alkohir Syahriza. “Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan”, Jurnal Cakrawala Hukum,
JCM, http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/2871. hal. 84, 22 Maret 2022
6
Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum. Jakarta. Pena Grafika. 2010. Hlm.11
Oleh karenanya, menurut Mahfud MD kajian politik hukum harus memiliki

penekanan khusus pada penafsiran historis pada latar belakang terbentuknya hukum

tersebut. Mahfud MD menambahkan: sebagai legal policy arti politik hukum adalah arah

atau keinginan yang dimaksud oleh pembuat UUD/UU ketika isi UUD/ UU itu dibuat

melalui perdebatan di lembaga yang membuatnya untuk kemudian dirumuskan dalam

kalimat-kalimat hukum.

Dengan cara tersebut politik hukum hendak mendidentifikasikan original intent

suatu produk hukum. Untuk menelaah original intent suatu produk hukum, setidaknya

analis politik hukum memerlukan empat dasar pijakan, yaitu pijakan ideologis, pijakan

normatif, pijakan konstitusional dan pijakan moral. Dalam rezim hukum Indonesia yang

hierarkis (baca: UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan), konstitusi menempati posisi teratas dan oleh karenanya analisis politik harus

berangkat dari pasal konstitusi. Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menjadi pedoman paling utama dan tertinggi politik hukum nasional

yang kemudian di breakdown dalam politik hukum perundang-undangan dibawah

konstitusi.7

Sebagai negara demokrasi dalam hubungannya dengan politik hukum dengan

mengkajinya dalam pandangan demokrasi oleh Aren Lijphart dalam karyannya

Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Gonemment in Twenty-one

Countries (New Haven: Yale University Press, 1984), 1-45 and 187-222. yang

dikumpulkan dalam materi Politik Hukum 1; oleh Prof. Dr. Satya Arinanto. S.H, M.H, Staf

7
Ibid., hlm.45
pengajar dan Wakil Deakn V (Bidang Pendayagunaan Sistem Informasi Hukum Fakultas

Hukum Universitas Indonesia Program Pascasarjana Fakultas hukum Universitas

Indonesia-Jakarta. Edisi Pertama).

Penulis melihat bahwa ada beberapa hal pokok yang dilihat oleh Arend Lijphart

dalam karyanya diatas yakni; yang pertama dilihat dari pandangan Arend Lijphart

bagaimana ia mendudukan demokrasi dalam tataran yang ideal dan realita demokrasi

(democtratic ideals and realities) selanjutnya ia membagi tipe demokrasi secara empiris

menjadi dua tipe / kerakteristik demokrasi yaitu demokrasi berdasarkan karaterisktik

mayoritas dan konsensus, yang mana dalam pembagian ini Arend Lijphart coba

menguraikan bahwa ada kejadian yang membedakan pada pola mayoritas dan dan pola

konsensus ini yakni pada karateristik sruktur dan kultur dari negara-negara yang secara

tingkatan masyarakat mereka adalah masyarakat yang plural yang terbagi.

Kemudian Arent membuat tesis bahwa dalam tipe /karakteristik demokrasi yang ia

bagi diatas, baik demokrasi mayoritas maupun model konsensus dari terjemahan penulis

berdasarakan sumber yang dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto dalam bukunya “

Politik Hukum 1”, Part One, hal. 25-105. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia,
8
apakah karakteristik itu dapat mempengaruhi pelaksanaan performa atau pencapaian

demokrasi itu sendiri, sehingga Arend dalam analisanya menyarankan bahwa demokrasi

mayoritas sangat sesuai dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat dalam artian yang

luas, sementara demokrasi consensus lebih sesuai bagi masyarakat yang plural. Selanjutnya

8
Lijphart Arend. 2001. Democracies Patterns of Majoritarian and Consensus Gonemment in Twenty-one
Countries, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 25-105. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
yang terakhir adalah bahwa dalam pandangan Arend, karyanya tersebut menyimpulkan

bahwa terdapat cara yang berbeda untuk berhasil menjalankan demokrasi.

Menurut Arend dalam terjemahan dari penulis sendiri berdasarkan sumber yang

dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto dalam bukunya “Politik Hukum 1”, Part One,

hal. 25-105. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia 9secara harafiah demokrasi yaitu

pemerintahan oleh rakyat. Ini adalah pengertian demokrasi secara luas dan mendasar.

Bahwa ketika berbicara tentang demokrasi secara nasional dalam dalam konteks bangsa

yang modern adalah ketika tindakan-tindakan Pemerintah biasanya dijalankan tidak secara

langsung dengan warganya, tetapi melalui perwakilan siapa yang mereka pilih berdasarkan

basis yang sama dan secara bebas. Demokrasi mungkin didefenisikan tidak hanya ketika

pemerintah dengan rakyat tetapi juga dalam sebagaimana dalam rumusan terkenal Abraham

Lincoln, yakni Pemerintah untuk rakyat, yaitu pemerintah yang sesuai dengan pilihan

rakyat. Pemerintah yang demokratis yang ideal akan menjadi pemerintah yang tindakan-

tindakannya selalu sesuai dengan pilihan semua warga negaranya. Dalam Rezim demokrasi

menurut Arend, demokrasi tidak dikarakteristikan secara sempurna dalam merespons

kepentingan tetapi dalam tingkatannya tindakan-tindakan wakil-wakilnya secara relatif

sudah sesuai dengan harapan-harapan warganya dalam jangka waktu yang lama.

Bahwa Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat dan

untuk rakyat. Maknanya yaitu pemerintahan yang cocok dengan keinginan rakyat.

Demokrasi yang sempurna yang dimiliki suatu pemerintahan adalah apabila segala macam

keputusannya selalu dalam keadaan secara sempurna mewakili rakyatnya secara

9
Ibid.
keseluruhan, meskipun respon yang secara penuh yang dilakukan oleh pemerintah itu dirasa

tidak ada, atau sangat sulit untuk dicapai. Di samping demokrasi sempurna (ideal) tadi, oleh

Robert Dahl dipisahkan dengan apa yang disebutnya dengan “POLYARCHEIS” yaitu

demokrasi yang mendekati nilai ideal. Kedua pengertian demokrasi ini akan digunakan

untuk membedakan dua tipe dasar dari demokrasi ini akan digunakan untuk membedakan

dua tipe dasar dari demokrasi; yaitu:

1. Demokrasi Model Mayoritas (Model Westmister)

2. Demokrasi Model Konsensus.

Kedua Demokrasi ini saling bertolak belakang dan mempunyai perbedaan dalam

dimensi.10

MODEL WESTMINSTER MODEL KONSENSUS


(MODEL MAYORITAS)
1. Mengkonsentrasikan pada 1. Pembagian kekuasaan eksekutif
kekuatan Eksekutif satu partai dan 2. Pemisahan kekuasaan
penguasaan kemayoritasan 3. Pengawasan sistem ganda yang
kabinet seimbang dan represntatif kaum
2. Penggabungan kekuasaan dan minoritas
pendominasian kabinet. 4. Sistem multi partai
3. Pengawasan yang tidak seimbang 5. Sistem partai yang multi dimensi
4. Sistem dua Partai 6. Representasi yang proporsional
5. Sistem Partai Tunggal 7. Federalisme baik teritorial maupun
6. Pemilihan dengan sistem yang non teritorial
Plural 8. Konstitusi tertulis dan hak veto
7. Penyatuan dan pemusatan minoritas
pemerintahan
8. Konstitusi yang tidak tertulis dan
kedaulatan parlemen

10
Arend Riphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One
Countries, pada Satya Arinanto, Politik Hukum I, hal. 28.
Inti dari demokrasi Westminster adalah pemerintahan yang dipimpin oleh

keuasaan mayoritas. Model ini sebagai solusi atas dilema kebingungan dalam

menentukan arti kata “Rakyat” dalam definisi Demokrasi. Model ini mengandung

9 elemen yang saling berhubungan (lihat tabel). Contoh yang cukup baik untuk

model demokrasi Westminster ini yaitu negara Inggris dan Selandia Baru.

Namun dalam konteks gagasan Arend Lijphart dihubungkan dengan politik hukum,

maka demokrasi merupakan sistem yang secara filosofis dapat mengukur atau menakar

bagaimana suatu politik hukum dalam negara demokrasi dijalankan. Demokrasi terlepas

dari pemisahan karakteristiknya menurut Arend, tetap membutuhkan suatu politik hukum

untuk menjaga dan menghidupi keberlangsungan sistem Demokrasi itu sendiri. Itu menjadi

pasti karena penekanan Arend pada karaktersitk demokrasi, diuji oleh Arend bahwa apakah

karekteristik demokrasi yang digolongkan olehnya dapat mempengaruhi pelakasanaan

demokrasi itu sendiri, sehingga menjadi penting politik hukum menjadi tali penyambung

dalam tesis Arend diatas tersebut.

Politik hukum akan menjamin terlaksananya pola demokrasi dengan berbagai

kararteristiknya. Karena justru dengan penggolongan karakteristik demokrasi oleh Arend,

maka poltik hukum menjadi penting.

2. Arah Politik Hukum Nasional Dalam Tanggung Jawab Politik Hukum Presiden &

DPR; Dihubungkan Dengan Gagasan Satya Arinanto: Constitutional Law and

Democratization In Indonesia, & Philippe Nonet and Philip Selznick: Law and Society

In Transition Toward Responsive Law


Dalam UUD 1945 pada pasal 5 dan pasal 20 diberikan kewenangan konstitusional

kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kedua lembaga ini

mengeluarkan dan menetapkan produk hukum, yakni Undang-undang guna menjalankan

pemerintahan dan hukum tentunya untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara.

Hal demikian sebagai bentuk tanggung jawab politik hukum presiden dan DPR yang

sangat tidak terlepas dengan ada yang namanya politik perundang-undangan. Akan tetapi

sebelum berbicara mengenai politik perundang-undangan pada sub bab pembahasan

selanjutnya perlu diketahui politik hukum sebagai induk dari politik perudang-undangan

dalam arah kebijakannya secara nasional (politik hukum nasional), dalam pelaksanaan

tanggung jawab politik hukum tersebut baik oleh Presiden maupun DPR. Hal mana juga

akan dihubungkan dan dianalitis dari sudut pandang / gagasan beberapa ahli dalam karya

mereka yang berhubungan erat dengan demokrasi konstitusi di Indonesia dalam penerapan

arah politik hukum nasional dalam tanggung jawab politik oleh Presiden dan DPR tersebut.

Hal dimaksud diantaranya karya-karya Satya Arinanto: Constitutional Law and

Democratization In Indonesia, & Philippe Nonet and Philip Selznick: Law and Society In

Transition Toward Responsive Law, yang juga dari sumber buku Politik Hukum 1, oleh

Professor. Satya Arinanto.

Secara garis besar arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan

pada saat ini dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik

hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap

warga negara yaitu: Pertama Supremasi hukum, Kedua Kesetaraan di hadapan hukum,

Ketiga Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga
prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya

negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban

diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang

rukun akan dapat terwujud.

Berangkat dari ketiga hal diatas, bahwa walaupun dilatar belakangi dengan

keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum, maka menurut penulis

perlu dilihat lebih dulu kepada hal yang lebih mendasar dan substantif, yaitu bagaimana

menciptakan demokrasi politik. Dengan melihat demokrasi politik sebagai bagian yang

fundamental dalam sistem politik hukum. Untuk itu dapat dilihat banyaknya defenisi

demokrasi politik telah berkembang secara universal, dan mari kita melihat suatu defenisi

dari Professor C. F. Strong dalam bukunya, Modern Political Democration : An

introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form Suggests:

“..that government shall rest on the consent of the governed: that os to say, the consent or

dissent of the people shall have real outlets for expressions at elections, on the platform, in

the Press, and so forth” Sehingga dari pengertiannya Professor C. F. Strong, maka oleh

Professor Satya Arinanto dilakukan suatu klasifiksi atas defenisi tersebut menjadi 3 (tiga)

element yakni : (1) Kebebasan berekspresi menyatakan pendapat dalam pemilu (Freedom

to Express Opinion at the Elections), (2) Kebebasan berekspresi menyatakan pendapat

berdasarkan platform (Freedom to Express opinion on the Platform / academic freedom),

(3) Kebebasan Media (Freedom to Perss).11

11
Satya Arinanto. 2001. Constitutional Law and Democratization In Indonesia, dikumpulkan oleh Satya
Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahkan pada upaya mengatasi

berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi

permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Hal mana untuk permasalahan yang ada dalam kaitan dengan ke-3(tiga) hal yang dimaksud

dibawah ini, harus terefleksi dengan ke -3(tiga) element yang diklasifikasikan oleh

Professor Satya Arinanto diatas, sehingga dinamika perjalan ketatanageraan yang dibangun

dari salah satu sendi yakni arah politik hukum yang akan dijalankan oleh Presiden maupun

DPR menjadi selaras antara kepentingan masyarakat dan negara. Adapun ke – 3 (tiga) hal

dimaksud adalah;

- Substansi Hukum, yakni Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata

kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-

undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas

umum dan hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan

lokal.

- Struktur Hukum, yakni Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada

penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf

peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan;

menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat

diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan

memihak pada kebenaran. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini,

langkah-langkah yang diterapkan adalah:


i. Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan

kepastian hukum.

Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu

silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan

lain terhadap kekuasaan yudikatif telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam

berbagai putusan.

ii. Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat dipertanggung

jawabkan.

Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau

lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara

bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya,

sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan.

iii. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum.

Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para

peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana

dan penegak hukum masih perlu peningkatan.

Dari pembenahan Struktur hukum, dapat diidentifikasi (3 hal di atas) sasaran yang

akan dibangun dalam pembenahan struktur hukum tersebut, akan tetapi belum

menggambarkan secara empiris dan/atau realitas kesimpulan yang dapat menjawab dan

mendukung identifikasi ke-3 (tiga) hal tersebut. Secara empiris persoalan sruktur hukum

turut di pengaruhi oleh dua faktor: (1) Faktor Otoritas Hukum, (2) Faktor Independensi

Peradilan. Pertanyaan tentang otoritas hukum sebagian merupakan masalah filosifis; bahwa
independensi peradilan yang konstitusional. Arti keadilan adalah konsep yang sulit untuk

didefenisikan. Tetapi itu tidak berarrti bahwa kita dapat mentolerir kurangnya otoritas

hukum, atau kurangnya independensi peradilan dalam implementasi konstitusi Indonesia,

dan membutuhkan perjuangan untuk menegakan aspirasi keadilan yang dimiliki oleh rakyat

dan bangsa Indonesia.

- Budaya Hukum, Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah

meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai

peraturan perundang-undangan. 

Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan

sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil,

konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh

peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan

dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan

penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali

kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan.

Bertolak dari pada itu maka kebutuhan untuk melihat hukum yang responsif sangat

relevant dengan pembenahan sistem dan politik hukum dalam membangun arah politik

hukum nasional sebagai implementasi tanggung jawab politik hukum presiden berserta

DPR dengan terealisasinya produk UU yang tentunya responsif itu. Lalu untuk

mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun konsepsi pembangunan politik hukum, antara

lain dengan melakukan:


- Perencanaan hukum;

- Pembentukan hukum;

- Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya;

- Peningkatan kualitas profesi hukum; dan

- Peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

B. Politik Perundang-undangan Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Politik Hukum

Presiden Dan DPR

1. Politik Perundang-undangan Dan Prosesnya Dalam Politik Hukum Presiden dan

DPR; Dihubungkan Dengan Gagasan Eric Barendt: An Introduction to

Constitutional Law, & John Elster and Rune Slagstad, eds, Constitutionalism and

Democracy

Politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara

mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan

bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau

negara?  Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan

adalah hanya negara atau Pemerintah.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat

dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga

pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan

pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses

pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau

Pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-

undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan

kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan

dalam penyusunannya.

Hal diatas menjadi menarik Ketika kita melihat gagasan Barendt Eric. 2001. An

Introduction to Constitutional Law yang dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik

Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, yang

penulis terjemahakan sendiri yaknii, 12


justru ketika kita melihat secara universal

perjalanan kebutuhan akan kekuasaan-kekuasaan pemerintah harus dibatasi dengan

konstitusi telah menjadi temah sentral sejarah abad ke-19 (kesembilan belas) ketika

pemerintahan-pemerintah otoriter di Perancis dan sebagian Kerajaan Austria digantikan

sistem-sitem parlementer yang lebih liberal. Kesetian pada prinsip-prinsip dari

pemerintah konstitusional yang terbatas sering disebut sebagai konstitusionalise.

Konstitusionalisme lebih terkait dengan organisasi struktur politik untuk mencegah

penggunaan kekuasaan otoritatif dengan partai politik, kelompok atau individu.

12
Barendt Eric. 2001. An Introduction to Constitutional Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi

yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing". Berbagai

sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup

yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari

berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan

peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau

politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan

dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya

suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang

hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang

responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan: Hukum yang

responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum

yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-

kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi

harapan masyarakat pada umumnya.13

Sehingga menjadi jelas bahwa apabila kita melihat berkembangnya doktrin

kedaulatan parlementer dalam sistem negara demokrasi tidak sejalan dengan prinsip

konstitusionalisme dan mencangkup pemerintahan konstitusional yang terbatas. Hal

mana dari terjamahan penulis dari Barendt Eric. 2001. An Introduction to

Constitutional Law, yang dikumpulkan oleh Professor Satya Arinanto. “Politik Hukum

13
Masru Wahid Abdul “Politik Hukum dan Perundang-undangan”, Makalah, Jakarta, 2004. hlm.14
1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia, yakni; 14Itulah yang

dimaksudkan Paine ketika ia mengkritisi kurangnya konstitusi yang benar dalam

Pemerintahan Inggris pada abad ke-18 (delepan belas). Konstitusionalitas adalah paham

dalam menekankan batasan kepada pemerintah dengan sarana konstitusi.

Konstitusionalisme mengendepanakan penggunaan konstitusi yang lebih dari sebuah

“peta kekuasaan”: fungsinya adalah mengorganisasi otoritas politik, sehingga tidak

dapat dipergunakan secara rancu dan menindas. Termasuk juga nilai yang mendasari

prinsip pemisahan kekuasaan.

Begitu juga bagaimana kita melihat prinsip dari ajaran Rechstaat oleh Elster John

and Slagstad Rune, eds,. 2001. Constitutionalism and Democracy, yang dikumpulkan

oleh Professor Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta.

Penerbit Universitas Indonesia, yang penulis termahkan sendiri bahwa, 15


ajaran

Rechstaat yang memproteksi kebebasan warga negara atas kekuasaan negara, dalam hal

ini, Schmidt yang merumuskan dua prinsip utama dari konstitusi liberal: prinsip

distributif dan - organisasi.  Dengan "prinsip distributif" artinya melingkupi kebebasan

individu dipertimbangkan sepanjang negara dipertimbangkan; memang kebebasan

individu ada dalam ketidakterbatasan prinsip.  Individu memiliki hak dasar tertentu

akan sifat pra-politik dan meta politik.  Meliputi hak tentang masing-masing individu

(kebebasan beragama, kebasan property/pribadi) dan hak mengenai individu dalam

interaksi dengan yang lain).  Darisudut pandang Rechtstaat, semua yang mengatur

14
Barendt Eric. 2001. An Introduction to Constitutional Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
15
Elster John and Slagstad Rune, eds, 2001. Constitutionalism and Democracy, dikumpulkan oleh Satya
Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
tentang negara menentukan siapa yang berhak, "Intervensi negara mewakili

penyimpangan yang harus diputuskan.  Ini bertentangan dengan tema klasik dari filsafat

liberal tentang kebebasan.  Itulah sebabnya individu-individu bebas masuk ke dalam

kontrak yang membuat persetujuan negara mengenai penggunaan mereka akan

kebebasan.  Prinsip utama yang kedua adalah Kewarganegaraan - yang ada di dalam

prinsip yang terbatas harus dibagi tetapi tidak yudikatif, Eksekutif, dan lagislatif. 

Menurut konstitusionalime liberal, penguasa menentukan "berdasarkan hukum" atau

"alam nama hukum", "aturan hukum yang bukan orang, otorita atau administrator.

Jelas: hukum tidak berkuasa dan hanya berfungsi sebagai norma. Dalam

konstitusionalisme liberal, hukum-hukum harus memenuhi kriteria spesifik.  Dalam hal

ini konstitusionalisme mungkin dikarakterisasikan sebagai doktrin yang

menspesifikasikan karakteristik-karakteristik aturan tertentu mana yang diperlukan

untuk diangap sebagai hukum. Karakteristik -karakteristik ini membedakan hukum dari

perintah. Jika legislator tidak terikat dengan hukum-hukumnya sendiri maka tidak akan

ada yang mencegah penyalahgunaan otoritas legislatif.

Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan

dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai

pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang

dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan

apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau

sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.


Menarik kita melihat kembali sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan

di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun

1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak

demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena

selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat

pada hukum konservatif antara lain:

- Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh

lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara.

Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.

- Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih

mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat

(instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang

kekuasaan yang dominan.

- Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah ditafsir

secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.

- Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka

pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.

- Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang

pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran

menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang

harus dihukum.
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Professor Satya Arinanto

memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:

- Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih

mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-

instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia

lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-

individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi

masyarakat relatif kecil.

- Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-

kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat

responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-

individu dalam masyarakat.

Untuk itu dalam skema politik perundang-undangan, perihal prosesnya secara teknis

konstitusional juga sangat mempengaruhi politik hukum itu sendiri. Hal mana bisa terlihat

sejak pasca Amandemen UUD 1945 tidak hanya lembaga-lembaga negara kemudian

menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan

yang fundamental. Dari yang dimana semula presidensial, bergeser ke DPR maka dalam hal

ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang

kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi Presiden berhak

mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR”. Tidak hanya sampai


disitu, perubahan tersebut diikuti dengan berubahnya pula Pasal 20 UUD 1945, yaitu (1)

DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rencangan undang-

undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika

rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-

undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden

mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-

undang; (5) dalam hal rancangan undang- undang yang telah disetujui bersama tersebut

tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang

itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib

diundangkan. Perubahan Pasal 20 UUD 1945 ini jelas menghilangkan dominasi presiden

dalam proses pembentukan undang undang, dan sekaligus menggesernya ke DPR.

Fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan

sampai pemberian persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi undang-

undang. Superioritas atau monopoli fungsi legislasi DPR seperti itu ternyata telah menjadi

catatan banyak pakar untuk perlunya koreksi terhadap Pasal 20 hasil amandemen tersebut.

Karena, dalam lembaga perwakilan rakyat yang menganut sistem bikameral, dua lembaga

yang ada memiliki harmoni kewenangan dalam fungsi legislasi. Di beberapa negara, jika

kewenangan seperti itu tidak ada, maka House of Lords diberi hak untuk dapat menunda

pengesahan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan dari House of

Representatives. Hal yang demikian itu tentu dimaksudkan agar fungsi legislasi DPR tidak

dijadikan kekuatan politik untuk melanggengkan kepentingan partai-partai politik yang

mendominasi DPR. Karena menurut para ahli, dengan fungsi legislasi DPR yang ada
sekarang ini sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi undang-undang yang

memperkuat supremasi DPR dengan tanpa dialasi kebutuhan rasional.16

Yang terpenting dalam kaitan dengan fungsi legislasi DPR ini adalah bagaimana

program legislasi nasional yang merupakan instrument utama perencanaan

programpembentukan hukum nasional, yang ditetapkan setiap tahun itu merupakan

kebutuhan rasional bangsa dan negara. Sejalan dengan itu berbagai langkah perbaikan

dalam penataan kelembagaan berikut fungsinya, termasuk DPD dapat dicapai secara

optimal. Hal ini dimaksudkan agar perundang- undangan yang telah dibentuk dapat menjadi

“bagian-bagian” dari bangunan yang berpondasi UUD 1945. Persoalannya adalah

bagaimana kita segera dapat menyusun grand design bangunan rumah undang-undang kita,

agar dapat dibayangkan bentuk arsitekturnya sehinga dapat dijadikan acuan dalam

mengkonstruksi politik hukum perundang-undangan nasional.

2. Landasan Politik Perundang-undangan Di Indonesia Dan Harmonisasi Hukum Sebagai

Kerangka Politik Hukum; Dihubungkan Dengan Gagasan Hans Kelsen: General

Theory of Law and State, John Locke: The Second Treatise of Govermment.

Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan, politik perundang-undangan sudah

pasti bertumpu pada suatu landasan (yuridis) konstitusional, antara lain:

- Pancasila.

Pancasila landasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini

dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-

16
Masru Wahid Abdul “Politik Hukum dan Perundang-undangan”, Makalah, Jakarta, 2004. hlm.14
undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia

dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil

perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.

Pancasila jika dikaitkan dengan teori-teori besar tentang hukum menempati posisi

apakah sebagai: (1) sebagai Grundnorm (norma dasar) atau (2) sebagai Volksgeist (jiwa

rakyat)? Kita tentu bisa mencari penjelasannya pada salah satu konseptor utamanya, yaitu

melalui pemikiran Hans Kelsen (1881-1973).

Apakah makna dari Grundnorm itu? Untuk itu kita bisa mencuplik pendapat Kelsen

tatkala ia menyatakan, “… 17the basic norm is the condition under which the subjective

meaning of the constitution-creating act, and the subjective meaning of the acts performed

in accordance with the constitution, are interpreted as their objective meaning, as valid

norms, …” (Pure Theory of Law, 1992). 

Dapat kita lihat bahwa (berdasarkan terjemahan penulis dari sumber dari Kelsen

Hans. 2001. General Theory Of Law and State yang dikumpulkan oleh Satya Arinanto.

“Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia), 18di sini

Kelsen menempatkan Grundnorm (basic norm) sebagai “the final standard of legal

validity” sehingga tidak ada lagi tolok ukur validitas lain yang dapat digunakan untuk

menilai kesahihan Grundnorm itu. Sebagai konsekuensinya, Grundnorm harus diletakkan

di luar dan lebih tinggi daripada konstitusi. Ia justru harus menjadi tolok ukur untuk menilai

17
Kelsen Hans. 2001. General Theory Of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum
2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
18
Kelsen Hans. 2001. General Theory Of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum
2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
keabsahan konstitusi. Ia juga sudah berlaku tanpa harus menunggu proses positivisasi. Ia

dipersangkakan dan diasumsikan sudah ada, mendahului keberadaan hukum

positif.Persoalannya adalah bahwa Kelsen tidak pernah menyebutkan secara gamblang apa

substansi dari Grundnorm itu.

Dalam hal ini terbuka peluang terjadinya kesesatan bernalar yang disebut petitio

principii atau argumen berputar (circular argument). Kita ingin menguji konstitusi dengan

Grundnorm tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Grundnorm mengembalikannya lagi

dengan meminta kita agar menaati konstitusi tersebut. Pancasila tentu tidak kita kehendaki

menjalankan peran untuk menguji konstitusi dengan argumentasi berputar seperti ini.

Kelsen dengan Teori Jenjang-nya itu berangkat dari filosofi positivisme hukum,

atau lebih tepat lagi legisme. Kaum legistis selalu mendudukkan hukum sebagai produk

(bentukan) penguasa. Setiap produk hukum dari penguasa yang berwenang, yang dibuat

mengikuti format dan prosedur tertentu adalah produk hukum yang harus dijamin

legalitasnya. Ia benar dengan sendirinya (self-evident).  Oleh karena keberadaan dan

keberlakuan konstitusi ditentukan oleh penguasa publik, maka perintah

dari Grundnorm untuk menaati konstitusi itu juga harus dipahami sebagai produk yang

benar dengan sendirinya.

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan formal dan materiil konstitusional dalam

politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan

strategi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi


konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas

hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.

- Peraturan atau Kebijakan implementatif dari politik peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan yang

berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang bersifat

implementatif dari landasan filosofis, konstitusional, operasional, formal, dan

prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden

Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi

Nasional (Prolegnas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya.

Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-

undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan

perundang-undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip perundang-

undangan.

Terkait point ini bagi penulis bagaimana hal ini bisa ditekankan juga kedalam pola

pembentukan perundang-undangan, bahwa aspek-aspek masyarakat yang tidak secara

keseluruhan harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penulis melihat aspek

dimaksud dengan mengemukakan gagasan John Locke pada karyanya: Locke John. 2001.

The Second Treatise Of Govermment yang dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia yang menekankan

tentang 19State Of Nature.

- Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasar-dasar yuridis,

harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar filosifis dan kemasyarakatan

tempat kaidah tersebut akan berlaku.

- Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada harus

mempunyai jangkauan masa depan.

- Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar menciptakan

instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran.

- Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi

masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat).

- Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan materi muatan

peraturan perundang-undangan.

Kemudian kebutuhan harmonisasi hukum sebagai bagian perangkat dari politik

hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan

negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu

menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar

saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem.

Dalam Pasal ini disebutkan; “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh

19
Locke John. 2001. The Second Treatise Of Govermment, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik
Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”

(baca:Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2)

tersebut maka harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu kementerian,

yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dikandung maksud agar norma-

norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan secara vertikal

dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain. Namun didalam politik

harmonisasi hukum ini tidak mutatis mutandis diberlakukan terhadap rancangan undang-

undang hasil inisiatif DPR, dan juga jenis peraturan perundang-undangan yang lain: (a)

Peraturan Pemerintah; (b) Peraturan Presiden; (c) Peraturan Daerah. Akibatnya, secara

normatif terhadap peraturan perundang-undangan itu tidak terikat “proses” harmonisasi

dalam pembentukannya. Hal ini diperlukan guna meminimalisir judicial review ke

Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Selain itu politik harmonisasi hukum sendiri

adalah keniscayaan dalam suatu negara hukum.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politikhukum peraturan perundang-

undangannya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan supremasi

konstitusi dan menjadikan konstitusi benar-benar hidup dan berkembang dalam

penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).

2. Harmonisasi sebagai kerangka dari politik hukum dapat saja terlanggar, sepanjang

hal tersebut karena ke khas-an Indonesia, lex specialis dan lebih bermanfaat bagi

bangsa dan negara. Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavynya telah

bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai”

untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan

perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation,

maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi

rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar

negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat

diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Barendt Eric. 2001. An Introduction to Constitutional Law, dikumpulkan oleh Satya

Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 107-190. Jakarta. Penerbit Universitas

Indonesia.

Elster John and Slagstad Rune, eds, 2001. Constitutionalism and Democracy, dikumpulkan

oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”, Part One, hal. 193-521. Jakarta. Penerbit

Universitas Indonesia.

Kelsen Hans. 2001. General Theory of Law and State, dikumpulkan oleh Satya Arinanto.

“Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Locke John. 2001. The Second Treatise of Govermment, dikumpulkan oleh Satya Arinanto.

“Politik Hukum 1”, Part One, hal. 3-22. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum. Jakarta. Pena Grafika. 2010.

Lijphart Arend. 2001. Democracies Patterns of Majoritarian and Consensus Gonemment

in Twenty-one Countries, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 1”,

Part One, hal. 25-105 Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.


Masru Wahid Abdul “Politik Hukum dan Perundang-undangan”, Makalah, Jakarta, 2004.

Nonet Philippe dan Philip Selznick. 2001. Law and Society in Transtition: Toward

Responsif Law, dikumpulkan oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two,

hal. 73-156. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Satya Arinanto. 2001. Constitutional Law and Democratization in Indonesia, dikumpulkan

oleh Satya Arinanto. “Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 2-70, Jakarta. Penerbit

Universitas Indonesia.

Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia dan Amerika Serikat: Rivalitas

Kekuasaan antara Presiden & Legislatif, Penerbit MIPI, Jakarta, 2012, hal. 247-248.

Indriawati Dyah Saptaningrum et.al., Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Politik

Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan

Pengawasan DPR Periode 2004-2009, Penerbit Elsam Jakarta, 2011, hal. 5.

INTERNET
Qurbani Dwi Indah. “Politik Hukum Pengelolaan Minyak Dan gas Bumi Di Indoenesia.”

https://www.researchgate.net/publication/306047552. 11 April 2020

Anggoro Alkohir Syahriza. “Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan”, Jurnal

Cakrawala Hukum, JCM, http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/

view/2871.

Anggoro Alkohir Syahriza. “Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan”, Jurnal

Cakrawala Hukum, JCM, http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/

view/2871.

Matalata Andi, “Politik Hukim Perudang-undangan”, http://ejurnal.peraturan.go.id/

index.php/jli/article/view/334hal. 60, 15 April 2020

PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Batang tubuh.

Anda mungkin juga menyukai